Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, hlm.

288 - 299

SINKRONISASI KEGIATAN PERTAMBANGAN


PADA KAWASAN HUTAN
IPG. Ardhana
Jurusan Biologi FMIPA UNUD

Abstract

This article aims to study the synchronized activity of the mining industry in the forestry
zone. This article is composed from normative legal research with the statute approach, the
case approach and the library approach which used the documents of UKL/UPL and the
environmental assessment of PLTP in Bedugul made by LIPI and PPLH in Unud, as well as
the news from Walhi magazine and news paper “Bali Post” newspaper.
From the result of this article we know that controversial application of act No. 11 of 1967
and act No. 41 of 1999 have a differenf perception in the uses of preservational forestry area
and conservation for the mining activity in almost all forestry area in Indonesia, and with
an issue of decision letter by ministry of Ekoin No. KEP-04/M.EKON/09/2000 concerning
with the coordinating research team for utilizing forestry area to the mining. The result
indicated very cleary that government trully disregarded the safety of preserving and
conservative forestry. For this reason we need to revitalize legal definity, strong
prohibitation of using preservational forestry and conservation from the mining industry.
And society must take participation to establish activities from the beginning, because
community will be able to know the estimation of the result faster.

Key word : act, mining, syncronized, industry, forest

1. Pendahuluan dengan laju yang kian cepat seiring hancurnya


Kebijakan pemerintah mengizinkan kegiatan ekosistem hutan. 1)
pertambangan di kawasan hutan lindung dan konser- Setidaknya 72% hutan asli Indonesia telah
vasi, mempercepat “kiamat” Indonesia. Industri ini akan musnah. Studi Bank Dunia terbaru menyebutkan
mengubah hamparan hutan Indonesia menjadi padang bahwa tingkat laju penurunan hutan (deforestasi) di
pasir dengan lubang-lubang beracun. Kondisi seperti Indonesia mencapai luas 2 juta hektar per tahun sejak
ini mengancam umat manusia secara global. tahun 1996. Laju hilangnya hutan di Indonesia cukup
Meski luas daratan wilayah Indonesia hanya mencemaskan. Selama tahun 1985-1997, sekitar 30%
1,3 persen dari luas daratan dunia, namun memiliki dari lahan kehutanan yang ada di Sumatera telah
10% keanekaragaman hayati flora dunia, 12% jumlah hilang. Di Kalimantan 21% hutan yang ada juga
mamalia, 17% reptil dan binatang amphibi serta 17% hilang dalam kurun waktu yang sama. Pada tahun
spesies burung dunia sebagai keanekaragaman 1997, hanya sekitar 35% pulau Sumatera dan 60%
hayati fauna dunia. Kekayaan dan keanekaragaman Kalimantan masih ditutupi hutan masing-masing
hayati itu kini telah banyak menghilang, bahkan seluas 16,6 dan 35,1 juta ha.2)

1)
Scotland, N., J. Smith, H. Lisa, M. Hiller, B. Jarvis, C. Kaiser, M. Leighton, L. Paulson, E. Pollard, D.
Ratnasari, R. Ravanell, S. Stanley, Erwidodo, D. Curry, dan A. Setyarso. 2000. Indonesia Country Paper
on Illegal Logging, disunting oleh W. Finlayson dan N. Scotland. Laporan yang tidak diterbitkan, disajikan
untuk World Bank-World Wide Fund for Nature Workshop on Control of Illegal logging in East Asia.
Jakarta, Indonesia.
2)
Ibid

288
IPG. Ardhana : Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan

Satu-satunya peruntukan hutan Indonesia Di luar itu, ternyata operasi pertambangan juga
yang masih bisa diharapkan dalam kondisi baik adalah mengincar kawasan hutan lindung dan konservasi.
hutan lindung dan kawasan konservasi. Luas Dari beberapa data yang dikumpulkan menunjukkan
kawasan lindung Indonesia sekitar 55,2 juta hektar bahwa, saat ini terdapat 150 perusahaan yang telah
yang terbagi atas 31,9 juta hektar berstatus sebagai mengantongi izin Departemen Energi dan Sumber
hutan lindung dan selebihnya kawasan konservasi. Daya Mineral (ESDM) untuk membuka tambang di
Perhitungan wilayah hutan produksi, hutan lindung kawasan-kawasan tersebut. Seratus lima puluh
dan hutan konservasi serta kondisinya disajikan perusahaan ini akan segera membuka usahanya
dalam Tabel 1. Meski pun jelas berstatus peruntukan pada kawasan hutan seluas 11.441.852 ha yang
sebagai kawasan lindung dan konservasi, bukan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi,
berarti bebas dari ancaman. Praktek penebangan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Departemen
ilegal, kebakaran hutan serta tumpang tindihnya kehutanan telah melakukan evaluasi terhadap 815
peruntukan antara hutan dan perkebunan kelapa buah permohonan konversi lahan yang mencakup
sawit, HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI 11,4 juta ha. Luas rencana pertambangan
(Hutan Tanaman Industri) terus menghantui dikawasan hutan lindung dan konservasi disajikan
keberadaan kawasan tersebut.3) dalam Tabel 2.

Tabel 1. Perhitungan Kembali Wilayah Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi serta
Kondisinya

Fungsi Kondisi Hutan


Hutan Hutan Primer Hutan sekunder, Total
hutan rusak, dan non
hutan
Juta % Juta % Juta %
hektar hektar hektar
Hutan 18,4 45 22,8 55 41,2 100
Produksi
(dikelola
HPH)
Hutan 0,6 11 5,1 89 5,7 100
Produksi
(dikelola
BUMN)
Hutan 6,7 54 5,8 46 12,5 100
Lindung
Hutan 10,8 62 6,6 38 17,4 100
Konservasi
Total 36,5 47 40,2 53 76,7 100

Sumber : Departemen Kehutanan, 2000.4)

3)
Ibid
4)
Departemen Kehutanan, 2000. Website Departemen Kehutanan, http://dephut.gov.id

289
Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, hlm. 288 - 299

Tabel 2. Luasan Rencana Pertambangan Dikawasan Hutan Lindung dan Konservasi

Pulau Hutan Lindung Hutan Konservasi


Total Konversi Total Konversi
tambang tambang
Sumatera 7.391.502 2.141.950 4.878.520 689.120
Jawa 728.651 - 468.233 273.300
Sulawesi 4.821.237 996.445 4.821.237 184.617
Nusa 651.257 44.200 567.714 -
Tenggara
Maluku 1.809.634 359.640 443.345 159.000
Kalimantan 6.858.792 1.767.580 4.458.887 -
Papua 11.452.990 3.319.000 7.539.300 1.507.000
TOTAL 33.938.350 8.628.815 20.579.347 2.813.037
Sumber : Departemen Kehutanan, 2000.5)

Namun, dibalik usaha keinginan itu, masih ada menimbulkan bahaya, penyakit atau
halangan yang memuluskan langkah penggalian. Jika bahaya lainnya bagi masyarakat
sekitarnya”.6)
dilihat dari kebijakan pemerintah berupa peraturan
perundangan yang ada sebenarnya konsepsi dan
Kriteria lingkungan secara lebih tegas
kriteria-kriteria pertambangan “berkelanjutan”
diakomodasi dalam Keputusan Menteri
tersebut sudah cukup diakomodasi. Kriteria ekonomi
Pertambangan dan Energi Nomor: 1211.K/008/M.PE/
dan sosial untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi
1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
masyarakat secara gamblang disebutkan dalam pasal
Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Usaha
33 UUD 1945 yang diterjemahkan lagi dalam UU No.
Kegiatan Pertambangan Umum. Sementara itu
11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok
Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor
pertambangan yang berbunyi:
“Segala bahan galian yang terdapat dalam 336.K/271/DDJ-P/1996 tentang Jaminan Reklamasi
wilayah hukum pertambangan Indonesia bisa mengakomodasi kriteria lingkungan dan
yang merupakan endapan-endapan alam ekonomi. Selain itu ketentuan Amdal (Analisis
sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, Mengenai Dampak Lingkungan), khususnya RKL
adalah kekayaan nasional bangsa (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL
Indonesia dan dipergunakan oleh Negara
untuk sebesar-besarnya kemakmuran (Rencana Pemantauan Lingkungan) di bidang
rakyat”. pertambangan telah sejak lama diberlakukan. Dari
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan di
Undang-undang tersebut telah pula bidang pertambangan sudah cukup mendukung bagi
mengakomodasi konsepsi pertambangan pelaksanaan pertambangan “berkelanjutan”. Lalu
“berkelanjutan” dan kriteria lingkungan, sebagai seringkali memunculkan permasalahan dari sebagian
contoh dalam pasal 30 disebutkan: masyarakat, khususnya pencinta lingkungan, yang
“Apabila selesai melakukan penambangan mengesankan bahwa kegiatan pertambangan
bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, merupakan “perusak” lingkungan?.
pemegang kuasa pertambangan yang Pasal 38 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
bersangkutan diwajibkan mengembalikan tentang Kehutanan7) telah membatasi ruang gerak
tanah sedemikian rupa, sehingga tidak

5)
Ibid
6)
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan
7)
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

290
IPG. Ardhana : Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan

secara formal bagi industri pertambangan nomor 41 tahun 1999 tentang pemanfaatan hutan
mengeksploitasi kawasan hutan. Dalam undang- lindung dan hutan konservasi untuk kegiatan
undang tersebut dinyatakan : “Penggunaan kawasan pembangunan pertambangan.
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar Kekaburan tentang norma hukum yang
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam mengatur tentang pelaksanaan UU nomor 11 tahun
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan 1967 dan UU nomor 41 tahun 1999 telah menerbitkan
lindung”. Namun ayat 3 pasal ini menyebutkan: SK Menteri baru dengan melakukan sinkronisasi
“Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penerapan peraturan dari kedua perundang-
penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. undangan, yang pada akhirnya mengakibatkan
Artinya secara hukum kegiatan pertambangan di terjadinya perusakan dan pencemaran sumber daya
dalam kawasan hutan lindung hanya diperbolehkan alam.
dengan metode penambangan dibawah tanah Tipe penelitian ini tergolong kedalam penelitian
(underground mining).8) hukum normatif yang dilengkapi dengan bahan
Dengan adanya perbedaan kontroversial antara hukum kepustakaan maka titik berat penelitian ini
ketentuan pokok pertambangan dan kehutanan itu, mempergunakan bahan hukum bukan data, sehingga
pemerintah pusat pun bersikeras untuk melaksanakan data primer yang dipergunakan hanya bersifat
rencana kegiatan pembangunan pertambangan di memperkuat, melengkapi dan menunjang, kemudian
seluruh Indonesia dengan menerbitkan SK Menko sumber data sekunder dilakukan melalui sumber data
Ekoin No. KEP-04/M.Ekoin/09/2000 sebagai kepustakaan (library research) yang terdiri dari
kebijakan sinkronisasi penerapan peraturan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
perundang-undangan yang kontroversial antara UU Adapun bahan hukum primer yang digunakan
No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok terutama berpusat dan bertitik tolak pada peraturan
pertambangan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
kehutanan. seperti UU nomor 11 tahun 1967, UU nomor 5 tahun
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka 19909), UU nomor 41 tahun 1999.
rumusan masalah yang dikaji adalah: (1) bagaimana Berikutnya dipergunakan pula bahan hukum
proses sinkronisasi penerapan peraturan perundang- sekunder berupa pendapat para ahli hukum, hasil-
undangan antara UU No. 11 Tahun 1967 tentang hasil penelitian, kegiatan ilmiah dan beberapa
Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 41 informasi dari media masa.
Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pemanfaatan Pendekatan masalah yang dipakai terhadap
kawasan hutan lindung dan konservasi untuk penelitian ini, pendekatan perundang-undangan (the
kegiatan pertambangan; (2) dalam bentuk apa statute approach), studi kasus (the case approach),
sinkronisasi penerapan peraturan perundang- serta pendekatan kepustakaan (the library
undangan itu dikeluarkan; dan (3) atas dasar apa approach) dengan menggunakan dokumen-
sinkronisasi penerapan peraturan perundang- dokumen UKL/UPL dan Andal PLTP Bedugul
undangan pemerintah itu dikeluarkan. masing-masing dari LIPI dan PPLH Unud beserta
berita-berita yang berasal dari majalah Walhi dan
2. Metode Penelitian Mass Media Bali Post..
Penelitian mengenai sinkronisasi kegiatan Jenis bahan hukum yang dipergunakan berupa
pertambangan pada kawasan hutan termasuk bahan-bahan hukum primer seperti peraturan
kedalam penelitian hukum normatif. Penelitian ini perundang-undangan, surat keputusan Menteri,
menganalisis kekaburan norma pada pelaksanaan peraturan daerah, sedangkan bahan-bahan hukum
penerapan ketentuan peraturan perundang- sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya
undangan antara UU nomor 11 tahun 1967 dan UU dengan bahan-bahan hukum primer yang dapat

8)
Pamulardi Bambang. 1994. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. PT. Raja Grafindo.
Jakarta; Khakim, A., 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, PT. Cahaya Aditya Bakti. Bandung
9)
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya

291
Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, hlm. 288 - 299

membantu menganalisis dan memahami hukum primer UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan)/UPL
seperti : hasil karya ilmiah para sarjana; hasil (Upaya Pemantauan Lingkungan) yang dibuat oleh
penelitian; laporan-laporan; dan media massa. Puslitbang LIPI pusat dan Amdal dari PPLH Unud
Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan agak berbeda sebab UKL/UPL dari Puslitbang
yang memberikan informasi tentang bahan-bahan LIPI pusat merekomendasikan bahwa Rencana
hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi Kegiatan pembangunan PLTP Bedugul layak untuk
bibliografi atau daftar bacaan. dilanjutkan dan secara teknis pelaksanaan
Adapun metode pengumpulan bahan hukum pembangunan dilapangan tidak akan menimbulkan
dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dampak yang berarti dan dikatakan pula bahwa
metode gabungan antara bola salju (snowball buangan limbah baik padat, cair dan gas akan
methode) dengan metode sistematis (systematic langsung dimanfaatkan pada saat operasional12).
methode). Sedangkan hasil Andal PLTP Bedugul yang dikaji
Dari hasil pengumpulan bahan hukum, kemudian oleh PPLH Unud memunculkan dampak negatif yang
bahan hukum dianalisis, dikontruksi dan diolah tidak dapat ditoleransi yaitu masalah amblesan atau
sesuai dengan rumusan masalah yang telah turunnya permukaan tanah pada saat volume cairan
ditetapkan, kemudian disajikan secara deskriptif.10) menurun dan tidak dapat diprediksi kapan akan
terjadi13).
Permasalahan sekarang adalah akan terjadi
3. Pembahasan kerusakan hutan lindung yang menyebabkan
hilangnya habitat satwa dan akan menurunkan
3.1. Sinkronisasi Penerapan UU No. 11 Tahun biodiversitas flora dan fauna hilangnya mata air,
1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan menurunnya debit air danau dan menurunnya
Dan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan kesakralan kawasan suci yang merupakan hal yang
sangat peka bagi masyarakat Bali. Kawasan suci
Kesan dan pendapat dari masyarakat timbul
merupakan tanah leluhur yang merupakan landasan
karena cukup banyak kasus kegiatan pertambangan
jati diri umat Hindu di Bali dan harus dipertahankan
yang dinilai merusak dan mencemari lingkungan.
keberadaannya. Kedua konsultan Amdal itu sangat
Sebagai contoh Freeport di Irian Jaya yang dinilai
kontroversial, sehingga seluruh masyarakat Bali telah
menimbulkan pencemaran berat pada perairan
menolak rencana kegiatan pembangunan tersebut
dengan limbah tailingnya dan dinilai telah merusak
lewat wakil rakyat DPRD dan DPD RI yang
keberadaan puncak es tropika di Irian Jaya. Disamping
disampaikan langsung oleh Gubernur Bali.
itu pula kerusakan lahan bekas tambang dibeberapa
Namun sampai saat ini pemerintah pusat masih
wilayah seperti tambang timah di Bangka-Singkep,
bersikeras untuk melaksanakan rencana kegiatan
atau pun kerusakan lahan bekas tambang galian
pembangunan tersebut. Rupanya alasan pemerintah
golongan C yang banyak tersebar di Pulau Jawa,
pusat untuk meneruskan kebijakan tersebut memiliki
Bali dan Sumatera11).
alasan yang cukup kuat yaitu negara dalam kondisi
Kasus pemanfaatan kawasan lindung dan
krisis ekonomi sehingga prioritas kebijakan
konservasi seluas 42,52 ha juga terjadi di Bali.
pemerintah ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi
Rencana kegiatan pembangunan PLTP Bedugul
dengan dalih untuk mengurangi tingkat
sampai saat ini masih simpang siur apakah rencana
kemiskinan, disamping memang Indonesia harus
kegiatan pembangunan itu akan terus dilaksanakan
membayar utangnya dari desakan International
atau dihentikan.

10)
Ashshofa, B., 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta. Jakarta
11)
Walhi, No.2/th XXII/2002. Tanah Air. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi. Jakarta
12)
Anonim, 1996. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Kegiatan
Pemboran dan Uji Produksi Sumur Batukaru-bedugul Bali, Kontrak Operasi Bersama Pertamina-Bali
Energy, Ltd. Jakarta
13)
Anonim. 2005. Andal PLTP di Kawasan Bedugul BEL (Bali Energy Limited). PPLH Unud. Denpasar Bali

292
IPG. Ardhana : Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan

Monetery Fund (IMF) melalui Letter of Intent (LoI) dilakukan dengan mengundang investor besar. Oleh
yang telah ditanda tangani pemerintah dimana salah karena itu, Undang-Undang ini selain bernuansa
satu skema yang disetujui adalah konversi hutan sentralistik juga sarat dengan orientasi ekonomi
alam untuk meningkatkan devisa negara pada waktu (economic and capital oriented). Pengaturan
itu. mengenai penguasaan, pemanfaatan dan
Desakan pemerintah pusat agar pemerintah pengusahaan serta perizinan usaha pertambangan
daerah beserta masyarakatnya harus menghormati umum ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah
kontrak yang telah ditanda tangani pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan
sebelumnya. Kontrak yang telah ditanda tangani negara dan mengatur usaha pertambangan untuk
tidak dapat dibatalkan begitu saja, sebab pengemban bahan galian C seperti pasir, kapur, belerang dan lain-
telah melakukan kesepakatan tersebut dengan lain yang kurang bernilai ekonomi tinggi. Sedangkan
pemerintah RI berdasarkan kesepakatan berbagai bahan galian tambang A dan B seperti emas, tembaga,
instansi14). nikel, minyak dan gas bumi, batubara, tanah, bauksit,
Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan
untuk meningkatkan pendapatan negara yang pemerintah pusat.

Tabel 3. Fungsi, Status dan Pemanfaatan Hutan Berdasarkan UU Kehutanan No. 41/1999

Sumber : Rujukan dari internet UU No. 41 Tahun 1999.15)

14)
Bali Post, Selasa, 8 November 2005. Geothermal Tetap Jalan, Daerah Diminta Hormati Kontrak.
Denpasar. Hal 1
15)
Rujukan dari internet UU No. 41 Tahun 1999. www.warsi.or.id/Library/Pustaka_find_
result.asp?penerbit=BKSDA%20JAMBI

293
Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, hlm. 288 - 299

Semestinya tidak perlu ada mekanisme besar berkantor pusat di London (Inggris). IIED
pembentukan tim terpadu karena setiap instansi menjalankan studi, mengembangkan metode
teknis bisa tetap mempunyai wewenang. Dan, konsultasi yang luas dan merancang strategi
manakala satu instansi tidak memberikan izin maka implementasi MMSD.
sudah seharusnya perizinan yang lain juga gugur. Program ini diharapkan mengeluarkan draft
Dalam kasus tambang di Hutan Lindung misalnya, laporan sekitar tahun 2001 dan laporan akhir 2002.
kalau memang Dephut berpijak sesuai peraturan Laporan ini akan menjadi bahan intervensi mereka
perundang-undangan semestinya tidak memberi izin untuk mempromosikan Pertambangan Berkelanjutan,
penambangan dihutan dan perizinan tambang termasuk pada proses-proses negosiasi World
seharusnya gugur. Summit on Sustainable Development (WSSD),
Sebagaimana perbandingan di Belanda, berlaku Johannesburg, 200216).
asas persamaan kedudukan di antara berbagai izin
dan jika salah satu izin dicabut, maka secara otomatis 3.2. Bentuk Sinkronisasi Penerapan Peraturan
kegiatan yang bersangkutan tidak dapat lagi Perundang-Undangan Pemerintah
beroperasi, karena perizinannya tidak lagi lengkap. Bentuk sinkronisasi penerapan peraturan
Asas ini disebut dengan “specialitet beginsel”. perundang-undangan pemerintah dalam
Sementara itu pada tingkat global intervensi permasalahan ini adalah dalam bentuk surat
dilakukan melalui Global Mining Initiatif (GMI)- keputusan Menko Ekoin nomor: KEP-04/M.EKOIN/
intervensi dalam bentuk prakarsa global dari puluhan 09/2000 tentang Tim Koordinasi Pengkajian
perusahaan pertambangan multinasional yang Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Pertambangan
dimulai sejak tahun 1998. telah dikeluarkan dan menyatakan :
Perusahaan-perusahaan tersebut dalam operasi a. Bahwa dalam rangka pemulihan ekonomi,
tambang mereka diberbagai tempat di dunia (termasuk diperlukan pengembangan investasi, termasuk
di Indonesia) memiliki reputasi buruk karena telah investasi dibidang pertambangan.
menimbulkan berbagai masalah serius bagi penduduk b. Bahwa salah satu program percepatan
lokal, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Untuk pemulihan ekonomi adalah optimalisasi
memperbaiki citra sekaligus mencari legitimasi, mereka kekayaan tambang.
mempromosikan “Pertambangan Berkelanjutan”. c. Bahwa usaha pembangunan di luar kegiatan
Untuk mencapai hal itu mereka akan berupaya keras kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam
untuk “...... Secara terbuka menjalin kerjasama dengan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan
kelompok lingkungan hidup, HAM dan pemerintah”. lindung. Dan khusus pada kawasan hutan
Kegiatan kunci GMI adalah Mining Minerals and lindung hanya dapat dilakukan penambangan
Sustainable Development (MMSD). dengan pola penambangan tertutup.
Sampai awal 2001, sekitar 30 perusahaan d. Bahwa sampai saat ini sudah ada sekitar 150
pertambangan telah bergabung dengan GMI/ Kontrak Pertambangan dengan seizin
MMSD. Untuk mendapat legitimasi, project MMSD pemerintah, telah mengeluarkan biaya investasi
sengaja melibatkan kalangan Organisasi Non yang cukup besar untuk kegiatan eksplorasi dan
Pemerintah (Ornop) dan badan-badan dibawah eksploitasi di wilayah tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai contoh, e. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas
World Business Council of Sustainable Development dan dalam rangka percepatan pemulihan
(WBCSD)- koalisi lebih dari 120 perusahaan ekonomi dengan meningkatkan investasi dan
internasional, memulai MMSD atas permintaan kegiatan di bidang pertambangan, perlu
GMI. dilakukan kajian pemanfaatan kawasan hutan
Untuk pelaksana gagasan MMSD, WBSCD khususnya kawasan hutan lindung untuk usaha
memilih, International Institute for Environment penambangan agar diperoleh nilai tambah yang
and Development (IIED)- satu LSM yang cukup lebih besar.

16)
Walhi, No.2/th XXII/2002. Tanah Air. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi. Jakarta

294
IPG. Ardhana : Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan

Munculnya Surat Keputusan itu sangat jelas PT Timah di Bangka dan Belitung, PT Barisan
menunjukkan bahwa negara begitu mengabaikan Tropical Mining di Sumatera Selatan, PT Kaltim Prima
keselamatan kawasan konservasi. Sementara fakta Coal di Kalimantan Timur dan banyak lainnya.
di lapangan menunjukkan, pertambangan merupakan Semua perusahaan ini akan meninggalkan
salah satu penyebab kerusakan hutan. lubang-lubang tambang yang menyerupai danau
Di lokasi-lokasi pertambangan terlihat jelas diakhir operasi pertambangan mereka, di kawasan
bagaimana wajah hutan Indonesia yang hancur yang dulunya hutan.
karena penggalian, pembuangan limbah batuan (over Pemahaman tentang sumber daya alam dalam
burder) dan limbah tailing serta aktivitas penunjang UU No. 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber
operasi tambang lainnya. Beberapa perusahaan yang daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. UU
akan menghentikan kegiatan tambangnya, No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok
menyatakan tidak mampu menghutankan kembali pertambangan mengartikan sumber daya tambang
bekas lubang tambang dan kolam limbah mereka. sebagai bahan galian unsur kimia, mineral, biji dan
Lubang-lubang itu dibiarkan terus menganga batuan yang merupakan endapan alam, yang
dan menjadi danau asam beracun pasca merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan
penambangan. Begitu pula kolam limbah tailing akan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.
menjadi hamparan pasir yang mengandung logam Selain pandangan reduksionis tentang sumber
berat dalam kurun waktu sangat panjang. daya alam, UU No. 11 Tahun 1967 lebih
PT. Kelian Equatorial Mining misalnya, akan menitikberatkan pada eksploitasi (use-oriented)
menutup tambangnya di Kelian, Kalimantan Timur daripada kelestarian sumber daya tambang. Undang-
pada tahun 2003. perusahaan milik Rio Tinto ini akan Undang ini hanya memberikan satu Pasal (Pasal 30)
membiarkan lubang tambangnya seluas 1.766.250 m2 untuk mengatur perlindungan lingkungan dari
sedalam 600 meter tanpa mampu dihutankan kembali. kegiatan pertambangan.
Keterbatasan teknologi dan besarnya biaya yang Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada
mereka pakai sebagai alasan menelantarkan tanah kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan
yang porak poranda setelah sumberdayanya mereka bahwa : apabila selesai melakukan penambangan
nikmati dan tak lagi bisa diperah hasilnya. bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang
Hal yang sama dilakukan PT. Freeport kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan
Indonesia. Limbah tailing Freeport yang dibuang mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak
langsung ke Sungai Ajkwa telah mematikan ratusan menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain dari
hektar hutan di kawasan operasi tambangnya. masyarakat disekitarnya. Dengan ketentuan semacan
Sementara Newmont Minahasa Raya di Sulawesi itu, maka Undang-Undang ini kurang memberi
Utara yang menutup tambangnya di tahun 2003, perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam
menyebutkan meninggalkan enam lubang tambang dan lingkungannya17).
besar dan dalam yaitu : Mesel, Nibong, Limpoga, Semestinya Pasal 30 perlu disempurnakan lagi
Nona Hua dan Pasolo dengan luas totalnya 26 ha. dengan menambahkan pernyataan agar sebelum
Mesel merupakan daerah bekas tambang terluas melaksanakan kegiatan pertambangan pemegang
dengan lubang besar sepanjang 700 meter, lebar 500 kuasa pembangunan pertambangan diwajibkan untuk
meter dan kedalaman maksimum 250 meter. Sedang melaksanakan Amdal sehingga pengaturan
kedalaman lubang lain diperkirakan 100-110 meter. perlindungan dari kegiatan pertambangan bukan
Lebih tragis lagi mereka hanya akan mereklamasi hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan
sebesar 15,4% dari wilayah bekas penambangan. melainkan mulai dari proses awal untuk memperoleh
Banyak perusahaan lain juga tidak mampu atau izin prinsip, izin lokasi dan Amdal mulai dari tahap
tidak mau menghutankan kembali bekas galian prakontruksi, kontruksi, pasca kontruksi atau pasca
tambang mereka seperti, PT Indo Muro Kencana di pertambangan sehingga dampak negatif dapat
Kalimantan Timur, PT Adaro di Kalimantan Selatan, diminimalkan baik dampak fisik, biologi (flora dan

17)
Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Perspektif Antropologi Hukum. Prestasi
Pustaka. Jakarta.

295
Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, hlm. 288 - 299

fauna) maupun dampak sosial yaitu sosial ekonomi, tahun 1993-1995 misalnya, kontribusi sektor
sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Disamping pertambangan berkisar antara 2,54-2,92% dari
itu pemegang kuasa pertambangan yang pendapatan kotor domestik/PDB.
bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah Salah satu senjata penting dalam lobi yang
seperti semula sehingga kondisinya berangsur- dilakukan pelaku pertambangan adalah kasus Pulau
angsur pulih kembali dan tidak menimbulkan bahaya Gag di Papua. Menteri ESDM menyebutkan bahwa
penyakit dan bahaya lainnya bagi masyarakat hasil kajian terhadap Pulau Gag akan menjadi
disekitarnya18). barometer bagi pengembangan kegiatan kegiatan
usaha di sektor pertambangan di Indonesia. Pulau
3.3. Dasar Pemikiran Pemerintah Menerbitkan Gag memiliki deposit Nikel yang besar, nomer tiga
SK Menko Ekoin Nomor: Kep-04/M.EKOIN/ terbesar di dunia setelah Goro di Kalendonia Baru
09/2000 dan Voissey Bay di Kanada.
Pertama, biaya operasional dikatakan menjadi PT. BHP (Broken Hill Property) Billiton saat ini
sangat tinggi bila penambangan dilakukan dengan memiliki masalah untuk mengelola cadangan nikelnya
metode penambangan di bawah tanah. Mulailah di Pulau Gag, sejak ditinggal mitra kerja mereka,
perusahaan-perusahaan tambang dan asosiasinya Falcon Bridge (Canada). Keputusan mengundurkan
melobi pemerintah untuk mengubah kebijakan diri ini terjadi karena status hutan lindung Pulau Gag,
kehutanan dengan membuat amandemen pada UU PT. BHP membutuhkan dana yang besar dan
No. 41 Tahun 1999. Mereka berharap agar hutan ketrampilan untuk mengelola cadangan nikelnya,
dengan status apapun bisa ditambang seperti, untuk itu mereka mencari mitra yang kuat. Mitra
pernyataan-pernyataan yang kerap dikeluarkan tersebut akan sulit didapat jika Gag masih berstatus
Indonesian Mining Assosiation (IMA) atau Asosiasi hutan lindung19).
Pertambangan Indonesia. Anggota IMA adalah Mengubah status lindung Pulau Gag menjadi
perusahaan-perusahaan tambang yang melakukan sangat penting. Ancaman-ancaman kepada
operasionalnya di Indonesia, termasuk Freeport, pemerintah daerah dan pusat untuk menghentikan
Newmont, Rio Tinto dan banyak lagi lainnya. sementara (suspension) investasi pertambangan di
Lobi-lobi perusahaan ini ternyata mendapat Gag pun dikeluarkan.
tanggapan pemerintah dengan keluarnya Keputusan Upaya investor pertambangan mengambil alih
Menko Ekoin nomor: KEP-04/M.EKOIN/09/2000 kawasan hutan lindung dan konservasi tidak berhenti
tentang Tim Koordinasi Pengkajian Pemanfaatan sebatas lobi. Lebih jauh mereka berusaha mengubah
Kawasan Hutan untuk Pertambangan. UU Kehutanan, Merubah Status Kawasan Hutan dan
Kedua, desakan dari International Monetary Menggeser Tata Batas. Usulan Menteri Energi dan
Fund (IMF) melalui Letter of Intent (LoI) pada saat Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro kepada
itu yang telah ditandatangani pemerintah, dimana Menteri Kehutanan untuk merevisi Pasal 38 Undang-
salah satu skema yang disetujui adalah konversi undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, bisa jadi
hutan alam untuk meningkatkan devisa negara. buah dari lobi-lobi itu.
Kedua, adanya dugaan bahwa tekanan IMF ini Alasan Yusgiantoro mengajukan revisi adalah
berkaitan dengan persoalan utang yang harus ketakutan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
dibayar dengan kekayaan alam Indonesia, salah pertambangan di Indonesia dipastikan bakal
satunya disumbang oleh sektor pertambangan. mengalami penurunan tajam. Selain itu, “Saat ini saja
Urusan ini memang sesuai dengan “teori” jebakan sudah ada 99 kontrak pertambangan yang
utang (debt trap). ditandatangani sebelum UU No. 41/1999 diberlakukan
Padahal dihitung-hitung kontribusi dan belum melakukan kegiatan pertambangan karena
pertambangan terhadap pemasukan devisa negara terhalang oleh UU tersebut,” katanya kepada
sangat kecil dan tidak mungkin menutup tunggakan wartawan di Jakarta beberapa waktu lalu.
utang pemerintah yang sudah jatuh tempo itu. Antara Menurut Yusgiantoro, ketentuan dalam Pasal

18)
Ibid
19)
Walhi, No.2/th XXII/2002. op.cit, hal 16

296
IPG. Ardhana : Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan

38 UU No. 41/1999 berbenturan dengan peraturan mereka untuk penumpukan dan perluasan modal
pemerintah sebelumnya mengenai perizinan untuk benar-benar terwujud.
melaksanakan eksplorasi di hutan lindung. Untuk mewujudkan rencana tersebut mereka
Sedangkan dalam UU disebutkan, pada kawasan akan menempuh berbagai cara yang tidak bermoral,
hutan lindung dilarang melakukan penambangan melanggar ketentuan hukum dan mengabaikan
dengan pola pertambangan terbuka. Karena itu, aspirasi dan kepentingan masyarakat20).
tumpang tindih peraturan mengenai pertambangan Padahal dari aspek manapun upaya-upaya yang
tersebut harus segera diklarifikasi. Jika tidak akan mereka lakukan untuk mengubah fungsi konservasi,
membawa dampak negatif kepada dunia lebih banyak mendatangkan kerugian daripada
pertambangan di Indonesia. manfaat. Secara ekonomi, pemanfaatan hutan lindung
Untuk mengatasi tumpang tindih kepentingan ujung-ujungnya hanya akan dinikmati beberapa
antara sektor kehutanan dan pertambangan, Menteri gelintir orang. Masyarakat yang selama ini hidupnya
Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan bergantung dari hutan lindung dan konservasi justru
dan Menteri Negara Lingkungan Hidup serta semakin terpinggirkan. Sementara kerusakan
Kementerian Koordinator Perekonomian, sepakat lingkungan yang timbul akibat perubahan bentang
membentuk tim soal Pulau Gag. alam menjadi bencana yang dapat mengancam siapa
Hasil kajian tim akan menjadi landasan saja.
pemerintah dalam menetapkan status boleh tidaknya Kekayaan sumber daya alam Indonesia
dijadikan areal pertambangan terbuka di kawasan dipahami pemerintah sebagai modal penting dalam
hutan lindung. Seperti diduga sebelumnya, hasil penyelenggaraan pembangunan nasional. Oleh
kajian Tim Terpadu itu pun akhirnya menyetujui karena itu, atas nama pembangunan dengan
proyek pertambangan di Pulau Gag, meskipun mengejar target ekonomi (economic growth
putusan akhirnya tetap tergantung Dephut. Dari development), maka pemanfaatan dilakukan tanpa
sinilah awal proses sinkronisasi penerapan UU No. memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi
11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Dalam
pertambangan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang pelaksanaan yang ditimbulkan dari praktik-praktik
kehutanan yang pada akhirnya memporak- pemanfaatan sumber daya alam yang
porandakan kawasan hutan lindung dan konservasi. mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi
Luas areal yang ditambang sudah mencapai semata adalah secara perlahan tetapi pasti
66.891.496 ha atau lebih 35% daratan Indonesia. Ini menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan
sudah melebihi dari luasan rencana pertambangan serta degradasi kuantitas maupun kualitas sumber
di kawasan hutan lindung dan konservasi (Tabel 2) daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Perizinan ini belum termasuk yang diberikan daerah
lewat Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Tentu 4. Simpulan dan saran
saja dengan luasan tersebut pertambangan
memberikan kontribusi sangat besar bagi penurunan Simpulan
kualitas lingkungan di Indonesia. Berdasakrn uraian di atas terdapat beberapa
Sebagai suatu industri, operasi pertambangan simpulan yaitu:
bersifat ekploitatif dan destruktif. Mulai dari 1) Proses sinkronisasi penerapan peraturan
penebangan hutan hingga membuat lubang-lubang perundang-undangan ini diawali dengan adanya
di perut bumi yang mengandung bahan-bahan perbedaan kontroversial penerapan peraturan
beracun. perundang-undangan antara UU no. 11 Tahun
Dengan beberapa gambaran diatas terlihat 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan dan
bahwa desakan dan inisiatif global untuk UU no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu
mengeksploitasi kawasan hutan lindung dan dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung dan
konservasi akan bergulir terus sampai kepentingan konservasi untuk kegiatan pertambangan,

20)
Harsono Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta

297
Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, hlm. 288 - 299

selanjutnya pemerintah melakukan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan


penerapannya. sumber daya alam lainnya agar tidak terjadi
2) Munculnya sinkronisasi penerapan peraturan tumpang tindih seperti UU No. 5 Tahun 1960
perundang-undangan itu dalam bentuk SK tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Menko Ekoin nomor KEP-04/M.EKOIN/09/2000 (UUPA); UU No. 11 Tahun 1974 tentang
tentang Tim Koordinasi Pengkajian Pengairan; UU No. 9 Tahun 1985 tentang
Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Perikanan; UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Pertambangan yang mengabaikan keselamatan Konservasi Sumber Daya Hayati dan
hutan lindung dan konservasi. Ekosistemnya; UU No. 26 Tahun 2007 tentang
3) Dasar pemikiran pemerintah menerbitkan SK Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 1997
Menko Ekoin nomor KEP-04/M.EKOIN/09/2000 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
tidak lepas dari: 2) Sangat diperlukan revitalisasi/penguatan
a. Desakan dari International Monetary penegakan hukum sehingga proses
Fund (IMF) melalui Letter of Intent (LoI) pembangunan pertambangan dapat berjalan
b. Desakan ini berkaitan dengan persoalan dengan sempurna.
utang yang harus dibayar dengan 3) Pemerintah harus secara tegas melarang
kekayaan alam Indonesia salah satunya pemanfaatan hutan lindung dan konservasi
disektor pertambangan. untuk pertambangan.
c. Adanya upaya investor pertambangan 4) Jangan memaksakan diri untuk mengubah fungsi
dengan lobi-lobi untuk berusaha hutan lindung untuk dieksploitasi, sebaiknya
mengubah status kawasan dan menggeser segera dihentikan upayanya dan lebih
tata batas. memperhatikan kepentingan masyarakat umum
d. Adanya alasan kuat dari pemerintah dan lingkungan hidup.
dengan alasan negara dalam kondisi krisis 5) Masyarakat semestinya selalu mengkritik
ekonomi sehingga prioritas kebijakan kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai upaya
pemerintah ditekankan kepada kontrol terhadap pemerintah berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi dengan dalih untuk status peruntukan hutan lindung dan
mengurangi tingkat kemiskinan. konservasi.
6) Masyarakat semestinya diajak berpartisipasi
Saran dari awal rencana kegiatan pembangunan
Ada beberapa saran yang perlu dilaksanakan pertambangan sehingga masyarakat terlebih
untuk menangani permasalahan tersebut dahulu akan dapat mengetahui dampak yang
yaitu : akan terjadi baik dampak positif maupun
1) Diperlukan keterpaduan dan sinkronisasi negatifnya.

Daftar Pustaka

Anonim, 1996. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Kegiatan Pemboran
dan Uji Produksi Sumur Batukaru-bedugul Bali. Kontrak Operasi Bersama Pertamina-Bali Energy,
Ltd., Jakarta

Anonim. 2005. Andal PLTP di Kawasan Bedugul BEL (Bali Energy Limited). PPLH Unud, Denpasar Bali

Ashshofa, B., 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta

Bali Post, Senin, 18 Juli 2005. PLTP Geothermal Bedugul Potensi Kecil Dampak Besar. Denpasar

Harsono Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan, Jakarta

298
IPG. Ardhana : Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan

Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Perspektif Antropologi Hukum. Prestasi
Pustaka, Jakarta.

Pamulardi Bambang. 1994. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. PT. RajaGrafindo,
Jakarta

Khakim, A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, PT. Cahaya Aditya Bakti, Bandung

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Scotland, N., J. Smith, H. Lisa, M. Hiller, B. Jarvis, C. Kaiser, M. Leighton, L. Paulson, E. Pollard, D. Ratnasari,
R. Ravanell, S. Stanley, Erwidodo, D. Curry, dan A. Setyarso. 2000. Indonesia Country Paper on
Illegal Logging, disunting oleh W. Finlayson dan N. Scotland. Laporan yang tidak diterbitkan,
disajikan untuk World Bank-World Wide Fund for Nature Workshop on Control of Illegal logging in
East Asia. Jakarta, Indonesia.

Walhi, No.2/th XXII/2002. “Tanah Air”. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi, Jakarta.

Sumber internet:
Dikumpulkan dalam sumber elektronik rujukan dari internet UU No. 11 Tahun 1967. www.minergynews.com/
regulation/regulation_e.shtml.

Dikumpulkan dalam sumber elektronik rujukan dari internet UU No. 41 Tahun 1999.www.warsi.or.id/Library/
Pustaka_find_result.asp?penerbit=BKSDA%20JAMBI.

299

Anda mungkin juga menyukai