25 Jul 2018
25 Jul 2018
11 Jan 2018
25 Jun 2015
Syahi atau pelantun syair dalam Tari Ratoh Jaroe
25 Jul 2018
25 Jul 2018
Sekilas semua pasti menyangka tarian ini adalah Tari Saman yang tersohor itu.
Namun, bagi mereka yang mengenalnya mungkin tau bahwa tarian ini adalah kembaran
yang tidak identik dari Tari Saman. Meski keduanya sama-sama berasal dari Nanggroe
Aceh Darussalam.
Tari Ratoh Jaroe ini merupakan perpaduan harmonis antara gerak badan dan tangan.
Formasi, kekompakan dan alunan musik rapa’i menjadi ciri khas tarian ini.
Tarian ini memiliki arti puji-pujian dan dzikir terhadap Allah SWT. Pasalnya, jika menilik asal
namanya, Ratoh berasal dari bahasa Arab yakni Rateb dan duek berasal dari bahasa Aceh
artinya duduk. Sehingga dapat diartikan bahwa tarian ini merupakan medium puji-pujian
terhadap Allah SWT yang didendangkan sambil duduk.
Yang mana biasanya tarian ini dibawakan pada acara-acara hari besar seperti pernikahan,
kenduri naik haji, malam terakhir Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha serta Maulid Nabi SAW.
Nah, sebaiknya untuk menghindari kekeliruan kita rasanya perlu mengenal perbedaan
kedua tarian asal Aceh ini (selain perbedaan gerak tari yang ditampilkan) : (Sumber
: Kebudayaan Kemendikbud)
– Tari Saman ditarikan oleh laki-laki dalam jumlah ganjil, sedangkan Tari Ratoh Jaroe
ditarikan oleh perempuan dalam jumlah genap.
– Tari Saman dikendalikan oleh seorang penangkat duduk di formasi tarian paling tengah,
sedangkan Tari Ratoh Jaroe dikendalikan oleh dua orang syahi (penyair yang duduk di luar
formasi penari).
– Tari Saman didendangkan lewat syair berbahasa Gayo, sedangkan Tari Ratoh Jaroe
bersyair bahasa Aceh.
– Tari Saman tidak pernah diiringi oleh musik tradisional apapun, sedangkan Tari Ratoh
Jaroe diiring oleh Rapai.
– Tari Saman berkostum pakaian tradisional Gayo yakni baju kantong bermotif kerawang
(pakaian dasar hitam dengan motif kuning, merah dan hijau) serta hiasan kepala
menggunakan bulang teleng dengan daun kepies atau daun pandan. Sementara Tari Ratoh
Jaroe menggunakan pakaian polos merah, kuning, hijau dan lainnya berpadu dengan
songket Aceh dengan penggunaan ikat kepala berwarna polos. (Ester Cahaya)
Tari Ratoh Duek
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search
Tari Ratoh Duek adalah tarian dari provinsi Aceh. Tarian ini dilakukan oleh 11 wanita dan 2
syahie . Didampingi irama Islam , unsur-unsur tari terlihat begitu harmonis. Tari ini dibawakan
dengan penuh semangat sebagai gambaran tentang interaksi kehidupan sehari-hari dan
kekompakan masyarakat Aceh . Hal ini tercermin dalam harmoni antara penari saat mereka
bertepuk tangan secara berirama . Tarian ini membutuhkan gerakan tari yang harmonis dan
nyanyian , mencerminkan keharmonisan masyarakat Aceh.
Tari Ratoh Duek sangat populer di luar provinsi Aceh, namun tarian ini di luar Aceh seringkali
dianggap sebagai Tari Saman[1]. Perbedaan tari Saman dengan Raeasi turunan dari Tari
Saman. Ketika tari Saman ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda
Warisan Manusia, maka sejak itu Tari Saman dilarang untuk dibawakan oleh wanita, tari Saman
hanya boleh dibawakan oleh para lelaki dengan menggunakan pakaian khas Gayo. Tarian
saman yang biasa dimainkan remaja putri di pesisir berubah menjadi ratoh duek. Dari ratoh duek
kemudian berubah lagi menjadi Tari Rateb Meuseukat[2]
Tari Ratoh Duek adalah tarian dari provinsi Aceh. Tari Ratoh Duek
tengah berkembang pesat di Jakarta. Umumnya, masyarakat Jakarta
mengenal dan menyebutnya dengan nama Tari Saman.
Hampir tidak ada perbedaan antara kedua jenis tari ini, tari Ratoh Duek
dilakukan oleh penari perempuan, sedangkan tari Saman dilakukan oleh
penari laki-laki.
Tarian ini dilakukan oleh 11 wanita dan 2 syahie. Didampingi irama musik
Islami, unsur-unsur tari terlihat begitu harmonis.
Tari ini dibawakan dengan penuh semangat sebagai gambaran tentang
interaksi kehidupan sehari-hari dan kekompakan masyarakat Aceh.
Hal ini tercermin dalam harmoni antara penari saat mereka bertepuk tangan
secara berirama. Tarian ini membutuhkan gerakan tari yang harmonis dan
nyanyian, mencerminkan keharmonisan masyarakat Aceh.
Tari Ratoh Duek sangat populer di luar provinsi Aceh, Ketika tari Saman
ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan
Manusia.
Sejak saat itu Tari Saman dilarang untuk dibawakan oleh wanita, tari Saman
hanya boleh dibawakan oleh para lelaki dengan menggunakan pakaian khas
Gayo.
Tarian saman yang biasa dimainkan remaja putri di pesisir berubah menjadi
ratoh duek. Dari ratoh duek kemudian berubah lagi menjadi Tari Rateb
Meuseukat.
Selain seudati, atau dikenal juga sebagai ratoh dong (seudati dengan cara berdiri) atau
pun saman, di Aceh terdapat juga suatu tarian lain yang dinamakan dengan ratoh
duek. Tari ratoh duek adalah seni tari yang dilakukan dalam posisi duduk dan
jongkok, ditambah juga dengan gerakan-gerakan lain yang khusus. Tari ratoh duek
juga tak kalah populernya di Aceh.
Ratoh duek adalah paduan gerak tari yang berirama dan syairnya dinyanyikan dengan
suara yang merdu antara sesama pemain (penari). Lagu dalam tarian ini terbagi
menjadi tiga, yaitu: lagu syaidan, lagu lhök, dan tunang.
Lagu syaidan merupakan bagian pertama dari ratoh duek yang mengisahkan suatu
peristiwa dan uraian-uraian. Di samping ungkapan kisah-kisah yang merdu dan
serempak untuk membentuk perpaduan irama lagu dan irama gerak yang sepadan,
babak ini diiringi juga dengan gerak-gerak tangan, lenggak-lenggok badan, dan
gelengan-gelengan kepala yang teratur, baik ke kiri maupun ke kanan, seluruhnya
diselaraskan dengan irama dari syair-syair yang diucapkan.
Lagu lhök. Babak ini menampilkan atraksi lhök taloe. Di sinilah keistimewaan dan ciri
khas tari ratoh duek. Sambil berlenggak-lenggok badan, ayunan-ayunan tangan dan
gelengan-gelengan kepala yang dilakukan secara bersimpuh duduk, para penari
memperlihatkan seni merangkai (lhök) tali sebagai salah satu perlengkapan tarian. Di
antara para pemainnya, tali dirangkai-rangkaikan, diselang-seling dari tangan yang
satu ke tangan yang lain, sehingga menyerupai bentuk rangka rumah, kapal, gunung,
layangan, dan aneka ragam bentuk-bentuk yang lain. Lhök taloe (rangkain tali) seperti
ini sangat rumit untuk menguraikannya kembali karena pilinan-pilinan tersembunyi
dan punca-punca tali yang dirahasiakan. Melepaskan kembali rangkaian-rangkaian tali
yang rumit dari untaiannya yang tersembunyi itu dilakukan sambil memainkan badan
dengan gerak tari, dan tali pun lepas sejengkal demi sejengkal, sehingga usai
seluruhnya. Apabila tali telah terhampar kembali seperti semula, babak kedua
dianggap selesai dan di sinilah terletak kekaguman para penonton yang melihat
kemahiran suatu kelompok ratoh duek.
Pada akhir pertunjukan, lazimnya para pemain yang sejak tadi berjumlah 50 sampai
bahkan mendekati ratusan orang, menghentikan semua gerak aktifnya dan tinggal
diam tanpa peranan apa pun lagi. Tinggallah seorang saja di antara mereka yang
menyelesaikan babakan terakhir dari pertunjukan ini. Ia dengan syair-syair yang
diiringi tarian mengucapkan dialog mengenai persoalan yang pelik-pelik.
Jika ditunangkan, maka kelompok yang dianggap juara dalam tunang (pertandingan)
adalah yang sanggup memecahkan soal-soal yang diajukan oleh kelompok lawannya
dan mampu menampilkan seni merangkai tali yang pelik-pelik. Jawaban-jawaban
yang diberikan dengan lagu yang merdu tambah menarik dan meningkatkan nilai
kemenangan mereka.
Di dalam pertunjukan ratoh duek, sering pula pemainnya memerankan suatu lakon
indah. Misalnya keahlian meliukkan tubuh sampai-sampai kepala merendah ke
belakang, memungut sesuatu benda dengan mata, mengambil uang ketip (sejenis mata
uang yang sangat tipis) dengan mulut, dan aneka ragam kemahiran yang lain. []