Anda di halaman 1dari 17

Tugas Laporan Kasus

Nama : Monika L.I. Abatan S.Ked


NIM : 1308011012
Nama Penguji : dr. I Nyoman Sutama Sp.KK
Kusta

Definisi

Nama lainnya Lepra, Morbus Hansen, merupakan penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae dan bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama penyebaran kuman ini, lalu kulit, lalu mukosa traktus respiratorius
bagian atas kemudian bisa ke organ lain, kecuali sistem saraf pusat.

Epidemiologi

Berdasarkan anggapan klasik diduga melalui kontak langsung yang lama dan erat melalui
kulit. Secara inhalasi, dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas : 40 hari-40 tahun,
umumnya 3-5 tahun. Frekuensi kusta tertinggi terdapat pada kelompok umut 25-35 tahun. Kusta
ditemukan diseluruh dunia terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis
serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Kuman Mycobacterium leprae merupakan
bakteri gram positif, tahan asam dan alkohol dapat ditemukan dikulit, folikel rambut, kelenjar
keringat dan air susu ibu. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. Jarang didapatkan dalam urin.

Etiologi

Penyebab kusta adalah M. leprae, yang ditemukan pada tahun 1873 oleh G.Amauer
Hansen di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μm, lebar
0,3 μm dan bersifat obligat intraselluler. Kuman kusta tumbuh lambat, untuk membelah diri
membutuhkan waktu 12-13 hari dan mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40.
Tumbuh pada tempratur 27-30oC (81-86oF).
Patogenesis Kusta
Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada satu sisi
akan terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas
Th-2 yang menghasilkan imunitas humoral. Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan
daya invasi yang rendah karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak
terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal
ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus,
sistem retikulo-endotel dan endotelium pembuluh darah.

Basil kuman tersebut masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki
patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda
penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh, basil kuman
leprae bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat
ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14
hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur
dan memasuki sel terpengaruh lain yang berada di sekitarnya. Basil berkembang biak,
peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit
dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis
mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin
patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan
ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.
Sistem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika
SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan
atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar
tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon
imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan
tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN-γ, IL-2,
lymphotoxin-α pada lesi dan selanjutnya akan menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang
mempengaruhi sitokin terutama TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel
CD4+ ( T helper cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic
T cell) dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan protein
antimikroba yaitu granulysin.

Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang rendah
dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous mempunyai
karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4,
IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10
akan menekan produksi dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan
dijumpai foamy makrofag.

Spektrum imunologi kusta tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap berada pada kedua
kutub masing-masing, namun pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) spektrum imunologi kusta
bersifat dinamik (unstable) yang bergerak diantara ke dua kutub.

Klasifikasi

Menurut kepentingannya, penyakit kusta mempunyai beberapa jenis klasifikasi yang


telah umum digunakan yaitu:
1. Klasifikasi untuk kepentingan riset:

Klasifikasi Ridley-Jopling (1962).

• Tuberkuloid (TT)

• Boderline tuberculoid (BT)

• Mid-borderline (BB)

• Borderline lepromatous (BL)

• Lepromatosa (LL)

2. Klasifikasi International: Klasifikasi Madrit (1953)

• Indeterminate (I)

• Tuberkuloid (T)

• Borderline – Dimorphous (B)

• Lepromatosa (L)

3. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta:

Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988).

• Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil tahan asam (BTA)
negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi
Madrid.

• Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Penegakan Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis bakterioskopis, histopatologis


dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda) juga dapat dilakukan untuk membantu
penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe lepra perlu
dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai. Diagnosis yang tidak adekuat (under-
diagnosis) akan menyebabkan penularan kuman kusta berlanjut serta penyakit kusta pada pasien
kusta bertambah parah sedangkan jika diagnosis yang dilakukan terlalu berlebihan (over-
diagnosis) akan mengakibatkan pemberian pengobatan menjadi tidak tepat contohnya pemberian
antibiotika yang terlalu banyak. Keadaan ini dapat menyebabkaan pengumpulan data statistik
dari epidemiologi pasien kusta menjadi tidak akurat.

Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan cardinal sign (tanda utama) yaitu:

1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau erimatousa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati
rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa
nyeri.

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan rambut yang
terganggu
3. Ditemukan BTA

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga, mukosa hidung dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau syaraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
cardinal. Deformitas atau kecacatan lepra sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi menjadi
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer terjadi sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak
jaringan disekitarnya yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik dan otonom) antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Gejala-gejala kerusakan saraf:

1) Nervus Ulnaris
Akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lubrikalis
medial.
2) Nervus Medianus
Terjadi anestesia pada ujung jari sebagian anterior ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, ibu jari
kontraktur dan atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.
3) Nervus Radialis
Terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung
(wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4) Nervus Poplitea Laterallis
Dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung
(foot drop), dan kelemahan otot peroneus.
5) Nervus Tibialis Posterior
Terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus
pedis.
6) Nervus Fasialis
Yaitu cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal,
mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatubkan bibir.
7) Nervus Trigeminus
Terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata, atrofi otot tenar dan kedua
otot lubrikalis lateral.
Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat mendesak jaringan mata
lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis
N. Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmus,
selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya baik secara sendiri-sendiri atau
bergabung yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma kedalam adneksa
kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambutmenyebabkan kulit
kering dan alopesia.

Gambaran klinis

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan
dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat M.
leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan
Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung kuman M. leprae.
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10
tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman paling banyak.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan. Dibedakan atas
batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid adalah
kuman hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman
dalam bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan ke
orang lain.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi
hasil adalah sebagai berikut:

a) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).


b) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa objektif
100 kali.
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya penularan kuman dan untuk menilai hasil
pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
Rumus : jumlah solid x 100 % = . . . %
Jumlah solid + non solid
2) Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan gambaran
klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra. Makrofag pada kulit yang
disebut histiosit. Histiosit melakukan fagositosis pada kuman M.leprae pada Sistem Imunitas
Seluler (SIS). SIS yang tinggi akan mampu memfagosit M.leprae, kalau berlebihan dan tidak ada
lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat
bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Pada penderita dengan SIS
rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada di dalamnya,
bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut untuk tersebar meluas.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran


histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat
kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone
yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.

3) Pemeriksaan Serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik.
Antibodi yang spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena tanda
klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra subklinis,
karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada pasien yang kontak serumah. Macam-macam
pemeriksaan serologik lepra adalah uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae
dipstick), dan ML low test (Mycobacterium leprae flow test).
Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan
gejala sistemik. Penyebab utama kerusakan saraf dan cacat, dapat terjadi pada awal, selama dan
setelah terapi. Pembagian Reaksi tipe I ~ reversal diperantarai oleh reaksi hipersensitifitas tipe
IV (tipe lambat), sedangkan Reaksi tipe II ~ ENL (eritema nodusum leprosum) diperantarai oleh
reaksi hipersensitifitas tipe III (reaksi komplek imun), kedua tipe reaksi ini dpt berlangsung
ringan sampai berat.

Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan
saraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan
pada pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan
sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.

Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:

1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)

Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb & Gel
(Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe
borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap
kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan.

Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan
keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat
langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi,
beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10
selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-
2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf.
IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan
rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan
50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya
terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi
pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas
tipe III menurut Coomb & Gel.

Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk
kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam
berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan
toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon
tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-α bertanggung jawab
terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. Reaksi ENL
cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien
kusta akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.

Penatalaksanaan Lepra
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-Multy drug Therapy
(WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, DDS (Diamino Difenil Sulfon) dan klofazimin
(Lamprene) untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe
PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan
kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan
mengembangan resistensi obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang
digunakan sebagai monoterapi dianggap tidak etis.
Tujuan pemberian MDT adalah untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Obat
alternatif lain terdiri dari ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.

Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:


1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap bulan, klofamizin
300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan
pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap
bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap
hari.
2) MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600 mg setiap bulan
dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan
kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan. Sedangkan
pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan kombinasi rifampisin 10 mg/kg
berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari,
tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.

Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:


1) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)
Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat pilihan
pertama adalah korikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40 mg/hari kemudian
diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis yang adekuat
untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Anggota gerak yang
terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan
analgetik dan sedativa.
2) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison
dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya diberikan dengan
dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali
sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat ditambahkan analgetik-antipiretik
dan sedativa. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL
akan timbul apabila obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu
sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara terus-menerus.
Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT mempunyai
risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi lepra
terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau
nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau luka yang
tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya,
serta adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing
baju, memegang benda kecil atau kesulitan berjalan.
Pada Release From Treatment (RFT) dilakukan penghentian pemberian obat dan kontrol
klinis dan bakterioskopis, sedangkan pada Release From Control (RFC) bebas dari pengamatan,
Lesi baru (-), BTA (-). RFT & RFC tidak dianjurkan lagi. Pasien dinyatakan sembuh jika kasus
MB diberikan 12 dosis dalam 12 – 18 bulan. Pada kasus PB diberikan 6 dosis dalam 6 – 9 bulan.
Untuk kasus resisten rifampisin dan DDS diberi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg,
minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan. Pada pasien yg menolak Klofazimin diberi
ofloksasin 400 mg/hari, minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Prinsip pengobatan reaksi kusta adalah pemberian obat anti reaksi, istirahat atau
imobilisasi, analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri dan MDT diteruskan. Pada reaksi ENL
derajat ringan diterapi rawat jalan,dan istirahat, sedangkan derajat berat sebaiknya di rawat inap.
Obat yang diberikan adalah prednison 15 – 30 mg/hari, klofazimin 200 – 300 mg/hr, thalidomide
bersifat teratogenik,sehingga di Indonesia tidak diberikan. Untuk reaksi Reversal dengan gejala
neuritis (+) diberikan obat prednison 15 – 30 mg/hari dan anggota gerak yang terkena di
istirahatkan.
Pencegahan Kecacatan

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf
serta memulai pengobatan dengan krtikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi
kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan cara perawatan
kulit sehari-hari.

Diagnosis Banding

– Tinea versikolor
– Pitiriasis rosea
– Psoriasis
– Neurofibromatosis
DAFTAR PUSTAKA

1. Sitohang I.B.S, Wasitatmadja S.M. Menaldi SL. Kusta dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W.7th. 2015.

Anda mungkin juga menyukai