Makalah Trauma Spinal Dan Decubitus
Makalah Trauma Spinal Dan Decubitus
A. Definisi
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada
tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus,
tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan terputusnya
komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan
pada medula spinalis tergantung dari keadaan komplet atau inkomplet.
Trauma pada tulang belakang adalah cidera mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis,
akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang, seringkali oleh kecelakaan lalu lintas.
Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal
pertolongan dan transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hati-hati
trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu
ligamen, dan diskus tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang. (Suzanne C.
Smeltzer :2008).
B. Etiologi
Etiologi cedera spinal adalah:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan
penyakit tulang atau melemahnya tulang.(Harsono, 2000).
1
Luka tusuk pada abdomen atau tulang belakang dapat dikatakan menjadi faktor terjadinya
cidera karena terjadi suatu perlukaan atau insisi luka tusuk atau luka tembak.
4. Tumor
Tumor merupakan suatu bentuk peradangan. jika terjadi komplikasi pada daerah tulang
belakang spinal. Ini merupakan bentuk cidera tulang belakang.
C. Faktor Resiko
Berikut adalah beberapa faktor resiko cedera pada tulang belakang, sebagai berikut:
1. Gender
Seorang pria memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan wanita untuk terkena
cedera pada tulang belakang. Alasan aktivitas dan lain sebagaimana merupakan
pendukung banyaknya kasus yang ditemukan pada pria. Wanita juga memiliki resiko
yang sama apabila kurang kewaspadaan. Kita harus memperhatikan kemampuan fisik
kita sehingga dapat meminimalisir resiko cedera. Keselamatan untuk tulang belakang
sangat penting dijaga demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
2. Usia
Kasus kelumpuhan akibat cedera tulang belakang banyak ditemukan pada usia 16
hingga 30 tahun. Pada usia tersebut diketahui sebagai usia produktif yang memiliki
banyak aktivitas. Aktivitas yang sangat aktif beresiko terjadinya berbagai kecelakaan.
Kehati – hatian menjadi kunci untuk waspada akan segala kemungkinan yang terjadi.
Peralatan keamanan dan keselamatan harus dipenuhi saat kita melakukan aktivitas fisik
yang beresiko terhadap cedera.
3. Kegiatan yang Beresiko Tinggi
Kegiatan sangat menentukan dalam diperolehnya resiko cedera. Perlengkapan saat
melakukan aktivitas fisik yang berbahaya sangat penting dipakai. Standar peralatan yang
digunakan juga sangat penting untuk diperhatikan. Peralatan yang tidak berstandar
keselamatan kerja atau olahraga akan membuat resiko cedera semakin besar jika terjadi
kecelakaan. Kewaspadaan sebelum dilakukan kegiatan juga sangat penting demi
keamanan dan kenyamanan.
4. Gangguan Tulang dan Sendi
Kesehatan tulang dan sendi disarankan untuk di cek ke dokter. Kondisi kelainan pada
tulang dan sendi yang tidak baik akan beresiko pada cedera dan berbagai gangguan.
Syaraf juga dapat terganggu jika tidak diperhatikan dengan baik. Jaringan syaraf, otot,
maupun tulang membutuhkan perhatian yang ekstra agar tidak mengalami kelainan
yang berdampak pada kesehatan.
D. Patofisiologi
Kerusakan pada luas SCI dapat terjadi sementara yang disebabkan oleh concussion (dapat
pulih kembali), memar, laserasi dan tekanan pada jaringan saraf spinal (dapat satu per satu atau
2
kombinasi ) atau transection lengkap (memotong) dari saraf spinal (yang dapat menyebabkan
pasien lumpuh bagian bawah) vertebra yang sering terkena adalah C5-C7, T12, L1. (Hinkle &
Cheever, 2014).
SCI dapat dibagi dalam 2 kategori : cedera primer dan cedera skunder. Cedera primer
terjadi karena adanya injuri pada spinal atau adanya trauma dan biasanya menyebabkan
permanen.Cedera sekunder biasanya terjadi karena memar, atau luka basah dimana serat saraf
menjadi bergelombang dan disintegrasi. Berikutnya terjadi secara berurutan iskemia, hypoxia,
edema dan perdarahan dimana terjadi destruksi pada myelin dan axon. Cedera sekunder
menjadi fokus utama untuk perawatan kritis, secondary injury penyebab utama degenerasi
saraf spinal dan dapat berulang selama 4-6 jam setelah injury, pengobatan awal sangat penting
untuk mencegah terjadinya gangguan menjadi total atau permanen (NINDS, 2012a dalam
(Hinkle & Cheever, 2014).
Pathway :
3
E. Tingkat Cedera Medulla Spinalis (Lewis, 2011)
Derajat kerusakan cedera sumsum tulang belakang dapat berupa cedera lengkap dan
cedera tidak lengkap (parsial). Kerusakan medula lengkap (complete) akan menghilangkan
semua fungsi sensorik dan motorik di bawah tingkat lesi (cedera). Kerusakan medula
Incomplete pada hilangnya kegiatan aktivitas motorik dan sensasi serta meninggalkan
beberapa bagian yang utuh. Tingkat kehilangan fungsi sensorik dan motorik bervariasi
tergantung pada tingkat cedera dan saluran saraf tertentu yang rusak dan robek. Enam gejala
yang berhubungan dengan cedera lengkap (complete) : sindrom medula pusat, sindrom
medula anterior, sindrom Brown-Sequard, sindrom medula posterior, sindrom cauda equina,
dan sindrom konus medullaris.
1. Sindrom Cord Central
4
Kerusakan pada sumsum tulang belakang pusat disebut Sindrom Cord Central. Hal ini
paling sering terjadi di wilayah medula servikal dan lebih sering terjadi pada orang
dewasa yang lebih tua. Kelemahan motorik dan gangguan sensorik terjadi di kedua
ekstremitas yaitu atas dan bawah, tetapi ekstremitas atas yang lebih mempengaruhi dari
pada yang bawah.
2. Sindrom Cord anterior
Sindrom medulla anterior ini disebabkan oleh kerusakan pada arteri spinalis anterior.
Aliran darah terganggu ke sumsum tulang belakang anterior. Biasanya hasil dari cedera
menyebabkan kompresi akut di bagian anterior sumsum tulang belakang, biasanya
cedera fleksi. Manifestasi termasuk kelumpuhan motorik dan hilangnya rasa sakit dan
sensasi suhu di bawah permukaan cedera. Karena saluran medula posterior tidak
mengalami cedera, sensasi sentuhan, posisi, getaran dan gerakan tetap terjaga.
3. Brown-Sequard Syndrome
Brown-Sequard Syndrome adalah hasil dari kerusakan pada satu setengah dari sumsum
tulang belakang. Sindrom ini ditandai dengan hilangnya fungsi motorik dan posisi dan
rasa getaran, serta kelumpuhan vasomotor pada sisi yang sama (ipsilateral) akibat dari
cedera. Sebaliknya bagian (kontralateral) terjadi hilangnya rasa nyeri dan suhu sensasi di
bawah tingkat cedera. Ini biasanya hasil dari penetrasi cedera sumsum tulang belakang.
4. Posterior Syndrome Cord
Sindrom medula posterior akibat kompresi / tekanan atau kerusakan pada arteri spinalis
posterior. Ini adalah kondisi yang sangat langka. Umumnya kolom dorsal yang rusak,
mengakibatkan hilangnya proprioception. Namun, rasa sakit suhu sensasi dan fungsi
motorik di bawah cedera tetap terjaga.
5. Conus medullaris Syndrome dan cauda equina Syndrome
Sindrom conus medullaris dan sindrom cauda equina merupakan kerusakan pada bagian
yang paling bawah sumsum tulang belakang (conus) dan lumbar dan akar saraf sakral
(cauda equia). Cedera pada area ini menghasilkan kelumpuhan ringan dari tungkai
bawah dan gangguan pada kandung kemih dan usus.
5
pada saraf lumbal bawal dan lumbal dapat terjadi ketika badan mendadak fleksi karena jatuh
terduduk. Ligament posterior dapat menjadi lunak atau mengeluarkan cairan atau vertebra
menjadi fraktur atau dislokasi. Stiap proses ini dapat menyebabkan kerusakan pada
sarafmenyebabkan perdarahan, edema dan nekrosis.
-Hiperekstensi : injuri biasanya terjadi didalam vehicle collision dimana terjadi dari belakang
atau saat jatuh ketika dagu terbentur. Kepala tiba-tiba bergerak cepat kemudian melambat.
Pada potongan atau cairan ligament longitudinal anterior, fraktur atau subluxates vertebra
dan kemungkinan rupture pada persendian intervertebral dengan fleksi injury dapat terjadi
kerusakan saraf spinal.
-Axial loading atau kompresi vertical: kecelakaan karena menyelam, jatuh dengan terduduk,
loncat dengan kaki dan dapat menyebabkan injury yang diakibatkan oleh axial loading
(vertical kompresi)
-Excessive rotation. Cedera rotasi excessiveadalah yang paling tidak stabil dari semua cedera
karena struktur ligamen yang robek dan tidak dapat menstabilkan tulang belakang. Cedera ini
paling sering terlibat dalam defisit neurologis berat (Lewis, 2011).
-Dapat juga terjadi penetrasi injury pada saraf spinal yang ditandai dengan terkena benda
dengan cepat (pisau, peluru) dapat menyebabkan injury. Benturan yang tidak terlalu cepat
dapat menyebabkan gangguan pada saraf spinal. Hal ini berbeda dengan benturan yang
cepatkarena tembakan menyebabkan gangguan secara langsung dan tidak langsung.
6
Manifestasi klinis dari cedera medulla spinalis umumnya akibat langsung dari trauma
yang menyebabkan kompresi medula spinalis, iskemia, edema dan kemungkinan transeksi
medula. Manifestasi dari cedera medulla spinalis terkait dengan tingkat dan derajat cedera.
Pasien dengan cedera yang tidak lengkap (incomplete) mungkin menunjukkan kumpulan gejala.
Semakin tinggi cedera, semakin serius gejala sisa karena kedekatan saraf serviks ke medulla dan
batang otak. Gerakan dan potensi rehabilitasi terkait dengan lokasi spesifik dari cedera medulla
spinalis. Gangguan immobilitas, sensasi dan aktivitas reflex dan pengosongan usus dan kandung
kemih terjadi karena SCI dan dapat mengalami perubahan tingkah laku yang signifikan serta
masalah emosional seperti perubahan gambaran tubuh, perubahan peran dan konsep diri.
Secara umum, fungsi sensori berkaitan sejajar dengan fungsi motorik di semua tingkatan.
7
Retensi urin adalah perkembangan umum di cedera tulang belakang akut dan syok spinal.
Ketika pasien mengalami shock pada tulang belakang, kandung kemih akan mengalami
atonia uteri dan menjadi overdistensi, sehingga perlu dilakukan pemasangan kateter.
Dalam posting fase akut kandung kemih dapat terjadi gangguan persyarafan berupa
hilangnya hambatan dari otak yang mengakibatkan gangguan reflek pengosongan
kandung kemih. Pemasangan kateter yang menetap meningkatkan risiko infeksi. Bila
kondisi pasien stabil dan cairan IV tidak lagi perlu diberikan, sehingga pelepasan kateter,
harus dimulai sedini mungkin. Hal ini membantu untuk mempertahankan fungsi kandung
kemih dan penurunan risiko infeksi.
8
Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara
terus-menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. (M.Clevo
Rendi, 2012)
Dekubitus adalah suatu daerah kerusakan selular yang terlokalisasi, baik akibat tekanan
langsung pada kulit, sehingga menyebabkan “iskemia tekanan”, maupun akibat kekuatan
gesekan sehingga menyebabkan stress mekanik terhadap jaringan. (Chapman dan
Chapman, 1986,hal.106)
6. Termoregulasi (Thermoregulation)
Poikilothermism adalah penyesuaian suhu tubuh dengan suhu kamar. Hal ini terjadi di
cedera tulang belakang karena gangguan sistem saraf simpatik dan mencegah sensasi suhu
perifer mencapai hipotalamus. Dengan gangguan sumsum tulang belakang ada juga
penurunan kemampuan untuk berkeringat atau menggigil bawah permukaan cedera, yang
juga mempengaruhi kemampuan untuk mengatur suhu tubuh. Tingkat poikilothermism
tergantung pada tingkat cedera. Pasien dengan luka cervical yang tinggi memiliki kerugian
yang lebih besar dari kemampuan untuk mengatur suhu daripada mereka yang cedera
thoracic atau lumbal.
9
biasa, seperti nyeri dan nyeri tekan, tidak terjadi. Emboli paru adalah salah satu penyebab
utama kematian pada pasien dengan cedera tulang belakang. Teknik untuk penilaian
penyumbatan pembuluh darah termasuk pemeriksaan Doppler, impedansi
plethysmography, dan pengukuran tungkai dan ketebalan paha.
10
perawatan petugas 24 jam,
mampu menginstruksikan
orang lain.
C5
Dominasi saraf vagus dari Leher full, bahu parsial, Kemampuan untuk
jantung, pernapasan, dan punggung, bisep, siku, mengarahkan kursi roda listrik
semua pembuluh darah dan ketidakmampuan untuk roll dengan dukungan tangan
organ di bawah cedera. over atau menggunakan sendiri; mobilitas dalam
tangan, penurunan cadangan ruangan di kursi roda manual;
pernafasan. mampu makan sendiri dengan
peralatan bantuan partial dan
bantuan adaptif perawatan
petugas 10 jam / hari.
C6
Dominasi saraf vagus dari Abduksi bahu dan punggung Kemampuan untuk membantu
jantung, pernapasan, dan atas dan rotasi di bahu, full memindahkanalat dan
semua pembuluh darah dan bisep pada fleksi siku, melakukan beberapa
organ di bawah cedera. pergelangan tangan extensi, perawatan diri, diri seperti
sentuhan ibu jari masih lemah, makan sendiri, mendorong
penurunan cadangan kursi roda di permukaan datar
pernafasan. dan licin; menghidupkan kipas
angin dari kursi roda,
beradaptasi menggunakan
komputer; perawatanpetugas 6
jam / hari.
C7-8
Dominasi saraf vagus dari Semua trisep ekstensi siku, Kemampuan untuk berpindah
jantung, pernapasan, dan ekstensor dan fleksor jari, ke kursi roda, berguling dan
semua pembuluh darah dan pegangan yang baik dengan duduk di tempat tidur dan di
organ di bawah cedera. beberapa penurunan kekuatan, sebagian permukaan;
penurunan cadangan melakukan perawatan diri
pernapasan. secara mandiri; menggunakan
kursi rodasendiri; kemampuan
untuk mengendarai mobil
dengan kecepatan yang
11
dipantau (pada beberapa
pasien); perawatan petugas 0-6
jam / hari.
Paraplegia
T1-6
Persarafan simpatis ke jantung, Persarafan penuh ekstremitas Kemandirian dalam perawatan
dominasi saraf vagus dari atas; punggung; otot intrinsik diri dan kursi roda; kemampuan
semua pembuluh darah dan penting pada tangan; kekuatan untuk mengendarai mobil
organ bawah cedera. penuh dan ketangkasan saat dengan kontrol kecepatan
menggenggam; menurunnya (pada kebanyakan pasien);
stabilitas tubuh; menurunnya berdiri bebas secara mandiri.
cadangan pernapasan.
T6-12
Dominasi saraf vagus pembuluh Penuh, otot dada dan Lepas dari kursi roda;
darah kaki; GI dan organ punggung atasstabil; fungsional kemampuan untuk berdiri tegak
urogenital. interkostalis mengakibatkan dengan dengan bantuan
peningkatan cadangan penyokong kaki, ambulasi
pernapasan. tongkat ketiak dengan ayunan
(meskipun cara berjalan masih
kesulitan); ketidakmampuan
untuk mendaki statis.
L1-2
Dominasi saraf vagus pembuluh Memvariasikan kontrol kaki dan Keseimbangan duduk yang
darah kaki. panggul; atau ketidakstabilan baik; penggunaan kursi roda
punggung bawah. mulai berkurang; ambulasi
dengan penyangga kaki /
tongkat yang lama dan jauh.
L3-4
Dominasi parsial saraf vagus Fleksor paha dan pinggul, tidak Ambulasi mandiri sepenuhnya
pembuluh darah kaki, GI dan adanya fungsi lutut, dengan penyangga kaki
organ urogenital. pergelangan kaki menekan tongkat; kemampuan untuk
telapak kaki. berdiri untuk waktu yang lama.
H. Pemeriksaan Diagnostik
12
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam mendiagnosis
cedera spinal.18 Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior merupakan pemeriksaan yang
fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat
digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan
plain x-ray karena dapat melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai
dengan keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI yang normal
memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan MRI servikal
dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal dari medulla spinalis, kompresi dari
radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen dan jaringan lunak.(5,6)
Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari servikal (C1-
C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya cedera pada segmen
bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian cervico-thoracic junction (CTJ) dapat
digunakan swimmer’s view atau traksi lengan. 18 Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray
servikal dapat dilakukan dengan “ABCs”, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.18
Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25 (perbedaan >3,5 mm
antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral facet
dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau tidak (tipe fraktur),
cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan pelebaran diskus intervertebralis, dan
soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari tulang belakang (nilai normal untuk lebar
jaringan prevertebral C4 keatas adalah ? 1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah ?
100% lebarnya).
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan prognosis
pemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
13
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
14
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS. Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada
kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan
selama 2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan dimulai
dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low molecular weight heparin
lebih baik daripada warfarin).
Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut, ketika intake dan output
cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih.
Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat terjadi kerusakan otot detrusor
dan refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang tinggi.
Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih (ISK). ISK
simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai dengan
antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik tidak perlu
diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk pencegahan
ISK.
15
pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai
secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah trauma.
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai secara
agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal. Ketinggian lesi
menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12 menyebabkan hiperrefleksia
dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan
flaccid dari sfingter tersebut. Metode pengosongan usus dengan kombinasi supositoria
dan stimulasi anorektal, merangsang pola evakuasi pada kolon distal.
3.5. Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan perlu
dilakukan sejak dini. Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring kanan setiap
2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa membantu
mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap diubah
tiap 2 jam.
4. Penggunaan kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini mengalami
kontroversi. Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute Spinal Cord Injury
Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15
menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23 jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah
CMS tertutup meningkatkan prognosis neurologis pasien. Studi NASCIS 3 kemudian
menambahkan bahwa terapi metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma
harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma
harus dilanjutkan selama 48 jam. Consortium for Spinal Cord Medicine tidak
merekomendasikan penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1,
gacyclidine, tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir belum
didapatkan secara definit.
16
yang cepat dan efektif. Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded tongs
(Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia . Beban yang digunakan tergantung adanya
dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg,
sedangkan pada dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total
25 kg) dalam posisi leher dalam keadaan fleksi. Pasien harus diperiksa status neurologis nya
setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi
perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai alat
alternatif dari skeletal traction
BAB II
KONSEP DEKUBITUS
1. DEFINISI
Dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan dibawahnya, biasanya disebabkan
oleh adanya penonjolan tulang, sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan
gaya geser dan atau gesekan (Perry, et. Al,2010).
Ulkus dekubitus merupakan ulserasi yang disebabkan oleh tekanan yang berlangsung
lama pada pasien yang dibiarkan berbaring diam di tempat tidur.
Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang
disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan
atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP,2014).
Daerah yang paling sering terkena ulkus dekubitus adalah sacrum, trochanter,
tuberositas ischium. Distribusi lokasi terjadinya ulkus sangat tergantung pada status
fungsional, struktur anatomi sacrum, trochanter, tuberositas ischium pasien. Pada pasien
yang hanya bisa duduk, lokasi yang paling sering terkena adalah ischium. Pada pasien yang
17
tidak mampu melakukan apapun, maka ulkus dapat timbul di lutut, tumit, malleoli, scapula,
occiput dan daerah tulang belakang (spina).
2. ETIOLOGI
Penyebab ulkus dekubitus yang utama adalah gesekan (friction), gaya meluncur
(shear), kelembaban yang berlebihan (excessive moisture) dan infeksi.
Ada dua hal utama yang berhubungan dengan resiko terjadinya dekubitus, yaitu
faktor tekanan dan toleransi jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas
tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas dan penurunan persepsi
sensori. Sedangkan faktor yang mempengaruhi toleransi jaringan dibedakan menjadi dua
faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari
pasien, sedangkan yang dimaksud dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor yang
berhubungan dari luar yang mempunyai efek deteriorasi pada lapisan eksternal dari kulit.
a. Factor tekanan
- Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,
sedangkan aktifitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien dengan berbaring
terus-menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi
untuk terkena dekubitus. Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab imobilitas
dan inaktifitas, diantaranya Spinal Cord Injury (SCI), stroke, multiple sclerosis, trauma
(misalnya patah tulang), obesitas, diabetes, kerusakan kognitif, penggunaan obat
(seperti sedative hipnotik, dan analgesik), serta tindakan pembedahan.
- Penurunan persepsi sensori
Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan lebih beresiko
mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien dengan sensasi normal. Pasien
dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan adalah pasien yang
tidak mampu merasakan kapan sensasi pada bagian tubuh mereka meningkat,
adanya tekanan yang lama, atau nyeri dan oleh karena itu pasien tanpa kemampuan
untuk merasakan bahwa terdapat nyeri atau tekanan akan menyebabkan resiko
berkembangnya dekubitus (Potter & Perry,2010).
b. Factor toleransi jaringan
- Factor intrinsic
Nutrisi
Hipoalbumin kehilangan berat badan dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai
faktor predisposisi terhadap terjadinya dekubitus, terutama pada lansia. Derajat III
dan IV dari dekubitus pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan,
rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi. Pasien yang
level serum albuminnya di bawah 3 g/100 ml lebih beresiko tinggi mengalami luka
daripada pasien yang level albumin tinggi (Potter & Perry, 2010).
18
Usia
Pasien yang sudah tua memiliki resiko tinggi untuk terkena dekubitus karena kulit
dan jaringan akan berubah seiring dengan proses penuaan. Sebanyak 70% dekubitus
terjadi pada orang yang berusia lebih dari 70 tahun. Seiring dengan meningkatnya
usia akan berdampak pada perubahan kulit yang di indikasikan dengan penghubung
dermis-epidermis yang rata (flat), penurunan jumlah sel, kehilangan elastisitas kulit,
lapisan subkutan yang menipis, pengurangan massa otot, dan penurunan perfusi dan
oksigenasi vaskular intradermal.
Tekanan arteriolar
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan
sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan
jaringan menjadi iskemia (Suriadi, et al., 2007). Studi yang dilakukan oleh Bergstrom
& Braden (1992) menemukan bahwa tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang
rendah berkontribusi pada perkembangan dekubitus.
- Factor ekstrinsik
Kelembaban
Adanya kelembaban dan durasi kelembaban pada kulit meningkatkan resiko
pembentukan kejadian dekubitus. Kelembaban kulit dapat berasal dari
drainase luka, perspirasi yang berlebihan, serta inkontinensia fekal dan urine
(Potter & Perry,2010). Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah
mengalami erosi. Selain itu, kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah
terkena pergesekan (friction) dan pergeseran (shear). Inkontinensia alvi lebih
signifikan dalam perkembangan luka daripada inkontinensia urine karena
adanya bakteri dan enzim pada feses yang dapat meningkatkan PH kulit
sehingga dapat merusak kulit.
Gesekan
Gaya gesek (Friction) adalah tekanan pada dua permukaan bergerak
melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik yang digunakan
saat kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti seprei atau linen tempat
tidur. Cidera akibat gesekan memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang
paling atas. Kulit akan merah, nyeri dan terkadang disebut sebagai bagian
yang terbakar. Cidera akibat gaya gesek terjadi pada pasien yang gelisah,
yang memiliki pergerakan yang tidak terkontrol seperti keadaan spasme dan
pada pasien yang kulitnya ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat
tidur selama perubahan posisi (Potter & Perry, 2010).
Pergeseran
19
Gaya geser adalah peningkatan tekanan yang sejajar pada kulit yang berasal
dari gaya gravitasi, yang menekan tubuh dan tahanan (gesekan) diantara
pasien dan permukaan (Potter & Perry, 2010). Pada lansia akan cenderung
merosot kebawah ketika duduk pada kursi atau posisi berbaring dengan
kepala tempat tidur dinaikkan lebih dari 30°. Pada posisi ini pasien bisa
merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah
namun kulitnya masih tertinggal. Hal ini dapat mengakibatkan oklusi dari
pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot,
namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit.
3. KLASIFIKASi
Nationale Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014 membagi derajat dekubitus menjadi
enam dengan karakteristik sebagai berikut :
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda akan
terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak
salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau
lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan
kelihatan sebagai kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka
akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk
menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema)
dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari
diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya
adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi, melepuh,
atau membentuk lubang yang dangkal. Derajat I dan II masih bersifat reversible.
20
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan
subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat seperti lubang
yang dalam. Disebut sebagai “typical decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya
kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan
tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling.
Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot.
Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar
luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman derajat
IV dekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput
dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV dapat
meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia,
tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon
yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.
Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi oleh
slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu, hijau, dan atau jaringan mati (eschar)
yang berwarna coklat atau hitam didasar luka. slough dan atau eschar dihilangkan
sampai cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka, kedalaman luka yang benar,
dan oleh karena itu derajat ini tidak dapat ditentukan
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka secara
terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang berisi darah
karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya
geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit,
tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan
yang ada di dekatnya. Cidera pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi
pada individu dengan warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis
diatas dasar luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus berkembang
tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas, dekubitus berkembang
dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down), namun menurut hasil
21
penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam
seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya adanya kerusakan pada permukaan
kulit. Ini dikenal dengan istilah injury jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury).
22
nilai tinggi menunjukkan resiko tinggi terjadi dekubitus, nilai resiko berada pada nilai 12
atau lebih (Kozier,2010).
23
Support surface yang bertujuan untuk mengurangi tekanan (pressure), gesekan (friction)
dan pergeseran (shear). Support surface ini terdiri dari tempat tidur, dan matras meja
operasi, termasuk pelengkap tempat tidur dan bantal.
e. Memberikan edukasi
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dilakukan secara terprogram dan komprehensif
sehingga keluarga diharapkan berperan serta secara aktif dalam perawatan pasien, topic
pendidikan kesehatan yang dianjurkan adalah sebagai berikut : etiologi dan faktor resiko
dekubitus, aplikasi penggunaan tool pengkajian resiko, pengkajian kulit, memilih dan
atau gunakan dukungan permukaan, perawatan kulit individual, demonstrasi posisi yang
tepat untuk mengurangi resiko dekubitus, dokumentasi yang akurat dari data yang
berhubungan, demonstrasi posisi untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan, dan
sertakan mekanisme untuk mengevaluasi program efektifitas dalam mencegah
dekubitus.
24
BAB3
1. Pengkajian keperawatan
a. Tanggal MRS
b. Tanggal Pengkajian
c. No. Registrasi
d. Diagnose Medis
e. Identitas Nama Pasien
f. Usia
g. Jenis Kelamin
h. Alamat
i. Pendidikan
j. Agama
2. Anamnesis Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama: Cedera medulla spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama
yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul
seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggun dan kelemahan pada
ekstremitas atas maupun bawah.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat
kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologic. Medulla spinalis dapat
mengalami cedera melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau
lebih proses verikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan
trauma tembak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh
beberapa penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis,
Ankilosis, Osteoporosis maupun Tumor ganas.
d. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat
memperberat cedera medulla spinalis.
e. Riwayat Lingkungan
3. Pola Aktifitas Latihan
4. Pola Nutrisi Metabolik
5. Pola Eliminasi
6. Pola Tidur-Istirahat
7. Pola Kebersihan Diri
8. Pola Toleransi Koping-Stress
25
9. Konsep Diri
10. Pola Peran Dan Hubungan
11. Pola Komunikasi
12. Pola Seksualitas
13. Pola Nilai Dan Kepercayaan
14. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran : obesrvasi tingkat kesadaran, penampilan, tingkah
laku, gaya bicara
Tanda-tanda vital : TD menurun , N bradikardia , S ,RR kemungkinan
mengalami peningkatan
Tinggi badan dan Berat badan
2. Kepala & Leher :
3. Thorak & Dada : Kemungkinan didapatkan klien batuk peningkatan
produksi sputum, sesak napas
4. Payudara & Ketiak :
5. Punggung & Tulang Belakang : Dekubitus, kaji luas, kedalaman, kondisi luka
6. Abdomen : Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering
didapatkan adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada.
7. Genetalia & Anus :
8. Ekstremitas : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia. Paralisis
motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf yang
terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari
saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah.
9. Sistem Neorologi : ganguan sensibilitas pada klien cedera medula
spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan
10. Kulit & Kuku :
26
5. CT Scan
T.TERAPI :
U.PERSEPSI KLIEN TERHADAP PENYAKITNYA :
V.PERENCANAAN PULANG
Tujuan pulang :
Transportasi pulang :
Dukungan keluarga :
Antisipasi bantuan biaya :
Antisipasi perawatan diri :
Pengobatan :
Rawat jalan ke :
Hal-hal yang perlu diperhatikan di rumah :
2.DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1) Pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan atau kelumpuhan
otot diafragma.
2) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasi dan tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
3) Ketidakefektifan pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum,
peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk (ketidakmampuan
batuk/batuk efektif).
4) Penurunan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan penurunan curah jantung
akibat hambatan mobilitas fisik.
5) Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuro muskular, dan refleks spasme otot
sekunder.
6) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhu bungan dengan
kemampuan mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan metabolisme
7) Risiko cedera yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik
8) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuro muskular.
9) Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhansaraf perkemihan.
10) Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada
usus dan rektum.
11) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.
12) Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imunprimer (cedera pada
jaringan paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi, dan tindakan invasif.
27
13) Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsi persepsi spasial dan
kehilangan sensori.
14) Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis kondisisakit, program
pengobatan, dan lamanya tirah baring.
15) Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diit, dan
perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran.
16) Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritispada klien.
17) Risiko ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan ketegangan
akibat krisis situasional
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta
EGC.
National Pressure Ulcer Advisory Panel.(2014). Prevention and Treatment of Pressure Ulcers: Quick
Reference Guide. Cambridge Media. Perth Australia.
Kozier.et.al.2010.Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,Proses & Praktik.Jakarta : EGC
Semlttzer, Suzanne C. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Jakarta EGC
Harsono.2000. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Gajah Mada University Press
Gondowardaja, Y., & Purwata, T. E. (2014). Trauma medula spinalis: patobiologi dan tata laksana
medikamentosa. Cell, 51, 1B.
Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In: Grundy D, Swain A. ABC of
Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 11-6
Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J,
Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
28
Published January 8, 2015 by Ian Huang, Spinal Cord Injury (SCI) / Cedera Medulla Spinalis, diakses
melalui http://drianhuang.com/informasi-kesehatan/tenaga-medis/spinal-cord-injury-sc tanggal
27 November 2017
29