Distal
Pasien dengan trigger finger yang telah berlangsung lama dapat berkembang menjadi
kontraktur fleksi pada sendi interfalang proksimal yang terjadi setelah pembelahan pulley A-1
meskipun dalam jumlah yang kecil. Pada beberapa pasien hal ini dapat disebabkan oleh
kondisi patologis yang terjadi di dalam sendi. Pada beberapa pasien lainnya terjadi kontraktur
fleksi sebelum pembedahan yang dapat diperbaiki dengan pembedahan sederhana melalui
pembebasan pulley A-1 atau dengan terapi tambahan setelah pembedahan.
Pada kasus lainnya peran dari tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mengalami
penurunan yang bermakna. Proses degeneratif dapat menyebabkan menghilangnya
permukaan normal tendon yang halus, merusak serat tendon, menyebabkan terbentuknya
nodul yang besar, dan menyebabkan tendon kehilangan kemampuannya untuk bergerak bebas
di bawah pulley A-2. Penatalaksaan pada pasien seperti ini merupakan suatu tantangan karena
fungsi sendi tidak kembali secara penuh setelah pembelahan pulley A-1 kemudian dilanjutkan
dengan pembebasan pulley A-2 yang bukan merupakan suatu pilihan yang dapat dilakukan
seperti halnya pada bowstringing. Pasien seperti ini pada umumnya memiliki penyakit yang
sudah berlangsung sangat lama dan sepertinya telah mengalami proses metaplasia
fibrokartilaginosa pada pulley dan tendon flexor digitorum superficialis (FDS) mereka
sehingga kemungkinan dapat berlanjut menjadi triggering distal, yang didefinisikan sebagai
kekakuan terus menerus dari tendon yang disebabkan adanya hambatan pergerakan ke arah
distal dari tendon tersebut.
Permukaan
ulnar dari
tendon FDS
dipotong pada
Permukaan ulnar tepi distal dari
dari tendon FDS pulley A-3
dieksisi dan
dibuang sepanjang
jarak A2-A3
Insisi Bruner
palmar-digital
Pembebasan
pulley A-1
Permukaan
Ulnar dari
FDS
Gambar 5. Reseksi permukaan ulnar luar. Bagian proksimal dari permukaan ulnar
dibebaskan setinggi terowongan carpal. Pada bagian distal permukaan ulnar dipotong
melintang ke arah distal hingga mencapai pulley A-3. Permukaan tendon kemudian
dipindahkan pada jarak antara pulley A-2 dan A-3.
Penyakit Sistemik
Amiloidosis. Amiloidosis sebagian besar terjadi dari ketidakmampuan selaput dialisis untuk
membuang protein β-2 mikroglobulin dari plasma yang difiltrasi. Protein ini terakumulasi di
tulang dan jaringan lunak, sehingga menyebabkan berbagai komplikasi muskuloskeletal.
Tingkat keparahan dari penyakit tersebut berbanding lurus dengan durasi seorang pasien
menjalani hemodialisis. Manifestasi yang paling sering ditemukan pada tangan adalah lesi
kistik pada tulang-tulang carpal dan arthropati destruktif; sindrom terowongan carpal adalah
kondisi paling umum yang membutuhkan terapi pembedahan.
FDS ditarik
Gambar 6. Tenotomi untuk fleksor reduksi. (A) Isi dari pembengkakan yang berbentuk
gelembung pada bagian fleksi dari tendon dibuang. (A) Pembesaran berbentuk gelembung
dengan bagian proksimal dari tendon terhadap pulley A-2. (B) Eksisi pada isi dari tendon
FDP. (C) Pergerakan bebas dari permukaan tendon setelah eksisi dari bagian yang membesar.
(D) Tenotomi ditutup dengan jahitan jelujur 7-0.
Tenosinovitis amiloid infiltratif sering menjalar ke arah distas hingga mencapai
telapak tangan dan jari-jari, yang dapat memicu terjadinya trigger fingers, kontraktur fleksi,
atau bahkan ruptur tendon. Banyak pasien yang mengalami gangguan tersebut akan berujung
pada penurunan fungsi dari tangan yang akan mempengaruhi aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari dan kemampuan untuk merawat diri sendiri.
Tatalaksana bedah yang digunakan harus terdiri dari operasi pembebasan pulley A-1
dan tenosinovektomi total dengan tetap mempertahankan sarung tendon pulley lainnya.
Sebagian kecil dari pasien usia lanjut yang mengalami trigger finger idiopatik diketahui
memiliki deposit amiloid pada sarung tendon mereka ketika dilakukan eksisi. Akan tetapi, hal
ini menunjukkan tipe dan kuantitas amiloid yang berbeda dibandingkan dengan protein β-2
mikroglobulin yang ditemukan dalam berjumlah besar pada pasien yang menjalani dialisis.
Apakah hal ini merupakan bagian dari mekanisme perkembangan tenosinovitis stenosis
idiopatik atau merupakan sebuah bagian penting dari proses penuaan sampai saat ini masih
belum diketahui.
Van Heest, dkk. melaporkan pengalaman mereka dalam melakukan terapi untuk
gangguan tangan pada 22 anak dengan berbagai kelainan mukopolisakaridosis. Pada rangkain
kasus mereka 17 pasien mendapatkan terapi untuk menyembuhkan sindrom terowongan
carpal disertai dengan 45 jari yang mengalami trigger finger pada 8 anak. Mereka
menggunakan teknik kombinasi n pulley A-1 dan A-3 disertai dengan penggunaan reseksi
permukaan ulnar superfisial dari tendon. Semua pasien yang mereka tangani mengalami
peningkatan pada gerakan fleksi aktif dari jari-jari yang diterapi dan secara umum mengalami
peningkatan fungsi setelah dilakukannya operasi pembebasan tersebut.
Diabetes melitus. Pasien dengan diabetes diketahui memiliki faktor risiko untuk terjadinya
disfungsi pada berbagai sistem organ. Meskipun organ yang mendapatkan fokus yang lebih
besar adalah mata, ginjal, kaki, dan sistem kardiovaskuler, tangan juga seringkali juga ikut
terkena, yang berujung pada terjadinya disabilitas dan deformitas. Dilaporkan terjadi
peningkatan angka kejadian Sindrom terowongan carpal, neuropati, penyakit Dupuytren, dan
trigger finger pada pasien diabetes. Pasien diabetes melitus tidak hanya memiliki risiko yang
lebih tinggi terkena tenosinovitis stenosis, akan tetapi juga kurang responsif terhadap
pengobatan yang diberikan. Lamanya seseorang terkena diabetes memiliki hubungan yang
erat dengan terjadinya komplikasi pada tangan.
Beberapa penelitian melaporkan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik
pada pasien beberapa hari setelah injeksi steroid untuk pengobatan trigger finger tidak
tercatat dengan baik, mendapatkan perhatian yang lebih, atau tatalaksana untuk kondisi
seperti itu. Pasien sebaiknya diberikan peringatan terhadap kemungkinan terjadinya
peningkatan kadar gula darah setelah pemberian terapi steroid, namun diabetes bukan
merupakan suatu kontraindikasi untuk memberikan injeksi pada sarung tendon.
Komplikasi diabetes pada tangan yang paling sering terjadi adalah proses fibrosis
yang berkaitan dengan mekanisme patogenik yang sama dengan komplikasi lainnya yang
terjadi akibat diabetes. Hiperglikemi meningkatkan pembentukan kolagen dan menghambat
degradasinya, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kolagen. Hal ini dapat
menjelaskan kecenderungan pasien diabetes mengalami trigger finger.
Arhritis Reumatoid. Berbeda dengan trigger finger idiopatik, terjadinya trigger finger pada
pasien Arthritis reumatoid disebabkan oleh terjadinya tenosinovitis. Arthritis reumatoid
merupakan gangguan sistemik yang mempengaruhi jaringan sinovial. Inflamasi pada
tenosinovium menyebabkan ketidakcocokan antara ukuran isi dari sarung tendon dan rongga
yang dibentuk oleh jaringan fibro-osseus di sekitarnya yang menyebabkan timbulnya gejala
yang hampir mirip dengan terjadi pada pasien dengan trigger finger idiopatik. Akan tetapi,
gejala-gejala yang terjadi pada pasien arthritis reumatoid memerlukan pendekatan diagnostik
dan tatalaksana yang seluruhnya berbeda dibandingkan pada pasien dengan tendovaginitis
idiopatik.
Gambar 7. Kecenderungan permukaan fleksor dari tendon ke arah ulnar setelah pulley A-1
dari jari tengah dan jari manis dibebaskan.
Teknik Operasi
Insisi Bruner standar digunakan untuk mencapai permukaan fleksor sarung tendon pada jari.
Untuk mencapai sisi proksimal dari sarung tendon pada telapak tangan dilakukan insisi
melintang pada lipatan telapak tangan pada bagian distal. Pendekatan melalui terowongan
carpal digunakan untuk mencapai permukaan fleksor tendon jika diperlukan. Sarung tendon
dibuka pada sisi proksimal setinggi pulley A-1 dan antara pulley A-2 dan A-4. Pulley A-1, A-
2, dan A-4 tetap dipertahankan.
Sembilan puluh persen trigger finger yang terjadi pada anak-anak adalah kekakuan pada ibu
jari. Hal ini merupakan suatu kondisi langka yang terjadi pada sedikitnya 0,05% anak-anak.
Kekakuan ibu jari pada anak-anak tidak seperti trigger finger pada umumnya tetapi berupa
posisi fleksi yang menetap. Adanya nodul Notta pada tendon flexor pollicis longus pada
daerah di sekitar pulley A-1 pada ibu jari merupakan anda klinis penting yang membedakan
kekakuan ibu jari dari berbagai kelainan bentuk ibu jari lainnya. Masih terjadi perdebatan
mengenai apakah kekakuan ibu jari pada anak merupakan suatu kelainan yang bersifat
kongenital atau didapat, dan tingkat resolusi spontan dari gejala yang timbul. Sebagian besar
pasien yang mengalami kekakuan pada ibu jari berusia lebih dari 6 bulan.
Tingkat resolusi spontan dari kekakuan ibu jari anak-anak yang dilaporkan bervariasi
antara 0% dan 49%. Terdapat berbagai laporan yang saling bertentangan dimana beberapa
peneliti melaporkan tingkat resolusi spontan yang cukup bermakna, dengan peneliti lain yang
melaporkan bahwa sebagian besar kekakuan ibu jari yang diamati tidak tampak dengan jelas.
Tingkat keberhasilan tatalaksana konservatif meningkat dengan memasang bebat pada sendi
metacarpophalangeal (MCP) pada beberapa penelitian.
Kekakuan ibu jari pada anak-anak memberikan respon yang berbeda-beda pada
tindakan pembebasan pulley A-1. Ibu jari dengan gerakan yang normal dapat segera
memberikan respon yang diharapkan setelah dilakukannya tindakan tersebut. McAdams, dkk.
meneliti hasil jangka panjang dari tindakan pembebasan pulley A-1 pada anak-anak dengan
rata-rata durasi selama 15 tahun setelah tindakan pembedahan dilakukan. Tidak terjadi
rekurensi pada terjadinya kekakuan. Lima dari 21 pasien mengalami gerakan sendi
interfalang yang menurun dengan rata-rata sebesar 15 o dan 4 dari 21 pasien menunjukkan
hiperekstensi sendi metacarpophalangeal (MCP); akan tetapi, tidak ada pasien yang
mengeluhkan adanya keterbatasan fungsi tersebut. Keluhan yang paling umum adalah adanya
bekas luka, yang disebabkan oleh penggunaan insisi secara longitudinal dibandingkan insisi
secara transversal pada lipatan kulit.
Tindakan bedah yang tidak segera dilakukan tidak memberikan hasil yang merugikan.
Beberapa penelitian mencatat hasil yang memuaskan bahkan pada pasien yang menunda
untuk dilakukan tindakan pembebasan selama lebih dari 4 tahun setelah gejala muncul.
Walaupun literatur terkini masih belum memberikan kesimpulan, percobaan untuk
memberikan terapi pemasangan bebat dapat dilakukan sebelum tindakan pembebasan pulley
A-1 pada anak dengan kekakuan ibu jari dilakukan.
Trigger finger pada anak-anak terjadi sekitar 1/10 dari angka kejadian kekakuan pada
ibu jari. Beberapa pasien datang dengan adanya deformitas berupa gerakan fleksi yang
menetap. Akan tetapi, sama halnya dengan trigger finger yang terjadi pada orang dewasa,
kekakuan sering menjadi keluhan utama. Cardon, dkk. melaporkan angka kejadian kelainan
pada permukaan fleksor tendon yang tinggi pada anak-anak dengan keluhan ini. Pada
rangkaian kasus yang mereka tangani terdapat 33 jari yang mengalami trigger finger yang
berasal dari 18 pasien, 8 pasien masih mengalami kekakuan yang berlanjut setelah tindakan
pembebasan pulley A-1. Kelainan yang tercatat berupa adanya persilangan yang lebih
proksimal dari FDS dari letak yang normal, permukaan FDS yang masuk ke dalam tendon
FDP, adanya nodul dalam tendon, dan hambatan pada pulley A-3. Pasien ini kemudian
diterapi dengan menggunakan reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon, dimana 2
pasien juga menjalani tindakan pembebasan pulley A-3. Tidak terdapat pasien yang
mengalami rekurensi setelah tindakan pembedahan.
Kesimpulan
Kekakuan jari yang bergejala merupakan suatu masalah dalam segi mekanik yang disebabkan
oleh ketidaksesuaian antara ukuran permukaan fleksor tendon terhadap sarung tendon yang
membungkusnya. Terapi yang sesuai didasarkan pada pemahaman mengenai lokasi dan
penyebab terjadinya ketidaksesuaian tersebut. Pertimbangan untuk membebaskan sarung
tendon atau menurunkan volume permukaan fleksor dari tendon dapat menghilangkan gejala
yang dirasakan. Perubahan aktifitas, pemberian obat-obatan anti-inflamasi, pemasangan
bebat, injeksi kortikosteroid, dan pembebasan pulley A-1 secara langsung atau melalui kulit
semuanya memiliki peran masing-masing dalam tatalaksana penyakit ini. Pada beberapa
kasus tindakan pembebasan pulley A-3, reseksi permukaan ulnar superfisial dari tendon,
tenoplasti fleksor reduksi, dan tenosinovektomi permukaan fleksor merupakan teknik yang
dapat memperbaiki beberapa bentuk trigger finger yang tidak lazim dengan baik. Pemahaman
yang lebih dalam mengenai kondisi yang dapat memperberat serta biomekanik dari berbagai
elemen dari permukaan fleksor dari jari dapat memberikan penanganan yang lebih efektif
pada pasien yang mengalami kondisi seperti ini disertai dengan pencegahan terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi.