Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN STATUS GIZI, BERAT BADAN LAHIR,

IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUNIKAMASEANG
KECAMATAN BONTOA KABUPATEN MAROS

1) 1)
Sukmawati , Sri Dara Ayu

1) Jurusan Gizi Poltekes Makassar

ABSTRAK

Tingginya angka kematian balita terutama disebabkan oleh ISPA . WHO


memperkirakan negara berkembang berkisar 30-70 kali lebih tinggi dari negara maju.
Diakhir tahun 2000, kematian akibat Pneumonia merupakan penyebab utama ISPA di
Indonesia yang mencapai 500 diantara 1000 bayi/balita. Salah satu upaya pencegahan
adalah dengan mempertahankan status gizi yang baik dan pemberian imunasi lengkap.
Sementara itu balita dengan riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan
terkena ISPA dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan normal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi, berat badan lahir, imunisasi dengan
kejadian ISPA pada balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan
kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,031, tidak ada hubungan bermakna antara
berat badan lahir (BBL) dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,636 dan ada
hubungan bermakna antara imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p
0,026.
Disarankan optimalisasi peran tenaga kesehatan dalam memberikan informasi dan
pengetahuan kepada orang tua (keluarga ) balita dalam mempertahankan status gizi
dan imunisasi anaknya.

PENDAHULUAN

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut diantara 1000 bayi/balita. Hal ini berarti 150
(ISPA) banyak menyerang balita usia 2 bulan ribu bayi/balita meninggal pertahunnya, atau
sampai 5 tahun. Hasil Konferensi 12500 korban perbulan.(Media Indonesia,
Internasional mengenai ISPA di Canberra 2004).
Australia pada juli 1997, menemukan 4 juta Berdasarkan data Dinas Kesehatan
bayi dan balita di Negara-negara Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2007, dalam
berkembang meninggal karena ISPA. WHO sepuluh besar penyakit menular rawat jalan,
memperkirakan di Negara berkembang influenza menempati peringkat pertama
berkisar 30 – 70 kali lebih tinggi dari Negara dengan jumlah kasus sebanyak 6055 kasus
maju dan diduga 20% kematian anak dan pneumonia pada peringkat ke empat
disebabkan oleh ISPA. Pada tahun 2005 dengan jumlah kasus sebanyak 1374 kasus
tercatat penyebab kematian balita diseluruh (Dinkes Sul-Sel, 2007).
dunia terdiri atas Pneumonia19%, Diare 17%, Beberapa faktor yang berhubungan
Malaria 8% dan Campak 4% (Budi Santosa, dengan terjadinya ISPA adalah tingkat sosial
2007). Di akhir tahun 2000, kematian akibat ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan
Pneumonia merupakan penyebab utama lahir rendah, tingkat pendidikan dan
ISPA di Indonesia yang mencapai 500 pengetahuan, jangkauan pelayanan

1
kesehatan yang rendah, padatnya tempat kasus ISPA, maka pemerintah berusaha
tinggal, imunisasi yang tidak memadai, dan menurunkan angka kematian dan kesakitan
adanya penyakit kronis pada bayi dan balita. dengan pengobatan kasus secara standar
Zat gizi (makanan) memiliki efek kuat dan upaya penekanan pada pentingnya
untuk reaksi kekebalan tubuh dan resistensi usaha pencegahan dengan cara imunisasi
terhadap infeksi. Hal ini dibuktikan dengan serta kerja sama lintas sektoral bagi
adanya hasil penelitian akhir-akhir ini yang pengurangan faktor risiko (BBLR dan gizi
memperlihatkan bahwa melalui pemberian kurang/buruk).
gizi, dan hormon anabolik dapat mengatur Data Riskesdas 2007 menunjukkan
daya tahan (resistensi) hospes terhadap bahwa cakupan imunisasi usia 12-59 bulan
infeksi bakteri. Tupasi (2000) mendapatkan untuk SulSel adalah BCG 86,4%, Polio 3
bahwa pada Kurang Energi Protein (KEP), 61,1%, DPT 3 58,3%, Campak 72,1% dan
ketahanan tubuh menurun dan virulensi untuk Kab. Maros BCG 69,8%, Polio 3
patogen lebih kuat sehingga menyebabkan 22,2%, DPT 3 30,6%, Campak 60,5%.
keseimbangan yang terganggu dan akan Persentase BBLR untuk SulSel adalah 14,5%
terjadi infeksi, sedangkan salah satu dan untuk kabupaten Maros 28,1% .
determinan utama dalam mempertahankan Sedangkan persentase balita dengan status
keseimbangan tersebut adalah status gizi. gizi kurang untuk SulSel 12,5%, dan
Sementara ketidakpatuhan imunisasi Kabupaten Maros 12,9% dan gizi buruk untuk
berhubungan dengan peningkatan penderita SulSel 5,1% dan Kabupaten Maros 3,9%.
ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini Dengan tingginya persentase BBLR dan
sesuai dengan peneliti lain yang status gizi kurang/buruk, serta status
mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap imunisasi yang belum memadai (belum UCI
dapat memberikan peranan yang cukup (Universal Chain Imunisasion) sehingga
berarti dalam mencegah kejadian ISPA. memungkinkan prevalensi kejadian ISPA
Penyakit yang tergolong ISPA yang dapat akan terus meningkat.
dicegah dengan imunisasi adalah difteri, Penelitian ini bertujuan untuk
batuk rejan dan campak. mengetahui hubungan antara status gizi,
Mengingat tingginya angka berat badan lahir (BBL), dan Imunisasi
kematian dan kesakitan serta banyaknya dengan kejadian ISPA pada balita diwilayah
biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan kerja Puskesmas Tunikamaseang.

METODE PENELITIAN

Desain dan Sampel Penelitian penimbangan dengan menggunakan dacin


Desain penelitian adalah penelitian dengan ketelitian 0,1kg. Untuk mengetahui
deskriptif analitik dengan pendekatan Cross umur dilakukan dengan wawancara atau
Sectional Study. Sampel pada penelitian ini dengan melihat catatan akte kelahiran anak.
sebanyak 50 anak, yaitu semua bayi dan Untuk variabel status gizi diperoleh dengan
balita usia 2-59 bulan yang terdiagnosa ISPA membandingkan berat badan anak dengan
pada buku family folder yang datang berobat umurnya. Data sekunder yang
di Puskesmas Tunikamaseang pada bulan dikumpulkan meliputi data status imunisasi
Agustus sampai September 2009.. dan jumlah pasien ISPA yang diperoleh
melalui catatan register di Puskesmas
Tempat dan Waktu Penelitian Tunikamaseang.
Penelitian dilakukan di Puskesmas
Tunikamaseang Kecamatan Bontoa Analisis Data
Kabupaten Maros, pada bulan Agustus Analisis data menghasilkan distribusi
sampai September 2009. dan Frekuensi dari setiap variabel.
Penentuan status gizi anak berdasarkan
Jenis dan Cara Pengumpulan Data standar WHO-Antro 2005 dengan indikator
Data primer yang dikumpulkan BB/U. Untuk melihat hubungan dari tiap-tiap
meliputi berat badan, umur dan status gizi. variabel menggunakan uji statistik Chi Square
Untuk mengetahui berat badan dilakukan dengan tingkat kemaknaan (α = 0,05).

2
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap
pada Balita infeksi.
Berdasarkan tabel 1 (terlampir),
dari 23 responden dengan status gizi kurang Hubungan Berat Badan Lahir (BBL) dengan
ditemukan kejadian ISPA berulang sebanyak Kejadian ISPA pada balita
20 kasus (40,0%) dan yang tidak berulang Berdasarkan tabel 2 (terlampir), dari
hanya 3 kasus (6,0%), dan 27 responden 47 responden dengan BBL normal terdapat
status gizi baik ditemukan kejadian ISPA kejadian ISPA berulang sebanyak 34 kasus
berulang sebanyak 16 kasus (32,0%) dan (68,0%) dan yang tidak berulang hanya13
yang tidak berulang sebanyak 11 kasus kasus (26,0%), sedangkan dari 3 kasus
(22,0%), BBLR terdapat kejadian ISPA berulang
Berdasarkan uji Chi Square sebanyak 1 kasus (2,0%) dan yang tidak
diperoleh nilai hitung p = 0,03 lebih kecil dari berulang sebanyak 2 kasus (4,0%),
nilai α = 0,05. Dari hasil analisis tersebut Hasil uji chi square diperoleh nilai
dapat diartikan bahwa Ho ditolak dan Ha hitung p = 0,636 lebih besar dari nilai α =
ditolak. Hasil analisis data, disimpulkan 0,05. Dari hasil analisis tersebut dapat
bahwa ada hubungan antara status gizi diartikan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak.
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya
kerja Puskesmas Tunikamaseang Kec. hubungan antara BBL dengan kejadian ISPA
Bontoa Kab. Maros. Dikutip dari Anonim A, pada balita. Seperti dikemukan oleh Dachi J
2009, bahwa jika status gizi kurang maka (2009), resiko kesakitan hingga resiko
ketahanan tubuh menurun dan virulensi kematian pada BBLR cukup tinggi oleh
patogen lebih kuat sehingga akan karena adanya gangguan pertumbuhan dan
menyebabkan keseimbangan yang terganggu imaturitas organ. Penyebab utama kematian
dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah pada BBLR adalah afiksia, sindroma
satu determinan utama dalam gangguan pernapasan, infeksi dan komplikasi
mempertahankan keseimbangan tersebut hipotermia. Pada bayi BBLR, pembentukan
adalah status gizi. Balita dengan gizi yang zat anti kekebalan kurang sempurna
kurang akan lebih mudah terserang ISPA sehingga lebih mudah terkena penyakit
dibandingkan balita dengan gizi normal infeksi terutama Pneumonia dan sakit saluran
karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. pernapasan lainnya. Tetapi pada penelitian
Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan
balita tidak mempunyai nafsu makan dan riwayat berat badan lahir rendah cenderung
mengakibatkan kekurangan gizi, sehingga tidak mengalami penyakit saluran
terjadi hubungan timbal balik antara status pernapasan lebih tinggi, tetapi mengalami
gizi dan penyakit infeksi. Pada keadaan gizi infeksi yang berulang. Hal ini terjadi karena
kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih banyak sampel dengan BBL normal
berat bahkan serangannya lebih lama. Pada (94,0%). Meskipun anak mempunyai riwayat
penelitian ini telah membuktikan hal tersebut lahir dengan BBLR, jika didukung oleh
dan menggambarkan kejadian ISPA berulang kondisi status gizi baik dan pemberian
yang lebih banyak pada balita dengan status imunisasi lengkap, anak tersebut tidak mudah
gizi kurang (40,0%). terkena penyakit infeksi (ISPA).
Beberapa penelitian terdahulu telah Pada penelitian terdahulu (Anonim,
membuktikan tentang adanya hubungan 2009) menunjukkan bahwa anak dengan
antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga riwayat berat badan lahir rendah tidak
anak-anak yang bergizi buruk sering mengalami kejadian lebih tinggi terhadap
mendapat pneumonia. Disamping itu adanya penyakit saluran pernapasan tetapi
hubungan antara gizi buruk dan terjadinya mengalami infeksi yang lebih berat.
campak dan infeksi virus berat lainnya serta

3
Hubungan Imunisasi dengan Kejadian ISPA 2004) bahwa dengan pemberian imunisasi
pada balita DPT khususnya dapat mencegah infeksi
Berdasarkan Data pada tabel 3 saluran pernapasan, anti batuk rejan dan
(terlampir), dari 27 responden dengan tetanus.
imunisasi kurang terdapat kejadian ISPA Mengingat tingginya angka kematian
berulang sebanyak 23 kasus (46,0%) dan bayi dan balita yang disebabkan oleh ISPA,
yang tidak berulang sebanyak 4 kasus maka diharapkan dengan pemberian
(8,0%), sedangkan dari 23 kasus gizi baik imunisasi lengkap perkembangan
terdapat kejadian ISPA berulang sebanyak penyakitnya tidak menjadi berat. Hal ini dapat
13 kasus (26,0%) dan yang tidak berulang dibuktikan pada penelitian ini dimana
hanya10 kasus (20,0%), kejadian ISPA berulang lebih banyak terjadi
Hasil uji Chi Square diperoleh nilai pada sampel dengan imunisasi yang kurang
hitung, p = 0,02 lebih kecil dari nilai α = 0,05. dibanding dengan responden yang
Dari hasil analisis tersebut dapat diartikan imunisasinya baik.
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga Pada penelitian terdahulu (Anonim,
disimpulkan bahwa ada hubungan antara 2009) mengemukakan bahwa dengan
imunisasi dengan kejadi ISPA pada balita. imunisasi Campak yang efektif sekitar 11%
Hasil ini didukung oleh pendapat Ganna kematian Pneumonia balita dapat dicegah
Karnen (2006) bahwa dengan pemberian dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6%
imunisasi dapat mencegah berbagai jenis kematian pneumonia dapat dicegah.
penyakit infeksi. Demikian pula yang
dikemukan oleh Srikusumo (Media Indonesia,

KESIMPULAN
kerja Puskesmas Tunikamaseang Kec.
1. Ada hubungan bermakna antara status Bontoa Kab. Maros dengan nilai p =
gizi dengan kejadian ISPA pada balita di 0,636
wilayah kerja Puskesmas 3. Ada hubungan bermakna antara
Tunikamaseang Kec. Bontoa Kab. Maros imunisasi dengan kejadian ISPA pada
dengan nilai p = 0,031. balita di wilayah kerja Puskesmas
2. Tidak ada hubungan BBL dengan Tunikamaseang Kec. Bontoa Kab. Maros
kejadian ISPA pada balita di wilayah dengan hasil penelitian nilai p = 0,02.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim A, (2009). 90 Balita meninggal per Depkes RI, 2008. RISKESDAS Provinsi
hari Akibat Malnutrisi. Sulawesi Selatan Tahun 2007.
hhtp//cetak.kompas.com (diakses, Jakarta
23 Juni 2009) Ganna Karnen, 2006. Imunologi Dasar Edisi
Anonim B, (2009). Faktor Resiko ISPA Pada ke-7. FKUI. Jakarta
Balita. http//putraparbu. Wordpress. Johan Dachi, 2009. Permasalahan Berat
Com (diakses, 15 Mei 2009). Lahir Rendah.
Anonim, E. 2009. Berat lahir rendah. http//johandc.multiply.com (diakses,
http//warnetdipo.blogspot.com 20 Juni 2009)
Html (diakses, 20 Juni 2009) Media Indonesia. 2004. Angka Kematian Bayi
Depkes RI, 2002. Pedoman Program Masih Tinggi, ISPA Pembunuh
Pemberantasan Penyakit ISPA Utama (on line). Http://Media
untuk Penanggulangan Pneumonia. Indonesia.com. (diakses 3 mei 2009
Ditjen PPM&PL, Jakarta
Lampiran
Tabel 1
Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada balita
di Puskesmas Tunikamaseang

4
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

Status Kejadian ISPA pada balita Total


Gizi Tidak berulang Berulang n % p
n % n %
Baik 11 22,0 16 32,0 27 54,0
Kurang 3 6,0 20 40,0 23 46,0 0,031
Total 14 28,0 36 72,0 50 100

Tabel 2
Hubungan BBL dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas
Tunikamaseang Kec. Bontoa Kab. Maros Tahun 2009

Kejadian ISPA pada Balita Total


BBL Tidak Berulang Berulang p
N %
n % n %
Normal 13 26,0 34 68,0 47 94,0
BBLR 1 2,0 2 4,0 3 6,0 0,636
Total 14 72,0 36 28,0 50 100

Tabel 3
Hubungan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tunikamaseang Kec. Bontoa kab. Maros Tahun 2009

Kejadian ISPA pada balita


Tidak Berulang Berulang Total
Imunisasi Nilai p

n % n % n %
Baik 10 20,0 13 26,0 23 46,0
Kurang 4 8,0 23 46,0 27 54,0 0,026
Total 14 28,0 36 72,0 50 100

POLA MAKAN, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI


PEGAWAI DINAS KESEHATAN SULAWESI SELATAN
1)
Nadimin

5
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Makassar

ABSTRAK

Latar belakang. Angka kejadian penyakit degenaratif seperti penyakit jantung, stroke, diabetes
mellitus semakin meningkat di Indoensia termasuk di Sulsel sehingga perlu mendapat
perhatian. Penyakit-penyakit tersebut sangat terkait dengan status gizi dan gaya hidup seperti
pola makan dan aktivitas fisik.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola makan dan aktivitas fisik
serta kaitannya dengan status gizi tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan.
Metode. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan 50 sampel tenaga
kesehatan yang dipilih secara puorposive di Kantor Dinkes Sulsel. Pengukuran pola makan
menggunakan food frequency Form (FFQ), aktivitas diukur dengan kuesioner, dan status gizi
menggunakan metode IMT (Indeks Massa Tubuh).
Hasil. Kebanyakan tenaga kesehatan memiliki pola makan yang kurang baik (62%) terutama
pola makan sayuran dan buah-buahan. Namun, mereka sudah dapat menghindari konsumsi
makanan berlemak yang berlebihan. Tingkat aktivitas fisik tenaga kesehatan umumnya
tergolong tingkat sedang (44%) dan tingkat ringan (32%). Hal tersebut menyebabkan sebagian
besar tenaga kesehatan mengalami obesitas (56%).
Kesimpulan. Tenaga kesehatan umumnya mempunyai pola makan yang kurang baik, dan
tingkat aktivitas yang tergolong tingkat sedang dan rendah, sehingga menyebabkan tingginya
angka obesitas di lingkungan kantor Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.

Kata kunci: Pola makan, aktivitas fisik, status gizi, tenaga kesehatan.

PENDAHULUAN

Meningkatnya taraf hidup masyarakat Upaya paling baik untuk mengurangi


terutama di negara maju dan kota besar kasus penyakit degeneratif adalah melalui upaya
membawa perubahan pada pola hidup individu. pencegahan. Pencegahan yang paling baik
Perubahan pola hidup tersebut membawa pula adalah dengan merubah faktor risiko utama
pada perubahan pola penyakit yang ada, penyebab penyakit degeneratif, yaitu dengan
terutama pada penyakit yang berhubungan memperbaiki pola makan dan meningkatkan
dengan gaya hidup sesorang. Kondisi tersebut aktifitas fisik. Faktor risiko ini meningkat seiring
mengubah banyaknya kasus-kasus penyakit dengan perubahan gaya hidup seperti kebiasaan
infeksi yang pada awalnya menempati urutan makan masyarakat kearah konsumsi makanan
pertama, namun sekarang bergeser pada tinggi lemak dan gula dan jenis pekerjaan yang
penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik tidak banyak mengeluarkan tenaga (sedentary)
yang menempati urutan teratas (Ramadha, (Depkes, 2010).
2009). Secara nasional hampir separuh
Prevalensi penyakit degeneratif saat ini penduduk (48,2%) kurang melakukan aktifitas
semakin meningkat dari tahun ketahun. fisik. Kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, di provinsi Kalimantan Timur (61,7%) dan
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 provinsi Riau (60,2%). Prevalensi kurang
tahun keatas di Indonesia adalah sebesar aktifitas fisik dibawah rata-rata nasional terdapat
31,7%, prevalensi stroke di Indonesia sebesar di Nusa Tenggara Timur (27,3%), Sulawesi
8,3%, prevalensi penyakit jantung di Indnesia Tengah (39,4%), dan Bengkulu (40,1%)
adalah 7,2% dan prevalensi DM di Indonesia (Riskesdas, 2007).
adalah 1,1%. Prevalesnsi penyakit degeneratif Menurut kelompok umur, kurang aktifitas
tampak meningkat sesuai peningkatan umur fisik paling tinggi terdapat pada kelompok 75
responden (Riskesdas, 2007). tahun keatas (76%) dan umur 10 – 40 tahun

6
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

(66,9%), dan perempuan (54,5%) lebih tinggi pengendalian berat badan, tidak merokok dan
dibanding laki-laki (41,4%). Berdasarkan tingkat minum-minuman beralkohol, aktifitas
pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin fisik/berolahraga secara teratur serta terampil
tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi dalam mengolola stres yang dialami (Ramadha,
kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan 2009).
(57,6%) lebih tinggi dibanding pedesaan (42,4%) Gaya hidup sekarang ini merupakan
(Riskesda, 2007). salah satu faktor penting yang mempengaruhi
Prevalensi kurang aktifitas fisik kesehatan, penyakit ataupun masalah
penduduk 10 tahun keatas menurut Riskesdas kesehatan lainnya dapat ditimbulkan oleh gaya
provinsi Sulawesi Selatan, Riskesdas 2007 hidup yang salah. Gaya hidup dapat
tampak bahwa hampir separuh penduduk dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya faktor
(49,1%), kurang aktifitas fisik paling tinggi sosial. Faktor sosial yang berpengaruh terhadap
terdapat di kota Makassar (72,9%) (Riskesdas, konsumsi pangan adalah tingkat pendapatan,
2007). pengeluaran pangan, pendidikan dan
Gaya hidup sangat berpengaruh pengetahuan (Tawali A, 2002).
terhadap kondisi fisik maupun psikis seseorang. Tenaga kesehatan merupakan “agent of
Perubahan gaya hidup dan rendahnya perilaku change” (agen pembaharuan) bagi masyarakat.
hidup sehat dapat menimbulkan berbagai Oleh karena itu, setiap tenaga kesehatan harus
masalah kesehatan. Gaya hidup berpengaruh mempunyai pengetahuan, sikap dan tindakan
pada bentuk perilaku atau kebiasaan seseorang yang memadai. Mengenai kesehatan, tenaga
dalam merespon kasehatan fisik dan psikis, kesehatan harus bisa bersikap dan bertindak
lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi. Gaya dengan membiasakan diri berperilaku hidup
hidup sehat dilakukan dengan tujuan agar hidup sehat dan dapat memberikan contoh hidup sehat
lebih panjang dan menghindari berbagai macam yang baik bagi anggota keluarganya maupun
penyakit. Gaya hidup sehat menggambarkan bagi lingkungannya (Wildayani, 2008).
pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada Penelitian ini bertujuan untuk
upaya pemeliharaan kondisi fisik, mental dan mengetahui gambaran pola makan, gaya hidup
sosial berada dalam keadaan positif. Gaya hidup dan status gizi tenaga kesehatan di Kantor
sehat meliputi kebiasaan tidur, pola makan, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.

METODE PENELITIAN

Jenis, waktu dan tempat penelitian Data primer yang dikumpulkan meliputi
Penelitian ini adalah penelitian yang pola makan, aktivitas fisik dan status gizi. Data
bersifat deskriptif, dilaksanakan pada bulan Juni pola makan diperoleh dengan menggunakan
sampai Agustus 2010 di kantor Dinas format food frequency (FFQ), sedangkan data
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. aktifitas fisik dikumpulkan dengan cara
kuesioner, menggunakan kuesioner aktivitas
Populasi dan sampel fisik dari WHO. Data status gizi ditentukan
Populasi penelitian adalah seluruh dengan menggunakan IMT (Indeks Massa
tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Tubuh). Berat badan diukur menggunakan
Sulawesi Selatan. Sampel dalam penelitian ini timbangan injak dan tinggi badan diukur
adalah seluruh tenaga kesehatan berjumlah 50 manggunakan mikrotois.
orang yang dipilih secara purposive sampling Pengolahan dan penyajian data
terhadap semua tenaga kesehatan dengan Data yang dikumpulkan melalui
kriteria : kuesioner diolah menggunakan komputerisasi
a. Bersedia menjadi sampel program excel dan SPSS. Data food frequency
b. berlatar belakang pendidikan kesehatan. (FFQ) diolah berdasarkan skor frekwensi setiap
c. Tenaga kesehatan di tiga bagian yaitu Bina jenis bahan makanan, kemudian dihitung total
Kesehatan Masyarakat, Bina Pelayanan skor FFQ setiap sampel. Selanjutnya skor FFQ
Kesehatan dan P2PL. setiap sampel dijumlah dan dihitung skor rata-
d. Jumlah sampel sebanyak 50 orang. rata, kemudian dikategorikan pola makan
sebagai berikut; baik jika skor FFQ setiap
Teknik pengumpulan data sampel lebih besar atau sama dengan nilai rata-

7
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

rata FFQ total, kurang jika skor FFQ lebih kecil menit/minggu atau aktifitas fisik ≥5 hari dengan
dari nilai rata-rata FFQ total. nilai MET/minggu ≥150 menit/minggu, dan
Tingkat aktivitas fisik ditentukan dengan aktivitas rendah jika aktifitas fisik <5 hari dengan
menjumlahkan skor pada setiap kuesioner, nilai MET/minggu <600 menit/minggu.
kemudian dikategorikan sebagai berikut; Status gizi ditentukan menggunakan IMT yaitu
aktivitas tinggi jika nilai aktifitas fisik ≥3 hari berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m),
dengan nilai MET/minggu ≥1500 menit atau nilai dengan kategori sebagai berikut: kurus jika IMT
aktifitas fisik ≥7 hari dengan nilai MET/minggu < 18,5, normal jika IMT antara 18.5 – 22.9
≥3000 menit, aktivitas sedang jika aktifitas fisik gemuk jika IMT 23-24.9, dan obesitas jika IMT >
≥3 hari dengan nilai MET/minggu ≥60 25.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Sampel
Tabel 1
Karakteristik Sampel Penelitian

Variabel N %
Jenis kelamin:
Laki-laki 22 82
Perempuan 28 18
Umur (tahun):
23-30 8 16
31-40 15 30
41-50 18 36
>50 9 18
Status pernikahan:
Sudah menikah 41 82
Belum menikah 19 18
Jumlah 50 100

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian umur, kebanyakan sampel berumur 31-40 tahun
besar pegawai Dinkes Provinsi Sulsel yang (30%) dan umur 41-50 tahun (36%).
menjadi sampel pada penelitian ini berjenis Berdasarkan status perkawinan, kebanyakan
kelamin laki-laki (82%). Dilihat dari kelompok sampel berstatus sudah menikah (82%).

1. Pola Makan

Tabel 2
Pola Makan Pegawai Dinkes Sulawesi Selatan, 2010

Pola makan n %
Baik 19 38
Kurang baik 31 62
Jumlah 50 100

Tabel 2 menunjukkan bahwa memiliki pola makan yang kurang baik (62%).
kebanyakan tenaga kesehatan di kantor Dinas Pola makan setiap kelompok bahan makanan
Kesehatan Sulawesi Selatan secara umum disajikan pada tabel 3.

Tabel 3.
Pola Makan Setiap Bahan Makanan pada Tenaga Kesehatan

8
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

di Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, 2010.

Pola makan
Jenis makanan n Baik Kurang
n % n %
Makanan pokok 50 26 52 24 48
Lauk hewani 50 24 48 26 52
Lauk nabati 50 21 42 29 58
Sayuran 50 18 38 32 62
Buah 50 18 38 32 62
Minyak 50 50 100 0 0

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada Namun demikian, pegawai yang menjedai


umumnya pola makan pegawai Dinkes Provinsi responden sudah menghindari konsumsi
Sulsel tergolong kurang baik. Sebagian besar makanan yang berminyak atau yang
pola konsumsi mereka terhadap makanan menggunakan minyak.
golongan sayuran dan buah masih kurang.

2. Aktifitas fisik
Tabel 4
Tingkat Aktifitas Fisik Pegawai Dinkes Sulawesi Selatan, 2010

Aktifitas Fisik n %
Tinggi 12 24
Sedang 22 44
Rendah 16 32
Jumlah 50 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa sampel penelitian mempunyai tingkat aktivitas


kabanyakan tenaga kesehatan yang menjadi sedang (44%), dan aktivitas ringan (32%).

3. Status Gizi
Tabel 5
Status Gizi Tenaga Kesehatan
di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010.

Status Gizi n %
Kurus 3 6
Normal 19 38
Gizi lebih 15 30
Obesitas 13 26
Jumlah 50 100

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa gemuk kebanyakan memiliki tingkat aktivitas


status gizi sampel yang tertinggi yaitu normal sedang dan aktivitas rendah. Demikian juga
sebanyak 19 orang (38%), sedangkan yang dilihat dari pola makan, tenaga kesehatan yang
terrendah yaitu berstatus gizi kurus sebanyak 3 gemuk sebagian besar (%) mempunyai pola
orang (6%). Jika didistribusi menurut tingkat makan yang kurang baik, sebagaimana disajikan
aktivitas, terlihat bahwa tenaga kesehatan yang pada tabel 6.

9
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

Tabel 6.
Distribusi Status Gizi Menurut Tingkat Aktivitas dan Pola Makan

Status Gizi Total


Gaya Normal Gemuk
hidup n % n % n %
Aktivitas fisik
Tinggi 6 27 6 22 12 24
Sedang 11 50 11 39 22 44
Rendah 5 23 11 39 16 32
Pola makan
Baik 5 22,7 14 50 19 38
Kurang baik 17 77,3 14 50 31 62
Total 22 44 28 56 50 100

PEMBAHASAN

Pola Makan dan Status Gizi obesitas mempunyai pola makan yang kurang
baik. Dalam arti, umumnya mereka
Secara umum tampak bahwa pola mengkonsumsi makanan sumber energy yang
makan pegawai Dinas Kesehatan Provinsi berlebihan dan kurang kandungan serat seperti
Sulawesi Selatan sebagian besar masih kurang dari sayur dan buah. Selain faktor pola makan
baik. Secara spesifik tampak bahwa konsumsi yang kurang baik, status gizi pegawai Dinkes
makanan terutama golongan sayur dan buah Provinsi Sulsel ini juga disebabkan oleh faktor
kebanyakan tergolong kurang. Sayur dan buah usia, jenis kelamin dan pola aktivitas.
merupakan golongan bahan makanan sebagai Menurut Santso, 2008 Keadaan
sumber vitamin dan mineral, yang sangat kesehatan gizi masyarakat tergantung pada
penting bagi kesehatan terutama bagi orang tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan
dewasa dan usia lanjut. Vitamin dan mineral oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas
diperlukan oleh tubuh untuk mengatur hidangan menunjukkan adanya semua zat-zat
metabolisme dan pencernaan, meningkatkan gizi yang diperlukan tubuh didalam hidangan
daya tahan tubuh, dan memelihara jaringan dan perbandingannya yang satu dengan yang
tubuh. Sayur dan buah juga adalah sumber serat lain. Kuantitas menunjukkan jumlah masing-
yang sangat diperlukan untuk menjaga masing zat gizi yang dikonsumsi terhadap
keseimbangan lemak dan kadar gula darah, kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan
disamping untuk memperlancar pembuangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut
sisa-sisa makanan di usus, serta mencegah kuantitas maupun kualitasnya, maka akan
kanker. mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang baik.
Frekwensi konsumsi responden Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi
terhadap bahan makanan pokok dan lauk juga yang baik disebut konsumsi yang adekuat. Kalau
kurang baik. Hal ini dapat disebabkan mobilitas konsumsi baik kualitas, namun jumlahnya
pegawai yang cukup tinggi, sebagian besar melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi
waktu mereka banyak dihabiskan di tempat lebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi
kerja. Pada kondisi seperti ini mereka cenderung lebih.
mengkonsumsi makanan-makanan siap saji,
yang cenderung banyak mengandung Aktifitas Fisik dan status gizi
karbohidrat dan lemak atau tinggi kalori, dan
umumnya rendah serat. Keadaan tersebut Aktifitas fisik tenaga kesehatan di Dinas
menyebabkan seseorang berpotensi untuk Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan yang
mengalami gizi lebih atau obesitas. tertinggi adalah sedang yaitu sebanyak 24 orang
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat (44%). Hal ini dapat disebabkan oleh jenis
bahwa 50% responden yang mengalami pekerjaan sampel, dimana sampel adalah

10
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

pagawai kantoran yang kebanyakan duduk dapat memicu terjadinya berbagai penyakit
bekerja seharian, selain itu dapat juga degeneratiaatur. Aktivitas yang teratur akan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana mempengaruhi status gizi status gizi seseorang.
semakin tinggi pendidikan semakin tinggi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
prevalensi kurang aktifitas fisik (Riskesdas, status gizi menurut aktifitas fisik diketahui bahwa
2007). Menurut Dharmawati, 2007 Pekerjaan sampel dengan status gizi normal sebagian
yang dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi besar mempunyai aktivitas fisik tinggi dan
gaya hidup seseorang. Gaya hidup yang kurang sedang. Sebaliknya, pada responden yang
menggunakan aktifitas fisik akan berpengaruh gemuk mempunyai pola aktivitas yang rendah.
terhadap kondisi tubuh seseorang, hal ini dapat Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas fisik
pula dipengaruhi oleh kehidupan yang semakin mempengaruhi status gizi. Berat badan
modern dan hidup menjadi serba mudah, selain berkaitan erat dengan tingkat pengeluaran
itu meningkatnya kesibukan menyebabkan energi tubuh. Pengeluaran energi tubuh
seseorang tidak lagi mempunyai waktu yang ditentukan oleh dua faktor yaitu tingkat
cukup untuk berolahraga. Aktifitas fisik secara aktifitas/olah raga dan angka metabolisme basal
teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk
dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh mempertahankan fungsi minimal tubuh. Pada
darah. Aktifitas fisik dan berolahraga memiliki orang yang mengalami kegemukan aktifitas fisik
peran yang sangat penting. Pada saat memiliki peran yang sangat penting. Ketika
berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga kalori terbakar, maka semakin
berolahraga maka semakin banyak kalori yang sering berolahraga maka semakin banyak kalori
hilang. Kalori secara tidak langsung yang hilang. Kalori secara tidak langsung
mempengaruhi sistem metabolisme basal. mempengaruhi sistem metabolisme basal.
Orang yang duduk bekerja seharian akan Apabila asupan melebihi kebutuhan dan tidak
mengalami penurunan metabolisme basal diimbangi dengan aktifitas fisik yang cukup maka
tubuhnya, sehingga energi yang masuk kalori yang masuk akan menumpuk di dalam
sebagian akan disimpan sebagai cadangan tubuh dan disimpan sebagai cadangan energi
energi. Apabila hal ini berlangsung secara terus- dalam bentuk lemak sehingga dapat
menerus maka akan mengalami penumpukan mengakibatkan kegemukan.
dalam tubuh sehingga terjadi obesitas yang

KESIMPULAN

1. Sebagian besar tenaga kesehatan di Dinas 3. Status gizi kebanyakan tergolong gizi lebih
Kesehatan Sulawesi Selatan mempunyai dan obesitas.
pola makan yang kurang baik. 4. Tenaga kesehatan yang gizi lebih dan
2. Tingkat aktivitas tanaga kesehatan di gemuk kebanyakan mempunyai pola makan
Dinkes Sulsel kebanyakan tergolong yang kurang baik dan aktivitas fisik yang
sedang dan rendah. rendah.

11
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli - Desember 2010 Pola makan. Aktivitas fisik, Status gizi

DAFTAR PUSTAKA
Pekik Irianto D. 2007. Panduan Gizi Lengkap
Almatsier Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Keluarga dan Olaraga. Yogyakarta.
Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Penerbit Andi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Ramadha W. 2009. Gaya Hidup pada
Kesehatan DEPKES RI. 2007. Riset Mahasiswa Penderita Hipertensi. Dikutip
Kesehatan Dasar. dari, http://etd.eprints.ums.ac.id. Diakses
Hartono A, 2004. Terapi Gizi dan Diet Rumah tanggal 23 Januari 2010.
Sakit. Jakarta: Penerbit Buku Sandana Mariani. 2009. Gambaran Faktor-faktor
Kedokteran EGC. yang Mempengaruhi Terjadinya
Jaya Indra. 2009. Gambaran Lingkar Pinggang, Obesitas pada Siswa SMU Negeri 2
Gaya Hidup, dan Kejadian Sindrom Toraja. Karya Tulis. Jurusan Gizi
Metabolik pada Pasien Rawat Jalan di Politeknik Kesehatan Makassar. .
RS.DR.Wahidin Sudirohusodo Sumitro. 2008. Gambaran Tingkat
Makassar. Skripsi. Jurusan Gizi Pendidikan,Pengetahuan Gizi Ibu,
Politeknik Kesehatan Makassar. Asupan Gizi dan Status Gizi Anak Usia
Irianto K dan Waluyo K. 2007. Gizi dan Pola 12-36 Bulan Di Desa Lampenai
Hidup Sehat. Bandung; CV Yrama Kecamatan Lwotu Kabupaten Luwu
Widya. Timur. Karya Tulis. Jurusan Gizi
Kusumawati Yuli. 2009. Konsultasi Gizi Untuk Politeknik Kesehatan Makassar.
Menerapkan Terapi Diet Bagi Penderita Soekirman. (2000). Ilmu Gizi dan Aplikasinya.
Penyakit Degeneratif pada Kelompok Jakarta; Direktorat Jenderal Pendidikan
Ibu-ibu PKK Dusun Prayan Gumpang Tinggi Derpartemen Pendidikan
Kecamatan Kartasura. Nasional.
Marhamah. 2008. Gambaran Pola Makan, Supariasa, I Dewa Nyoman dkk. 2002. Penilaian
Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Status Gizi. Jakarta; EGC.
SDN 1 Pekkae Kecamatan Tanete Rilan Tawali Abubakar, dkk. 2002. Pangan dan Gizi,
Kabupaten Barru. Karya Tulis. Jurusan Masalah Program Intervensi dan
Gizi Politeknik Kesehatan Makassar. Tekhnologi Tepat Guna. . Makassar;
Neneng. 2006. Gambaran Pola Makan, Asupan Dpp Gizi Pangan Indonesia.
Zat Gizi dan Status Gizi Anak Sekolah Wildayani, 2008. Gambaran Kebiasaan Sarapan
Dasar Negeri Lakkang Kelurahan Pagi dan Status Gizi pada Tenaga
Lakkang Kecamatan Tallo Makassar. Kesehatan di Rumah Sakit Umum
Karya Tulis. Jurusan Gizi Politeknik Lasinrang Kabupaten Pinrang. Karya
Kesehatan Makassar. Tulis. Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Makassar.

12

Anda mungkin juga menyukai