Anda di halaman 1dari 30

Laboratorium/SMF Rehabilitasi Medik Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

BELL PALSY

Disusun oleh :

Revyta Salsabila R. (1610029023)


Syifa Qonitah A. (1610029024)

Pembimbing
dr. Nurindah Isty Rachmayanti, Sp. KFR

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Laboratorium Rehabilitasi Medik
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2018

1
Laporan Kasus

Bell Palsy

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Rehabilitasi Medik

Revyta Salsabila Rachmadi

Syifa Qonitah Abdillah

Menyetujui,

dr. Nurindah Isty Rachmayanti, Sp.KFR

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

2
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmatNya


penyusun dapat menyelesaikan Laporan Kasus tentang “Bell Palsy”.Makalah ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Rehabilitasi
Medik Rumah Sakit Umum Daerah Aji Muhamamd Parikesit Kutai Kartanegara.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Nurindah Isty
Rachmawati, Sp.KFRselaku dosen pembimbing Laporan Kasus yang telah
memberikan bimbingan kepada penyusun dalam penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam makalah ini, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan.Akhir kata,
semoga makalah ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Januari 2018

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell palsymerupakan penyebab paralisis fasialis yang
paling sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis
fasialis
Angka kejadian bervariasi di berbagai Negara di seluruh
dunia.Perbedaan angka kejadian ini tergantung pada kondisi
geografis masing- masing negara.Angka kejadian tahunan yang
telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi.Puncak angka kejadian terjadi antara dekade kedua dan
keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis
kelamin.Angka kejadian meningkat tiga kali lebih besar pada
wanita hamil (45 kasus per 100.000).Sebanyak 5-10% kasus Bell
palsyadalah penderita diabetes mellitus. Bell palsyjarang
ditemukan padaanak- anak < 2 tahun.
Tidak terdapat perbedaan pada sisi kanan dan kiriwajah.
Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat
terjadidengan prevalensi 0,3- 2%. Resiko terjadinya
rekurensidilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi
yang sama dan64% pada sisi yang berlawanan.

1.2 Tujuan

4
1. Untuk memenuhi syarat dalam Kepanitraan Klinik di bidang Rehabilitasi
Medik
2. Untuk menambah wawasan ilmiah dan pengetahuan dokter muda tentang
kasus – kasus Bell palsy

5
BAB 2
LAPORAN KASUS

Dipresentasikan pada kegiatan kepaniteraan klinik, Laboratorium


Rehabilitasi Medik.Pemeriksaan dilakukan pada hari Selasa,16 Januari2018,
diPoliklinik Rehabilitasi Medik RSUD Aji Muhammad Parikesit, Kutai
Kartanegara. Sumber data: Autoanamnesis.

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 59 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS, administrasi dinas pertanian
Alamat : Timbau, Tenggarong

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Mulut miring ke sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Autoanamnesis
Pasien datang dengan keluhan mulutnya miring ke sebelah kanan. Keluhan
dirasakan sejak 14 hari yang lalu, saat pasien bangun tidur di pagi hari. Keluhan
dirasakan terus menerus disertai dengan mata kiri yang berkedip secara terus
menerusdan matanya selalu berair, pasien mengatakan pada wajah sisi kiri terasa
perih jika terkena air, namun tidak terasa tebal.Pasien mengeluh kesulitan dalam
mengunyah makanan selain itu setiap minum air selalu keluar melalui bibir sisi
kiri, namun keluhan dalam hal mengecap, dan menelan tidak ada.Pasien juga

6
mengeluhkan kesulitan dalam mengucapkan beberapa huruf seperti “B,P”.
Sebelum keluhan muncul, pasien mengeluhkan telinga kanan berdenging dua hari
sebelum timbul keluhan. Setelah mengalami keluhan, pagi harinya pasien segera
berobat ke Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi dan tidak memiliki riwayat diabetes
mellitus maupun riwayat stroke.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ditemukan keluarga yang menderita keluhan serupa seperti pasien..
Riwayat penyakit sistemik seperti DM (-) Hipertensi (+) asam urat (-) dan
Penyakit jantung (-).

Riwayat Kebiasaan
Pasien kesehariannya bekerja sebagai administrasi di dinas pertanian dari
pagi hingga sore hari. Tetapi terkadang pasien juga bekerja di lapangan. Saat
berangkat kerja menggunakan motor dan terkadang tidak menggunakan penutup
wajah. Kebiasaan tidur menggunakan kipas angin yang menghadap langsung ke
pasien. Kebiasaan merokok (+) satu kotak habis dalam tiga hari, minuman
beralkohol (-) konsumsi obat-obatan terlarang (-).

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berasal dari keluarga ekonomi cukup.Pasien tinggal dengan
keluarganya dan beraktivitas seperti biasa.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
• Kesan sakit : Sakit ringan
• Kesadaran : CM, GCS E4V5M6

7
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 130/90 mmHG
• Frekuensi nadi : 83 x/menit, reguler, kuat angkat
• Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
• Suhu aksiler : 36oC

Kepala / leher
• Anemis (-/-), ikterik (-/-),sianosis (-), pembengkakan KGB (-/-) trakea
tepat di tengah (+) Terlihat mulut tertarik kearah kanan.

Toraks
Jantung
• Auskultasi : S1S2 reguler, bising jantung(-)
Paru
• Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris kiri=kanan
• Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler,ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen
• Inspeksi : Flat (+), distended (-)
• Palpasi : Soefl (+), nyeri tekan (-)
• Perkusi : Timpani (+) Asites (-)
• Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal

Ekstremitas
• Akral hangat, sianosis (-), edema (-) pada kedua tungkai

STATUS LOKALIS DAN NEUROLOGIS

Inspeksi
Fasial : tampak miring ke arah kanan

8
Anggota gerak atas
Motorik Kanan Kiri
Pergerakan : (+) (+)
Kekuatan : 5-5-5 5-5-5
Tonus : N N

Refleks Kanan Kiri


Refleks biceps : (+) (+)
Refleks triceps : (+) (+)
Refleks Hoffmann : (-) (-)
Refleks Tromner : (-) (-)

Sensibilitas Kanan Kiri


Sensibilitas taktil : (+) (+)
Perasaan nyeri : (+) (+)
Parestesi : (-)

Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan : (+) (+)
Kekuatan : 5-5-5 5-5-5
Tonus : N N

Refleks Kanan Kiri


Refleks Patella : (+) (+)
Refleks Achilles : (+) (+)
Refleks Babinsky : (-) (-)
Refleks Chaddock : (-) (-)
Klonus patella : (-) (-)
Klonus kaki : (-) (-)

9
Sensibilitas Kanan Kiri
Sensibilitas taktil : (+) (+)
Perasaan nyeri : (+) (+)

Alat Vegetatif
Miksi : dalam batas normal
Defekasi : dalam batas normal

STATUS LOKALIS
Regio Fasialis
Inspeksi : asimetris kanan
Palpasi : sensasi raba (+/+)

Pemeriksaan neuromuskular
Ekstremitas Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra

Gerakan Normal Normal

Kekuatan Otot (miotom) 5/5/5 5/5/5

Tonus Otot Normal Normal

Atrofi Otot - -

Refleks Fisiologis Normal Normal

Refleks Patologis - -

SKALA UGO FISCH

POSISI NILAI PERSENTASE (%) SKOR

0, 30, 70, 100

Istirahat 20 70 % 14

Mengerutkan Dahi 10 70 % 7

Menutup Mata 30 70 % 21

10
Tersenyum 30 30 % 9

Bersiul 10 30% 3

TOTAL 54 (Derajat IV
Kelumpuhan
Sedang)

Lagoftalmus : (+) kiri2 mm

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Bell palsy sinistra


Diagnosa Topis :Sekitar foramen stilomastoideus

Diagnosa etiologi : idiopatik

PROBLEM REHABILITASI MEDIK

- Impairment : a) Adanya kelemahan pada otot- otot wajah kiri b) Adanya


penurunan fungsional wajah kiri.

- Disability: a) Adanya gangguan saat minum karena air tumpah pada sisi
yang lesi sebelah kiri, b) Adanya gangguan saat makan karena sulit
mengunyah, c) Adanya gangguan ekspresi, d) Mata kiri tidak dapat
menutup rapat , d) adanya kesulitan dalam pengucapan

- Handicap : : Adanya penurunan rasa percaya diri saat bergaul di


lingkungan kerjanya karena adanya gangguan ekspresi wajah dan
gangguan dalam pengucapan. Pasiensulit berkomunikasi secara verbal
dalam pekerjaan selama pasien mengalami keluhan ini.

PROGRAM REHABILITASI MEDIK

1. Fisioterapi

Evaluasi:

11
- Tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, mata kiri tidak bisa
menutup rapat dengan komplit.
- Sudut mulut jatuh ke kiri.
Program:
- Infra red pada wajah sebelah kiri selama 10 menit.
- Elektro stimulasi pada wajah sebelah kiri selama 10 menit.
- Therapeutic Massage wajah sebelah kiri lamanya 5-10 menit.
- Latihan gerak volunteer wajah sisi kiri di depan cermin dengan
gerakan mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum,
bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut.

2. Okupasi Terapi
Evaluasi:
- Mata kiri tidak bisa menutup rapat.
- Sudut mulut jatuh ke kiri.
- Pada saat minum, air keluar menetes dari sudut kiri mulut.
- Air mata keluar tanpa disadari dari mata kiri
Program:
- Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan
menutup mata, mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum,
meringis.
- Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan
berkumur, latihan makan dengan mengunyah di sisi kiri,
minum dengan sedotan.
3. Psikologi
Evaluasi:
- Penderita kadang merasa cemas dan malu.

Program:
- Memberikan dorongan mental supaya penderita tidak merasa
cemas dan malu dengan penyakitnya.

12
- Memberikan dorongan mental agar penderita rajin menjalankan
program rehabilitasi dan melakukan home program yang
diberikan agar penyakitnya cepat sembuh.
4. Sosial Medik
Evaluasi:
- Penderita bekerja dalam bidang administrasi.
- Penderita tinggal bersama seorang anak.
Program:
- Dapat bekerja dan tidak terhambat saat berinteraksi dengan
orang.
5. Ortotik Prostetik
Evaluasi:

- Wajah tidak simetris.

- Sudut mulut jatuh disebelah kiri.

Program:

- Menggunakan “Y” plester selama parese..

- Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit.

Home Program:
1. Perawatan mata:
 Memakai kacamata hitam saat bepergian siang hari.
 Artificial tears.
 Sebelum tidur, kelopak mata ditutup secara pasif.
2. Kompres dengan air hangat pada sisi wajah sebelah kiri selama 5-10
menit.
3. Massage wajah sebelah kiri ke arah atas dengan menggunakan
tangan dari sebelahkiri.
4. Latihan meniup lilin dengan jarak semakin dijauhkan, makan dengan
mengunyah di sisi kiri, minum dengan sedotan dan mengunyah
permen karet.

13
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Saraf Fasialis

Nervus fasialis sebenarnya adalah saraf motorik, tetapi dalam


perjalanannya ke tepi, nervus intermedius bergabung. Nervus intermedius itu
tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut
sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah ke nukleus traktus solitarius. Kelompok dorsal inti n. fasialis mensarafi otot-
otot frontalis, zigomatikus, belahan atas orbikularis okuli dan bagian atas otot
wajah.Inti ini mempunyai inervasi kortikal secara bilateral.Kelompok ventral inti
n. fasialis mensarafi otot-otot belahan bawah oribularis okuli, otot wajah bagian
bawah dan platisma.Inti ini mempunyai hubungan hanya dengan korteks motorik
sisi kontralateral.1
Akar n. fasialis menuju ke dorsomedial kemudian melingkari inti nervus
abdusen dan setelah itu berbelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan
permukaan lateral pons. Disitu dia berdampingan dengan nervus intermedius dan
nervus oktavus dan akan memasuki meatus akustikus internus untuk melanjutkan
perjalanannya di liang os petrosum yang dikenal sebagai akuaduktus follopi atau
kanalis fasialis. Sekeluarnya dari situ nervus fasialis merupakan berkas saraf yang
mengandung serabut somatomotorik, viseromotorik dan sensorik khusus.Kedua
serabut tambahan itu diperoleh dari ganglion genikuli.Cabang pertama yang
dikeluarkan oleh nervus fasialis setibanya di kavum timpani adalah nervus
stapedus. Cabang kedua adalah korda timpani, sebalum berkas induk membelok
ke belakang untuk memasuki os mastoideum, korda timpani memisahkan dirinya
untuk menuju ke depan dan fosa pterigoidea dia bergabung dengan nervus
lingualis. Induk berkas yang terdiri dari serabut somatomotorik dan visero-
(sekreto)-motorik akan ke os mastoideum kemudian keluar dari tengkorak melalui
foramen stilomastoideum. Dari situ dia berjalan ke depan untuk bercabang-
cabang. Sebelum melintasi glandula parotis nervus fasialis memberikan cabang

14
untuk otot-otot telinga dan cabang untuk otot stilohioid dan venter posterior
digastrikus.1
Nervus fasialis melintasi jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi
untuk mensarafi seluruh otot wajah. Otot frontalis/occipitofrontalis yang berfungsi
mengangkat alis, mengerutkan dahi, otot corrugators supercilli berfungsi
menggerakan kedua alis mata ke medial bawah sehingga terbentuk kerutan
vertical diantara keedua alis, otot proserus berfungsi mengangkat tepi lateral
cuping hidung sehingga terbentuk kerutan diagonal sepanjang pangkal hidung,
otot nasalis berfungsi melebarkan mata, otot orbicularis oris berfungsi mulut
besiul/mencucu/mengecup, otot levator labii superior yang berfungsi untuk
mengangkat bibir atas dan melebarkan lubang hidung, otot levator anguli oris
berfungsi mengangkat sudut mulut, otot zigomatikus mayor berfungsi untuk
gerakan tersenyum, otot risorius berfungsi untuk gerak meringis, oto buccinators
berfungsi untuk gerak meniup dengan kedua bibir dirapatkan, otot levator
mentalis berfungsi mengangkat dan menjulurkan bibir bawah.1

15
ANATOMI NERVUS FASIALIS

3.2 Definisi
Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus
fasialis perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis 2

3.3 Epidemiologi
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian lebih sering
terjadi pada umur 20-50 tahun.peluang untuk terjadinya paralisis Bell pada laki-

16
laki sama dengan pada wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu
pasca persalinan kemungkinan timbulnya paralisis Bell lebih tinggi daripada
wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat 2
Bell palsy kebanyakan terjadi 60-75% sebagai paralisis fasial unilateral
akut, dengan 63% terjadi pada sisi kanan. Hal ini juga dapat terjadi rekurensi
sekitar 4-14% kasus 2
Pasien dengan diabetes mellitus memiliki resiko 29% lebih tinggi terkena
Bell palsy dibandingkan pasien yang tidak memiliki diabetes mellitus. Rekurensi
Bell palsy juga kebanyakan terjadi pada pasien diabetes mellitus 2
Bell palsy banyak terjadi pada orang yang memiliki penyakit
immunocompromised atau pada wanita dengan preeclampsia 2

3.4 Etiologi
a. Herpes Simpleks Virus
Pada masa lalu, paparan terhadap suhu dingin (udara dingin, air
conditioner, atau berkendara dengan kaca mobil yang terbuka) dianggap
sebagai pencetus Bell palsy. Banyak penulis yang meyakini bahwa
Herpes Simplex Virus (HSV) merupakan penyebab terbanyak Bell palsy,
meskipun keterkaitan antara dua hal tersebut susah untuk dibuktikan 4
Hipotesis yang menyebutkan bahwa HSV merupakan etiologi Bell
palsy menjelaskan bahwa HSV menyebabkan infeksi primer pada mulut,
virus berjalan menyusuri akson dari saraf sensoris dan menetap di
ganglion genikualtum. Pada saat times of stress virus akan ter-reaktiviasi
dan menyebabkan kerusakan local pada myelin. 4
b. Penyebab yang lain
Selain infeksi HSV, kemungkinan etiologi Bell palsy adalah infeksi yang
lain seperti (Herpes Zoster, Lyme disease, Syphilis, Epstein-Barr virus,
cytomegalovirus, HIV, mycoplasma), penyakit mikrovaskular (diabetes
mellitus dan hipertensi). Bell palsy juga diketahui dapat menyertai
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)4

3.5 Patofisiologi

17
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap
bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses yang selanjutnya
menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah
endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitasi kapiler meningkat,
sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan
sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan
asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan
hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptide-peptida toksik dan pengaktifan
klinik dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat
terjadi kerusakan jaringan yang permanen3

3.6 Gejala
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan dimulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum, atau berbicara. Setelah merasakan
adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya
lebih cermat dengan menggunakan cermin 2
Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmus), waktu penderita diminta menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell).Penderita tak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut
yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi:2
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus :
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehatm makanan terkumpul di
antara pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang.Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak
tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada a), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di

18
daerah antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung denagn nervus
fasialis di kanalis fasialis.

c.Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)


Gejala dan tanda klinik seperti pada a) dan b) ditambah dengan adanya
hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik pada a), b), c) disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di
membrane timpani dan konka.Sindrom Ramsay Hunt adalah paralisis
fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum.Lesi herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius
eksterna dan pina.
e.Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tulis sebagai akibat
dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga
nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis serta beberapa pemeriksaan
fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.1

Anamnesis:
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam
hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi
saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
Pemeriksaan:

19
1. Pemeriksaan otology : otoskopi pneumatic dan garpu tala
2. Pemeriksaan mata : pasien sering tidak dapat menutup mata secara
komplit
3. Pemeriksaan oral : perasa dan salivasi
4. Pemeriksaan neurologi : semua saraf kranial, tes sensorik dan
motoric, tes serebelum
Grading system House and Brackmann:
 Grade I : fungsi fasial normal
 Grade II : disfungsi ringan
 Grade III : disfungsi moderat
 Grade IV : disfungsi severe-moderat
 Grade V : disfungsi severe
 Grade VI : paralisis total

SKALA UGO FISCH


Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5
posisi:1

POSISI NILAI PERSENTASE (%) SKOR


0, 30, 70, 100

Istirahat 20
Mengerutkan Dahi 10
Menutup Mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
TOTAL

Penilaian presentase:1
- 0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
- 30% : simetri, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke
asimetris komplit daripada simetris normal.
- 70% : simetris, fair/cukup, kesmbuhan parsial yang cenderung kea rah
normal.

20
- 100% : simetris, normal komplit.
Interpretasi Skor Ugo Fisch :
- Derajat I Normal : 100 poin
- Derajat II Kelumpuhan Ringan : 75-99 poin
- Derajat III Kelumpuhan Sedang : 50-75 poin
- Derajat IV Kelumpuhan Sedang Berat : 25-50 poin
- Derajat V Kelumpuhan Berat : 1-25 poin
- Derajat VI Kelumpuhan Total : 0 poin

Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer.

Diagnosa Topis :1
Letak Lesi Kelainan Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi
Motorik Pengecapan Pendengaran Saliva Lakrimalis
Pons- + + + + +
meatus Tuli/hiperaku
Akustikus sis
Internus
Pons- + + + + +
meatus Hiperakusis
Akustikus
Internus
Ganglion + + + + -
Genikulatu- Hiperakusis
N.
Stapedius
N. + + + + -
Stapedius-
Chorda
Tympani
Chorda + + - + -
Tympani

Infra + - - - -
Chorda

21
Tympani-
Sekitar
foramen
stilomastoi
deus

Diagnosa etiologi: Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui

3.8 Terapi
Kepada para penderita berusia pertengahan sampai lanjut perlu diberikan
pengertian bahwa apa yang dialaminya bukanlah tanda stroke. Hal ini perlu
ditekankan akrena penderita dapat mengalami stress yang lebih berat sebagai
akibat dari salah pengertian. Sebab-sebab terjadinya paralisis fasialis perifer harus
dijelaskan kepada para penderita, agar mereka tidak akan panic lagi 2
Tujuan terapi Bell palsy : 1) memperbaiki fungsi saraf fasialis, 2)
mengurangi kerusakan saraf, 3) mencegah komplikasi dari paparan terhadap
kornea. Terapi Bell palsy meliputi terapi kortikosteroid (prednisone), agen
antiviral, eye care (lubrikasi mata topical biasanya digunakan untuk mencegah
kekeringan, abrasi dan ulserasi kornea), dan pembedahan.4
Terapi harus diberikan seawal mungkin karena proses denervasi terjadi
dalam waktu 4 hari pertama. Pemberian kortikosteoid masih tetap kontroversial.
Berbagai laporan menyatakan bahwa kortikosteroid sangat efektif untuk paralisis
Bell, sementara itu laporan lainnya menyatakan bahwa kortikosteroid sama sekali
tidak bermanfaat. Diantara kontroversi tadi ada yang mengambil sikap jalan-
tengah, yaitu dengan memberi saran agar kortikosteriod tetap diberikan hanya saja
cukup dalam waktu 4 hari pertama saja. Alasannya ialah bahwa dalam waktu 4
hari pertama tadi masih mungkin terjadi kearah paralisis total. 2
Kornea harus dilindungi terutama oada waktu tidur karena dapat terjadi
kekeringan, apabila kornea kering maka akan mudah terjadi ulserasi dan infeksi
yang akhirnya dapat menimbulkan kebutaan2
Fisioterapi (masase otot wajah, diatermi, faradisasi) dapat dikerjakan
seawall mungkin.Disarankan agar dalam 7 hari pertama cukup diberi diatermi dan

22
sesudahnya dikombinasi dengan faradisasi.Penderita juga perlu dilatih untuk
dapat melakukan masase otot wajah di rumah.2

Pemberian Farmakologi (kortikosteroid dan antiviral) pada Bell palsy :2


Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen
dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit.Steroid, terutama
prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan
untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-
60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari
peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu)berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap
infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan
preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy.Namun, beberapa
percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih
efektif dibandingkan kortikosteroid.Penelitian retrospektif Hato et al
mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang
diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang
hanya diterapi dengan prednisolon.Axelsson et al juga menemukan bahwa
terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik.de
Almeida et al menemukan bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid
berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar
dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi
antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan
penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir untuk usia>2 tahun
adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian
selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4
000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali

23
selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat
antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare,
dan sakit kepala.

Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik pada Bell palsy :


 Pemanasan
a) Pemanasan superficial dengan infra red.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau
Microwave Diathermy
 Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS) :
Merupakan suatu cara penggunaan energy listrik guna merangsang system
saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang
berbagai tipe nyeri.
Pada TENS mempunyai bentuk pulsasi :Monophasic mempunyai bentuk
gelombang rectangular, triangular, dan gelombang separuh sinus searah,
Biphasic bentuk pulsasi rectangular biphasic simetris dan sinusoidal
biphasic simteris, pola poliphasic ada rangkaian gelombang sinus dan
bentuk interferensi atau campuran.
Tujuan : mengurangi atau memodulasi rasa nyeri
Indikasi : nyeri musculoskeletal, nyeri pre dan apsca operasi, nyeri pada saat
fraktur dan masa penyembuhan, nyeri pada bidang obstetric, nyeri pada
sendi temporomandibular
Kontraindikasi : menempatkan elektroda pad aarea sinus carotis
(anterolateral leher), pasien dengan pace maker, undiagnosed pain, atlet
tidak diijinkan mengikuti pertandingan jika dalam pengaruh analgesia oleh
TENS, pasien dibawah pengaruh terapi narkotik atau pasien dengan area
hiposensitif.
Perhatian : hati-hati pada penggunaan TENS sebagai pain control pada
pasien hamil selain untuk persalinan.
Prosedur Terapi :
 Persiapan alat :

24
 Hidupkan alat untuk pemanasan sebelum mulai digunakan
 Menentukan mode terapi serta frekuensi, durasi, dan
intensitas yang akan dipakai sesuai inidikasi terapi
 Persiapan pasien :
 Menjelaskan prosedur terapi dan cara kerja alat
 Untuk melihat efektivitas TENS, obat-obatan dihentikan rata-
rata 1 minggu sebelumnya
 Kulit pada area penempatan elektroda harus bersih dari lesi
 Fiksasi elektroda pada permukaan kulit dan memberikan gel
konduksi diantara elektroda dan kulit
 Penempatan elektroda
 Pada area yang nyeri
 Pada lokasi tender pain atau key point
 Pada trigger point, myotome, atau sklerotome yang sesuai
dengan area nyeri
 Pada saraf perifer local atau pada akar saraf spinal dekat
dengan kolumna vertebra
 Dosis
 TENS untuk mengontrol nyeri selama 4x/hari, selama 1 jam
 Jika nyeri berkurang, frekuensi dapat diturunkan menjadi 3x,
2x, atau 1x/hari sesuai kebutuhan.
 Therapeutic Massage
Massage merupakan sekelompok tindakan yang biasanya dilakukan dengan
tangan, seperti friction, kneading, railing dan percussion pada permukaan
tubuh untuk tujuan kuratif maupun paliatif, massage adalah stimulasi
mekanik dan sistematis pada jaringan lunak tubuh dengan memberikan
tekanan dan regangan yang ritmis untuk tujuan terapeutik.
Tujuan :
 Mengurangi jumlah cairan yang berlebihan di dalam ruang
interstitial atau sendi (contohnya, lymphedema) meningkatkan
sirkulasi pada otot yang paralisis
 Memperbaiki otot-otot yang memendek ke panjang yang normal

25
 Menggerakkan jaringan yang melekat secara abnormal ke struktur-
struktur yang ada disekelilingnya
 Meningkatkan toleransi jaringan terhadap tekanan, mengurangi
nyeri, dan spasme otot, mengeluarkan sekresi (misalnya pada
penyakit paru obstruktif kronik)
 Memberikan relaksasi yang spesifik dan umum, dan meningkatkan
kesehatan psikologis
Indikasi :
1. Diagnosis berbagai penyakit yang memerlukan mobilisasi jaringan,
mengurangi hipertonus otot, mengurangi ketidaknyamanan,
mengurangi bengkak
2. Pasien dengan nyeri punggung bawah, nyeri leher, fibromyalgia,
arthritis, bursitis, tendinitis, fasciitis
3. Komplikasi pada penyakit multiple sclerosis, cerebral palsy,
hemiplegia, cedera medulla spinalis seperti spastisitas, reflex
simpatetik distrofi, edema, dan kontraktur.
Kontraindikasi :
1. Kondisi inflamasi akut pada kulit, jaringan lunak, atau sendi akibat
infeksi bakteri
2. Luka terbuka
3. Luka bakar
4. Saraf terjepit (contoh, carpal tunnel syndrome)
5. Bursitis
6. Rheumatoid dan gout arthritis
7. Rheumatic
8. Fibronisitis, panniculitis (radang lemak subkutan)
9. Arterisklerosis
10. Thrombosis vena, atau emboli
11. Varises vena yang berat
12. Gangguan pembekuan darah (atau selama antikoagulasi)
13. Fraktur
14. Keganasan

26
3.9 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell palsy mengalami sekuel berat
yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell
palsy, adalah 1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, 2) regenerasi
sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia
(hilang pengecapan), dan diestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama
dengan stimuli normal), dan 3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis 5
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan 1) sinkinesis
yaitu gerakan involunter yang emngikuti gerakan volunteer, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma , atau pengerutan
dahi saat memejamkam mata, 2) crocodile tear phenomenon, yang timbul
beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom,
contohnya air mata pasien kelaur pada saat mengonsumsi makanan, dan 3) clonic
facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like)
pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan) . 5

3.10 Prognosis
Perjalanan alamiah Bell palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuel permanen, sekitar 80-90% pasien dengan
Bell palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik
dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimteri mosukuls fasialis persisten, dan
5% mengalami sekuel yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Factor yang
dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (sekuel berat), riwayat
rekurensi, diabetes adanya nyeri hebat post-aurikulerm gangguan pengecapan,
reflex stapedius, wanita hamil dengan Bell palsy, bukti denervasi mulai setelah 10
hari (penyembuhan lambat), dan klasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Factor yang dapat emndukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit
pada fase akut (penyembuhan total), pemberiak kortikosteroid dini, penyembuhan
awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Kimure et al

27
mengggunakan blink refles sebagai predictor kesembuhan yang dilakukan dalam
14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua
menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan
pemeriksaan neurofisologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann
Facial Nerve Grading System dapat digunakan untukj mengukur keparahan dari
suatu serangan dan memnentukan prognosis pasien Bell palsy 2

Secara prognostic, pasien Bell palsy dibagi menjadi 3 grup :4

Group 1 Complete recovery of facial


motor function without
sequelae
Group 2 Incomplete recovery of facial
motor function, but with no
cosmetic defects that are
apparent to the untrained eye
Group 3 Permanent neurologic sequelae
that are cosmetically and
clinically apparent

DAFTAR PUSTAKA

1. Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, dkk. Rehabilitasi Medik Pada Bell’s


Palsy. Dalam: Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian

28
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitas BLU RSUP Prof. dr. R. D.
Kandou/FK UNSRAT, 2006: 42-49
2. DSS, Harsono. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2009: 297-299.
3. Snell RS. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006
4. Taylor, Danette C. Bell Palsy. Available
from :http://emedicine.medscape.com/article/1146903. (Accessed on Jan
16 2017)
5. Bahan Ajar Bells Palsy. Available from :
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar-1-_-Bells-Palsy.pdf (Accessed on Jan 14 2017)

LAMPIRAN

29
30

Anda mungkin juga menyukai