Anda di halaman 1dari 12

Kelainan Trigger Finger pada Kontraktur Fleksi Sendi Interfalang Proksimal dan

Distal

Pasien dengan trigger finger yang telah berlangsung lama dapat berkembang menjadi
kontraktur fleksi pada sendi interfalang proksimal yang terjadi setelah pembelahan pulley A-1
meskipun dalam jumlah yang kecil. Pada beberapa pasien hal ini dapat disebabkan oleh
kondisi patologis yang terjadi di dalam sendi. Pada beberapa pasien lainnya terjadi kontraktur
fleksi sebelum pembedahan yang dapat diperbaiki dengan pembedahan sederhana melalui
pembebasan pulley A-1 atau dengan terapi tambahan setelah pembedahan.
Pada kasus lainnya peran dari tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mengalami
penurunan yang bermakna. Proses degeneratif dapat menyebabkan menghilangnya
permukaan normal tendon yang halus, merusak serat tendon, menyebabkan terbentuknya
nodul yang besar, dan menyebabkan tendon kehilangan kemampuannya untuk bergerak bebas
di bawah pulley A-2. Penatalaksaan pada pasien seperti ini merupakan suatu tantangan karena
fungsi sendi tidak kembali secara penuh setelah pembelahan pulley A-1 kemudian dilanjutkan
dengan pembebasan pulley A-2 yang bukan merupakan suatu pilihan yang dapat dilakukan
seperti halnya pada bowstringing. Pasien seperti ini pada umumnya memiliki penyakit yang
sudah berlangsung sangat lama dan sepertinya telah mengalami proses metaplasia
fibrokartilaginosa pada pulley dan tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mereka
sehingga kemungkinan dapat berlanjut menjadi triggering distal, yang didefinisikan sebagai
kekakuan terus menerus dari tendon yang disebabkan adanya hambatan pergerakan ke arah
distal dari tendon tersebut.

Reseksi Permukaan Ulnar luar


Le Viet, dkk. menjelaskan 228 jari yang mengalami trigger finger pada 172 pasien diterapi
dengan reseksi pembebasan pada permukaan ulnar luar. Pasiennya memiliki waktu rata-rata
timbulnya gejala sebelum menjalani operasi selama 48 bulan dan 11 di antaranya telah
menjalani pembebasan pulley A-1 sebelumnya dan mengalami kegagalan.
Teknik ini dimulai dengan membuka dan melakukan pembebasan pulley A-1
sederhana. Pada pasien yang mengalami kontraktur fleksi pada sendi interfalang proksimal
yang menetap sebelum dilakukannya operasi maka ahli bedah harus merentangkan sendi
interfalang proksimal secara pasif. Jika usaha yang dilakukan untuk merentangkan sendi ini
berhasil maka prosedur pembedahan dapat diakhiri dan kulit dapat segera ditutup. Jika sendi
interfalang proksimal tidak dapat direntangkan secara penuh, maka pergerakan fleksi dari
tendon melalui pulley A-2 harus diperhatikan secara jeli. Jika dari penglihatan secara
langsung dapat dipastikan bahwa daerah tersebut merupakan tempat terjadinya hambatan
maka permukaan ulnar luar harus direseksi.
Le Viet, dkk. menggunakan insisi Bruner palmar-digital untuk membuka sarung
tendon sampai ke pertengahan falang. Permukaan ulnar dari tendon flexor digitorum
superficialis (FDS) dibebaskan pada sisi distal dari terowongan carpal kemudian pada sudut
distal dari pulley A-3 dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan pulley tersebut.
Permukaan tendon tersebut kemudian dipindahkan dari sarung tendon melalui insisi lainnya
kemudian diletakkan di antara pulley A-2 dan A-3 (Gambar 5).
Pada rangkaian kasus yang ditangani oleh Le Viet, dkk. semua pasien dengan
deformitas fleksi yang menetap sebelum dilakukannya operasi dengan deformitas kurang dari
30o maka dapat diperoleh ekstensi penuh kembali setelah reseksi permukaan ulnar tendon
superficialis. Pasien dengan deformitas lebih dari 30o akan mengalami perbaikan ekstensi
pada sendi interfalang proksimal mereka dengan rata-rata sebesar 30 o, disertai dengan
deformitas fleksi menetap yang masih tersisa dengan rata-rata sebesar 12o. Dua pasien
mengalami ruptur pulley A-2 ketika sedang menjalani pembedahan yang terjadi ketika
memindahkan permukaan tendon ke arah distal. Rekonstruksi segera dilakukan dan kedua
pasien tersebut memiliki hasil operasi yang bagus meskipun memerlukan waktu pemulihan
yang lebih lama. Tiga pasien mengalami hambatan pergerakan jari secara permanen sebagai
akibat dari distrofi refleks simpatis. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Le Viet,
dkk. masih terbatas disebabkan oleh kurangnya kelompok kontrol dengan kontraktur sendi
interfalang proksimal yang diobati secara tradisional. Hasil pembedahan pada pasien yang
sebelumnya menjalani pembebasan pulley A-1 dan tidak berhasil tidak dianalisa secara
terpisah.

Tenoplasti untuk Fleksor Reduksi


Tenoplasti untuk fleksor reduksi merupakan proses membuang isi dari tendon yang
mengalami pembesaran. Seradge dan Kleinert menggunakan teknik ini untuk mengobati
pasien dengan trigger finger bagian distal yang bernodul hingga ke pulley A-1. Satu dari
pasien mereka sebelumnya menjalani operasi pembebasan pulley A-1 namun tidak berhasil
sehingga menyebabkan terjadinya deformitas berupa fleksi dari sendi interfalang proksimal
setelah pembedahan tersebut. Pasien lainnya memiliki tampilan pulley A-1 yang normal dan
tendon flexor diobservasi melalui operasi pembebasan pulley A-1 dari beberapa jari. Hal ini
membutuhkan eksplorasi lebih lanjut, untuk memperlihatkan pembesaran tendon flexor
digitorum profundus (FDP) yang menyatu setinggi pulley A-2. Tenoplasti untuk fleksor
reduksi memperbaiki kekakuan pada pasien-pasien ini dan juga telah berhasil diterapkan pada
berbagai pasien dengan kekakuan bagian distal.
Pada prinsipnya tenoplasti untuk fleksor reduksi dapat digunakan pada berbagai lokasi
dimana hipertrofi yang berbentuk gelembung dari tendon flexor menjadi hambatan dari
pergerakan bebas dari tendon tersebut dalam sarung tendon. Secara umum, akan tetapi, teknik
ini hanya digunakan ketika terjadi trigger finger yang disebabkan oleh pembengkakan
berbentuk nodul pada tepi proksimal atau distal dari pulley A-2.
Mula-mula nodul pada tendon dibuka. Pada tepi proksimal dari pulley A-2 juga dapat
dilakukan melalui pembebasan pulley A-1. Pada bagian distal pulley cruciform kedua dapat
direseksi setinggi kepala dari falang proksimal. Insisi lateral yang sedikit lebih panjang dari
pembengkakan yang berbentuk gelembung dibuat melalui epitenon dan serat tendon
superfisial. Isi dari tendon kemudian dibuang (Gambar 6) sampai tendon yang tersisa menjadi
halus dan tidak tampak lagi adanya nodul yang mengganjal. Tenotomi ditutup dengan
menggunakan jahitan jelujur 7-0.

Triggering pada Pulley A-3


Triggering pada pulley A-3 digambarkan secara sederhana oleh bowlers sebagai sebuah hasil
dari trauma yang terus menerus pada bagian-bagian jari yang melakukan fleksi pada tempat
ini maupun pada ganglia dalam sendi, atau sebagai hasil dari laserasi sebagian dari tendon
fleksor. Temuan klinis pada pasien dengan triggering pada pulley A-3 memiliki perbedaan
yang cukup mencolok dibandingkan dengan nyeri tekan pada daerah palmar yang biasanya
ditemukan. Nyeri yang dirasakan dan nyeri tekan pada daerah palmar hingga sendi
interfalang proksimal disertai dengan pembengkakan pada bagian fleksor dari tendon yang
berbatasan dengan sendi interfalang proksimal merupakan tanda khas pada keadaan yang
tidak biasa ditemukan ini. Karakteristik dari pasien ini adalah memiliki kekakuan yang terjadi
ketika sendi interfalang proksimal berada pada posisi fleksi sebesar atau lebih dari 90 o.
Perbedaannya dengan triggering yang biasa terjadi adalah terdapat keterlibatan dari tendon
flexor digitorum superficialis (FDS). Kondisi patologi dari sendi flexor digitorum
superficialis (FDS) merupakan penyebab dari triggering pada bagian distal; oleh sebab itu,
maka gejalanya akan ditemukan pada lokasi sendi interfalang distal. Ketika deformitas
berupa kondisi fleksi pada sendi interfalang proksimal diperbaiki secara pasif pada pasien ini
maka akan menyebabkan fleksi pada sendi interfalang distal. Nyeri akan kembali muncul
akibat regangan dari posisi fleksi sendi interfalang distal.
Eksisi pulley A-3 telah terbukti berhasil jika dilakukan pada pasien ini. Pada kasus
dimana terbentuknya ganglia dalam sendi atau nodul yang telah menyatu, yang juga menimpa
pulley A-2, upaya memperkecil tendon yang membesar melalui tenoplasti untuk fleksor
reduksi terbukti efektif.

Permukaan
ulnar dari
tendon FDS
dipotong pada
Permukaan ulnar tepi distal dari
dari tendon FDS pulley A-3
dieksisi dan
dibuang sepanjang
jarak A2-A3

Insisi Bruner
palmar-digital
Pembebasan
pulley A-1

Permukaan
Ulnar dari
FDS

Gambar 5. Reseksi permukaan ulnar luar. Bagian proksimal dari permukaan ulnar
dibebaskan setinggi terowongan carpal. Pada bagian distal permukaan ulnar dipotong
melintang ke arah distal hingga mencapai pulley A-3. Permukaan tendon kemudian
dipindahkan pada jarak antara pulley A-2 dan A-3.

Trigger Finger dalam Hubungannya dengan Penyakit Lainnya


Sindrom Terowongan Carpal
Sindrom terowongan carpal biasanya dijumpai bersamaan dengan trigger finger. Pasien
dengan penyakit endokrin dan metabolik diketahui memiliki faktor predisposisi untuk
mengalami kedua kondisi tersebut. Akan tetapi, peningkatan ukuran nervus medianus pada
terowongan carpal juga ditemukan pada pasien yang hanya memiliki kelainan trigger finger.
Sehingga hipotesis yang muncul adalah terdapat hubungan antara 2 kondisi tersebut yang
mungkin disebabkan oleh proses inflamasi pada tendon setinggi pulley A-1 dan terowongan
carpal. Selanjutnya, ketika pasien menghindari gerakan pada jari karena rasa nyeri yang
dirasakan akibat adanya kekakuan menyebabkan edema pada tangan yang dapat
meningkatkan kompresi pada nervus medianus di bawah ligamentum carpi transversum.
Secara klinis, 2 kondisi ini sering terjadi bersamaan. Pasien dengan trigger finger harus
dievaluasi lebih lanjut untuk mencari adanya gejala-gejala klinis dari sindrom terowongan
carpal begitu pun sebaliknya.

Penyakit Sistemik
Amiloidosis. Amiloidosis sebagian besar terjadi dari ketidakmampuan selaput dialisis untuk
membuang protein β-2 mikroglobulin dari plasma yang difiltrasi. Protein ini terakumulasi di
tulang dan jaringan lunak, sehingga menyebabkan berbagai komplikasi muskuloskeletal.
Tingkat keparahan dari penyakit tersebut berbanding lurus dengan durasi seorang pasien
menjalani hemodialisis. Manifestasi yang paling sering ditemukan pada tangan adalah lesi
kistik pada tulang-tulang carpal dan arthropati destruktif; sindrom terowongan carpal adalah
kondisi paling umum yang membutuhkan terapi pembedahan.

Nodul di dalam FDP

FDS ditarik

Ditutup dengan jahitan jelujur 7-0

Gambar 6. Tenotomi untuk fleksor reduksi. (A) Isi dari pembengkakan yang berbentuk
gelembung pada bagian fleksi dari tendon dibuang. (A) Pembesaran berbentuk gelembung
dengan bagian proksimal dari tendon terhadap pulley A-2. (B) Eksisi pada isi dari tendon
FDP. (C) Pergerakan bebas dari permukaan tendon setelah eksisi dari bagian yang membesar.
(D) Tenotomi ditutup dengan jahitan jelujur 7-0.
Tenosinovitis amiloid infiltratif sering menjalar ke arah distas hingga mencapai
telapak tangan dan jari-jari, yang dapat memicu terjadinya trigger fingers, kontraktur fleksi,
atau bahkan ruptur tendon. Banyak pasien yang mengalami gangguan tersebut akan berujung
pada penurunan fungsi dari tangan yang akan mempengaruhi aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari dan kemampuan untuk merawat diri sendiri.

Tatalaksana bedah yang digunakan harus terdiri dari operasi pembebasan pulley A-1
dan tenosinovektomi total dengan tetap mempertahankan sarung tendon pulley lainnya.
Sebagian kecil dari pasien usia lanjut yang mengalami trigger finger idiopatik diketahui
memiliki deposit amiloid pada sarung tendon mereka ketika dilakukan eksisi. Akan tetapi, hal
ini menunjukkan tipe dan kuantitas amiloid yang berbeda dibandingkan dengan protein β-2
mikroglobulin yang ditemukan dalam berjumlah besar pada pasien yang menjalani dialisis.
Apakah hal ini merupakan bagian dari mekanisme perkembangan tenosinovitis stenosis
idiopatik atau merupakan sebuah bagian penting dari proses penuaan sampai saat ini masih
belum diketahui.

Mukopolisakaridosis. Mukopolisakaridosis merupakan gangguan penyimpanan lisosomal


yang terjadi akibat adanya defisiensi enzim yang berasal dari kelainan genetik. Terdapat
beberapa variasi klinis dari mukopolisakaridosis, masing-masing berasal dari defisiensi 1
enzim spesifik. Manifestasi muskuloskeletal berasal dari akumulasi glikosaminoglikan
berupa dermatan, heparan, keratan, atau kondroitin sulfat di kartilago, tendon, dan kapsul
sendi. Tatalaksana untuk kondisi seperti ini telah mendapatkan perhatian yang lebih sejak
tahuan 1980-an ketika transplantasi sumsum tulang belakang menunjukkan peningkatan
angka harapan hidup pada pasien.

Van Heest, dkk. melaporkan pengalaman mereka dalam melakukan terapi untuk
gangguan tangan pada 22 anak dengan berbagai kelainan mukopolisakaridosis. Pada rangkain
kasus mereka 17 pasien mendapatkan terapi untuk menyembuhkan sindrom terowongan
carpal disertai dengan 45 jari yang mengalami trigger finger pada 8 anak. Mereka
menggunakan teknik kombinasi n pulley A-1 dan A-3 disertai dengan penggunaan reseksi
permukaan ulnar superfisial dari tendon. Semua pasien yang mereka tangani mengalami
peningkatan pada gerakan fleksi aktif dari jari-jari yang diterapi dan secara umum mengalami
peningkatan fungsi setelah dilakukannya operasi pembebasan tersebut.
Diabetes melitus. Pasien dengan diabetes diketahui memiliki faktor risiko untuk terjadinya
disfungsi pada berbagai sistem organ. Meskipun organ yang mendapatkan fokus yang lebih
besar adalah mata, ginjal, kaki, dan sistem kardiovaskuler, tangan juga seringkali juga ikut
terkena, yang berujung pada terjadinya disabilitas dan deformitas. Dilaporkan terjadi
peningkatan angka kejadian Sindrom terowongan carpal, neuropati, penyakit Dupuytren, dan
trigger finger pada pasien diabetes. Pasien diabetes melitus tidak hanya memiliki risiko yang
lebih tinggi terkena tenosinovitis stenosis, akan tetapi juga kurang responsif terhadap
pengobatan yang diberikan. Lamanya seseorang terkena diabetes memiliki hubungan yang
erat dengan terjadinya komplikasi pada tangan.

Griggs, dkk. memberikan pengobatan pada 54 pasien diabetes dimana di antaranya


terdapat 121 jari yang mengalami trigger finger dengan memberikan injeksi kortikosteroid,
kemudian mereka melakukan operasi pembebasan pulley A-1 pada pasien-pasein tersebut
dimana pengobatan konservatif tidak berhasil. Tingkat keberhasilan terapi injeksi
kortikosteroid secara keseluruhan sebesar 50% jumlahnya lebih kecil dibandingkan hasil
yang dilaporkan pada sebagian besar penelitian yang dilakukan pada pasien yang tidak
menderita diabetes. Lebih lanjut, pasien diabetes yang menggunakan terapi insulin dan
mengalami perbaikan gejala hanya sebesar 44% dari kasus yang mendapatkan terapi injeksi
tersebut. Pasien yang diterapi dengan pembedahan juga mendapatkan hasil yang tidak terlalu
memuaskan, dimana masih terjadi kontraktur fleksi pada sendi interfalang proksimal dan
nyeri tekan pada daerah pulley A-1 yang menetap. Faktor yang menyebabkan hasil
pengobatan yang kurang memuaskan pada pasien diabetes dengan jari yang mengalami
trigger finger diduga disebabkan oleh angka kejadian yang tinggi pada terjadinya inflamasi
dan stenosis pada sarung tendon dibandingkan dengan terjadinya proses pembentukan nodul.

Beberapa penelitian melaporkan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik
pada pasien beberapa hari setelah injeksi steroid untuk pengobatan trigger finger tidak
tercatat dengan baik, mendapatkan perhatian yang lebih, atau tatalaksana untuk kondisi
seperti itu. Pasien sebaiknya diberikan peringatan terhadap kemungkinan terjadinya
peningkatan kadar gula darah setelah pemberian terapi steroid, namun diabetes bukan
merupakan suatu kontraindikasi untuk memberikan injeksi pada sarung tendon.

Komplikasi diabetes pada tangan yang paling sering terjadi adalah proses fibrosis
yang berkaitan dengan mekanisme patogenik yang sama dengan komplikasi lainnya yang
terjadi akibat diabetes. Hiperglikemi meningkatkan pembentukan kolagen dan menghambat
degradasinya, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kolagen. Hal ini dapat
menjelaskan kecenderungan pasien diabetes mengalami trigger finger.

Arhritis Reumatoid. Berbeda dengan trigger finger idiopatik, terjadinya trigger finger pada
pasien Arthritis reumatoid disebabkan oleh terjadinya tenosinovitis. Arthritis reumatoid
merupakan gangguan sistemik yang mempengaruhi jaringan sinovial. Inflamasi pada
tenosinovium menyebabkan ketidakcocokan antara ukuran isi dari sarung tendon dan rongga
yang dibentuk oleh jaringan fibro-osseus di sekitarnya yang menyebabkan timbulnya gejala
yang hampir mirip dengan terjadi pada pasien dengan trigger finger idiopatik. Akan tetapi,
gejala-gejala yang terjadi pada pasien arthritis reumatoid memerlukan pendekatan diagnostik
dan tatalaksana yang seluruhnya berbeda dibandingkan pada pasien dengan tendovaginitis
idiopatik.

Tenosinovitis permukaan fleksor pada pasien reumatoid dapat menyebabkan


terjadinya nyeri pada jari, pembengkakan, trigger finger, gerakan yang terhambat, atau ruptur
dari permukaan fleksor pada tendon. Diagnosis ditegakkan jika terdapat adanya trigger finger
atau kekakuan pada jari disertai pembengkakan yang terapi pada permukaan volar dari jari.
Adanya pingkatan gerakan aktif pada jari yang lebih besar dibandingkan gerakan pasif sangat
membantu untuk membedakan adanya keadaan patologi sendi pada pasien dengan
tenosinovitis pada permukaan fleksor tendon. Akan tetapi, kekakuan sendi yang menetap
dapat berkembang menjadi kasus yang kronik, sehingga untuk menegakkan diagnosis adanya
hambatan pergerakan permukaan fleksor tendon sebagai akibat dari terjadinya tenosinovitis
yang luas semakin sulit dilakukan. Tatalaksana bedah untuk tenosinovitis permukaan fleksor
akibat kondisi reumatoid adalah tenosinovektomi dengan mempertahankan cincin sarung
tendon pulley, dimana pada beberapa kasusu juga memerlukan reseksi permukaan ulnar
superfisial dari tendon atau eksisi nodul reumatoid dari tendon. Walaupun kondisi seperti ini
dapat memberikan respon terhadap pemberian injeksi kortikosteroid untuk sementara waktu,
intervensi bedah sedini mungkin dalam bentuk tenosinovektomi permukaan fleksor tendon
dengan dekompresi terowongan carpal direkomendasikan oleh banyak praktisi untuk
mencegah terjadinya ruptur pada permukaan fleksor tendon dan kerusakan yang menetap
pada nervus medianus.
Tindakan pembebasan pulley A-1 pada tenosinovitis permukaan fleksor akibat
reumatoid tidak disarankan untuk dilakukan. Meskipun pulley telah dibebaskan, gerakan
kemungkinan tetap akan terbatas karena adanya nodul reumatoid atau tenosinovium
permukaan fleksor yang luas pada satu atau lebih bagian distal dari pulley yang telah
dibebaskan. Pembebasan pulley A-1 akan meningkatkan kecenderungan permukaan ulnar
dari jari mengalami reumatoid (Gambar 7), yang berujung pada peningkatan putaran
permukaan ulnar sepanjang sendi metacarpophalangeal.

Gambar 7. Kecenderungan permukaan fleksor dari tendon ke arah ulnar setelah pulley A-1
dari jari tengah dan jari manis dibebaskan.

Teknik Operasi
Insisi Bruner standar digunakan untuk mencapai permukaan fleksor sarung tendon pada jari.
Untuk mencapai sisi proksimal dari sarung tendon pada telapak tangan dilakukan insisi
melintang pada lipatan telapak tangan pada bagian distal. Pendekatan melalui terowongan
carpal digunakan untuk mencapai permukaan fleksor tendon jika diperlukan. Sarung tendon
dibuka pada sisi proksimal setinggi pulley A-1 dan antara pulley A-2 dan A-4. Pulley A-1, A-
2, dan A-4 tetap dipertahankan.

Gangguan tenosinovium di sekitar tendon dibuang. Nodul di dalam tendon dieksisi


dengan hati-hati. Nodul yang tidak dieksisi secara menyeluruh dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya ruptur permukaan fleksor dari tendon di kemudian hari. Gerakan tendon secara
pasif kemudian diperiksa. Jika gerakan fleksi secara pasif dari jari lebih besar dibandingkan
dengan hasil yang akan diperoleh ketika traksi diterapkan pada sisi proksimal dari tendon
maka proses debulking nantinya mungkin diperlukan. Ferlic dan Clayton merekomendasikan
dilakukannya eksisi dari permukaan ulnar tendon pada pasien seperti ini.

Trigger Finger pada Anak-Anak

Sembilan puluh persen trigger finger yang terjadi pada anak-anak adalah kekakuan pada ibu
jari. Hal ini merupakan suatu kondisi langka yang terjadi pada sedikitnya 0,05% anak-anak.
Kekakuan ibu jari pada anak-anak tidak seperti trigger finger pada umumnya tetapi berupa
posisi fleksi yang menetap. Adanya nodul Notta pada tendon flexor pollicis longus pada
daerah di sekitar pulley A-1 pada ibu jari merupakan anda klinis penting yang membedakan
kekakuan ibu jari dari berbagai kelainan bentuk ibu jari lainnya. Masih terjadi perdebatan
mengenai apakah kekakuan ibu jari pada anak merupakan suatu kelainan yang bersifat
kongenital atau didapat, dan tingkat resolusi spontan dari gejala yang timbul. Sebagian besar
pasien yang mengalami kekakuan pada ibu jari berusia lebih dari 6 bulan.

Tingkat resolusi spontan dari kekakuan ibu jari anak-anak yang dilaporkan bervariasi
antara 0% dan 49%. Terdapat berbagai laporan yang saling bertentangan dimana beberapa
peneliti melaporkan tingkat resolusi spontan yang cukup bermakna, dengan peneliti lain yang
melaporkan bahwa sebagian besar kekakuan ibu jari yang diamati tidak tampak dengan jelas.
Tingkat keberhasilan tatalaksana konservatif meningkat dengan memasang bebat pada sendi
metacarpophalangeal (MCP) pada beberapa penelitian.

Kekakuan ibu jari pada anak-anak memberikan respon yang berbeda-beda pada
tindakan pembebasan pulley A-1. Ibu jari dengan gerakan yang normal dapat segera
memberikan respon yang diharapkan setelah dilakukannya tindakan tersebut. McAdams, dkk.
meneliti hasil jangka panjang dari tindakan pembebasan pulley A-1 pada anak-anak dengan
rata-rata durasi selama 15 tahun setelah tindakan pembedahan dilakukan. Tidak terjadi
rekurensi pada terjadinya kekakuan. Lima dari 21 pasien mengalami gerakan sendi
interfalang yang menurun dengan rata-rata sebesar 15 o dan 4 dari 21 pasien menunjukkan
hiperekstensi sendi metacarpophalangeal (MCP); akan tetapi, tidak ada pasien yang
mengeluhkan adanya keterbatasan fungsi tersebut. Keluhan yang paling umum adalah adanya
bekas luka, yang disebabkan oleh penggunaan insisi secara longitudinal dibandingkan insisi
secara transversal pada lipatan kulit.
Tindakan bedah yang tidak segera dilakukan tidak memberikan hasil yang merugikan.
Beberapa penelitian mencatat hasil yang memuaskan bahkan pada pasien yang menunda
untuk dilakukan tindakan pembebasan selama lebih dari 4 tahun setelah gejala muncul.
Walaupun literatur terkini masih belum memberikan kesimpulan, percobaan untuk
memberikan terapi pemasangan bebat dapat dilakukan sebelum tindakan pembebasan pulley
A-1 pada anak dengan kekakuan ibu jari dilakukan.

Trigger finger pada anak-anak terjadi sekitar 1/10 dari angka kejadian kekakuan pada
ibu jari. Beberapa pasien datang dengan adanya deformitas berupa gerakan fleksi yang
menetap. Akan tetapi, sama halnya dengan trigger finger yang terjadi pada orang dewasa,
kekakuan sering menjadi keluhan utama. Cardon, dkk. melaporkan angka kejadian kelainan
pada permukaan fleksor tendon yang tinggi pada anak-anak dengan keluhan ini. Pada
rangkaian kasus yang mereka tangani terdapat 33 jari yang mengalami trigger finger yang
berasal dari 18 pasien, 8 pasien masih mengalami kekakuan yang berlanjut setelah tindakan
pembebasan pulley A-1. Kelainan yang tercatat berupa adanya persilangan yang lebih
proksimal dari FDS dari letak yang normal, permukaan FDS yang masuk ke dalam tendon
FDP, adanya nodul dalam tendon, dan hambatan pada pulley A-3. Pasien ini kemudian
diterapi dengan menggunakan reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon, dimana 2
pasien juga menjalani tindakan pembebasan pulley A-3. Tidak terdapat pasien yang
mengalami rekurensi setelah tindakan pembedahan.

Kesimpulan

Kekakuan jari yang bergejala merupakan suatu masalah dalam segi mekanik yang disebabkan
oleh ketidaksesuaian antara ukuran permukaan fleksor tendon terhadap sarung tendon yang
membungkusnya. Terapi yang sesuai didasarkan pada pemahaman mengenai lokasi dan
penyebab terjadinya ketidaksesuaian tersebut. Pertimbangan untuk membebaskan sarung
tendon atau menurunkan volume permukaan fleksor dari tendon dapat menghilangkan gejala
yang dirasakan. Perubahan aktifitas, pemberian obat-obatan anti-inflamasi, pemasangan
bebat, injeksi kortikosteroid, dan pembebasan pulley A-1 secara langsung atau melalui kulit
semuanya memiliki peran masing-masing dalam tatalaksana penyakit ini. Pada beberapa
kasus tindakan pembebasan pulley A-3, reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon,
tenoplasti fleksor reduksi, dan tenosinovektomi permukaan fleksor merupakan teknik yang
dapat memperbaiki beberapa bentuk trigger finger yang tidak lazim dengan baik. Pemahaman
yang lebih dalam mengenai kondisi yang dapat memperberat serta biomekanik dari berbagai
elemen dari permukaan fleksor dari jari dapat memberikan penanganan yang lebih efektif
pada pasien yang mengalami kondisi seperti ini disertai dengan pencegahan terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi.

Anda mungkin juga menyukai