Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan
kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari
60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari
oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach et al. 2005). Apabila
kerusakan ini mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/GFR berkurang hingga
di bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai kondisi uremia, maka pasien
mengalami gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan End Stage Renal
Disease (ESRD).
Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan
sebesar 20-25% setiap tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al.
2009). Menurut data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai
70.000, namun yang terdeteksi menjalani gagal ginjal kronis dan menjalani
cuci darah/haemodialysis hanya sekitar 4000 sampai dengan 5000 saja. Angka
mortalitas pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat seiring meningkatnya
angka kejadian penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung
sebagai penyebabnya dan komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, gagal ginjal kronik
menempati urutan ke 6 penyebab kematian yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUP
Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati Jakarta
jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak 1629
orang.
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan
(Markum 2009) yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet
protein, diet kalium, diet natrium, dan pembatasan cairan yang masuk. Kedua,
dialisis dan transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti pada pasien.
Terapi pengganti yang sering dilakukan pada pasien GGK adalah dialisis.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat
mampu memahami dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu
menerapkan asuhan keperawatan yang tepat bagi penderita gagal ginjal
kronik. 1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual
mengenai gagal ginjal kronik dan bagaimana cara memberikan
penatalaksaan yang cepat dan tepat, serta pembaca diharapkan
memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada kasus gagal
ginjal kronik secara komprehensif.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa mampu
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi ginjal
2. Menjelaskan definisi dari gagal ginjal kronik
3. Menjelaskan tahap perkembangan dari gagal ginjal kronik
4. Menjelaskan etiologi dari gagal ginjal kronik
5. Menjelaskan stadium dari gagal ginjal kronik
6. Menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik
7. Menjelaskan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
8. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal kronik
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
10. Menjelaskan komplikasi dari gagal ginjal kronik
11. Menjelaskan prognosis dari gagal ginjal kronik
12. Menjelaskan Web of Cautation dari gagal ginjal kronik
13. Menjelaskan Asuhan keperawatan dari gagal ginjal kronik dengan
mneggunakan pendekatan model keperawatan Adaptasi (Calista
Roy) berbasis Evidance Based Nursing.

1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui tentang gagal ginjal kronik sehingga
perawat akan lebih peka dan teliti dalam mengumpulkan data pengkajian awal
2
dan menganalisa suatu respon tubuh pasien terhadap penyakit, sehingga gagal
ginjal kronik tidak semakin berat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Anatomi Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
peritoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Pada sisi ini, terdapat hilus ginjal, yaitu tempat
struktur-sturuktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter
menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi
tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi lain.
Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm
(tebal). Beratnya bervariasi sekitar 120-170 gram (Aziz dkk.2008).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang disebut true
capsule (kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak
peri renal. Di sebelah kranial terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama
ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini
berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari
parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma
ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam
menghambat metastasis tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar fasia gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jarinagn lemak pararenal
(Aziz dkk. 2008).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal


serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi
oleh organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon,
dan duodenum, sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,
jejunum, dan kolon (Aziz dkk. 2008). Ginjal kanan tingginya sekitar 1 cm di
atas ginjal kiri (Faiz &Moffat 2004).
Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam
medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil
dari ginjal yang terdiri atas glomeruli dan tubuli ginjal. Darah yang membawa
sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di
tubuli ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi
dan zat-zat hasil sisa metabolisme tubuh disekresi bersama air dalam bentuk
urin (Aziz dkk. 2008).

5
Gambar 2. Sistem Nefron Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke


sistem pelvikalises ginjal untuk disalurkan ke dalam ureter. Sistem
pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor, dan
pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel
transisional dan dindingnya terdiri otot polos yang mampu berkontraksi untuk
mengalirkan urin sampai ureter (Aziz dkk. 2008).
Ginjal bekerja untuk menyaring darah sebanyak kurang lebih 200 liter tiap
harinya dan juga membuang sisa-sisa metabolisme serta kelebihan cairan
tubuh melalui urin. Selain membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui
urin, ginjal berfungsi juga dalam:
1. Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon dan Anti
Diuretik Hormon (ADH)
2. Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
3. Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah, kalsitriol atau vitamin D3 yaitu bentuk aktif dari vitam D
yang berfungsi mengatur tekanan darah dengan cara mengatur
keseimbangan kadar kalsium, dan hormon prostaglandin (Aziz dkk. 2008).
2.1.2 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme 6dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau
penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR)
kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
(Kallenbach et al. 2005). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik
merupakan suatu keadaan abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan yang mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus
ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi
gangguan pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh
darah tersebut. Akibatnya, darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih
sedikit, dan tekanan darah di dalam ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit
penyaring yang terganggu, maka suplai darah kurang dan gangguan tekanan
darah akan membuat ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai
lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan
dan zat-zat kimia di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali
ke dalam darah. Juga mungkin terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan
protein akan ikut keluar bersama urin (Syamsir & Iwan 2007)
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju
tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal
terminal (GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi.
8
Kondisi gagal ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya
menahun, dengan sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita
tidak merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun
25% dari normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal
ginjal kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan
2007).

2.1.3 Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik


Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria 9
g. Gejala gagal ginjal

2.1.4 Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes
mellitus (tipe 1 atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage
Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah IgA nephropathy (penyakit
inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi adalah rusaknya
pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga
mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal
kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan
yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab
paling banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti
oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas
2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena
glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).
Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas,
antara lain (Price & Wilson 2003):
Tabel 1.
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik (Price & Wilson 2003):
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
10
Penyakit metabolic DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra

2.1.5 Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem
yaitu Cause, GFR category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik
merupakan stadium 5 dari CKD atau biasa disebut dengan End-stage Renal
Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik apabila dari hasil tes nilai
eGFR < 15 mL/min/1.73 m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2
clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease:

Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013)


GFR category GFR (ml/min/1.73 m2) Terms
G1 >90 Normal or high
11
G2 60–89 Mildly decreased*
G3a 45–59 Mildly to moderately decreased
G3b 30–44 Moderately to severely decreased
G4 15–29 Severely decreased
G5 <15 Kidney failure
* Relatif pada level dewasa
Tabel 3. Kategori Albuminuria (KDIGO 2013)
ACR AER ACR
Terms
category (mg/24hrs) (mg/mmol)
A1 < 30 <3 Normal to mildly
increased
A2 30-300 3–30 Moderately
increased*
A3 > 300 >30 Severely
increased**
* Relatif pada level dewasa
** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)
GFR = glomerular filtration rate
AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio

2.1.6 Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk
mengeluarkan sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin,
dan asam urat sehingga terjadi keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini
diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi nefron secara progresif akibat
adanya pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal menimbulkan
mekanisme kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan
hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR) dan12
peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium satu dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini
kreatin serum dan BUN dalam keadaan normal dan penderita asimtomatik
(tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini
BUN baru mulai stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria
diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari)
sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari beberapa kali. Pengeluaran urin
normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang
diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar
90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh.
Nilai GFR nya hanya 10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar
5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri (pengeluaran urien kurang dari 500
ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk
akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal
ginjal kronis, akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai
dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR
60% belum merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar ureum
dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas, mual, nafsu
makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.

2.1.7 Manifestasi Klinis


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara
lambat dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari
kondisi medis lain yang serius.
13Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi
dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap. Gagal
ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan pada
stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat
inilah yang mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan
besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar

3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul 14
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK
adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
15
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik,
antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.

c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi


renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium16
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
17
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
3. Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal


kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
18
pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting
untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
(Suwitra 2007).
LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr
˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih
(protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
(intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkattkan
progresifitas pemburuan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan

19 1
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi,
memperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat
pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting
Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritopoitin. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian
EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi
pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.

Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat


mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan
fungsi ginjal sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah
20
11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone
Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan
absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.
1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan
telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium,
alumnium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate.
Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek
sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama
sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic
agent, dan dilaporkan
21 mempunyai efektivitas yang sangat baik
serta efek samping yang minimal.
2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak
dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium
carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik.
Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu
pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh
dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar
melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya
adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh
karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.

6. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal22dialisis atau transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal
tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Raharjo, et al. 2009).
Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme
dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk
kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan
hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan
dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan
melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di
sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan
terjadi membran semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses
hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan
memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali hemodialisis
(Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis
berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

23
Gambar 3. Proses Hemodialisis (Joyce, dkk. 2008)
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang
memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang
lebih rendah (Rosidana 2011).

Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com)


Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan

24
tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis
(Rosdiana 2011).

Gambar 5. Proses Ultrafiltrasi (http://www.lhsc.on.ca/)

Indikasi inisiasi terapi dialisis:


1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73
m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu
tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai denganjadwal
yang telah ditentukan.25 Pemeriksaan ini sangat penting untuk

menjamin kualitas hidup optimal


5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
1. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki
sistem vaskular pasien.
3. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi
di luar tubuh.
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di
dalam kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan
kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan
dan sodium.

b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal
pasien sendiri. Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal
26 dimasukkan dan dibiarkan selama 4-6 jam
menggunakan kateter yang
untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat kemudian dibuang dan
digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan konsentrasi
glukosa pada dialisat akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur
perpindahan air secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat
dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering terjadi
adalah peritonitis.
Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2005)
c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70 - 80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama

4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan


dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
27
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan
donor menyebabkan reaksi penolakan hiperakut
(hyperacute immediate rejection)
2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene
complex):
1. Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
3. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare
(2002) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme
28
dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
renin-angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009)
yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan
pemberian eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja
bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam
keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan
eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi
mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar
hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat
retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk
bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi
ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air
akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan
sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga
mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier
serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal
dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang
mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal
ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit
dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal.
Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi.
Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat
menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi.
Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai
urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,
impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita,
sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas.
Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi
dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan
massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan,
kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi
neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus,
peningkatan tonus otot 29
dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki,
hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas
Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang
tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada
transport kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam
menyebabkan neurotransmisi yang abnormal. Gangguan tidur
seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot
dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin
sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi
dan terdapat peningkatan risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering
terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis
dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak
tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien
yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani
hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti
apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika
kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme
sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula
dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan proporsi curah
jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang
dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.

2.1.10 Prognosis
Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor
terutama seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur 30
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup
lebih panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun
kemungkinan terdapat komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat
seperti koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat
mempengaruhi masa hidup. Hal ini berhubungan dengan penyakit
dasarnya sudah berat maupun kemungkinan timbul komplikasi akut atau
kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko
vaskuler (kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan
faktor risiko tindakan HD. Program CAPD merupakan faktor pilihan /
alternatif yang paling aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT
dengan program HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik,
misalnya kepribadian, finansial dan lain-lain.

31
2.1.11 WOC

Vaskuler Kista ginjal autoimun infeksi Toksik :


obat TB
jamu
Terdapat rongga Reaksi antigen
Diabetes melitus hipertensi
dalam gijal yang anti bodi
disebabkan oleh nefrotoksik
↑ kadar gula Vasokonstriksi kista
dalam darah pembuluh darah, Terjadi
↑tekanan darah Jumlah nefron kerusakan pada
Darah menjadi dalam arteri yang sehat nefron
kental menurun
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal
Kerusakan Ginjal kehilangan
pembuluh darah di kemampuan laju
ginjal filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal
Eritropoitin
hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD

Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal Proteinuria/ BUN, Kreatinin ↓Eritropoitin Retensi Na Sekresi protein ↓sintesis 1,25-
albuminuria meningkat menurun terganggu dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol
asimtomatik anemia Total CES ↑
Sekresi protein Sindroma uremia
terganggu kegagalan mengubah
MK: ↑Tekanan bentuk inaktif Ca
Keletihan kapiler
MK: kelebihan
volume cairan
hipoalbuminuria Syndrome ↑Volume interstitial perpospater Gangguan Kegagalan
uremia nia keseimban mengubah
gan asam bentuk inaktif
Pembengkakan oedema
Pruritus pruritus basa Ca
pergelangan
kaki, tangan, ↑Preload
MK: ↑As. ↓absorbsi Ca
wajah, perut
MK: gangguan Lambung
gangguan
integritas kulit Hipertrofi
integritas hipokalsemia
MK: kelebihan ventrikel kiri
kulit dan
volume cairan
osteodistrofi
Payah jantung kiri
Nausea, Iritasi
vomiting lambung MK:
↑Bendungan Hambatan
atrium kiri
Mobilitas
MK: mual MK:
Fisik
Tekanan vena Ketidakse
pulmonalis imbangan
nutrisi:
Kapiler paru naik kurang
dari
kebutuha
Edema paru

MK : gangguan
pertukaran gas

Anda mungkin juga menyukai