Bell's Spasy
Bell's Spasy
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bell’s palsy didefinisikan sebagai parese nervus fasialis tipe perifer
idiopatik, yang meliputi wajah bagian atas dan bawah dengan atau tanpa
hilangnya rasa pada lidah ipsilateral. Hipotesis mengenai keterlibatan
infeksi virus herpes simpleks telah diterima secara luas. Umumnya gejala
penyakit in ringan dengan pemulihan sempurna dalam 2-3 minggu. Risiko
seumur hidup terhadap pasien ini adalah 2 % (Dona, 2015).
Bell’s Palsy disebut jugas sebagai nama sejenis penyakit
kelumpuhan perifer akibat proses (non suppuratif, non neoplasmatik, non
degeneratif primer), namun sangat mungkin akibat edema pada nervus
fasialis pada distal kanalis fasialis. Penyebab secara pasti belum diketahui,
tetapi beberapa penelitian mendukung adanya infeksi sebagai penyebab
bell’s palsy terutama HSV. Dari beberapa penelitian dan penyelidikan
yang telah dilakukan ternyata 75% dari paralisis fasial adalah Bell’s Palsy
(Bahrudin, 2011)
Permasalahan yang di timbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks,
diantaranya: masalah kosmetika dan psikologis. Adanya kelumpuhan pada
otot wajah menyebabkan wajah tampak mencong dan ekspresi abnormal,
sehingga menjadikan penderitanya merasa minder dan kurang percaya diri.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah penyebab yang jelas
untuk lesi nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat
ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi.
Penanganan yang di berikan sedini mungkin sangat di perlukan untuk
mengembalikan fungsi otot-otot wajah, dan mengembalikan penampilan
(Bahrudin, 2011).
Insidensi kelainan ini mencapai 23 per 100.000 orang pertahun.
Bell’s palsy dapat mengenai pria dan wanita dengan perbandingan sama
dari usia 10-40 tahun dan mengenai wajah sisi kanan dan kiri dengan
kasus sama banyak (Dona, 2015).
2
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep teori bell’s spasy,
serta asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan
bell’s spasy.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya definisi Bell’s Palsy
b. Diketahuinya penyebab Bell’s Palsy
c. Diketahuinya patofisiologi Bell’s Palsy
d. Diketahuinya manifestasi Klinis Bell’s Palsy
e. Diketahuinya penatalaksanaan Bell’s Palsy
f. Diketahuinya pemeriksaan diagnostik Bell’s Palsy
g. Diketahuinya Asuhan Keperawatan Bell’s Palsy
3
BAB 2
TINJAUAN TEORI
7) Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
8) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I. Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan
dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c) Saraf III, IV, dan VI. Penurunan gerakan kelopak mata
pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
d) Saraf V. Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan
nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan
sinkinetik.
e) Saraf VII. Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin
sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen
stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, di
mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
g) Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan
kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via
oral.
h) Saraf XI. Tidak ada artrofi otot sternokleidemastoideus dan
trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik
(Muttaqin,2012)
i) Saraf XII. lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi indra pengecapan mengalami
kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam .
13
9) System motoric
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan
otot normal, control keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s
palsy tidak ada kelainan.
10) Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan reflex dalam, pengetekukan pada tendon,
ligamentum atau periostenum derajat reflex pada respon
normal.
11) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor , kejang , dan dystonia.
Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
12) System sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri , dan suhu
tidak ada kelainan .
g. Penatalaksanaan medis
2.7.2 Diagnosis keperawatan
Muttaqin (2008) merumuskan beberapa diganosa yang akan munul
pada pasien dengan bell’s spasy, yaitu sebagai berikut :
1. Gangguan konsep diri ( citra diri) b/d perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah
2. Cemah b/d prognosis penyakit dan perubhan kesehatan
3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri b/d informasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobtan
14
5. Bantu pasien
memisahkan
penampilan fisik
dari perasaan
berharga secara
pribadi dengan cara
yang tepat.
Identifikasi dampak
dari budaya pasien,
agama, ras, jenis
kelamin, dan usia
terkait dengan citra
diri.
6. Tentukan apakah
perubahan citra
tubuh berkontribusi
pada peningkatan
isolasi sosial.
7. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
tindakan-tindakan
yang akan
meningkatkan
penampilan.
Peningkatan harga
diri
Aktivitas :
1. Monitor pernyataan
pasien mengenai
16
harga diri.
2. Bantu pasien untuk
menerima
penerimaan diri.
3. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
respon positif dari
orang lain.
4. Bantu pasien
megatasi bullying
atau ejekan.
5. Fasilitasi
lingkungan dan
aktifitas-aktifitas
yang akan
meningkatkan
harga diri.
6. Monitor tongkat
harga diri pasien
dari waktu ke
waktu, dengan
tepat.
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Bell's palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan
kerusakan saraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis
satu sisi wajah yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis, dan
mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Namun bell’s spasy bukan
lah stroke.
b. Secara umum , etiologi dari Bell’s spasy adalah idiopatik, namun
beberapa peneliti menyebutkan bahwa etiologi dari bell’s spasy ialah
dari virus HSV (Herpes Simplek Virus).
c. Tanda dan gejala yang dialami pasien ialah bentuk wajah menjadi tidak
asimetris, wajah menjadi kaku, mati rasa pada mata dan lidah, dan
kesulitan dalam hal makan dan minum.
d. Penatalaksanaan bell’s spasy bertujuan untuk mempertahankan tonus
otot wajah dan guna mencegah atau meminimalkan denervasi.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggung jawabkan.
18