Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bell’s palsy didefinisikan sebagai parese nervus fasialis tipe perifer
idiopatik, yang meliputi wajah bagian atas dan bawah dengan atau tanpa
hilangnya rasa pada lidah ipsilateral. Hipotesis mengenai keterlibatan
infeksi virus herpes simpleks telah diterima secara luas. Umumnya gejala
penyakit in ringan dengan pemulihan sempurna dalam 2-3 minggu. Risiko
seumur hidup terhadap pasien ini adalah 2 % (Dona, 2015).
Bell’s Palsy disebut jugas sebagai nama sejenis penyakit
kelumpuhan perifer akibat proses (non suppuratif, non neoplasmatik, non
degeneratif primer), namun sangat mungkin akibat edema pada nervus
fasialis pada distal kanalis fasialis. Penyebab secara pasti belum diketahui,
tetapi beberapa penelitian mendukung adanya infeksi sebagai penyebab
bell’s palsy terutama HSV. Dari beberapa penelitian dan penyelidikan
yang telah dilakukan ternyata 75% dari paralisis fasial adalah Bell’s Palsy
(Bahrudin, 2011)
Permasalahan yang di timbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks,
diantaranya: masalah kosmetika dan psikologis. Adanya kelumpuhan pada
otot wajah menyebabkan wajah tampak mencong dan ekspresi abnormal,
sehingga menjadikan penderitanya merasa minder dan kurang percaya diri.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah penyebab yang jelas
untuk lesi nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat
ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi.
Penanganan yang di berikan sedini mungkin sangat di perlukan untuk
mengembalikan fungsi otot-otot wajah, dan mengembalikan penampilan
(Bahrudin, 2011).
Insidensi kelainan ini mencapai 23 per 100.000 orang pertahun.
Bell’s palsy dapat mengenai pria dan wanita dengan perbandingan sama
dari usia 10-40 tahun dan mengenai wajah sisi kanan dan kiri dengan
kasus sama banyak (Dona, 2015).
2

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep teori bell’s spasy,
serta asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan
bell’s spasy.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya definisi Bell’s Palsy
b. Diketahuinya penyebab Bell’s Palsy
c. Diketahuinya patofisiologi Bell’s Palsy
d. Diketahuinya manifestasi Klinis Bell’s Palsy
e. Diketahuinya penatalaksanaan Bell’s Palsy
f. Diketahuinya pemeriksaan diagnostik Bell’s Palsy
g. Diketahuinya Asuhan Keperawatan Bell’s Palsy
3

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Bell’s Palsy


Bell's palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan
kerusakan saraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis satu
sisi wajah yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis, dan
mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Paralisis ini menyebabkan
asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan
makan (Dona, 2015).
Bell’s palsy adalah gangguan neurologis yang disebabkan oleh
kerusakan saraf fasialis yang menyebabkan kelemahan pada satu sisi
wajah. Paralisis ini akan menyebabkan asimetris wajah serta mengganggu
fungsi normal seperti makan dan menutup mata (Dewanto, 2009). Bell’s
palsy biasanya hanya menyerang sebagian sisi wajah. Kejadian ini sangat
jarang namun bisa terjadi serangan berulang.
2.2 Etiologi Bell’s Palsy
Penyebab dari kelainan Bell’s palsy ini masih belum diketahui secara
jelas, namun beberapa penulis menyebutkan bahwa virus merupakan salah
satu penyebabnya, dan virus herpes disebutkan sebagai agen infektif yang
dapat menyebabkan peradangan atau inflamasi pada saraf (Nurkholbiah,
2014)
Sedangkan menurut (Bahrudin, 2011) menyebutkan Diperkirakan,
penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun
terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada
umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi
gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita
4

2.3 Patofisiologi Bell’s Palsy


Para ahli menyebutkan bahwa pada BP terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. BP hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui tulang temporal (Mardjono,2003, Davis,2005).
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, denyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus
fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi
yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer (Bahrudi, 2011).
2.4 Manifestasi Klinis Bell’s Palsy
Bentuk penampilan wajah pada penderita Bell’s palsy biasanya
menjadi tidak simetris (asimetris), dan penderita tidak dapat menutup mata
mereka dengan sempurna. Selain itu, penderita juga akan mengalami
kehilangan sensasi rasa atau mati rasa dibagian wajah dan lidah mereka.
Serta penderita juga akan mengalami kesulitan ketika makan ataupun
minum karena kondisinya tersebut (Nurkholbiah, 2014).
Menurut (Bahrudin, 2011) Pada awalnya, penderita merasakan ada
kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur,
minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut
maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan
5

menggunakan cermin Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis,


kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita
disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke
atas (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.

(Source :Bahrudin, 2011).


2.5 Penatalaksanaan Bell’s Palsy
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot
wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi . klien harus
diyakinkan bahwa keadaan yang terjadi bukan stroke dan pulih dengan
spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.
Terapi kortikosteroid (Prednison) dapat diberikan untuk menurunkan
radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vascular
dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut.
Pemberiaan awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi
penyakit semakin berat, mengurangi nyeri ,dan membantu mencegah atau
meminimalkan denevarsi .
Nyeri wajah dikontrol dengan analgesic , kompres panas pada sisi
wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan
aliran darah sampai ke otot tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi
atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif,
namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada
klienyang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf
6

wajah melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi keadaan


paralisi wajah.
Pendidikan klien , mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat
menyerang mata, sering kali,mata klien tidak dapat menutup dengan
sempurna , dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang
binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah
komplikasi potensial pada klien ini . kadang-kadang ini mengakibatkan
keluarnya air mata yang berlebihan ( epifora) karena keratitis yang
disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip . penutup
mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk
menangani maslah ini , mata harus ditutup dengan melindungi nya dari
cahaya silau pada malam hari . potongan mata dapat merusak kornea ,
meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kesukaran dalam
mempertahankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang
dapat di gunakan pada mata pada saat tidur dapay diletakkan diatas mata
agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup
selama tidur.
Klien diajarkan untuk menutup mata yang mengalami paralisis secra
manual sebelum tidur . gunakan penutup mata dengan kacamata hitam
untuk menurunkan penguapan normal dari mata . jika saraf tidak terlalu
sensitive , wajah dapat dimasase beberapa kali sehari untuk
mempertahankan tonus otot. Tekhnik untuk masase wajah adalah dengan
gerakan lembut ke atas . latihan wajah sperti mengerutkandahi ,
menggembungkan pipi keluar , dan bersiul dapat di lakukan dengan
menggunakkan cermin dan dilakukkan teratur untuk mencegah atrofi otot.
Hindari wajah terkena udara dingin (Muttaqin, 2008).
Menurut (Bahrudin, 2011) penatalaksaan Bell’s Palsy yaitu :
a. Istirahat terutama pada keadaan akut
b. Medikamentosa
Prednison : pemberian sebaiknya selekaslekasnya terutama pada kasus
BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk
7

mengurangi odem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan


3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan
bertahap selama 2 minggu.
c. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat
dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan
yaitu : mengurut/ massage otot wajah selama 5 menit pagisore atau
dengan faradisasi
d. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena
dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
- Tidak terdapat penyembuhan spontan
- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
- Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.

Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara


lain dekompres. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars
piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi
plastik untuk kosmetik.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik Bell’s Palsy


Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak
lesi dan derajat kerusakan n. Fasialis.
a. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri &
kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA
menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
kerusakan n.fasialis ireversibel.
b. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
8

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara


mengukur kecepatan hantaran listrik pada nervus fasialis kiri dan
kanan.
c. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya
otot-otot wajah. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah,
pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis
(gula), rasa asam dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri
membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan
stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit
atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n.
Fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya
d. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian
berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau
mengeringnya air mata menunjukkan lesi n.fasialis setinggi ggl.
genikulatum. (Bahrudin, 2011)
2.7 Asuhan keperawatan
2.7.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy meliputi
anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.
A. Anamnesis
Berisi mengenai data demografi lengkap pasien, tanggal masuk
rumah sakit, tanggal pengkajian, nomor rekan medis, serta
diagnosa medik.
B. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
9

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta


pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan
otot wajah terjadi pada satu sisi.
2) Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena
untuk menunjang keluhan utama klien. Di sisi harus ditanya
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien
Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot
wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah
sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak
pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak
dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas
dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien dengan
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit
iskemia vaskular. Otitis media, tumor intrakranial, trauma
kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster), penyakit
autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian
pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian
kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya (Muttaqin, 2008)
4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi
beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk
10

memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,


kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien
terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga
atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang
telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
5) Keadaan umum
Menguraikan mengenai kesadaran umum pasien dengan bell’s
spasy. Umumnya pasien dengan bell’s spasy GCS normal, yaitu
compos mentis. Kemudian, disebutkan juga tekanan darah (TD),
pernapasan (RR), Nadi (N), suhu (T), dan berat badan serta tinggi
badan.
6) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien
Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas
normal.
a. B1 (Breathing)
11

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan


inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak nafas, tidak
ada penggunaan otot bantu napas,dan frekuensi pernafasan
dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapang
paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
b. B2 (blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan
nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas
normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urine, hal iniberhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke
ginjal.
e. B5 ( Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung . pemenuhan nutrisi pada klien Bell
palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot
pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum . dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang
lain.
12

7) Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
8) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I. Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan
dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c) Saraf III, IV, dan VI. Penurunan gerakan kelopak mata
pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
d) Saraf V. Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan
nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan
sinkinetik.
e) Saraf VII. Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin
sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen
stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, di
mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
g) Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan
kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via
oral.
h) Saraf XI. Tidak ada artrofi otot sternokleidemastoideus dan
trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik
(Muttaqin,2012)
i) Saraf XII. lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi indra pengecapan mengalami
kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam .
13

9) System motoric
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan
otot normal, control keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s
palsy tidak ada kelainan.
10) Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan reflex dalam, pengetekukan pada tendon,
ligamentum atau periostenum derajat reflex pada respon
normal.
11) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor , kejang , dan dystonia.
Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
12) System sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri , dan suhu
tidak ada kelainan .
g. Penatalaksanaan medis
2.7.2 Diagnosis keperawatan
Muttaqin (2008) merumuskan beberapa diganosa yang akan munul
pada pasien dengan bell’s spasy, yaitu sebagai berikut :
1. Gangguan konsep diri ( citra diri) b/d perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah
2. Cemah b/d prognosis penyakit dan perubhan kesehatan
3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri b/d informasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobtan
14

2.7.3 Rencana intervensi keperawatan


Nanda NIC
NOC

Gangguan citra Citra tubuh Peningkatan citra


tubuh berhubungan Def : persepsi terhadap tubuh
dengan perubahan penampilan dan fungsi Aktivitas :
fungsi tubuh tubuh sendiri. 1. Monitor pasien
Kriteria hasil : apakah pasien bisa
a. Deskripsi bagian tubuh melihat bagian
yang terkena (dampak). tubuh mana yang
b. Kepuasan dengan berubah.
penampilan tubuh. 2. Gunakan bimbingan
c. Penyesuaian terhadap antisipatif
perubahan tampilan menyiapkan pasien
fisik. terkait dengan
d. Penyesuaian terhadap perubahan-
perubahan fungsi perubahan citra
tubuh. tubuh yang telah
e. Penyesuaian terhadap dipersiapkan.
perubahan status 3. Bantu pasien
kesehatan. menentukan
keberlanjutan dari
perubahan-
perubahan aktual
dari tubuh atau
tingkat fungsinya.
4. Tentukan perubahan
fisik saat ini apakah
berkontribusi
terhadap citra diri
pasien.
15

5. Bantu pasien
memisahkan
penampilan fisik
dari perasaan
berharga secara
pribadi dengan cara
yang tepat.
Identifikasi dampak
dari budaya pasien,
agama, ras, jenis
kelamin, dan usia
terkait dengan citra
diri.
6. Tentukan apakah
perubahan citra
tubuh berkontribusi
pada peningkatan
isolasi sosial.
7. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
tindakan-tindakan
yang akan
meningkatkan
penampilan.

Peningkatan harga
diri

Aktivitas :

1. Monitor pernyataan
pasien mengenai
16

harga diri.
2. Bantu pasien untuk
menerima
penerimaan diri.
3. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
respon positif dari
orang lain.
4. Bantu pasien
megatasi bullying
atau ejekan.
5. Fasilitasi
lingkungan dan
aktifitas-aktifitas
yang akan
meningkatkan
harga diri.
6. Monitor tongkat
harga diri pasien
dari waktu ke
waktu, dengan
tepat.
17

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Bell's palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan
kerusakan saraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis
satu sisi wajah yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis, dan
mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Namun bell’s spasy bukan
lah stroke.
b. Secara umum , etiologi dari Bell’s spasy adalah idiopatik, namun
beberapa peneliti menyebutkan bahwa etiologi dari bell’s spasy ialah
dari virus HSV (Herpes Simplek Virus).
c. Tanda dan gejala yang dialami pasien ialah bentuk wajah menjadi tidak
asimetris, wajah menjadi kaku, mati rasa pada mata dan lidah, dan
kesulitan dalam hal makan dan minum.
d. Penatalaksanaan bell’s spasy bertujuan untuk mempertahankan tonus
otot wajah dan guna mencegah atau meminimalkan denervasi.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggung jawabkan.
18

Anda mungkin juga menyukai