Anda di halaman 1dari 36

SERIAL RAMADHAN KARIM II

FIQHUS SHIYAM: MENUJU KESEMPURNAAN IBADAH PUASA


Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati***

Lisensi Dokumen
Copyright Aep Saepulloh, www.indonesianschool.org
Seluruh dokumen di www.indonesianschool.org dapat digunakan, dimodifikasi dan
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak
menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam
setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin
terlebih dahulu dari penulis, indonesianschool.org.

-1-
Pendahuluan

Setelah pada makalah pertama penulis menyajikan seputar cara dan amalan dalam rangka
menyambut kedatangan 'tamu agung' Ramadhan berikut amalan yang sebaiknya dilakukan kelak pada
bulan Ramadhan, maka makalah ini mencoba menyajikan 'aroma' lain, yakni aroma fiqih shiyamnya.
Makalah ini, mencoba menyajikan semua hal yang erat kaitannya dengan hukum dan aturan dalam puasa
Ramadhan, mulai dari syarat sah puasa, hal-hal yang sunnah dilakukan, sampai hal-hal yang membatalkan
puasa. Semua ini disajikan tentu dengan maksud menjadi pegangan para pembaca kelak pada bulan
Ramadhan.
Makalah kedua ini rencananya, sebagaimana telah penulis sampaikan pada makalah pertama, akan
dilampirkan terjemahan dua buah buku saku tanya jawab seputar ibadah puasa karya Abdul Aziz bin Baz
dan Syaikh Shalih Utsaimin. Namun, karena keterbatasan waktu, penulis mohon maaf tidak dapat
menyajikannya sebagai lampiran pada makalah kedua ini. Namun demikian, semoga pada makalah ketiga
nanti, hasil terjemahan tersebut sudah dapat dilampirkan, amin.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini berguna dan bermanfaat, khususnya bagi penulis
sendiri dan umumnya bagi para pembaca semua. Hanya kepadaNyalah kita berbakti dan mengabdi, juga
hanya kepadaNyalah kita akan kembali. Selamat menikmati. Wallahu a'lam bish-shawab, allahumma
shalli 'ala sayyidinaa Muhammad, wa 'ala aalihi wa ashhabihi ajma'in.

Pengertian puasa
Secara bahasa puasa berarti menahan dan mencegah sesuatu (al-imsak wal kaffu 'anis sya'i). Hal
ini sebagaimana firman Allah dalam surat Maryam ayat 26 berikut ini:
(26 :‫ﺎ )ﻣﺮﻳﻢ‬‫ﺴﻴ‬
ِ ‫ﻦ ُأ َآﱢﻠ َﻢ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ِإ ْﻧ‬
ْ ‫ﺻ ْﻮﻣًﺎ َﻓَﻠ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﺣ َﻤ‬
ْ ‫ت ﻟِﻠ ﱠﺮ‬
ُ ‫ﻓَﻘُﻮﻟِﻲ ِإﻧﱢﻲ َﻧ َﺬ ْر‬
Artinya: "Maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (QS. Maryam: 26).
Kata shaum dalam ayat di atas maksudnya adalah diam, mencegah dan menahan untuk tidak
berbicara.
Sedangkan secara syar'i, shiyam berarti:
‫اﻹﻣﺴﺎك ﻋﻦ اﻟﻤﻔﻄﺮات ﻣﻦ ﻃﻠﻮع اﻟﻔﺠﺮ إﻟﻰ ﻏﺮوب اﻟﺸﻤﺲ ﻣﻊ ﻧﻴﺔ اﻟﺘﻌﺒﺪ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
Artinya: "Puasa atau shiyam adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat untuk beribadah kepada Allah".

Macam-macam puasa
Secara garis besar, puasa terbagi kepada empat macam
1. Puasa yang hukumnya wajib
2. Puasa yang hukumnya sunnah
3. Puasa yang hukumnya haram
4. Puasa yang hukumnya makruh

A. Puasa Wajib
Yang termasuk puasa wajib ada tiga macam:
1. Puasa yang wajib dilaksanakan dikarenakan waktunya yaitu puasa Ramadhan.
2. Puasa yang wajib dilaksanakan karena ada sebab, yaitu puasa kifarat. Puasa kifarat ini adalah puasa
untuk menebus kesalahan yang telah dilakukan, misalnya orang yang melakukan hubungan badan di
siang hari bulan Ramadhan, maka ia harus menebus kesalahannya itu dengan jalan puasa dua bulan
berturut-turut. Atau orang yang melanggar sumpahnya, ia juga harus berpuasa untuk menebus
kesalahannya itu selama tiga hari berturut-turut.
3. Puasa yang wajib dilaksanakan karena janji kepada Allah untuk dirinya atau disebut dengan puasa
nadzar. Misalnya, apabila seseorang berkata: "Seandainya saya tahun ini dapat lulus ujian, saya
bernadzar (berjanji) akan puasa selama satu hari". Kemudian, ternyata ujiannya lulus, maka orang
tersebut wajib untuk berpuasa selama satu hari karena nadzarnya itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka
ia berdosa.

-2-
Puasa Ramadhan
Hukum melaksanakannya
Puasa Ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah baligh, berakal,
sehat dan tidak sedang bepergian (karena kalau sedang bepergian, ia boleh berbuka, namun wajib qadha di
hari yang lain kelak). Di antara dalil wajibnya puasa bulan Ramadhan ini adalah:
A. Dalil al-Qur'an
‫ت‬
ٍ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ُﻜ ْﻢ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ﱠﺘ ُﻘ ﻮنَ * َأﻳﱠﺎ ًﻣ ﺎ َﻣ ْﻌ ﺪُودَا‬ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ َ ‫ﻋَﻠ ﻰ اﱠﻟ ﺬِﻳ‬ َ ‫ﺐ‬ َ ‫ﺼﻴَﺎ ُم َآ َﻤ ﺎ ُآ ِﺘ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢ‬َ ‫ﺐ‬ َ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا ُآ ِﺘ‬ َ ‫ﻳَﺎأَ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ َﻓ َﻤ‬
ٍ ‫ﺴﻜِﻴ‬ ْ ‫ﻃ َﻌ ﺎ ُم ِﻣ‬
َ ‫ﻄﻴﻘُﻮ َﻧ ُﻪ ﻓِ ْﺪﻳَ ٌﺔ‬ ِ ‫ﻦ ُﻳ‬ َ ‫ﻋَﻠ ﻰ اﱠﻟ ﺬِﻳ‬ َ ‫ﺧ َﺮ َو‬ َ ‫ﻦ َأ ﱠﻳ ﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَﻌِ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ن ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو‬ َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫َﻓ َﻤ‬
‫ل ﻓِﻴ ِﻪ‬َ ‫ن اﱠﻟ ﺬِي ُأ ْﻧ ِﺰ‬ َ ‫ﺷ ْﻬ ُﺮ َر َﻣ ﻀَﺎ‬ َ *‫ن‬ َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠ ُﻤ ﻮ‬
ْ ‫ن َﺗ ﺼُﻮﻣُﻮا ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِإ‬ ْ ‫ﺧ ْﻴ ﺮًا َﻓ ُﻬ َﻮ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ُﻪ َوَأ‬ َ ‫ع‬ َ ‫ﻄ ﱠﻮ‬ َ ‫َﺗ‬
‫ن َﻣﺮِﻳ ﻀًﺎ َأ ْو‬ َ ‫ﻦ َآ ﺎ‬ ْ ‫ﺼ ْﻤ ُﻪ َو َﻣ‬ ُ ‫ﺸ ْﻬ َﺮ َﻓ ْﻠ َﻴ‬ ‫ﺷ ِﻬ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻦ‬ْ ‫ن َﻓ َﻤ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻬﺪَى وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ‬ َ ‫س وَﺑَ ﱢﻴﻨَﺎتٍ ِﻣ‬ ِ ‫ن ُهﺪًى ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬ ُ ‫ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
‫ﻋَﻠ ﻰ‬َ ‫ﺴ َﺮ َوِﻟ ُﺘ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪ َة َوِﻟ ُﺘ َﻜ ﱢﺒ ﺮُوا اﻟﱠﻠ َﻪ‬
ْ ‫ﺴ َﺮ َوﻟَﺎ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌ‬ ْ ‫ﺧ َﺮ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻴ‬َ ‫ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ
(185-183 :‫ن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﺸ ُﻜﺮُو‬ ْ ‫ﻣَﺎ َهﺪَا ُآ ْﻢ َوَﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.. (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" (QS. Al-Baqarah: 183-185).
B. Dalil Sunnah
‫ أﺧﺒﺮﻧ ﻰ‬:‫ﻋﻦ ﻃﻠﺤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ أن أﻋﺮاﺑﻴﺎ ﺟﺎء إﻟﻰ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﺛ ﺎﺋﺮ اﻟ ﺮأس ﻓﻘ ﺎل‬
[‫ ))ﺷﻬﺮ رﻣﻀﺎن إﻻ أن ﺗﻄﻮع ﺷﻴﺌﺎ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬,‫ﺑﻤﺎ ﻓﺮض اﷲ ﻋﻠﻲ ﻣﻦ اﻟﺼﻴﺎم‬
Artinya: Dari Thalhah bin Abdullah bahwasannya seorang Arab dusun datang kepada Rasulullah saw
dalam keadaan rambutnya yang acak-acakkan. Ia lalu berkata: "Jelaskan kepada saya, puasa apa yang
diwajibkan oleh Allah?" Rasulullah saw menjawab: "Puasa pada bulan Ramadhan kecuali kamu
menjadikan sesuatu sebagai hal yang sunnah" (HR. Bukhari Muslim).
‫ ﺷﻬﺎدة أن ﻻ إﻟ ﻪ إﻻ‬:‫ ))ﺑﻨﻲ اﻹﺳﻼم ﻋﻠﻰ ﺧﻤﺲ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل‬
‫ واﻟﺤ ﺞ وﺻ ﻮم رﻣ ﻀﺎن(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨ ﺎرى‬,‫ وإﻳﺘ ﺎء اﻟﺰآ ﺎة‬,‫ وإﻗ ﺎم اﻟ ﺼﻼة‬,‫اﷲ وأن ﻣﺤﻤ ﺪا رﺳ ﻮل اﷲ‬
[‫وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Ibn Umar berkata, Rasulullah saw bersabda: "Islam itu dibangun di atas lima perkara:
Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, haji dan puasa pada bulan Ramadhan" (HR. Bukhari Muslim).
C. Ijma'
Para ulama telah sepakat bahwa puasa pada bulan Ramadhan termasuk salah satu rukun Islam
yang wajib dilaksanakan.orang yang mengingkari kewajibannya dipandang telah kafir, dan ia tidak
boleh ditinggalkan oleh mukallaf (orang yang baligh, berakal dan Islam) kecuali ada udzur
sebagaimana dijelaskan oleh Syara' (lihat dalam al-Ifshah karya Ibn Hubairah (1/232), al-Mughni
karya Ibn Qudamah (3/285), dan Majmu' al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah (6/252).
Kabar gembira bagi orang yang berpuasa Ramadhan (at-targhib)
Pada makalah pertama telah dijelaskan panjang lebar keistimewaan bagi orang yang melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan. Berikut ini di antara keistimewaan dimaksud:
1. Dapat menghapus dosa
-3-
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
‫ ))ﻓﺘﻨ ﺔ اﻟﺮﺟ ﻞ ﻓ ﻰ أهﻠ ﻪ وﻣﺎﻟ ﻪ وﺟ ﺎرﻩ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ ﺣﺬﻳﻔﺔ ﺑﻦ اﻟﻴﻤﺎن ﻗﺎل‬
[‫ﺗﻜﻔﺮهﺎ اﻟﺼﻼة واﻟﺼﻴﺎم واﻟﺼﺪﻗﺔ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Fitnah bagi seorang laki-laki itu akan ditemukan di keluarga,
harta dan tetangganya. Namun, semua itu dapat ditutup dan ditebus dengan jalan shalat, puasa dan
shadaqah" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:
‫ ))ﻣ ﻦ ﺻ ﺎم رﻣ ﻀﺎن إﻳﻤﺎﻧ ﺎ واﺣﺘ ﺴﺎﺑﺎ ﻏﻔ ﺮ ﻟ ﻪ ﻣ ﺎ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ﺗﻘﺪم ﻣﻦ ذﻧﺒﻪ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh
keimanan dan pengharapan (ridha Allah), maka ia akan diampuni segala dosanya yang telah lalu" (HR.
Bukhari Muslim).
,‫ ))اﻟ ﺼﻠﻮات اﻟﺨﻤ ﺲ واﻟﺠﻤﻌ ﺔ إﻟ ﻰ اﻟﺠﻤﻌ ﺔ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻗﺎل ﻗﺎل روﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ‬
[‫ ﻣﻜﻔﺮات ﻟﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻦ إذا اﺟﺘﻨﺒﺖ اﻟﻜﺒﺎﺋﺮ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬,‫ورﻣﻀﺎن إﻟﻰ رﻣﻀﺎن‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Shalat yang lima waktu, dari Jum'ah ke Jum'ah dan dari Ramadhan
ke Ramadhan, dapat menutupi dosa-dosa di antara keduanya selama ia meninggalkan dosa besar" (HR.
Muslim).
2. Doanya akan dikabulkan serta akan dibebaskan dari api neraka
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
,‫ ﻓ ﻰ ﺷ ﻬﺮ رﻣ ﻀﺎن‬,‫ ))إن اﷲ ﻓ ﻰ آ ﻞ ﻳ ﻮم وﻟﻴﻠ ﺔ ﻋﺘﻘ ﺎء ﻣ ﻦ اﻟﻨ ﺎر‬:‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
[‫ ﻓﻴﺴﺘﺠﺎب ﻟﻪ(( ]رواﻩ أﺣﻤﺪ واﻟﺒﺰار‬,‫وإن ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻠﻢ دﻋﻮة ﺑﻬﺎ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api neraka pada
bulan Ramadhan setiap satu hari satu malam. Dan bagi setiap muslim yang berdoa padanya (terutama
ketika berbuka puasa sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya) ada doa yang tidak mungkin
ditolak" (HR. Ahmad dan Bazzar).
3. Dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang benar dan syuhada (minas shiddiqiin was
syuhadaa)
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini:
‫ أرأﻳ ﺖ‬,‫ ﻳ ﺎ رﺳ ﻮل اﷲ‬:‫ ﺟﺎء رﺟﻞ إﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻓﻘ ﺎل‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻣﺮة اﻟﺠﻬﻨﻰ ﻗﺎل‬
,‫ وﺻﻤﺖ رﻣﻀﺎن وﻗﻤﺘ ﻪ‬,‫ وأدﻳﺖ اﻟﺰآﺎة‬,‫ وﺻﻠﻴﺖ اﻟﺨﻤﺲ‬,‫ وأﻧﻚ رﺳﻮل اﷲ‬,‫إن ﺷﻬﺪت أن ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﷲ‬
[‫ ))ﻣﻦ اﻟﺼﺪﻳﻘﻴﻦ واﻟﺸﻬﺪاء(( ]رواﻩ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن وﺳﻨﺪﻩ ﺻﺤﻴﺢ‬:‫ﻓﻤﻤﻦ أﻧﺎ؟ ﻗﺎل‬
Artinya: Amr bin Murrah al-Juhany berkata: "Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw sambil
berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana menurut anda apabila saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan
bahwasannya eukau utusan Allah, lalu saya juga shalat lima waktu, mengeluarkan zakat serta berpuasa
pada bulan Ramadhan berikut melakukan shalat qiyam Ramadhan, termasuk golongan manakah saya
ini kelak?" Rasulullah saw menjawab: "Termasuk golongan orang-orang yang benar dan orang-orang
yang mati syahid" (HR. Ibn Hibban dan sanadnya Shahih).

Ancaman dan hukuman bagi yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan tanpa ada udzur (tanpa
ada alasan yang sah secara syar'i) / tarhib
Orang yang tidak melakukan puasa pada bulan Ramadhan padahal ia sudah baligh berakal tanpa
alasan yang jelas, di samping berdosa juga sangat dikecam. Di antara dalil terlarangnya tidak berpuasa
Ramadhan bagi yang tidak ada udzur adalah:
‫ ))ﺑﻴﻨﻤ ﺎ أﻧ ﺎ ﻧ ﺎﺋﻢ أﺗ ﺎﻧﻰ رﺟ ﻼن‬:‫ ﺳ ﻤﻌﺖ رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻳﻘ ﻮل‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ أﻣﺎﻣﺔ اﻟﺒﺎهﻠﻰ ﻗﺎل‬
‫ ﺣﺘ ﻰ‬,‫ ﻓ ﺼﻌﺪت‬.‫ ﺳﻨ ﺴﻬﻠﻪ ﻟ ﻚ‬:‫ ﻓﻘ ﺎﻻ‬.‫ إﻧ ﻰ ﻻ أﻃﻴﻘ ﻪ‬:‫ ﻓﻘﻠﺖ‬,‫ اﺻﻌﺪ‬:‫ﻓﺄﺧﺬا ﺑﻀﺒﻌﻰ ﻓﺄﺗﻴﺎ ﺑﻰ ﺟﺒﻼ وﻋﺮا ﻓﻘﺎﻻ‬
‫ هﺬا ﻋﻮاء أهﻞ اﻟﻨ ﺎر ﺛ ﻢ اﻧﻄﻠ ﻖ‬:‫ ﻣﺎ هﺬﻩ اﻷﺻﻮات؟ ﻗﺎﻟﻮا‬:‫ ﻗﻠﺖ‬.‫إذا آﻨﺖ ﻓﻰ ﺳﻮاد اﻟﺠﺒﻞ إذا ﺑﺄﺻﻮات ﺷﺪﻳﺪة‬
‫ اﻟ ﺬﻳﻦ‬:‫ ﻣ ﻦ ه ﺆﻻء؟ ﻗ ﺎل‬:‫ﻗﻠ ﺖ‬:‫ ﻗ ﺎل‬.‫ ﺗﺴﻴﻞ أﺷ ﺪاﻗﻬﻢ دﻣ ﺎ‬,‫ ﻣﺸﻘﻘﺔ أﺷﺪاﻗﻬﻢ‬,‫ ﻓﺈذا أﻧﺎ ﺑﻘﻮم ﻣﻌﻠﻘﻴﻦ ﺑﻌﺮاﻗﻴﺒﻬﻢ‬,‫ﺑﻲ‬
[‫ واﺑﻦ ﺣﺒﺎن واﻟﺤﺎآﻢ وﺳﻨﺪﻩ ﺻﺤﻴﺢ‬,‫(( ]رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ‬...‫ﻳﻔﻄﺮون ﻗﺒﻞ ﺗﺤﻠﺔ ﺻﻮﻣﻬﻢ‬
-4-
Artinya: Abu Umamah al-Bahily berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Ketika saya sedang
tidur, saya bermimpi didatangi dua orang laki-laki. Keduanya lalu menarik lengan saya dibawa ke sebuah
gunung yang sulit didaki karena banyak batu-batu. Keduanya lalu berkata: "Naiklah". Saya menjawab:
"Saya tidak mungkin dapat mendakinya". Keduanya berkata: "Saya akan memudahkan kamu untuk
mendakinya". Saya pun lalu naik ke atasnya. Ketika sudah berada di puncak gunung, tiba-tiba saya
mendengar jeritan yang sangat keras. Saya bertanya: "Jeritan apa ini?" Mereka menjawab: "Ini adalah
jeritan penghuni neraka". Kemudian saya dibawa pergi. Tiba-tiba saya mendapati sekelompok orang yang
menggantung leher mereka sendiri, dan ujung mulut-mulut mereka dirobek-robek sehingga tampak dari
ujung mulut mereka darah segar mengalir. Saya bertanya: "Siapakah mereka ini?" Ia menjawab: "Mereka
adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktu berbuka tiba" (HR. Nasai, Ibn Hibban, Hakim dan
sanad hadits tersebut shahih).
Bahkan dalam hadits di bawah ini disebutkan bahwa orang yang dengan sengaja berbuka pada
bulan Ramadhan tanpa alasan syar'i, maka satu hari ia berbuka tidak dapat ditebus sekalipun dengan
berpuasa setahun lamanya.
‫ ﻻ ﻳﺠﺰﺋ ﻪ ﺻ ﻴﺎم اﻟ ﺪهﺮ وإن‬,‫ ))ﻣ ﻦ أﻓﻄ ﺮ ﻳﻮﻣ ﺎ ﻣ ﻦ رﻣ ﻀﺎن ﻣﺘﻌﻤ ﺪا‬:‫أن اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ﺻﺎﻣﻪ(( ]رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬى وأﺑﻮ داود واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berbuka satu hari saja dengan sengaja dan tanpa
alasan syari pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia tidak dapat ditebus sekalipun dengan berpuasa satu
tahun lamanya" (HR. Turmudzi, Abu Dawud dan Baihaki).
Hadits ini dhaif lantaran di antara rawinya ada yang bernama Hubaib bin Abi Tsabit yang oleh
para ulama dipandang lemah dan dipandang ayahnya tidak mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah
sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (4/161). Namun demikian, hadits ini
dapat kita pakai juga dalam hal bahwa begitu berat ancaman dan teguran bagi mereka yang berbuka puasa
dengan sengaja pada siang bulan Ramadhan.

Syarat sah puasa


Untuk sahnya sebuah puasa Ramadhan disyaratkan dua hal berikut ini:
1. Suci dari haid dan nifas. Orang yang haid dan nifas kemudian puasa, maka puasanya tidak sah (lihat
dalam Fathul Qadir 2/234), Hasyiyah ad-Dasuqi (1/509).
2. Niat. Puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah, oleh karena itu tidak sah apabila tidak memakai niat
sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
[‫ ))إﻧﻤﺎ اﻷﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﻴﺎت(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬:‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Amal itu tergantung niat" (HR. Bukhari).
Mengapa perlu memakai niat? Karena ketika seseorang menahan diri tidak makan dan minum,
boleh jadi karena sakit, agar langsing atau yang lainnya. Dan hal ini tidak dapat dibedakan dan
dipisahkan kecuali dengan niat. Oleh karena itu, Imam Nawawi dalam bukunya Raudhatut Thalibin
(2/350) berkata:
‫ وﻣﺤﻠﻬﺎ اﻟﻘﻠﺐ‬,‫ﻻ ﻳﺼﺢ اﻟﺼﻮم إﻻ ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ‬
Artinya: "Tidak sah puasa seseorang kecuali memakai niat. Dan tempat niat itu di dalam hati".
Sehubungan dengan syarat niat, para ulama berpendapat bahwa sebuah niat dapat dipandang telah
mencukupi dan sah apabila memenuhi empat persyaratan berikut ini:
1. Yakin (al-jazm). Niat harus diucapkan dengan yakin dan penuh, tidak boleh ragu-ragu. Oleh karena
itu, orang yang berniat puasa pada esok hari pada malam yang ragu, atau diragukan, maka puasanya
tidak sah karena niatnya tidak bulat dan yakin (lihat dalam al-Hidayah 2/248) dan Raudhah at-
Thalibin 2/353).
2. Ditentukan (at-ta'yin). Orang berpuasa dalam berniatnya hendaklah tertentu, misalnya puasa wajib
atau sunnahkah, puasa Ramadhan atau puasa nadzarkah dan seterusnya. Oleh karena itu, orang yang
sedang berpuasa menurut Jumhur ulama harus menentukan dalam niatnya puasa apa yang
dilakukannya, apakah Ramadhan atau lainnya (lihat dalam Raudhatut Thalibin 2/350, Bidayatul
Mujtahid 1/435).

-5-
3. Diniatkan pada waktu malam (at-tabyit). Orang yang akan berpuasa hendaklah meniatkan puasanya
itu pada malam hari yakni antara matahari terbenam sampai terbit fajar. Syarat ini menurut madzhab
Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah berdasarkan hadits berikut ini:
‫ ﻓﻼ ﺻﻴﺎم ﻟ ﻪ(( ]رواﻩ‬,‫ ))ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺠﻤﻊ اﻟﺼﻴﺎم ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ‬:‫ﻋﻦ ﺣﻔﺼﺔ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬى‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka
puasanya tidak sah" (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).

Apakah pada puasa sunnat juga wajib niat pada malam hari
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa para ulama telah sepakat berniat puasa pada malam
hari bulan Ramadhan adalah wajib. Namun, bagaimana dengan puasa sunnat, apakah wajib berniat
sejak malam juga atau boleh berniat pada waktu pagi sekalipun? Para ulama dalam hal ini berbeda
pendapat.
Perbedaan pendapat di antara para ulama tersebut dikarenakan terdapatnya dua hadits berikut ini
yang seolah bertentangan satu sama lain. Kedua hadits di maksud adalah:
‫ ﻓﻼ ﺻﻴﺎم ﻟ ﻪ(( ]رواﻩ‬,‫ ))ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺠﻤﻊ اﻟﺼﻴﺎم ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ‬:‫ﻋﻦ ﺣﻔﺼﺔ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬى‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka
puasanya tidak sah" (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
Hadits kedua adalah hadits:
,‫ ﻻ‬:‫ ))هﻞ ﻋﻨﺪآﻢ ﺷ ﻴﺊ؟(( ﻓﻘﻠﻨ ﺎ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬,‫ دﺧﻞ ﻋﻠﻲ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ذات ﻳﻮم‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ ﻓﻠﻘ ﺪ‬,‫ ))أرﻳﻨﻴ ﻪ‬:‫ ﻓﻘ ﺎل‬,‫ أه ﺪى ﻟﻨ ﺎ ﺣ ﻴﺲ‬,‫ ﻳ ﺎ رﺳ ﻮل اﷲ‬:‫ ))ﻓﺈﻧﻰ إذن ﺻﺎﺋﻢ(( ﺛﻢ أﺗﺎﻧﺎ ﻳﻮﻣﺎ ﺁﺧ ﺮ ﻓﻘﻠﻨ ﺎ‬:‫ﻗﺎل‬
[‫أﺻﺒﺤﺖ ﺻﺎﺋﻤﺎ(( ﻓﺄآﻞ ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Aisyah berkata: "Suatu hari Rasulullah saw masuk ke dalam rumah saya sambil bersabda:
"Apakah ada yang dapat saya makan hari ini?" Kami menjawab: "Tidak ada". Rasulullah saw bersabda
kembali: "Kalau begitu, hari ini saya akan berpuasa". Pada hari lain, beliau datang lagi. Kami lalu
berkata: "Ya Rasulullah, kami baru saja diberi hadiah berupa hais (makanan yang terbuat dari tepung).
Rasulullah saw bersabda: "Ayo kesinihkan, saya berpuasa pada pagi hari tadi". Beliau pun lalu makan"
(HR. Muslim).
Hadits pertama (hadits Hafsah) memberikan pemahaman bahwa puasa apa saja, baik puasa sunnat
maupun puasa wajib—karena dalam hadits tersebut umum tidak disebutkan apakah untuk puasa
sunnat ataukah untuk puasa wajib, maka hukumnya pun umum; meliputi puasa wajib dan puasa
sunnat—harus memakai niat pada malam hari. Mereka yang puasanya tidak memakai niat pada malam
hari, maka puasanya tidak sah.
Sementara hadits kedua (hadits Aisyah) memberikan pemahaman bahwa untuk puasa sunnat,
niatnya tidak mesti malam hari, boleh juga pada siang hari. Hal ini dikarenakan dalam hadits tersebut,
ketika Rasulullah saw tidak mendapatkan makanan, beliau lalu berkata: "kalau demikian, saya akan
berpuasa", dan Rasulullah saw mengatakannya pada waktu siang.
Oleh karena itu, Jumhur ulama mencoba memberikan solusi dengan jalan menggabungkan kedua
hadits di atas. Menurut Jumhur ulama, bahwa hadits Hafsah untuk puasa wajib, sementara hadits
Aisyah untuk puasa sunnat. Implikasinya, orang yang akan berpuasa wajib, diharuskan berniat pada
malam hari. Sementara bagi yang akan berpuasa sunnat, diperbolehkan untuk berniat pada siang hari
sebelum matahari tergelincir sedikit (sebelum waktu dhuhur). Sebagian ulama lain, membolehkannya
sampai waktu matahari terbenam, selama ia siang hari.
Pendapat Jumhur ini dikuatkan dengan praktek dan pemahaman Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abu
Darda dan Hudzaifah, bahwa untuk puasa sunnat, boleh berniatnya sejak pagi atau siang hari, tidak
mesti malam hari. Namun, untuk puasa wajib tetap harus diniatkan pada malam hari.
Sedangkan Imam Malik, Imam Laits, Ibnu Hazm termasuk pengarang kitab Nailul Authar, Imam
Syaukani, mereka tidak membedakan antara puasa sunnat dengan puasa wajib. Bagi mereka, baik
puasa sunnat maupun wajib, tetap diharuskan berniat terlebih dahulu sejak malam hari. Menurut
kelompok ini, kata 'la shiyama' dalam hadits Hafsah berbentuk nakirah (umum) dalam susunan nafyi

-6-
yang berarti ia umum, mencakup semua jenis puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnat (lihat
dalam Nailul Authar: 4/233).
Dari kedua pendapat di atas, penulis berkecenderungan bahwa puasa wajib memang diharuskan
berniat sejak malam hari, sementara untuk puasa sunnat, boleh berniat pada siang hari. Namun,
apabila untuk puasa sunnat ini berniat juga pada malam hari, tentu hal ini lebih baik dan lebih hati-hati
(ahwath).
4. Berniat pada setiap malam dari bulan Ramadhan
Jumhur ulama berpendapat bahwa berniat puasa Ramadhan itu wajib diniatkan setiap malam.
Artinya, apabila dalam satu Ramadhan itu terdapat tiga puluh hari, maka ia harus berniat setiap
malam, sehingga niatnya itu semuanya berjumlah tiga puluh malam juga. Hal ini didasarkan pada
keumuman hadits Hafsah di atas yang mengharuskan niat untuk setiap puasa. Di samping itu, setiap
hari puasa Ramadhan itu adalah ibadah tersendiri yang tidak terkait antara satu sama lainnya.
Demikian juga apabila satu shaum rusak, maka tidak mempengaruhi kerusakan shaum hari-hari
lainnya. Karena berdiri sendiri inilah, maka niatnya pun harus tiap malam juga, tidak boleh berniat
puasa pada satu malam untuk sebulan puasa (lihat al-Majmu': 6/302, Raddul Mukhtar: 2/87).
Sementara menurut Zufar dan Imam Malik, satu niat cukup untuk sebulan puasa. Misalnya, apabila
pada malam pertama berniat puasa, maka untuk malam-malam berikutnya tidak wajib berniat lagi,
karena sudah cukup dengan niat di awal tadi. Hal ini, menurut Zufar dan Imam Malik, karena puasa
seperti shalat; niatnya cukup diawal, bukan setiap gerakan shalat (lihat dalam asy-Syarhul Kabir:
1/521).
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat pertama, Jumhur
Ulama, yang mewajibkan niat setiap malam. Hal ini tentu untuk lebih hati-hati (ahwath).
Perlu penulis tambahkan juga, bahwa niat tersebut boleh sejak malam hari tiba, juga boleh ketika
sahur nanti, sebelum waktu Shubuh.

Amalan Sunnah pada waktu berpuasa


Ada beberapa amalan sunnah yang perlu dilakukan dan diperhatikan selama melaksanakan ibadah
puasa Ramadhan agar pahala ibadah puasanya lebih banyak dan lebih berlipat. Amalan-amalan dimaksud
adalah:
1. Makan sahur
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw berikut ini:
‫ ﻓﺈن ﻓ ﻰ اﻟ ﺴﺤﻮر ﺑﺮآ ﺔ(( ]رواﻩ‬,‫ ))ﺗﺴﺤﺮوا‬:‫ﻋﻦ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sahurlah kalian, karena dalam sahur itu terdapat keberkahan" (HR.
Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
‫ ))ﻓ ﺼﻞ ﻣ ﺎ ﺑ ﻴﻦ ﺻ ﻴﺎﻣﻨﺎ وﺻ ﻴﺎم أه ﻞ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ اﻟﻌﺎص ﻗﺎل‬
[‫اﻟﻜﺘﺎب أآﻠﺔ اﻟﺴﺤﻮر(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah
makan sahur" (HR. Muslim).
Makan sahur dipandang cukup sekalipun hanya dengan seteguk air sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini:
‫ ))ﺗ ﺴﺤﺮوا وﻟ ﻮ ﺑﺠﺮﻋ ﺔ ﻣ ﺎء(( ]رواﻩ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو أن رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫اﺑﻦ ﺣﺒﺎن وأﺣﻤﺪ واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sahurlah kalian sekalipun hanya dengan seteguk air" (HR. Ibn
Hibban dan Ahmad dan haditsnya Hasan).
Sahur dengan memakai kurma tentu lebih utama (apabila ada) sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini:
[‫ ))ﻧﻌﻢ ﺳﺤﻮر اﻟﻤﺆﻣﻦ اﻟﺘﻤﺮ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik makanan sahur orang mukmin itu adalah kurma" (HR.
Abu Dawud).

-7-
2. Mengakhirkan waktu sahur
Sahur sebaiknya dilakukan diakhirkan (menjelang waktu subuh, terbit fajar), karena mengakhirkan
waktu sahur termasuk amalan sunnah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini:
‫ آﻢ ﺑﻴﻦ‬:‫ ﻗﻠﺖ‬.‫ ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﺎم إﻟﻰ اﻟﺼﻼة‬:‫ﻋﻦ أﻧﺲ ﻋﻦ زﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻗﺎل‬
(‫ ﻗﺪر ﺧﻤﺴﻴﻦ أﻳﺔ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬:‫اﻷذان واﻟﺴﺤﻮر؟ ﻗﺎل‬
Artinya: Zaid bin Tsabit berkata: "Kami melakukan sahur bersama Rasulullah saw, kemudian beliau
berdiri untuk melakukan shalat. Saya bertanya: "Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur tersebut?"
Ia menjawab: "Kira-kira sama dengan waktu membaca lima puluh ayat" (HR. Bukhari dan Muslim).
‫ ))إذا أذن اﺑ ﻦ أم ﻣﻜﺘ ﻮم ﻓﻜﻠ ﻮا‬:‫ ﻗ ﺎل رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ﻋ ﻦ أﻧﻴ ﺴﺔ ﺑﻨ ﺖ ﺣﺒﻴ ﺐ ﻗﺎﻟ ﺖ‬
‫ وإذا أذن ﺑ ﻼل ﻓ ﻼ ﺗ ﺄآﻠﻮا وﻻ ﺗ ﺸﺮﺑﻮا(( ﻓ ﺈن آﺎﻧ ﺖ اﻟﻮاﺣ ﺪة ﻣﻨ ﺎ ﻟﻴﺒﻘ ﻰ ﻋﻠﻴﻬ ﺎ اﻟ ﺸﻴﺊ ﻣ ﻦ‬,‫واﺷ ﺮﺑﻮا‬
‫ أﻣﻬ ﻞ ﺣﺘ ﻰ أﻓ ﺮغ ﻣ ﻦ ﺳ ﺤﻮرى(( ]رواﻩ اﻟﻨ ﺴﺎﺋﻰ وأﺣﻤ ﺪ واﻟﺤ ﺪﻳﺚ ﺻ ﺤﻴﺢ‬:‫ ﻓﺘﻘ ﻮل ﻟ ﺒﻼل‬,‫ﺳ ﺤﻮرهﺎ‬
[‫اﻹﺳﻨﺎد‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Apabila Ibn Ummi Maktum adzan, kalian masih boleh untuk
makan dan minum. Namun, apabila Bilal sudah adzan, maka janganlah kalian makan dan minum".
Unaisah berkata: "Apabila salah seorang dari kami masih ada sesuatu yang dimakan dalam sahurnya,
kami berkata kepada Bilal: "Lambatkan adzannya, sehingga saya selesai dari sahur saya" (HR. Nasai,
Ahmad).
Dari hadits ini ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan. Pertama, bahwa tukang adzan pada
masa Rasulullah saw itu ada dua orang: Ibn Ummi Maktum (seorang sahabat Rasulullah saw yang
buta) dan Bilal. Ibnu Ummi Maktum bertugas untuk adzan awal (adzan yang dilakukan sebelum waktu
Shubuh, biasanya adzan ini untuk mengingatkan bahwa waktu Shubuh sudah dekat oleh karenanya
bersiap-siaplah), sedangkan Bilal bertugas untuk adzan Shubuh. Kedua, pada masa Rasulullah saw,
adzan waktu pagi hari dua kali; adzan awal (sebelum shubuh) dan adzan Shubuh. Ketiga, hadits ini
juga mengisyaratkan bahwa apabila seseorang sedang sahur dan belum habis makan sahurnya, lalu
tiba-tiba adzan Shubuh berkumandang, maka ia masih boleh meneruskan makanannya sampai adzan
Shubuh tersebut berakhir sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Bahkan, di bawah ini hadits yang lebih tegas lagi yang membolehkan seseorang yang masih makan
sahur sementara adzan Shubuh sudah dikumandangkan, untuk terus menghabiskan makanannya
sampai adzan tersebut berakhir:
‫ واﻹﻧ ﺎء ﻋﻠ ﻰ ﻳ ﺪﻩ‬,‫ )) إذا ﺳ ﻤﻊ أﺣ ﺪآﻢ اﻟﻨ ﺪاء‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻗﺎل‬
[‫ﻓﻼ ﻳﻀﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﻀﻰ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻣﻨﻪ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺤﺎآﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan (maksudnya
adzan Shubuh), sementara tangannya masih memegang piring (maksudnya masih makan sahur), maka
janganlah meletakkan piring tersebut sehingga ia menghabiskannya" (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Meski demikian, tentu agar lebih hati-hati (ikhtiyat), sebaiknya sahur tersebut sudah selesai
sebelum adzan Shubuh tiba.
3. Menyegerakan berbuka
Termasuk amalan sunnah lainnya selama bulan Ramadhan adalah bersegera dalam berbuka. Hal
ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
((‫ ﻣ ﺎ ﻋﺠﻠ ﻮا اﻟﻔﻄ ﺮ‬,‫ ))ﻻﻳ ﺰال اﻟﻨ ﺎس ﺑﺨﻴ ﺮ‬:‫ﻋﻦ ﺳﻬﻞ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Orang-orang akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka
bersegera dalam berbuka (berbuka puasa)" (HR. Bukhari Muslim).
4. Apabila ada, sebaiknya makanan pertama untuk berbuka adalah kurma atau air
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
‫ ﻓ ﺈن ﻟ ﻢ ﺗﻜ ﻦ‬,‫ ))آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻳﻔﻄ ﺮ ﻋﻠ ﻰ رﻃﺒ ﺎت ﻗﺒ ﻞ أن ﻳ ﺼﻠﻰ‬:‫ﻋﻦ أﻧﺲ ﻗﺎل‬
[‫ ﻓﺈن ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺣﺴﺎ ﺣﺴﻮات ﻣﻦ اﻟﻤﺎء(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ‬,‫رﻃﺒﺎت ﻓﻌﻠﻰ ﺗﻤﺮات‬
Artinya: Anas berkata: "Rasulullah saw apabila berbuka puasa beliau memakan beberapa biji ruthab
(kurma basah, masih muda, biasanya masih berwarna merah) terlebih dahulu sebelum melakukan
shalat. Apabila tidak ada ruthab, beliau makan tamar (kurma yang sudah dipendam dan dimasakkan
-8-
biasanya berwarna hitam). Apabila tidak ada juga, beliau berbuka dengan satu teguk air minum" (HR.
Abu Dawud dan haditsnya Hasan).
Mengapa lebih baik berbuka terlebih dahulu dengan kurma atau air? Dalam hal ini Ibnu Qayyim
dalam bukunya, Zadul Ma'ad (2/50,51) berkata: "Secara tabiatnya, makanan yang manis umumnya
lebih diterima oleh perut, juga lebih memberikan kekuatan tubuh di samping kekuatan
penglihatan….Adapun dengan air, karena hati dengan adanya puasa, ia menjadi kering. Apabila sudah
dibasahi hati tersebut dengan air, maka proses bekerjanya akan sempurna lagi ketika nanti diisi dengan
makanan apa saja. Oleh karena itu, orang yang sedang haus dan lapar sebaiknya memulai berbuka
mereka dengan sedikit air, kemudian setelah itu baru makan. Kedua hal ini terdapat dalam kurma dan
air yang di antara kekhususan keduanya ini adalah dapat memperbaiki hati. Dan tentu hal ini tidak
dapat diketahui kecuali oleh para dokter hati sendiri".
5. Berdoa ketika berbuka puasa
Termasuk amalan sunnah lainnya selama berpuasa adalah berdoa ketika berbuka. Dalam sebuah
hadits disebutkan:
,‫ق‬
ُ ‫ﺖ ا ْﻟ ُﻌ ُﺮ ْو‬
ِ ‫ﻈ َﻤ ُﺄ وَا ْﺑ َﺘﱠﻠ‬
‫ﺐ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ )) َذ َه‬:‫ آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إذا أﻓﻄﺮ ﻗ ﺎل‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل‬
[‫ﻦ‬
ٍ ‫ﷲ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺴ‬
ُ ‫ن ﺷَﺎ َء ا‬
ْ ‫ﺟ ُﺮ ِإ‬
ْ‫ﻷ‬
َ ‫ﺖ ْا‬
َ ‫َو َﺛ َﺒ‬
Artinya: "Ibnu Umar berkata: "Rasulullah saw apabila beliau berbuka puasa, beliau membaca doa:
"Dzahabad dhama'u wabtallatil 'uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah (Ya Allah, telah hilang rasa
dahaga, telah basah tenggorokan, telah didapatkan pahala, insya Allah" (HR. Abu Dawud dan hadits
tersebut Hasan).
6. Rajin bersedekah, membaca dan menelaah serta mengkaji al-Qur'an
Hal ini di antaranya didasarkan kepada hadits berikut ini:
‫ وآﺎن أﺟﻮد ﻣ ﺎ ﻳﻜ ﻮن ﻓ ﻰ‬,‫ آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﺟﻮد اﻟﻨﺎس‬:‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل‬
‫ ﻓﻠﺮﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ‬,‫ ﻓﻴﺪارﺳﻪ اﻟﻘﺮﺁن‬,‫ وآﺎن ﻳﻠﻘﺎﻩ ﻓﻰ آﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ رﻣﻀﺎن‬,‫رﻣﻀﺎن ﺣﻴﻦ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﺟﺒﺮﻳﻞ‬
(‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﺟﻮد ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﺮﻳﺢ اﻟﻤﺮﺳﻠﺔ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
Artinya: Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih
dermawan lagi apabila pada bulan Ramadhan ketika Jibril datang menemuinya. Jibril seringkali
menemui Rasulullah saw tiap malam pada bulan Ramadhan, ia mengajarkan al-Qur'an kepadanya.
Sungguh Rasulullah saw itu adalah orang yang lebih dermawan dengan hartanya, dan beliau lebih
dermawan lagi dari pada angin yang berhembus" (HR. Bukhari Muslim).
Untuk lebih jelas dan rinci bahasan ini, silahkan lihat pada makalah pertama tentang serial
Ramadhan Karim.
7. Menjauhi sedapat mungkin dari perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan pahala puasa.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa puasa bukan sekedar menjaga mulut dan perut dari
makanan dan berhubungan badan di siang hari, akan tetapi juga sebaiknya puasa itu menahan dan
mencegah seluruh tubuh dari perbuatan dosa dan maksiat, seperti berdusta, ghibah dan lainnya.
Oleh karena itu, Imam Ghazali membagi puasa ini menjadi tiga kelompok. Puasa awwam yaitu
puasa mereka yang hanya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa saja. Kedua, puasa
khusus atau puasa khawas, yaitu puasa orang yang bukan sekedar menjaga hal-hal yang membatalkan
puasa, akan tetapi juga menjaga seluruh anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Ketiga,
puasa khususil khusus yaitu puasa yang lebih tinggi lagi dari kedua macam di atas, bukan semata
menjaga hal-hal yang dapat membatalkan puasa, anggota badan pada bulan Ramadhan akan tetapi
juga pada bulan-bulan lainnya selain Ramadhan.
Pentingnya menjaga anggota badan dari perbuatan dosa ini karena didasarkan kepada hadits
berikut ini:
‫ ))ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺪع ﻗﻮل اﻟﺰور واﻟﻌﻤﻞ ﺑ ﻪ ﻓﻠ ﻴﺲ ﷲ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻗﺎل‬
[‫ﺣﺎﺟﺔ ﻓﻰ أن ﻳﺪع ﻃﻌﺎﻣﻪ وﺷﺮاﺑﻪ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan
kotor dan jahatnya, maka Allah tidak akan memberikan pahala dari meninggalkan makan dan
minumnya" (HR. Bukhari).

-9-
‫ ))اﻟ ﺼﻴﺎم ﺟﻨ ﺔ ﻣ ﺎﻟﻢ ﻳﺨﺮﻗﻬ ﺎ(( ﻗﻴ ﻞ وﺑ ﻢ ﻳﺨﺮﻗﻬ ﺎ؟‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ ))ﺑﻜﺬب أو ﻏﻴﺒﺔ(( ]رواﻩ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ‬:‫ﻗﺎل‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa itu adalah perisai selama tidak dilobanginya". Lalu
ditanyakan: "Dengan apa dilobanginya?" Rasulullah saw menjawab: "Dengan berbohong atau berbuat
ghibah (menceritakan kejelekan dan kejahatan orang lain dengan maksud kebencian)" (HR. Thabrani).
Namun demikian para jumhur Ulama berpendapat bahwa perbuatan dosa dan maksiat tersebut
tidak membatalkan puasa hanya mengurangi pahala puasa saja. Untuk lebih jelasnya lihat makalah
sebelumnya.
8. Selalu ingat dan mengatakan: Inni Shaaim (saya sedang berpuasa)
Orang yang sedang berpuasa sebaiknya selalu ingat bahwa ia sedang berpuasa. Dengan mengingat
seperti itu, maka segala gerak dan langkahnya akan terawasi dan terjaga dari perbuatan-perbuatan
dosa. Karena, sebagaimana dijelaskan pada makalah sebelumnya, bahwa puasa itu adalah Junnah,
tameng, perisai dari perbuatan dosa. Oleh karena itu juga, apabila ada orang lain yang mengajak
bertengkar atau mencaci memaki, yang sedang berpuasa, maka katakanlah bahwa: Inni Shaaim (saya
sedang berpuasa). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
‫ ))إذا آ ﺎن ﻳ ﻮم ﺻ ﻮم أﺣ ﺪآﻢ ﻓ ﻼ ﻳﺮﻓ ﺚ وﻻ‬:‫ﻋﻦ أﺑ ﻲ هﺮﻳ ﺮة أن رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ إﻧﻰ ﺻﺎﺋﻢ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬:‫ ﻓﺈن ﺷﺎﺗﻤﻪ أﺣﺪ أو ﻗﺎﺗﻠﻪ ﻓﻠﻴﻘﻞ‬,‫ وﻻ ﻳﺠﻬﻞ‬,‫ﻳﺼﺨﺐ‬
Artinya: Rasulullah saw berikut ini: "Apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka
janganlah ia berkata-kata kotor dan bertengkar, juga jangan bertindak bodoh. Apabila seseorang
mencaci atau memaki kamu maka katakanlah: "Saya sedang berpuasa". (HR. Bukhari Muslim).
Untuk lebih menambah wawasan dan keterangan seputar sub ini, silahkan lihat kembali makalah
penulis sebelumnya.
Demikian di antara amalan sunnah yang perlu dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan
puasa khususnya di bulan Ramadhan. Semua ini tentu akan lebih memperbanyak dan mempertebal pahala
ibadah puasa kita. Semoga kita dapat melaksanakannya, amin.

Hal-hal yang membatalkan puasa


Para ulama telah sepakat bahwa yang membatalkan puasa itu ada tiga, makan, minum disengaja
dan hubungan badan di siang hari. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
‫ﺳ َﻮ ِد‬
ْ ‫ﻂ ا ْﻟَﺄ‬
ِ ‫ﺨ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺾ ِﻣ‬
ُ ‫ﻂ ا ْﻟ َﺄ ْﺑ َﻴ‬
ُ ‫ﺨ ْﻴ‬
َ ‫ﺷ َﺮﺑُﻮا ﺣَ ﱠﺘ ﻰ ﻳَﺘَﺒَ ﱠﻴﻦَ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ‬
ْ ‫ﺐ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ َو ُآﻠُﻮا وَا‬ َ ‫ﺷﺮُو ُهﻦﱠ وَا ْﺑ َﺘﻐُﻮا ﻣَﺎ َآ َﺘ‬ ِ ‫ن ﺑَﺎ‬ َ ‫ﻓَﺎ ْﻟﺂ‬
(187 :‫ﻞ )اﻟﺒﻘﺮة‬ ِ ‫ﺼﻴَﺎ َم ِإﻟَﻰ اﻟﱠﻠ ْﻴ‬
‫ﺠ ِﺮ ُﺛﻢﱠ َأ ِﺗﻤﱡﻮا اﻟ ﱢ‬
ْ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻔ‬
َ ‫ِﻣ‬
Artinya: "Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS. Al-Baqarah: 187).
Sekalipun para ulama telah sepakat dalam tiga hal di atas, namun mereka berselisih dalam
perinciannya sebagaimana akan diulas di bawah ini (lihat Bidayatul Mujtahid: 1/431).
Secara garis besar, yang membatalkan puasa dapat dikelompokkan kepada dua bagian:
1. Membatalkan puasa dan wajib qadha
Yang termasuk ke dalam bagian ini adalah:
1) Makan dan minum yang disengaja.
Namun apabila ia lupa makan dan minum, maka tidak membatalkan puasa dan tidak wajib
qadha. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
,‫ ))ﻣ ﻦ ﻧ ﺴﻲ—وه ﻮ ﺻ ﺎﺋﻢ—ﻓﺄآ ﻞ أو ﺷ ﺮب‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳ ﺮة أن اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ ﻓﺈﻧﻤﺎ أﻃﻌﻤﻪ اﷲ وﺳﻘﺎﻩ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬,‫ﻓﻠﻴﺘﻢ ﺻﻮﻣﻪ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang lupa, ketika dia sedang berpuasa, lalu
makan dan minum, maka teruskanlah puasanya, karena itu berarti Allah telah memberi makan dan
minum orang tersebut" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain dikatakan:
‫ ))إن اﷲ وﺿ ﻊ ﻋ ﻦ أﻣﺘ ﻰ اﻟﺨﻄ ﺄ واﻟﻨ ﺴﻴﺎن وﻣ ﺎ‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫اﺳﺘﻜﺮهﻮا ﻋﻠﻴﻪ(( ]رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ واﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ واﻟﺤﺎآﻢ‬
- 10 -
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan dari ummatku karena salah,
lupa dan dipaksa" (HR. Ibn Majah, Thabrani dan Hakim).
2) Muntah disengaja.
Hal ini didasarkan kepad hadits berikut ini:
‫ وﻣ ﻦ‬,‫ ))ﻣ ﻦ ذرﻋ ﻪ اﻟﻘ ﻰء ﻓﻠ ﻴﺲ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻗ ﻀﺎء‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳ ﺮة أن اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫اﺳﺘﻘﺎء ﻋﻤﺪا ﻓﻠﻴﻘﺾ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬى وﺻﺤﺤﻪ اﻷﻟﺒﺎﻧﻰ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah (tidak disengaja),
maka ia tidak perlu mengqadha (tidak membatalkan puasa). Namun, barangsiapa yang muntah
dengan disengaja, maka ia harus mengqadha" (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan disahihkan oleh
Syaikh Albani).
3) Haid dan nifas.
Para ulama telah sepakat, wanita yang haid dan nifas sekalipun sebentar pada penghujung
siang, maka puasanya menjadi batal dan ia harus mengqadhanya.
4) Melakukan masturbasi dengan disengaja (istimna')
Menurut jumhur ulama orang yang melakukan masturbasi pada siang hari di bulan Ramadhan,
maka puasanya batal dan ia wajib qadha pada hari yang lain (al-Umm: 2/86), al-Mughni (3/48),
Raudhatut Thalibin: 2/104).
Sedangkan menurut Ibn Hazm dalam bukunya, al-Muhalla:6/203-205, berpendapat bahwa
orang yang mengeluarkan sperma tanpa melalui hubungan badan, misalnya dengan melakukan
onani atau yang lainnya selama bukan jima', baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak
membatalkan puasa. Artinya, orang tersebut masih boleh meneruskan puasanya sampai maghrib
tiba. Alasan yang dikemukakan Ibn Hazm adalah:
‫وﻟﻢ ﻳﺄت ﺑﺬﻟﻚ ﻧﺺ وﻻ إﺟﻤﺎع وﻻ ﻗﻮل ﺻﺎﺣﺐ وﻻ ﻗﻴﺎس‬
Artinya: "Hal tersebut dikarenakan untuk masalah tadi tidak ada keterangannya baik dari nash,
Ijma', qaul shahabi maupun qiyas".
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapatnya Jumhur
ulama, bahwa orang yang melakukan mengeluarkan spermanya dengan sengaja pada siang hari
bulan Ramadhan, puasanya menjadi batal dan ia wajib mengqadha pada hari lainnya. Hal ini
dikarenakan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa "orang yang berpuasa itu meninggalkan
makan, minum dan syahwatnya karenaKu" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang berpuasa seharusnya bukan hanya menahan
makan dan minum, akan tetapi juga syahwat. Melakukan onani dan masturbasi jelas termasuk
perbuatan yang didasarkan syahwat buktinya sampai mengeluarkan air mani yang dalam sisi ini,
sama dengan orang yang melakukan hubungan badan dalam hal sama-sama setelahnya
mengeluarkan air mani. Oleh karena berdasarkan syahwat inilah, maka mengeluarkan sperma
dengan sengaja termasuk yang membatalkan puasa dan orang tersebut wajib mengqadha pada hari
lainnya.
5) Niat berbuka dengan hatinya
Apabila orang yang berpuasa berniat dalam hatinya bahwa ia telah membatalkan puasanya
dengan penuh kesadaran bahwa ia sedang berpuasa, disengaja dan niat yang bulat, maka puasanya
menjadi batal sekalipun ia belum makan atau minum dan orang yang melakukannya wajib
mengqadha pada hari lainnya. Hal ini dikarenakan dalam sebuah hadits disebutkan:
(‫ﻟﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎ ﻧﻮى )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬
Artinya: "Segala sesuatu itu tergantung apa yang diniatkannya" (HR.Bukhari).
Oleh karena itu, orang yang berpuasa apabila sedang berada di atas bus, lalu terdengar adzan
maghrib dan ia tidak membawa makanan untuk berbuka, maka cukup diniatkan dalam hatinya
bahwa saat itu ia telah berbuka. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Syafi'i, Dhahiriyyah, Abu
Tsaur dan Imam Ahmad (al-Muhalla: 6/175, al-Majmu': 6/314).

6) Murtad dari agama Islam

- 11 -
Para ulama sepakat bahwa orang yang keluar dari agama Islam, maka puasanya menjadi batal
dan apabila ia kembali lagi ke agama Islam, ia wajib mengqadha puasanya itu (lihat dalam al-
Mughni: 3/25).
2. Membatalkan puasa dan wajib qadha serta membayar kifarat (tebusan, denda)
Yang termasuk ke dalam kelompok kedua ini hanyalah jima (berhubungan badan suami isteri di
siang hari).
Dalil bahwa orang yang melakukan jima batal puasanya dan wajib membayar kifarat adalah hadits
di bawah ini:
,‫ ﻳ ﺎ رﺳ ﻮل اﷲ‬:‫ ﻓﻘ ﺎل‬,‫ ﺑﻴﻨﻤﺎ ﻧﺤﻦ ﺟﻠﻮس ﻋﻨﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إذ ﺟﺎءﻩ رﺟ ﻞ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻗﺎل‬
‫ ))ه ﻞ‬:‫ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳ ﻠﻢ‬,‫ وﻗﻌﺖ ﻋﻠﻰ اﻣﺮأﺗﻰ وأﻧﺎ ﺻﺎﺋﻢ‬:‫ ﻗﺎل‬,((‫ ))ﻣﺎ ﻟﻚ؟‬:‫ ﻗﺎل‬,‫هﻠﻜﺖ‬
‫ ))ﻓﻬ ﻞ ﺗﺠ ﺪ‬:‫ ﻗ ﺎل‬,‫ ﻻ‬:‫ ))ﻓﻬﻞ ﺗﺴﺘﻄﻴﻊ أن ﺗﺼﻮم ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘ ﺎﺑﻌﻴﻦ؟(( ﻗ ﺎل‬:‫ ﻗﺎل‬,‫ ﻻ‬:‫ﺗﺠﺪ رﻗﺒﺔ ﺗﻌﺘﻘﻬﺎ؟(( ﻗﺎل‬
‫ ﻓﺒﻴﻨﻤ ﺎ ﻧﺤ ﻦ ﻋﻠ ﻰ ذﻟ ﻚ أﺗ ﻰ اﻟﻨﺒ ﻲ‬,‫ ﻓﺴﻜﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ ﻗﺎل‬,‫ ﻻ‬:‫إﻃﻌﺎم ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ؟(( ﻗﺎل‬
‫ ))ﺧ ﺬ ه ﺬا ﻓﺘ ﺼﺪق ﺑ ﻪ(( ﻓﻘ ﺎل‬:‫ ﻗ ﺎل‬,‫ أﻧ ﺎ‬:‫ ))أﻳ ﻦ اﻟ ﺴﺎﺋﻞ؟(( ﻓﻘ ﺎل‬:‫ ﻗﺎل‬,‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺑﻌﺮق ﻓﻴﻬﺎ ﺗﻤﺮ‬
‫ ﻓ ﻀﺤﻚ اﻟﻨﺒ ﻲ‬,‫ ﻋﻠﻰ أﻓﻘﺮ ﻣﻨﻰ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ؟ ﻓﻮ اﷲ ﻣ ﺎ ﺑ ﻴﻦ ﻻﺑﺘﻴﻬ ﺎ أه ﻞ ﺑﻴ ﺖ أﻓﻘ ﺮ ﻣ ﻦ أه ﻞ ﺑﻴﺘ ﻰ‬:‫اﻟﺮﺟﻞ‬
[‫ ))أﻃﻌﻤﻪ أهﻠﻚ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬:‫ ﺛﻢ ﻗﺎل‬,‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺣﺘﻰ ﺑﺪت أﻧﻴﺎﺑﻪ‬
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Ketika kami duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang
laki-laki berkata: "Ya Rasulullah, celaka" Rasulullah bertanya: "Emang ada apa?". Ia menjawab: "Saya
melakukan hubungan badan dengan isteri saya padahal saya sedang berpuasa". Rasulullah saw bersabda:
"Apakah kamu mampu untuk membebaskan seorang budak?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah
saw bertanya kembali: "Apakah kamu mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?" Laki-laki itu
menjawab: "Tidak". Rasulullah saw bertanya kembali: "Apakah kamu dapat memberi makan enam puluh
orang miskin?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah saw lalu terdiam sejenak. Tidak lama
kemudian, dibawakan kepada Rasulullah saw sekeranjang kurma. Rasulullah saw bertanya kembali:
"Mana orang yang bertanya tadi?" Laki-laki itu menjawab: "Saya di sini". Rasulullah saw bersabda
kembali: "Bawa kurma ini dan sedekahkanlah". Laki-laki itu berkata kembali: "Kepada orang yang lebih
miskin dari saya, Rasulullah? Demi Allah tidak ada keluarga yang paling miskin di antara dua ujung kota
ini selain keluarga saya". Rasulullah saw tertawa sehingga tampak gigi serinya, kemudian bersabda:
"Berikan kurma tersebut ke keluargamu" (HR. Bukhari Muslim).
Dari hadits ini, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang melakukan hubungan badan dengan
jalan menempelkan atau mencelupkan minimal ujung kemaluannya (taghyib al-hasyafah) pada salah satu
lobang, baik lobang depan (kemaluan wanita, qubul) ataupun belakang (dubur, pantat), membatalkan
puasa dan pelakuknya wajib membayar kifarat berikut mengqadha puasanya pada hari yang lain, baik
sampai mengeluarkan air mani, maupun tidak.

Apakah wanitanya juga wajib membayar kifarat?


Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dan terbagi kepada tiga kelompok. Kelompok pertama
yakni madzhab Syafi'i dan satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa wanita yang melakukan
hubungan badan tidak wajib membayar kifarat. Yang wajib membayar kifarat hanyalah laki-lakinya saja.
Hal ini lantaran dalam hadits di atas, Rasulullah saw hanya memerintahkan laki-laki saja untuk membayar
kifarat tersebut dan tidak memerintahkan wanitanya juga. Oleh karena itu, yang wajib membayar kifarat
hanyalah laki-lakinya saja.
Kelompok kedua berpendapat bahwa cukup satu kifarat saja. Namun, apabila kifaratnya berupa
puasa dua bulan berturut-turut, maka yang harus melakukannya adalah keduanya. Pendapat ini adalah
pendapatnya Imam Auza'i. Pendapat kedua ini tidak didasarkan kepada dalil yang kuat yang menguatkan
pendapatnya.
Ketiga, jumhur ulama berpendapat bahwa wanita pun wajib membayar kifarat. Hal ini lantaran
beberapa alasan:
1. Baik laki-laki maupun wanita yang melakukannya sama-sama telah mencemarkan kehormatan bulan
Ramadhan, oleh karena itu wanita pun wajib membayar kifarat. Di samping itu, dalam ajaran Islam,
hukum bagi laki-laki dan perempuan tidak dibedakan kecuali ada dalil yang tegas membedakannya.

- 12 -
Karena dalam kasus ini tidak ada dalil yang membedakannya, maka ketentuan hukumnya disamakan
dengan laki-laki yakni sama-sama wajib membayar kifarat.
2. Mengenai alasan bahwa dalam hadits di atas Rasulullah saw tidak memerintahkan si wanita untuk
membayar kifarat, hal ini tidak dapat dijadikan alasan kuat, karena boleh jadi saat itu si wanita sedang
ada udzur untuk tidak puasa, misalnya sakit, bepergian atau lupa.
3. Boleh jadi Rasulullah saw tidak memerintahkan wanita tersebut untuk membayar kifarat juga lantaran
Rasulullah saw mengetahui kondisi ekonominya yang lemah. Oleh karena itu, tentu ini tidak menutup
kewajiban keduanya, laki-laki dan wanita untuk sama-sama membayar kifarat.
Dari ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat jumhur ulama,
bahwa baik laki-laki maupuan wanita yang melakukan hubungan badan di siang hari dengan sengaja,
keduanya wajib membayar kifarat berikut qadha. Wallahu 'alam.

Apakah membayar kifarat mesti berurutan?


Dalam hadits di atas nampak bahwa orang yang melakukan hubungan badan di siang hari harus
membayar kifarat (denda, tebusan) berikut ini dengan cara memilih salah satunya berdasarkan urutan
berikut ini: membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan fakir miskin
sebanyak enam puluh orang. Namun, persoalannya apakah kifarat tersebut harus berurutan artinya yang
pertama kali harus dilakukan adalah membebaskan budak, apabila tidak ada diganti dengan puasa dua
bulan berturut-turut dan apabila tidak ada dengan memberi makan enam puluh fakir miskin?
Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam membayar kifarat tersebut haruslah berurutan dimulai
dari membebaskan budak sampai memberi makan enam puluh fakir miskin. Menurut jumhur, tidak boleh
seseorang kifarahnya berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali ia tidak mampu untuk membebaskan
budak terlebih dahulu. Demikian juga tidak boleh dengan memberi makan enam puluh fakir miskin,
melainkan apabila ia tidak mampu membebaskan budak dan tidak dapat berpuasa selama dua bulan
berturut-turut (lihat al-Mughni: 3/344, Bidayatul Mujtahid: 1/451, dan Fathul Bari: 4/198).
Sedangkan menurut Imam Malik, boleh memilih salah satu dari ketiga hal tersebut menurut
kemampuan dan kehendaknya. Hal ini lantaran terdapat sebuah hadits lain yang membolehkan memilih
tersebut, yakni:
‫ أو‬,‫ ﻓ ﺄﻣﺮﻩ اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ أن ﻳﻜﻔ ﺮ ﺑﻌﺘ ﻖ رﻗﺒ ﺔ‬,‫ أن رﺟﻼ أﻓﻄ ﺮ ﻓ ﻰ رﻣ ﻀﺎن‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة‬
(‫ أو إﻃﻌﺎم ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬,‫ﺻﻴﺎم ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﻴﻦ‬
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwasannya seorang laki-laki pernah berbuka pada bulan Ramadhan.
Rasulullah saw lalu memerintahkan orang tersebut untuk menebusnya dengan jalan membebaskan budak
atau puas dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh fakir miskin" (HR. Muslim).
Dari kedua pendapat ini nampak bahwa Jumhur mencoba menggunakan metode tarjih
(mendahulukan dalil yang lebih kuat). Hadits yang menunjukkan tartib diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim, sementara yang membolehkan takhyir (memilih) diriwayatkan oleh Imam Muslim saja, dan tentu
riwayat Imam Bukhari Muslim lebih kuat dan lebih rajih dari pada riwayat Imam Muslim saja, dan
karenanya lebih didahulukan daripada hadits Imam Muslim. Untuk itu, jumhur tetap berkesimpulan bahwa
kafarat tersebut harus dibayar secara berurutan bukan dengan jalan memilih. Pendapat ini, hemat penulis,
lebih tepat dan lebih hati-hati, wallahu 'alam.

Bagaimana kalau melakukan jima'nya berkali-kali?


Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa ketentuan berikut (lihat dalam Bidayatul Mujtahid:
1/453, al-Mughni: 3/341, dan al-Majmu': 6/370):
1. Apabila seseorang melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan, lalu membayar
kifarat, lalu berhubungan badan lagi pada hari yang lain, maka para ulama telah sepakat (ijma'), bahwa
ia harus membayar kifarat yang lain lagi.
2. Apabila dalam satu hari melakukan hubungan badan berkali-kali, maka ia tidak wajib membayar
kifarat selain satu kali saja. Hal ini sudah merupakan Ijma (kesepakatan) para ulama.
3. Apabila seseorang melakukan hubungan badan di siang hari Ramadhan dengan sengaja, lalu sebelum
ia membayar kifaratnya ia melakukan hubungan badan lagi pada hari yang lain, maka para ulama
terbagi dua pendapat.

- 13 -
Pertama, Imam Malik dan Syafi'i dan para ulama lainnya, berpendapat bahwa setiap hari ia wajib
membayar kifarat, karena setiap hari itu adalah ibadah tersendiri.
Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Auza'i dan az-Zuhri bahwa ia cukup membayar satu
kifarat saja selama belum membayar kifarat untuk jima' yang pertama. Hal ini karena dikiaskan
(dianalogkan) kepada masalah had. Bahwa orang yang melakukan pelanggaran berkali-kali dan belum
dihad (dihukum), maka ketika akan dihad (dihukum), cukup satu had saja. Namun, hemat penulis
pendapat Jumhur lebih rajih. Wallahu a'alam.

Hal-hal yang dibolehkan bagi orang sedang berpuasa (tidak membatalkan puasa)
Ada beberapa hal yang boleh dilakukan atau boleh terjadi bagi seseorang yang sedang melakukan
ibadah puasa (tidak membatalkan puasa):
1. Dalam keadaan junub sampai terbit pajar
Bagi suami isteri yang pada malam hari melakukan hubungan badan atau bagi pemuda pemudi
yang mimpi sehingga 'basah', boleh untuk tidak mandi terlebih dahulu sekalipun fajar sudah terbit
(sudah Shubuh). Kemudian ia mandi besar setelah Shubuh dan berpuasa seperti biasa. Namun, mandi
terlebih dahulu sebelum terbit fajar (sebelum waktu Shubuh tiba), tentu hal tersebut lebih baik dan
lebih utama. Bolehnya sampai terbit fajar masih dalam keadaan junub, adalah didasarkan kepada
hadits berikut ini:
‫ ))أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ آ ﺎن ﻳﺪرآ ﻪ اﻟﻔﺠ ﺮ وه ﻮ ﺟﻨ ﺐ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ وأم ﺳﻠﻤﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬
[‫ﻣﻦ أهﻠﻪ ﺛﻢ ﻳﻐﺘﺴﻞ وﻳﺼﻮم(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Dari Aisyah dan Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah saw pernah masih dalam
keadaan junub (setelah berhubungan badan dengan isterinya) padahal fajar telah terbit. Beliau
kemudian mandi besar (setelah waktu fajar terbit) lalu berpuasa" (HR. Bukhari Muslim).
2. Memakai siwak dan gosok gigi
Dalam makalah pertama memang disebutkan bahwa bau mulut orang yang sedang berpuasa di sisi
Allah lebih wangi dari pada minyak kasturi, namun ini tidak berarti bahwa orang yang berpuasa tidak
boleh membersihkan gigi dan mulutnya dengan anggapan semakin bau mulutnya, tentu semakin wangi
di sisi Allah. Maksud hadits tersebut adalah untuk bau mulut yang alami, tidak dibuat-buat, yang pada
umumnya orang yang terlambat mengisi perutnya dengan makanan, akan menimbulkan bau mulut
yang kurang sedap.
Sedangkan mereka yang dengan sengaja membaukan mulutnya, tanpa menggosok gigi setelah
sahur, misalnya, tentu hal ini dilarang dalam ajaran Islam, karena disamping akan menimbulkan
'pencemaran', juga akan menimbulkan kemadaratan bagi orang lain. Untuk itu, dalam ajaran Islam,
bersiwak atau menggosok gigi, selama tidak terlalu tebal odolnya dan tidak berlebihan, tetap
diperbolehkan. Bolehnya orang yang sedang berpuasa menggosok gigi pada siang hari adalah
berdasarkan keumuman hadits berikut ini:
((‫ ))ﻟ ﻮﻻ أن أﺷ ﻖ ﻋﻠ ﻰ أﻣﺘ ﻰ ﻷﻣ ﺮﺗﻬﻢ ﺑﺎﻟ ﺴﻮاك ﻋﻨ ﺪ آ ﻞ وﺿ ﻮء‬:‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
[‫]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Kalaulah tidak akan memberatkan kepada ummatku, pasti akan
aku perintahkan mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap kali berwudhu" (HR. Bukhari
Muslim).
Dari hadits di atas, Imam Bukhari, Ibn Khuzaemah dan Ibnu Hajar al-Asqalany (lihat dalam Fathul
Bari: 4/158) berpendapat bahwa hadits di atas umum, meliputi baik bagi orang yang sedang berpuasa
maupun yang tidak berpuasa. Oleh karena itu, hadits di atas menjadi dalil bahwa memakai siwak juga
menggosok gigi bagi orang yang sedang berpuasa serta bagi yang bukan sedang berpuasa
diperbolehkan setiap kali berwudhu dan shalat. Namun untuk gosok gigi, sebaiknya tidak dilakukan
siang hari, dan lakukanlah pada malam hari untuk menjaga masuknya odol atau pasta gigi ke dalam
kerongkongan.
3. Kumur-kumur dan menghirup air ke hidung (madhmadhah dan istintsaq)
Berkumur-kumur atau menghirup air ke hidung baik ketika berwudhu maupun bukan berwudhu,
bagi orang yang sedang berpuasa diperbolehkan. Hal ini karena praktek ini pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw. Kecuali untuk menghirup air ke hidung, apabila dilakukan sedang berpuasa, sebaiknya

- 14 -
dilakukan tidak berlebihan (tidak sampai ke dalam rongga hidung sekali, cukup bagian depannya saja).
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam potongan hadits berikut ini:
‫وﺑ ﺎﻟﻎ ﻓ ﻰ اﻻﺳ ﺘﻨﺜﺎق إﻻ أن ﺗﻜ ﻮن ﺻ ﺎﺋﻤﺎ(( ]رواﻩ اﻟﺘﺮﻣ ﺬى‬...)) :‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬
[‫واﺑﻮ داود وأﺣﻤﺪ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "…dan teruskanlah dengan istintsaq (menghirup air ke dalam
hidung), kecuali jika kamu sedang berpuasa" (HR. Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibn Majah dan
Nasai).
Para ulama juga berpendapat, bahwa orang yang berpuasa boleh berkumur-kumur sekalipun bukan
ketika berwudhu atau bukan ketika mandi. Air basah yang tersisa di mulutnya setelah berkumur-
kumur, jika menelannya sebagai air ludah juga tidak membatalkan puasa, karena hal ini termasuk hal
yang sulit dihindari (maksudnya apabila berkumur-kumur otomatis basah dan ada air yang tersisa, asal
tidak disengaja saja menelan sisa-sisa air). Bahkan menurut sebagian besar ulama seperti Imam Auza'i,
Ishaq, dan Imam Syafi'i, apabila sedang berkumur-kumur tersebut, tiba-tiba ada air yang tertelan tanpa
sengaja dan tidak berlebih-lebihan, maka tidak membatalkan puasa.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, apabila sedang berkumur-kumur lalu ada air
yang tertelan sekalipun tidak disengaja, tetap membatalkan puasanya, karena sekalipun air tersebut
tertelannya tidak disengaja, namun, berkumur-kumurnya tetap disengaja (lihat dalam Raddul Mukhtar:
2/98).
4. Mencumbu dan mencium isteri
Mencumbu dan mencium isteri diperbolehkan untuk dilakukan dalam keadaan puasa. Tentu
selama tidak berlebihan dan selama tidak akan 'terjerumus' kepada perbuatan lebih dari itu yakni Jima'
(berhubungan badan). Karena, apabila sampai melakukan jima', tentu bukan saja puasanya batal, akan
tetapi ia juga harus membayar kifarah (denda, tebusan) sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti.
Ciuman dan cumbuan biasa yang tidak 'terlalu hot', diperbolehkan dilakukan dalam keadaan berpuasa.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
‫ ))آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﺒﻞ وه ﻮ ﺻ ﺎﺋﻢ وﻳﺒﺎﺷ ﺮ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ أﻧﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬
[‫ وﻟﻜﻨﻪ آﺎن أﻣﻠﻜﻜﻢ ﻹرﺑﻪ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬,‫وهﻮ ﺻﺎﺋﻢ‬
Artinya: "Siti Aisyah bertutur: "Rasulullah saw terkadang mencium dan mencumbu (isteri-isterinya
terutama Aisyah) ketika beliau sedang berpuasa. Hanya saja, beliau adalah orang yang paling dapat
mengendalikan gairah syahwatnya" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
[‫ ))آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﺒﻠﻨﻰ وهﻮ ﺻﺎﺋﻢ وأﻧﺎ ﺻﺎﺋﻤﺔ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
Artinya: Aisyah berkata: "Rasulullah saw menciumi saya ketika beliau sedang berpuasa dan saya pun
berpuasa" (HR. Abu Dawud).
Hanya saja, hal itu boleh dilaukan bagi yang sudah agak tua atau yang sudah tua. Namun, bagi
mereka yang masih muda dan masa pernikahannya masih baru, mencumbu atau mencium isterinya
dimakruhkan (sebaiknya tidak dilakukan). Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadits berikut ini:
‫ ﻳ ﺎ‬:‫ ﻓﻘ ﺎل‬,‫ ﻓﺠ ﺎء ﺷ ﺎب‬,‫ ))آﻨ ﺎ ﻋﻨ ﺪ اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ ﻗ ﺎل‬,‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ اﻟﻌ ﺎص‬
‫ ﻓﻨﻈ ﺮ‬:‫ ))ﻧﻌ ﻢ((و ﻗ ﺎل‬:‫ أﻗﺒﻞ وأﻧﺎ ﺻ ﺎﺋﻢ؟ ﻗ ﺎل‬:‫ ﻓﺠﺎء ﺷﻴﺦ ﻓﻘﺎل‬,((‫ ))ﻻ‬:‫ أﻗﺒﻞ وأﻧﺎ ﺻﺎﺋﻢ؟ ﻗﺎل‬,‫رﺳﻮل اﷲ‬
‫ ))إن اﻟ ﺸﻴﺦ ﻳﻤﻠ ﻚ ﻧﻔ ﺴﻪ(( ]رواﻩ أﺣﻤ ﺪ وﺳ ﻨﺪﻩ‬:‫ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬,‫ﺑﻌﻀﻨﺎ إﻟﻰ ﺑﻌﺾ‬
[‫ﺿﻌﻴﻒ ﻟﻀﻌﻒ اﺑﻦ ﻟﻬﻴﻌﺔ‬
Artinya: "Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata: "Ketika kami sedang berada di samping Rasulullah
saw, tiba-tiba datang seorang pemuda berkata: "Wahai Rasulullah, apakah saya boleh mencium isteri
saya ketika sedang berpuasa?" Rasulullah saw menjawab: "Tidak boleh". Tidak lama kemudian,
datang seorang kakek-kakek (atau laki-laki setengah tua) berkata: "Apakah saya boleh mencium isteri
saya ketika sedang berpuasa?" Rasulullah saw menjawab: "Boleh". Abdullah bin Amr bin al-Ash
berkata: "Lalu kami saling memandang satu sama lain (maksudnya bingung kok yang tadi dibolehkan
sementara satu lagi tidak). Rasulullah saw lalu bersabda: "Sesungguhnya laki-laki yang sudah tua itu
lebih dapat mengendalikan dirinya" (HR. Ahmad dan sanadnya dhaif karena ada seorang rawi
bernama Ibn Luhai'ah).
Namun, berkaitan dengan hadits ini, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (6/208) berkata:
- 15 -
‫ ﻓﻈﻬ ﺮ ﺑﻄ ﻼن ﻗ ﻮل ﻣ ﻦ ﻓ ﺮق ﻓ ﻰ‬,‫وآﺎﻧﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ إذ ﻣﺎت ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم ﺑﻨﺖ ﺛﻤ ﺎﻧﻰ ﻋ ﺸﺮة ﺳ ﻨﺔ‬
‫ وﺻ ﺢ أﻧﻬ ﺎ ﺣ ﺴﻨﺔ ﻣ ﺴﺘﺤﺒﺔ وﺳ ﻨﺔ ﻣ ﻦ‬,‫ إﻧﻬ ﺎ ﻣﻜﺮوه ﺔ‬:‫ وﺑﻄﻼن ﻗ ﻮل ﻣ ﻦ ﻗ ﺎل‬,‫ذﻟﻚ ﺑﻴﻦ اﻟﺸﻴﺦ واﻟﺸﺒﺎب‬
‫ وﻗﺮﺑﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺮب إﻟﻰ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻗﺘﺪاء ﺑﺎﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ‬,‫اﻟﺴﻨﻦ‬
Artinya: "Siti Aisyah ketika Rasulullah saw meninggal usianya delapan belas tahun. Dari sini nampak
bahwa pendapat yang membedakan bolehnya mencium bagi yang sudah tua dan makruh bagi yang
masih muda, adalah pendapat yang tidak tepat dan batal. Sebaliknya, mencium isteri (termasuk ketika
puasa) termasuk perbuatan yang disukai dan termasuk salah satu sunnah Rasul juga termasuk salah
satu upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan mengikuti contoh dan praktek Rasulullah
saw".
Pendapat Ibn Hazm di atas, hendak menolak adanya pemisahan antara pemuda dan orang tua
dalam mencium isterinya. Penulis juga lebih sepakat untuk mengatakan bahwa larangan mencium
tersebut lebih kepada illat, sebabnya yaitu takut sampai keluar air mani atau keterlaluan. Oleh karena
itu, selama tidak dikhawatirkan sampai mengeluarkan air mani atau sampai berbuat jima, maka
mencium isteri baik untuk yang sudah tua maupun yang masih muda, diperbolehkan dan sah-sah saja.
Namun, apabila dikhawatirkan akan menimbulkan keluarnya air mani, maka mencium isteri baik
untuk laki-laki tua maupun muda, dilarang dan dimakruhkan. Untuk masalah ini, tentu yang
bersangkutan lebih mengetahui kondisi masing-masing, apakah termasuk orang yang mudah keluar air
mani dan mudah terangsang, atau tidak. Kalau mudah mengeluarkan air mani, maka sebaiknya praktek
tersebut ditinggalkan.
Sebagian orang berpendapat bahwa kebolehan mencium isteri ketika sedang berpuasa adalah
khusus untuk Rasulullah saw saja. Pendapat ini kurang tepat, karena banyak keterangan yang
menunjukkan bahwa para sahabat pun melakukan hal demikian dan tidak dilarang oleh Rasulullah
saw. Oleh karena itu, mencium isteri ketika sedang berpuasa boleh dilakukan oleh siapa saja selama
dapat terjaga dari keluarnya air mani. Di antara riwayat yang mengatakan bahwa mencium isteri ketika
sedang berpuasa bukan kehususan Rasulullah saw, adalah hadits berikut ini:
‫ ﻓﺠﺌ ﺖ رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ‬,‫ ﻓﻘﺒﻠﺖ وأﻧﺎ ﺻ ﺎﺋﻢ‬,‫ هﺸﺸﺖ ﻳﻮﻣﺎ‬:‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ أن ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎب ﻗﺎل‬
‫ ))أرأﻳ ﺖ ﻟ ﻮ‬:‫ ﻗ ﺎل‬.‫ ﻗﺒﻠﺖ وأﻧﺎ ﺻﺎﺋﻢ‬:‫ ))وﻣﺎ هﻮ؟(( ﻗﻠﺖ‬:‫ ﻗﺎل‬,‫ ﻟﻘﺪ ﺻﻨﻌﺖ اﻟﻴﻮم أﻣﺮا ﻋﻈﻴﻤﺎ‬:‫وﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ‬
‫ ))ﻓﻔ ﻴﻢ؟(( ]رواﻩ اﺑ ﻮ داود وأﺣﻤ ﺪ واﻟﺤ ﺪﻳﺚ ﺻ ﺤﻴﺢ‬:‫ إذا ﻻ ﻳ ﻀﺮ ﻗ ﺎل‬:‫ﺗﻤﻀﻤ ﻀﺖ ﻣ ﻦ اﻟﻤ ﺎء؟(( ﻗﻠ ﺖ‬
[‫ﻟﻐﻴﺮﻩ‬
Artinya: "Jabir berkata bahwa suatu hari Umar bin Khatab berkata: "Suatu hari hati saya begitu
bahagia, sehingga saya mencium isteri saya padahal saya sedang berpuasa". Saya lalu menghadap
kepada Rasulullah saw sambil berkata: "Hari ini saya telah melakukan sesuatu yang kurang pantas".
Rasulullah saw bertanya: "Perbuatan apa itu?" Umar menjawab: "Saya telah mencium isteri ketika
saya sedang berpuasa". Rasulullah saw lalu bersabda: "Bagaimana menurut kamu (apakah
membatalkan puasa) orang yang berkumur-kumur dengan air?" Saya menjawab: "Tidak, tidak
mengapa dan tidak membatalkan". Rasulullah saw bersabda kembali: "Kalau demikian, ada apa
dengan kamu? (maksudnya kamu juga sama tidak membatalkan puasa kamu)" (HR. Abu Dawud,
Ahmad, dan haditsnya Shahih Ligairih).
5. Periksa darah dan disuntik yang bukan untuk tujuan menambah makanan dan kekuatan
tubuh.
Memeriksa golongan darah atau disuntik bagi orang yang sakit, tidak membatalkan puasa, karena
hal ini sebagaiman dikatakan oleh para ulama semisal Ibn Taimiyyah (lihat dalam Haqiqatus Shiyam
hal. 55) tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa. Kecuali apabila suntikkan itu dimaksudkan
untuk memberikan makanan kepada si pasien, maka hal tersebut dipandang membatalkan karena
intinya sama dengan memasukkan makanan melalui perutnya.
6. Berbekam (hijamah) dan donor darah
Hijamah atau dibekam pada awalnya termasuk perkara yang membatalkan puasa. Namun, tidak
lama setelah itu, dinasakh (dihapus) sehingga bukan lagi termasuk yang membatalkan puasa (untuk
lebih jelasnya mengenai persoalan ini, lihat dalam Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu hal. 334-338
karya Ibn Syahiin). Dalil bolehnya melakukan bekam bagi orang yang sedang berpuasa adalah:
[‫ ))أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﺣﺘﺠﻢ وهﻮ ﺻﺎﺋﻢ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬
- 16 -
Artinya: "Ibn Abbas bertutur bahwasannya Rasulullah saw melakukan bekam ketika beliau sedang
berpuasa" (HR. Bukhari).
Demikian juga dengan praktek donor darah, diperbolehkan dan tidak membatalkan ibadah puasa.
7. Mencicipi masakan, makanan
Mencicipi makanan biasanya banyak dilakukan oleh ibu-ibu ketika memasak. Praktek seperti ini
diperbolehkan dengan catatan bahwa masakan yang dicicipi tersebut tidak sampai ke tenggorokan.
Jadi hanya nempel dilidah sedikit saja, lalu segera diludahkan. Hal ini sebagaimana dituturkan dalam
sebuah riwayat dari Ibn Abbas berikut ini:
‫ ))ﻻ ﺑﺄس أن ﻳﺬوق اﻟﺨﻞ أو اﻟﺸﻴﺊ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﺣﻠﻘﻪ وهﻮ ﺻﺎﺋﻢ(( ]رواﻩ اﻟﺒﻴﻬﻘﻰ وﻋﻠﻘ ﻪ‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس‬
[‫اﻟﺒﺨﺎرى ووﺻﻠﻪ اﺑﻦ أﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ‬
Artinya: Ibnu Abbas berkata: "Tidak mengapa bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencicipi cuka
atau apa saja, selama tidak masuk ke dalam tenggorokkan" (HR. Baihaki).
Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Taimiyyah berkata: "…Mencicipi makanan apabila
dilakukan tanpa keperluan dan kepentingan, makruh untuk dilakukan. Namun tidak membatalkan
puasa. Sedangkan apabila dilakukan karena ada keperluan atau kepentingan, maka dia seperti orang
yang berkumur-kumur" (lihat Majmu'ul Fatawa: 25/266).
Dalam riwayat lain dikatakan:
,‫ رأﻳﺘﻪ ﻳﻤﻀﻎ ﻟﻠ ﺼﺒﻲ ﻃﻌﺎﻣ ﺎ—وه ﻮ ﺻ ﺎﺋﻢ—ﻳﻤ ﻀﻐﻪ ﺛ ﻢ ﻳﺨﺮﺟ ﻪ ﻣ ﻦ ﻓﻴ ﻪ‬:‫ﻋﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﻋﻦ اﻟﺤﺴﻦ ﻗﺎل‬
[‫ﻳﻀﻌﻪ ﻓﻰ ﻓﻢ اﻟﺼﺒﻲ ]رواﻩ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ اﻹﺳﻨﺎد‬
Artinya: Dari Yunus dari Hasan berkata: "Saya melihatnya mengunyah makanan untuk bayi
sedangkan dia dalam keadaan puasa. Ia mengunyahnya lalu mengeluarkannya dari mulutnya dan
meletakkannya ke mulut bayi" (HR. Abdurrazaq dan haditsnya Shahih sanadnya).
Jumhur ulama memberikan catatan, bolehnya mengunyah atau mencicipi makanan ini bagi yang
berkepentingan dan selama tidak sampai ke tenggorokan. Apabila makanan tersebut masuk ke dalam
tenggorokkan, maka puasanya batal (lihat dalam al-Mughni: 3/109, Majmu'ul Fatawa: 6/353, dan
Fathul Bari: 4/160).
8. Bercelak, mengoleskan obat mata atau apa saja ke dalam mata, juga mencium bau-bauan
Bercelak atau membersihkan kotoran di mata dengan jalan meneteskan obat mata, salep, atau apa
saja ke dalam mata, atau mencium bau-bauan dan wangi-wangian, diperbolehkan bagi orang yang
sedang berpuasa. Hal ini karena perkara tersebut tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa
sebagaimana dituturkan oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Haqiqatus Shiyam, muridnya Ibn Qayyim
al-Jauziyyah dalam bukunya Zadul Ma'ad. Imam Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar dalam
Fathul Bari (4/153) mengatakan:
‫وﻟﻢ ﻳﺮ أﻧﺲ واﻟﺤﺴﻦ وإﺑﺮاهﻴﻢ ﺑﺎﻟﻜﺤﻞ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﺑﺄﺳﺎ‬
Artinya: "Anas, Hasan dan Ibrahim tidak melihat bercelak bagi orang yang sedang berpuasa itu
membatalkan puasa".
9. Mandi dan menuangkan air dingin ke badan dan kepala
Orang yang berpuasa juga diperbolehkan untuk menuangkan air dingin ke badan atau kepalanya
untuk mengademkan badan dari kehausan dan sengatan matahari. Di samping itu, orang yang berpuasa
apabila sangat haus dan udara sangat panas, diperbolehkan untuk merendam dirinya di atas bak, di
kolam atau di mana saja. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bab
Mandi bagi orang yang sedang berpuasa (Bab Ightisal ash-Shaim) disebutkan:
‫ ودﺧ ﻞ اﻟ ﺸﻌﺒﻰ اﻟﺤﻤ ﺎم وه ﻮ‬,‫ وﻳﻞ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺛﻮﺑﺎ ﻓﺄﻟﻘﺎﻩ ﻋﻠﻴﻪ وهﻮ ﺻﺎﺋﻢ‬:‫ﻗﺎل اﻟﺒﺨﺎرى‬
.‫ ﻻ ﺑﺄس ﺑﺎﻟﻤﻀﻤﻀﺔ واﻟﺘﺒﺮد ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ‬:‫ وﻗﺎل اﻟﺤﺴﻦ‬,‫ﺻﺎﺋﻢ‬
Artinya: Imam Bukhari berkata: "Ibnu Umar suatu hari meminta air untuk mengademkan badannya
karena sangat haus dengan cara merendam dan membasahi bajunya lalu ia pakai ketika ia sedang
berpuasa. Imam Sya'bi juga masuk ke dalam toilet ketika sedang berpuasa (untuk mandi dan
mengademkan badannya karena haus atau kepanasan). Imam Hasan (ulama dari madzhab Hanafiyyah)
berpendapat: "Tidak mengapa orang yang sedang berpuasa berkumur-kumur dan mengademkan
tubuhnya (baik dengan jalan mandi maupun dengan menuangkan air ke atas kepala dan tubuhnya).
‫وآﺎن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺼﺐ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻰ رأﺳﻪ وهﻮ ﺻﺎﺋﻢ ﻣﻦ اﻟﻌﻄﺶ أو ﻣﻦ اﻟﺤﺮ‬
- 17 -
Artinya: "Nabi saw ketika sedang berpuasa, terkadang menuangkan air ke atas kepalanya karena rasa
dahaga atau udara panas yang menyengat" (HR. Abu Dawud, Ahmad dan sanadnya Shahih).
10. Menelan dahak dan ingus (an-nukhamah)
Menurut madzhab Hanafiyyah, pendapat rajih madzhab Malikiyyah dan satu riwayat dari Imam
Ahmad, bahwa menelan dahak atau ingus tidak membatalkan puasa. Karena baik dahak ataupun ingus
adalah termasuk hal-hal yang berada di dalam mulut, bukan diperoleh dari luar. Oleh karenanya, baik
dahak maupun ingus disamakan dengan air ludah yang tidak membatalkan puasa (lihat dalam al-
Mughni: 2/43 dan Raduul Mukhtar: 2/101).
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, boleh menelan dahak atau ingus selama belum
sampai ke mulut (maksudnya apabila masih berada di dalam tenggorokkan, atau hidung). Namun,
apabila dahak dan ingus tersebut sudah sampai di dalam mulut, lalu menelannya, maka puasanya
menjadi batal (lihat dalam Raudhatut Thalibin: 2/360).
Hemat penulis, tidak mengapa menelannya sekalipun sudah berada di mulut selama tidak diatkan
untuk minum ataupun makan.
11. Menelan sesuatu yang tidak dapat dihindari
Sesuatu yang tidak dapat dihindari seperti sisa-sisa makanan yang sedikit dan ringan atau darah
sedikit yang berada di sela-sela gigi (misalnya tiba-tiba ada darah di gigi), selama tidak ada maksud
sengaja untuk memakannya, maka menurut Jumhur ulama tidak membatalkan puasa karena hal-hal
tersebut disamakan dengan air ludah. Namun, apabila darah tersebut banyak atau sisa makanan
tersebut besar dan masih beraroma rasa, lalu ditelan sengaja, menurut Jumhur ulama termasuk
Hanafiyyah, puasanya batal (lihat dalam Raddul Mukhtar: 2/98, 112, Raudhatut Thalibin: 2/361).
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, air ludah yang bercampur dengan darah sekalipun
sedikit, membatalkan puasa karena darah, menurut mereka, najis yang tidak boleh ditelan (Raddul
Mukhtar: 2/98)
Hemat penulis, apabila menelan darah dengan disengaja, tentu bukan saja membatalkan puasa
akan tetapi juga dilarang, karena darah adalah perkara yang tidak boleh dimakan. Namun, apabila
darah tersebut tertelan tidak sengaja atau sulit dihindari, maka tidak mengapa.
12. Makan, minum dan berhubungan badan karena lupa, tidak disengaja
Makan, minum atau berhubungan badan yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa. Dalam
sebuah hadits dikatakan:
‫ ﻓﻠﻴ ﺘﻢ‬,‫ ))ﻣ ﻦ ﻧ ﺴﻲ—وه ﻮ ﺻ ﺎﺋﻢ—ﻓﺄآ ﻞ أو ﺷ ﺮب‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ ﻓﺈﻧﻤﺎ أﻃﻌﻤﻪ اﷲ وﺳﻘﺎﻩ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬,‫ﺻﻮﻣﻪ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang lupa, ketika dia sedang berpuasa, lalu makan
dan minum, maka teruskanlah puasanya, karena itu berarti Allah telah memberi makan dan minum
orang tersebut" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam al-Qur'an juga dikatakan:
(5 :‫ت ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻜ ْﻢ )اﻷﺣﺰاب‬
ْ ‫ﻦ ﻣَﺎ َﺗ َﻌ ﱠﻤ َﺪ‬
ْ ‫ﻄ ْﺄ ُﺗ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َوَﻟ ِﻜ‬
َ‫ﺧ‬
ْ ‫ح ﻓِﻴﻤَﺎ َأ‬
ٌ ‫ﺟﻨَﺎ‬
ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﺲ‬
َ ‫ََﻟ ْﻴ‬
Artinya: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (HR. al-Ahzab: 5).
13. Muntah yang tidak disengaja
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
‫ وﻣ ﻦ اﺳ ﺘﻘﺎء‬,‫ ))ﻣﻦ ذرﻋﻪ اﻟﻘﻰء ﻓﻠ ﻴﺲ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻗ ﻀﺎء‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫ﻋﻤﺪا ﻓﻠﻴﻘﺾ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬى وﺻﺤﺤﻪ اﻷﻟﺒﺎﻧﻰ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah (tidak disengaja), maka
ia tidak perlu mengqadha (tidak membatalkan puasa). Namun, barangsiapa yang muntah dengan
disengaja, maka ia harus mengqadha" (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan disahihkan oleh Syaikh
Albani).

Hukum orang yang boleh berbuka


Orang yang diperbolehkan untuk berbuka pada puasa bulan Ramadhan, dikelompokkan ke dalam
tiga golongan:
1. Kelompok yang diperbolehkan untuk berbuka juga untuk berpuasa
- 18 -
2. Kelompok yang diwajibkan untuk berbuka
3. Kelompok yang tidak boleh berbuka

A. Orang yang boleh berbuka juga boleh berpuasa


Yang termasuk kelompok ini adalah:
1) Orang yang sakit
Para ulama telah sepakat bahwa orang sakit diperbolehkan untuk berbuka puasa, dan apabila kelak
sakitnya sembuh, maka ia wajib mengqadhanya pada hari yang lain (lihat dalam al-Mughni: 3/16). Hal
ini didasarkan kepada firman Allah swt berikut ini:
(185 :‫ﺧ َﺮ )اﻟﺒﻘﺮة‬
َ ‫ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ن َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو‬
َ ‫ﻦ آَﺎ‬
ْ ‫َو َﻣ‬
Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
Orang yang sakit ada tiga kategori:
1) Sakitnya ringan yang tidak akan terlalu terpengaruh dengan puasa atau dengan berbuka, seperti flu
ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi ringan dan lainnya. Untuk jenis penyakit seperti ini,
pengidapnya tidak diperbolehkan untuk berbuka, ia tetap wajib berpuasa
2) Sakitnya agak berat, yang apabila ia berpuasa, penyakitnya agak bertambah, namun tetap tidak
membahayakan pengidapnya. Untuk kelompok ini, sebaiknya ia berbuka dan makruh untuk
berpuasa.
3) Penyakitnya berat sehingga apabila ia berpuasa membahayakan pengidapnya atau bahkan akan
menyebabkannya meninggal dunia. Untuk jenis ini, haram pengidapnya untuk melakukan puasa.
Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
(29 :‫ﺴ ُﻜ ْﻢ )اﻟﻨﺴﺎء‬
َ ‫َوﻟَﺎ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻧ ُﻔ‬
Artinya: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu" (QS. An-Nisa: 29).
2) Orang yang sedang bepergian
Orang yang bepergian—tentu bukan bepergian yang biasa dan dekat—diperbolehkan untuk
berbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah swt berikut ini:
(185 :‫ﺧ َﺮ )اﻟﺒﻘﺮة‬
َ ‫ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ن َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو‬
َ ‫ﻦ آَﺎ‬
ْ ‫َو َﻣ‬
Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" (QS. Al-Baqarah: 185).
Namun demikian, apabila si musafir tetap melaksanakan puasa, menurut Jumhur ulama, puasanya
tetap sah sah. Namun, menurut Ibnu Umar, Ibn Abbas, Abu Hurairah dan Ibn Hazm, mengatakan
bahwa puasa orang yang sedang melakukan perjalanan tidak sah, dan apabila ia tetap berpuasa, ia
wajib mengqadhanya pada hari lainnya kelak. Namun, penulis lebih cenderung untuk mengambil
pendapat Jumhur ulama karena lebih kuat dan rajih.

Mana yang lebih baik bagi orang yang sedang bepergian; berpuasa atau berbuka?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Namun demikian, hemat penulis, mereka yang sedang
bepergian dapat dikelompokkan kepada tiga keadaan:
1. Perjalanan tersebut sangat memberatkan pelakunya sehingga apabila berpuasa, pelakunya akan
sangat terbebani, juga akan sangat sulit, repot dan berat dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan
lainnya. Untuk kondisi ini, berbuka lebih utama dari pada berpuasa. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits di bawah ini:
‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﺨﺪرى أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ ﺎل ﻷﺻ ﺤﺎﺑﻪ—وآ ﺎﻧﻮا ﻓ ﻰ ﻏ ﺰوة—))إﻧﻜ ﻢ‬
[‫ﻣﺼﺒﺤﻮا اﻟﻌﺪو ﻏﺪا واﻟﻔﻄﺮ أﻗﻮى ﻟﻜﻢ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya: "Kalian besok akan menghadapi
musuh, maka berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian" (HR. Muslim).
2. Perjalanan tersebut tidak terlalu memberatkan pelakunya, sehingga kalaupun musafir (orang yang
bepergian) tersebut tetap berpuasa, tidak akan terbebani dan tidak akan berat dalam melaksanakan
kebaikan-kebaikan lainnya. Untuk kondisi seperti ini, berpuasa tentu lebih utama berdasarkan
keumuman firman Allah:
.(184 :‫ن ﺗَﺼُﻮﻣُﻮا ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ )اﻟﺒﻘﺮة‬
ْ ‫َوَأ‬
- 19 -
Artinya: "Dan berpuasa lebih baik bagimu" (QS. Al-Baqarah: 184).
‫ ﺣﺘﻰ‬,‫ )) ﺧﺮﺟﻨﺎ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻰ ﺑﻌﺾ أﺳﻔﺎرﻩ ﻓﻰ ﻳﻮم ﺣﺎر‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ اﻟﺪرداء ﻗﺎل‬
‫ وﻣﺎ ﻓﻴﻨﺎ ﺻﺎﺋﻢ إﻻ ﻣﺎ آﺎن ﻣﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬,‫ﻳﻀﻊ اﻟﺮﺟﻞ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ رأﺳﻪ ﻣﻦ ﺷﺪة اﻟﺤﺮ‬
[‫واﺑﻦ رواﺣﺔ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Abu Darda' berkata: "Kami mengadakan perjalanan bersama Rasulullah saw pada cuaca
yang sangat panas. Saking panasnya sampai-sampai orang-orang meletakkan tangannya di atas
kepalanya. Di antara kami tidak ada yang melakukan puasa satupun kecuali Rasulullah saw dan
Ibn Rawahah" (HR. Bukhari Muslim).
3. Perjalanan tersebut sangat memberatkan si musafir, sehingga apabila ia berpuasa, akan
membahayakan kesehatan, tubuh, bahkan nyawanya sendiri. Untuk kondisi seperti ini, musafir
wajib berbuka dan haram berpuasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut
ini:
,‫ﻋ ﻦ ﺟ ﺎﺑﺮ أن اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﺧ ﺮج ﻋ ﺎم اﻟﻔ ﺘﺢ إﻟ ﻰ ﻣﻜ ﺔ ﻓ ﺴﺎر ﺣﺘ ﻰ ﺑﻠ ﻎ آ ﺮام اﻟﻨﻌ ﻴﻢ‬
‫ إن‬:‫ ﻗﻴ ﻞ ﻟ ﻪ ﺑﻌ ﺪ ذﻟ ﻚ‬,‫ ﺛ ﻢ ﺷ ﺮب‬,‫ ﻓﺮﻓﻌﻪ ﺣﺘ ﻰ ﻧﻈ ﺮ اﻟﻨ ﺎس إﻟﻴ ﻪ‬,‫ ﺛﻢ ﻋﺎد ﺑﻘﺪح ﻣﻦ ﻣﺎء‬,‫وﺻﺎر اﻟﻨﺎس‬
[‫ أوﻟﺌﻚ اﻟﻌﺼﺎة(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬,‫ ))أوﻟﺌﻚ اﻟﻌﺼﺎة‬:‫ ﻓﻘﺎل‬,‫ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺎس ﻗﺪ ﺻﺎم‬
Artinya: "Dari Jabir bahwasanya ketika Rasulullah saw melakukan perjalanan pada penaklukan
kota Mekah, beliau berjalan sehingga sampai di Karam an-Na'im. Demikian juga dengan para
sahabat lainnya. Lalu beliau mengambil satu kendi air dan mengangkatnya sehingga para sahabat
lainnya melihatnya. Rasulullah saw lalu meminumnya. Dikatakan kepada beliau bahwa ada
sebagian sahabat yang masih berpuasa. Rasulullah saw lalu bersabda: "Mereka orang-orang yang
berbuat dosa, mereka orang-orang yang berbuat dosa" (HR. Bukhari Muslim).

Waktu bolehnya berbuka puasa bagi musafir:


1. Apabila bepergiannya itu dilakukan sebelum terbit atau ketika terbit fajar, dan ia telah berniat
untuk berbuka puasa, maka para ulama sepakat, ia boleh berbuka. Karena orang tersebut telah
dikategorikan orang yang mengadakan perjalanan (musafir) dan karenanya diperbolehkan berbuka
puasa (lihat dalam al-Qawanin al-Fiqhiyyah karya Ibn Jazi halaman 82).
2. Apabila perjalanannya dilakukan setelah tebit fajar (tengah hari). Untuk kondisi seperti ini, Jumhur
ulama (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan satu riwayat menurut Imam Ahmad) berpendapat bahwa
orang tersebut tidak diperbolehkan untuk berbuka puasa. Hal ini karena menurut mereka puasa itu
adalah ibadah yang berbeda kondisi dan keadaannya seiring dengan kondisi ada di tempat (hadhar)
atau dalam keadaan bepergian (safar). Apabila dua kondisi tersebut ada, maka ambil hokum
berada di tempat (hadhar) sebagaimana shalat.
Namun, menurut Imam Ahmad, Ishak, Hasan dan Ibnu Taimiyyah, dan pendapat ini hemat
penulis yang lebih rajih, bahwa orang tersebut boleh berbuka puasa, hal ini dikarenakan
keumuman firman Allah berikut ini:
(185 :‫ﺧ َﺮ )اﻟﺒﻘﺮة‬
َ ‫ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ن َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو‬
َ ‫ﻦ آَﺎ‬
ْ ‫َو َﻣ‬
Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" (QS. Al-Baqarah:
185).
3. Orang yang mengadakan perjalanan tersebut berniat terlebih dahulu untuk berpuasa, namun karena
berbagai hal ia bermaksud untuk berbuka, maka menurut Jumhur ulama diperbolehkan ia berbuka
(lihat dalam al-Mughni: 3/19, al-Majmu': 6/260).

Musafir (orang yang melakukan perjalanan) tidak boleh berbuka puasa


Musafir tidak boleh berbuka puasa apabila:
1. Apabila berniat untuk tinggal di tempat tujuan selamanya, atau tinggal dalam masa lama.
Orang yang bepergian ke suatu tempat dengan tujuan untuk tinggal selamanya di Negara
tersebut, atau pergi untuk waktu lama, baik karena pekerjaan, kuliah, sekolah atau lainnya, maka
tidak boleh berbuka; ia harus tetap berpuasa (menurut Malikiyyah dan Syafi'iyyah, masa
perjalanan yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa adalah empat hari, sedangkan menurut

- 20 -
Hanabilah lebih dari empat hari dan menurut Hanafiyyah lima belas hari. Artinya, apabila
perjalanan tersebut lebih dari waktu tersebut, maka ia harus berpuasa dan tidak boleh berbuka lagi.
Namun, alasan ini tidak berdasarkan dalil sebagaimana diungkapkan Ibn Hazm dalam al-Muhalla:
6/244). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
.(‫ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻏﺰا ﻋﺰوة اﻟﻔﺘﺢ ﻓﻰ رﻣﻀﺎن وﺻﺎم )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس‬
Artinya: "Dari Ibn Abbas bahwasannya Rasulullah saw ketika melakukan panaklukan kota Mekah,
terjadi pada bulan Ramadhan, dan beliau tetap melakukan puasa" (HR. Bukhari).
Dalam berbagai keterangan di sebutkan bahwa Rasulullah saw ketika menundukkan kota
Mekah, beliau tidak berpuasa Ramadhan selama sepuluh atau sebelas hari, namun sisa hari lainnya
beliau tetap berpuasa. Ini menunjukkan bahwa apabila diniatkan perjalanan tersebut untuk tinggal
selamanya atau dalam waktu yang lumayan lama, maka ia tidak boleh berbuka, harus berpuasa.
2. Apabila kembali ke negaranya.
Apabila seseorang yang sudah mengadakan perjalanan lalu kembali lagi ke tempat asalnya
pada malam hari atau waktu sahur (sebelum Shubuh), maka keesokkan harinya ia harus berpuasa,
tidak boleh berbuka. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun, apabila
ia kembali ke tempat asalnya pada siang hari, maka menurut pendapat yang lebih kuat, orang
tersebut boleh berbuka. Oleh karena itu, apabila pada saat ia kembali tersebut pada siang hari,
isterinya baru saja suci dari haidnya (masa sucinya pada siang hari juga), maka suaminya tadi
boleh menggauli isterinya dan tidak ada kifarat bagi keduanya.

Masalah: Seorang suami yang sudah tidak kuat lagi hendak melakukan hubungan badan dengan
isterinya di siang hari bulan Ramadhan, apakah ia boleh membawa isterinya melakukan bepergian
sehingga membolehkannya untuk berbuka, lalu ia menggaulinya?
Menurut pendapat ulama yang lebih rajih, hemat penulis, hal demikian sah-sah saja dan
diperbolehkan.
3) Orang yang sudah sangat tua dan orang yang sakit yang sudah tidak diharapkan lagi
kesembuhannya
Para ulama sepakat bahwa orang yang sudah sangat tua yang sudah tidak kuat lagi untuk
melakukan ibadah puasa, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak ada qadha baginya.
Para ulama kemudian berbeda pendapat, apabila mereka berbuka, apa gantinya?
Jumhur ulama berpendapat mereka harus memberi makan setiap harinya kepada seorang miskin.
Imam Malik berpendapat bahwa mereka tidak wajib memberi makan orang miskin, hanya sunnah saja.
Sekalipun tidak memberikan, tidak apa-apa.
Dari kedua pendapat tersebut, tentu pendapat Jumhur lebih utama karena sesuai dengan firman
Allah berikut ini:
.(184 :‫ﻦ )اﻟﺒﻘﺮة‬
ٍ ‫ﺴﻜِﻴ‬
ْ ‫ﻃﻌَﺎ ُم ِﻣ‬
َ ‫ﻦ ُﻳﻄِﻴﻘُﻮ َﻧ ُﻪ ِﻓ ْﺪ َﻳ ٌﺔ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫َو‬
Artinya: "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin" (QS. Al-Baqarah: 184).
Sementara Imam Malik yang mengatakan tidak perlua membayar fidyah, beralasan sebagaimana
pendapatnya Ibnu Abbas dan kebanyakan para sahabat bahwa ayat tersebut sudah dinasakh (dihapus)
oleh ayat setelahnya (QS. Al-Baqarah: 185) yang berbunyi:
‫ﺸ ْﻬ َﺮ‬
‫ﺷ ِﻬ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ن َﻓ َﻤ‬ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻬ ﺪَى وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮ َﻗ ﺎ‬
َ ‫ت ِﻣ‬ ٍ ‫س َو َﺑ ﱢﻴ َﻨ ﺎ‬ِ ‫ن ُهﺪًى ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬ ُ ‫ل ﻓِﻴ ِﻪ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
َ ‫ن اﱠﻟﺬِي ُأ ْﻧ ِﺰ‬ َ ‫ﺷ ْﻬ ُﺮ َر َﻣﻀَﺎ‬ َ
‫ﺴ َﺮ‬ْ ‫ﺴ َﺮ َوَﻟ ﺎ ُﻳ ِﺮﻳ ُﺪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌ‬
ْ ‫ﺧ َﺮ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻴ‬َ ‫ﻦ َأ ﱠﻳ ﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَﻌِ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬ َ ‫ﻋَﻠ ﻰ‬ َ ‫ن َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو‬ َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫ﺼ ْﻤ ُﻪ َو َﻣ‬ ُ ‫َﻓ ْﻠ َﻴ‬
.(185 :‫ن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﺸ ُﻜﺮُو‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ َهﺪَا ُآ ْﻢ َوَﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ‬ َ ‫َوِﻟ ُﺘ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪ َة َوِﻟ ُﺘ َﻜ ﱢﺒﺮُوا اﻟﱠﻠ َﻪ‬
Artinya: "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya

- 21 -
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur" (QS.al-Baqarah: 185).
Dalam ayat ini, demikian menurut Imam Malik, Allah mengatakan bahwa Allah bermaksud untuk
memberikan keringanan. Orang yang sudah tua renta yang tidak kuat untuk berpuasa, tentu diberikan
keringanan oleh Allah berupa boleh untuk tidak berpuasa dan dia tidak berkewajiban membayar
fidyah, karena ayat fidyah tersebut sudah dinasakh oleh ayat di atas.
Namun, sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa pendapat Jumhur dalam hal ini lebih utama,
bahwa orang tersebut harus membayar fidyah. Apabila tidak mempunyai makanan atau harta untuk
membayar fidyah, baru tidak mengapa ia tidak membayarnya.
Orang yang sakit yang kecil kemungkinan untuk sembuhnya kembali, dihukumi seperti orang yang
sudah tua renta yang tidak mampu untuk berpuasa.
4) Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui
Apabila wanita yang sedang hamil atau yang sedang menyusui khawatir apabila ia berpuasa air
susunya kering atau janinnya terganggu, maka diperbolehkan bagi keduanya untuk berbuka. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
‫ وﻋ ﻦ‬,‫ ))إن اﷲ ﻋﺰوﺟ ﻞ وﺿ ﻊ ﻋ ﻦ اﻟﻤ ﺴﺎﻓﺮ ﺷ ﻄﺮ اﻟ ﺼﻼة‬:‫ﻗ ﺎل رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬
[‫اﻟﻤﺴﺎﻓﺮ واﻟﺤﺎﻣﻞ واﻟﻤﺮﺿﻊ اﻟﺼﻮم(( ]رواﻩ أﺣﻤﺪ واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah memberikan keringanan kepada orang yang
sedang bepergian (musafir) setengah shalat (shalat qashar), dan bagi musafir, wanita yang sedang
hamil dan menyusui, juga diberikan keringanan untuk tidak berpuasa" (HR. Ahmad, dan haditsnya
Hasan).
Namun, para ulama berbeda pendapat, apabila wanita hamil atau menyusui tersebut tidak berpuasa,
apa gantinya; apakah qadha atau fidyah? Para ulama dalam hal ini terbagi kepada lima pendapat:
Pendapat pertama, yaitu pendapatnya Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, wanita
tersebut wajib mengqadha dan memberi makan setiap hari satu orang miskin (fidyah).
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Auzai, ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsur dan Abu 'Ubaid,
bahwa wanita tersebut wajib qadha saja.
Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lainnya bahwa wanita tersebut
wajib membayar fidyah (memberi makanan kepada minimal satu orang miskin tiap hari). Pendapat ini
dipandang pendapat yang lebih rajih oleh Syaikh Albani. Hal ini berdasarkan riwayat berikut ini:
‫ ﻳﻔﻄ ﺮان‬,‫ وهﻤ ﺎ ﻳﻄﻴﻘ ﺎن اﻟ ﺼﻮم‬,‫ واﻟﻌﺠﻮز اﻟﻜﺒﻴﺮة ﻓﻰ ذﻟﻚ‬,‫ ))رﺧﺺ ﻟﻠﺸﻴﺦ اﻟﻜﺒﻴﺮ‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل‬
‫ ))ﻓﻤ ﻦ ﺷ ﻬﺪ ﻣ ﻨﻜﻢ‬:‫ ﺛ ﻢ ﻧ ﺴﺦ ذﻟ ﻚ ﻓ ﻰ ه ﺬﻩ اﻷﻳ ﺔ‬,‫ وﻻ ﻗﻀﺎء ﻋﻠﻴﻬﻤ ﺎ‬,‫ وﻳﻄﻌﻤﺎن آﻞ ﻳﻮم ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ‬,‫إن ﺷﺎءا‬
‫ واﻟﺤﺒﻠ ﻰ واﻟﻤﺮﺿ ﻊ‬,‫اﻟﺸﻬﺮ ﻓﻠﻴﺼﻤﻪ(( وﺛﺒﺖ ﻟﻠﺸﻴﺦ اﻟﻜﺒﻴﺮ واﻟﻌﺠﻮز اﻟﻜﺒﻴ ﺮة إذا آﺎﻧ ﺎ ﻻ ﻳﻄﻴﻘ ﺎن اﻟ ﺼﻮم‬
[‫ وأﻃﻌﻤﺘﺎ آﻞ ﻳﻮم ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ(( ]رواﻩ اﻟﺒﻴﻬﻘﻰ واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ‬,‫إذا ﺧﺎﻓﺘﺎ‬
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Pada awalnya diberi keringanan bagi kakek-kakek tua, nenek-nenek
tua untuk tidak berpuasa apabila keduanya merasa berat (tidak mampu) untuk berpuasa. Keduanya
boleh tidak berpuasa, namun harus memberi makan setiap hari seorang miskin. Dan keduanya juga
tidak wajib untuk mengqadhanya. Kemudian ayat tersebut dihapus oleh ayat berikutnya: "Apabila
menyaksikan bulan Ramadhan,maka berpuasalah" (QS. Al-Baqarah: 185). Setelah turunnya ayat
tersebut, kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang tidak kuat lagi untuk berpuasa, wanita hamil,
wanita menyusui apabila keduanya khawatir dengan janin dan bayinya, untuk memberikan makan
setiap hari seorang miskin" (HR. Baihaki).
Pendapat keempat, pendapatnya Imam Malik dan Syafi'iyyah, bahwa wanita hamil harus qadha,
sementara wanita menyusui harus qadha dan membayar fidyah.
Pendapat kelima, adalah pendapatnya Ibn Hazm yang mengatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban qadha juga tidak ada kewajiban fidyah.
Karena, lanjut Ibn Hazm, tidak ada nashnya yang mengatakan hal itu. Qadha hanyalah diperuntukkan
bagi orang sakit, musafir, wanita yang haid dan nifas juga orang yang sengaja muntah. Demikian juga
fidyah, hanyalah untuk orang yang tidak kuat lagi berpuasa karena sudah lanjut usia. Untuk itu, wanita
hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban membayar fidyah, juga tidak ada
kewajiban qadha (lihat al-Muhalla: 6/265).

- 22 -
Dari kelima pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, bahwa wanita hamil atau menyusui boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya, ia wajib
membayar fidyah, memberi makan kepada fakir miskin minimal satu orang perharinya, sesuai dengan
jumlah puasa yang ditinggalkannya.

B. Orang yang wajib berbuka dan wajib mengqadha


Yang termasuk kategori ini adalah:
1. Wanita yang sedang haid dan nifas
Para ulama sepakat bahwa wanita yang sedang haid dan nifas (darah yang keluar karena
melahirkan), tidak sah bahkan haram puasanya, dan wajib membatalkannya serta wajib qadha
baginya (lihat dalam al-Mughni: 3/142, al-Majmu': 6/259). Hal ini didasarkan kepada hadits
berikut ini:
‫ ))أﻟ ﻴﺲ إذا ﺣﺎﺿ ﺖ ﻟ ﻢ ﺗ ﺼﻞ وﻟ ﻢ ﺗ ﺼﻢ؟‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ ﻗﺎل ﻗ ﺎل رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬
[‫ﻓﺬﻟﻚ ﻧﻘﺼﺎن دﻳﻨﻬﺎ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Bukankah apabila wanita haid, ia tidak shalat dan tidak
puasa? Maka itulah salah satu cirri dan bukti kurangnya agama wanita" (HR. Bukhari).
‫ آﻨﺎ ﻧﺤﻴﺾ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻓﻨ ﺆﻣﺮ ﺑﻘ ﻀﺎء اﻟ ﺼﻮم وﻻ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
(‫ﻧﺆﻣﺮ ﺑﻘﻀﺎء اﻟﺼﻼة )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Kami (isteri-isteri Rasulullah saw) dalam keadaan haid pada masa
Rasulullah saw, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, namun tidak diperintahkan
untuk mengqadha shalat" (HR. Muslim).

Hal-hal yang terkait dengan wanita haid dan nifas


1. Apabila wanita yang sedang haid tiba-tiba berhenti darah haidnya dan suci pada siang hari,
maka wanita itu harus tetap tidak berpuasa. Apabila suaminya datang siang hari dari bepergian
jauh, keduanya boleh melakukan hubungan badan dan tanpa membayar kifarat
2. Apabila wanita tersebut telah suci sebelum terbit fajar, lalu ia berniat untuk puasa, maka sah
puasanya, sekalipun ia mengakhirkan mandinya setelah terbit fajar. Demikian menurut Jumhur
ulama.
3. Darah nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan. Wanita yang masih dalam tahap 'pecah
empedu'nya belum dipandang telah nifas, dan karenanya ia tetap wajib untuk shalat.
4. Wanita yang sedang istihadah (mengeluarkan darah di luar waktu biasanya haid, darah
penyakit), tetap wajib untuk berpuasa dan shalat, karena darah tersebut bukan darah haid, akan
tetapi darah penyakit. Demikian Ijma' para ulama.

Bolehkah meminum obat agar tidak haid selama bulan Ramadhan?


Apabila obat tersebut tidak membahayakan diri dan tubuh si wanita, maka silahkan saja
meminumnya. Dan ketika ia tidak mengalami haid lantaran obat tersebut, ia wajib untuk terus
melakukan puasa Ramadhan.
2. Orang yang apabila berpuasa, akan membahayakan diri dan nyawanya.
Untuk orang yang dalam kondisi seperti ini, diwajibkan untuk berbuka dan wajib
mengqadhanya pada hari lain (lihat al-Muhalla: 6/228, al-Majmu': 6/262).

C. Orang yang tidak boleh berbuka


Orang yang tidak boleh berbuka puasa Ramadhan adalah setiap orang muslim yang balig, berakal,
sehat, ada ditempat (tidak sedang bepergian), dan wanita yang suci dari darah haid juga suci dari nifas.

Qadha puasa Ramadhan


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan qadha puasa Ramadhan ini:
1. Orang yang berbuka puasa tanpa alasan syar'i (tanpa udzur)
Orang yang tidak berpuasa atau berbuka puasa dengan sengaja, menurut sebagian besar para ulama
wajib malakukan qadha, baik berbukanya itu tanpa alasan syar'i maupun karena ada alasan (udzur)

- 23 -
yang diperbolehkan oleh syar'i. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai qadha bagi orang
yang berbuka puasa dengan sengaja tanpa ada alasan yang diperbolehkan oleh syar'i.
Sebagian ulama seperti Ibnu Mubarak, ats-Tsauri, Ishak, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa orang yang berbuka puasa dengan sengaja tanpa alasan yang syar'i, wajib
mengqadha puasa yang ditinggalkannya berikut membayar kifarah sebesar kifarah orang yang
melakukan hubungan badan di siang hari.
Hal ini, dikarenakan orang yang berbuka dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan
disamakan dengan orang yang melakukan hubungan badan di siang hari. Menurut kelompok ini, illat,
sebab, dilarangnya melakukan hubungan badan di siang hari adalah karena tidak menghormati bulan
Ramadhan (al-intihak bi syahri ramadhan), demikian juga dengan orang yang berbuka dengan sengaja
pada siang hari tanpa alasan syar'i. Keduanya sama-sama tidak menghormati bulan Ramadhan.
Apabila orang yang melakukan hubungan badan pada siang hari dihukum dengan keharusan
membayar denda diantaranya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, maka demikian pula dengan
orang yang dengan sengaja berbuka pada siang hari di bulan Ramadhan.
Sedangkan menurut Syafi'iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal, orang tersebut hanya wajib untuk
qadha saja, dan tidak wajib membayar kifarah.
Sementara menurut Ibnu Hazm, orang yang dengan sengaja berbuka pada bulan Ramadhan tanpa
alasan yang jelas, tidak diwajibkan untuk mengqadha. Hal ini karena menutut Ibn Hazm, puasa
Ramadhan termasuk ibadah yang waktunya ditentukan. Dan pada dasarnya, setiap ibadah yang
ditentukan waktunya, apabila ditinggalkan tanpa alasan syar'i, ia tidak wajib diqadha kecuali ada
keterangan lain yang mewajibkan untuk mengqadhanya (nash jadid). Mengganti puasa Ramadhan
dengan puasa lainnya yang dipandang wajib, tentu tidak diijinkan oleh Allah, karena berarti membuat
aturan baru yang tidak ada ketentuannya dari Allah swt (lihat dalam al-Muhalla: 6/180, masalah
nomor 735).
Dari beberapa pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk mengatakan bahwa orang yang
dengan sengaja berbuka pada puasa Ramadhan, tidak ada qadha baginya. Hal ini dikarenakan,
sebagaimana diungkapkan Ibn Hazm, bahwa tidak ada nash yang memerintahkan untuk mengqadha
bagi orang tersebut. Bahkan, apabila kita qiyaskan dengan orang yang melakukan hubungan badan di
siang hari sekalipun, untuk jenis ini, Rasulullah saw juga tidak memerintahkan mereka untuk
mengqadha puasanya, hanya langsung mewajibkan untuk membayar kafarah.
Untuk itu, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa orang yang berbuka dengan sengaja
pada bulan Ramadhan dapat memilih dua hal: Pertama, membayar kifarah yang besarnya sama
dengan kifarah orang yang melakukan hubungan badan di siang hari, karena illatnya sama yakni telah
mengotori kehormatan bulan Ramadhan (al-intihak syahr ramadhan), atau kedua, ia bertaubat, untuk
tidak mengulangi perbuatan dosanya itu. Opsi yang kedua ini sesuai dengan ucapan Ibnu Mas'ud
berikut ini:
((‫ ))ﻣﻦ أﻓﻄﺮ ﻳﻮﻣﺎ ﻣﻦ رﻣﻀﺎن ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﺬر وﻻ رﺧﺼﺔ ﻟ ﻢ ﻳﺠ ﺰﻩ ﺻ ﻴﺎم اﻟ ﺪهﺮ آﻠ ﻪ‬:‫ﻗﺎل اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد‬
[‫]أﺧﺮﺟﻪ اﺑﻦ أﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ وإﺳﻨﺎدﻩ ﺻﺤﻴﺢ‬
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Barangsiapa yang berbuka dengan sengaja satu hari dari puasa
Ramadhan tanpa alasan syar'i yang diperbolehkan, juga tidak karena adanya rukhsah, maka tidaklah
cukup tebusannya sekalipun dengan puasa satu tahun penuh" (HR. Ibn Abi Syaibah dan sanadnya
Shahih).
Dalam hadits lain, sekalipun dhaif namun dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain, dikatakan:
‫ ﻻ ﻳﺠﺰﺋ ﻪ ﺻ ﻴﺎم اﻟ ﺪهﺮ وإن‬,‫ ))ﻣﻦ أﻓﻄﺮ ﻳﻮﻣﺎ ﻣ ﻦ رﻣ ﻀﺎن ﻣﺘﻌﻤ ﺪا‬:‫أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫ﺻﺎﻣﻪ(( ]رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬى وأﺑﻮ داود واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berbuka satu hari saja dengan sengaja dan
tanpa alasan syari pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia tidak dapat ditebus sekalipun dengan
berpuasa satu tahun lamanya" (HR. Turmudzi, Abu Dawud dan Baihaki).
Hadits ini dhaif lantaran di antara rawinya ada yang bernama Hubaib bin Abi Tsabit yang oleh
para ulama dipandang lemah dan dipandang ayahnya tidak mendengar hadits tersebut dari Abu
Hurairah sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (4/161). Namun

- 24 -
demikian, hadits ini dapat dipakai juga karena dikuatkan oleh keterangan banyak keterangan lain yang
maknanya sama, yang salah satunya ucapan Ibnu Mas'ud di atas.
Sementara bagi orang yang muntah dengan sengaja, tidak dapat disamakan dengan orang yang
berbuka puasa dengan sengaja. Bagi orang yang muntah dengan disengaja, maka ia wajib mengqadha
puasanya, hal ini lantaran dalam masalah muntah disengaja terdapat nash shahih yang memerintahkan
untuk mengqadhanya. Nash dimaksud adalah:
‫ وﻣ ﻦ اﺳ ﺘﻘﺎء‬,‫ ))ﻣﻦ ذرﻋﻪ اﻟﻘﻰء ﻓﻠ ﻴﺲ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻗ ﻀﺎء‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫ﻋﻤﺪا ﻓﻠﻴﻘﺾ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬى وﺻﺤﺤﻪ اﻷﻟﺒﺎﻧﻰ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa harus muntah (tidak disengaja), maka
ia tidak perlu mengqadha (tidak membatalkan puasa). Namun, barangsiapa yang muntah dengan
disengaja, maka ia harus mengqadha" (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan disahihkan oleh Syaikh
Albani).
2. Mengqadha puasa Ramadhan tidak wajib segera
Mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena ada udzur syar'i, seperti sakit, haid,
bepergian atau yang lainnya, tidak wajib segera dilakukan. Mengqadha puasa Ramadhan yang
tertinggal, hukumnya wajib muwassa' artinya kewajiban untuk melaksanakannya luas menurut kapan
waktu dan keadaan leluasa dan maunya. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
‫ ))آﺎن ﻳﻜﻮن ﻋﻠﻲ اﻟﺼﻮم ﻣﻦ رﻣﻀﺎن ﻓﻤﺎ أﺳﺘﻄﻴﻊ أن أﻗﻀﻴﻪ إﻻ ﻓ ﻰ ﺷ ﻌﺒﺎن(( ]رواﻩ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
[‫اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya pernah bolong berpuasa pada bulan Ramadhan, dan saya tidak
dapat mengqadhanya melainkan hanya pada bulan Sya'ban" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal boleh
dilaksanakan kapan saja, karena buktinya Siti Aisyah pun baru dapat mengqadhanya pada bulan
Sya'ban. Kalau saja mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal ini harus sesegera mungkin, tentu
Siti Aisyah akan segera melaksanakannya. Berdasarkan hadits ini juga Ibn Hajar al-Asqalany (Fathul
Bari: 4/191) berpendapat: "Hadits ini menjadi dalil bolehnya mengakhirkan mengqadha puasa pada
bulan Ramadhan yang tertinggal baik karena udzur (maksudnya tidak dapat segera mengqadhanya
karena sakit atau udzur lainnya), maupun tanpa ada udzur (tidak ada alasan untuk mengakhirkan
mengqadha puasa".
Hanya saja, menyegerakan untuk mengqadha tentu lebih baik sebagaimana disinggung oleh
keumuman ayat berikut ini
(61 :‫ن )اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن‬
َ ‫ت َو ُه ْﻢ ﻟَﻬَﺎ ﺳَﺎ ِﺑﻘُﻮ‬
ِ ‫ﺨ ْﻴﺮَا‬
َ ‫ن ﻓِﻲ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻚ ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ‬
َ ‫أُوَﻟ ِﺌ‬
Artinya: "Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang
segera memperolehnya" (QS. Al-Mukminun: 61).

Bagaimana apabila belum mengqadha puasa Ramadhan sehingga bulan Ramadhan baru
datang?
Apabila seseorang belum mengqadha puasa Ramadhannya sampai datang lagi bulan Ramadhan
yang lain, maka yang harus dia lakukan adalah puasa Ramadhan seperti biasa dan ketika bulan Syawal
nanti tiba, ia harus segera mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya itu, tanpa ada tambahan juga
tanpa ada kewajiban untuk memberi makan fakir miskin atau kifarat lainnya.
Hal ini dikarenakan tidak ada nash yang memerintahkan bahwa orang yang belum mengqadha
pusanya sampai datang bulan Ramadhan yang baru di samping harus mengqadha puasanya juga harus
membayar diyat berupa memberi makan orang-orang miskin. Karena tidak ada keterangan itulah,
maka orang yang belum mengqadha tersebut cukup mengqadha puasa yang sempat ditinggalkannya
pada bulan Ramadhan tahun sebelumnya. Pendapat ini adalah pendapat Madzhab Abu Hanifah dan
Ibn Hazm dan pendapat ini, hemat penulis pendapat yang lebih rajih (lebih kuat).
Namun, menurut Imam Malik, juga Imam Syafi'i, orang yang belum mengqadha puasa
Ramadhannya dengan sengaja sampai datang bulan Ramadhan yang baru, maka di samping harus
mengqadha puasanya, juga setiap hari ia mengqadha diwajibkan juga untuk memberi makan orang-
orang miskin (jumlah orang miskinnya yang jelas lebih dari satu, tidak ditentukan) masing-masing
satu mud (lihat dalam al-Muhalla: 6/260, dan Majmu' al-Fatawa: 6/412).
- 25 -
Tambahan kewajiban memberi makanan satu mud kepada tiap-tiap orang miskin ini, boleh jadi
dimaksudkan sebagai hukuman atas kelalaian dan keteledorannya. Namuan, sayang, tambahan dari
Imam Syafi'i dan Imam Malik ini, sepengetahuan penulis, tidak ada dalil dan keterangannya. Untuk
itu, penulis lebih condong untuk mengambil madzhab Abu Hanifah dan Ibn Hazm di atas.
3. Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal tidak mesti berurutan
Orang yang bolong puasa Ramadhannya dengan ada alasan syar'i, misalnya tiga atau empat hari,
maka ketika mengqadha tidak diharuskan berurutan dan beriringan. Maka, ia boleh mengqadha
minggu ini satu hari, kemudian minggu berikutnya satu hari, kemudian bulan berikutnya dua kali dan
seterusnya. Hal ini lantaran dalam ayat berikut ini disebutkan:
(184 :‫ﺧ َﺮ )اﻟﺒﻘﺮة‬
َ ‫ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ‬
ْ ‫َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ‬
Artinya: "Maka gantilah (qadhalah) pada hari-hari yang lain".
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas mengatakan:
(‫ﻻ ﺑﺄس أن ﻳﻔﺮق )رواﻩ اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ وإﺳﻨﺎدﻩ ﺻﺤﻴﺢ‬
Artinya: "Boleh ia mengqadhanya dengan jalan berbeda-beda (maksudnya tidak berurutan)" (HR.
Darul Quthni, Baihaki, dan sanad hadits tersebut Shahih).
Demikian juga Abu Hurairah dan Anas berkata dalam makna yang sama:
[‫ ))ﻳﻮاﺗﺮﻩ إن ﺷﺎء(( ]رواﻩ اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ‬:‫ﻗﺎل أﺑﻮ هﺮﻳﺮة‬
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Jika ia mau (qadhalah) dengan diselang-seling (tidak berurutan)"
(HR. Darul Quthni)
[‫ وإن ﺷﺌﺖ ﻣﺘﻔﺮﻗﺎ(( ]رواﻩ اﺑﻦ أﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ‬,‫ ))إن ﺷﺌﺖ ﻓﺎﻗﺾ رﻣﻀﺎن ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎ‬:‫وﻗﺎل أﻧﺲ‬
Artinya: "Anas berkata: "Jika kamu mau, qadhalah puasa Ramadhan itu dengan berurutan, dan jika
kamu mau juga qadha dengan tidak berurutan" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Baihaki).
Demikian juga para imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i
dan Imam Ahmad bin Hanbal) membolehkan untuk memilih antara berurutan maupun tidak (lihat
dalam al-Muhalla: 6/261) dan Majmu' al-Fatawa: 6/312).
Sedangkan riwayat Abu Hurairah yang mengatakan:
(‫ ﻓﻠﻴﺴﺮدﻩ وﻻ ﻳﻘﻄﻌﻪ )رواﻩ اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ‬,‫ﻣﻦ آﺎن ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻮم رﻣﻀﺎن‬
Artinya: "Barangsiapa yang mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka qadhalah dengan berurutan
dan jangan diputus-putus" (HR. Darul Quthni dan Baihaki).
Hadits di atas adalah hadits Dhaif, dan karenanya tidak dapat dijadikan pegangan dalam berhujjah.
4. Orang yang meninggal dunia sementara dia mempunyai kewajiban puasa
Bagaimana apabila ada orang meninggal dunia pada bulan Ramadhan ketika puasa Ramadhannya
belum lengkap satu bulan, apakah ahli warisnya wajib mengqadhakan atau bagaimana?
Para ulama dalam hal ini terbagi kepada tiga kelompok.
Kelompok pertama berpendapat bahwa ahli waritsnya tidak wajib mengqadhakannya baik untuk
puasa Ramadhannya maupun untuk puasa nadzarnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Madzhab Abu
Hanifah, Malik, dan sebagian madzhab Syafi'i (lihat dalam Fathul Qadir: 2/360, Majmu' al-Fatawa:
6/412). Oleh karena itu, menurut pendapat ini, orang yang meninggal dunia pada bulan Ramadhan atau
orang yang meninggal dunia dan memiliki kewajiban puasa nadzar yang belum dilaksanakannya, tidak
wajib diqadha dan tidak wajib dibayar oleh ahli waritsnya. Hal ini di antaranya didasarkan kepada
dalil-dalil berikut ini:
‫ﺳﻌَﻰ‬
َ ‫ن ِإﻟﱠﺎ ﻣَﺎ‬
ِ ‫ﺲ ِﻟ ْﻠِﺈ ْﻧﺴَﺎ‬
َ ‫ن َﻟ ْﻴ‬
ْ ‫ َوَأ‬-1
Artinya: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya
(QS. An-Najm: 39)
‫ ﺻ ﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳ ﺔ أو ﻋﻠ ﻢ‬:‫ إذا ﻣ ﺎت اﺑ ﻦ ﺁدم اﻧﻘﻄ ﻊ ﻋﻤﻠ ﻪ إﻻ ﻣ ﻦ ﺛ ﻼث‬:‫ ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬-2
(‫ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ أو وﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah Saw bersabda: "Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya
kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakannya"
(HR. Muslim)

- 26 -
‫ ))ﻣ ﻦ ﻣ ﺮض ﻓ ﻰ رﻣ ﻀﺎن ﻓﻠ ﻢ ﻳ ﺰل‬:‫ ﻋﻦ ﻋﺒﺎدة ﺑ ﻦ ﻧ ﺴﻰ أن رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬-3
‫ وإن ﺻﺢ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻀﻪ ﺣﺘﻰ ﻣ ﺎت أﻃﻌ ﻢ ﻋﻨ ﻪ(( ]رواﻩ ﻋﺒ ﺪ اﻟ ﺮزاق ﺑ ﺴﻨﺪ‬,‫ﻣﺮﻳﻀﺎ ﺣﺘﻰ ﻣﺎت ﻟﻢ ﻳﻄﻌﻢ ﻋﻨﻪ‬
[‫ﺿﻌﻴﻒ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian ia terus
menerus sakit sehingga meninggal, maka tidak harus membayar fidyah (ahli waritsnya). Namun, jika
ia sehat, namun belum mengqadha juga sehingga ia meninggal, maka harus membayar fidyah (ahli
waritsnya)" (HR. Abdurrazaq dengan sanad dhaif).
‫ ﺑﻞ ﺗ ﺼﺪﻗﻰ‬,‫ ﻻ‬:‫ أﻗﻀﻴﻪ ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎﻟﺖ‬:‫ أن أﻣﻬﺎ ﻣﺎﺗﺖ وﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﻴﺎم ﻣﻦ رﻣﻀﺎن ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮة‬
[‫ﻋﻨﻬﺎ ﻣﻜﺎن آﻞ ﻳﻮم ﻧﺼﻒ ﺻﺎع ﻋﻠﻰ آﻞ ﻣﺴﻜﻴﻦ ]رواﻩ اﻟﻄﺤﺎوى وﺳﻨﺪﻩ ﺿﻌﻴﻒ‬
Artinya: Dari Amurah bahwasannya ibunya meninggal dunia padahal ia mempunyai puasa Ramadhan.
Lalu ia bertanya kepada Siti Aisyah: "Apakah saya harus mengqadhakan untuknya?" Siti Aisyah
menjawab: "Tidak, akan tetapi cukup dengan bersedekah saja setiap hari yang ditinggalkannya dengan
setengah sha' kepada setiap orang miskin" (HR. Thahawi, hanya saja sanad hadits tersebut lemah
(dhaif).
Sayang, hadits-hadits yang disodorkan kelompok ini dhaif dan karenanya tidak dapat dijadikan
pegangan.
Kelompok kedua adalah pendapatnya Abu Tsaur, Imam Nawawi dan Ibn Hazm (lihat dalam al-
Muhalla: 7/2) yang berpendapat bahwa puasa nadzar dan puasa qadha yang belum dibayarnya harus
dipuasakan oleh ahli waritsnya. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut ini:
‫ ﺻ ﺎم ﻋﻨ ﻪ وﻟﻴ ﻪ(( ]رواﻩ‬,‫ ))ﻣﻦ ﻣﺎت وﻋﻠﻴ ﻪ ﺻ ﻴﺎم‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang meninggal sementara dia masih punya hutang
puasa, maka wali (atau ahli waritsnya) hendaklah berpuasa untuknya" (HR. Bukhari Muslim).
‫ إن أﻣ ﻰ ﻧ ﺬرت أن‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أن اﻣ ﺮأة ﻣ ﻦ ﺟﻬﻴﻨ ﺔ ﺟ ﺎءت إﻟ ﻰ اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟ ﺖ‬
‫ أرأﻳ ﺖ ﻟ ﻮ آ ﺎن ﻋﻠ ﻰ أﻣ ﻚ دﻳ ﻦ أآﻨ ﺖ ﻗﺎﺿ ﻴﺘﻪ؟‬,‫ ﺣﺠﻰ ﻋﻨﻬﺎ‬,‫ ))ﻧﻌﻢ‬:‫ أﻓﺄﺣﺞ ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎل‬,‫ﺗﺤﺞ ﺣﺘﻰ ﻣﺎﺗﺖ‬
[‫ ﻓﺎﷲ أﺣﻖ ﺑﺎﻟﻮﻓﺎء(( ]أﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎرى‬,‫اﻗﻀﻮااﷲ‬
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya seorang wanita dari kabilah Juhainah datang kepada
Rasulullah Saw seraya berkata: "Sesungguhnya ibu saya sebelum meninggal dulu pernah bernadzar
untuk melakukan ibadah haji. Apakah saya harus melaksanakan hajinya itu?" Rasulullah Saw
bersabda: "Ya, hajikanlah dia. Bukankah kalau ibu kamu mempunyai hutang, kamu harus
membayarnya? Tunaikanlah hutang kamu kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak
untuk dibayar" (HR. Bukhari).
:‫ إذ أﺗﺘﻪ اﻣ ﺮأة ﻓﻘﺎﻟ ﺖ‬,‫ ﺑﻴﻨﺎ أﻧﺎ ﺟﺎﻟﺲ ﻋﻨﺪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ ﺑﺮﻳﺪة رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل‬
:‫ وردهﺎ ﻋﻠﻴﻚ اﻟﻤﻴﺮاث(( ﻗﺎﻟ ﺖ‬,‫ ))وﺟﺐ أﺟﺮك‬:‫ ﻓﻘﺎل‬:‫ ﻗﺎل‬,‫ وإﻧﻬﺎ ﻣﺎﺗﺖ‬,‫إﻧﻰ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﻋﻠﻰ أﻣﻰ ﺑﺠﺎرﻳﺔ‬
,‫ إﻧﻬﺎ ﻟﻢ ﺗﺤﺞ ﻗﻂ‬:‫ ﻗﺎﻟﺖ‬,((‫ ))ﺻﻮﻣﻰ ﻋﻨﻬﺎ‬:‫ أﻓﺄﺻﻮم ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎل‬,‫ إﻧﻪ آﺎن ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﻮم ﺷﻬﺮ‬,‫ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬
[‫ ))ﺣﺠﻰ ﻋﻨﻬﺎ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬:‫أﻓﺄﺣﺞ ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎل‬
Artinya: "Buraidah berkata: "Ketika saya sedang duduk di samping Rasulullah Saw, tiba-tiba datang
seorang perempuan sambil berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya bersedekah seorang budak
wanita untuk ibu saya yang sudah meninggal". Rasulullah bersabda: "Kamu dan ibumu akan
mendapatkan pahala". Wanita itu berkata lagi: "Ya Rasulullah, ibu saya yang sudah meninggal itu juga
mempunyai hutang puasa sebulan, apakah saya harus berpuasa untuknya?" Rasulullah bersabda:
"Berpuasalah untuknya". Wanita itu berkata lagi: "Dia juga belum pernah melaksanakan ibadah haji,
apakah saya boleh berhaji untuknya?" Rasulullah bersabda: "Berhajilah untuknya" (HR. Muslim).
Ketiga, kelompok Imam Ahmad, Ishak, Imam Laits dan lainnya yang berpendapat bahwa yang
harus dipuasai hanyalah puasa nadzarnya saja, sementara puasa qadhanya tidak perlu (Fathul Bari:
4/228). Hal ini di antaranya berdasarkan argumen berikut ini:
1. Dalam hadits Aisyah yang mengatakan: "Barang siapa yang meninggal sementara dia masih
punya hutang puasa, maka wali (atau ahli waritsnya) hendaklah berpuasa untuknya" (HR.
Bukhari Muslim), itu sifatnya umum. Sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas yang mengatakan: "
- 27 -
Sesungguhnya ibu saya sebelum meninggal dulu pernah bernadzar untuk melakukan ibadah haji.
Apakah saya harus melaksanakan hajinya itu?" Rasulullah Saw bersabda: "Ya, hajikanlah dia.
Bukankah kalau ibu kamu mempunyai hutang, kamu harus membayarnya? Tunaikanlah hutang
kamu kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" (HR. Bukhari),
adalah bersifat khusus. Untuk itu, hadits Aisyah harus dibawa pemahamannya pada hadits Ibn
Abbas ini, bahwa yang harus dipuasai itu hanyalah puasa nadzar saja dan tidak yang lainnya.
2. Dalam hadits lain disebutkan:
‫ ))ﻣﻦ ﻣ ﺮض اﻟﺮﺟ ﻞ ﻓ ﻰ رﻣ ﻀﺎن ﺛ ﻢ ﻣ ﺎت‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
‫ وإن آ ﺎن ﻋﻠﻴ ﻪ ﻧ ﺬر ﻓ ﻀﻰ ﻋﻨ ﻪ وﻟﻴ ﻪ(( ]رواﻩ أﺑ ﻮ داود‬,‫ أﻃﻌﻢ ﻋﻨﻪ وﻟﻢ ﻳﻜ ﻦ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻗ ﻀﺎء‬,‫وﻟﻢ ﻳﺼﻢ‬
[‫وإﺳﻨﺎدﻩ ﺻﺤﻴﺢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian
meninggal sebelum ia berpuasa, maka gantilah dengan memberi makanan, dan tidak mesti
mengqadhanya. Namun, jika ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka walinya harus
mengqadhakannya" (HR. Abu Dawud dan sanadnya Shahih).
Dari beberapa pendapat di atas, perlu penulis ketengahkan terlebih dahulu bahwa para ulama telah
sepakat orang yang meninggal dunia sementara dia mempunyai beberapa hutang shalat wajib yang
belum ditunaikan, maka walinya atau siapapun tidak usah menggantikan sahalatnya itu.
Demikian juga apabila orang yang meninggal tersebut ketika masa hidupnya sangat berat untuk
melakukan puasa, karena sakit misalnya atau udzur lainnya, kemudian apabila ia meninggal padahal
masih mempunyai hutang puasa, maka para ulama juga sepakat, wali dan yang lainnya tidak perlu
mengganti puasanya itu. Namun, apabila orang yang meninggal tersebut sehat dan kuat, namun ketika
ia meninggal dunia masih mempunyai tunggangan puasa yang belum dibayarnya, para ulama berbeda
pendapat sebagaimana dipaparkan di atas.
Dari beberapa pendapat tersebut, penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1). Orang yang mempunyai udzur misalnya sakit, atau sangat tua, sehingga ia tidak mampu membayar
hutang puasanya itu sehingga meninggal dunia, maka untuk orang seperti ini tidak ada kewajiban
untuk mengqadhanya juga tidak ada kewajiban untuk menggantinya dengan memberi makan fakir
miskin, tidak untuk ahli waritsnya tidak juga untuk yang lainnya.
2). Apabila orang yang meninggal tersebut sehat, kuat dan mampu untuk berpuasa, tidak ada udzur,
lalu meninggal padahal ia masih mempunyai hutang puasa yang belum dibayarnya, maka ahli
warits atau walinya wajib berpuasa untuknya.
3). Apabila ia meninggal dunia, sementara dia mempunyai hutang puasa nadzar yang belum
dipenuhinya, baik orang tersebut mempunyai udzur ataupun tidak, maka ahli waritsnya tetap harus
berpuasa untuk menggantikannya.
Kesimpulan ini diperoleh (bahwa baik puasa nadzar maupun qadha wajib dipuasakan oleh
ahli warits atau walinya) karena hadits Aisyah yang bersifat umum tidak dapat dikhususkan oleh
hadits Ibnu Abbas. Hal ini lantaran tidak ada pertentangan di antara kedua hadits tersebut,
sementara dalam kaidah Ushul Fiqh dikatakan bahwa hadits yang umum ditarik kepada hadits
yang khusus itu manakala terjadi pertentangan di antara keduanya ('indat ta'arrudh). Namun,
apabila tidak terjadi pertentangan, maka tidak boleh ditarik dan masing-masing berdiri sendiri,
dipergunakan menurut kandungan hukumnya masing-masing.
4). Orang yang meninggal di tengah bulan Ramadhan, misalnya meninggal pada tanggal 10 Ramadhan
atau 15 Ramadhan, maka hari-hari Ramadhan yang tidak dilaluinya (dua puluh hari atau lima
belas hari lainnya) tidak wajib diganti dengan puasa atau dengan memberi makan. Hal ini lantaran
ketidakmampuannya untuk berpuasa bukan karena sebab dirinya, tapi karena sebab dari Allah,
berupa kematian yang tidak dapat dicegah oleh siapapun juga. Wallahu 'alam.

Puasa-puasa Sunnat
Ada beberapa puasa yang hukum melaksanakannya sunnah saja, yaitu:
1. Puasa enam hari pada bulan Syawal
Disunnahkan bagi mereka yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan untuk mengikutinya dengan
puasa enam hari pada bulan Syawal—pelaksanaannya tidak mesti berurutan, boleh kapan saja selama

- 28 -
masih dalam bulan Syawal—karena puasa enam hari pada bulan Syawal ini sama dengan puasa
setahun lamanya. Dalam sebuah hadits dikatakan:
‫ ﺛ ﻢ أﺗﺒﻌ ﻪ ﺳ ﺘﺎ‬,‫ ))ﻣ ﻦ ﺻ ﺎم رﻣ ﻀﺎن‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ أﻳﻮب اﻷﻧﺼﺎرى أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ آﺎن آﺼﻴﺎم اﻟﺪهﺮ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬,‫ﻣﻦ ﺷﻮال‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian
diikuti dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka sama dengan telah berpuasa selama satu
tahun" (HR. Muslim).
Sehubungan dengan puasa ini, para ulama semisal Imam Syafi'i, Ahmad bin Hanbal dan Imam
Abu Hanifah betul-betul menganjurkannya. Hanya saja, Imam Malik memakruhkannya dengan alasan
agar tidak diyakini oleh orang-orang sebagai suatu kewajiban. Namun, pendapat Imam Malik ini tidak
berdasarkan nash dan karenanya tidak dapat diterima.

Bagaimana kalau dia mempunyai puasa yang harus diqadha dari bulan Ramadhan, apakah
boleh berpuasa enam hari pada bulan Syawal tersebut sebelum mengqadha?
Sebagian besar para ulama membolehkan untuk mendahulukan puasa enam hari bulan Syawal ini,
karena berdasarkan keumuman hadits di berikut ini:
‫ ﻓ ﺸﻬﺮ ﺑﻌ ﺸﺮة أﺷ ﻬﺮ وﺻ ﻴﺎم ﺳ ﺘﺔ‬,‫ ))ﻣﻦ ﺻﺎم رﻣ ﻀﺎن‬:‫ﻋﻦ ﺛﻮﺑﺎن ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫ ﻓﺬﻟﻚ ﺗﻤﺎم ﺻﻴﺎم اﻟﺴﻨﺔ(( ]رواﻩ أﺣﻤﺪ واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬,‫أﻳﺎم ﺑﻌﺪ اﻟﻔﻄﺮ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, maka puasa
satu bulan sama dengan puasa sepuluh bulan, ditambah dengan puasa enam hari pada bulan Syawal,
maka genaplah sama dengan puasa satu tahun" (HR. Ahmad, Nasa'i dan Ibn Majah).
Sebagian ulama mensyaratkan harus mengqadha terlebih dahulu, berdasarkan hadits dari Abu
Ayyub di atas bahwa dalam hadits tersebut menggunakan kata-kata: "kemudian diikuti dengan puasa
enam hari pada bulan Syawal". Kata-kata ini oleh kelompok tersebut dipahami keharusan mengganti
yang wajib dulu, puasa qadha dulu.
Hanya saja, penulis tetap berkesimpulan untuk mengambil keumuman hadit dari Tsauban di atas
yang tidak mensyaratkan keharusan mengqadha dahulu, terlebih sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, bahwa mengqadha puas Ramadhan itu tidak mesti segera, dan Siti Aisyah pun,
sebagaimana haditsnya telah disebutkan sebelumnya, baru mengqadha pada bulan Sya'ban. Ini artinya,
bahwa Siti Aisyah pun terlebih dahulu melaksanakan puasa enam hari pada bulan Syawal ini, baru
mengqadha puasa Ramadhannya pada bulan Sya'ban. Wallahu 'alam.
2. Puasa tanggal sembilan dan sepuluh Muharram (Puasa Asyura').
Dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa pada bulan Muharram disunnahkan untuk
memperbanyak puasa sunnat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
‫ ))أﻓ ﻀﻞ اﻟ ﺼﻴﺎم ﺑﻌ ﺪ رﻣ ﻀﺎن ﺷ ﻬﺮ اﷲ‬:‫ﻋ ﻦ أﺑ ﻲ هﺮﻳ ﺮة ﻗ ﺎل ﻗ ﺎل رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬
[‫ وأﻓﻀﻞ اﻟﺼﻼة ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﺻﻼة اﻟﻠﻴﻞ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬,‫اﻟﻤﺤﺮم‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa
pada bulan Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam" (HR.
Muslim).
Sedangkan mengenai sunnahnya puasa pada tanggal sepuluh Muharram (puasa Asyura), di
antaranya didasarkan kepada hadits berikut ini:
‫ أﺣﺘﺴﺐ ﻋﻠﻰ اﷲ أن ﻳﻜﻔﺮ اﻟﺴﻨﺔ‬,‫ ))ﺻﻴﺎم ﻳﻮم ﻋﺎﺷﺮاء‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﻗﺘﺎدة أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫اﻟﺘﻰ ﻗﺒﻠﻪ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa Asyura itu (puasa tanggal sepuluh Muharram), dihitung
oleh Allah dapat menghapus setahun dosa yang telah lalu" (HR. Muslim).
Demikian juga sunnah hukumnya melakukan puasa pada tanggal sembilan Muharram berdasarkan
hadits berikut ini:
‫ ﻳ ﺎ‬:‫ ﻗ ﺎﻟﻮا‬,‫ وأﻣ ﺮ ﺑ ﺼﻴﺎﻣﻪ‬,‫ ﺣ ﻴﻦ ﺻ ﺎم رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻋﺎﺷ ﻮراء‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒ ﺎس ﻗ ﺎل‬
‫ ))ﻓ ﺈن آ ﺎن اﻟﻌ ﺎم‬:‫ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬,‫ إﻧﻪ ﻳﻮم ﺗﻌﻈﻤﻪ اﻟﻴﻬﻮد واﻟﻨﺼﺎرى‬,‫رﺳﻮل اﷲ‬

- 29 -
‫ ﻓﻠﻢ ﻳﺄت اﻟﻌﺎم اﻟﻤﻘﺒﻞ ﺣﺘﻰ ﺗﻮﻓﻰ رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ‬:‫اﻟﻤﻘﺒﻞ—إن ﺷﺎء اﷲ—ﺻﻤﻨﺎ اﻟﻴﻮم اﻟﺘﺎﺳﻊ(( ﻗﺎل‬
[‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Ibn Abbas berkata: "Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari Asyura', dan beliau
memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut, para sahabat berkata: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari Asyura itu hari yang dimuliakan oleh orang Yahudi dan Nashrani". Rasulullah saw
menjawab: "Jika tahun depan, insya Allah saya masih ada umur, kita berpuasa bersama pada tanggal
sembilan Muharramnya". Ibn Abbas berkata: "Belum juga sampai ke tahun berikutnya, Rasulullah saw
keburu meninggal terlebih dahulu" (HR. Muslim).
Dari hadits ini, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal lebih menganjurkan agar
berpuasanya pada kedua hari tersebut (sebaiknya tidak hanya berpuasa pada salah satunya saja), agar
tidak menyerupai orang Yahudi dan Nashrani yang berpuasa hanya pada tanggal sepuluhnya (lihat
dalam Syarh az-Zarqani: 2/237, Majmu' al-Fatawa: 6/383).
3. Banyak berpuasa pada bulan Sya'ban
Dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa Rasulullah saw berpuasa pada bulan Sya'ban
hamper semuanya. Beliau tidak berpuasa pada bulan tersebut kecuali sedikit sekali. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
:‫ وﻳﻔﻄﺮ ﺣﺘ ﻰ ﻧﻘ ﻮل‬,‫ ﻻ ﻳﻔﻄﺮ‬:‫ آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺼﻮم ﺣﺘﻰ ﻧﻘﻮل‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ وﻣ ﺎ رأﻳﺘ ﻪ أآﺜ ﺮ‬,‫ وﻣﺎ رأﻳﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﺳﺘﻜﻤﻞ ﺻﻴﺎم ﺷﻬﺮ إﻻ رﻣﻀﺎن‬,‫ﻻ ﻳﺼﻮم‬
(‫ﺻﻴﺎﻣﺎ ﻣﻨﻪ ﻓﻰ ﺷﻌﺒﺎن )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى و ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Adalah Rasulullah saw seringkali berpuasa, sehingga kami berkata:
"Beliau tidak berbuka". Dan apabila beliau berbuka, kami berkata: "Sehingga ia tidak berpuasa". Saya
tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. Dan
saya juga tidak pernah melihat beliau melakukan puasa sebanyak mungkin kecuali pada bulan
Sya'ban" (HR. Bukhari dan Muslim).

Bolehkah berpuasa sunnat setelah pertengahan bulan Sya'ban?


Para ulama berbeda pendapat mengenai puasa setelah tanggal 15 Sya'ban (setelah pertengahan
bulan Sya'ban). Jumhur ulama membolehkannya, sementara sebagian ulama Syafi'iyyah
memakruhkannya. Mereka yang memakruhkan puasa setelah pertengahan bulan Sya'ban berdasarkan
hadits berikut ini:
‫ ))إذا اﻧﺘﺼﻒ ﺷﻌﺒﺎن ﻓﻼ ﺗﺼﻮﻣﻮا(( ]رواﻩ أﺑﻮ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
(‫داود واﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻨﻜﺮ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Apabila sudah lewat pertengahan bulan Sya'ban, maka janganlah
kalian berpuasa" (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan haditsnya Munkar).
Hanya saja, hadits ini hadits sangat lemah (Munkar) dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil.
Oleh karena itu, penulis lebih cenderung untuk mengambil pendapat Jumhur ulama yang
mengatakan bahwa puasa setelah pertengahan bulan Sya'ban itu boleh-boleh saja. Hal ini di samping
berdasarkan hadits dari Siti Aisyah di atas, juga berdasarkan hadits berikut ini:
,‫ ))ﻻ ﻳﺘﻘﺪﻣﻦ أﺣ ﺪآﻢ رﻣ ﻀﺎن ﺑ ﺼﻮم ﻳ ﻮم أو ﻳ ﻮﻣﻴﻦ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫إﻻ أن ﻳﻜﻮن رﺟﻞ آﺎن ﻳﺼﻮم ﺻﻮﻣﻪ ﻓﻠﻴﺼﻢ ذﻟﻚ اﻟﻴﻮم(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu mendahului puasa Ramadhan
ini dengan terlebih dahulu berpuasa satu atau dua hari, kecuali apabila orang tersebut telah terbiasa
berpuasa, maka boleh ia berpuasa pada hari itu" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits ini yang dilarang adalah puasa satu atau dua hari sebelum bulan Ramadhan. Ini
menunjukkan bahwa puasa setelah pertengahan bulan Sya'ban masih diperbolehkan. Larangan
berpuasa satu atau dua hari sebelum bulan Ramadhan itu karena ditakutkan untuk menambah puasa
Ramadhan. Namun, apabila tidak diniatkan untuk itu, maka diperbolehkan untuk berpuasa pada hari
tersebut.
Demikian juga dengan hadits berikut ini yang lebih mempertegas bahwa puasa setelah pertengahan
bulan Sya'ban itu diperbolehkan:

- 30 -
‫ﻋﻦ أم ﺳﻠﻤﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﺼﻮم ﻣﻦ اﻟ ﺴﻨﺔ ﺷ ﻬﺮا ﺗﺎﻣ ﺎ إﻻ‬
(‫ ﻳﺼﻠﻪ ﺑﺮﻣﻀﺎن )رواﻩ أﺑﻮ داود‬,‫ﺷﻌﺒﺎن‬
Artinya: "Dari Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah saw tidak pernah berpuasa dalam satu tahun
hamper satu bulan kecuali pada bulan Sya'ban dan beliau meneruskannya dengan bulan Ramadhan"
(HR. Abu Dawud).
‫ ﻣﺎ رأﻳﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻳ ﺼﻮم ﺷ ﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘ ﺎﺑﻌﻴﻦ إﻻ ﺷ ﻌﺒﺎن ورﻣ ﻀﺎن )رواﻩ‬:‫وﻓﻰ رواﻳﺔ‬
(‫اﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ‬
Artinya: Dalam riwayat lain dikatakan: Ummu Salamah berkata: "Saya tidak pernah melihat
Rasulullah saw berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya'ban dan bulan Ramadhan"
(HR. Turmudzi dan Nasai).
4. Puasa Arafah (tanggal sembilan Dzulhijjah) bagi yang tidak melaksanakan ibadah Haji
Orang yang tidak melaksanakan ibadah haji, disunnatkan untuk melaksanakan puasa pada tanggal
sembilan Dzulhijjah atau yang sering disebut dengan puasa Arafah. Disebut puasa Arafah karena pada
hari itu, jemaah haji sedang melakukan Wukuf di Padang Arafah. Sedangkan untuk yang sedang
melakukan ibadah Haji, sebaiknya tidak berpuasa.
Dalil disunnatkannya puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah bagi orang yang tidak melaksanakan
ibadah Haji ini adalah hadits berikut ini:
‫ ))ﺻ ﻴﺎم ﻳ ﻮم ﻋﺮﻓ ﺔ أﺣﺘ ﺴﺐ ﻋﻠ ﻰ اﷲ ﻳﻜﻔ ﺮ‬:‫ ﻗ ﺎل رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ أﺑ ﻲ ﻗﺘ ﺎدة ﻗ ﺎل‬
[‫ واﻟﺴﻨﺔ اﻟﺘﻰ ﺑﻌﺪﻩ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬,‫اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺘﻰ ﻗﺒﻠﻪ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa pada hari Arafah akan dibalas oleh Allah dengan dapat
menghapus dosa-dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya" (HR. Muslim).
5. Puasa Senin Kamis
Sunnahnya melakukan puasa Senin Kamis ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
‫ ))آ ﺎن رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻳﺘﺤ ﺮى ﺻ ﻮم اﻹﺛﻨ ﻴﻦ واﻟﺨﻤ ﻴﺲ(( ]رواﻩ‬:‫ﻋ ﻦ ﻋﺎﺋ ﺸﺔ ﻗﺎﻟ ﺖ‬
[‫اﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw selalu berpuasa pada hari Senin dan Kamis" (HR.
Turmudzi, Nasai dan Ibn Majah).
Dalam hadits lain disebutkan:
‫ ﻓﻘ ﺎل ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ‬,‫ﺳﺄل أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﻳﺪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺻﻴﺎﻣﻪ اﻹﺛﻨﻴﻦ واﻟﺨﻤﻴﺲ‬
((‫ وأﺣﺐ أن ﻳﻌﺮض ﻋﻤﻠ ﻰ وأﻧ ﺎ ﺻ ﺎﺋﻢ‬,‫ ))ذاﻧﻚ ﻳﻮﻣﺎن ﺗﻌﺮض ﻓﻴﻬﻤﺎ اﻷﻋﻤﺎل ﻋﻠﻰ رب اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ‬:‫وﺳﻠﻢ‬
(‫]رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ وأﺣﻤﺪ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ‬
Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa Senin dan Kamis, beliau
menjawab: "Dua hari itu adalah hari dimana amal perbuatan akan ditunjukkan (disetorkan) kepada
Allah, dan saya menginginkan ketika amal saya disetorkan kepada Allah, keadaan saya sedang
berpuasa" (HR. Nasai, Ahmad dan Baihaki).
6. Puasa tiga hari pada setiap bulan (bulan Islam bukan bulan Masehi)
Disunnahkan juga untuk berpuasa tiga hari setiap bulan qamariyyah (bulan Islam), yakni setiap
tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulannya. Puasa ini sering disebut dengan puasa bidh, puasa bulan
purnama. Dalil sunnahnya puasa bidh ini adalah:
,‫ ﺻ ﻴﺎم ﺛﻼﺛ ﺔ أﻳ ﺎم ﻣ ﻦ آ ﻞ ﺷ ﻬﺮ‬:‫ أوﺻ ﺎﻧﻰ ﺧﻠﻴﻠ ﻰ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﺑ ﺜﻼث‬:‫ﻋ ﻦ أﺑ ﻲ هﺮﻳ ﺮة ﻗ ﺎل‬
[‫ وأن أوﺗﺮ ﻗﺒﻞ أن أﻧﺎم )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬,‫ورآﻌﺘﻰ اﻟﻀﺤﻰ‬
Artinya: Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw berwasiat kepadaku tiga hal: "Puasa tiga hari setiap
bulan, shalat Dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur" (HR. Bukhari Muslim).
‫ أﻳﺎم اﻟﺒﻴﺾ ﺻ ﺒﻴﺤﺔ‬,‫ ﺻﻴﺎم اﻟﺪهﺮ‬,‫ ))ﺻﻴﺎم ﺛﻼﺛﺔ أﻳﺎم ﻣﻦ آﻞ ﺷﻬﺮ‬:‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
[‫ وأرﺑﻊ ﻋﺸﺮة وﺧﻤﺲ ﻋﺸﺮة(( ]رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ‬,‫ﺛﻼث ﻋﺸﺮة‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Puasa tiga hari setiap bulan adalah sama dengan puasa satu tahun.
Yaitu puasa pada malam bulan purnama: tanggal 13, 14 dan 15" (HR. Nasai).

- 31 -
7. Puasa Nabi Daud
Puasa Nabi Daud adalah puasa yang diselang satu hari, satu hari puasa, satu hari tidak, begitu
seterusnya. Puasa ini termasuk puasa sunnah, di antaranya berdasarkan hadits berikut ini:
,‫ ))أﺣ ﺐ اﻟ ﺼﻼة إﻟ ﻰ اﷲ ﺻ ﻼة داود‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﻗﺎل‬
‫ وﻳ ﺼﻮم ﻳﻮﻣ ﺎ‬,‫ وﻳﻨ ﺎم ﺳﺪﺳ ﻪ‬,‫ وﻳﻘ ﻮم ﺛﻠﺜ ﻪ‬,‫ وآ ﺎن ﻳﻨ ﺎم ﻧ ﺼﻒ اﻟﻠﻴ ﻞ‬,‫وأﺣ ﺐ اﻟ ﺼﻴﺎم إﻟ ﻰ اﷲ ﺻ ﻴﺎم داود‬
[‫ ))وهﻮ أﻋﺪل ﺻﻴﺎم(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬:‫وﻳﻔﻄﺮ ﻳﻮﻣﺎ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ[ وﻓﻰ رواﻳﺔ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Shalat dan puasa yang paling disukai oleh Allah adalah shalat dan
puasa Nabi Daud as. Nabi Daud biasa tidur setengah malam, lalu ia bangun pada sepertiga malamnya,
lalu tidur lagi pada seperenam malamnya. Puasa Nabi Daud juga satu hari berpuasa, satu hari berbuka"
(HR. Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan: "Dia adalah puasa yang paling baik" (HR.
Bukhari Muslim).
Dalam hadits berikut ini mengisyaratkan agar sebaiknya setiap bulan itu tidak melewatkan begitu
saja tanpa puasa sunnah, paling tidak sebaiknya puasa meskipun hanya satu hari. Hal ini didasarkan
kepada hadits berikut ini:
‫ هﻞ آﺎن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺼﻮم ﺷﻬﺮا ﻣﻌﻠﻮﻣ ﺎ ﺳ ﻮى‬:‫ ﻗﻠﺖ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﺷﻘﻴﻖ ﻗﺎل‬
‫ وﻻ أﻓﻄ ﺮ ﺣﺘ ﻰ‬,‫ ))واﷲ إن ﺻ ﺎم ﺷ ﻬﺮا ﻣﻌﻠﻮﻣ ﺎ ﺳ ﻮى رﻣ ﻀﺎن ﺣﺘ ﻰ ﻣ ﻀﻰ ﻟﻮﺟﻬ ﻪ‬:‫رﻣ ﻀﺎن؟ ﻗﺎﻟ ﺖ‬
[‫ﻳﺼﻴﺐ ﻣﻨﻪ(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Abdullah bin Syaqiq bertanya kepada Siti Aisyah: "Apakah Rasulullah saw pernah
melakukan puasa sebulan penuh selain Ramadhan?" Siti Aisyah menjawab: "Demi Allah, beliau tidak
melakukan puasa satu bulan penuh selain puasa Ramadhan, sampai beliau meninggal dunia. Dan
beliau tidak berbuka sehingga beliau pernah berpuasa padanya (maksudnya tidak melewati satu bulan
kecuali beliau pernah melakukan puasa sunnat di dalamnya)" (HR Muslim).

Beberapa persoalan yang berkaitan dengan puasa sunnat


1. Berniat sejak malam hari untuk melakukan puasa sunnat.
Jumhur ulama, sebagaimana telah dibahas dalam bahasan syarat sah puasa, berpendapat bahwa
diperbolehkan seseorang untuk berniat puasa sunnat pada pertengahan hari, tidak mesti malam hari.
Misalnya, apabila pagi hari sampai siang tidak ada makanan apa-apa dan belum makan atau minum,
lalu ia berkata: "Kalau begini, saya mau puasa saja ah", maka hal demikian boleh-boleh saja.
Mengenai dalil dan penjelasannya lihat kembali pada bahasan syarat sah puasa.
Hanya saja, menurut Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, niat tersebut sebaiknya sebelum matahari
tergelincir (sebelum duhur). Apabila setelah duhur belum juga berniat, maka puasanya tidak sah.
Namun menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama lainnya, diperbolehkan kapan saja baik
sebelum Dhuhur maupun setelahnya, dan penapat ini adalah pendapat Jumhur ulama. Hanya saja,
tentu berpuasa sebelum terbit fajar, lebih baik dan lebih selamat dari perbedaan.
2. Orang yang berpusa sunnat boleh buka kapan saja, jika ia mau
Menurut Imam Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal juga ulama lainnya, orang yang berpuasa sunnat
sunnah hukumnya untuk menyempurnakan puasanya sampai matahari terbenam kelak (waktu
berbuka), namun, apabila ia hendak berbuka pun tetap diperbolehkan (lihat dalam Majmu' al-Fatawa:
6/393 dan Syarh al-'Umdah: 2/601). Di antara dalilnya adalah:
,‫ ﺛ ﻢ ﻧ ﺎوﻟﻨﻰ‬,‫ﻋﻦ أم هﺎﻧﺊ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ دﺧﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻳﻮم اﻟﻔﺘﺢ ﻓﺄﺗﻰ ﺑ ﺸﺮاب ﻓ ﺸﺮب‬
‫ ﻓ ﺈن ﺷ ﺌﺖ‬,‫ ))إن اﻟﻤﺘﻄ ﻮع أﻣﻴ ﺮ ﻧﻔ ﺴﻪ‬:‫ ﻓﻘ ﺎل رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬,‫ إﻧ ﻰ ﺻ ﺎﺋﻤﺔ‬:‫ﻓﻘﻠ ﺖ‬
[‫ وإن ﺷﺌﺖ ﻓﺄﻓﻄﺮى(( ]رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﺤﺪﻳﺚ ﺿﻌﻴﻒ‬,‫ﻓﺼﻮﻣﻰ‬
Artinya: Dari Ummu Hani, bahwasannya Rasulullah saw suatu hari masuk ke rumahnya pada saat
penaklukan kota Mekah. Lalu diberi minum, dan beliau pun minum. Rasulullah saw lalu menyodorkan
minuman tersebut kepada saya, dan saya berkata: "Saya sedang berpuasa". Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya orang yang sedang berpuasa sunnat itu pemimpin untuk dirinya, jika kamu mau, kamu
boleh berpuasa, dan jika mau juga kamu boleh berbuka" (HR. Turmudzi dan haditsnya lemah).
Hadits ini sekalipun lemah, namun dikuatkan oleh hadits-hadits lain yang satu makna sehingga
dapat dijadikan dalil dan hujjah.

- 32 -
3. Apakah boleh puasa sunnat sebelum mengqadha puasa Ramadhan?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Bagi Hanafiyyah, boleh-boleh saja, sedangkan
Malikiyyah, memakruhkannya, sementara menurut Imam Syafi'i, disunnahkan untuk berpuasa qadha
dulu sebelum puasa sunnat.
Namun, dari kedua pendapat di atas, sebagaimana telah disebutkan pada bahasan puasa enam hari
bulan Syawal, bahwa pendapat yang mengatakan boleh berpuasa sunnat sebelum puasa qadha, adalah
pendapat yang lebih rajih. Hal ini disamping dalam ayat qadha (al-Baqarah: 185) disebutkan bahwa
waktu untuk mengqadha itu kapan saja, juga dalam hadits Aisyah dikatakan:
‫ ))آﺎن ﻳﻜﻮن ﻋﻠﻲ اﻟﺼﻮم ﻣﻦ رﻣﻀﺎن ﻓﻤﺎ أﺳﺘﻄﻴﻊ أن أﻗﻀﻴﻪ إﻻ ﻓ ﻰ ﺷ ﻌﺒﺎن(( ]رواﻩ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
[‫اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya pernah bolong berpuasa pada bulan Ramadhan, dan saya tidak
dapat mengqadhanya melainkan hanya pada bulan Sya'ban" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa Siti Aisyah mendahulukan puasa sunnat dari pada qadha dan
karenanya boleh-boleh saja. Untuk lebih jelas lihat kembali pada sub bahasan puasa qadha dan puasa
enam hari di bulan Syawal.
4. Seorang isteri sebaiknya meminta idzin terlebih dahulu kepada suaminya apabila hendak
berpuasa sunnat.
Hal ini sebagaimana disabdakan dalam hadits berikut ini:
‫ ))ﻻ ﺗﺼﻮم اﻟﻤ ﺮأة وﺑﻌﻠﻬ ﺎ ﺷ ﺎهﺪ إﻻ ﺑﺈذﻧ ﻪ(( ]رواﻩ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Seorang isteri tidak boleh melakukan puasa sunnat sementara
suaminya ada, kecuali meminta idzin terlebih dahulu" (HR. Bukhari Muslim).
Hal ini tentu karena taat dan meladeni suami hukumnya wajib, sementara puasa hukumnya sunnat,
dan tentu yang wajib harus lebih didahulukan dari pada yang sunnat. Dari hadits ini juga para ulama
mengambil kesimpulan bahwa apabila suaminya sedang tidak ada, pergi, maka para ulama sepakat,
bahwa isteri tersebut boleh berpusa (lihat al-Majmu' karya Imam Nawawi: 6/392).

Puasa-puasa yang hukumnya haram


Berikut ini adalah puasa-puasa yang hukumnya haram:
1. Puasa pada hari Raya Idul Fitri (tanggal 1 Syawal) dan pada hari Raya Idul Adha (tanggal 10
Dzulhijjah).
Sehubungan dengan puasa pada kedua hari ini, para ulama telah sepakat bahwa hukumnya haram
(lihat dalam al-Mughni: 4/424 dan Fathul Bari: 4/281). Di antara dalil yang melarang puasa ini adalah:
‫ ﻳ ﻮم اﻟﻔﻄ ﺮ وﻳ ﻮم‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﺨ ﺪرى أن رﺳ ﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻧﻬ ﻰ ﻋ ﻦ ﺻ ﻴﺎم ﻳ ﻮﻣﻴﻦ‬
(‫اﻟﻨﺤﺮ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: "Rasulullah saw melarang puasa pada dua hari: Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha" (HR.
Bukhari Muslim).
2. Puasa pada hari Tasyrik
Para ulama juga telah sepakat bahwa puasa pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah)
diharamkan. Hal ini di antaranya didasarkan kepada hadits berikut ini:
[‫ ))أﻳﺎم اﻟﺘﺸﺮﻳﻖ أﻳﺎم أآﻞ وﺷﺮب(( ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬:‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Hari Tasyrik itu adalah hari makan dan minum (dilarang
berpuasa)" (HR. Muslim).
Hanya saja, bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dan tidak mendapatkan hadyu
(hewan sembelihan untuk membayar dam), diperbolehkan untuk berpuasa pada ketiga hari tasyrik
tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
(‫ إﻻ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ اﻟﻬﺪي )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬,‫ ﻟﻢ ﻳﺮﺧﺺ ﻓﻰ أﻳﺎم اﻟﺘﺸﺮﻳﻖ أن ﻳﺼﻤﻦ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ واﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻻ‬
Artinya: Siti Aisyah dan Ibn Umar berkata: "Tidak diperbolehkan berpuasa pada hari-hari Tasyrik,
kecuali bagi yang tidak mendapatkan hadyu (hewan sembelihan)" (HR. Bukhari).

- 33 -
3. Puasa pada hari yang diragukan (hari syak, ragu).
Apabila seseorang melakukan puasa sebelum bulan Ramadhan satu atau dua hari dengan maksud
untuk hati-hati takut Ramadhan terjadi pada hari itu, maka puasa demikian disebut dengan puasa ragu-
ragu dan para ulama sepakat bahwa hukumnya haram. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh
Rasulullah saw:
‫ ))ﻻ ﻳﺘﻘﺪﻣﻦ أﺣﺪآﻢ رﻣﻀﺎن ﺑﺼﻮم ﻳ ﻮم وﻻ ﻳ ﻮﻣﻴﻦ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
[‫ ﻓﻠﻴﺼﻢ ذﻟﻚ اﻟﻴﻮم(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬,‫إﻻ أن ﻳﻜﻮن رﺟﻞ ﻳﺼﻮم ﺻﻮﻣﻪ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Seseorang tidak boleh mendahului Ramadhan dengan jalan
berpuasa satu atau dua hari kecuali bagi seseorang yang sudah biasa berpuasa, maka ia boleh berpuasa
pada hari terebut" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
((‫ ))ﻣﻦ ﺻﺎم اﻟﻴﻮم اﻟﺬى ﺷﻚ ﻓﻴ ﻪ ﻓﻘ ﺪ ﻋ ﺼﻰ أﺑ ﺎ اﻟﻘﺎﺳ ﻢ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺎر ﺑﻦ ﻳﺎﺳﺮ ﻗﺎل‬
(‫]رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬى‬
Artinya: Amar bin Yasir berkata: "Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan padanya,
maka sungguh ia telah berbuat dosa kepada Abu Qasim, Rasulullah saw" (HR. Abu Dawud dan
Turmudzi).

Puasa-puasa yang hukumnya makruh


1. Puasa hanya pada hari Jum'at
Berpuasa hanya pada hari Jum'at saja termasuk puasa yang makruh hukumnya, kecuali apabila ia
berpuasa sebelum atau setelahnya, atau ia berpuasa Daud lalu jatuh pas hari Jumat, atau juga pas puasa
Sunnat seperti tanggal sembilan Dzuhijjah itu, jatuhnya pada hari Jum'at. Untuk yang disebutkan di
akhir ini, puasa boleh dilakukan, karena bukan dengan sengaja hanya berpuasa pada hari Jum'at.
Dalil larangan hanya berpuasa pada hari Jum'at saja adalah:
‫ ))ﻻ ﻳ ﺼﻢ أﺣ ﺪآﻢ ﻳ ﻮم اﻟﺠﻤﻌ ﺔ إﻻ أن ﻳ ﺼﻮم‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ‬
[‫ﻗﺒﻠﻪ أو ﻳﺼﻮم ﺑﻌﺪﻩ(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Seseorang tidak boleh berpuasa hanya pada hari Jum'at, kecuali ia
berpuasa sebelum atau sesudahnya" (HR. Bukhari Muslim).
2. Puasa setahun penuh (puasa dahr)
Puasa dahr adalah puasa yang dilakukan setahun penuh. Meskipun orang tersebut kuat untuk
melakukannya, namun para ulama memakruhkan puasa seperti itu. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut ini:
‫ ))ﻻﺻ ﺎم وﻻ أﻓﻄ ﺮ(( ]رواﻩ‬:‫ آﻴ ﻒ ﺑﻤ ﻦ ﻳ ﺼﻮم اﻟ ﺪهﺮ آﻠ ﻪ؟ ﻗ ﺎل‬,‫ ﻳ ﺎ رﺳ ﻮل اﷲ‬:‫ ﻗ ﺎل ﻋﻤ ﺮ‬:‫ﻋﻦ ﻗﺘ ﺎدة‬
[‫ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Umar bertanya: "Ya Rasulallah, bagaimana dengan orang yang berpuasa satu tahun penuh?"
Rasulullah saw menjawab: "Ia dipandang tidak berpuasa juga tidak berbuka" (HR. Muslim).
3. Puasa wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak memakai sahur juga tidak ada bukanya, misalnya ia puasa
satu hari satu malam, atau tiga hari tiga malam. Puasa ini diperbolehkan untuk Rasulullah saw dan
Rasulullah saw biasa melakukannya, namun dimakruhkan untuk ummatnya. Hal ini berdasarkan hadits
berikut ini:
‫ ﻓﺈﻧ ﻚ ﺗﻮاﺻ ﻞ ﻳ ﺎ رﺳ ﻮل‬:‫ ))إﻳﺎآﻢ واﻟﻮﺻﺎل(( –ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ—ﻗ ﺎﻟﻮا‬:‫ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ ﻓ ﺎآﻠﻔﻮا ﻣ ﻦ اﻷﻋﻤ ﺎل ﻣ ﺎ‬,‫ إﻧ ﻰ أﺑﻴ ﺖ ﻳﻄﻌﻤﻨ ﻰ رﺑ ﻰ وﻳ ﺴﻘﻴﻨﻰ‬,‫ ))إﻧﻜ ﻢ ﻟ ﺴﺘﻢ ﻓ ﻰ ذﻟ ﻚ ﻣﺜﻠ ﻰ‬:‫اﷲ؟ ﻓ ﺎل‬
[‫ﺗﻄﻴﻘﻮن(( ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian berpuasa wishal" beliau mengucapkannya
sebanyak tiga kali. Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, anda sendiri melakukan puasa wishal?"
Rasulullah saw bersabda kembali: "Kalian tidak seperti saya. Kalau saya tidur, Allah memberi saya
makan dan minum. Oleh karena itu, perbanyaklah dan giatlah bekerja sekemampuan kalian" (HR.
Bukhari Muslim).

- 34 -
4. Puasa hanya pada hari Sabtu
Puasa hanya pada hari Sabtu ini ketentuannya sama dengan puasa hanya pada hari Jum'at
sebagaimana telah disebutkan di atas. Yang dilarang dari puasa hanya hari Sabtu itu adalah puasa yang
hanya hari itu saja dan tidak bertepatan dengan puasa yang disunatkan, misalnya tidak bertepatan
dengan puasa Arafah, puasa Asyura dan lainnya (lihat dalam al-Majmu' karya Imam Nawawi: 6/440),
al-Mughni: 4/428). Dalil makruhnya puasa ini adalah hadits berikut ini:
‫ ))ﻻ ﺗ ﺼﻮﻣﻮا ﻳ ﻮم اﻟ ﺴﺒﺖ إﻻ ﻓﻴﻤ ﺎ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﺑﺴﺮ ﻋﻦ أﺧﺘ ﻪ أن اﻟﻨﺒ ﻲ ﺻ ﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ ﻗ ﺎل‬
[‫ أو ﻋﻮد ﺷﺠﺮة ﻓﻠﻴﻤﻀﻐﻪ(( ]رواﻩ أﺑﻮ داود‬,‫ وإن ﻟﻢ ﻳﺠﺪ أﺣﺪآﻢ إﻻ ﻟﺤﺎء ﻋﻨﺒﺔ‬,‫اﻓﺘﺮض ﻋﻠﻴﻜﻢ‬
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali apa yang telah
Allah wajibkan kepada kalian. Apabila seseorang tidak mendapatkan selain kulit buah anggur atau
dahan kayu, maka kunyahlah" (HR. Abu Dawud).
Hanya saja, hadits ini lemah, sehingga untuk persoalan puasa ini para ulama sangat beragam
pendapat. Namun demikian, hadits ini, hemat penulis, dikuatkan pula oleh hadits-hadits lainnya yang
semakna. Oleh karena itu, berpuasa hanya pada hari Sabtu saja termasuk puasa yang hukumnya
makruh.

Penutup
Demikian sekelumit pembahasan seputar Fiqh Shiyam dan segala persoalan yang terkait
dengannya. Semoga makalah ini menjadi bekal kedua—setelah bekal pertama pada makalah pertama—
dalam rangka menyambut bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi. Apabila makalah pertama
lebih bersifat al-madkhal (pengantar), maka makalah kali ini boleh dikatakan isi dari persoalan Fiqh
Shiyam tersebut. Makalah ketiga pada minggu mendatang insya Allah akan mencoba mengupas bagian
lain yang tidak kalah penting dan menariknya yaitu bahasan I'tikaf, Lailatul Qadar, Qiyamul Lail,
Tarawih dan Zakat Fitrah.
Semoga makalah ini khususnya dan makalah-makalah lainnya yang telah atau belum tersaji
berguna dan bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Tidak lupa,
segala kesalahan dan kekurangan, tentu datangnya dari diri penulis sendiri, sementara yang benarnya itu
datang dari Allah dan RasulNya. Semoga berguna dan menjadi ilmu yang bermanfaat yang pahalanya
dapat mengalir sampai penulis tiada kelak. Walllahu a'alam bis shawab, allahumma shalli 'ala sayyidinaa
Muhammad wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'in, amin.

***Makalah ini special dipersembahkan untuk kawan-kawan tercinta siswa siswi remaja Sekolah
Indonesia Cairo (SIC) pada pengajian rutin remaja Sabtuan di Mesjid Indonesia Kairo, Egypt.
Dipresentasikan pada hari Sabtu, tanggal 24 September 2005 di Mesjid Indonesia Cairo, Dokki, Kairo.
Penulis adalah kandidat master Universitas al-Azhar Kairo pada fakultas Hukum dan Perundang-
undangan jurusan Ushul Fiqh (kini sedang menulis thesis).

Email: aepmesir@yahoo.com
Depan makam Shahabat Rasulullah saw, Abu Dzar al-Ghifari, Rabu, 21 September 2005 pukul 6.00 sore.

DAFTAR BACAAN / REFERENSI

1. Ummu Anas Samiyyah binti Muhammad al-Anshari, ath-Thariq Ila Rayyan ash-Shaaimiin, Dar Ibn
Rajab, Manshurah, 2002.
2. Hatim bin Hasan ad-Diib, Kaifa Tuzakki Nafsaka fi Ramadhan, Maktabah al-Yarmuuk, Kairo, 2003.
3. Muhammad Sa'id Mursi, Ila 'Ussyaq Ramadhan, Muassasah Iqra', Kairo, 2005.
4. Nabil bin Muhammad Mahmud, Ma Yahummu ash-Shaaimaat fi Ramadhan, Maktabah Wahah al-
Firdaus, Iskandariah, 2004.
5. Abu Abdurrahman, Masyahidul Iman fi Syahri Ramadhan, Maktabah Aulad asy-Syaikh Litturats,
Kairo, 2000.
6. As-Sayyid Mahmud Abdul Aal, Ramadhan Syahrul Jihad, Maktabah Aulad asy-Syaikh Litturats,
Kairo, 2000.
- 35 -
7. Muhammad Dardiry al-Azhari, Qathf al-Jinan Fi Asraarish Shiyam wa Maa Hadatsa fi Ramadhan,
Maktabah Aulad asy-Syaikh Litturats, Kairo, 2001.
8. Khalid Abu Syaadi, Manit Thariq? Ana Ramadhan, Darut Tauzi' wan Nasyr al-Islamiyyah, Kairo,
2005.
9. Qasim Abdullah dan Yasir Abdurrahman, Wa Syauuqaah ya Ramadhan; Barnamij Yaumi, Iimani wa
Tsaqafii, Muassasah Iqra', Kairo, 2005.
10. Ali al-Khatib, Ash-Shiyam Minal Bidayah Hattal Islaam, Maktabah al-Kulliyyaat al- Azhariyyah,
Kairo, t.th.
11. Imam Bukhari, Kitab ash-Shiyam: Waajibaatuh, Mustajabaatuh, Mubthilaatuh, Maktabah ash-Shafa,
Kairo, 2003.
12. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majalis Syahri Ramadhan, Maktabah ash-Shafa, Kairo, 2003.
13. Salim bin Idul Hilali dan Ali Husain Ali Abdul Hamid, Shifat Shaumin Nabiy Saw fi Ramadhan, Dar
Ibn Hazm, Beirut, Cet. Kedelapan, 2005.
14. Yusuf al-Qardhawi, Fiqhus Shiyam, Maktabah Wahbah, Kairo, 2003.
15. Said Abdul Adhim, Durus az-Zaman fi Syahris Shiyam, Darul Aqidah, Kairo, 2002.
16. Abdurrahman Abdul Hamid al-Birr, Waqafaat Tarbawiyyah Ma'as Shaaimiin, Darul Yakin,
Manshurah, 2003.
17. Muhammad bin Shalih al-Utsaimiin, Fatawas Shiyaam, Maktabah ash-Shafa, Kairo, 1999.
18. Abdul Aziz bin Baz, Fatawaa wa Ahkam az-Zakaat was Shiyaam, Maktabah ash-Shafaa, Kairo, 2001.
19. Abdul Halim Mahmud, Syahr Ramadhan, Dar al-Ma'arif, Kairo, Cet. Ke-6, t.th.
20. Shalih al-Ja'fary, Asrar al-Shiyam li al-Khawash wa al-Awam, Dar Jawami' al-Kalim, Kairo, t.th.
21. Syaban Muhammad Ismail, al-Shiyam fi al-Qur'an wa al-Sunnah, al-Maktabah al-Taufiqiyyah, Kairo,
t.th.
22. Ibn Rajab al-Hanbaly, Lathaiful Ma'arif Fiimaa Limawasiml Aam Minal Wazhaaif, Maktabah Anwar,
Nigeria, 2002.
23. Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib
al-Aimmah, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, t.th.
24. Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Kairo, 1998.
25. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Adhim, Maktabah al-Iman, Mansurah, 1996.
26. Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Minhajul Muslim, Dar al-Salam, Kairo, 2003
27. Imam Nawawi, Riyadlu al-Shalihin Min Kalam Sayyid al-Mursalin, Dar al-Salam, Kairo, 2002.
28. Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin,, Dar al-Salam, Kairo, 2000
29. Ibnu Taymiyyah, Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah, Hukumah Mamlakah al-Arabiyyah
as-Saudiyyah, Saudi, 1381 H.
30. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Dar al-Fath, Kairo, cet. Kedua, 1999.
31. Sayyid Sabiq, ash-Shiyam: Lailatul Qadar, Zakatul Fithr, Shalatul 'Id, Dar al-Fath, Kairo, 1996.
32. Muhammad Abdul Maqshud Afifi, Kitab ash-Shiyam: Fatawa wa Ahkam, Darur Ridha, Kairo, 2004.
33. Imam Nawawi, Raudhatut Thalibin: Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, t.th.
34. Imam Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzab, Darul Fikr, Beirut, t.th.
35. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1996.
36. Syamsuddin ar-Ramly, Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Muhtaj, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1993.
37. Syihabuddin al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1996.
38. Imam Syaukani, Nailul Authar, Darul Hadits, Kairo, 2000.
39. Ibn Hazm, al-Muhalla, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, t.th.

- 36 -

Anda mungkin juga menyukai