mudah. Namun apa yang terjadi adalah dengan kemampuan yang tidak setara dengan negara maju,
negara berkembang pun dituntut untuk melakukan apa yang dilakukan negara maju atas nama
pembangunan berkelanjutan. Model pembangunan berkelanjutan yang selama ini diekspansi merupakan
model-model Barat dimana untuk menerapkannya negara berkembang harus mengeluarkan dana yang
besar. Bahkan sebuah kritik juga mengatakan bahwa aturan yang ditetapkan institusi internasional hanya
merupakan bentuk imperialisme dan kolonialisme dari negara Barat (Baker, 2006:159), dengan konstruksi
bahwa negara berkembang membutuhkan negara maju dalam penerapannya.
Salah satu cara agar pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang pro negara
berkembang, dibutuhkan sebuah konseptualisasi ulang mengenai pembangunan berkelanjutan yang juga
sesuai dengan kebutuhan dan tujuan negara berkembang. Dalam konsep baru pembangunan
berkelanjutan perlu dijabarkan mengenai hubungan kekuatan struktural yang menjadi penyebab utama
krisis lingkungan serta batasan-batasan struktural dalam pembangunan berkelanjutan (Baker, 2006:160).
Selain itu perlu juga dibahas mengenai alternatif pembangunan yang mengubah sistem ekonomi politik
dengan meninggalkan logika kapital dan pasar seperti yang selama ini dijalankan. Argumen mengenai
perlunya transformasi struktur politik dan ekonomi ini sebenarnya juga sudah terdapat dalam formulasi
Brundtland. Laporan Brundtland menyebutkan bahwa persamaan global dalam hal level konsumsi tidak
akan terwujud (Baker, 2006:161), karena itu tanggung jawab pun tidak bisa disamaratakan. Negara
berkembang dan maju memiliki tugas tersendiri, menghapus tantangan pembangunan berkelanjutan di
negara berkembang dan mengurangi level konsumsi di negara maju.
Dengan konseptualisasi ulang ini, diharapkan akan terbentuk sebuah perbedaan tanggung jawab antara
negara negara berkembang dan maju. Contohnya saja mengenai polulasi yang merupakan hal yang
krusial. Negara maju hanya mendesak negara berkembang mengurangi mengontrol kelahiran, namun ini
bukan hal mudah karena berhubungan dengan budaya dan agama. Selain itu faktanya adalah meskipun
populasi di negara berkembang lebih tinggi, tetapi efek populasi pada lingkungan di negara maju lah yang
lebih tinggi (Baker, 2006:162). Kemudian dengan kesadaran bahwa negara berkembang lebih memiliki
banyak kekurangan, diharapkan juga negara maju mau memberikan bantuan serta memenuhi apa yang
menjadi permintaan negara berkembang secara objektif. Perbedaan juga perlu diberikan pada negara-
negara berkembang, karena negara berkembang pun tidak memiliki keadaan ekonomi, politik, dan
pembangunan yang sama.
Kunci keempat adalah hubungan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan pembangunan berkelanjutan
(Baker, 2006:176). Hal ini berkaitan dengan peran baru ilmuan dalam identifikasi dan merumusakan solusi
bagi masalah lingkungan. Ilmu pengetahuan yang digunakan ini tidak memihak pada negara berkembang
karena kurangnya kemampuan, salah satu contohnya adalah penggunaan hak kekayaan intelektual. Selain
itu ilmu pengetahuan pun sifatnya tidak mutlak dan memungkinkan adanya revisi sehingga membuka
kemungkinan bagi kesalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih buruk. Dan kunci
terakhir adalah rekonstruksi institusi keuangan pemerintah global (Baker, 2006:178), seperti IMF, Bank
Dunia, dan WTO sebagai agen yang penting dalam penerapan pembangunan berkelanjutan di negara
berkembang. Untuk itu dibentuk Global Environment Facility yang menyediakan mekanisme pendaan
bagi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Masalah yang muncul adalah kurangnya transparansi dan
ketidakpuasan negara berkembang akan pengaturan keuangan yang ada. Selain itu masalah juga muncul
dari syarat Bank Dunia untuk pinjaman yang tidak berujung sehingga menyebabkan eksploitasi yang tidak
terkendali. Meskipun Bank Dunia menyatakan telah berkomitmen pada proyek ramah lingkungan, namun
model yang diterapkan dikritik masih berdasarkan konsepsi Barat mengenai pembangunan yang hanya
fokus pada ekonomi.
Kesimpulan yang dapat diambil dari bahasan kali ini adalah bahwa penerapan pembangunan
berkelanjutan di negara berkembang bukanlah tugas yang mudah karena adanya perbedaan kemampuan
dengan negara maju. Untuk itu negara berkembang juga perlu dimintai sumbangan pandangan mengenai
pembangunan berkelanjutan agar tidak berujung pada kegiatan yang malah merugikannya. Perlu
rekonstruksi ulang mengenai pengertian pembangunan berkelanjutan serta peran dan tanggung jawab
negara yang tentu berbeda-beda. Lima kunci yang ditawarkan Baker untuk implementasi pembangunan
berkelanjutan di negara berkembang perlu diperhatikan agar juga memihak negara berkembang.
Menurut penulis, yang paling penting adalah pada kunci yang pertama yaitu menentuka agenda yang
relevan bagi kebutuhan negara berkembang karena inilah yang akan menjadi kunci bagi kegiatan lain.
Selain itu yang juga penting tentunya pengetahuan mengenai masalah struktur ekonomi politik
internasional yang selama ini didominasi institusi serta negara maju di belakangnya.
Referensi:
Baker, Susan. 2006. “Challenges in the Third World” dalam Sustainable Development. Routledge. hlm. 158-185
http://anita-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-48223-Tugas%20PDB-
Pembangunan%20Berkelanjutan%20di%20Negara%20Berkembang.html
Jikalau dulu Marx tidak habis-habisan mengkritik kaum kapitalis yang mengekspolitasi kaum
buruh, mungkin budaya kapitalis akan tumbuh subur di kebanyakan negara dunia ketiga ketika era
modernisasi ini menghunus pemikiran-pemikiran kritis yang sadar akan lingkungan.
Tidak ada maksud sama sekali untuk menyamakan orang yang peduli dengan lingkungan sebagai
pengikut Marx. Tetapi hal yang menarik yang perlu kita lihat adalah suatu fenomena yang tanpa
kita sadari secara langsung maupun tidak, kapitalisme telah menjadi bibit-bibit kecil yang
mengantarkan pemikiran manusia yang menjelma menjadi perilaku perusak. Perilaku orang-orang
berkuasa yang haus akan kekayaan dan kekuasaan akan terus mempertahankan apa yang dia punya
dengan cara apapun. Perilaku-perilaku seperti inilah yang menyebabkan terjadinya ekspolitasi
besar-besaran terhadap sumber daya alam yang merupakan faktor produksi secara ekonomi dan
kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan pada lingkungan. Pemikiran-pemikiran kritis
kemudian muncul sebagai usaha untuk menyelamatkan lingkungan.
A. Pendahuluan
“Kami punya banyak alasan untuk membatalkan kontrak-kontrak tambang itu. Seandainya
perusahaan-perusahaan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu lebih
murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup.”
Pernyataan tegas di atas disampaikan Presiden Kostarika pada bulan Juli 2002, dalam sebuah
deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan. Presiden Abel Pacheco, berani membuat keputusan
untuk melarang praktik pertambangan terbuka walaupun tengah menghadapi gelombang ancaman
dari pelaku pertambangan internasional yang akan menggugat pemerintah Kostarika ke pengadilan
arbitrase internasional. Namun, keteguhan akan sebuah masa depan bangsa yang lebih baik, tidak
menyurutkan langkah Presiden Abel Pacheco untuk kukuh menolak praktik pertambangan terbuka
di Kostarika.
Keunggulan dan kemenangan kapitalisme memang sangat mengesankan. Lebih dari dua abad
setelah terbitnya buku The Wealth of Nation karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem
ekonomi kapitalistik berhasil mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi lain. Pada akhir Perang
Dunia II, hanya dua kawasan bumi yang tidak komunis, otoriter, atau sosialis, yakni Amerika Utara
dan Swis. Kini selain kita menyaksikan negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak
ada satupun negara yang saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang
supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21.
Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin
banyak yang menggugat apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab
berbagai permasalahan nasional maupun global. Sejarah juga menunjukkan bahwa kapitalisme
bukanlah piranti paripurna yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering menyesatkan, terdapat
banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih dalam arus sungai kapitalisme. Masalah
seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial,
meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi
moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya
sistem ekonomi kapitalistik.
Sekurangnya ada dua argumentasi yang melandasi anggapan tentang masalah lingkungan hidup
tertanam di dalam kapitalisme. Pertama, dengan berbasis kompetisi, sebagai karakter utama sistem
ini adalah perlombaan produksi komoditas semurah mungkin, di mana sumber daya alam
disubordinasikan ke dalam logika ini. Tidak heran eksploitasi dan karenanya destruksi terhadap
alam (dan juga buruh) menjadi keharusan.
Karakter kedua dari sistem ini adalah keharusan akumulasi tanpa batas melalui ekspansi spasial
yang progresif. Korporasi-korporasi transnasional bergerak leluasa melintasi tembok-tembok
negara untuk mengonversi permukaan bumi untuk industri ekstraktif. Pada masa lalu, praktiknya
melalui kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir, berlangsung di bawah rubrik neoliberalisme.
Bukan saja sebagai class project’, tetapi juga sebagai ecology project , seperti disebut ahli geografi
Jasson W Moore (Ecology & the Accumulation of Capital), neoliberalisme mempercepat
perusakan lingkungan dengan dampak multi-skalar, dari lokal ke global.
China merupakan contoh terang. Pertumbuhan luar biasa setelah menerapkan ekonomi pasar,
dicapai berkat ongkos produksi rendah, melalui eksploitasi buruh murah yang melimpah ruah dan
mengabaikan lingkungan hidup. Sejumlah pengamat memprediksi, dengan terus mempertahankan
model pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan seperti sekarang, dalam waktu tidak lama China
bakal terperangkap krisis energi, kemerosotan drastis produksi bahan pangan, dan bencana alam
dahsyat.
C. Kesimpulan
1. Permasalahan- permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa masalah-
masalah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan- kesenjangan kontrol atas
sumber daya dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa;
2. Ekologi tidak dapat menjadi program politik itu sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari
analisa dan program yang lebih luas;
3. Perlu memehami kapitalisme, dan khususnya dinamika akumulasi modal, agar mengerti
mengapa kerusakan lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam dunia yang kapitalistik;
4. Oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta melemahnya negara-bangsa, maka perlu
mengkoordinasikan strategi secara internasional.
https://www.kompasiana.com/guruprofesional/memahami-kerusakan-lingkungan-di-negara-
berkembang-dengan-prespektif-teori-marx_54f83d95a33311d25d8b4834