Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sosial
Dipandang secara ideal, sejarah sosial ialah studi tentang struktur dan proses
tindakan timbal balik manusia sebagaimana telah terjadi dalam konteks sosio-
kultural dalam masa lampau yang tercatat. Akan tetapi, dalam praktiknya jarang
dirumuskan dalam istilah-istilah yang begitu analistis dan sama sekali tidak selalu
dipandang dengan istilah-istilah yang komprehensif. (Joseph, 2016:34)
Sejarah sosial sudah merupakan gejala baru dalam penulisan sejarah sejak
sebelum Perang Dunia II, tetapi sebagai sebuah gerakan yang penting baru
mendapat tempat sekitar tahun 1950-an. Di Prancis aliran penulisan sejarah
Annales yang dipelopori oleh Lucien Fabvre dan Marc Bloch menjadi modal bagi
generasi baru penulis sejarah sosial yang semakin kuat kedudukannya dalam
dunia penulisan sejarah. (Kuntowijoyo, 2016:11)
Sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka
ragam. Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan yang erat dengan
sejarah ekonomi sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi. Dalam
pengertian sejarah sosial masih banyak lagi yang dapat dikerjakan selain yang
meneliti masyarakat secara total atau global. (Kuntowijoyo, 2016:11-12)
Sejarah sosial juga mencakup sejarah demografis, yaitu pertumbuhan
penduduk, migrasi, urbanisasi, dan sebagainya. Erat hubungannya dengan tema
diatas ialah sejarah kota sebagai pusat pemukiman tempat terjadi berbagai
kegiatan yang berupa pelayanan, kemudahan, perdagangan, pemerintahan,
pementasan kesenian, proses produksi, dan lain sebagainya. (Kartodirdjo, 2016:4)
Dalam pengertian sejarah sosial masih banyak lagi yang dapat dikerjakan
selain yang meneliti masyarakat secara total atau global itu. Tema-tema seperti
sejarah sebuah kelas sosial, terutama sejarah kaum buruh, menjadi tema yang
sangat penting dalam sejarah sosial di Inggris dan tentu saja juga bagi kebanyakan
penulis sejarah yang berhaluan Marxis. Sejarah peranan sebuah kelas , sepanjang
ia tetap merupakan sejarah dari sebuah unit masyarakat dengan ruang lingkup dan
waktu yang tertentu dapat digolongkan dalam sejarah sosial. (Kuntowijoyo,
2016:12)
Tema lain yang dapat digarap oleh sejarah sosial ialah peristiwa-peristiwa
sejarah. Tulisan-tulisan Mousnier tentang pemberontakan petani ialah salah satu
contohnya. Demikian juga tulisan Sartono Kartodirdjo, Peasants’ Revolt of
Banten in 1888 barangkali merupakan sejarah sosial pertama yang ditulis dalam
Historigrafi Indonesia. Dalam tulisan sartono itu, sebagaimana pada umumnya
“sejarah baru”, telah digunakan pendekatan-pendekatan yang memanfaatkan teori-
teori dan konsep ilmu-ilmu sosial. Dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial,
sejarahwan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas sekalipun
kadang-kadang harus terikat pada modal teoritisnya. (Kuntowijoya, 2016:13)
Asal Usul
Semenjak Herodotus melaporkan adat istiadat orang-orang Skyth dan tacitus
yang melukiskan lembaga-lembaga suku-suku German, para sejarawan telah
menuliskan risalah-risalah yang dapat dikenal sebagai salah satu varietas sejarah
sosial. Hingga abad ke 18 risalah-risalah itu selalu muncul sebagai fragmen-
fragmen yang kurang penting dalam karya-karya umum. Akan tetapi, kemudian
bila perhatian besar akan pranata-pranata masalalu diciptakan oleh keinginan yang
makin bertambah untuk menempatkan studi tentang manusia dan masyarakat pada
dasar empiris yang kokoh, sejarah sosial berkembang sebagai aliran yang
tersendiri. (Joseph, 2016:34)

2.2 Perkembangan sejarah sosial


Perkembangan sejarah yang tampak dalam dinamika masyarakat timbul karena
adanya kekuatan-kekuatan sejarah, baik yang berupa kekuatan alam, misalnya ada
dan tidaknya sumber-sumber ekonomis, pertumbuhan penduduk, kepentingan-
kepentingan sebuah kelas, grup dan individu, penemuan teknologi baru, ideologi,
kepercayaan, pengaruh-pengaruh luar, dan sebagainya. Dalam model yang
dinamis ini, hal yang penting ialah adanya duration, kelangsungan dalam waktu,
bukan semata-mata function. Sejarah berupa urutan, kejadian yang mengawali,
dan rangkaian sebab dan akibatnya. Oleh karena itu, sejarah bukan hanya
mengemukakan keumuman dari ilmu yang nomotetis, melainkan keunikan-
keunikan dari ilmu yang ideografis. Maka sangat perlu bagi sejarawan untuk
menciptakan sendiri modelnya yang paling tepat menggambarkan hal yang
sebenarnya terjadi dalam dinamika sosial sejarah suatu masyarakat.(Kuntowijoya,
2016:19)
Dalam kehidupan bersama ini manusia menjalin apa yang disebut kehidupan
social, tidak hanya kegiatan reproduksi ataupun produksi saja. Tetapi juga dalam
menanggulangi kesulitan bersama baik dalam hal menegakkan norma, hukum,
dan tata nilai maupun mengatasi datangnya musuh, bencana, atau berbagai
kegiatan lain seperti rekreasi atau ritual dan seremonial. Kehidupan bermasyarakat
merupakan upaya adaptasi kolektif terhadap tantangan lingkungan, tetapi juga
mempunyai konsekuensi bahwa mereka harus selalu menyesuaian hubungan
internal sesuai ddengan tuntutan terus berubah dari zaman ke zaman.
(Boedhihartono, 2009:1)

System social pada Zaman Prasejarah


Sebagai system social masyarakat pemburu dan pengumpul merupakan suatu
masyarakat yang sangat egalitarian dan belum ada diferensiasi social dan tentunya
masih jauh dari keberadaan segregasi social antar anggota. Berapa besar kira-kira
dengan mengacu kepada luas dan besar gua tempat mereka tinggal. Misalnya,
berdasarkan luas dan ondisi ruang gua baik di Sulawesi Selatan, di pedalaman
Kalimantan atau di daerah Lahat di Sumatera, kemudian juga gua-gua atau rock
shelter di Flores seperti di Leang Bua, di Gua Cermin dan lain-lainnya dapat
disimpulkan bahwa masyarakat prasejarah waktu dulu hidup dalam kelompok
kecil. Hasil pengamatan terhadap masyarakat pemburu dan pengumpul hingga
saat ini menunjukan pada umumnya mereka adalah kelompok kerabat, mungkin
terdiri dari satu atau tiga keluarga yang jumlahnya juga tidak bias banyak.
(Boedhihartono, 2009:21-22)
Mereka menggantungkan hidupnya pada kegiatan bersama wanita dan pria.
Wanita mencari dan mengumpulkan umbi-umbian atau buah-buahan dan pria
kadang-kadang harus berkelana berburu, atau mencari ikan di sungai. Kelompok
pemburu dan pengumpul demikian akan pindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Di samping mendapat tugas untuk mengumpulkan umbi dan buah atau
mengajak anak mencari keong labi-labi, wanita juga harus membuat tempat
tinggal sementara yang relative sangat bersahaja. (Boedhihartono, 2009:22)

System social pada zaman Hindu-Budha


Kerajaan-kerajaan di Nusantara pada masa lalu tentunya beraitan dengan
kepentingan kelompok masyarakat untuk bekerja sama lebih efektif dan
melindungi diri dari ancaman luar. Hal tersebut mungkin sekali terjadi karena
kepentingan bangsa luar yang mulai bermunculan ke negeri ini, dan mencoba
mengeksploitasi produk negeri ini seperti merica, pala, kayu manis, kayu cendana,
gaharu, juga hewan-hewan seperti gajah, cula badak, penyu, dan lain-lain.
Masyarakat setempat mulai menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang bias
mendatangkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang dating dari luar.
(Boedhihartono, 2009:35)
Beberapa literature menyatakan bahwa pada zaman Hindu di jawa sudah dienal
adanya kelompok-kelompo anggota masyarakat yang menyandarkan hidupnya
pada keahlian di berbagai bidang yang berbeda. Titi Nastiti (2003:83) menulis
bahwa pada zaman ini sudah dikenal kelompok pengrajin yang berbeda-beda
antara lain kelompok pengrajin yang disebut mandyun (pembuat benda tanah liat),
mangula (pembuat gula), manhapu (pembuat kapur), mananamanam (pembuat
anyaman), manaren (pembuat arang), magawati payun wlu (pembuat paying
wlu), undagi (pembuat kayu). Di samping itu, juga dikenal dengan istilah-istilah
yang berkenaan dengan profesi, tetapi belum bias ditafsirkan seperti mamuter,
mamelut, dan lai-lainnya. (Boedhihartono, 2009:43)

System social masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia


Keruntuhan Majapahit merupakan awal dari perubahan sosial yang drastis di Jawa
khususnya. Kehidupan sosial lain di Jawa yakni kehidupan petani yang menjadi
pelaksana produksi kebutuhan dasar yang disebut pangan. Kehidupan bertani dulu
dianggap merupakan kedudukan yang mungkin kurang terhormat. Oleh karena
kedudukan mereka ini, maka mereka juga hidup dalam suatu kehidupan yang
sama sekali berbeda dan tidak berorientasi pada keraton. Dalam kehidupan sehari-
hari para petani sebenarnya tidak terikat kebiasaan baik dari para priyayi atau
santri. Mereka justru masih banyak yang terikat dengan adat melakukan ritual
sesuai tradisi. Memberi sesajen di tempat yang dianggap angker dan melakukan
ritual seperti nanggap wayang sesuai siklus kehidupan mereka sebagai petani.
((Boedhihartono, 2009:135)
Perkembangan kelompok-kelompok sosial lain yang juga mendukung kehidupan
suatu masyarakat kerajaan, bisa kita lihat dari pola pemukiman kota-kota bekas
pusat kerajaan Islam di wilayah pendalaman seperti Kota Gede, Plered, dan
Kartasura. Untuk wilayah pesisir utara Jawa dapat dilihat pada kota Demak,
Cirebon, dan Banten keletakkan kampung-kampung dapat menerangkan masalah-
masalah yang berkenaan dengan pola pemukiman, persebaran kelompok-
kelompok masyarakat, sistem perdagangan, sistem perdagangan, sistem
pertanahan, struktur sosial, dan lainnya. (Boedhihartono, 2009:136)
Dengan demikian, dari yang dipaparkan diatas, ada anggota masyarakat yang
sehari-hari menggantungkan hidupnya pada sejenis profesi dan mengadakan
asosiasi antar mereka dengan menghuni suatu kawasan tertentu yang mungkin
mendukung kebersamaan mereka. Contohnya Pandean merupakan wilayah yang
penghuninya adalah kelompok pandai besi, dan Samakan adalah mereka yang
menyamak kulit belulang, mutihan, sayangan (pengrajin tembaga), mranggen
(pembuat kris). (Boedhihartono, 2009:139)

Sistem sosial masa Penjajahan


a. Sistem sosial Masa Penjajahan Belanda
Pada akhir masa kekuasaan VOC di Indonesia sistem sosial masyarakat yang
berlaku masih menanut sistem feodal. Pada masa kolonial ini, hubungan
masyarakat masih bersifat komunal, solidaritasnya terutama berdasarkan pada
perasaan (bersifat emosional). Hal ini juga berhubungan dengan lingkungan desa
yang kehidupan rakyatnya masih dalam taraf subsistensi, kondisi ekonomi yang
belum sepenuhnya terbuka. Selain itu diferensiasi dan spesialisasi masih rendah.
Warga desa pada umumnya adalah petani. Dengan homogenitas tersebut, maka
lahirlah sebuah sistem (tradisi) gotong royong diantara masyarakat desa. Suatu
sistem yang mendasarkan pada prinsip timbal balik, tolong menolong yang sering
juga disebut sebagai sumbang rewang atau punjungan. Berdasarkan ikatan itu
banyak produksi tidak membutuhkan upah karena dapat diganti dengan
pertukaran tenaga antar masyarakat (Kartodirjo, 1987:294). Perlu diketahui bahwa
sistem status dalam masyarakat lama Indonesia sendiri pada umumnya didasarkan
pada hubungannya dengan tanah, jenis kelamin, usia, kemampuan magis, profesi,
agama, dan lain-lain. (Boedhihartono, 2009:217)
Beberapa contoh praktik feodalistis antara lain; di tanah kerajaan ada pengerahan
tenaga untuk membersihkan keraton, mencari rumput untuk kuda-kuda raja,
melakukan penjagaan, mengangkut barang-barang dan sebagainya. Di daerah
gubernemen tugas-tugas seperti itu diwajibkan bagi rakyat untuk melayani
keperluan para bupati dan sejak zaman kolnial Belanda juga bagi keperluan
pengusaha Belanda. Dengan kondisi masyarakat seperti ini, pemerintah kolonial
menerapkan sistem pemerintahan tak langsung. Keadaan tersebut bagi rakyat
sangat memberatkan, terlebih para penguasa kolonial mempunyai tuntutan-
tuntutan yang tidak dikenal dalam ikatan feodal, yaitu permintaan hasil-hasil
pertanian yang dapat dijual di pasaran dunia. Semua ini adalah karena peraturan
yang dibuat oleh VOC melalui penguasa pribumi. (Boedhihartono, 2009:218)

b. Sistem sosial pada masa penjajahan Jepang


Pada awal pemerintahan ini, starta sosial yang tampak sekarang terbalik. Di
puncak tangga, orang Jepang telah menempatkan dirinya secara kuat. Tetapi,
untuk orang Indonesia tetap berada dibawah mereka dalam posisi apapun.
Kelompok Indonesia dari kalangan intelektual, mendekati akhir masa pendudukan
Jepang menjadi kelompok Istimewa dimana orang Jepang memandang bijak
untuk memenangkan mereka. Mereka diberikan pos-pos utama dalam bidang
pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh orag Eropa. (Boedhihartono,
2009:285)
Sistem sosial pada masa Kemerdekaan
Pada awal masa kemerdekaan solah merupakan kesempatan bagi masyarakat
Indonesia untuk bisa menempatkan diri mereka pada berbagai niche dalam sistem
sosial yang terbuka lebar dan meraih kesempatan atau apa yang mereka cita-
citakan. Pada awal kemerdekaan juga seluruh atribut yang sebelumnya seolah
menjadi rintangan atau kendali dalam melakukan hubungan Interpersonal seolah
lepas dan setiap anggota masyarakat merasa bebas menggunakan istilah “bung”
sebagai atribut untuk mitra Interaksi mereka. (Boedhihartono, 2009:290)
Satu hal yang paling mencolok adalah adanya keinginan besar untuk melakukan
perubahan dari sistem masyarakat feodal menjadi masyarakat demokrasi. Pada
masa revolusi ada sesuatu yang tengah berlangsung dengan membara, yaitu sistem
kolonialisme harus diganti dengan sistem nasional. (Boedhihartono, 2009:290)
Dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia saat itu, masih sukar
untuk melihat suatu stratifikasi sosial yang sudah mantap. Perubahan-perubahan
masih terus berlangsung. Sementara hal itu terjadi, pola-pola masyarakat lama,
masyarakat tradisional, masih terlihat walaupun dalam banyak hal pola-pola itu
semakin terdesak oleh pola-pola baru yang sedang membentuk diri. Pola-pola
masyarakat tradisional itu terdapat pada masyarakat kota maupun pada
masyarakat perdesaan. Masyarakat kota dibagi atas dua bagian, yakni kota-kota
dagang yang umumnya terletak di tepi pantai dan kota-kota yang terletak di
daerah-daerah kerajaan. (Boedhihartono, 2009:295)
Startifikasi sosial tidak lagi didasarkan atas dasar ras, yang pada masa dulu
merupakan ciri masyarakat kolonial, ataupun atas dasar kelahiran menurut tingkat
kebangsawanan. Startifikasi lebih ditentukan oleh tingkat pendidikan dan begitu
pula mobilitas sosial terjadi. (Boedhihartono, 2009:296)

2.3 Proses Sosial


Pada dasarnya gejala-gejala atau fenomena-fenomena, seperti ekonomi,
politik, hukum, politik, dan sebagainya, itu tidak dapat bertindak. Oleh karena
gejala atau fenomena-fenomena itu tidak dapat bertindak. Sudah tentu tidak akan
terjadi pengaruh timbal balik antara gejala yang satu dengan gejala lainnya. Pada
dasarnya yang dapat bertindak jadi, yang dapat berhubungan itu ialah manusia
yang mewujudkan suatu aktivitas. Dengan demikian, aktivitas sosial itu terjadi
karena adanya aktivitas dari manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Oleh karena yang bertindak ialah manusia, maka dapat dinyatakan bahwa
interaksi sosial merupakan bentuk utama dari proses sosial. (Soleman, 1993:110)
Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota masyarakat tersebut
terdapat terjadi oleh karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial
menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan diantara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan
keselarasan satu sama lain didalam suatu tingkatan integrasi sosial tertentu.
(Nasikun, 2015:14)
Menurut Kimbal Young, interaksi sosial dapat berlangsung antara:
a. Orang-perorangan dengan kelompok atau kelompok dengan orang-
perorangan
b. Kelompok dengan kelompok
c. Orang-perorangan
Secara empiris, memang kelompok sosial itu tidak dapat bertindak, akan tetapi
yang bertindak itu adalah seorang atau beberapa orang yang mengatasnamakan
kelompok itu. Negara misalnya, dalam melakukan hubungan antara negara, yang
bertindak adalah orang-orang tertentu yang merupakan delegasi yang mengatas-
namakan negara tersebut. (Nasikun, 2015:113)

Anda mungkin juga menyukai