Anda di halaman 1dari 11

Konsep Takwil Ṭabāṭabā‛ī dalam Tafsir Mīzān: Studi atas

Surat Ali Imran Ayat Tujuh


Agus Mughni Muttaqin
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta
agusmughni@yahoo.com

Abstrak
Tulisan ini merupakan telaah terhadap permasalahan takwil
dalam metode penafsiran al-Qur’an. Dimana takwil ini merupakan
pembahasan yang masih dianggap kontroversial. Terlihat misalnya, dari
sikap sebagian ulama yang masih mempermasalahkan metode takwil
sebagai metode memahami al-Qur’an. Karenanya, sebagian ahli tafsir
cenderung tidak membahas masalah takwil ini ketika memahami al-
Qur’an. Ketika membahas ayat yang membutuhkan takwil mereka pun
cukup mengucapkan Allâhu a’lamu bi murâdihi (hanya Allah yang
lebih mengetahui artinya). Namun, sebagian ahli tafsir lain tidak setuju
dengan pandangan tersebut dan berani menggunakan takwil. Salah
satunya adalah ahli tafsir kontemporer dari Parsi, Ṭabāṭabā‛ī. Salah satu
karyanya, Tafsir Mīzān. Bagi Ṭabāṭabā‛ī, takwil diartikan sebagai
“interpretasi final” atau basis kembali sesuatu. Meskipun takwil
oleh kebanyakan ulama bahkan dirinya, diyakini Allah yang
mengetahuinya—secara hakiki atau mutlaq—, tapi Ṭabāṭabā‛ī
meyakini juga bahwa ada otoritas lain yang bisa menggapai
takwil. Yakni orang yang suci dan disucikan serta orang yang
dikehendaki oleh Allah untuk mengetahui takwil tersebut.

Kata-kata Kunci: takwil Ṭabāṭabā‛ī, otoritas Pentakwilan


PENDAHULUAN
Diskursus mengenai takwil dapat dikatakan sebagai sebuah wacana
yang paling penting dalam kajian memahami al-Qur’an. Hal ini cukup
beralasan, sebab takwil merupakan sebuah metode atau seni dalam upaya
untuk mengembalikan makna suatu kata pada asal, serta untuk menggali
makna yang batin dalam al-Qur’an.1 Namun, terkait apakah bisa atau tidaknya
takwil ini untuk dipakai sebagai metode atau seni dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an, hal tersebut selalu menjadi perbincangan para ulama tafsir.2
Bahkan, terkait pendefinisian atau pemaknaan takwil itu sendiri terdapat
perbedaan di antara para ulama dari sejak dulu. Apalagi tentang otoritas
pentakwil; apakah hanya Tuhan atau ada selain Tuhan yang dapat mengetahui
takwil itu? Pendeknya, pro dan kontra tentang takwil sudah lama menjadi
perdebatan di kalangan ulama tafsir.3
Sebahagian atau banyak ulama, ketika berbicara mengenai takwil,
mereka terlebih dahulu menolaknya, karena dipahami bahwa takwil itu
bertentangan dengan makna lahiriyah ayat, baik sisi kebahasaannya maupun
riwayat. Ketika membahas ayat yang membutuhkan takwil mereka pun cukup
mengucapkan Allâhu a’lamu bi murâdihi (hanya Allah yang lebih
mengetahui artinya). Bahkan, lebihnya lagi ada yang menganggap takwil itu
sebagai tafsir yang sesat.4 Di sisi lain, ada yang menganggap bahwasannya
takwil itu tidak demikian, ada khusus ayat-ayat al-Qur’an yang dapat ditinjau
dengan menggunakan takwil dan ada khusus ayat-ayat al-Qur’an yang tidak
dapat didekati oleh perangkat takwil. Ada sebagian ulama juga yang
terperangkap dalam ilusi bahwa al-Qur’an dapat mengangkat takwil sekaligus
menerima takwil, dan –mungkin- hanya bisa dipahami dengan takwil.
Perihal penakwilan al-Qur’an, pendapat ulama dapat diklasifikasi ke
dalam tiga kelompok ulama. Pertama, kelompok yang menerima takwil, yaitu
ulama Syiah, Muktazilah, dan kalangan Sufi; Kedua, kelompok yang menolak
takwil yakni ulama Salaf; dan Ketiga, kelompok yang hanya menerima
sebagian bentuk takwil, ia adalah ulama Suni.5
1
Muhammad Khamanei, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra, (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute (SIPRIn), 2006), hal. 41.
2
Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an
Menurut Mutazilah, diterjemahkan oleh Abdurr
3
Dedi Junaedi, Konsep Dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish Shihab Dalam
Tafsir Al-Mishbah, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 (Desember 2017),
hal. 223.
4
May Rahmawatie & Yudi R. Haryono(editor), Tafsir dan Modernisasi dalam Al-
Qur’an, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, (jakarta: Gugus Press, 2002),
hal. 213.
5
Nasaruddin Umar, Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah, lihat
https://qiraati.wordpress.com/2012/06/01/ konstruksi-takwil-dalam-tafsir-sufi-dan-syiah/,
diambil pada 25 Juni 2018.
Dalam pengamatan Nasaruddin Umar, di balik beberapa pendapat pro-
kontra para ulama dalam memandang takwil, ironisnya, wacana takwil ini
lebih banyak terpaparkan hanya dalam bentuk repetisi dari paparan yang telah
mengklasik, tanpa mencoba menemukan sebuah perspektif yang lain tentang
takwil. Padahal, kalau saja takwil bisa dikembangkan ke arah pemaknaan baru
ayat-ayat dengan konteks masyarakat modern atau masyarakat lokal tertentu,
maka mungkin akan menawarkan perspektif baru dalam menjadikan al-Qur’ân
sebagai pemandu umat di dunia modern ini.6
Menyikapi berbagai kontroversi megenai takwil, seperti yang telah
disinggung di atas, penulis terinspirasi dan tertarik untuk mendalami konsep
takwil dalam al-Qur’an. Ketertarikan ini berlandaskan atas perlunya kajian
khusus untuk menyelidiki takwil yang dimaksud dalam al-Qur’an dengan
memakai kacamata ulama tafsir, khususnya ulama tafsir kontemporer. Hal
tersebut dilakukan, supaya penulis, dalam mengamati konsep takwil,
menemukan konsep takwil yang baru dan lebih relevan dengan masa kekinian.
Adapun urgensi akan pembahasan tentang takwil ialah dikarenakan
pada hakekatnya al-Qur’an itu memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Yakni
tingkatan lahir, batin dan batin dalam batin. Hal ini diinformasikan oleh al-
Qur’an dalam surat Azzukhruf ayat 2-4, yang berbunyi sebagai berikut: “Demi
kitab (Al-Qur’an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al-
Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya
Al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfûzh) di sisi Kami adalah
benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (Qs.
Azzukhruf ayat 2-4)
Dalam pandangan Nur Jabir, ayat tersebut memberitahukan
bahwasannya hakikat al-Qur’an itu berada di sisi Tuhan yakni pada Umm al-
Kitāb yang tidak dapat dijamah oleh manusia. Adapun al-Qur’an yang dapat
diraih oleh manusia ialah al-Qur’an yang turun (tanazzul)—yakni al-Qur’an
berbentuk berbahasa Arab yang kita saksikan. Namun, bukan dalam artian
antara al-Qur’an yang kita saksikan dengan yang ada di Lauh al-mahfuz
berbeda, karena keduanya merupakan turunan dari Umm al-Kitāb. Adapun
kata Umm al-Kitāb itu mewakili akan puncak makna batin, akar dan inti al-
Qur’an.7
Begitu juga dalam pandangan Mulla Sadra, bahwasannya al-Qur’an—
sebagaimana manusia—memiliki dua dimensi. Yakni dimensi lahir (‘alanun)
dan dimensi batin (sirrun). Dan keduanya, memiliki lagi makna lahir dan

6
Nasaruddin Umar, Konstruksi Takwil Dalam Tafsir Sufi Dan Syiah:Sebuah Studi
Perbandingan, dirujuk dari Sumber: https://qiraati.wordpress.com/2012/06/01/konstruksi-
takwil-dalam-tafsir-sufi-dan-syiah/.
7
Muhammad Nur, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, dalam Jurnal Kanz
Philoshopia, Vol. 2, No. 2, 2013, hal. 299.
batin. Begitu seterusnya, sehingga sampai pada kulminasi di mana batinnya
itu hanya Allah yang mengetahuinya.8
Sehingga untuk menembus tingkatan-tingkatan tersebut, khususnya
tingkatan batin dan batin dalam batin al-Qur’an, tidak dapat dipungkiri
penkawilan merupakan salah satu tawaran untuk menempuh realitas makna
dari tingkatan-tingkatan al-Qur’an tersebut—terlebih tingkatan yang batinnya,
yang tidak dapat digapai melalui tafsiran saja. Hal tersebut bertujuan supaya
tercapai tujuan utama al-Qur’an, yakni untuk menjadi petunjuk bagi manusia.9
Namun, kembali lagi, pasalnya, term takwil ini masih menjadi kontroversi,
seperti yang telah diuraikan penulis di atas.
Dalam pengamatan penulis, kiranya konsep takwil yang ditawarkan
oleh Ṭabāṭabā‛ī cocok untuk menengahi kontroversi takwil dalam pandangan
para ulama, dan menemukan konsep baru tentang takwil. Sehingga, tulisan ini
memfokuskan pada masalah takwil dalam TafsirMīzān karya Ṭabāṭabā‛ī
dalam menanggapi konsep takwil beserta relevansinya dengan kemajuan tafsir
Al-Qur’an. Kajian ini penting, hal ini tidak saja dapat memberikan kejelasan
dan pemahaman tentang konsep takwil, tetapi juga dapat memperkaya wacana
metodologis dalam kajian Al-Qur’an.
Ṭabāṭabā‛ī termasuk ulama tafsir kontemporer yang setuju adanya
takwil, dengan syarat tetap memerhatikan makna lahir dan makna batin suatu
ayat. Dalam tafsirnya, Ṭabāṭabā‛ī berbicara panjang lebar tentang pembahasan
takwil. Selain dari itu, pandangan Thabthabai mengenai takwil dapat
dikatakan sebagai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan ulama
lainnya. Menururt Hadi Ma’rifat, salah satu ulama tafsir yang cukup unik
dalam mengulas term takwil adalah Ṭabāṭabā‛ī. Pasalnya, ia tidak mudah
untuk dideteksi alur pemikirannya dalam berbicara tentang takwil.10
Meskipun demikian, Ṭabāṭabā‛ī menegaskan bahwa takwil akan
memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran al-Qur’an sesuai
dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang. Ia berhasil
menemukan titik temu yang dipermasalahkan oleh para ulama dalam
menyikapi takwil. Permasalahan takwil yang paling mendasar ialah antara
bertentangan atau tidaknya dengan konteks makna lahir ayat. Dalam
pandangan para ulama yang menolak takwil, beranggapan bahwasannya
takwil itu bertentangan dengan makna lahir ayat. Sehingga, hal tersebut akan
mengakibatkan selain mendistorsi makna ayat, tentu akan memperkosa ayat
pada apa yang dikehendaki oleh pengarang menjadi pada kehendak si

8
Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim al-Shirāzi, Mafātih al-Ghaib, Ditahqiq Maula
‘Ali al-Nuri, (Beirut: Mu’asasah al-Tārikh al-Arabi, 1999), jilid 1, hal. 115.
9
Muhammad Hadi Ma’rifat, at-Tahmid fi Ulum a,-Qur’an, (Qum: Muassasah al-
Nasyar al-Islāmi, 2007) jilid 1, hal. 58.
10
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, diterjemahkan oleh
Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Lentera, tahun 2010), hal. 105.
penakwil. Dan tentu, hal tersebut berbahaya, baik bagi kesakralan al-Qur’an
ataupun terhadap pemahaman yang digapai dari hasil penakwilan tersebut. Hal
tersebut akan memalingkan makna al-Qur’an yang dikehendaki oleh
pengarangnya kepada kehendak yang dimaksud oleh penakwil.11
Selain dari itu, term pembahasan yang menjadi kontroversi dalam
takwil ialah dapatkah takwil itu digapai dan digunakan untuk memahami
realitas al-Qur’an? Kalau memang bisa, lalu siapakah yang memiliki otoritas
untuk mentakwilkannya? Apakah takwil bertentangan dengan makna lahir
ayat?12 Adapun sumber perbincangan—baik yang pro ataupun yang kontra
disandarkan atas penafsiran atau pemahaman terhadap al-Qur’an Surat Ali
Imran ayat 7 (tujuh). Mengenai pembicaraan ini, Thabathabi berhasil
mendeskripsikan permasalahan tentang hal tersebut yang dibicarakan oleh
para ulama dan akhirnya ia menawarkan pemahaman baru yang unik.
Banyak alasan lain penulis memilih Ṭabāṭabā‛ī sebagai tokoh yang
akan penulis kaji tafsirnya. Ṭabāṭabā‛ī bisa disebut sebagai seorang ulama
yang dalam dirinya terdapat personalitas akademis spiritual yang berimbang
sempurna. Dia merupakan seseorang yang memiliki prestasi akademis dan
juga sebagai seorang mufassir sekaligus filusuf yang juga insan spiritual,
religius, mistis serta transenden.13
Tulisan ini mencoba menyoroti wacana takwil, khususnya yang
terdapat dalam Qs. Ali Imran ayat tujuh, dengan mamakai sudut pandang
Thabthabai. Bagaimana Ṭabāṭabā‛ī menanggapi term takwil dalam al-Qur’an.
Hal ini dipandang perlu untuk dikaji, menimbang agar dipahami dengan jelas
pangkal dan titik temu yang menjadi kontroversi dalam memandang takwil
sebagai satu cara atau metode dalam memaknai ayat al-Qur’an. Pemilihan
topik ini bukan saja untuk memahami perbedaan dan persamaan para ulama
tentang peran dan posisi takwil, melainkan juga tampak ada usaha yang cukup
kreatif dalam melayani kegelisahan keagamaan umat dengan mengembangkan
pemaknaan takwil dalam konteks metodologi cara memahami al-Qur’an.
Signifikansi kajian tentang takwil tidak hanya dilihat dari sisi
metodologis, tetapi juga pragmatis. Secara metodologis, kebutuhan untuk
menakwilkan ayat merupakan salah satu pilihan jalan untuk menggapai makna
batin ayat-ayat al-Qur’an. Takwil dihadirkan supaya membantu keperluan
mufasir dalam menafsirkan ayat untuk keluar dari maksud redaksi ayat ke
dalam makna lain, secara eksternal atau secara eksistensial. Adapun secara
pragmatis, hadirnya takwil boleh jadi merupakan salah satu jalan dalam
memenuhi tuntutan akan adanya sebuah metodologi penafsiran yang mampu

11
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 107.
12
Muhammad Nur, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, hal. 291.
13
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 13
menghadirkan pemahaman batin al-Qur’an yang relevan dengan
perkembangan zaman.
Dalam penelusuran kajian-kajian terdahulu, kiranya meskipun tidak
sedikit para sarjana yang secara khusus meneliti tentang konsep takwil dalam
pandangan beberapa ulama tafsir—baik itu ulama tafsir klasik ataupun
kontemporer—namun pembahasan khusus tentang konsep takwil Ṭabāṭabā‛ī,
kiranya masih sedikit, bahkan terkesan belum ada yang meneliti. Sehingga,
tulisan ini memfokuskan pada masalah takwil dalam TafsirMīzān karya
Ṭabāṭabā‛ī, terlebih khususnya terhadap term takwil yang terdapat dalam Qs.
Ali Imran ayat tujuh—dalam menanggapi konsep takwil beserta relevansinya
dengan kemajuan tafsir Al-Qur’an. Bagaimana konsep takwil Ṭabāṭabā‛ī?
Untuk mencapai sasaran tersebut, tulisan ini diarahkan untuk mengurai
dua poin penting yang akan menjadi bahan bincangan. Pertama, konsep takwil
menurut Thabthabai dalam Qs. Ali Imran ayat tujuh.

Konsep Takwil
Jika dilihat dari segi penggunaannya, kata ta’wîl dalam al-Qur’ân
terdapat tiga bentuk penggunaan. Pertama, menakwilkan yang mutasyâbih
(ta’wîl al-mutasyâbih), yaitu mengarahkannya dengan yang diterima oleh
argumentasi rasio dan tekstual. Hal ini mewujud dalam dua bentuk, yaitu:
dalam perkataan sebagaimana Q.S. Ali-Imran [3]: 7; atau dalam perbuatan
sebagaimana dalam Q.S. al-Kahf [18]: 78 dan 82. Kedua, menakbirkan mimpi
(ta‘bîr al-ru’yâ) sebagaimana terulang sebanyak delapan kali dalam Q.S.
Yusuf [12]: 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, dan 101. Ketiga, akhir dari sesuatu dan
akibatnya (ma’âl al-amr wa ‘âqibatuh) sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-
Isra [17]: 35. Term takwil dalam al-Qur’an tersebut terulang sebanyak 17 kali
dengan makna yang beragam: 1) tafsir atau ta‘yîn sebagaimana tersebut dalam
Q.S. Ali-Imran [3]: 7; 2) jazâ’, tsawâb, dan ‘âqibah sebagaimana tersebut
dalam Q.S. al-Nisa [4]: 59; 3) terjadinya peristiwa yang telah diberitakan
sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Araf [7]: 53; 4) hakikat yang diisyaratkan
oleh sebuah mimpi sebagaimana tersebut dalam Q.S. Yusuf [12]: 6; 5) akibat
dari perbuatan yang dilakukan dan penjelasan sebab-sebabnya sebagaimana
Q.S. al-Kahf [18]: 78.
Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya akan mengungkap term takwil
dalam Qs. Ali Imran ayat 7 melalui tinjauan Ṭabāṭabā‛ī. Karena pangkal
kontroversi akan takwil di kebanyakan para ulama tafsir—baik itu yang pro,
ataupun yang kontra—berpangkal dari ayat ini.

Definisi Takwil Menurut Ṭabāṭabā‛Ī


Jika ditinjau secara etimologis, kata takwil berasal dari al-awl, yang
berarti kembali, mengembalikan. Kata “ta’wil”, dalam pandangan Ṭabāṭabā‛ī
diartikan sebagai “basis kembali” suatu ayat. Yakni yang ke basis inilah ayat
dikembalikan. Dalam artian, takwil merupakan sumber yang dari sumber
tersebutlah al-Qur’an (al-Qur’an yang kita temui di antara dua bingkai cover)
mendapatkan realitas-realitasnya. Namun, yang dipahami dengan basis di sini
bukan dalam artian setiap kembali atau setiap basis kembali, di sini lebih
mengarah pada tipe khususnya. Yakni sesuatu yang bergantung kembali pada
pokoknya, akan tetapi pokok tersebut bukanlah “interpretasi final”-nya. Hal
ini layaknya semua bilangan kembali ke “satu”. Akan tetapi “satu” di situ
bukanlah sebuah interpretasi finalnya. Dalam artian, bukanlah keselarasan
yang dimiliki suatu informasi dengan faktanya—seperti keselarasan yang
dimiliki kalimat; Zaid datang, dengan kedatangan Zaid.14
Adapun jika ditinjau dari segi terminologi, takwil merupakan realitas
yang dirujuk oleh sebuah ayat. Semua ayat, baik yang muhkamat ataupun
mutasyabihat, itu terdapat realitas yang dirujuk (takwil) di dalamnya—
terdapat realitas riil di balik ayat-ayat tersebut. Kadang, Ṭabāṭabā‛ī sering
menyederhanakan takwil dengan “interpretasi final”. Dalam artian, akhir dari
suatu penafsiran.15
Adapun hubungan antara realitas yang dirujuk dengan ayat ialah
hubungan eksistensial. Yang dimaksud dengan hubungan eksistensial ialah
tidak adanya keterpisahan di antara kedua tersebut. Selain dari itu, hubungan
eksistensial mengindasikan bahwa ia hadir atau ada realitasnya. Ia
menganalogikan hubungan takwil dengan ayat-ayat letterleg—seperti ayat-
ayat yang kita temui di antara dua bingkai cover—yakni seperti hubungan
pribahasa dengan tujuan dan maksudnya.16 Seperti hubungan antara badan
dengan jiwanya.
Meskipun demikian, bukan dalam artian bahwa takwil itu merupakan
makna dari suatu ayat. Akan tetapi, justru takwil tersingkap lewat makna kata
atau ayat tersebut. Takwil tidak terdapat dalam ayat-ayat letterleg.
Takwil juga bukan dalam artian sesuatu yang tidak nyata. Bukan
maksud hanya sekedar suatu informasi atau perintah. Ia bukan pula hanya
sekedar sesuatu yang i’tibari, tapi ia adalah sesuatu yang hakiki. Penjelasan
ini seperti yang dikatakan oleh Ṭabāṭabā‛ī;
Takwil ialah sebuah fakta riil yang eksis di luar imajinasi. Ketika Tuhan
mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an (Kitab) memiliki “interpretasi final”, itu
artinya ialah bahwa ayat-ayat itu menuturkan sejumlah dakta riil (seperti,
misalnya saja, dalam kisah-kisah) atau berkenaan dengan masalah-masalah
praktis yang memang ada (seperti, misalanya saja, dalam ayat-ayat yang
memaklumkan hukum), yang pada gilirannya, ada interpretasi finalnya.

14
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 90-92.
15
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 94-95.
16
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal, 105.
Kompetensi utnuk memiliki interpretasi final bukanlah atribut wacananya; itu
aalah atribut atau fitur kasah topik wacananya.17
Takwil adalah sesuatu yang merealitas. Ia merupakan fakta-fakta yang
riil dan eksis si luar imajinasi. Atau ia merupakan sesuatu yang “kembali” pada
fakta riil. Dapat juga dikatakan bahwasannya melalui fakta riil tersebut,
interpretasi final itu mengalir.
Takwil berlaku untuk totalitas al-Qur’an—bukannya hanya untuk ayat
yang mutasyabihat saja. Al-Qur’an dalam pengamatan Ṭabāṭabā‛ī, terdiri dari
dua bagian, yakni roh dan tubuh. Rohnya, tidak berbentuk kata-kata, atau
makna. Dan ini merupakan basis al-Qur’an, yang juga bersifat suci—
mengenai pembahasan hal ini, akan disinggung lebih rinci oleh penulis di sub
judul kemudian. Adapun bagian tubuhnya, ialah berbentuk ayat atau kata-kata
dan makna.18

Otoritas Pentakwil Menurut Ṭabāṭabā‟ī


Salah satu term yang menjadi kontroversi dalam pembahasan takwil
ialah terletak dalam pemahaman terhadap kata “wâwu” dalam Qs Ali Imran
ayat tujuh. Adapun jika wâwu di situ dipahami sebagai wâwu ‘athf, maka
berimplikasi bahwa yang mengetahui takwil hanyalah Allah. Sedangkan jika
wâwu pada ayat tersebut dipahami sebagai wâwu isti’nâf, maka konteks yang
memahami takwil di situ salah satunya yakni al-râsikhûn fî al-‘ilm (orang
yang mendalam ilmunya).
Namun, seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwasanya
Ṭabāṭabā‛ī menganggap wâwu yang ada dalam ayat tersebut ialah wâwu
isti’nâf, tapi ia tetap menerima otoritas selain Allah—ada orang khusus—yang
dapat menggapai takwil.
Meskipun Ṭabāṭabā‛ī tidak menafikan bahwasannya dalam Qs. Ali
Imran ayat tujuh itu menunjukkan hanya Tuhan saja yang mengtahui takwil.
Akan tetatapi, ia meyakini bahwa ada otoritas pentakwilan kecuali Tuhan.
Nampaknya, pengetahuan tentang takwil hanya dimiliki Allah saja—
sejauh menyangkut Qs. Ali Imran ayat tujuh. Meskipun ada pengecualiannya,
namun pengecualian tersebut hanya berfungsi untuk membuktikan hukum
atau ketetapan tersebut. Misalnya saja, ada beberapa ayat yag mengatakan
bahwa pengetahuan tentang kegaiban hanya milik Allah saja. Namun, di ayat
lain ada yang menjelsakan bahwasannya; Yang mengetahui kegaiban! Maka
Dia tidak mengungkap rahasia-rahsia-Nya kepada siapa pun kecuali kepada
seorang rasul yang dipilih-Nya....(Qs. al-Jin: 26-27)19

17
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 107.
18
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 101
19
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 100-103.
Dengan argumentasi dan analogi di atas, Ṭabāṭabā‛ī meyakini bahwa
ada otoritas selain Tuhan untuk menggapai takwil. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, bahwasannya Ṭabāṭabā‛ī megkategorikan al-Qur’an
kedalam dua bagian, yakni roh dan tubuh. Rohnya, tidak berbentuk kata-kata,
atau makna. Roh Qur’an inilah yang disebut oleh Allah sebagai: Kitab yang
mapan, pasti, jelas, berakar dalam, lengkap (Qs. Yunus:1). Dan ini merupakan
basis al-Qur’an, yang juga bersifat suci. Karena al-Qur’an yang kategori roh
itu bersifat suci, maka ia mengindikasikan bahwa yang menyentuhnya—
menggapai atau mencoba untuk memahaminya—tidak dapat disentuh oleh
otak biasa dan roh yang kotor (harus suci pula). Hal ini sesuai dengan firman
Tuhan yang berbunyi;
Artinya: Sesungguhnya ia adalah suatu Qur’an yang mulia, dalam
suatuKitab yang tersembunyi; tidak ada yang menyentuhnya kecuali mereka
yang disucikan (Qs. Al-Waqi’ah: 77-79). Ayat tersebut, merupakan salah satu
dalil yang digunakan Ṭabāṭabā‛ī untuk menunjukan bahwasannya orang-orang
yang disucikan dapat menyentuh—memahami—al-Qur’an yang tersembunyi
(basis al-Qur’an).
Orang-orang yang telah disucikan, sebagaiman yang terdapat dalam
Qs. Al-Ahzab ayat 33: Allah hanya berkehendak menjauhkan kekotoran dari
kamu, Wahai Ahlulbait! Dan untuk menyucikan kamu suatu penycian yang
total. Penyucian adalah penghapusan ketidak bersihan hati. Adapun hati yang
dimaksud di sini ialah sarana untuk mempersepsi, memahami, dan
berkehendak. Kesucian hati adalh kesucian person dalam pengetahuan,
keyakinan dan kehendak. Dengan demikian, maka hatinya selalu dalam
keadaaan kokoh tanpa keraguan, tegar dalam mengnikuti perintah-perintah
Tuhan. Dan orang semacam itu disebut al-râsikhûn fî al-‘ilm.20
Seperti penjelasan yang disinggung Ṭabāṭabā‛ī dalam karya asy-Syiah
fi al-Islam, seperti yang dikutip oleh Kerwanto, bahwasannya takwil tidak
didapat melalui proses berfikir secara langsung, dan tidak jelas dengan
sendirinya melalui kata-kata (alfazh)-nya. Satu-satunya cara untuk mencapai
takwil adalah melalui jalur musyahadah dan proses penyucian jiwa.21

Kesimpulan
Pangkal kontroversi akan takwil di kebanyakan para ulama tafsir—
baik itu yang pro, ataupun yang kontra—berpangkal dari pemahaman terhadap
Ali-Imran [3]: 7.

20
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 110-111.
21
Kerwanto, Metode Tafsir Esoeklektik: Sebuah Pendekatan Tafsir Integratif
dalam Memahami Kandungan Batin Al-Qur’an, dalam Disertasi Program Studi al-Qur’an
dan Tafsir Pasca Sarjana Institut PTIQ Jakarta, 2017, hal. 108.
Takwil dalam pandangan Ṭabāṭabā‛ī berarti “interpretasi final” atau
basis kembali sesuatu. Dan ia bersifat eksistensial atau merealitas, bukan
hanya sekedar i’tibari.
Meskipun takwil oleh kebanyakan ulama bahkan dirinya, diyakini
bahwa Allah yang mengetahuinya—secara hakiki atau mutlaq—, tapi
Ṭabāṭabā‛ī meyakini juga bahwa ada otoritas lain yang bisa menggapai takwil.
Yakni orang yang suci dan disucikan serta orang yang dikehendaki oleh Allah
untuk mengetahui takwil tersebut. Takwil tidak dapat dicapai oleh hanya
sekedar pemikiran, dan hati yang kotor. Takwil dapat dicapai melalui syuhudi
dan kesucian jiwa. Adapun yang memgang otoritas takwil secara mutlak
adalah Tuhan, sedangkan otoritas yang lain—atas ijin Tuhan—ialah Ahlulbait
Rasulullah Saw. Wallahu’alam
DAFTAR PUSTAKA
al-Shirāzi, Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim al-Shirāzi, Mafātih al-Ghaib,
Ditahqiq Maula ‘Ali al-Nuri, Beirut: Mu’asasah al-Tārikh al-Arabi,
1999.
Junaedi, Dedi, Konsep Dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish Shihab
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya Vol 2, No 2 Desember 2017.
Kerwanto, Metode Tafsir Esoeklektik: Sebuah Pendekatan Tafsir Integratif
dalam Memahami Kandungan Batin Al-Qur’an, dalam Disertasi
Program Studi al-Qur’an dan Tafsir Pasca Sarjana Institut PTIQ
Jakarta, 2017.
Khamanei, Muhammad, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra, Tehran:
Sadra Islamic Philosophy Research Institute (SIPRIn), 2006.
Ma’rifat, Muhammad Hadi, at-Tahmid fi Ulum a,-Qur’an, Qum: Muassasah
al-Nasyar al-Islāmi, 2007.
Nur, Muhammad, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, dalam Jurnal Kanz
Philoshopia, Vol. 2, No. 2, 2013.
Rahmawatie, May & Yudi R. Haryono(editor), Tafsir dan Modernisasi dalam
Al-Qur’an, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan,
Jakarta: Gugus Press, 2002.
Ṭabāṭabā‟ī, Muḥammad Ḥusain, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, diterjemahkan
oleh Ilyas Hasan, Jakarta: Penerbit Lentera, tahun 2010.
Umar, Nasaruddin, Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah, lihat
https://qiraati.wordpress.com/2012/06/01/ konstruksi-takwil-dalam-
tafsir-sufi-dan-syiah/, diambil pada 25 Juni 2018.
Zaid, Nashr Hamid Abu, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-
Qur‟an Menurut Mutazilah, diterjemahkan oleh Abdurr, Yogyakarta:
LKiS, 2002.

Anda mungkin juga menyukai