Konsep Takwil Abā Abā Ī Dalam Tafsir Mīzān Studi Atas Surat Ali Imran Ayat Tujuh PDF
Konsep Takwil Abā Abā Ī Dalam Tafsir Mīzān Studi Atas Surat Ali Imran Ayat Tujuh PDF
Abstrak
Tulisan ini merupakan telaah terhadap permasalahan takwil
dalam metode penafsiran al-Qur’an. Dimana takwil ini merupakan
pembahasan yang masih dianggap kontroversial. Terlihat misalnya, dari
sikap sebagian ulama yang masih mempermasalahkan metode takwil
sebagai metode memahami al-Qur’an. Karenanya, sebagian ahli tafsir
cenderung tidak membahas masalah takwil ini ketika memahami al-
Qur’an. Ketika membahas ayat yang membutuhkan takwil mereka pun
cukup mengucapkan Allâhu a’lamu bi murâdihi (hanya Allah yang
lebih mengetahui artinya). Namun, sebagian ahli tafsir lain tidak setuju
dengan pandangan tersebut dan berani menggunakan takwil. Salah
satunya adalah ahli tafsir kontemporer dari Parsi, Ṭabāṭabā‛ī. Salah satu
karyanya, Tafsir Mīzān. Bagi Ṭabāṭabā‛ī, takwil diartikan sebagai
“interpretasi final” atau basis kembali sesuatu. Meskipun takwil
oleh kebanyakan ulama bahkan dirinya, diyakini Allah yang
mengetahuinya—secara hakiki atau mutlaq—, tapi Ṭabāṭabā‛ī
meyakini juga bahwa ada otoritas lain yang bisa menggapai
takwil. Yakni orang yang suci dan disucikan serta orang yang
dikehendaki oleh Allah untuk mengetahui takwil tersebut.
6
Nasaruddin Umar, Konstruksi Takwil Dalam Tafsir Sufi Dan Syiah:Sebuah Studi
Perbandingan, dirujuk dari Sumber: https://qiraati.wordpress.com/2012/06/01/konstruksi-
takwil-dalam-tafsir-sufi-dan-syiah/.
7
Muhammad Nur, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, dalam Jurnal Kanz
Philoshopia, Vol. 2, No. 2, 2013, hal. 299.
batin. Begitu seterusnya, sehingga sampai pada kulminasi di mana batinnya
itu hanya Allah yang mengetahuinya.8
Sehingga untuk menembus tingkatan-tingkatan tersebut, khususnya
tingkatan batin dan batin dalam batin al-Qur’an, tidak dapat dipungkiri
penkawilan merupakan salah satu tawaran untuk menempuh realitas makna
dari tingkatan-tingkatan al-Qur’an tersebut—terlebih tingkatan yang batinnya,
yang tidak dapat digapai melalui tafsiran saja. Hal tersebut bertujuan supaya
tercapai tujuan utama al-Qur’an, yakni untuk menjadi petunjuk bagi manusia.9
Namun, kembali lagi, pasalnya, term takwil ini masih menjadi kontroversi,
seperti yang telah diuraikan penulis di atas.
Dalam pengamatan penulis, kiranya konsep takwil yang ditawarkan
oleh Ṭabāṭabā‛ī cocok untuk menengahi kontroversi takwil dalam pandangan
para ulama, dan menemukan konsep baru tentang takwil. Sehingga, tulisan ini
memfokuskan pada masalah takwil dalam TafsirMīzān karya Ṭabāṭabā‛ī
dalam menanggapi konsep takwil beserta relevansinya dengan kemajuan tafsir
Al-Qur’an. Kajian ini penting, hal ini tidak saja dapat memberikan kejelasan
dan pemahaman tentang konsep takwil, tetapi juga dapat memperkaya wacana
metodologis dalam kajian Al-Qur’an.
Ṭabāṭabā‛ī termasuk ulama tafsir kontemporer yang setuju adanya
takwil, dengan syarat tetap memerhatikan makna lahir dan makna batin suatu
ayat. Dalam tafsirnya, Ṭabāṭabā‛ī berbicara panjang lebar tentang pembahasan
takwil. Selain dari itu, pandangan Thabthabai mengenai takwil dapat
dikatakan sebagai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan ulama
lainnya. Menururt Hadi Ma’rifat, salah satu ulama tafsir yang cukup unik
dalam mengulas term takwil adalah Ṭabāṭabā‛ī. Pasalnya, ia tidak mudah
untuk dideteksi alur pemikirannya dalam berbicara tentang takwil.10
Meskipun demikian, Ṭabāṭabā‛ī menegaskan bahwa takwil akan
memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran al-Qur’an sesuai
dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang. Ia berhasil
menemukan titik temu yang dipermasalahkan oleh para ulama dalam
menyikapi takwil. Permasalahan takwil yang paling mendasar ialah antara
bertentangan atau tidaknya dengan konteks makna lahir ayat. Dalam
pandangan para ulama yang menolak takwil, beranggapan bahwasannya
takwil itu bertentangan dengan makna lahir ayat. Sehingga, hal tersebut akan
mengakibatkan selain mendistorsi makna ayat, tentu akan memperkosa ayat
pada apa yang dikehendaki oleh pengarang menjadi pada kehendak si
8
Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim al-Shirāzi, Mafātih al-Ghaib, Ditahqiq Maula
‘Ali al-Nuri, (Beirut: Mu’asasah al-Tārikh al-Arabi, 1999), jilid 1, hal. 115.
9
Muhammad Hadi Ma’rifat, at-Tahmid fi Ulum a,-Qur’an, (Qum: Muassasah al-
Nasyar al-Islāmi, 2007) jilid 1, hal. 58.
10
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, diterjemahkan oleh
Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Lentera, tahun 2010), hal. 105.
penakwil. Dan tentu, hal tersebut berbahaya, baik bagi kesakralan al-Qur’an
ataupun terhadap pemahaman yang digapai dari hasil penakwilan tersebut. Hal
tersebut akan memalingkan makna al-Qur’an yang dikehendaki oleh
pengarangnya kepada kehendak yang dimaksud oleh penakwil.11
Selain dari itu, term pembahasan yang menjadi kontroversi dalam
takwil ialah dapatkah takwil itu digapai dan digunakan untuk memahami
realitas al-Qur’an? Kalau memang bisa, lalu siapakah yang memiliki otoritas
untuk mentakwilkannya? Apakah takwil bertentangan dengan makna lahir
ayat?12 Adapun sumber perbincangan—baik yang pro ataupun yang kontra
disandarkan atas penafsiran atau pemahaman terhadap al-Qur’an Surat Ali
Imran ayat 7 (tujuh). Mengenai pembicaraan ini, Thabathabi berhasil
mendeskripsikan permasalahan tentang hal tersebut yang dibicarakan oleh
para ulama dan akhirnya ia menawarkan pemahaman baru yang unik.
Banyak alasan lain penulis memilih Ṭabāṭabā‛ī sebagai tokoh yang
akan penulis kaji tafsirnya. Ṭabāṭabā‛ī bisa disebut sebagai seorang ulama
yang dalam dirinya terdapat personalitas akademis spiritual yang berimbang
sempurna. Dia merupakan seseorang yang memiliki prestasi akademis dan
juga sebagai seorang mufassir sekaligus filusuf yang juga insan spiritual,
religius, mistis serta transenden.13
Tulisan ini mencoba menyoroti wacana takwil, khususnya yang
terdapat dalam Qs. Ali Imran ayat tujuh, dengan mamakai sudut pandang
Thabthabai. Bagaimana Ṭabāṭabā‛ī menanggapi term takwil dalam al-Qur’an.
Hal ini dipandang perlu untuk dikaji, menimbang agar dipahami dengan jelas
pangkal dan titik temu yang menjadi kontroversi dalam memandang takwil
sebagai satu cara atau metode dalam memaknai ayat al-Qur’an. Pemilihan
topik ini bukan saja untuk memahami perbedaan dan persamaan para ulama
tentang peran dan posisi takwil, melainkan juga tampak ada usaha yang cukup
kreatif dalam melayani kegelisahan keagamaan umat dengan mengembangkan
pemaknaan takwil dalam konteks metodologi cara memahami al-Qur’an.
Signifikansi kajian tentang takwil tidak hanya dilihat dari sisi
metodologis, tetapi juga pragmatis. Secara metodologis, kebutuhan untuk
menakwilkan ayat merupakan salah satu pilihan jalan untuk menggapai makna
batin ayat-ayat al-Qur’an. Takwil dihadirkan supaya membantu keperluan
mufasir dalam menafsirkan ayat untuk keluar dari maksud redaksi ayat ke
dalam makna lain, secara eksternal atau secara eksistensial. Adapun secara
pragmatis, hadirnya takwil boleh jadi merupakan salah satu jalan dalam
memenuhi tuntutan akan adanya sebuah metodologi penafsiran yang mampu
11
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 107.
12
Muhammad Nur, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, hal. 291.
13
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 13
menghadirkan pemahaman batin al-Qur’an yang relevan dengan
perkembangan zaman.
Dalam penelusuran kajian-kajian terdahulu, kiranya meskipun tidak
sedikit para sarjana yang secara khusus meneliti tentang konsep takwil dalam
pandangan beberapa ulama tafsir—baik itu ulama tafsir klasik ataupun
kontemporer—namun pembahasan khusus tentang konsep takwil Ṭabāṭabā‛ī,
kiranya masih sedikit, bahkan terkesan belum ada yang meneliti. Sehingga,
tulisan ini memfokuskan pada masalah takwil dalam TafsirMīzān karya
Ṭabāṭabā‛ī, terlebih khususnya terhadap term takwil yang terdapat dalam Qs.
Ali Imran ayat tujuh—dalam menanggapi konsep takwil beserta relevansinya
dengan kemajuan tafsir Al-Qur’an. Bagaimana konsep takwil Ṭabāṭabā‛ī?
Untuk mencapai sasaran tersebut, tulisan ini diarahkan untuk mengurai
dua poin penting yang akan menjadi bahan bincangan. Pertama, konsep takwil
menurut Thabthabai dalam Qs. Ali Imran ayat tujuh.
Konsep Takwil
Jika dilihat dari segi penggunaannya, kata ta’wîl dalam al-Qur’ân
terdapat tiga bentuk penggunaan. Pertama, menakwilkan yang mutasyâbih
(ta’wîl al-mutasyâbih), yaitu mengarahkannya dengan yang diterima oleh
argumentasi rasio dan tekstual. Hal ini mewujud dalam dua bentuk, yaitu:
dalam perkataan sebagaimana Q.S. Ali-Imran [3]: 7; atau dalam perbuatan
sebagaimana dalam Q.S. al-Kahf [18]: 78 dan 82. Kedua, menakbirkan mimpi
(ta‘bîr al-ru’yâ) sebagaimana terulang sebanyak delapan kali dalam Q.S.
Yusuf [12]: 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, dan 101. Ketiga, akhir dari sesuatu dan
akibatnya (ma’âl al-amr wa ‘âqibatuh) sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-
Isra [17]: 35. Term takwil dalam al-Qur’an tersebut terulang sebanyak 17 kali
dengan makna yang beragam: 1) tafsir atau ta‘yîn sebagaimana tersebut dalam
Q.S. Ali-Imran [3]: 7; 2) jazâ’, tsawâb, dan ‘âqibah sebagaimana tersebut
dalam Q.S. al-Nisa [4]: 59; 3) terjadinya peristiwa yang telah diberitakan
sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Araf [7]: 53; 4) hakikat yang diisyaratkan
oleh sebuah mimpi sebagaimana tersebut dalam Q.S. Yusuf [12]: 6; 5) akibat
dari perbuatan yang dilakukan dan penjelasan sebab-sebabnya sebagaimana
Q.S. al-Kahf [18]: 78.
Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya akan mengungkap term takwil
dalam Qs. Ali Imran ayat 7 melalui tinjauan Ṭabāṭabā‛ī. Karena pangkal
kontroversi akan takwil di kebanyakan para ulama tafsir—baik itu yang pro,
ataupun yang kontra—berpangkal dari ayat ini.
14
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 90-92.
15
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 94-95.
16
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal, 105.
Kompetensi utnuk memiliki interpretasi final bukanlah atribut wacananya; itu
aalah atribut atau fitur kasah topik wacananya.17
Takwil adalah sesuatu yang merealitas. Ia merupakan fakta-fakta yang
riil dan eksis si luar imajinasi. Atau ia merupakan sesuatu yang “kembali” pada
fakta riil. Dapat juga dikatakan bahwasannya melalui fakta riil tersebut,
interpretasi final itu mengalir.
Takwil berlaku untuk totalitas al-Qur’an—bukannya hanya untuk ayat
yang mutasyabihat saja. Al-Qur’an dalam pengamatan Ṭabāṭabā‛ī, terdiri dari
dua bagian, yakni roh dan tubuh. Rohnya, tidak berbentuk kata-kata, atau
makna. Dan ini merupakan basis al-Qur’an, yang juga bersifat suci—
mengenai pembahasan hal ini, akan disinggung lebih rinci oleh penulis di sub
judul kemudian. Adapun bagian tubuhnya, ialah berbentuk ayat atau kata-kata
dan makna.18
17
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 107.
18
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 101
19
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 100-103.
Dengan argumentasi dan analogi di atas, Ṭabāṭabā‛ī meyakini bahwa
ada otoritas selain Tuhan untuk menggapai takwil. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, bahwasannya Ṭabāṭabā‛ī megkategorikan al-Qur’an
kedalam dua bagian, yakni roh dan tubuh. Rohnya, tidak berbentuk kata-kata,
atau makna. Roh Qur’an inilah yang disebut oleh Allah sebagai: Kitab yang
mapan, pasti, jelas, berakar dalam, lengkap (Qs. Yunus:1). Dan ini merupakan
basis al-Qur’an, yang juga bersifat suci. Karena al-Qur’an yang kategori roh
itu bersifat suci, maka ia mengindikasikan bahwa yang menyentuhnya—
menggapai atau mencoba untuk memahaminya—tidak dapat disentuh oleh
otak biasa dan roh yang kotor (harus suci pula). Hal ini sesuai dengan firman
Tuhan yang berbunyi;
Artinya: Sesungguhnya ia adalah suatu Qur’an yang mulia, dalam
suatuKitab yang tersembunyi; tidak ada yang menyentuhnya kecuali mereka
yang disucikan (Qs. Al-Waqi’ah: 77-79). Ayat tersebut, merupakan salah satu
dalil yang digunakan Ṭabāṭabā‛ī untuk menunjukan bahwasannya orang-orang
yang disucikan dapat menyentuh—memahami—al-Qur’an yang tersembunyi
(basis al-Qur’an).
Orang-orang yang telah disucikan, sebagaiman yang terdapat dalam
Qs. Al-Ahzab ayat 33: Allah hanya berkehendak menjauhkan kekotoran dari
kamu, Wahai Ahlulbait! Dan untuk menyucikan kamu suatu penycian yang
total. Penyucian adalah penghapusan ketidak bersihan hati. Adapun hati yang
dimaksud di sini ialah sarana untuk mempersepsi, memahami, dan
berkehendak. Kesucian hati adalh kesucian person dalam pengetahuan,
keyakinan dan kehendak. Dengan demikian, maka hatinya selalu dalam
keadaaan kokoh tanpa keraguan, tegar dalam mengnikuti perintah-perintah
Tuhan. Dan orang semacam itu disebut al-râsikhûn fî al-‘ilm.20
Seperti penjelasan yang disinggung Ṭabāṭabā‛ī dalam karya asy-Syiah
fi al-Islam, seperti yang dikutip oleh Kerwanto, bahwasannya takwil tidak
didapat melalui proses berfikir secara langsung, dan tidak jelas dengan
sendirinya melalui kata-kata (alfazh)-nya. Satu-satunya cara untuk mencapai
takwil adalah melalui jalur musyahadah dan proses penyucian jiwa.21
Kesimpulan
Pangkal kontroversi akan takwil di kebanyakan para ulama tafsir—
baik itu yang pro, ataupun yang kontra—berpangkal dari pemahaman terhadap
Ali-Imran [3]: 7.
20
Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, hal. 110-111.
21
Kerwanto, Metode Tafsir Esoeklektik: Sebuah Pendekatan Tafsir Integratif
dalam Memahami Kandungan Batin Al-Qur’an, dalam Disertasi Program Studi al-Qur’an
dan Tafsir Pasca Sarjana Institut PTIQ Jakarta, 2017, hal. 108.
Takwil dalam pandangan Ṭabāṭabā‛ī berarti “interpretasi final” atau
basis kembali sesuatu. Dan ia bersifat eksistensial atau merealitas, bukan
hanya sekedar i’tibari.
Meskipun takwil oleh kebanyakan ulama bahkan dirinya, diyakini
bahwa Allah yang mengetahuinya—secara hakiki atau mutlaq—, tapi
Ṭabāṭabā‛ī meyakini juga bahwa ada otoritas lain yang bisa menggapai takwil.
Yakni orang yang suci dan disucikan serta orang yang dikehendaki oleh Allah
untuk mengetahui takwil tersebut. Takwil tidak dapat dicapai oleh hanya
sekedar pemikiran, dan hati yang kotor. Takwil dapat dicapai melalui syuhudi
dan kesucian jiwa. Adapun yang memgang otoritas takwil secara mutlak
adalah Tuhan, sedangkan otoritas yang lain—atas ijin Tuhan—ialah Ahlulbait
Rasulullah Saw. Wallahu’alam
DAFTAR PUSTAKA
al-Shirāzi, Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim al-Shirāzi, Mafātih al-Ghaib,
Ditahqiq Maula ‘Ali al-Nuri, Beirut: Mu’asasah al-Tārikh al-Arabi,
1999.
Junaedi, Dedi, Konsep Dan Penerapan Takwil Muhammad Quraish Shihab
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya Vol 2, No 2 Desember 2017.
Kerwanto, Metode Tafsir Esoeklektik: Sebuah Pendekatan Tafsir Integratif
dalam Memahami Kandungan Batin Al-Qur’an, dalam Disertasi
Program Studi al-Qur’an dan Tafsir Pasca Sarjana Institut PTIQ
Jakarta, 2017.
Khamanei, Muhammad, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra, Tehran:
Sadra Islamic Philosophy Research Institute (SIPRIn), 2006.
Ma’rifat, Muhammad Hadi, at-Tahmid fi Ulum a,-Qur’an, Qum: Muassasah
al-Nasyar al-Islāmi, 2007.
Nur, Muhammad, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, dalam Jurnal Kanz
Philoshopia, Vol. 2, No. 2, 2013.
Rahmawatie, May & Yudi R. Haryono(editor), Tafsir dan Modernisasi dalam
Al-Qur’an, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan,
Jakarta: Gugus Press, 2002.
Ṭabāṭabā‟ī, Muḥammad Ḥusain, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurān, diterjemahkan
oleh Ilyas Hasan, Jakarta: Penerbit Lentera, tahun 2010.
Umar, Nasaruddin, Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah, lihat
https://qiraati.wordpress.com/2012/06/01/ konstruksi-takwil-dalam-
tafsir-sufi-dan-syiah/, diambil pada 25 Juni 2018.
Zaid, Nashr Hamid Abu, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-
Qur‟an Menurut Mutazilah, diterjemahkan oleh Abdurr, Yogyakarta:
LKiS, 2002.