Anda di halaman 1dari 6

Melemahnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa, mulai berimbas ke Indonesia, dengan turunnya ekspor.

Meski pertumbuhan
ekonomi Indonesia di tahun 2012 masih bisa mencapai 6,23% (YoY) dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia setelah China yang tumbuh
sebesar 7,8% (YoY), namun lebih rendah dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ini juga
lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yang mampu mencapai 6,5%. Adapun nilai PDB Indonesia atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2012
mencapai IDR 2.618,1 trilyun, naik sebesar IDR 153,4 trilyun dibandingkan tahun 2011 yang mencapai IDR 2.464,7 trilyun.
Berdasarkan penggunaannya, laju pertumbuhan sektor tertinggi pada tahun 2012 terjadi pada komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
atau investasi fisik sebesar 9,81% (YoY). Meski mengalami laju pertumbuhan tertinggi, secara kuartalan pertumbuhan sektor PMTB mengalami
penurunan cukup signifikan. Pada kuartal IV 2012 secara year on year, sektor PMTB tumbuh sebesar 7,29% menurun dibandingkan kuartal
sebelumnya yang mampu mencapai pertumbuhan sebesar 9,80%. Bahkan pada kuartal II 2012 PMTB tumbuh sebesar 12,47% (YoY). PMTB
memilikimultiplier effectyang luas karena tidak hanya mendorong sisi produksi, namun juga menstimulasi sisi konsumsi. PMTB akan mendorong
pembukaan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, yang nantinya akan menstimulasi konsumsi masyarakat.
Selain PMTB, pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 juga ditopang oleh Konsumsi Rumah Tangga, tercatat tumbuh sebesar 5,28% (YoY). Sedangkan,
sektor Konsumsi Pemerintah yang diharapkan menberikan sumbangan optimal pada pertumbuhan ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 1,25%
(YoY).
Sementara itu, tekanan pelemahan ekonomi global berimbas pada melambatnya ekspor nasional karena berkurangnya permintaan dari negara
tujuan ekspor. Di tahun 2012 ekspor Indonesia tercatat tumbuh sebesar 2,01% (YoY). Sementara itu, impor tumbuh jauh lebih tinggi yaitu sebesar
6,65% (YoY). Secara kuartalan, di kuartal IV 2012, impor Indonesia meningkat pesat, tumbuh sebesar 6,79% (YoY) padahal pada kuartal sebelumnya
mengalami pertumbuhan minus 0,17% (YoY). Peningkatan impor ini diakibatkan oleh meningkatnya impor non migas dan migas. Selain itu,
kenaikan impor juga dipengaruhi oleh meningkatnya impor bahan baku dan barang modal. Di tahun 2012, impor bahan baku tercatat sebesar IDR
140.127,6 juta, atau tumbuh 7,02% dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar IDR 130.934,3 juta. Sementara itu, impor barang modal
di tahun 2012 mencapai IDR 38.154,8 juta, tumbuh sebesar 15,24% dibandingkan tahun 2011 yang tercatat sebesar IDR 33.108,4 juta. Laju
pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan komponen ekspor menyebabkan Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan.
Dalam kondisi perekonomian global yang tidak menentu, nampaknya Indonesia masih akan mengandalkan konsumsi dalam negeri dan investasi
untuk menggenjot pertumbuhan ekonominya di tahun 2013 ini karena kontribusi ekspor belum bisa diharapkan akibat permintaan global yang
sedang menurun.

Dari sisi lapangan usaha, 9 sektor lapangan usaha mencatat pertumbuhan positif pada tahun 2012. Di tahun 2012, sektor Pengangkutan dan
Komunikasi mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 9,98% diikuti sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang tumbuh sebesar 8,11%, serta
sektor Konstruksi sebesar 7,50%. Adapun pertumbuhan terendah dialami oleh sektor Pertambangan dan Penggalian, tumbuh sebesar 1,49% di
tahun 2012. Hal ini disebabkan oleh turunnya harga komoditas pertambangan.
Sementara itu, di kuartal IV 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh seluruh sektor. Namun, pertumbuhan paling kecil dialami oleh
sektor Pertambangan dan Penggalian, tercatat sebesar 0,48%. Di kuartal IV 2012, terdapat 6 sektor yang memiliki pertumbuhan melebihi angka
pertumbuhan PDB yang tumbuh sebesar 6,11% seperti sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang tumbuh 9,63%, sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran tumbuh 7,80%, sektor Konstruksi dan Pengolahan masing-masing tumbuh sebesar 7,79%, sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa
Perusahaan tumbuh 7,66%, serta sektor Listrik, Gas dan Air Bersih tumbuh sebesar 7,25%.

Meski laju pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, kondisi ketenagakerjaan Indonesia pada Agustus 2012 menunjukkan keadaan yang lebih
baik dibandingkan dengan kondisi ketenagakerjaan periode sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pengangguran yang semakin menurun.
Tingkat pengangguran Indonesia pada bulan Agustus 2012 menurun dibandingkan dengan tingkat pengangguran Indonesia pada bulan Februari
2012. Pada bulan Agustus 2012 tingkat pengangguran Indonesia sebesar 7,24 juta atau 6,14%, sedangkan pada bulan Februari 2012 sebesar 7,61
juta atau 6,32%. Tingkat pengangguran Indonesia pada bulan Agustus 2012 juga lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat pengangguran pada
bulan yang sama tahun sebelumnya tercatat mencapai 6,56%. Turunnya tingkat pengangguran Indonesia, nampaknya juga didukung oleh
persentase jumlah angkatan kerja Indonesia yang menurun pada bulan Agustus 2012. Pada bulan Agustus 2012 persentase angkatan kerja
Indonesia adalah 67,88% menurun dari Februari 2012 yaitu 69,66%.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika berdampak kepada kenaikan harga bahan baku pembuatan tahu tempe di Indonesia.
Akibat hal tersebut, sejumlah pengrajin tahu tempe di daerah Cibuntu, Bandung memilih untuk menaikan harga jual tahu tempe, bahkan ada yang
memilih untuk tidak berjualan karena tidak sanggup untuk membeli kedelai.

Menanggapi hal itu, Ketua Paguyuban Tahu Tempe Kota Bandung, Iyus Rustaya mengatakan, penyebab utama mahalnya harga kedelai karena
selama ini Indonesia masih mengimpor kedelai dari Amerika dan Kanada. Sebab, pasokan kedelai lokal Indonesia berkisar antara 25 hingga 30
persen.

"Pasokan kedelai kita ini kan, kedelai lokal ini hanya mampu dikisaran 25 sampai 30 persen, jadi posisi kita ini 70 persen masih impor dari Amerika
dan Kanada. Kalau impor dari sana pasti hubungan dengan dollar sangat tinggi, itu penyebabnya sebetulnya," ujar Iyus, Jumat (23/08)

Iyus melanjutkan, kenaikan harga kedelai sudah terjadi sejak tiga minggu lalu. Namun, kenaikan yang paling drastis baru terasa pada mingggu ini.
Harga kedelai, kata Iyus saat ini berkisar antara Rp. 86.000 sampai Rp. 89.000 per kilogram.

"Kenaikan harga kedelai diperkirakan sudah terjadi sejak tiga minggu bahkan 1 bulan lalu, namun puncaknya minggu-minggu ini. Karena memang
dollar cukup tajam naiknya, sehingga pengrajin tahu tempe kerepotan untuk memproduksi. Kisaran dilapangan, harga kedelai ini berada di antara
86 ribu sampai 89 ribu per kilo. Kalau kota Bandung berada di kisaran 86 ribu hingga 87 ribu," kata Iyus. (MP)

Perajin atau pengusaha batik tulis mulai mengeluhkan naiknya harga bahan baku. Saat ini harga bahan baku batik naik drastis. Kenaikan harga
bahan baku membuat mereka menjerit.
Salah satu dampak itu adalah sulitnya pemasaran. Mereka kesulitan memasarkan dengan harga yang sesuai dengan kenaikan harga bahan baku.
Maka tidak sedikit dari mereka yang memasarkan dengan harga yang lebih rendah.
Diketahui, harga bahan baku mori saat ini Rp40.000 per potong. Per potong kain mempunyai ukuran panjang 2 meter. Harga kain mori semula
mencapai Rp33 ribu sampai Rp35 ribu. Harga bahan baku malam semula Rp21 ribu sampai Rp22 ribu per kg. Kini, harga bahan baku malam
mencapai Rp24 ribu sampai Rp25 ribu per kg.
Selain itu, harga bahan baku pewarna saat ini Rp9 ribu untuk setiap seperempat ons. Harga itu naik Rp3 ribu dari sebelumnya harga pewarna Rp6
ribu.
Salah satu perajin batik tulis di Kelurahan Kalinyamat Wetan di Kecamatan Tegal Selatan, Suharti mengaku, harga batik saat ini Rp150 ribu per
lembar kain. Harga itu merupakan harga saat bahan baku belum naik. Jika disesuaikan dengan harga sesuai kenaikan bahan baku bisa mencapai
Rp170 ribu per lembar kain.
"Kalau harganya tetap Rp170 ribu, banyak pelanggan yang tidak mau. Pelanggan tetap mau membeli dengan harga Rp150 ribu per lembar,"
katanya di Kota Tegal, Sabtu (24/8/2013).
Dengan harga itu, perajin hanya mendapatkan keuntungan tipis. "Mau bagaimana lagi. Lebih baik bertahan seperti itu daripada tidak laku," ujarnya.
Dampak lainnya adalah berkurangnya pembeli. Dulu sebelum adanya kenaikan, setiap pekan lebih dari tiga orang pemesan batik tulis. Dengan
setiap pemesanannya rata-rata tiga lembar kain batik. "Sekarang, rata-rata setiap pekan 2-3 orang.
Hal sama juga dikeluhkan Nining Supartin, perajin batik dari Randugunting sekaligus pemilik gerai batik Maudy Collection. Menurut dia, sebelum
lebaran harga bahan baku naik sekitar 5-10 persen.
Malam yang biasanya dibeli seharga Rp14 ribu per kg naik menjadi Rp15 ribu per kg, sedangkan yang kualitasnya lebih bagus naik dari Rp26 ribu
per kg menjadi Rp30 ribu per kg. Sementara, pewarna Igosol yang tadinya Rp240 ribu per kg sekarang menjadi Rp280 ribu per kg.
"Untuk mori yang tadinya Rp12.500 per yard (90 cm) sekarang naik menjadi Rp13.500 per kg," sebutnya.
Nining mengakui, kenaikkan harga bahan baku mengakibatkan biaya produksi bertambah, sehingga terpaksa menaikkan harga jual kain batik tulis
maupun cap, yakni 5-10 persen dari harga biasa.
Untuk menghemat biaya produksi, sementara dia tidak mempekerjakan pekerja borongan, yang biasanya dipekerjakan membuat batik kombinasi
cap dan tulis.
"Saat ini hanya karyawan tetap atau harian yang dipekerjakan, jumlahnya ada enam orang. Pekerja borongan sementara distop dulu, sembari
menunggu harga bahan baku stabil. Mereka akan kembali bekerja setelah ada pesanan," jelasnya.
Dia menyebutkan, saat ini berusaha mengoptimalkan bahan-bahan yang masih ada untuk berproduksi. Usai Lebaran penjualan kain batik di
gerainya justru meningkat. Banyak warga Kota Tegal yang akan kembali ke luar kota membeli kain batik untuk oleh-oleh. "Alhamdulillah omzet naik
50 persen dari hari biasa," tuturnya.

Perajin rotan Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon kembali terganggu dengan naiknya harga bahan baku sekitar 5-10 persen. Selain itu, perajin
juga sempat sulit mendapatkan bahan baku yang dilansir mulai berkurang oleh para pemasuk dari Kalimantan.

Salah seorang perajin, Imam Saefullah (31) mengatakan, dirinya sempat kesulitan mendapat pasokan bahan baku setelah Idulfitri lalu. Akibatnya,
pasokan yang lebih sedikit disodorkan pemasok kepada Imam dengan harga yang lebih tinggi. “Katanya bahan baku memang sedang berkurang di
tempat asalnya,” ujar Imam saat ditemui Kamis (12/9/13).

Imam menambahkan, pasokan mulai kembali normal sekitar satu bulan setelah Idulfitri. Namun kondisi tersebut tidak berimbas pada harga yang
tetap tidak turun kembali.

Kondisi tersebut, saat ini membuat Imam kewalahan menghadapi pesanan dari berbagai daerah yang justru menunjukan grafik positif. “Pesanan
semakin banyak sulit dipenuhi karena bahan baku sempat langka dan harganya sampai saat ini masih tinggi,” ucapnya.

Imam mengaku, tidak sedikit pesanan yang masuk saat ini juga berasal dari luar negeri. Namun hal itu tidak berpengaruh banyak pada peningkatan
pendapatan perajin kecil dan menengah meski nilai tukar dolar AS tengah melambung.

Menurut Imam, hal itu disebabkan oleh pesanan ekspor yang didominasi negara-negara tegangga seperti Malaysia dan Singapura. Akibatnya,
transaksi dilakukan dalam mata uang rupiah. “Biasanya konsumen yang menawarkan transaksi dengan mata uang dolar AS berasal dari Timur
Tengah seperti mesir. Namun sudah lama mereka tidak memesan kepada kami,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan perajin lain, Suhendra (40). Ia mengaku belum pernah ditawari transaksi dengan mata uang dolar AS. Meski nilai tukar
rupiah menurun atau menguat sekalipun, pendapatan ekspor kerajinan rotan Suhendra tidak terpengaruh.

Sama seperti Imam, Suhendra saat ini berharap pemerintah memberikan perhatian terkait kenaikan harga bahan baku rotan. Jika tidak, kerajinan
rotan Kabupaten Cirebon yang mulai bergeliat sejak pelarangan ekspor bahan baku, akan kembali lesu.

Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, kerajinan dan industri rotan kembali bergairah sejak pelarangan
ekspor bahan baku pada 2011 lalu. Tercatat pada akhir 2012, jumlah unit usaha kerajinan rotan Kabupaten Cirebon meningkat 3,57 persen dari
1.260 menjadi 1.305 unit usaha.

Kepala Bidang Industri pada Disperindag Kabupaten Cirebon, Supardi mengatakan, peningkatan itu bahkan berimbas pada serapan tenaga kerja
yang naik dari 54.291 orang pada 2011 menjadi 56.269 orang pada 2012. “Begitu juga kapasitas produksi naik dari 66.123 ton dengan nilai produksi
Rp 1,51 triliun dan nilai investasi Rp 209 miliar pada 2011 menjadi 69.012 ton dengan nilai produksi Rp 1,54 triliun dan nilai investasi Rp 214 miliar
para 2012,” katanya.

Sementara Kepala Disperindag Kabupaten Cirebon, Haki menegaskan, pihaknya masih terus mendorong kebangkitan industri rotan yang menjadi
andalan Kabupaten Cirebon. Salah satu upayanya adalah melakukan kerjasama dengan beberapa daerah penghasil bahan baku di Kalimantan dan
Sulawesi untuk menjaga kesinambungan suplai bagi perajin dan industri rotan di Kabupaten Cirebon. (A-178/A-108)***

Direktur Eksekutif GP Farmasi Darodjatun Sanusi mengatakan pada saat diskusi mengenai kesiapan industri farmasi menghadapi MEA 2015 di
Jakarta (28/8), bahwa industri farmasi dalam posisi wait and see untuk menaikan harga obat dan tidak serta merta langsung menaikan harga obat.
“Tapi kita juga fokus memperhatikan pergerakan nilai tukar. Karena sekarang sudah melemah 15-20%,” ujar Darodjatun.
Hal ini berarti secara signifikan harga impor bahan baku obat maka sangat berpengaruh terhadap harga pokok obat sehingga industri harus
meninjau harga jual.

Menurut Darodjatun yang sekarang dipakai untuk industri adalah stok-stok bahan baku yang sudah ada. “Jadi kalau kita lihat pergerakan dari Rp
9300 sampe ke Rp 11000 lebih ini sudah 20% dan ini luar biasa,” ujarnya.
Darodjatun menjelaskan bahan baku yang digunakan untuk obat bervariasi. Ada obat dengan nama dagang dan obat tanpa nama dagang.
“Kalau obat tanpa nama dagang harga bahan baku bisa mempengaruhi sekitar 70%-75% dari harga pokok. Kalau obat dengan nama dagang bisa
mempengaruhi 30%-35% dari harga pokok,” jelasnya.
Sementara untuk obat dengan nama dagang kalau harganya mengalami kenaikan sebesar 6% maka bisa dibilang harga bahan baku obat naik
sekitar 20%. “Tapi belum ada industri farmasi yang menaikan harga jual obat hingga saat ini. Tapi kita akan melihat masalah ini dengan kritis,”
ujarnya.
Sementara untuk obat tanpa nama dagang apabila bahan baku mengalami kenaikan sekitar 60% makan kenaikan harga obat bisa sekitar 6%-8%
atau bisa sampai 10%.
“Tapi ini jangan dianggap industri farmasi mendorong kenaikan harga obat. Bahwa industri farmasi sedang mempertimbangkan nilai tukar apakah
akan terus berdampak sampai beberapa bulan ke depan berkepanjangan, bukan tidak mungkin harga obat akan naik,” ujar Darodjatun.
Dijelaskan pula bahwa stok bahan baku obat sekarang yang ada cukup sampai 2-3 bulan. “Masing-masing industri farmasi memiliki cara
penghitungan yang berbeda-beda dan pertimbangan-pertimbangan sendiri untuk menaikan harga,” ujarnya.
Sebagai informasi bahan baku obat sekitar 90-93% berasar dari impor. Impor bahan baku sebagian besar berasal dari Cina, India, Korea, dan Eropa.
Selain itu komponen lain yang berpengaruh terhadap kemungkinan kenaikan harga obat seperti UMR, tarif transport, listrik, dan faktor-faktor
penunjang lainnya.
“Harga bahan baku obat di luar negeri sampai saat ini tidak mengalami kenaikan. Jadi kalaupun akan ada kenaikan harga obat nantinya semata-
mata karena unsur pelemahan nilai rupiah ataupun penguatan nilai dollar atas rupiah,” paparnya.
Menurut Darodjatun pada awal tahun industri farmasi memperhitungkan biaya dengan variasi nilai tukar rupiah sekitar 5% dari Rp 9.300 sampai
sekitar Rp 9700. Prinsipnya pelemahan rupiah sampai sekitar 5% tidak ada masalah.
Untuk menghindari kenaikan harga obat, industri farmasi mengharapkan insentif berupa penelitian research and development supaya ada
pembebasan pajak ataupun pengurangan terhadap pajak.
“Kemudian apakah mungkin segala sesuatunya dipermudah dalam waktu dekat. Tetapi itu merupakan salah satu kemungkinan mekanisme yang
dapat dilakukan pemerintah tanpa mengurangi kewenangannya,” paparnya.
Sementara itu menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pendidikan dan Kesehatan James Riyadi mengatakan problem dunia kesehatan begitu
besar.
“Perlu ada penghapusan pajak barang mewah untuk alat-alat kesehatan agar dapat menekan harga. Sudah waktunya penghapusan pajak tersebut,”
ujarnya.
Menurutnya rumah sakit merupakan heavy capital investment sehingga kalau ingin lebih banyak investasi di sektor tersebut perlu ada signal
keseriusan pemerintah.
Kemudian mengenai PPn di bidang industri farmasi dan kesehatan kalau diperuntukan untuk meringankan beban pasien maka itu ditanggung
pemerintah.
“Tapi kita tahu persis bahwa pemerintah punya target pajak yang harus dicapai. Jadi ini merupakan sesuatu yang dimiliki pemerintah jadi terserah
pemerintah. Karena PPn itu bukan diambil dari pengusaha, tetapi menjadi beban pasien ataupun konsumen,” jelas Darodjatun.
Menurutnya sebagai asosiasi pihaknya tidak berwenang meminta agar dilakukan penaikan harga ataupun penurunan harga. Semua masih sangat
bergantung pada performa nilai tukar rupiah terhadap dolar.(Iqbal Musyaffa)

Indek Harga Perdagangan Besar (IHPB) Bahan Baku Nonmigas pada Juli 2013 naik 1,24% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yaitu dari 202,39
pada Juni 2013 menjadi 204,89 pada Juli 2013.

Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik, Kamis (1/8/2013), kenaikan IHPB Bahan Baku Nonmigas utamanya disebabkan oleh kenaikan harga
bahan baku lokal yang menyumbangkan andil sebesar 1,22%.

Adapun penyebab kenaikan harga bahan baku lokal adalah kenaikan harga komoditas pada subsektor pertanian tanaman pangan dan subsektor
industri pengilangan minyak bumi.

Komoditas yang memberi andil cukup besar dalam perubahan indeks bahan baku nonmigas, yaitu padi/gabah, aspal, dan bahan bangunan dari
logam impor.

Setelah mogok nasional selama tiga hari pada 9-11 September lalu, perajin tahu tempe di Semarang kembali berproduksi. Mereka menyayangkan
aksi mogok tersebut tak mampu membuat pemerintah mengendalikan harga kedelai.
"Harga kedelai masih saja mahal. Percuma kami mogok, tidak berproduksi kalau pemerintah tidak serius menurunkan harga kedelai," keluh perajin
tahu Wonodri Semarang, Suratno (50).
Suratno menuturkan, perajin tahu tempe kembali beraktivitas pada Kamis (12/9) lalu. Aksi mogok nasional, kata dia, tidak ampuh mendesak
pemerintah untuk menurunkan harga kedelai yang masih Rp 9.500 per kilogram. Selama berhenti produksi, ia kehilangan pemasukan. Setiap hari ia
memproduksi 1,5 ton kedelai atau kurang lebih 100 tong.
Satu tong berisi 400-1.000 tahu dijual Rp 160 ribu. Artinya, dalam sehari ia tidak mendapatkan pemasukan Rp 16 juta. Apabila dikalikan selama tiga
hari menjadi Rp 48 juta. "Semuanya sia-sia. Harga kedelai tetap tinggi," ungkapnya.
Perajin lainnya, Aminah (30) di Jomblang menungkapkan, setelah aksi mogok berhenti ia sepakat menaikkan harga jual tempe tahu sebesar 30
persen dari harga semula. Harga tempe yang semula Rp 4.000 dan Rp 6.000 per potong berubah menjadi Rp 6.000 dan Rp 8.000 per potong.
Sedangkan harga tahu menjadi Rp 500 per biji dari semula Rp 450 per biji. "Kami berharap harga kedelai kembali normal, sehingga harga jual ke
masyarakat kembali normal," kata dia.
Aminah meminta kepada masyarakat dapat memahami apabila ia terpaksa menaikkan harga tahu tempe. "Kami meminta maaf kepada seluruh
penggemar tahu tempe. Terpaksa menaikkan harga tahu tempe di pasaran," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) Jateng Sutrisno Supriantoro mengatakan, kenaikan harga kedelai
memukul sejumlah perajin tahu tempe utamanya di wilayah Jawa Tengah. Beberapa perajin kecil banyak yang gulung tikar karena tidak mampu
mempertahankan usahanya. Dari sekitar 9.800 perajin hampir separuhnya terancam kebangkrutan.
Untuk mengantisipasi tingginya harga kedelai, Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakopti) dan Puskopti serta importir sepakat
memberikan harga khusus. Mereka menyepakati harga bahan baku kedelai di bawah Rp 9.200/kg yaitu sekitar Rp 8.490/kg.
Harga tersebut merupakan hasil diskusi yang dilakukan di Kementerian Perdagangan beberapa waktu lalu. Nantinya, perajin tahu tempe yang
tergabung dalam Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu (Primkopti) dapat berkoordinasi dengan Puskopti untuk melakukan penebusan kedelai
dengan harga yang telah disepakati tersebut. Tahap pertama dalam waktu dua minggu Puskopti Jateng mendapatkan 1.500 ton kedelai dari para
importir.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan harga emas perhiasan yang mengalami kenaikan, menjadi penyumbang utama laju inflasi
pada Agustus 2013 yang tercatat sebesar 1,12 persen.
"Harga emas mengalami perubahan 0,11 persen dibandingkan Juli, karena mulai naiknya harga emas internasional," ujarnya di Jakarta, Senin.
Suryamin mengatakan harga emas perhiasan yang merupakan bagian dari kelompok sandang, mengalami inflasi di 57 kota Indeks Harga Konsumen
(IHK) dan menyumbang andil sebesar 0,12 persen.
"Kenaikan harga emas tertinggi terjadi di Padang sebesar 15 persen diikuti Jember 13 persen," katanya seperti dikutuip Antara.
Ia menambahkan komoditas lain yang juga ikut menyumbang inflasi adalah ikan segar 0,11 persen, tarif listrik 0,1 persen, tarif angkutan kota 0,09
persen, bawang merah 0,07 persen, kentang dan tarif angkutan udara masing-masing 0,04 persen, serta beras, tomat sayur dan kelapa masing-
masing 0,03 persen.
"Kenaikan harga ikan segar karena adanya perubahan cuaca mengakibatkan berkurangnya aktivitas nelayan, sedangkan kenaikan harga tarif
angkutan terjadi karena tingginya permintaan sebelum dan sesudah lebaran," ujar Suryamin.
Sementara, lanjut dia, tujuh komoditas lain masing-masing menyumbang inflasi 0,02 persen yaitu daging sapi, mie, nasi dengan lauk, upah tukang
bukan mandor, uang sekolah SD, uang sekolah SLTA dan tarif rekreasi.
"Komoditas mie dan nasi dengan lauk menyumbang inflasi karena adanya kenaikan harga bahan baku, sedangkan kenaikan uang sekolah karena
saat ini mulai memasuki tahun ajaran baru," kata Suryamin.
BPS mencatat laju inflasi pada Agustus 2013 sebesar 1,12 persen. Dengan demikian, laju inflasi tahun kalender Januari-Agustus 2013 mencapai 7,94
persen dan inflasi secara tahunan (yoy) 8,79 persen.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi pada akhir tahun berada pada kisaran 9-9,8 persen (yoy), lebih tinggi dari perkiraan pemerintah
dalam APBN-Perubahan 2013 sebesar 7,2 persen.(*/hrb)
AKARTA- Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan mengalami perlambatan, sebagai dampak dari
kebijakan pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan dan stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Kita melakukan stabilisasi dan fokusnya di situ yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi. Kita harus terima kondisi interest rate tinggi, karena kalau
lebih tinggi, pendapatan turun, impor turun dan dampaknya pertumbuhan juga turun," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Chatib memberikan apresiasi dan telah memperkirakan bahwa Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan hingga 7,25%, karena
dengan demikian hal tersebut dapat menahan konsumsi masyarakat dan menekan penggunaan barang impor.
"BI menaikkan tingkat bunga, ini merupakan pengetatan dari segi moneter, maka kredit growth turun dan inflasi terkendali. Dengan tingkat bunga
tinggi, nilai tukar domestik juga menjadi kompetitif," ujarnya.
Namun, Chatib mengaku target pertumbuhan ekonomi yang mengalami revisi turun hingga 5,9% tahun ini, berisiko untuk menganggu
pertumbuhan sektor riil dan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja di sektor industri. "Kalau pertumbuhan lebih lambat maka
penciptaan lapangan pekerjaan akan lebih lambat dari seharusnya dan beberapa perusahaan tidak bisa ekspansi. Untuk itu pemerintah
memberikan insentif sebagai mitigasi agar sektor riil tidak terpukul," tukasnya.
Chatib menegaskan meskipun pertumbuhan akhir tahun hanya berada di bawah enam persen, perkiraan angka tersebut masih lebih baik
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata negara G-20.
"Kalau kita lihat paling tinggi China 7,5%, kedua, Indonesia 5,8%, tiga, India 4,8%. Growth kita masih lebih baik dari rata-rata G-20, 2014 diharapkan
ada recovery, Indonesia 6,1%, China 7,7%, kita tidak terlalu jelek, dibandingkan BRICS masih relatif oke," tuturnya. (ant/gor)

Anda mungkin juga menyukai