PENDAHULUAN
1. Pengertian Reseptor
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler
lain membentuk sistem reseptor – efektor sebelum menimbulkan respons.
1. Hormones dihasilkan oleh kelenjar eksokrin dan disekresikan melalui peredaran darah
menuju sel target yang jauh (e.g.’s: insulin, testosterone)
2. Autocrine/paracrine factors–hormon yang beraksi lokal (e.g.: prostaglandins)
3. Neurotransmitters–dilepaskan oleh ujung saraf sebagi respon dari depolarisasi (e.g.’s:
acetylcholine, norepinephrine)
4. Cytokines–ligan yang diproduksi oleh sel-sel pada sistem imunitas. Targetnya bisa
jauh atau dekat (e.g.’s: interferons, interleukins)
5. Membrane-bound ligands–terdapat pada permukaan sel, mengikat pada reseptor
komplementer sel yang lain Æmenjembatani interaksi antar sel (e.g.: integrins) z
Drug/chemicals –merupakan senyawa yang dipaparkan dari luar
2 fungsi obat terhadap reseptor :
Reseptor terdapat pada Membran Sel dan Sitoplasma.Reseptor membran sel bekerja
dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian meneruskan sinyal ke sel target, baik secara
langsung ke intrasel atau dengan memproduksi molekul pengatur lain (second messenger) di
intrasel.Mungkin perlu protein lain untuk berfungsi (sistem reseptor-efektor) misal adenilat
siklase. Reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, efektor mensintesis second messenger
siklik-AMP
Merupakan protein terlarut pengikat DNA yang mengatur transkripsi gen. Pendudukan
pada reseptor ini akan meningkatkan sintesis protein tertentu
3. Jenis-jenis reseptor
Tipe reseptor :
Reseptor terhubung enzim
Reseptor terhubung kanal ion
Reseptor terkopling protein-G
Reseptor reseptor nuklear
A. Reseptor terkopling protein G (GPR)
GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya terjadi
dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks
transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian
memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal
Reseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon terjadi dalam
hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor. Contoh : reseptor nikotinik, reseptor
GABAA, reseptor ionotropik glutamat dan reseptor 5-HT3
Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa ada
di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus
setelah berikatan dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor
kortikosteroid, reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.
D. Reseptor terhubung enzim
Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan
pada reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel.
Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan
ligan, merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan
disebut antagonis.
Kurva dosis respon
Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor. Ikatan kovalen
menghasilkan afinitas kuat, interaksi stabil dan ireversibel. Ikatan elektrostatik bisa
menghasilkan afinitas kuat atau lemah, biasanya bersifat reversibel.
Skala dosis aritmetik : Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan
dosis. Saat peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk
dianalisis secara matematis pada kurva dosis aritmetik. Skala Log Dosis : Kurva logaritmik
mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis lurus). Hal ini lebih
menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara dengan efek sehingga
mudah dianalisis secara matematis
Potensi
Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun
signifikansi secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara
klinis. Obat berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis
terlalu besar sehingga sukar diberikan
Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesik
rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada golongan
narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik
Agonis adalah obat yang berinteraksi dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai afinitas
dan efikasi (aktivitas intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik.
Ada 2 tipe agonis :
– Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal
– Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal
Antagonist berinteraksi dengan reseptor tapi tidak mengubah reseptor. Antagonis mempunyai
afinitas tapi tidak mempunyai efikasi. Ada 2 tipe antagonis :
– Antagonis kompetitif Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk menduduki
reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Antagonis menggeser
kurva dosis respon agonis ke kanan, mengurangi afinitas agonis
Teori Klasik
Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat karakteristik.
Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan
konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan
efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan
struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai
atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat
digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat
Teori Pendudukan
Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas
yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian
dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang
afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis
sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai berikut:
Afinitas
O + R < ==========> komplek OR → respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya respon
biologis.
O + R < =====> O-R → respon (+) : senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik
=1)
O + R < ===> O-R → respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik =
0)
Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat
berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi
obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan
oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Asosiasi dissolusi
O + R < =========> komplek (OR) ——————–> respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor ) dan
dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi
(mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena
menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal.
Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek
rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat
masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga timbul efek
rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul obat cukup banyak
maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai di bawah kadar yang
diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran.
Kesimpulan
AnnishviaLl DKK 2011.makalah farmakokimia interaksi obat reseptor.universitas gajjah mada yogyakarta.
Bertram, katzung.2001.FARMAKOLOGI:Dasar dan Klinik.Salemba Medika.Jakarta
Brody, T. M., Larner, J. and Minneman, K. P. (Eds.), 1998, Human Pharmacology : Molecular
to Clinical, 3th ed., Mosby Inc., St. Louis, Missouri. 3.
Foreman, J. C. and Johansen, T. (Eds.) (1996) Textbook of Receptor Pharmacology, CRC
Press., USA
Korolkovas, A., 1970, Essentials of Molecular Pharmacology : Background for Drug Design,
Wiley-Interscience, New York. 2.