Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis atau TB (singkatan dari bacillus berbentuk tuberkel)


merupakan penyakit menular yang umum, dan dalam banyak kasus bersifat
mematikan. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan
infeksi TB aktif batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka
melalui udara. Infeksi TB umumnya bersifat asimtomatik dan laten.
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia
dalam hal jumlah penderita tuberkulosis (TB). Baru pada tahun ini turun ke
peringkat ke-4 dan masuk dalam milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun
Kementerian Kesehatan. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429
ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun
2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (sumber
WHO Global Tuberculosis Control 2010).
Pada Global Report WHO 2010, didapat data TB Indonesia, Total
seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah
kasus TB baru BTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215
adalah kasus TB Extra Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah
kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps).
Sementara itu, untuk keberhasilan pengobatan dari tahun 2003 sampai
tahun 2008 (dalam %), tahun 2003 (87%), tahun 2004 (90%), tahun 2005
sampai 2008 semuanya sama (91%).
Mengingat begitu banyaknya kasus dan tingkat keberhasilan
pengobatan yang masih kurang serta penyebaran yang begitu mudah pada
penyakit TB ini, maka sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang
penyakit TB ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Tuberkulosis?
2. Apa yang menyebabkan kasus tuberkulosis mudah dalam
perkembangannya dan relatif sulit dalam penanganan dan
penatalaksanaannya?
3. Bagaimana program pemerintah dalam penatalaksanaan tuberkulosis?
4. Bagaimana peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
individu, keluarga dan masyarakat tentang tuberkulosis?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar dapat memberikan


pengetahuan tentang tuberkulosis dan bagaimana cara penanganan
tuberkulosis serta bagaimana asuhan keperawatan individu, keluarga dan
masayarakat yang tepat dalam penanganan tuberkulosis.

D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan pada makalah ini adalah :
BAB I Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
dan Sistematika Penulisan
BAB II Tinjauan Teoritis
BAB III Tinjauan Kasus dan Pembahasan
BAB IV Penutup

Daftar Pustaka

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori TBC


1. Pengertian TBC
TBC adalah suatu infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosae (Robin,2009). TB Paru (tuberculosis) adalah
penyakit menular yang langsung disebabkan oleh kuman TB (Mycobaterium
tuberculosa). Sebagian besar kuman TBC ini menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya ( Depkes RI, 2002 ). Tuberkulosis (TB)
adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru, dapat
juga ditularkan kebagian tubuh yang lainnya (Brunner, 2002).
Jadi dapat disimpulkan bahwa TBC merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosae, yang menyerang
bagian jaringan paru juga bisa menyerang bagian tubuh yang lain seperti
tulang, kelenjar limfe, selaput otak, sendi, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan bagian tubuh lainnya akibat dari
penyebaran bakteri dari paru-paru ke organ lain.

2. Etiologi TBC
Menurut Crofton (2002) adapun penyebab dari seseorang terkena
TBC adalah sebagai berikut:
a. Basil Tuberkel (Mycobacterium tuberculosis) merupakan penyebab
utama TBC di dunia termasuk di dunia atau disebut juga mycobacterium
tuberculosis hominis ( basil Koch).
b. Mycobacterium africanum adalah penyebab TBC yang terdapat di
afrika. Perbedaan penting satu-satunya adalah bahwa basil ini sering
resisten terhadap tiasetazon, sehingga penderita yang menggunakan
tiasetazon akan mengalami TBC yang susah untuk disembuhkan
(Crofton, 2002).
c. Mycobacterium Bovis pada suatu ketika menyebabkan infeksi yang luas
pada ternak di Eropa dan Amerika. Infeksi sering kali ditularkan oleh

3
manusia lewat susu ternak yang mereka konsumsi, sehingga orang yang
meminum susu dari ternak tersebut, maka akan berisiko tertular penyakit
TBC.
d. Mikobakteria non-tuberkulosis. Penyakit ini disebabkan oleh basil
menjadi relatif lebih penting di Negara-negara maju, seperti di bagian
Amerika Serikat dan Australia. Dimana tuberculosis sudah berkurang
saat ini. Penyakit ini mungkin menyerang pada orang yang terinfeksi
HIV karena lemahnya sistem imunitasnya. Sering resisten terhadap
banyak obat-obatan sehingga susah disembuhkan.
e. Mikobakteria avium intracellulare, virulen kurang disbanding
micobakterium tuberkulosa serta jarang menyebabkan penyakit pada
individu yang kompeten sering ditemukan pada penderita Aids
(Robin,2009)

3. Klasifikasi TB Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak Depkes RI (2006)
mengklasifikasikan TB Paru dalam berbagai kelompok sebagai berikut:
a. Tuberculosis pada BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu
hasilnya BTA positif. Spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu hasilnya
BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberculosis
aktif.
b. Tuberculosis paru BTA negative
Pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu hasilnya BTA
negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis aktif. TBC paru
BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu batuk berat dan ringan. Batuk berat bila gambaran
foto rontgen dapat memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.
c. Tuberculosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjuar limfe,

4
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan
lain-lain. TBC esktra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan.
d. TBC ekstra paru ringan
Penyakit TBC yang menyerang di tempat selain paru yang berdampak
ringan terhadap manusia, misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis
eksudative unilateral, tulang (kecuali tulang belakang) karena di dalam
tulang belakang banyak terdapat serabut syaraf pusat yang
mempengaruhi otak, sendi dan kelenjar adrenal.
e. TBC esktra paru berat
Penyakit TBC yang menyerang bukan pada paru dan berdampak sangat
membahayakan karena menyerang organ vital, misalnya: meningitis,
millier, perikarditis, peluritis eksudative duplex, TBC tulang belakang,
TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.

4. Patofisiologi TBC
Individu yang rentan menghirup bakteri tuberkolusis dan menjadi
terinfeksi. Bakteri dipindahkan melalui jalan napas ke alveoli, tempat
dimana mereka berkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga
dipindahkan memlalui system limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya
(ginjal, tulang, korteks sereberi, dan daerah paru lainnya yaitu lobus atas
(Brunner, 2002).
Sistem imun tubuh berespon dengan mengeluarkan reaksi inflamasi.
Pagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit spesifik-
tuberkolusis menghancurkan basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, mengakibatkan
brokopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi dari 2 sampai 10 minggu
setelah pemajanan (Brunner, 2002).
Masa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan
gumpalan basil masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi mokrofag yang
membentuk dinding protektif, granulomas diubah menjadi massa fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri
dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini

5
dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar kolgenosa. Bakteri menjadi
dorman tanpa perkembangan penyakit aktif (Brunner, 2002).
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu akan mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau respon inadekuat dari respon sistem
imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktifitas
bakteri dorman. Dalam kasus ini tuberkel Ghon memecah, melepaskan
bahan seperti keju ke bawah bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di
udara, menyebabkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang
memecah menyembuh, membentuk menjadi jaringan parut paru yang
terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan tetrjadinya
brokopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel, dan selanjutnya
(Brunner, 2002).
Apabila proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan
lambat mengarah ke bawah paru–paru dan meluas ke lobus sebelahnya.
Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika
penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktifitas yang
diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi
mengalami penyakit aktif (Brunner, 2002).
Berdasarkan perjalanan penyakit, tuberculosis dibedakan menjadi :
a. Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang
belum pernah terpajan ( sehingga tidak pernah tersensitisasi). Sumber
organismenya dari eksogen, sekitar 5% dari mereka yang baru terinfeksi
kemudian memperlihatkan gejala penyakit. Tuberkulosis primer dimulai
dengan menghirup udara yang terkontaminasi hasil bentuk penderita
tuberculosis lesi atau tuberkel. Bakteri kemudian memperbanyak diri di
alveoli karena makrofag yang ada tidak mampu memusnahkan.
Kompleks Ghon merupakan lesi pertama tuberculosis primer, terdiri atas
granuloma tuberculosis di parenkim perifer paru berdiameter 1-2 mm,
sering di lobus bawah, dan pembesaran kelenjar getah bening mediastinal
yang terinfeksi. Nodul gohn yang menyembuh akan member gambaran
massa berbatas tegas dengan nekrosis ditengah , akhirnya berbentuk
fibrosis dan kalsifikasi. Gambaran mikroskopis kelenjar limfoid hiler ini

6
yang menampung infeksi ini sama seperti lesi di paru.Pada infeksi ini
tidak menunjukan gejala, lesi local terbatas dan sembuh kecuali pada
tuberculosis primer progresif.
b. Tuberkulosis sekunder terjadi akibat dari reaktivasi tuberculosis primer
paru maupun infeksi baru M tuberculosis pada seseorang yang telah
tersensitivasi sebelumnya oleh karena pernah menderita tuberculosis
primer sebelumnya. Jenis lesi kerusakan jaringan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan tuberculosis sekunder ialah:
1) Kavitas tuberculosis, kavitas berisi materi nekrosis kaseosa yang
banyak banyak mengandung bakteri tahan asam, berada di
puncaklobus paru.
2) Tuberculosis milier, yang terjadi sebagai hasil penyebaran hematogen.
3) Hemoptisis, terjdi akibat erosi arteri pulmonal kecil pada dinding
kavitas yang menyebabkan perdarahan.
4) Fistula bronkopleura, terjadi bila kavitas pada subpleura pecah ke
dalam rongga pleura.
5) Tuberculosis usus , karena tertelan materi tuberculosis.

5. Manifestasi Klinis TB Paru


Adapun gejala-gejala yang dapat ditimbulkan pada orang yang
terkena TB Paru menirut Crofton (2002) antara lain:
a. Gejala pernafasan: Batuk dan dahak, batuk berdarah, sakit dinding dada,
nafas pendek, wheezing lokal, dan sering flu.
b. Gejala Umum: Berat badan menurun, demam dan berkeringat, rasa lelah,
hilang nafsu makan.
c. Tanda-tanda fisik: Keadaan umum pasien TB Paru biasanya jelas
kelihatan sakit, sangat kurus, pucat dan tampak kemerahan. Demam yaitu
Suhu tinggi, mungkin tidak teratur. Nadi umumnya meningkat, jari-jari
tabuh. Pada dada biasanya krepitasi halus dibagian atas pada satu atau
kedua paru, terdengar saat pasien napas dalam. Perkusi pekak atau
pernafasan bronchial pada bagian atas kedua paru. Kadang-kadang

7
terdapat wheezing terlokalisir disebabkan oleh brokitis tuberculosis
(Crofton, 2002).
Tuberkulosis paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien
menunjukan demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan
berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, dan batuk menetap. Batuk
pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi berkembang ke arah
pembentukan sputum ke arah mukopurulen dengan hemoptisis.
Tuberkolusis dapat memiliki manifestasi atifikal pada lansia, seperti
perilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia dan
penurunan berat badan. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun
dalam keadaan dorman (Brunner, 2002).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Serologi
Mendiagnosis tuberkulosis yang berdasarkan pengenalan antibodi Ig
G serum terhadap antigen mikrobacterium tertentu dan menggunakan
teknik ELIZA (Enzim Linket Imunoserbent). Penerapan ini paling besar
kemungkinan pada anak dan pasien tuberkulosis ekstra pulmunal yaitu
pada kasus sputumnya tidak ada.
b. Pemeriksaan Radiologi
Saat ini pemeriksaan radiologi merupakan cara praktis untuk
menemukan lesi tuberkolusis. Luka lesi tuberkolusis biasanya di daerah
apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah),
tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah
hilus menyerupai tumor paru.
Awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia.
Gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan
batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
banyangan akan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal sebagai uberkuloma. Pada kavitas bayangan berupa cincin yang
mula-mula berdinding tipis, lama-lama menjadi sklerotik dan terlihat
menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris. Pada

8
klasifikasi bayangan tampak bercak-bercak padat dengan densitas
tinggi. Pada atelaksis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan
yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru(Zulkifli,2007).

7. Pemeriksaan Bakteriologi
a. Pemeriksaan Dahak
Spesimen dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor, pot ini harus selalu tersedia di Unit
pelayanan kesehatan. Diagnosa tubercolosis ditegakkan dengan
pemeriksaan spesimen dahak sewaktu pagi sewaktu (SPS). Spesimen
dahak sebaiknya dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yang berurutan
(Depkes RI, 2002).
Adapun waktu pelaksanaan pengumpulan dahak sebagai berikut
sewaktu yaitu Dahak dikumpulkan pada saat suspek TBC paru datang
berkunjung pertama kali pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua. Pagi yaitu dahak
dikumpulkan di rumah pada hari kedua, segera setelah bangun tidur pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Unit pelayanan
kesehatan. Sewaktu yaitu dahak dikumpulkan di Unit pelayanan
kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Depkes RI,
2002).
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA. Diagnosis tuberkolusis dapat ditegakkan. Kriteria BTA
sputum positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan tiga batang
kuman BTA pada satu sedian dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 mL sputum (Zulkifli, 2007).
b. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaaan ini kurang mendapatkan perhatian, karena
hasilnyakadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga
tidak spesifik. Pada saat tuberkolusis mulai aktif, akan didapatkan

9
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke
kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal
dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah perlahan turun
sampai normal.Hasil pemeriksaan darah didapatkan, anemia ringan
dengan gambaran normokrom dan normositer, gama globulin
meningkat, kadar natrium dan darah menurun (Zulkifli,2007).

8. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA Positif. Pada
waktu batuk atau bersin, penerita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dari
paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem sel-
limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian lainnya. Cara
batuk memegang peranan penting. Kalau batuk ditahan, hanya akan
dikeluarkan sedikit basil, apalagi kalau saat batuk penderita menutup mulut
dengan kertas tissue (Halim, 2000).
Faktor lain ialah cahaya matahari dan ventilasi. Karena basil TB
tidak tahan cahaya matahari, kemungkinan penularan di bawah terik matahari
sangat kecil. Juga mudah dimengerti bahwa ventilasi yang baik, dengan
adanya pertukaran udara dari dalam rumah dengan udara segar dari luar, akan
dapat juga mengurangi bahaya penularan bagi penghuni-penghuni rumah
(Halim, 2000).

9. Komplikasi TB Paru
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang keluar dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemerikasan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak

10
menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC paru ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara.
Tuberkolusis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut, yang dinarasikan sebagai berikut:
a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus,
Poncet’s arthropathy.
b. Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas yaitu Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkolusis (SOPT), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa
(ARDS) sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

B. Efek Samping Obat TBC, Penatalaksanaannya, Rehabilitasi dan


Preventif
Mikrobakteria yang terutama dapat menimbulkan penyakit pada
manusia ada tiga, yaitu:
 Mycoibacteria tuberculosis, penyebab tuberculosis
 Mycobacteria leprae, penyebab lepra
 Mikrobateria atipik, penyebab nfeksi mikrobakteria lainnya
Mikrobakteria merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda
dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul
resistensi bila terpajan dengan suatu obat. Umumnya antibiotik bekerja lebih
aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang
lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteria
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat
antimikobakteria baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri
lainnya.
Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan tantangan.
Faktor yang mempersulit pengobatan antara lain kurangnya daya tahan hospes
terhadap mikobakteria, kurangnya daya bakterisid obat yang ada, timbulnya
resistensi kuman terhadap obat, masalah efek samping obat.

11
Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya masalah AIDS yang
berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian tuberculosis. Obat yang
digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok, obat lini-
pertama dan obat lini ke-dua. Kelompok obat lini pertama, yaitu isoniazid,
rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid, memperlihatkan
efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar
pasien dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Namun kadang terpaksa
menggunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi
atau kontra indikasi pada pasien. Antituberkulosis lini-kedua adalah antibiotik
golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin,
etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisilat.

1. Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan
INH, fungsinya untuk menghambat pembelahan kuman tuberculosis, yakni
iprozianid, tetapi obat ini terlalu toksid untuk manusia. Isozianid secara
invitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KHM (Kadar
Hambat Minimum) sekitar 0,025-0,05 μg/ml pada kuman yang sedang
tumbuh aktif, dimana kuman akan membelah 2-3 kali sebelum dihambat
sama sekali. Mikroorganisme yang sedang melemah akan melakukan
pembelahan seperti biasa apabila kontaknya dengan obat dihentikan.
Isoniazid dapat menembus kedalam sel dengan mudah.
Mekanisme kerja INH belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa hipotesis diantaranya, efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,
dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat
biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel
mikrobakterium. INH menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan
jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari mikobakterium.
INH mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral.
Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. INH
mengalami asetilasi didalam hati, dan pada manusia kecepatan metabolisme
dipengaruhi oleh faktor genetik yang bermakna mempengaruhi kadar obat

12
dalam plasma dan masa paruhnya. Masa paruh pada keseluruhan populasi
antara 1-4 jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat hamper 70 menit,
sedangkan untuk asetilator lambat dengan waktu 2-5 jam. Masa paruh obat
ini dapat memanjang jika terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa
perbedaan kecepatan asetilasi tidak berpengaruh pada efektivitas atau
toksisitas isoniazid bila diberikan setiap hari. Tetapi jika pasien tergolong
asetilasi cepat dan mendapat INH seminggu sekali maka penyembuhannya
mungkin kurang baik.
Reaksi hipersensivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan
kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Reaksi
hematologik juga dapat terjadi seperti agranulusitosis, eosinofilia,
trombositopenia, dan anemia. Gejala arthritis juga dapat terjadi seperti sakit
pinggang, sakit sendi interfalang proksimal bilateral, artalgia pada lutut,
siku dan pergelangan.
Neuritis perifer, sering terjadi pada pasien dengan dosis 5 mg/kg BB/
hari. Profilaksis dengan pemberian piridoksin mencegah terjadinya neuritis
perifer dan juga berbagai gangguan saraf yang mungkin terjadi termasuk
akibat pengobatan yang berjangka sampai 2 tahun.
Perubahan neuropatologik yang berhubungan dengan efek samping
antara lain: menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria
dan pecahnya akson terminal. Pemberian piridoksin sangat bermanfaat
untuk mencegah perubahan tersebut. Neuropati lebih sering terjadi pada
pasien esetilator lambat, pasien dengan diabetes melitus , nutrisi buruk atau
anemia.
Isoniazid juga dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien
dengan riwayat kejang, dan juga dapat menyebabkan neuritis optik dengan
atropi. Gambaran lain dapat menyebabkan neurotoksisitas; kedut otot,
vertigo, ataksia, parestesia, stupor, dan ensefalopati toksit yang dapat
berakhir fatal. Kelainan mental juga dapat terjadi selama penggunaan obat
ini di antaranya euphoria, kurang daya ingat sementara, hilangnya
pengendalian diri, dan psikosis.

13
Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa
tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinnitus, dan retensi urin. Bila
pasien sebelumnya telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin,
pemberian INH dapat menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vit B6
dosis besar, akan menyebakan gambaran darah normal kembali. Isoniazid
masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua
tipe tuberkulosis. Efek samping dapat dicegah dengan pemberian peridoksin
dan pengawasan yang cermat pada pasien.

2. Rifampisin
Rifampisin adalah devirat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu
anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifampisin.
Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman Gram-positif dan
Gram-negatif. Rifampisin ini terhadap Gram-positif tidak sekuat penisilin
G; tetapi sedikit lebih kuat dari eritromisin, linkomisin, dan sefalotin.
Terhadap Gram-negatif kerjanya lebih lemah dari tetrasiklin, kloramfenikol,
kanamisin, dan kolistin. Rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan
isoniazid terhadap M.tuberkulosis, tetapi tidak bersifat aditif terhadap
etambutol.
Mekanisme kerja rifampisin sangat aktif terhadap sel yang sedang
tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari
mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan saat mulai
terbentuknya rantai dalam sintesis RNA.
Pemberian rifampisin pada per oral menghasilkan kadar puncak
dalam plasma setelah 2-4 jam. Pemberian asam para-amino salisilat dapat
memperlambat absorbsi rifampisin, sehingga kadar terapi rifampisin dalam
plasma tidak tercapai. Pemberian rifampisin beramaan dengan asam para
amino salisilat membutuhkan waktu jarak pemberian sekitar 8-12 jam.
Sekitar 75 % rifampisin terikat pada protein plasma, obat ini distribusi baik
ke berbagai jaringan termasuk kecairan otak. Luasnya distribusi ini terlihat
dari warna merah pada urin, tinja, sputum, airmata, dan keringat pasien.
Ekskresi melalui urin mencapai 30%, setengahnya merupakan rifampisin

14
utuh, dan obat ini juga dieliminasi lewat ASI. Dalam hal ini perawat harus
memberitahu akan hal pewarnaan ini, untuk menghindari pasien berhenti
sepihak dalam hal mengkonsumsi obat.
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Dengan
dosis normal, kurang dari 4 % pasien tuberculosis mengalami efek toksit
(FKUI,2007). Yang paling sering ialah ruam kulit, demam, mual dan
muntah. Pada pemberian beselang degan dosis lebih besar sering terjadi flu
like syndrome, nefritis intrestisial, nekrotis tubular akut, dan
trombositofenia. Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem syaraf
seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar
berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot. Reaksi
hipersensivitas dapat berupa demam, pruritus, urtikaria, berbagai macam
kelainan kulit, eosinofilia, dan rasa sakit pada mulut dan lidah.
Interaksi obat, rifamfisin merupakan pemacu metabolisme obat yang
cukup kuat, sehingga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan
kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama
rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk
pengobatan tuberculosis dan sering digunakan bersama isozianid untuk
terapi tuberculosis jangka pendek.

3. Etambutol
Hampir semua galur M.tuberculosis dan M. kansasii sensitif
terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Etambutol
menekan pertumbuhan kuman tuberculosis yang telah resisten terhadap
isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya
aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Etambutol memiliki manfaat yang utama dalam paduan terapi tuberculosis
ialah mencegah timbulnya resistensi kuman terhadap antituberkulosis lain.
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar
15 mg/kgBB menimbulkan efek toksit yang minimal, dan pada dosis ini
kurang dari 2% pasien menngalami efek samping yaitu penurunan

15
ketajaman penglihatan, ruam kulit dan dan demam. Efek samping lain ialah
pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening,
bingung, disorientasi, dan mungkin juga halusinasi, rasa kaku dan
kesemutan. Reaksi anafilaksis dan leukopenia jarang dijumpai. Efek
samping yang paling penting adalah gangguan penglihatan, biasanya
bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya tajam
penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya
lapang pandangan dan skotoma sentral maupun lateral.
Pasien harus diingatkan untuk melaporkan setiap perubahan
penglihatan selama penggunaan etambutol. Bila penglihatan kabur,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap. Bila pasien sudah menderita
kelainan mata sebelum menggunakan etambutol perlu dilakukan
pemeriksaan cermat sebelum terapi dengan etambutol dimulai. Terapi
etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50%
pasien. Hal ini disebabkan oleh penurunan eksresi asam urat melalui ginjal.

4. Pirazinamid
Pirazinamid di dalam tubuh didalam tubuh di hidrolisisoleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik
hanya pada media yang bersifat asam. Pirazinamid tidak larut dalam air.
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas keseluruh tubuh. Masa
paruh obat ini sekitar 10-16 jam.
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati.
Bila pirazinamid di berikan dengan dosis 3 g per hari, gejala penyakit hati
muncul pada sekitar 15 %, dengan ikterus pada 2-3% pasien dan kematian
akibat nekrosis hati pada beberapa kasus. Sebelum di berikan pengobatan
pirazinamid sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Jika jelas timbul
kerusakan hati terapi dengan pirazinamid harus dihentikan. Efek samping
lain ialah artralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, malaise, dan
demam.

16
5. Sterptomisin
Streptomisin merupakan anti tuberculosis pertama yang secara klinik
dinilai efektif. Namun sebagai obat tunggal bukan obat yang ideal.
Streptomisin bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman
tuberculosis.
Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang
terjadi sakit kepala sebentar atau malise. Parestesi dimuka terutama di
sekitar mulut serta rasa kesemutan di tangan tidak mempunyai arti klinis
yang penting. Reaksi hipersensivitas biasanya terjadi pada minggu-minggu
pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf cranial ke
VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan jangka waktu lama. Efek samping
lain ialah reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik dan demam
obat. Obat ini tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama dan tidak
melebihi 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk mencegah
ketulian bayi.

6. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaanya (Depkes, 2008)


a. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksananan


Tidak ada nafsu makan, Rifampisin Semua OAT
mual, sakit perut diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar INH Beri vitamin B6
di kaki (piridoxin) 100
mg/hari
Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu obat lain,
urine cukup dengan
penjelasan kepada
pasien

17
b. Efek Samping Berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksananan


Gatal dan kemerahan kulit Semua Jenis OAT *petunjuk dibawah
Tuli Streptomisin Streptomisin di
hentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin di
hentikan ganti
etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua Hentikan semua OAT
OAT sampai ikterus
menghilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua
muntah OAT OAT, segera lakukan
tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan rifampisin

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-


gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti
histamin sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal
tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malah
menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua
OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek
samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

7. Rehabilitasi Paru
Menurut ATS (American Thoracic Society) dan ERS (European
Respiratory Society), rehabilitasi paru adalah suatu intervensi yang
komprehensif, multi disiplin dan berdasarkan bukti ilmiah pada penderita
penyakit paru kronik yang terdapat gejala dan penurunan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Rehabilitasi paru bersifat individual dan di disain

18
untuk mengurangi gejala-gejala, meningkatkan kapasitas fungsional paru,
meningkatkan partisipasi di masyarakat, mengurangi biaya kesehatan
melalui pengendalian dan penghambatan manifestasi sistematik dari
penyakit.

8. Tujuan Rehabilitasi Paru


Tujuan rehabilitasi paru adalah mengurangi gejala-gejala dan
kecacatan, meningkatakan aktivitas fisik dan sosial, meningkatkan kualitas
hidup dari penderita paru kronik. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan
suatu program yang konprehensif dengan kerjasama team antar dokter,
perawat, fisioterapis, terapis okupasi, psikolog, nutrisionis dan pekerja
sosial.

9. Manfaat Program Rehahabilitasi Paru


Disibility dari penyakit paru kronik biasanya disebabkan oleh
morbiditas sekunder bukan dari penyakit parunya sendiri. Konsekuensi
dari suatu paru kronik antara lain menyebabkan gangguan fungsi otot-otot
perifer maupun otot pernafasan, gangguan jantung dan skeletal, gangguan
nutrisi serta psikososial. Mekanisme terjadinya kondisi tersebut adalah
adanya dekonditioning, malnutrisi, efek hipoksimia, hiperinflasi, otot
diafragma yang lelah, seringnya keluar masuk rumah sakit, efek obat-
obatan dan disfungsi sosial karena kecemasan depresi, ketergantungan dan
gangguan tidur.
Gejala-gejala yang membatasi aktivitas fisik yaitu adanya sesak
dan atau fatigue (kelelahan) yang disebabkan oleh hambatan ventilasi,
pertukaran udara yang abnormal, disfungsi otot perifer, disfungsi jantung
atau kombinasi dari keseluruhannya. Kecemasan dan motivasi yang
kurang juga berperan terhadap aktivitas fisik.
Program rehabilitasi berusaha untuk mengidenfikasi morbiditas
sekunder serta mengurangi gejala-gejala ini sehingga pasien dapat kembali
menuju fungsional yang optimal meskipun penyakit parunya bersifat
irreversibel (tidak pulih kembali).

19
Rehabilitasi paru merupakan penanganan yang sudah terbukti
secara ilmiah dan direkomendasikan untuk penyakit paru obstruktif
kronik. Penyakit paru kronik lain, yang juga dapat diberikan program ini
adalah interstitial diseases, cystic fibrosis, bronkiektasis, kelainan dinding
thorak serta pasien-pasien bedah seperti pada reseksi paru.

10. Komponen Rehabilitasi Paru


a. Edukasi
Edukasi merupakan proses rehabilitasi yang sangat penting. Pasien
diberikan pemahaman tentang penyakit dan pencegahan, terapi (obat-
obat) termasuk program rehabilitasi serta target yang akan dicapai
sehingga diharapkan pasien mematuhi program. Edukasi juga berisi
tentang teknik-teknik konservasi energi. Dengan begitu, diharapkan
pasien dapat menyederhanakan setiap aktivitasnya terutama yang
berhubungan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Seperti berjalan,
makan, mandi, berpakaian sampai dengan aktivitas pekerjaanya.
b. Latihan dan Terapi Fisik
Latihan dasar dari program rehabilitasi paru. Secara umum, latihan
terdiri dari latihan pernafasan dan latihan rekondisi. Jenis latihan
pernafasan tergantung dari gangguan paru obstruktif atau restriktif.
Selain itu, diajarkan juga teknik-teknik pernafasan untuk mendapatkan
pola nafas yang baik dan ventilasi yang maksimal.
c. Macam-macam Latihan Permafasan:
1) Latihan pernafasan diafragmatik untuk meningkatkan gerakan
pengembangan dinding dada.
2) Latihan pernafasan pursed lip untuk mengurangi kolaps paru,
dyspneu dan frekuensi pernafasan.
3) Latihan posisi tubuh tertentu untuk meningkatkan ventilasi dan
relaksasi, misalnya duduk dengan posisi tubuh mendatar ke depan
(eaning forward).
4) Latihan rekondisi dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kebugaran fisik terutama bagi penderita yang telah

20
mengalami gangguan kesegaran fisik. Latihan dapat berupa senam
ringan, latihan fleksibilitas (streching) dan kekuatan alat gerak atas
dan bawah, latihan kardio pulmonal atau latihan khusus untuk otot-
otot pernafasan, latihan berupa berjalan, sepeda statis atau treadmill.
Lama waktu setiap latihan adalah 30 menit dengan frekuensi latihan
minimal tiga kali seminggu.
5) Terapi Perilaku dan Psikososial
Gejala-gejala yang dialami pasien sekian lama akan menimbulkan
kecemasan atau depresi. Kondisi ini akan menambah berat keadaan
dan berpotensi untuk membuat pasien jatuh dalam keadaan terpuruk.
Pemeriksaan khusus psikologis diperlukan untuk menghilangkan
kecemasan atau depresi. Bentuk terapi yang diperlukan dapat berupa
edukasi atau latihan seperti latihan relaksasi untuk mengurangi
kecemasan maupun relaksasi otot-otot pernafasan agar beban kerja
berkurang dan tidak mudah terjadi stres. Penderita dapat lebih
percaya diri untuk melakukan aktivitas.

11. Pencegahan Penyakit TBC-paru.


Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat
dan petugas kesehatan.
a. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.
1) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu
batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
2) Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan
terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG.
3) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang
penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang
ditimbulkannya.
4) Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan
khusus TBC. Pengobatan rawat inap dirumah sakit hanya bagi
penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan

21
program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi
dan medis yang tidak memungkinkan pengobatan jalan.
5) Des-Infeksi, cuci tangan dan kebersihan rumah tangga perlu
perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (peralatan dapur,
makan, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari
yang cukup.
6) Periksa orang-orang yang dekat dengan penderita. Tindakan
pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat,
dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dan
tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7) Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh
anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila
cara-cara ini negatif, perlu diulangpemeriksaan tiap bulan selama 3
bulan, perlu penyelidikan intensif.
8) Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan
yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter
diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12
bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan
pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
b. Tindakan Pencegahan.
1) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit,
seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan
kesehatan.
2) Tersedia sarana-sarana kesehatan, pemeriksaan penderita, kontak
atau suspect, skrining lebih ketat, pemeriksaan dan pengobatan dini
bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
3) Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan
terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai
pencegahan.
4) BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan
perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun

22
kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat
pencegahan
5) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup
udara yang tercemar, debu bagi para pekerja tambang, pekerja semen
dan sebagainya.
6) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc paru.
7) Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok
beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan
penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas
foto rontgen.
8) Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil
pemeriksaan tuberculin test.

C. Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB)


1. Pendahuluan
Multi drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi
terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide
(INH) dan rifampisin. MDR TB berkembang selama pengobatan TB ketika
mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa alasan; Pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan
pengobatan, persediaan obat habis atau langka, atau pasien lupa minum obat.
Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan
pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TB menyebabkan terjadinya
kasus resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat
jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau
kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Directly observed
therapy (DOTS) merupakan sebuah strategi baru yang dipromosikan oleh
World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan keberhasilan terapi
TB dan mencegah terjadinya resistensi.

23
2. Definisi dan faktor yang mempengaruhi MDR TB
TB dengan resistensi terjadi dimana basil Micobacterium tuberculosis
resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya.
TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder.
Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah
mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada
pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu
resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif
obat (Mc Donald, et al. 2008).
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB
akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami
mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan
terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat
disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau
konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil
tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder
dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan
resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana
perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang
tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2008).
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu
(Aditama, et al. 2006):
a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada
daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah
dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti
lagi, demikian seterusnya.

24
d. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat
yang resisten saja.
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.

3. Mekanisme resistensi
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah
pada resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan
atau tanpa resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Leitch, 2008).
Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis
menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil
melalui mutasi terhadap target obat (Mc Donald, et al. 2008) atau oleh titrasi
dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara
primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat tabel).

Tabel Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium
tuberkulosis

25
4. Pencegahan terjadinya resistensi obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan
kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat
menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB.
Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen
yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah
yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal
penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap
kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih
kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan
ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap
pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah memberikan
terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan
kelangsungan program dan ketersediaan dana untuk penanggulangan TB
(DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi
sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman.

5. Strategi DOTSPlus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama
dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan
kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5
komponen kunci :
a. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi
drug resistance).
b. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan
dan uji kepekaan yang terjamin mutunya.
c. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan
pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
d. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu.

26
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam
penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih
banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR. Pelaksanaan
program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB
Nasional.

D. Program Nasional Penanggulangan TB


TB masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Beban
masalah TB meningkat disebabkan oleh :
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada Negara-
negara yang sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat
tidakterjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan
dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).
c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang
tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
4. Dampak pandemi HIV.
Pada awal 1990 pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO
mengembangkan program penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS ( Directly Observed Treatment Short-course) . Strategi ini telah
dibuktikan paling ekonomis dan efektif. Fokus utama DOTS adalah penemuan
dan penyembuhan pasien. Strategi ini akan memutuskan penularan TB melalui
penemuan dan penyembuhan penderita agar insiden TB di masyarakat dapat
diturunkan . strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu :

27
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopik yang terjamin mutunya
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan
4. Jaminan ketersediaan Obat Anti TB ( OAT ) yang bermutu
5. System pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kenerja program secara keseluruhan.
Strategi DOTS ini dikembangkan melalui kemitraan global dengan
memperluas strategi melalui :
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV , MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan riset
Kegiatan penanggulangan TB dengan strategi DOTS meliputi :
1. Tata laksana pasien TB
Penatalaksanaan TB DOTS meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang
dikelola dengan strategi DOTS. Tujuan pengobatannya adalah untuk
menurunkan kematian dan kesakitan serta mencagah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien.
2. Penemuan pasien TB
Strategi penemuan penderita :
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan
penyuluhan aktif., baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat.
b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama keluarga penderita
yang BTA positif dan pada keluarga yang menunjukan gajala yang sama,
harus diperiksa dahaknya
c. Penemuan secara aktif, dari rumah ke rumah

28
3. Diagnosis TB
Diagnosis TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 specimen dahak dalam
waktu 2 hari , dengan kunjungan yang berurutan yaitu Pagi-Sewaktu-Pagi
(SPS). Pada orang dewasa penemuan BTA melalui SPS merupakan
diagnosis utama, disamping pemeriksaan penunjang seperti foto thorak,
biakan, uji kepekaan. Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama
ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto
toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif
b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).

29
Prosedur diagnosis meliputi skema berikut :

4. Klasifikasi penyakit dan tipe pasien


a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
 Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak
termasuk pleura dan kelenjar pada hilus.
 Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang ,persendian , kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,
 Tuberkulosis paru BTA positif

30
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
 1spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
 1atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Tuberkulosis paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
 TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum
pasien buruk.
 TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
 TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis
peritonitis,pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

31
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
 Kasus Baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
 Kasus Kambuh (Relaps), adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap,didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).
 Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO), adalah pasien TB yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
 Kasus Gagal (Failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
 Kasus Pindahan (Transfer In), adalah pasien yang dipindahkan dari
UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
 Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.

5. Pengobatan TB
Prinsip pengobatan TB DOTS :
a. Obat anti TB ( OAT ) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori
pengobatan.OAT yang digunakan adalah OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT)
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat , dilakukan pengawasan
langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat ( PMO )
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap
lanjutan. Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

32
diawasi secara langsung . bila tahap intensif dilakukan secara tepat
biasanya resiko penularan menurun dalam waktu 2 minggu setelah
minum obat. Sebagian besar pasien BTA positif menjadi BTA negative
setelah minum obat selama 2 bulan . selanjutnya pasien masuk pada
tahap lanjutan , jenis obat lebih sedikit namun waktunya lebih lama.
Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten dan
mencegah kekambuhan.
d. Paduan obat dan peruntukannya terdiri dari :
 Kategori 1, diberikan untuk pasien baru :
 Pasien baru TB paru BTA positif
 Pasien TB paru BTA negatif foto thorak positif
 Pasien TB ektra paru
Dosis paduan OAT-KDT kategori 1
Berat Badan Tahap intensif setiap Tahap lanjutan 3 kali
hari selama 56 hari seminggu selama 16
RHZE minggu . RH
( 150/75/400/275) ( 150/150)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
Lebih 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2KDT
Ket : R = Rifampicin. H= Isoniazid/INH. Z= Pirazinamid . S=
Streptomycin. E= Ethambutol
 Kategori 2, diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien yang pernah putus obat ( default)
Berat Tahap intensif setiap hari . Tahap lanjutan 3 kali
Badan RHZE ( 150/75/400/275) + S seminggu RH
(150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama Selama 20 minggu

33
28 hari
30-37 kg 2 tab 4KDT + 2 tab 2 tab 2KDT + 2 tab E
500mg Strep inj 4KDT
38-54kg 3 tab 4KDT + 3 tab 3 tab 2KDT + 3 tab E
750mg Strep inj 4KDT
55-70kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4 tab 2KDT + 4 tab E
1000mg Strep inj 4KDT
> 71kg 5 tab 4KDT + 5 tab 5 tab 2KDT + 5 tab E
1000mg Strep inj 4KDT

 OAT sisipan, diberikan kepada pasien TB BTA positif yang pada


akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Diberikan selama
28 hari.
Berat Badan RHZE ( 150/75/400/275 ) setiap hari selama 28
hari
30 -37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
Lebih 71 kg 5 tablet 4KDT

6. Tata laksana TB anak


TB pada anak , batuk bukanlah gejala utama. Pengambilan dahak pada
anak juga sangat sulit. Unit kerja koordinasi respirasi PP IDAI telah
membuat pedoman nasional tuberculosis anak dengan menggunakan
system skor ( scoring system ), yaitu pembobotan terhadap gejala dan
tanda klinis yang dijumpai. Pedoman ini resmi digunakan program TB
nasional untuk diagnosis TB Anak

34
Diagnosis dengan sistem skoring :
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batu kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
a. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
b. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan
tabel badan badan.
c. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
d. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
e. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
f. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
g. Apabila ditemukan anak dengan TB, harus dicari sumber penularannya,
biasanya adalah orang dewasa yang menderita TB aktif yang kontak
erat dengan anak tersebut.Anak yang telah didiagnosa TB dapat
diberikan pengobatan selama 2 bulan jika ada perbaikan klinis terapi

35
diteruskan sampai 6 bulan . Jika tidak ada perbaikan klinis terapi tetap
diteruskan sambil mencari penyebabnya atau dirujuk untuk
pemeriksaan lebih lengkap. Panduan paduan OAT-KDT anak

Berat Badan 2 bulan setip hari RHZ 4 bulan setiap hari RH


( 75/50/150) ( 75/50)
5 - 9 kg 1 tablet 1 tablet
10 -14 kg 2 tablet 2 tablet
15 -19 kg 3 tablet 3 tablet
20 -32 kg 4 tablet 4 tablet

7. Pengawas menelan obat ( PMO )


Persyaratan PMO :
a. Seseorang yang dikenal , dipercaya dan disetujui pasien dan petugas
kesehatan.
b. Tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama pasien
Tugas PMO :
a. Mengawasi pasien menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan
b. Memberi dorongan agar pasien teratur berobat
c. Menginggatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien yang mempunyai
gejala yang sama untuk memeriksakan diri.
Informasi yang harus dipahami PMO :
a. TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TB, gejalayang mencurigakan dan cara pencegahan
d. Cara pemberian obat
e. Pentingnya pengawasan

36
f. Kemungkinan efek samping dan perlunya segera meminta pertolongan
ke unit pelayanan kesehatan.

8. Pengobatan TB pada keadaan khusus


a. Kondisi kehamilan
Menurut WHO OAT aman bagi ibu hamil, kecuali streptomycin yang
dapat menimbulkan permanent ototoxic dan dapat menembus barrier
placenta. Pemberian streptomycin dalam kehamilan dapat menimbulkan
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi
yang dilahirkan. OAT selain streptomycin harus tetap diberikan untuk
mencegah kemungkinan bayi tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayi
Semua jenis OAT aman bagi ibu menyusui. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi dapat terus disusui. Pengobatan pada ibu dengan
TB penting untuk mencegah penularan pada bayinya . dan bayi dapat
diberikan OAT jenis INH untuk pencegahan dengan dosis sesuai berat
badan bayi.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi jenis hormonal ( pil, suntik,
susuk kb ) sehingga efek obat jenis ripamfisin ini akan mengurangi
efektifitas kontrasepsi jenis hormonal. Pasien yang sedang dalam
pengobatan TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non- hormonal
seperti IUD , atau dianjurkan untuk memakai kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi
d. Pasien TB dengan HIV/AIDS
Prinsip pengobatan TB-HIV sama seperti TB lainnya bahkan
pengobatan TB harus didahulukan . Penggunaan streptomisin harus
memperhatikan universal precaution yang ketat. Jika pasien harus
mendapat terapi anti retro viral ( ARV ) , OAT tetap dilanjutkan.
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hevatitis akut atau ikterik,
ditunda sampai hevatitisnya sembuh. Jika pengobatan TB sangat

37
diperlukan maka jangan diberikan jenis obat streptomycin dan
ethambutol maksimal 3 bulan sampai hevatitisnya sembuh. Setelah
hevatitisnya sembuh pengobatan dapat dilajutkan dengan jenis
rifamfisin dan INH sampai 6 bulan.
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gagguan faal hati, dianjurkan untuk pemeriksaan
SGOT SGPT sebelum pengobatan OAT. Jika SGOT SGPT meningkat
lebih dari 3 kali OAT tidak boleh diberikan. Bila sedang dalam
pengobatan maka OAT dihentikan. Jika peningkatan kurang dari 3 kali
maka OAT diberikan dengan pengawasan ketat dan jenis OAT
pirazinamid tidak boleh diberikan.
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
OAT jenis ripamfisin, INH , dan pirazinamid dapat diberikan pada
pasien gangguan ginjal, karena obat-obat ini dapat dieksresikan melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
Jenis streptomisin dan ethambutol dieksresikan melalui ginjal sehingga
harus dihindari penggunaannya pada pasien gangguan ginjal.
h. Pasien TB dengan diabetes
Penggunaan streptomisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti
diabetic, sehingga dosis antidiabetik oral harus ditingkatkan. Dapat juga
digunakan insulin untuk mengontrol kadar gula darah sampai
pengobatan OAT selesai. Pemberian atambutol juga dapat memperberat
komplikasi retinopati diabetik
i. Pasien TB dengan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan untuk kondisi TB khusus seperti :
meningitis TB, TB milier dengan atau tampa meningitis, TB dengan
pleuritis eksudativa, TB dengan pericarditis konstriktif
j. Indikasi operasi
Indikasi reseksi paru dilakukan pada : pasien TB dengan batuk darah
yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara konservatif, pasien TB
dengan fistula bronkopleura dan empisema yang tidak dapat diatasi
dengan cara konservatif, pasien MDR-TB dengan kelainan paru yang

38
terlokalisir, pasien TB ekstra paru ( missal TB tulang ) dengan
komplikasi kelainan neurologik.

9. Kemitraan dalam penanggulangan TB


Kemitraan program penanggulangan TB adalah suatu upaya untuk
melibatkan berbagai sektor, baik pemerintah , swasta, maupun organisasi
masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh : Beban maslah TB sangat tinggi,
keterbatasan sektor pemerintah, potensi untuk melibatkan sektor lain selain
pemerintah , keberlanjutan program penanggulangan TB dan lainnya.
Tujuan kemitraan adalah untuk percepatan penanggulangan TB secara
efektif , efisien dan berkesinambungan. Untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam program penanggulangan TB maka ditetapkan program
advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial. Melalui strategi advokasi-
komunikasi- dan mobilisasi massa , dukungan masyarakat diharapkan
termasuk dalam perubahan kebijakan , mengkoordinasi intervensi yang
terkoordinasi yang diarahkan untuk menempatkan program TB sebagai
prioritas dalam agenda politik dan masyarakat. Dengan demikian
komitmen nasional dan internasional penanggulangan TB dapat tercapai.

10. Penelitian TB
Upaya penelitian terhadap program TB adalah satu upaya
pemerintah untuk mencapai target nasional dan internasional dalam
penanggulangan TB. Penelitian untuk program TB dilakukan mulai dari
perencanaan kegiatan sampai pelaksanaan kegiatan. Tujuan penelitian
yang difasilitasi oleh pemerintah untuk program TB adalah untuk
memberikan informasi yang akan digunakan oleh pengelola program untuk
meningkatkan kinerja program.

11. International Standard For Tuberculosis Care (ISTC)


Penanggulangan TB nasional dengan strategi DOTS berpedoman
pada standar internasional penanganan tuberculosis (INTERNATIONAL

39
STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC) yang terdiri dari 17
standar yaitu :
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS
STANDARD 1
•Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang
tidak jelas penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis.
•Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk diagnosis adalah berat
badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi
buruk.

STANDARD 2
•Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan
dahak) yang diduga mengalami TB Paru harus menjalani pemeriksaan
dahak mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin minimal
satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

STANDARD 3
•Pada semua pasien (dewasa, remaja, anak) yang diduga mengalami TB
Ekstra Paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil
untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya,
dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.
•Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada
tidaknya TB Paru dan TB Milier. Pemeriksaan dahak perlu dilakukan, bila
mungkin juga pada anak.

STANDARD 4
•Semua orang dengan temuan foto toraks diduga TB seharusnya menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

STANDARD 5
•Diagnosis TB Paru sediaan apus dahak Negatif harus didasarkan kriteria
berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk

40
minimal 1 kali dahak pagi hari) ; temuan foto toraks sesuai TB dan Tidak
Ada Respons terhadap antibiotika spektrum luas (Fluorokuinolon harus
dihindari karena aktif terhadap M. TB complex sehingga dapat
menyebabkan perbaikan sesaat pada pasien TB.
•Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan.
Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus
disegerakan.

STANDARD 6
•Diagnosis TB Intratoraks (paru, pleura dan KBG hilus atau mediastinum)
pada Anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya
didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai TB dan paparan pada
kasus TB menular atau bukti infeksi TB (uji kulit tuberkulis positif atau
interferron gamma release assay).
•Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya
diambil untuk
biakan (dengan cara batuk, bilas lambung atau induksi dahak).
•(ADD) Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis TB intratoraks pada
anak didasarkan atas pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti
infeksi TB (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release
assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.

STANDARD UNTUK PENGOBATAN


STANDARD 7
•Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengembang tanggung jawab
kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini
praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi
juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta
dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu,
penyelenggara kesehatan akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada
paduan sampai pengobatan selesai

41
STANDARD 8
•Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara
internasional menggunakan obat yang bioavailabilitinya telah diketahui.
•Fase awal harus terdiri dari isoniazid, rifampisin, piranzinamin, dan
etambutol.
•Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin
diberikan selama 4 bulan.
•Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif yang
pada fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat
dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh,
terutama untuk pasien yang terinfeksi HIV.
•Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi
internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat
(RH), 3 obat (RHZ), dan 4 obat (RHZE) sangat direkomendasikan
terutama jika menelan obat tidak diawasi.
•(ADD) Etambutol boleh dihilangkan pada fase awal pengobatan pasien
dewasa dan anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak mengalami TB
paru luas atau penyakit ekstraparu yang berat, serta diketahui HIV negatif
•(ADD) Secara umum terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada
keadaan tertentu (meningitis TB, TB milier dan TB berat lainnya) terapi
TB diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih
lengkap sesuai dengan derajat penyakitnya.

STANDARD 9
•Untuk membina dan menilai kepatuhan pengobatan, suatu pendekatan
pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien, dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara
kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien.
•Pengawasan dan dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan
spesifik untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam

42
intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia,
termasuk konseling dan penyuluhan pasien.
•Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah
penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap
paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini
seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua
belah pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan.
•Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat
(directly observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat
diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan

STANDARD 10
•Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi ; penilaian
terbaik pada pasien TB adalah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (2
spesimen) minimal pada waktu fase awal pengobatan selesai (2 bulan),
pada lima bulan, dan pada akhir pengobatan.
•Pasien dengan sediaan apus dahak positif pada pengobatan bulan ke5
harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus dimodifikasi
secara tepat (std.14dan 15).
•Pada pasien TB ekstraparu dan TB anak, respons pengobatan terbaik
dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan
dan dapat menyesatkan.
•(ADD) Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau
TB paru BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks.

STANDARD 11
•Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

STANDARD 12
•Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi (> 5 % penduduk) pada populasi
umum dan daerah dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV

43
muncul bersamaan, konseling dan uji HIV diindikasikan bagi Semua
pasien TB sebagai bagian penatalaksanaan rutin.
•Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah, konseling dan uji
HIV diindikasikan bagi pasien TB dengan gejala dan/atau tanda kondisi
yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB yang mempunyai
riwayat risiko tinggi terpajan HIV.

STANDARD 13
•Semua pasien dengan TB dgn infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral (ARV) diberikan
selama masa pengobatan TB.
•Perencanaan yang tepat untuk mengakses ARV seharusnya dibuat untuk
pasien yang memenuhi indikasi.
•Mengingat kompleksnya penggunaan serentak OAT dan ATV, konsultasi
dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum mulai
pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan TB, tanpa memperhatikan
mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga pelaksanaan
pengobatan TB tidak boleh ditunda.
•Pasien TB dengan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol
sebagai pencegahan infeksi lainnya.

STANDARD 14
•Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
OAT terdahulu, paparan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan
prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada
semua pasien.
•Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau
kemungkinan akan resistensi obat.
•Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji
sensitifiti obat terhadap RHE seharusnya dilaksanakan segera.

STANDARD 15

44
•Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung OAT
lini kedua. Paling tidak harus digunakan 4 obat yang masih efektif dan
pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.
•Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
•Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam
pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan.

STANDARD UNTUK TANGGUNG JAWAB KESEHATAN


MASYARAKAT
STANDARD 16
•Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya memastikan
bahwa semua orang (khususnya anak balita dan orang terinfeksi HIV)
yang mempunyai kontak erat dengan pasien TB menular seharusnya
dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
•Anak balita dan orang terinfeksi HIV yang telah terkontak dengan kasus
menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten M. TB maupun TB
aktif.

STANDARD 17
•Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus TB
baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor
dinas kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan
yang berlaku.
•Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh
Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

45
E. Asuhan Keperawatan dengan Tuberculosis
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien ( Doengoes, Marilynn E : 2000 ) adalah
sebagai berikut:
a. Riwayat perjalanan penyakit
1) Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas
pendek), demam, menggigil.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak
(tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam
subfebris (40 -410C) hilang timbul.
2) Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat
badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak
sub kutan.
3) Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum
hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan
kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks
paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural),
sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.),
perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
4) Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah,
nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
timbul pleuritis.
5) Integritas ego

46
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak
berdaya/tak ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.
6) Keamanan
Subyektif: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker.
Obyektif: demam rendah atau sakit panas akut.
7) Interaksi Sosial
Subyektif: Perasaan isolasi/ penolakan karena penyakit menular,
perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas
fisik untuk melaksanakan peran.
b. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
1) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.
2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh.
3) Pernah berobat tetapi tidak teratur.
4) Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.
5) Daya tahan tubuh yang menurun.
6) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.
c. Riwayat Pengobatan Sebelumnya:
1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.
2) Jenis, warna, dosis obat yang diminum.
3) Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan
penyakitnya.
4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
d. Riwayat Sosial Ekonomi:
1) Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah
penghasilan.
2) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi
dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang
marnpu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk
sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah

47
tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus
harapan.
e. Faktor Pendukung:
1) Riwayat lingkungan
2) Pola hidup.
Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur,
kebersihan diri.
3) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
f. Pemeriksaan Diagnostik:
1) Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir
penyakit.
2) Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm
terjadi 48-72 jam).
3) Foto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini
tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak
jelas; Pada kavitas bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak
bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
4) Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru
karena TB paru.
5) Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
6) Spirometri: penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tak efektif b.d
1) adanya secret
2) Kelemahan , upaya batuk buruk
3) Edema tracheal
Kriteria Evaluasi : Pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat
b. Resiko tinggi / gangguan pertukaran gas b.d
1) Penurunan permukaan efektif paru , atelektasis

48
2) Kerusakan membran alveolar – kapiler
3) Sekret kental , tebal
4) Edema bronchial
Kriteria Evaluasi : Pasien menunjukkan perbaikan venilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan
bebas gejala distress pernapasan
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan B.d
1) Kelemahan
2) Sering batuk / produksi sputum
3) Anorexia
4) Ketidakcukupan sumber keuangan
Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan BB, menunjukkan
perubahan perilaku / pola hidup untuk meningkatkan /
mempertahankan BB yang tepat
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
B.d:
1) Keterbatasan kognitif
2) Tak akurat/lengkap informasi yang ada salah interpretasi informasi
Kriteria hasil : Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan
pengobatan serta melakukan perubahan pola hidup dan berpartispasi
dalam program pengobatan
e. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivasi ulang ) B.d
1) Pertahanan primer tak adekuat , penurunan kerja silia
2) Kerusakan jaringan
3) Penurunan ketahanan
4) Malnutrisi
5) Terpapar lingkungan
6) Kurang pengetahuan untuk menghindari pemaparan patogen
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan pemahaman penyebab / faktor resiko individu
 Mengidentifkasi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi

49
 Menunjukkan teknik , perubahan pola hidup untuk peningkatan
lingkungan yang aman

3. Perencanaan Keperawatan
Dx 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental
atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema
trakeal/faringeal.
a. Kaji ulang fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama,
kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi
akumulasi secret/ ketidakmampuan membersihkan jalan napas
sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat
karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat
kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi
/intervensi lanjut .
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif
dan latihan napas dalam.
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka
area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah
dikeluarkan.
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
Rasional : Mencegah obstruksi /aspirasi. Suction dilakukan bila
pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali
kontraindikasi.
Rasional : Membantu mengencerkan secret sehingga mudah
dikeluarkan.
f. Lembabkan udara / oksigen inspirasi.
Rasonal : Mencegah pengeringan membran mukosa.
Kolaborasi:

50
g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai
indikasi.
Rasional : Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen
trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang
luas.

Dx 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan


permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret
yang kental, edema bronchial.
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya
respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
Rasional : Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya
jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang
meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya
fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan
perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
Rasional : Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ
vital dan jaringan.
c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir
disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan
parenkim.
Rasional : Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah
kolapsnya jalan napas.
d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
Rasional : Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
e. Monitor GDA.
Rasional : Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya
PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau
perubahan terapi.
f. Kolaborasi: Berikan oksigen sesuai indikasi.

51
Rasional : Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder
hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
Dx.3. Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea,
anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan,
integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus,
riwayat mual/rnuntah atau diare.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan
intervensi yang tepat
b. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Rasional : Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik,
meningkatkan intake diet pasien.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
Rasional : Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi
Buang Air Besar (BAB).
Rasional : Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi
pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
e. Anjurkan bedrest.
Rasional : Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi
peningkatan metabolik.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Rasional : Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang
digunakan yang dapat merangsang muntah.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi
gaster.
Kolaborasi :
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.

52
Rasional : Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi
adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
i. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Rasional : Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan
program terapi.

Dx. 4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan


berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah,
informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya
pengetahuan/kognitif
a. Kaji ulang kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan,
tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media,
orang dipercaya.
Rasional : Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan
kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
b. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal
minum obat.
Rasional : Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
c. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya
terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi
obat Tuberkulosis dengan obat lain.
Rasional : Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan
mencegah putus obat.
d. Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi,
gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
Rasional : Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu
menjalani terapi.
e. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Rasional : Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya
hepatitis
f. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.

53
Rasional : Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu
melihat warna hijau.
g. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap
penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan,
pengecatan.
Rasional : Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu
fungsi paru/bronkus.
h. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Rasional : Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/
kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema,
pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis,
hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural,
Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.

Dx.5. Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan


dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret,
malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang informasi tentang
infeksi kuman.
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi
melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem
limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa,
ciuman atau menyanyi.
Rasional : Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi
yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota
keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Rasional : Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran infeksi.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat
penampungan yang tertutup jika batuk.
Rasional : Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.

54
Rasional : Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e. Monitor temperatur.
Rasional : Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang
Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass
intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya
diabetes melitus, kanker.
Rasional : Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien
untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan
yang lebih buruk.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional : Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah
permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran
infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
Kolaborasi:
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
Rasional : INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer
dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek
INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan
pertama.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik
(PAS), sikloserin, streptomisin.
Rasional : Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah
resisten
j. Monitor sputum BTA.
Rasional : Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon
pasien terhadap terapi

4. Evaluasi
Dx 1: Kebersihan jalan napas efektif, dengan kriteria evaluasi:
 Mempertahankan jalan napas pasien.
 Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

55
 Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
 Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
 Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan
tepat.
Dx 2: Pertukaran gas efektif, dengan kriteria evaluasi:
 Melaporkan tidak terjadi dispnea.
 Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal.
 Bebas dari gejala distress pernapasan.
Dx 3: Kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria evaluasi:
 Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai
laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
 Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
mempertahankan berat badan yang tepat.
DX 4 : Tingkat pengetahuan pasien meningkat, dengan kriteria evaluasi:
 Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan
kebutuhan pengobatan.
 Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki
kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang
luberkulosis paru.
 Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
 Menerima perawatan kesehatan adekuat.
DX 5 : Tidak terjadi penyebaran/ aktivitas ulang infeksi, dengan kriteria
evaluasi:
 Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi.
 Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.

56
F. Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Tuberculosis
Depkes RI ( 1986) keperawatan masyarakat adalah suatu upaya
pelayanan keperawatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan oleh perawat dengan mengikut sertakan team
kesehatan lainnya dan masyarakat untuk memperoleh tingkat kesehatan yang
lebih tinggi dari individu,keluarga dan masyarakat (Mubarak,2009:2)
Sasaran keperawatan komunitas adalah seluruh masyarakat termasuk
individu,keluarga,dan kelompok baik yang sehat maupun yang sakit khususnya
mereka yang beresiko tinggi mengalami masalah kesehatan dalam masyarakat
sebagai individu, keluarga, kelompok khusus (seperti ibu hamil, klien dengan
penyakit menular), dan kelompok yang mempunyai resiko tinggi terserang
penyakit (kelompok penyalahgunaan obat dan narkotika dan wanita tuna
susila(WTS).
Pemberdayaan massayarakat di bidang kesehatan merupakan sasaran
utama promosi kesehatan. Menurut WHO, terdapat tiga strategi pokok untuk
dapat mewujudkan promosi kesehatan yang efektif yaitu advokasi, dukungan
social, dan pemberdayaan masyarakat.
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran
masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. (Friedman 1998).
Adapun fungsi keluarga ialah: fungsi afektif, fungsi Sosialisasi dan Tempat
bersosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi perawatan /
pemeliharaan kesehatan.
Tugas keluarga di bidang Kesehatan dikaitkan dengan kemampuan
keluarga dalam melaksanakan 5 tugas keluarga di bidang kesehatan yaitu :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga
b. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga

57
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi dengan cara
sistematis, diklasifikasi dianalisa artinya. Pengumpulan data dapat dilakukan
dengan cara wawancara, pengamatan, studi dokumentasi (melihat KMS, kaetu
keluarga) dan pemeriksaan fisik. Data yang dikumpulkan meliputi:
a. Identitas keluarga, yang dikaji adalah umur, pekerjaan dan tempat tinggal.
Yang beresiko menjadi penderita tuberculosis adalah: individu tanpa perawatan
kesehatan yang adekuat (tuna wisma,tahanan), dibawah umur 15 tahun dan
dewasa muda antara 15-44 tahun, tinggal ditempat kumuh dan perumahan di
bawah standart dan pekerjaan.
b. Latar belakang budaya atau kebiasaan keluarga
Kebiasaan makan
Pada penderita tuberculosis mengalami nafsu makan menurun bila terjadi terus
menerus akan menyebabkan penderita menjadi lemah. Bagi penderita
tuberculosis dianjurkan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP)
Pemanfaatkan fasilitas kesehatan
Kemampuan keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sangat
berpengaruh dalam perawatan tuberculosis baik untuk mendapatkan informasi
maupun pengobatan. Beberapa tempat yang memberikan pelayanan kesehatan
bagi tuberculosis adalah Puskesmas, BP4, Rumah Sakit dan Dokter pratek swasta
(Depkes RI, 2002).
Status Sosial Ekonomi
Pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan keluarga
dalam mengatasi masalah dalam keluarga (Effendy, 1998). Sebaliknya dengan
tingkat pendidikan tinggi keluarga akan mampu mengenal masalah dan mampu
mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah.
Pekerjaan dan Penghasilan
Pekerjaan dan penghasilan merupakan hal yang sangat berkaitan. Penghasilan
keluarga akan menentukan kemampuan mengatasi masalah kesehatan yang ada.
Kemampuan menyediakan perumahan yang sehat, kemampuan pengobatan
anggota keluarga yang sakit dan kemampuan menyediakan makanan dengan Gizi
yang seimbang.

58
Aktivitas
Selain kebutuhan makanan, kebutuhan istirahat juga harus diperhatikan. Bagi
penderita tuberculosis dianjurkan istirahat minimal 8 jam perhari (Depkes RI,
2002).
Tingkat perkembangan dan riwayat keluarga
Tingkat perkembangan pada tahap pembentukan keluarga akan didapati masalah
dengan social ekonomi yang rendah karena harus belajar menyesuaikan dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Keluarga baru belajar memecahkan masalah.
Dengan keadaan tersebut berpengaruh pada tingkat kesehatan keluarga. Social
ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan masalah kesehatan
yang mereka hadapi disebabkan karena ketidak mampuan dan ketidak tahuan
dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi (Effendy,1998). Tidak adanya
riwayat keluarga yang mempunyai masalah kesehatan tidak berpengaruh pada
status kesehatan keluarga.

c. Data lingkungan
1. Karakteristik rumah
Keadaan rumah yang sempit, ventilasi kurang, udara yang lembab termasuk
rumah dengan kondisi di bawah standart kesehatan. Salah satu factor yang bisa
menyebabkan kuman tuberculosis bertahan hidup adalah kondisi udara yang
lembab (Depkes RI, 2002).
a) Karakteristik lingkungan
Lingkungan rumah yang bersih, pembuangan sampah dan pembuangan limbah
yang benar dapat mengurangi penularan TBC dan menghambat pertumbuhan
bakteri tuberkulosa. TBC sangat erat berhubungan dengan kondisi lingkungan
yang kumuh .
b) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Kuman tuberculosis dapat menular dari ke orang melalui udara. Semakin sering
kontak langsung dengan penderita beresiko sekali tertular TBC. Terutama yang
merawat di rumah berkesempatan terkena TBC dari pada yang berada di tempat
umum

59
2. Struktur keluarga
a) Pola komunikasi
Bila dalam keluarga komunikasi yang terjadi secara terbuka dan dua arah akan
sangat mendukung bagi penderita TBC. Saling mengingatkan dan memotivasi
penderita untuk terus melakukan pengobatan dapat mempercepat proses
penyembuhan.
b) Struktur peran keluarga
Bila anggota keluarga dapat menerima dan melaksanakan perannya dengan baik
akan membuat anggota keluarga puas dan menghindari terjadinya konflik dalam
keluarga dan masyarakat.
c) Struktur kekuatan keluarga
Kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang
lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan. Penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan secara musyawarah akan dapat menciptakan
suasana kekeluargaan. Akan timbul perasaan dihargai dalam keluarga.
d) Nilai atau norma keluarga
Perilaku individu masing-masing anggota keluarga yang ditampakan merupakan
gambaran dari nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga.(Suprajitno,.2004: 7)

3. Tugas Keluarga (Friedman, 1998)


Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena
tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang
seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Ketidak sanggupan
keluarga dalam mengenal masalah kesehatan pada keluarga salah satunya
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Kurangnya pengetahuan keluarga
tentang pengertian, tanda dan gejala, akibat, pancegahan, perawatan dan
pengobatan TBC.
Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang
tepat sesuai dengan keadaan keluarga,dengan pertimbangkan siapa diantara
keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan menentukan tindakan

60
.keluarga.Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar
masalah kesehatan dapat dikurangi bahkan teratasi. Ketidak sanggupan keluarga
mengambil keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat, disebabkan karena
keluarga tidak memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah serta tidak
merasakan menonjolnya masalah.
Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
Keluarga dapat mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga
memiliki keterbatasan. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga
yang sakit dikarenakan tidak mengetahui cara perawatan pada penyakitnya. Jika
demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu
memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan dapat dilakukan di institusi
pelayanan kesehatan.
Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
Pemeliharaan lingkungan yang baik akan meningkatkan kesehatan keluarga dan
membantu penyembuhan. Ketidakmampuan keluarga dalam memodifikasi
lingkungan bisa di sebabkan karena terbatasnya sumber-sumber keluarga
diantaranya keuangan, kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga
Kemampuan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan akan
membantu anggota keluarga yang sakit memperoleh pertolongan dan mendapat
perawatan segera agar masalah teratasi.
Berdasarkan kasus pemicu, didapatkan data:
Masalah Masalah
No Data
Kesehatan Keperawatan
1. - - Klien seorang ibu Resiko 1. KMK mengenal
rumah tangga yang penularan masalah resiko terjadinya
tinggal bersama keluarga penyakit TB penularan TB Paru b/d
besarnya di daerah padat Paru. kurangnya pengetahuan
penduduk keluarga tentang cara
- Keluarga kurang penularan dan
mengetahui tentang cara pencegahannya.
penularan dan

61
pencegahan penyakit TB
Paru.
-

2. - Pernah menderita TB Klien menderita1. KMK mengenal


paru  1 tahun lalu, tetapi TB Paru tetapi masalah TB paru b/d
setelah 3 bln tidak putus obat. kurangnya pengetahuan
minum obat lagi karena Gangguan keluarga tentang
sudah tidak batuk. nutrisi pengertian TB Paru,
- bb 35kg tb 155cm dampak yang di
(kurus) timbulkan, cara
- Keluarga mengatakan penularan dan
tidak tahu akibat yang pengobatan, tanda dan
ditimbulkan oleh gejala yang
penyakit TB Paru bila ditimbulkannya.
tidak diobati secara 2. KMK mengambil
teratur. keputusan untuk berobat
- Keluarga mengatakan teratur b/d kurangnya
kurang mengetahui cara pengetahuan keluarga
perawatan pasien TBC tentang akibat yang
yang benar ditimbulkan oleh
penyakit TB Paru bila
tidak diobati secara
teratur.
3. KMK merawat anggota
keluarga yang sakit b/d
kurangnya pengetahuan
keluarga tentang cara
perawatan yang benar
pada penderita TB Paru.
4. KMK memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang

62
ada berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan
keluarga cara pengobatan
TB paru.
3. - - Klien seorang ibu Sanitasi 1. KMK mengenal masalah
rumah tangga yang lingkungan yang sanitasi lingkungan b/d
tinggal bersama keluarga tidak memenuhi kurangnya pengetahuan
besarnya di daerah padat syarat keluarga tentang sanitasi
penduduk kesehatan. rumah dan lingkungan
- Keluarga kurang yang sehat.
mengetahui syarat-syarat 2. KMK memodifikasi
lingkungan yang sehat. lingkungan b/d
- Keluarga kurang kurangnya pengetahuan
mengerti tentang keluarga tentang cara
pentingnya lingkungan memodifikasi lingkungan
yang sehat. yang sehat.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan keluarga yang timbul ialah:
a. Resiko penularan infeksi penyakit b.d ketidakmampuan keluarga
mengetahui cara penularan tbc
b. Gangguan nutrisi b.d ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga
dengan tbc
c. Ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan b.d kurangnya
pengetahuan keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan yang sehat.
Dalam merumuskan diagnosa dalam keperawatan keluarga perlu
dilakukan prioritas masalah dan adanya kriteria prioritas masalah (dengan
skoring).

63
3. Rencana Keperawatan
Masalah Masalah Tujuan Jangka Evaluasi
No Intervensi
kesehatan Keperawatan Panjang Pendek Kriteria Standar
1. Resiko 1. KMK mengenal Keluarga Setelah Respon Cara penularan ada dua : 1). Kaji pengetahuan keluarga tentang cara
terjadinya masalah resiko mampu kunjungan verbal a. Langsung penularan dan pencegahan penyakit TB
penularan terjadinya mengenal 1 X 45 keluarga. Percikan ludah / cairan hidungnya berpindah paru.
penyakit penularan masalah menit sewaktu berbicara berhadapan / bersin. 2). Berikan leaflef tentang TB Paru.
TB Paru. penyakit TB Paru resiko keluarga b. Tidak langsung 3). Diskusikan dengan keluarga dengan
b/d kurangnya terjadinya mampu : Bila kx meludah ditempat yang sembarang menggunakan leaflet tentang proses
pengetahuan penularan. Menjelas- kemudian kering dan kuman diterbangkan penularan penyakit TB.
keluarga tentang kan cara oleh angin bersama debu yang dihirup oleh 4). Diskusikan dengan keluarga tentang cara
cara penularan penularan orang yang sehat. pencegahan penyakit TB.
dari penyakit TB penyakit Cara pencegahan : 5). Motivasi keluarga untuk menjelaskan
Paru dan cara TB Paru a. Imunisasi BCG pada bayi. kembali tentang proses penularan dan
pencegahannya. dan cara b. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara pencegahannya.
pencegah- makanan bergizi. 6). Berikan pujian kepada keluarga atas
annya. c. Mengobati anggota keluarga yang sakit kemampuannya menjelaskan kembali.
sampai tuntas.
d. Menghindari kontak dengan kuman TB,
misalnya menghidari percikan ludah.

2. Klien 1. KMK mengenal Keluarga Setelah Respon Tanda dan gejala penyakit TB Paru : 1). Kaji pengetahuan keluarga tentang tanda
menderita masalah TB Paru mampu kunjungan verbal a. Batuk tidak sembuh selama 4 minggu. dan gejala penyakit TB Paru.
TB Paru. b/d kurangnya mengenal 1 X 45 keluarga. b. Batuk berdahak dan campur darah. 2). Diskusikan bersama keluarga tentang
pengetahuan tanda dan menit c. Demam. tanda dan gejala penyakit TB paru sesuai
keluarga tentang gejala keluarga d. Berkeringat pada malam hari. standar.
tanda dan gejala penyakit mampu e. Nyeri dada. 3). Motivasi keluarga untuk menjelaskan
TB Paru. menjelas-

64
yang ditimbulkan. kan tanda f. Sesak napas. kembali.
dan gejala g. Nafsu makan menurun. 4). Berikan pujian atas kemampuannya
penyakit h. Sakit kepala. menjelaskan.
TB paru. i. Berat badan berkurang.

2. KMK mengambil Keluarga Keluarga Respon Akibat yang ditimbulkan bila pengobatan 1). Kaji pengetahuan keluarga tentang akibat
keputusan untuk yang ber- mengeta- verbal tidak teratur : yang ditimbulkan bila pengobatan tidak
berobat secara masalah hui akibat keluarga a. Kuman jadi resesten. teratur.
teratur b/d mau yang b. Lebih sulit untuk mengobatinya. 2). Diskusikan akibat yang ditimbulkan
kurangnya berobat ditimbul- c. Lebih lama pengobatannya. bersama keluarga sesuai standar.
pengetahuan secara kan bila d. Gejala mungkin hilang sementara waktu. 3). Motivasi keluarga untuk menjelaskan
keluarga tentang teratur. pengobat- kembali.
akibat yang an tidak 4). Berikan pujian atas kemampuannya
ditimbulkan oleh teratur. menjelaskan kembali.
penyakit TB Paru
bila tidak diobati
secara teratur.

Gangguan3. KMK merawat Keluarga Setelah Respon Cara perawatan yang benar : 1). Kaji pengetahuan keluarga tentang cara
nutrisi anggota keluarga mampu kunjungan1 verbal a. Makanan yang bergizi. perawatan yang benar.
yang sakit b/d merawat X 45 menit keluarga. b. Lingkungan rumah yang bersih. 2). Diskusikan bersama keluarga cara
kurangnya anggota keluarga c. Sinar matahari masuk ke dalam rumah. perawatan yang benar sesuai standar.
pengetahuan keluarga mampu d. Menjemur kasur minimal 1 X seminggu. 3). Motivasi keluarga untuk menjelaskan
keluarga tentang yang sakit menjelaska e. Alat-alat makan dipisahkan. kembali.
cara perawatan secara n cara 4). Berikan pujian atas kemampuannya
f. Bila sesak posisi semifowler.
yang benar pada benar. perawatan menjelaskan.
penderita TB yang benar
paru. pada Tn.
MM

65
3. Sanitasi 1. KMK mengenal Keluarga Setelah Respon Sanitasi lingkungan yang sehat : 1). Kaji pengetahuan keluarga tentang
lingkung- masalah sanitasi mampu kunjungan verbal a. Pencahayaan 15 – 20 % luas lantai. lingkungan yang sehat.
an yang lingkungan rumah mengenal 1 X 45 keluarga. b. Ventilasi 10 – 15 % luas lantai. 2). Diskusikan bersama keluarga tentang
kurang yang baik b/d masalah menit c. Jarak jamban dan sumur tidak kurang dari 10 lingkungan yang bersih / sehat sesuai
memenuhi kurangnya sanitasi keluarga meter. standar.
syarat pengetahuan lingkung- mampu d. Mempunyai tempat pembuangan sampah. 3). Motivasi keluarga untuk menjelaskan
kesehatan. keluarga tentang an yang menjelas- kembali.
e. Kandang binatang ternak harus terpisah dari
syarat-syarat baik / sehat. kan ciri-ciri 4). Berikan pujian atas kemampuannya
rumah.
sanitasi lingkung- menjelaskan kembali.
lingkungan yang an yang
baik / sehat. baik / sehat.

2. KMK Keluarga Setelah Respon Lingkungan rumah yang sehat : 1). Kaji pengetahuan keluarga tentang cara
memodifikasi mampu kunjungan verbal a. Cukup udara yang masuk dan keluar. memodifikasi lingkungan yang sehat.
lingkungan yang memodifi- 1 X 45 keluarga. b. Cukup sinar matahari yang masuk. 2). Diskusikan bersama keluarga cara
dapat kasi menit c. Bersih dan teratur. memodifikasi lingkungan yang dapat
mempengaruhi lingkung- keluarga d. Kasur dijemur minimal 1 X seminggu. mempengaruhi kesehatan.
kesehatan b/d an yang mampu e. Mempunyai tempat pembuangan sampah. 3). Motivasi keluarga untuk menjelaskan
kurangnya dapat menjelas- kembali.
f. Mempunyai jamban keluarga.
pengetahuan mempengar kan cara 4). Berikan pujian atas kemampuannya
keluarga uhi mencipta- menjelaskan kembali.
tentang cara kesehatan. kan
menciptakan lingkung-
lingkungan yang an yang
sehat . sehat.

66
4. Implementasi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan
terhadap keluarga dengan TBC adalah :
a. Sumber daya Keluarga (keuangan)
Sumber daya (keuangan) yang memadai diharapkan mampu menunjang proses
penyembuhan pada anggota keluarga yang menderita TBC
b. Tingkat pendidikan keluarga
Tingkat pendidikan keluarga dapat mempengaruhi kemampuam keluarga dalam
mengenal masalah TBC dan mengambil keputusan mengenai tindakan yang tepat
terhadap anggota keluarga yang menderita TBC.
c. Adat istiadat yang berlaku
Adat istiadat yang berlaku berpengaruh pada kemampuan kelurga dalam merawat
anggota keluarga yang menderita TBC
d. Respon dan penerimaan keluarga
Respon dan penerimaan keluarga sangat berpengaruh pada penyembuhan karena
keluarga mampu memberi motivasi.
e. Sarana dan prasarana yang ada pada keluarga
Dengan adanya sarana dan prasarana yang baik pada keluarga akan memudahkan
keluarga dalam memberikan perawatan dan pengobatan pada anggota keluarga
yang menderita TBC.

Salah satu tindakan yang dilakukan ialah pendidikan kesehatan tentang


nutrisi untuk pasien TBC yaitu tinggi kalori tinggi protein(TKTP) yaitu diet yang
mengandung energi dan protein diatas kebutuhan normal. Diberikan dalam bentuk
makanan biasa ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur,
daging. Dengan tujuan memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat
untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Serta menambah
berat badan hingga mencapai berat badan normal.
Syarat diet TKTP terdiri dari:
- energi tinggi 40-45kkal/kgBB
- protein tinggi 2-2,5 g/kgBB
- lemak cukup 10-25% dari kebutuhan energi total

67
- karbohidrat cukup yaitu sisa dari kebutuhan energy total
- vitamin mineral cukup
Jenis diet TKTP yaitu:
- TKTP I 2600kkal dengan protein 100gr (2g/kgBB)
- TKTP II 3000 kkal dengan protein 125gr(2,5 g/kgBB)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai.
HARI/TANGGAL MASALAH PERKEMBANGAN
KESEHATAN
Senin 6 Maret 2014 Resiko terjadinya Keluarga paham dan
Jam 12.00 penularan penyakit TB mampu menjelaskan kembali
Paru. tentang cara penularan dan
pencegahan penyakit TB Paru

Senin 6 Maret 2014 Klien menderita TB Keluarga paham dan


Jam 12.00 Paru berulang dan mampu menjelaskan kembali
gangguan nutrisi tentang tanda dan gejala
penyakit TB Paru

Keluarga paham dan


mampu menjelaskan kembali
tentang akibat yang
ditimbulkan bila pengobatan
tidak teratur / tidak tuntas

Keluarga paham dan


mampu menjelaskan kembali
tentang cara perawatan yang
baik / benar, termasuk nutrisi
untuk pasien.

68
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Seorang wanita berusia 37 tahun dirawat di ruang penyakit dalam
dengan diagnosa medis TBC. Saat ini klien datang dengan keluhan sesak,
batuk-batuk yang tidak sembuh-sembuh sejak 3 minggu yang lalu dan batuk
berdarah serta demam di malam hari. Dari hasil pengkajian diperolah bahwa
1 tahun yang lalu klien mendapat pengobatan TBC , tetapi setelah 3 bulan
pengobatan ia tidak lagi minum obat karena sudah tidak batuk-batuk lagi. Ia
adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama keluarga besarnya (
suami, anak, ayah, ibu, adik dan kakak) di daerah padat penduduk. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan 30x/mnt, nadi 88x/mnt, TD 100/60
mmHg, BB 35 kg dengan TB 155 cm, klien tampak lemah dan terpasang
oksigen nasal kanul 4 liter/menit.
a. Data Demografi
Nama :Ny. X
Umur : 37 thn
Diagnosa medis : TBC

b. Riwayat penyakit
1. Keluhan utama
Klien mengeluh sesak dan batuk-batuk
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh sesak, sesak dirasakan terus- menerus, sejak
seperti ketimpa beban berat, sesak bertambah bila beraktivitas dan
posisi tidur dan berkurang bila beristirahat dan posisi duduk.
3. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan 1 tahun yang lalu mendapat pengobatan TBC
tapi setelah 3 bulan berhenti karena sudah tidak batuk-batuk lagi.
c. Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah :100/60 mmHg

69
Nadi : 88x/mnt
Respirasi : 30x/mnt
Suhu : 37 °C
d. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Pasien tampak lemah, terpasang oksigen 4ltr/mnt.
2. Sistem pernapasan
Pasien mengeluh sesak, batuk-batuk sudah 3 minggu tidak
sembuh-sembuh, batuk trekadang disertai darah. Pasien tampak
sesak, terlihat pernapasan cuping hidung, terlihat menggunakan
otot-otot bantu pernapasan, dan terlihat batuk-batuk.
3. Sistem pencernaan
Pasien mengeluh mual, tidak napsu makan karena sesak, BB
sebelum sakit 40 kg BB saat ini 35 kg. Klien tidak mengeluh nyeri
abdomen, makanan pasien habis ¼ porsi.
e. Lingkungan
Pasien mengatakan rumahnya berada di lingkungan padat penduduk,
beliau tinggal serumah dengan ayah, ibu, kakak, adik, suami, dan anak.
f. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
1. Hasil laboratorium
- Hb : 12mg/dl
- LED : 72
2. Hasil rontgen photo thoraks
Kesan: terdapat infiltrat pada ke dua lobus paru (TB aktif)

B. Pengelompokan Data
Data subjektif Data objektif
 Klien mengeluh sesak  Klien tampak lemah
 Klien mengeluh batuk-batuk ada  Klien tampak sesak
darah  Terlihat pernapasan cuping
 Klien mengatakan demam di hidung

70
malam hari  Terlihat menggunakan otot-otot
 Klien mengeluh mual, tidak bantu pernapasan
nafsu makan  Makanan pasien habis ¼ porsi
 Klien mengatakan pernah  Klien terpasang O2 4 ltr/mnt
mendapat pengobatan TBC dan  Respirasi 30x/mnt
berhenti setelah 3 Bulan karena  Nadi 88x/mnt
merasa sudah tidak batuk-batuk  TD 100/60 mmHg
lagi.  BB : 35kg
 Klien mengatakan tinggal  TB : 155 kg
serumah dengan ibu, ayah,
kakak, adik, suami serta anak
 Klien mengatakan tinggal di
daerah padat penduduk.

C. Analisa data
No Data Etiologi Masalah
1 DS : M. tuberculosis Ketidakefektifan
- Klien mengeluh Sesak ↓ bersihan jalan
- Klien mengeluh batuk Inhalasi droplet napas
berdarah ↓
DO: Bakteri mencapai alveulos
- Respirasi 30x/mnt ↓
- Klien tampak sesak Terjadi reaksi antigen antibody
- Terlihat pernapasan ↓
cuping hidung Terjadi radang
- Terlihat menggunakan ↓
otot– otot bantu Peningkatan produksi sekret
pernapasan ↓
- Terpasang O2 4 ltr Akumulasi sekret di jalan napas
/mnt ↓
Bersihan jalan napas tidak efektif

71
2 DS : Bersihan jalan napas tidak efektif Ketidakefektifan
- Klien megeluh batuk ↓ pola napas
berdarah Terjadi kerusakan membran
- Klien megeluh sesak alveolar
DO : ↓
- Klien tampak sesak Menghalangi proses difusi
- Klien terlihat oksigenasi
menggunakan otot ↓
bantu pernapasan Kompensasi tubuh meningkatkan
- Tampak pernapasan pernapasan
cuping hidung ↓
- Klien tampak lemah Sesak
- Respirasi 30x/mnt ↓
Pola napas tidak efektif

3 DS : Bakteremia Nurtrisi kurang


- Klien mengeluh mual, ↓ dari kebutuhan
tidak nafsu makan Merangsang interleukin -1 tubuh

DO: Pengeluaran zat endogen pirogen
- Klien tampak lemah ↓
- Makanan habis ¼ Prostaglandin
porsi ↓
- BB = 35kg Berdistribusi ke hipotalamus
- TB : 155Kg ↓
Menggeser set point anterior dari
titik normal

Respon menggigil

72
Peningkatan suhu tubuh

Terjadi peningkatan metabolisme

Terjadi pemecahan cadangan lemak

Kebutuhan nutrisi sel meningkat

Nutrisi kurang dari kebutuhan

Mual – muntah

Refluk fagal

Penggunaan otot –otot abdomen

Respon batuk-batuk

Akumulasi sekret

4 DS: Respon batuk-batuk Defisit


- Klien mengatakan 1 ↓ pengetahuan
tahun yang lalu Penyakit bronkhitis
mendapat pengobatan ↓
TBC namun setelah 3 Sumber stres meningkat
bulan sudah tidak ↓
minum obat lagi karena Ketidaklengkapan informasi proses
sudah tidak batuk. penyakit dan pengobatan
DO : - ↓
Defisit pengetahuan

73
5 DS : Defisit pengetahuan Resiko
- Klien mengatakan Keadaan padat penduduk, tinggal penyebaran
tinggal serumah serumah yang anggotanya banyak infeksi
bersama ibu, ayah, ↓
kakak, adik , suami,
serta anak Resiko penyebaran infeksi
- Klien mengatakan
tinggal di daerah padat
penduduk
DO : -

D. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d sekresi yang kental / darah
2. Ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan membran kapiler alveolar
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake tidak adekuat
4. Defisit pengetahuan b.d interprestasi informasi
5. Resiko tinggi penyebaran infeksi
E. Intervensi dan Implementasi
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau
sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan kebersihan jalan napas
efektif, dengan criteria hasil:
 Mempertahankan jalan napas pasien.
 Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
 Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
 Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
 Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan
tepat.
Tindakan :
f. Kaji ulang fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama,
kedalaman dan penggunaan otot aksesori.

74
Rasional : Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi
akumulasi secret/ ketidakmampuan membersihkan jalan napas
sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif,
catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat
kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi
/intervensi lanjut .
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif
dan latihan napas dalam.
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka
area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah
dikeluarkan.
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
Rasional : Mencegah obstruksi /aspirasi. Suction dilakukan bila
pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
 Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali
kontraindikasi.
Rasional : Membantu mengencerkan secret sehingga mudah
dikeluarkan.
f. Lembabkan udara / oksigen inspirasi.
Rasonal : Mencegah pengeringan membran mukosa.
Kolaborasi:
g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai
indikasi.
Rasional : Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen
trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang
luas.

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya


keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar
kapiler, sekret yang kental, edema bronchial.

75
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pertukaran gas efektif,
dengan kriteria hasil:
 Melaporkan tidak terjadi dispnea.
 Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan
GDA dalam rentang normal.
 Bebas dari gejala distress pernapasan.
Tindakan :
f. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya
respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
Rasional : Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya
jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang
meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya
fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
g. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan
perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
Rasional : Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ
vital dan jaringan.
h. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir
disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan
parenkim.
Rasional : Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah
kolapsnya jalan napas.
i. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
Rasional : Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
j. Monitor GDA.
Rasional : Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya
PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau
perubahan terapi.
f. Kolaborasi: Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder
hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.

76
3) Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea,
anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
nutrisi adekuat, dengan kriteria hasil:
 Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai
laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
 Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
mempertahankan berat badan yang tepat.
Tindakan :
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan,
integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus,
riwayat mual/rnuntah atau diare.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan
intervensi yang tepat
b. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Rasional : Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik,
meningkatkan intake diet pasien.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
Rasional : Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi
Buang Air Besar (BAB).
Rasional : Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi
pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
e. Anjurkan bedrest.
Rasional : Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi
peningkatan metabolik.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Rasional : Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang
digunakan yang dapat merangsang muntah.

77
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi
gaster.
Kolaborasi :
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
Rasional : Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi
adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
 Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Rasional : Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan
program terapi.

4) Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan


berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah,
informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya
pengetahuan/kognitif
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan pasien
meningkat, dengan kriteria hasil:
 Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdadan kebutuhan
pengobatan.
 Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup untuk memperbaiki
kesehatan dan menurunkan resiko pengaktifan ulang tuberkulosis paru.
 Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
 Menerima perawatan kesehatan adekuat
Tindakan :
i. Kaji ulang kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan,
tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media,
orang dipercaya.
Rasional : Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan
kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.

78
j. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal
minum obat.
Rasional : Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
k. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya
terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi
obat Tuberkulosis dengan obat lain.
Rasional : Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan
mencegah putus obat.
l. Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi,
gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
Rasional : Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu
menjalani terapi.
m. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Rasional : Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya
hepatitis
n. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
Rasional : Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu
melihat warna hijau.
o. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap
penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan,
pengecatan.
Rasional : Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu
fungsi paru/bronkus.
p. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Rasional : Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/
kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema,
pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis,
hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural,
Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.

5) Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan


dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret,

79
malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang informasi tentang
infeksi kuman.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan tidak terjadi penyebaran/ aktivitas
ulang infeksi, dengan kriteria hasil:
 Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi.
 Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang. aman.
Tindakan :
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi
melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem
limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa,
ciuman atau menyanyi.
Rasional : Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi
yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota
keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Rasional : Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran infeksi.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat
penampungan yang tertutup jika batuk.
Rasional : Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
Rasional : Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e. Monitor temperatur.
Rasional : Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang
Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass
intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya
diabetes melitus, kanker.

80
Rasional : Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien
untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan
yang lebih buruk.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional : Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah
permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran
infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
Kolaborasi:
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
Rasional : INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer
dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek
INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan
pertama.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik
(PAS), sikloserin, streptomisin.
Rasional : Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah
resisten
j. Monitor sputum BTA.
Rasional : Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon
pasien terhadap terapi
F. Evaluasi
Dx 1: Kebersihan jalan napas efektif, dengan kriteria evaluasi:
 Mempertahankan jalan napas pasien.
 Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
 Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
 Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
 Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan
tepat.
Dx 2: Pertukaran gas efektif, dengan kriteria evaluasi:
 Melaporkan tidak terjadi dispnea.
 Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal.

81
 Bebas dari gejala distress pernapasan.
Dx 3: Kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria evaluasi:
 Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai
laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
 Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
mempertahankan berat badan yang tepat.
DX 4 : Tingkat pengetahuan pasien meningkat, dengan kriteria evaluasi:
 Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan
kebutuhan pengobatan.
 Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki
kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang
luberkulosis paru.
 Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
 Menerima perawatan kesehatan adekuat.

DX 5 : Tidak terjadi penyebaran/ aktivitas ulang infeksi, dengan kriteria


evaluasi:
 Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi.
 Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.

82
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem respirasi merupakan organ penting yang mendukung
kehidupan manusia. Sistem ini mensuplai kebutuhan utama yaitu oksigen
untuk proses metabolism seluruh sel tubuh. Kontak dengan dunia luar
merupakan hal yang sering terjadi dalam sistem pernafasan. Karena itulah
paparan infeksi sangat sering terjadi pada sistem pernafasan. Salah satu infeksi
yang sering menyerang sistem pernafasan adalah infeksi oleh basil
mycobacterium tuberculosis.

Infeksi basil mycobacterium tuberculosis ini seringkali sulit untuk


diobati. Selain membutuhkan kombinasi terapi antibiotik, pengobatan juga
dilakukan untuk waktu yang lama. Hal inilah yang sering menyebabkan
kegagalan pengobatan penyakit tuberculosis. Jika penyakit ini tidak diobati
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan komplikasi yang
memperberat kondisi klien. Selain memperberat kondisi klien, basil
mycobacterium tuberculosis ini dapat juga menginfeksi orang-orang di sekitar
klien, baik itu keluarga klien maupun masyarakat sekitar apabila pihak-pihak
yang terkait seperti keluarga, masyarakat, petugas kesehatan dan pemerintah
tidak melakukan penanganan dan pengawasan penyebaran penyakit ini secara
adekuat.

B. Saran
Mengingat cukup berbahayanya penyakit tuberculosis ini dan angka
kegagalan pengobatan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan
pengobatan penyakit lain, maka tindakan pencegahan merupakan hal yang
sangat penting. Petugas kesehatan perlu menitikberatkan program pencegahan
pada pendidikan kesehatan. Selain program pencegahan, program pengobatan
juga perlu didampingi dengan pendidikan kesehatan. Hal ini akan menjadi
kontrol dalam pengawasan pasien selama program terapi jangka panjang.

83
Dengan metode pendidikan kesehatan yang tepat, diharapkan kesadaran untuk
mencegah dan mengobati penyakit secara tuntas dapat ditingkatkan.

84

Anda mungkin juga menyukai