Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai


kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu
seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan
sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Negara.
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting
dari penerimaan Negara. Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan
indicator atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya
melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan
dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa
pengeluaran rutin dan pembangunan yang berguna bagi rakyat.
PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi dalam negeri.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari pajak PPh pasal 21 dan PPh pasal 26?
2. Siapa subjek atau Wajib Pajak PPh pasal 21 dan PPh pasal 26?
3. Penghasilan apa saja yang menjadi objek pajak PPh pasal 21 dan PPh pasal 26?
4. Berapa tarif pajak PPh pasal 21dan PPh pasal 26?
5. Siapa pemotong pajak PPh pasal 21dan PPh pasal 26?
6. Siapa pemungut pajak PPH pasal 21 dan PPh pasal 26?
1.3. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian dari pajak PPhpasal 21 dan pasal 26
2. Untuk mengetahui subjek atau Wajib Pajak PPh pasal 21 pasal 26
3. Untuk mengetahui objek pajak PPh pasal 21 dan pasal 26
4. Untuk mengetahui tarif pajak PPh pasal 21 dan pasal 26
5. Untuk mengetahui pemotong pajak penghasilan pasal 21 dan pasal 26
6. Untuk mengetahui pemungut PPh pasal 21 dan 26
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PPh 21
2.1.1. Pengertian PPH Pasal 21
Pajak Penghasilan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal
21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri, sebagaimna yang dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Adapun pengertian dari Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak


Penghasilan adalah “pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan
dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama
satu tahun pajak”. Yang dimaksud penghasilan menurut pasal 4 ayat (1) Undang-
undang.

2.1.2. Subjek Pajak PPh Pasal 21


Subjek Pajak PPh Pasal 21 (Wajib Pajak PPh Pasal 21) Wajib pajak yang dipotong
PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan :
a. Pegawai.
b. Penerima uang pesangon, pension atau uang manfaat pensiun, tunjangan
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa seperti tenaga ahli, entertaimen, olahragawan,
pemateri, pemberi asa, agen iklan, pengawas proyek, pengorder,distributor
perusahaan, dll.
d. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikut-sertaannya dalam suatu kegiatan, seperti peserta perlombaan
dalam segala bidang, peserta kegiatan, dll.
Yang tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 atau yang tidak dipotong yaitu :
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.3. Objek Pajak PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur,
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya,
c. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pension yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis,
d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan
secara bulanan
e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan,
f. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
sebagai berikut:
a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, termasuk Pajak Penghasilan yang
ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah,
merupakan penerimaan.
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pension yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan
hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-
Undang Pajak Penghasilan
2.1.4. Hak dan Kewajiban PPh 21
a. Hak-hak WP PPh 21
 Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong
pajak. Jumlah PPh pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak
penghasilan untuk tahun yang bersangkutan
 Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak,
jika PPh pasal 21 yang dipotong oelh pemotong pajak tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal
pemotongan.
 Wajib pajak berhak mengajukan banding kepada badan peradilan pajak dalam
jangka waktu tiga bulan sejak diterbitkannya surat keputusan Direktur Jendral
Pajak yang berhubungan dengan keberatannya.
b. Kewajiban Wajib Pajak PPH pasal 21
 Wajib Mendaftarkan Diri ke KPP
 Pegawai, Penerima Pensiun Berkala, dan Bukan Pegawai tertentu Wajib
Membuat Surat Pernyataan Yang Berisi Jumlah Tanggungan Keluarga Pada
Awal Tahun Kalender Atau Pada Saat Menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri.
 Wajib Menyerahkan Surat Pernyataan Tanggungan Keluarga kpd Pemotong
Pajak Pada Saat Mulai Bekerja Atau Mulai Pensiun.
2.1.5. Tarif PPh 21
Bagi yang memiliki NPWP

Tarif PPh 21 dipotong dari jumlah Penghasilan Kena Pajak yang dibulatkan ke bawah
ke ribuan penuh. Tarif PPh 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif PPh 21 berikut ini berlaku
pada Wajib Pajak (WP) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
 WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%
 WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta - Rp 250 juta adalah 15%
 WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta adalah 25%
 WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%
 Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21 sebesar
20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

Bagi yang tidak memiliki NPWP

 Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan


PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan
terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.

 Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya
dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.

 Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.

 Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima
penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan
paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember,
PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
2.1.6. Pemotongan PPh 21
Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 17 tahun 2000 dan terakhir UU No 36 tahun 2008 untuk memotong PPh
Pasal 21. Termasuk pemotong PPh Pasal 21 dalam peraturan Menteri Keuangan No.
252/KMK.03/2008 adalah :

a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh
pegawai atau bukan pegawai.
b. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI Pemerintah Daerah,
istansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya, dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia diluar negeri, yang membayarkan gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
c. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja dan badan–
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua.
d. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan.
e. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium, hadiah atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

2.1.7. Pemungut Pajak PPh Pasal 21


2.1.8. Penyetor Pajak PPh pasal 21

2.2. PPh 26
2.2.1. Pengertian PPh Pasal 26

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi subjek pajak luar negeri, yang disebut dengan Pasal
26 Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar
negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan. Atau dengan pengertian lain PPh Pasal 26 adalah
pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

Warga Negara asing (orang asing) yang tinggal atau berniat tinggal di Indonesia lebih
dari 183 hari dalam satu tahun termasuk dalam pengertian wajib pajak orang pribadi
dalam negeri, sehingga atas penghasilan orang asing tersebut apabila lebih dari 183
hari tinggal di Indonesia merupakan objek PPh Pasal 21 kecuali terdapat Tax treaty
atau P3B yang mengatakan batasan 183 hari tidak berlaku tetapi diatur tersendiri.

Sehingga sangat penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh Pasal 26 kepada
Wajib Pajak luar negeri untuk mengetahui apakah Wajib Pajak luar negeri tersebut
berasal dari negara yang mempunyai Tax treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda) dengan Indonesia atau tidak.
2.2.2. Subjek Pajak PPh Pasal 26

Subjek PPh pasal 26 terbatas hanya pada wajib pajak luar negeri saja, yang meliputi:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal diluar negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan di Indonesia.
b. Badan yang didikan atau bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan.
2.2.3. Objek Pajak PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh pasal 26 adalah:
a. Terdiri dari :
 Deviden
 Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang
 Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
 Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
 Keuntungan karena pembebasan utang dengan nama dan dalam bentuk
apapun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh
pihak yang wajib membayarkan.
b. Penjualan atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia,
yang diperoleh WP Luar Negeri. Harta yang dimaksud berupa: perhiasan mewah,
berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor,
kapal pesiar, dan/ atau pesawat terbang ringan. Dikecualikan dari pemotongan
PPh Pasal 26 adalah: WP OP Luar Negeri yang memperoleh penghasilan tidak
melebihi Rp 10Juta untuk setiap jenis transaksi.
c. Penjualan saham. Saham yang diperjualbelikan adalah saham dari PT di Dalam
Negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik.
Penjualan/pengalihan saham perusahaan antara (special purpose company atau
conduit company), yang didirikan di Tax Haven Country dan mempunyai
hubungan istimewa dengan WPDN Indonesia atau BUT di Indonesia, dapat
ditetapkan sebagai penjualan/pengalihan saham WP Badan Dalam Negeri.
d. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan luar negeri dipotong PPh
pasal 25 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan neto
untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan
asuransi luar negeri adalah sebagai berikut :
 atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri
baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah
premi yang dibayar;
 atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar;
 atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.
2.2.4. Tarif PPh 26

Tarif yang berlaku untuk pengenaan pajak penghasilan pasal 26 yaitu:


a. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri berupa:
 Penghasilan yang besumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga termasuk
prenium, diskonto, premi swap sehubungan dengan interest dam imbalan
kerena jaminan lain sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan.
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 Hadia dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
b. 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
 Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia.
 Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
c. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan
atau bertempat kedudukan di indonesia atau BUT di Indonesia
d. 20% (final) dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
e. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara indonesia
dengan negara pihak persetujuan.

2.2.5. Pemotongan PPh 26


Pemotong PPh pasal 26 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghasilan lainnya
kepada WP luar negri. WP baik orang pribadi maupun badan ditunjuk untuk
memotong PPh pasal 26 atau sesuai dengan ketentuan Tax Treary. Pemotong PPh
pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri.
b. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak.
c. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
2.2.6. Pemungut PPh 26
a. Badan Pemerintah
b. Subjek pajak dalam negeri
c. Penyelenggara kegiatan
d. Bentuk usaha tetap
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2.2.7. Penyetor PPh 26
2.3. Dasar Hukum PPh 21 &26
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28
Tahun 2007.
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak,
serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan
Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan.
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/pmk.03/2008 tenteng besarnya biaya
jabatan atau biaya pension yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pegawai tetap atau pensiunan.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang petunjk
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan orang pribadi.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang petunuk
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan orang pribadi.
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang tata cara
pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan berupa pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2009.
DAFTAR PUSTAKA

http://ilmukita62.blogspot.com/2016/06/pengertian-subjek-objek-
pajak.html

http://naldanazari.blogspot.com/2015/12/pajak-penghasilan-pasal-
26-pengertian.html

Anda mungkin juga menyukai