Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kepercayaan dan citra yang baik dimata masyarakat merupakan salah satu
yang terpenting bagi eksistensi sebuah perusahaan. “Pada era persaingan
sekarang ini, bukan publik yang membutuhkan perusahaan, tetapi perusahaan
yang butuh public”. Apabila kepercayaan dan citra perusahaan rusak di mata
masyarakat, maka perusahaan tersebut harus bersiap-siap untuk menghadapi
krisis. Suatu perusahaan yang mengalami permasalahan sudah dianggap
selesai secara hukum, justru akan berdampak negative dan akan terus
berkepanjangan, serta tingkat kepercayaan atau citra masyarakat menjadi turun
secara tajam.
Sehubungan dengan masalah di atas, orang yang mempunyai peranan
penting untuk mengembalikan citra perusahaan yang baik adalah seorang
Public Relations (PR) atau Humas. “Seorang PR tidak hanya harus
mempunyai technical skill dan managerial skill dalam keadaan normal, tapi
PR juga harus memiliki kemampuan dalam mengantisipasi, menghadapi atau
menangani suatu krisis kepercayaan dan penurunan citra yang terjadi”.
Selanjutnya merupakan tantangan berat adalah pemulihan citra positif
masyarakat terhadap kepercayaan perusahaan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latar belakang masalah perbankan ?
2. Mengapa bank pemerintah dapat juga bermasalah ?
3. Bagaimana kode etik bankir ?
4. Bagaimana perlindungan nasabah ?
5. Bagaimana pelanggaran perbankan yang terjadi ?
6. Bagaimana likuidasi yang dipaksakan ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui latar belakang masalah perbankan.
2. Untuk mengetahui bank pemerintah dapat juga bermasalah.

1
3. Untuk mengetahui kode etik bankir.
4. Untuk mengetahui perlindungan nasabah.
5. Untuk mengetahui pelanggaran perbankan yang terjadi
6. Untuk mengetahui likuidasi yang dipaksakan

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 LATAR BELAKANG MASALAH PERBANKAN

Sejak dikeluarkannya kebijakan pemerintah, khususnya bidang moneter


dan perbankan yang diawali dengan paket deregulasi 1 juni 1983 hingga Pakto
1988 (Paket Deregulasi 27 Oktober 1988), ada perubahan yang cukup mendasar
dan significant di sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Pemerintah dalam
hal ini melalui Bank Indonesia sebagai otoritas moneter mulai mengurangi
campur tangannya. Sehingga, pertumbuhan perbankan cukup cepat, khususnya
kalangan bank swasta yang proaktif dan bahkan ekspansif melalui gencarnya
promosi dan publikasi yang diiming-imingi hadiah untuk menarik perhatian
masyarakat agar mau menjadi nasabah banknya masing-masing. Cara ini mampu
menghimpun dana lebih besar daripada cara-cara tradisional dan konservatif serta
pasif sebelumnya.

Di samping itu, pemerintah memberikan segala kemudahan, baik segi


perizinan maupun permodalan, sehingga siapapun yang punya dana mempunyai
kesempatan atau berlomba-lomba mendirikan bank baru, melalui bank lama
(akuisisi) dan merger dengan mudah serta tidak bertele-tele. Peluang ini banyak
disambar oleh para pengusaha yang tidak memiliki latar belakang sebagai bankir
untuk mendirikan bank-bank baru. Akibatnya bisa dirasakan, yaitu timbulnya
kompetisi tajam antar bank dalam dunia perbankan untuk merebut pangsa pasar
yang masih terbatas atau menggaet nasabah potensial yang orangnya itu-itu juga.
Sistem organisasi mulai ada untu menentukan besar kecilnya tingkat bunga yang
bisa diatur antara bank dengan pihak nasabahnya. Bankir berlatar belakang
sebagai lebih riskan dan beresiko tinggi, jika dibandingkan dengan bankir yang
benar-benar profesional. Bisa dilihat dari sepakterjangnya di lapangan, bila bankir
merangkap pengusaha terlalu berani untuk berspekulasi, sedangkan yang
profesional lebih prudential atau menekankan kehati-hatian dalam mengikuti

3
prosedur dan hukum yang berlandaskan “kode etik perbankan” selalu dipegang
erat-erat.

Bankir profesional lebih mengutamakan prosedur aturan main dan hukum,


baru kemudian bertindak dalam operasional sistem perbankan. Bankir berlatar
belakang pengusaha bertinfak sebaliknya, yaitu meraih peluang yang ada terlebih
dahulu baru kemudian memikirkan perangkat hukumnya. Hal ini banyak terjadi di
kalangan dunia perbankan dalam era globalisasi dan teknologi informasi canggih
yang mengacu pada persaingan tajam dalam dunia bisnis, “mumpung ada
kesempatan dan kapan lagi”. Akibatnya, pengawasan perbankan yang dilakukan
otoritas moneter (BI) masa Orde Baru menjadi keteter, kekurangan tenaga
setingkat pejabat officer dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan perbankan,
bisa terjadi kolusi antara pihak pengawas otoritas moneter dan pihak bank untuk
merekayasa neraca atau laporan keuangan dalam periode tertentu yang seharusnya
“merah” bisa disulap menjadi sehat.

Kerjasama antara pengawas dengan yang diawasi ini banyak merugikan,


baik untuk pemerintah, pengusaha, perbankan dan masyarakat itu sendiri,
sehingga banyak bank yang collapse. Contohnya adalah kasus Bank Duta pada
tahun 1990 akibat kalah bermain dalam valas sekitar 780 miliar rupiah lebih,
tetapi pada saat yang sama dilaporkan neracanya “sehat” untuk siap “go public”.
Kemudian disusul kasus Bank Umum Majapahit yang kini nasibnya masih gelap.
Bank Summa seharusnya Juli 1991 sudah tidak sehat, tetapi tetap tidak ditindak
tegas dan sampai divonis mati akhir tahun 1992. Akibatnya, banyak dana
masyarakat yang terus mengalir masuk ke kantong kas Bank Summa. Tindakan
tegas pemerintah yang terlambat tersebut menyebabkan bank bersangkutan
menanggung beban utang sebesar 1,5 triliun rupiah. Kalau sekiranya pemerintah
melalui BI mengambil langkah pengamanan atau tindakan lebih tegas pada awal
terjadi prakrisis mungkin terjadinya krisis likuiditas yang dialami oleh Bank
Summa bisa dihindari. Termasuk akhir-akhir ini banyak bank nasional yang
terkena kebijakan bank beku operasional (BBO), merger dan hingga bank

4
likuidasi (BDL) yang terjadi pada 16 bank-bank swasta (1997) dan 38 BDL
(1999).

2.2 BANK PEMERINTAH DAPAT JUGA BERMASALAH

Selama ini mitos masyarakat umum adalah baha menyimpan uang di bank-
bank pemerintah relatif lebih aman jika dibandingkan dengan bank swasta karena
bank pemerintah tersebut hampir tidak pernah bahkan tidak mungkin bangkrut
atau terjadi collapse seperti BUMJ, Bank Duta, Bank Summa dan terakhir
puncaknya ke-16 dan 38 perusahaan bank-bank swasta dilikuidasi (BDL). Hal
tersebut memang tidak bisa disangkal karena selama beberapa tahun ini kinerja
bank-bank pemerintah selalu sehat dan mantap dalam pengelolaan dana
masyarakat, mampu menciptakan para bankir karier yang profesional atau
menelurkan kader-kader bankir berwawasan nasional maupun internasional. Di
samping itu, rata-rata aset bank pemerintah-Bank BNI, Bank Dagang Negara,
Bank Eksim, Bank Bumi Daya, Bank Rakyat Indonesia, Bank Tabungan Negara
dan Bapindo diatas 15 triliun rupiah sampai 28 triliun rupiah. Jumlah aset tersebut
tidak akan mampu diraih oleh kalangan bank-bank swasta terbesar sekalipun.
Hanya Bank Tabungan Negara yang asetnya baru mencapai 6 triliun rupiah dan
masih kalah dengan Bank Central Asia, yang telah mencapai 15 triliun rupiah
pada tahun 1996/1997.

Dengan fenomena tersebut ditambah dengan collapse-nya bank-bank


swasta nasional, salah satu bank pemerintah seperti Bank Bumi Daya dengan
demonstratif mengeluarkan iklan komersialnya yang disebarluaskan di berbagai
media cetak, yakni berbunyi sebagai berikut “Uang Anda terus berkembang dan
tetap aman karena dikelola oleh Bank milik Pemerintah yang terpercaya dan
profesional”. Kata “aman” dan “Bank Milik Pemerintah” sengaja ditulis dengan
huruf merah dan mencolok, pemasang iklan tersebut tengah meluncurkan produk
bank Panca Dana, dengan cara gimmick atau teknik dunia periklanan tertentu
untuk menggaet calon nasabah bank swasta yang secara psikologis kena trauma
akibat terjadinya kebangkrutan bank dan sebagainya.

5
Namun setelah meledaknya kredit bermasalah Bapindo akibat skandal
kerdit macet semilai 1,3 triliun rupiah menjelang lebaran tahun 1991 membuat
masyarakat berfikir kembali mengenai penyimpanan uang di bank pemerintah.
Kata “aman” dan “Bank Milik Pemerintah Tepercaya” mulai dipertanyakan.
Tidak hanya bank-bank swasta yang menghadapi krisis kepercayaan, bank
pemerintah juga bermasalah dalam mengelola dana masyarakat, mengalami
keredit macet, kurang profesional, dan kurang hati-hati (prudential banking
marketing).

Seperti apa yang terungkap dalam majalah mingguan berita Tempo, edisi
26 Maret 1994, pihak Bapindo terlanjur mengucurkan kredit macet cukup besar ke
perusahaan GKG milik pengusaha ET. Hal ini menyebakan pihak kejaksaan
agung menyerat mantan pimpinan Bapindo, sperti mantan pimpinan cabang dan
membebas tugaskan para direktur dari jabatan serta tersangka lainya untuk
diperiksa secara intensif.

Kini tidak hanya bank swasta yang bisa terkena guncangan krisis moneter,
manajemen dan krisis kepercayaan akibat salah pengelolaan (mismatch) hingga
terjadi kolusi serta pemberian katabelece oleh pejabat berpengaruh untuk ikut
serta tidak langsung maupun langsung mancampuri urusan pemberian kredit
perbankan secara tidak sah denagn memanfaatkan kelemahan hukum (loop hole).
Kini bank-bank pemerintah pun terkena kredirt bermasalah yang menyebabkan
terjadinya kredut macet yang cukup besar (megadept) di bank tertentu dan
tindakan korupsi oleh oknum tertentu, kurang kontrol dan sebagainya, sehingga
berdampak buruk bagi kredibilitas dunia perbankan nasional. Citra dan
kepercayaan bank swasta serta bank pemerintah tengah menghadapi ujian yang
cukup berat. Artinya, krisis puncak (krisis akut) yang terjadi di perusahaan swasta
akan terjadi pula akan terjadi di perusahaan pemerintah. Hal ini tidak bisa
dihindari karena era globalisasi yang penuh persaingan tajam dan didukung
dengan teknologi informasi serba canggih mampu menyiarkan suatu krisis yang
terjadi secara serentak dan tersebar luas dalam waktu yang sama tanpa terbendung
atau terkendali.

6
Berbagai upaya dilakukan pemerintah, baik menghadapi berbagai krisis
yang melanda dunia perbankan dalam era reformasi, dan sekaligus menghadapi
abad-21 (millinium III), untuk membenahi bisnis perbankan melalui tindakan
restruturisasi, rekapitulasi, menjer (penggabungan) dan hingga kebijakan likuidasi
bagi bank yang bermasalah.

2.3 KODE ETIK BANKIR

Di kalangan dunia perbankan, penilaian kesehatan bank oleh Bank


Indonesia sebagai otoritas perbankan nasional mengacu kepada “tolok ukur” yang
disebut CAMEL, yaitu antara lain capital adequacy (permodalan), asset quality
(kualitas aktiva produktif), management of risk (manajemen resiko), earning
ability (rentabilitas), dan liquidity sufficiency (likuiditas).

Hal ini dapat dimengerti karena kegiatan utama usaha perbankan adalah
menyalurkan kredit yang merupakan fungsi intermediasi keuangan dari unit
ekonomi plus ke unit ekonomi minus. Fungsi utama lainnya yang cukup vital dan
bernilai strategis adalah sebagai pemasok dana bagi kegiatan perekonomian
masyarakat untuk menunjang pembangunan nasional (agent of development).
Atau, istilah yang dilontarkan oleh MacLeod, “Bank is a shop for the sale of
credit”, yang sekaligus sebagai penyandang risiko yang cukup tinggi (high risk)
kalau tidak dikelola dengan baik dan hati-hati. Kemungkinan besar terjadi
kemacetan atau permasalahan dalam pengambilan oleh pihak debitur yang nakal,
adanya kolusi antara pihak bankir dan pejabat dengan para debitur curang hingga
menyebabkan terjadinya korupsi, manipulasi, dan sebagainya.

Sebagaimana diketahui, bank adalah suatu lembaga dimana kepercayaan


merupakan komoditas suci yang menuntut kejujuran tinggi dari para bankir yang
bersangkutan merupakan pengelolanya dan tindakan yang hati-hati dalam
memikul kepercayaan yang diembannya. Ada hal yang sulit dihindari oleh para
bankir profesional yang telah berpengalaman dengan jam terbang yang cukup
tinggi, namun masih tetap “melanggarnya”, yaitu rambu-rambu peraturan
perbankan maupun kode etik perbankan yang dianggap sakral. Bukan hanya

7
masalah human error, fakta penyebab dari luar juga mampu mendikte para bankir
untuk mau atau tidak mau berkolusi, khususnya mengenai surat sakti atau melalui
telepon dari individu yang memiliki power dan pengaruh. Ia sering ikut
“mengegolkan” pencairan kredit kepada pengusaha tertentu. Walaupun sebetulnya
secara teknis perbankan, kolateral (jaminan), studi kelayakan usaha, mentalitas,
dan prospektus bisnis perusahaan bersangkutan belum siap.

Bagaimana kualifikasi serta profesionalisme seorang bankir ideal tersebut?


Sosok bankir yang andal dan ideal tersebut adalah perpaduan dari seperlima
accountant, dua perlima lawyer, tiga perlima political economist, dan empat
perlima gentleman. Secara total jumlahnya adalah sepuluh perlima. Kalau kurang
dari jumlah itu kata Robert Marcus (American Bankers Association), maka ia
adalah “money lender and is not a banker”. Selanjutnya ia menegaskan, “Hanya
diperlukan enam bulan untuk mendirikan sebuah bank baru, tetapi untuk menjadi
seorang bankir yang profesional dan integritas tinggi diperlukan waktu dua puluh
tahun lamanya.”

Artinya, proses waktu dan pengalaman jam kerja yang panjang dan tinggi
sangat diperlukan untuk mengasah profesionalisme, kematangan pribadi
(psikologi mental) untuk dapat menanamkan ke lubuk hati yang paling dalam atau
hati nurani supaya dapat menjunjung tinggi kebenaran, kepercayaan, serta dapat
diandalkan. Kalau calon bankir akan memasuki dunia pelatihan dan pendidikan,
seperti institusi Bankir Indonesia, Lembaga Pendidikan dan Perbankan Indonesia,
pusat pendidikan dan pelatihan internal (in house training), dan sebagainya, selalu
ditanamkan “Sembilan Butir Kode Etik Bankir Indonesia”, yang sekaligus
merupakan rule of conduct untuk menunjang character building, yakni sebagai
berikut :

1. Seorang bankir patuh dan taat kepada ketentuan perundang-undangan dan


peraturan yang berlaku.
2. Seorang bankir melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang
bertalian dengan kegiatan banknya.

8
3. Seorang bankir menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.
4. Seorang bankir tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
5. Seorang bankir menghindarkan diri dari keterlibatan dalam pengambilan
keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan.
6. Seorang bankir menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya.
7. Seorang bankir memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan
yang ditetapkan banknya terhadap keadaan ekonnomi, sosial dan lingkungannya.
8. Seorang bankir tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri
pribadi maupun keluarganya.
9. Seorang bankir tidak melakukan perbuatan yang tercela yang dapat merugikan
citra profesinya.

2.4 PERLINDUNGAN NASABAH

Ketika Bank Summa dikuasai oleh Menteri Keuangan tahun 1992, tidak
berarti bahwa perseroan yang bersangkutan menjadi tidak ada, namun sebagai
akibatnya perseroan tersebut tidak diperkenankan untuk menjalankan usahanya
atau aktivitas lainnya menyangkut pihak ketiga. Di sisi lain, perseroan itu hanya
diperbolehkan atau masih tetap berwenang untuk melakukan hubungan hukum
tetapi terbatas kepada tindakan pemberesan dalam upaya menjual seluruh harta
kekayaan (eksekusi) yang dipergunakan untuk membayar seluruh utang-utangnya.

Apabila seluruh harta kekayaan, baik harta tetap dan tidak tetap milik
persero tersebut dijual, maka prioritas pertama menurut undang-undang adalah
kewajiban terhadap negara, seperti pajak. Menurut pasal 121 ayat 1 Undang-
Undang No. 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan yang
menyatakan bahwa negara mempunyai hak terlebih dahulu tagihan pajak atas
barang-barang wajib pajak. Setelah kewajiban prioritas tersebut terpenuhi, sesuai
dengan Pasal 1139 dan Pasal 1149, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHP), yakni :

a. Biaya pelelangan dan upah untuk para pemberes.


b. Pemegang gadai serta pemegang hipotek dan biaya sewa.

9
c. Biaya untuk pengangkutan dan biaya tambahan lainnya.
d. Harga pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar.
e. Upah tenaga kerja dan sebagainya.

Secara teoritis menurut hukum, apa yang dilaksanakan oleh TLBS dalam
mengeksekusi aset-aset Bank Summa dan Summa Group tidak menggunakan
urutan prioritas tersebut di atas, termasuk pembayaran nasabah penabung sebagai
kreditur konkuren baru diperhitungkan kemudian setelah membayar semua
kewajiban terhadap negara. Justru bisa dilihat tindakan TLBS berikutnya adalah
lebih menekankan segi kepentingan politik dan ekonomisnya jika dibandingkan
demi kepentingan segi prosedural dalam KUHP.

Dalam Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 23


Tahun 1999 dicantumkan mengenai kepentingan perlindungan bagi nasabah dan
pemenuhan kewajiban bagi hak-hak nasabah jika bank dalam keaddaan
bermasalah, bangkrut dan hingga dilikuidasi, maka pemenuhan hak-hak nasabah
tersebut dimasukkan ke dalam unsur lex generalis (ketentuan umum), yang artinya
bila suatu bank collapse, maka hak nasabah tidak menjadi prioritas utama atau
mendapat perlakuan istimewa dalam hal pembayaran kembali dana yang disiman
disebuah bank yang tengah mengalami likuidasi dan pailit.

Kurangnya jaminan perlindungan hak nasabah tersebut dikarenakan oleh


sangat beragamnya jenis simpanan atau penempatan dana nasabah. Seperti,
sebagai nasabah penabung biasa, giran dan deposan, pada wkatu pelaksanaan
eksekusinya mengalami kesukaran dari segi prosedural hukum dalam UU
perbankan tersebut karena nasabah tidak mendapatkan prioritas pertama dan harus
masuk ke dalam prosedur hukum perdata biasa, yaitu melalui gugatan perdata dan
sebagainya. Ini merupakan konsekuensi logis dari kelemahan sistem hukum yang
menyangkut perlindungan dan jaminan bagi para nasabha bank dalam cakupan
UU Pokok Perbankan lama maupun baru. Padahal, tanpa mobilisasi simpanan dari
nasabah, bank bersangkutan tidak mungkin dapat melaksanakan aktivitas dan
operasinya.

10
Satu-satunya cara melindungi kepentingan dan hak para nasabah tersebut
adalah dengan bertumpu pada kesehatan bank yang bersangkutan dan bentuk
perlindungan secara tidak langsung, seperti tertera dalam Peraturan Per-UU-an
Perbankan. Dalam undang-undang itu ada tiga faktor penilaian, yaitu keadaan
keuangan bank, kualitas aktiva produktif, dan tata cara serta kepatuhan bank
terhadap peraturan perundang-undangan perbankan. Selain itu, Paket
Kebijaksanaan 29 Mei 1993 (Pakmei) meregulasi lima ketentuan perbankan, yaitu
rasio kecukupan modal bank yakni delapan persen menurut ketentuan BIS (Bank
International Settlement), batas pemberian kredit (ketentuan 3L-legal, lending,
limit), penetapan plafon kredit usaha kecil (KUK), dan pembentukan cadangan,
serta penilaian tingkat kesehatan. Di samping itu, untuk mengantisipasi pesatnya
pertumbuhan perbankan masa itu, telah pula dikeluarkan kebijakan Paktri (Paket
Februari) 1991.

Secara internal, bagi bank-bank swasta yang akan merencanakan


penyaluran kreditnya kepada debitur, biasanya harus melalui satu tim pengawas
untuk mengontrolnya atau dikenal dengan credit committee yang terdiri dari
dewan direksi, legal, operasional, dan pihak lain yang terkait dalam tim penilai.
Begitu juga di bank-bank pemerintah, dilakukan hal yang sama untuk plafon
kredit tertentu. Namun, kredit dalam jumlah lebih besar untuk proyek raksasa dan
strategis atau membutuhkan suatu sindikasi bank harus melalui Tim Supervisi
Kredit Bank Pemerintah (TSKBP) yang beranggotakan pejabat-pejabat tinggi dari
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Tugas tim TSKBP ataupun credit
committee adalah untuk memantau dan mengawasi kredit yang telah disalurkan,
baik dana yang berasal dari bank swasta, bank pemerintah maupun sindikasi
dalam negeri dan luar negeri.

2.5 PELANGGARAN PERBANKAN YANG TERJADI

Pelanggaran pada umumnya terjadi dalam sistem operasional perbankan.


Ambil contoh kasus Bank Summa sebelum “divonis” pada tanggal 14 Desember
1992, melalui SK Menkue No. 1253/KMK.01/1992. Menkue J.B Sumarlin pada

11
waktu itu menegaskan bahwa pelanggaran bank bersangkutan dalah sebagai
berikut.

“Kesulitan struktural yang terjadi dalam PT Summa adalah diakibatkan oleh


mismanagement dalam pengelolahaannya sehinga terjadi kredit macet terutama
kepada nasabah grup pemegang saham mayoritas yang terkonsentrasipada usaha
property, dan menimbulkan kesulitan keuangan yang bersifat struktural dan
akhirnya bank mengalami kerugian”. (Keterangan pers dan pengumuman
penglikuidasian Bank Summa ilaksanakan pada Senin 14 Desember 1992 di
Jakarta, didampingi oleh Gubernur BI Adrianus Mooy, dan Mensesneg
Moerdiono)

Kalau disimpulkan, pelanggaran yang menyebabkan terjadinya krisis


hingga dicabutnya izin usaha bank tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mismanagement dan misinvestment dalam pengelolaan dana yang telah


dipercayakan oleh masyarakat
b. Pelanggaran 3L (legal lending limit) atau terjadinya pelanggaran batas
maksimum pemberian kredit kepada perusahaan grup yang melebihi
ketentuan, baik secara terang-terangan maupun terselubung
c. Pelanggaran plafondering atau loan-to-deposito ratio, artinya pelanggaran
batasan rasio antara pemberian pinjaman dengan jumlah simpanan pihak
ketiga, sehingga bias terjadi kredit macet
d. Puncaknya, kesulitan likuidasi akibat terjadi kemacetan kredit secara
akumulatif cukup besar (megadebt), di samping itu pihak pemilik tidak
melakukan penyuntikan dana segar (fresh money) dengan segera
e. Secara internal, pelanggaran tersebut human error dan pemiliknya
bertindak one-man-show dan terlalu ekspansif serta bebas membuat
keputusan, tanpa mendengarkan pertimbangan dari staf ahli dan para
professional sebagai pendukungnya, sehingga penggunaan dana jangka
pendek dimanfaatkan untuk investasi jangka panjang yang berisiko tinggi,
akibat dari lepas kendali (of control) karena kurang berfungsinya credit

12
committee yang bertindak sebagai pengawas internal untuk diharapkan
dapat memberikan sinyal dini (early warning system) di bank
bersangkutan.

Bahkan bank tersebut bertindak sebagai “kasir” bagi kegiatan operasional


dan investasi pada perusahaan grup lainnya yang sebagian besar dari perusahaan-
perusahaan tersebut unprofitable dan menjadi beban. Kalo sekiranya sang pemilik
mau mendengarkan para eksekutif dan konsultannya mengenai kemungkinan-
kemungkinan risiko yang bakal timbul bisa dihindarkan atau diperkecil pada saat
masa prakrisis tersebut, melalui pertimbangan overall possibility atau overall risk
project, pasti ceritanya akan lain, ia bias menjadi “hero” bagi keluarga dan mampu
menjaga kredibilitas perusahaannya.

2.6 LIKUIDASI YANG DIPAKSAKAN

Untuk mengatasi prakrisis pada periode Juli 1991-1992, suatu krisis awal
yang menimpa PT Bank Summa pada waktu itu ada enam jalan keluar sebagai
tindakan penyelamatan (rescue planning), yaitu sebagai berikut.

a. Pihak keluarga pemilik segara menutupi semua kerugian atau kesulitan


likuiditas di bank tersebut sebesar 591 miliar rupiah.
b. Melakukan upaya merger dengan pihak bank lainnya (direncanakan
bergabung dengan Bank Universal dan Bank Danamon)
c. Rencana pihak lain (Prajogo Pangestu dan Bank Danamon) untuk
mengambil seluruh aset Bank Summa dan personel, kemudian digabung
dengan Bank Sampoerna (juga diambil alih oleh Bank Danamon) untuk
dibentuk bank baru, yaitu Bank Delta.
d. Mencari suntikan dana dari investor baru yang berminat, yaitu Prajogo
Pangestu mawakili konglomerat dalam kelompok Prasetya Mulya, dan
Hasyim Djojohadikusumo, (serta perusahaan dibawah naungan yayasan
ABRI dan Mbak Tutut?), atau jaminan dana dari hasil penjualan saham
perusahaan induk astra Internasional

13
e. Pengamat ekonomi, Kwik Kian Gie mengusulkan agar Astra-Summa bias
dijadikan BUMN karena saham-saham astra tersebut sebagian besar
berada di tangan bank-bank pemerintah. Artinya, pihak pemerintah
menjadi pemegang saham majority bias mengatasi kemelut tersebut
melalui pembentukan perusahaan BUMN baru.
f. Melikuidasi dengan menjual semua aset, baik yang ada di Bank Summa
maupun di Summa Group yang tersebar di berbagai tempat, di dalam dan
luar negeri untuk menutupi kesulitan likuidasi serta pengembalian dana
para nasabah serta kewajiban-kewajiban lainnya. Otomatis perusahaan
bersangkutan dibubarkan demi hokum.

Ternyata dalam hal ini dan pada akhirnya, pemerintah mengambil jalan
yang dianggap terbaik untuk menuntaskan masalah yang sudah tidak tekendali
disekitar kasus PT Bank Summa yang berlarut-larut tersebut, sehingga dapat
mengguncangkan atau mengganggu kredibilitas perbankan, baik secara nasional
maupun internasional.

Sesuai dengan surat keputusan Mentri Keuangan RI No.


1253/KMK.01/1992 pemerintah menabut izin usaha dan operasional PT Bank
Summa sejak tanggal 14 Desember 1992. Habislah riwayat perjalanan sebuah
bank yang penuh kemelut dan kontroversi karena pada akhirnya harus dilikuidasi.

Boleh dikatakan, Bank Summa merupakan korban pertama sejak


diberlakukannya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan dan
disahkan tertanggal 25 Maret 1992, sebagai pengganti dari undang-undang lama
No. 14 Tahun 1967 yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi. Undang-undang No.7
Tahun 1992 ini bertumpu pada pembinaan kesehatan bank untuk melindungi
kepentingan nasabah secara tidak langsung, yaitu pihak bank wajib menjaga
kesehatan bank yang berpegang kepada prinsip kehati-hatian (prudential) yang
sesuai dengan pasal 29 ayat 5 UU No.7 Tahun 1992. Bank dalam melakukan
transaksi seperti pemberian kredit maupun dalam melakukan investasi harus hati-
hati. Pihak bersangkutan tetap menjaga likuiditasnya karena berkaitan erat dengan

14
tingkat kesehatan bank. Kalau terjadi kesulitan likuiditas yang berkepanjangan,
maka akan menimbulkan masalah pada sovabilitas dan mengakibatkan bak
tersebut mengalami kebangkrutan pada akhirnya.

Dalam menentukan tingkat kesehatan bank, ada tiga faktor penilaian.:

1. Keadaan kondisi keuangan bank


2. Kualitas aktiva produktif
3. Tata kerja serta kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-
undangan perbankan.

Dengan dikeluarkannya Paket Februari 1991 (Paktri), maka suatu bank


yang kurang sehat, jika dalam jangka waktu waktu Sembilan bulan tidak dapat
memulihkan kesehatannya, otomatis izin operasional dan usaha akan dicabut oleh
pemerintah (menteri keuangan), sesuai dengan Pasal 37 Ayat 4 UU No.7 Tahun
1992.

Namun, pemilik hanya melihat segi kesempatan, peluang, dan kemudahan-


kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, melalui Pakto 88 dan paket-paket
kebijakan perbankan lainnya, tanpa memperhatikan risiko atau kemungkinan
kesulitan yang menghadangnya dimasa datang, seperti adanya tindakan spekulatif,
kurang kehati-hatian, ingin meraih sukses di “jalan tol” dan terlalu ekspansif, raih
dulu “kesempatan” atau aji mumpung”, tanpa didukung dengan tenaga profesional
dan keahlian yang memadai, serta tidak terbentuknya credit committee yang solid
untuk mngantisipasi overall possibility and overall risk dalam mengoprasionalkan
dana milik masyarakat serta menjaga kredibilitas masyarakat luas serta
pemerintah.

Pada akhirnya, deregulasi di sector perbankan tersebut menuntut


konsekuensi untuk mampu membentuk dan maningkatkan profesionalisme,
emperbaiki bidang teknis dan nonteknis,operasional, marketing system, hingga
kualitas sumber daya manusia. Disamping itu, pihak oemlik perusahaan,
khususnya perbankan, dituntut lebih mampu dan bertanggung jawab dalam
mengamankan kepentingang para nasabahnya yang telah mempercayakan

15
dananya. Nama pengusaha besar kini bukan lagi jaminan untuk meraih atau
merangkul kepercayaan karena sekarang masyarakat lebih kritis dan terbuka
matanya, akibat meledaknya kedua kasus tersebut.

Pada waktu itu pihak pemilik Bank Summa mesti dipaksa lewat proses
likuidasi karena alternative tindakan penyelamatan pada “poin satu sampai lima”
tersebut diatas tidak membuahkan konkret. Bahkan oleh pemerintah, khususnya
Menteri Keuangan dan Gubernur BI, pihak keluarga pemilik dianggap tidak serius
dan bahkan terkesan terlalu bertele-tele dalam menuntaskan kemelut Bank
Summa sampai batas waktu yang ditentukan, 15 Desember 1992.

Sebelum deadline, untuk mengatasi kemelut Bank Summa mesti dipaksa


lewat proses pihak keluarga pemilik sudah berjanji untuk mengatasi krisis
likuidasi melalui pengucuran dana segar dari hasil penjualan saham mayoritas
miliknya PT Astra Internasional. Pihak pemilik Bank Summa berupaya keras
mengatasi kemelut, antara lain sebagai berikut.

a. Pihak pemilik berniat menjual sekitar 108 juta lembar saham Astra
Internasional kepada Prajogo Pangestu Group. Pihak keluarga
menginginkan harga saham tersebut diatas Rp10.000,00 per lembar
saham (dianggap saham tersebut blue chip) dan menginginkan diberi
kesempatan membeli saham yang terjual dimasa yang akan datang,
sepuluh tahun kemudian.
b. Disamping itu, dalam waktu yang sama, pemilik juga mengadakan
pendekatan dengan pihak investor baru, Hashim Djojohadikusumo
yang tengah mengajukan proposal baru sebagai upaya penyelamatan
krisis. Selain akan “menalangi” uang muka Rp500 miliar dalam
rencana pembelian saham Astra Internasional tersebut Hashim
memberikan pihak pemilik option pembelian kembali atas saham
tersebut dikemudian hari.
c. Langkah terakhir, pihak pemilik berupaya mengadakan pendekatan ke
pusat kekuasaan (power center) melalui Prof. Sumitro

16
Djojohadikusumo dan bahkan berkeinginan untuk menemui Presiden
Soeharto, namun tidak berhasil karena pada waktu itu Kepala Negara
sebagai Ketua GNB (Negara Non Blok) tengah bersiap untuk menuju
ke KTT III di Senegal, November 1992.

Tampaknya, berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemilik perusahaan


untuk mengatasi kemelut dan krisis, selain harus segera memasukkan dana segar
untuk mengatasi kesulitan likuiditas karenba kredit macet cukup besar mulai dari
bulan Juli 1991 hingga jatuhnya skorsing (13 November 1992) tidak juga dapat
dipenuhinya. Keluarga pemilik masih merasa keberatan untuk melepaskan PT
Astra Internasional yang telah dibina dan dikembangkan dengan susah payah
selama 25 tahun lebih dan sekaligus merupakan money machine (pengahasilan
uang utama) bagi kepentingan perusahaan keluargnya.

Upaya penyelamatan yang dilakukan dari pertama sampai ketiga tersebut


diatas gagal. Karena itu, hal ini dianggap oleh pihak pemerintah terlalu bertele-
tele dan tidak konsisten untuk menuntaskan kemelut. Pada akhirnya, pemilik
terpaksa melepaskan kedua perusahaan tersebut, Astra-Summa. Sebelumnya ia
mencoba mengadakan rencana pinjaman kredit kepada “teman dan rekan” bisnis
selama masih jaya, juga tidak berhasil karena semua menghindarkan diri dari
persoalan yang melilit di seputar Astra-Summa.

17
BAB III

STUDI KASUS

3.1 PERMASALAHAN/STUDI KASUS

Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono


menyebutkan krisis perbankan yang menimpa Bank Century dipicu masalah
likuiditas. Hal ini disampaikannya ketika hadir sebagai saksi ahli dalam sidang
tersangka kasus Bank Century Budi Mulya di Pengadilan Tipikor Kuningan pada
Senin (19/5).

Sigit Pramono berpendapat dampak krisis perbankan dapat berakibat pada


perekonomian secara keseluruhan. Hal ini yang menjadi ujung pangkal
perdebatan krisis perbankan sehingga disebut berdampak sistemik atau tidak
sistemik.

Kondisi yang menimpa Bank Century bila dalam keadaan normal bisa
meminjam pendanaan dari pihak bank lain. Tetapi ketika kondisi nasional pada
waktu krisis terjadi pada 2008 tidak memungkinkan Bank Century memperoleh
pinjaman pihak bank lain.

“Dalam keadaan yang sudah mulai mengarah kepada krisis, apalagi ketika
bank itu diterpa suatu isu maka mereka sudah mulai kesulitan. Apalagi
memberikan pinjaman karena tahu bank itu sudah mulai bermasalah. Oleh karena
itulah satu-satunya jalan mereka akan datang ke Bank Indonesia. Bank Indonesia
itu banknya bank. Dalam keadaan suatu bank bermasalah likuiditasnya maka
mereka akan meminjam ke bank Indonesia. Secara umum bankir atau pegawai
bank menganggap likuiditas itu sangat vital,” jelas Sigit Pramono.

18
3.2 PEMECAHAN MASALAH

Pada saat krisis melanda perusahaan atau organisasi, sebagai tindakan korektif ada
beberapa tahapan langkah strategi atau kiat penanggulangan krisis (Rosady
Ruslan, 1999:76-78), yaitu:

1. Mengidentifikasi Krisis

Langkah ini merupakan penetapan untuk mengetahui (mengidentifikasi)


suatu masalah krisis. Ini penting untuk melihat secara jelas faktor penyebab
(factfinding) timbulnya krisis.

Mengidentifikasi suatu faktor penyebab terjadinya krisis berfungsi untuk


mengetahui, apakah public relations atau perusahaan dapat menangani krisis yang
terjadi itu segera atau tidak. Seperti seorang dokter mendiagnosis suatu penyakit
pada pasiennya, untuk mengetahui apakah bisa disembuhkan, dikurangi
penyakitnya atau sama sekali tidak bisa disembuhkan.

Bila krisis tersebut sulit untuk diatasi, membuang waktu, tenaga, dan biaya
maka PR melihat segi lain dari krisis tersebut yang persoalannya tidak
terbayangkan sebelumnya, yakni biasanya suatu perusahaan yang terkena krisis
atau musibah disertai kemunculan masalah lain yang tidak diduga sebelumnya.

Oleh karena itu, faktor utama penyebab krisis yang signifikan tersebut
harus terlebih dahulu diidentifikasikan, untuk diambil tindakan atau langkah-
langkah penanggulangan atau jalan keluarnya secara tepat, cepat dan benar.

2. Menganalisis Krisis

Mungkin perlu pengembangan dalam menggunakan formula 5W + 1H


untuk mengung-kapkan dan menganalisis secara mendalam sistematis, informatif
dan deskriptif krisis yang terjadi melalui suatu laporan yang mendalam (in-depth
reporting).

19
Pada saat prakrisis atau masa akut krisis, bisa dianalisis melalui beberapa
pertanyaan yang diajukan untuk menetapkan penanggulangan suatu krisis, yakni:

a) What – Apa penyebab terjadinya krisis itu

b) Why – Kenapa krisis itu bisa terjadi

c) Where and when – Dimana dan kapan krisis tersebut mulai

d) How far – Sejauh mana krisis tersebut berkembang

e) How – Bagaimana krisis itu terjadi

f) Who – Siapa-siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut, apa perlu dibentuk
suatu tim penanggulangan krisis

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah untuk menganalisis


penyebab, mengapa dan bagaimana, sejauh mana perkembangan krisis itu terjadi,
di mana mulai terjadi hingga siapa-siapa personel yang mampu diajak untukn
mengatasi krisis tersebut. Langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk
mengatasinya melalui analisis lapangan secara logis, informatif dan deskriptif.

Setelah itu, PR beserta “team work yang solid” menarik suatu kesimpulan,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif selanjutnya mengambil rencana tindakan
(action plan) berikutnya baik dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek, misalnya pada kasus biskuit beracun yang terjadi di
pasar dan beberapa anggota keluarga konsumen tercatat sebagai korbannya.
Tindakan pertama (main action) dari pihak perusahaan adalah penarikan segera
semua biskuit (product recall) di pasar, baik yang tercemar maupun tidak
tercemar racun, untuk menghindarkan jatuhnya korban baru secara cepat dan
tepat. Tindakan ini diambil bukan untuk melihat penyebab, tetapi menangani
langsung dengan menarik produknya.

20
Tahap berikutnya, baru diidentifikasi awal terjadinya mulai dari mana
(where) dan kapan (when) diketemukannya malapetaka tersebut. Lalu, sejauh
mana perkembangan krisis tersebut di mata masyarakat dan pers. Sebaiknya
tindakan pertama dan sekaligus cukup efektif, pihak perusahaan langsung
menyantuni para korban. Cara tersebut merupakan salah satu peredam pendapat
yang kontroversial dan mengurangi tekanan dan sorotan masyarakat yang
berlebihan melalui tindakan simpatik.

3. Mengatasi dan Menanggulangi Krisis

Dalam hal ini perlu untuk mengetahui bagaimana dan siapa-siapa personel
yang mampu diikutsertakan dalam suatu tim penanggulangan krisis. Mengatasi
krisis dalam jangka pendek sudah disebutkan di atas, maka dalam jangka panjang,
yaitu untuk selanjutnya bagaimana krisis tersebut tidak berkembang dan dicegah
agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Terjadinya malapetaka biskuit
beracun tersebut, misalnya karena adanya pencampuran tidak sengaja antara
karung bekas “potas” yang diisi tepung untuk bahan biskuit.

Informasi mengenai adanya ketidaksengajaan pencampuran antara bekas


karung bubuk racun (potas) dengan tepung (contamination), perlu diungkapkan
secara jelas kepada pihak masyarakat, khususnya pihak pers agar bisa
memberitakan secara objektif dan jangan menutup-nutupi informasi yang
sebenarnya (not to kill the information), akibatnya bisa fatal dan masalah
pokoknya tidak akan selesai dengan tuntas.

Hal di atas tidak hanya akan merugikan nama, produk dan citra perusahaan
bersangkutan, tetapi akan berdampak negatif ke perusahaan lainnya yang tidak
bersalah sama sekali, melalui contagious mentality dari mulut ke mulut. Untuk
mengatasinya, selain memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, juga perlu
diajak pihak ketiga, pejabat pemerintah yang berwenang dalam hal ini, tokoh
masyarakat dan lainnya sebagai upaya menetralisasi terhadap tanggapan negatif
dan kontroversial. Karena dianggap sebagai kekuatan, pihak ketiga berfungsi

21
mengukuhkan perbaikan situasi dan kondisi krisis (the third party endorsement),
secara tepat dan benar.

Kemudian, tindakan lainnya secara preventif dan antisipatif adalah


memperbaiki sistem pengamanan agar lebih ketat dan terjamin dalam proses atau
rangkaian produksi, mulai dari bahan baku, pengolahan hingga barang jadi untuk
menghindarkan kejadian serupa di kemudian hari.

4. Mengevaluasi Krisis

Tindakan terakhir adalah mengevaluasi krisis yang terjadi. Tujuannya


adalah untuk melihat sejauh mana perkembangan krisis itu di dalam masyarakat.
Apakah perkembangan krisis tersebut berjalan cukup lamban atau cepat,
meningkat secara kuantitas maupun kualitas serta bagaimana jenis dan bentuk
krisis yang terjadi?

Kasus yang terjadi cukup menarik perhatian pihak ketiga, seperti


tanggapan, kritikan, bahkan kecaman dari sejumlah tokoh masyarakat, tokoh
agama, politik, pengamat dan pihak pers. Khususnya pihak pers, bila terjadi suatu
persoalan krisis yang muncul (prakrisis) dan kemudian meledak menjadi krisis
akbar, menjadi perhatian utama dengan pemberitaan yang gencar mengenai krisis
itu akan cepat menarik perhatian dan sorotan masyarakat. Persoalan tidak akan
selesai dan tuntas, tetapi malah menjadi beban perusahaan yang bersangkutan
karena persoalan krisis yang sebenarnya tersamar dan menyeret persoalan lain
yang tidak ada hubungannya dengan masalah pokok krisis.

Berita krisis tersebar luas tanpa kendali, dengan berbagai tanggapan dan
pendapat yang tidak didukung oleh fakta yang objektif, kadangkala didramatisasi
sedemikian rupa sehingga menarik perhatian (sensasional) bagi semua pihak.
Untuk itu perlu tindakan pencegahan dan pengisolasian krisis, agar tidak meluas
tanpa kendali dengan teknik PR dengan tujuan untuk mengantisipasi krisis yang
terjadi.

22
BAB IV

KESIMPULAN

Bankir profesional lebih mengutamakan prosedur aturan main dan hukum,


baru kemudian bertindak dalam operasional sistem perbankan. Bankir berlatar
belakang pengusaha bertinfak sebaliknya, yaitu meraih peluang yang ada terlebih
dahulu baru kemudian memikirkan perangkat hukumnya. Hal ini banyak terjadi di
kalangan dunia perbankan dalam era globalisasi dan teknologi informasi canggih
yang mengacu pada persaingan tajam dalam dunia bisnis, “mumpung ada
kesempatan dan kapan lagi”. Akibatnya, pengawasan perbankan yang dilakukan
otoritas moneter (BI) masa Orde Baru menjadi keteter, kekurangan tenaga
setingkat pejabat officer dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan perbankan,
bisa terjadi kolusi antara pihak pengawas otoritas moneter dan pihak bank untuk
merekayasa neraca atau laporan keuangan dalam periode tertentu yang seharusnya
“merah” bisa disulap menjadi sehat.

Kini tidak hanya bank swasta yang bisa terkena guncangan krisis moneter,
manajemen dan krisis kepercayaan akibat salah pengelolaan (mismatch) hingga
terjadi kolusi serta pemberian katabelece oleh pejabat berpengaruh untuk ikut
serta tidak langsung maupun langsung mancampuri urusan pemberian kredit
perbankan secara tidak sah denagn memanfaatkan kelemahan hukum (loop hole).
Kini bank-bank pemerintah pun terkena kredirt bermasalah yang menyebabkan
terjadinya kredut macet yang cukup besar (megadept) di bank tertentu dan
tindakan korupsi oleh oknum tertentu, kurang kontrol dan sebagainya, sehingga
berdampak buruk bagi kredibilitas dunia perbankan nasional. Citra dan
kepercayaan bank swasta serta bank pemerintah tengah menghadapi ujian yang
cukup berat. Artinya, krisis puncak (krisis akut) yang terjadi di perusahaan swasta
akan terjadi pula akan terjadi di perusahaan pemerintah. Hal ini tidak bisa
dihindari karena era globalisasi yang penuh persaingan tajam dan didukung
dengan teknologi informasi serba canggih mampu menyiarkan suatu krisis yang

23
terjadi secara serentak dan tersebar luas dalam waktu yang sama tanpa terbendung
atau terkendali.

proses waktu dan pengalaman jam kerja yang panjang dan tinggi sangat
diperlukan untuk mengasah profesionalisme, kematangan pribadi (psikologi
mental) untuk dapat menanamkan ke lubuk hati yang paling dalam atau hati
nurani supaya dapat menjunjung tinggi kebenaran, kepercayaan, serta dapat
diandalkan. Kalau calon bankir akan memasuki dunia pelatihan dan pendidikan,
seperti institusi Bankir Indonesia, Lembaga Pendidikan dan Perbankan Indonesia,
pusat pendidikan dan pelatihan internal (in house training), dan sebagainya, selalu
ditanamkan “Sembilan Butir Kode Etik Bankir Indonesia”, yang sekaligus
merupakan rule of conduct untuk menunjang character building.

Satu-satunya cara melindungi kepentingan dan hak para nasabah tersebut


adalah dengan bertumpu pada kesehatan bank yang bersangkutan dan bentuk
perlindungan secara tidak langsung, seperti tertera dalam Peraturan Per-UU-an
Perbankan. Dalam undang-undang itu ada tiga faktor penilaian, yaitu keadaan
keuangan bank, kualitas aktiva produktif, dan tata cara serta kepatuhan bank
terhadap peraturan perundang-undangan perbankan. Selain itu, Paket
Kebijaksanaan 29 Mei 1993 (Pakmei) meregulasi lima ketentuan perbankan, yaitu
rasio kecukupan modal bank yakni delapan persen menurut ketentuan BIS (Bank
International Settlement), batas pemberian kredit (ketentuan 3L-legal, lending,
limit), penetapan plafon kredit usaha kecil (KUK), dan pembentukan cadangan,
serta penilaian tingkat kesehatan. Di samping itu, untuk mengantisipasi pesatnya
pertumbuhan perbankan masa itu, telah pula dikeluarkan kebijakan Paktri (Paket
Februari) 1991.

Pelanggaran pada umumnya terjadi dalam sistem operasional perbankan.


Ambil contoh kasus Bank Summa sebelum “divonis” pada tanggal 14 Desember
1992, melalui SK Menkue No. 1253/KMK.01/1992. Menkue J.B Sumarlin pada
waktu itu menegaskan bahwa pelanggaran bank bersangkutan dalah sebagai
berikut.

24
“Kesulitan struktural yang terjadi dalam PT Summa adalah diakibatkan oleh
mismanagement dalam pengelolahaannya sehinga terjadi kredit macet terutama
kepada nasabah grup pemegang saham mayoritas yang terkonsentrasipada usaha
property, dan menimbulkan kesulitan keuangan yang bersifat struktural dan
akhirnya bank mengalami kerugian”. (Keterangan pers dan pengumuman
penglikuidasian Bank Summa ilaksanakan pada Senin 14 Desember 1992 di
Jakarta, didampingi oleh Gubernur BI Adrianus Mooy, dan Mensesneg
Moerdiono).

Boleh dikatakan, Bank Summa merupakan korban pertama sejak


diberlakukannya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan dan
disahkan tertanggal 25 Maret 1992, sebagai pengganti dari undang-undang lama
No. 14 Tahun 1967 yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi. Undang-undang No.7
Tahun 1992 ini bertumpu pada pembinaan kesehatan bank untuk melindungi
kepentingan nasabah secara tidak langsung, yaitu pihak bank wajib menjaga
kesehatan bank yang berpegang kepada prinsip kehati-hatian (prudential) yang
sesuai dengan pasal 29 ayat 5 UU No.7 Tahun 1992. Bank dalam melakukan
transaksi seperti pemberian kredit maupun dalam melakukan investasi harus hati-
hati. Pihak bersangkutan tetap menjaga likuiditasnya karena berkaitan erat dengan
tingkat kesehatan bank. Kalau terjadi kesulitan likuiditas yang berkepanjangan,
maka akan menimbulkan masalah pada sovabilitas dan mengakibatkan bak
tersebut mengalami kebangkrutan pada akhirnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ruslan, Rusady, 2006. Praktek dan Solusi PR dalam Situasi Krisis dan Pemulihan
Citra. Bogor : Ghalia Indonesia

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/krisis-bank-century-dipicu-
masalah-likuiditas

https://belajarkomunikasi.wordpress.com/2008/11/09/manajemen-isu-krisis-
konflik-minggu-ke-2/

26

Anda mungkin juga menyukai