Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan satu-satunya agam yang mengatur berbagai aspek dalam


kehidupan, sehingga melahirkan banyak disiplin ilmu salah atunya adalah ilmu
Ushul Fiqh. Pada zaman rosulullah belum ada pembagian khusus tentang
ilmuUshul Fiqh karena pada saat itu segala permasalahan ditumpahkan langsung
kepada rosulullah, kemudian rosulullh menjawabnya melalui wahyu dan ilham
dari Allah, tanpa memerlukan dasar-dasar dn kaidh-kaidah untuk
menginstimbatkan hukum.

Namun, seiring perkembagan islam semkin meluas keseluruh penjuru dunia


tentunya banyak sekali permasalahn-permasalahan yang timbul. Untuk menjawab
berbagai permasalahan-permasalahan kini, para sahabat berfatwa menurut nash-
nash yang merek pahami. Bila jawabanya tidak ditentukan dalam al-quran dn
hadits, mereka melakukan ijtihad. Untuk melakukan ijtihad dibutuhkan ilmu
khusus dalam mengijtihadkan suatu masalah, yaitu dengan mengetahui ushul fiqh.

Memahami ushul fiwh merupakan modal utama dalam mengistimbatkan suatu


perkara.fiqh muncul karena adanya ushul fiqh. Dengan demikian, ushul fiqh
mempunyai peranan pentng dalam perkembangan fiqh .mengambil hukum tanpa
dasar hanyalah suatu kedustaan yang nyata. Lain halnya dengan metode mujtahid
dalam mengambil hukum.

Kebutuhan terhadap ushul fiqh ini senantiasa tidak penah padam, karena
masyarakat senantiasa bergerak dnamis terutama atas perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga seakan hukum islam itu senantiasa berpacu
dengan perkembangan ilmu dan teknologi.banyak persoalan-ersoalan yang
senantiasa muncul yang perlu ditetapkan status hukumnya, yang hal itu belum
secara tegas dihukumi pada masa-masa yang telah berlalu.
B. Rumusan masalah

1. Apa Pengertian Sumber Hukum Islam?


2. Apa saja macam-macam Sumber Hukum Islam?
3. Apa kaidah Ushul Fiqh?
4. Apa ugensi Sumber Hukum Islam?
5. Bagaimana relevansi hukum islam pada zaman sekarang?

C. tujuan

1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Sumber Hukum Islam


2. Untuk mengetahui Apa saja macam-macam Sumber Hukum Islam
3. Untuk mengetahui Apa kaidah Ushul Fiqh
4. Untuk mengetahui Apa ugensi Sumber Hukum Islam
5. Untuk mengetahui Bagaimana relevansi hukum islam pada zaman
sekarang
BAB II

PENDAHULUAN

A. Pengertian Sumber Hukum Islam

Kata-kata “Sumber Hukum Islam” merupakan terjemahan dari lafazh


Mashâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab
hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqh dan ushul fiqh klasik. Untuk
menjelaskan arti “sumber hukum Islam”, mereka menggunakan al-Adillah al-
Syariyyah. Penggunaan Mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang
ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-
Syar’iyyah.1 Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum
syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan
hukum’.2
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono,
1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang
dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum
Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan,
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan
tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab
Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki).
Di samping itu pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah
satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadist. Seluruh hukum produk
manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang diberikan
Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang.
Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan sempurna
serta sejalan dengan fitrah manusia.
1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm. 402
2
Ibid. hlm. 401
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi
Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga
sumber yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadis),
dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.

B. Macam-macam Sumber Hukum Islam


a. Al-Qur’an

Secara etimologis
Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara
teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua
kitabullah dan intisari dari ilmu.3

Menurut para ulama klasik


Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah
dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara
mutawatir4 serta membacanya adalah ibadah.

b. As-Sunnah Atau Hadist

As-Sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari


Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan
pengakuan. As-sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an
yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an.5

As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:

3
Roysdi Anwar, S. Thi pengantar ulumul quran dan ulumul hadits teori dan metodologi hlm. 11
4
Mutawatir ialah, informasi yang di riwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya banyak, yang
semua mereka adil dan kuat ingatan, ari suatu generasi kepada generasi lainya dan secara terus
menerus, yang secara logika tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dala periwayatanya
tersebut karena banyaknya jumlah perawi itu.
5
Ilmu tafsir dan hadits Iain Sunan Ampel, Cv, aneka bahagia, surabaya, 1993.hm. 41
1. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
2. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
3. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap
pernyataan ataupun perbuatan orang lain
4. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan
dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
c. Ijma

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama,


berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan ‫أجمع فالن على األمر‬berarti
berupaya di atasnya.6

Sebagaimana firman Allah Swt:

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-


sekutumu”. (Qs.10:71)

Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama


dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan
arti kedua lebih dari satu orang.

Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para


mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw
atas hukum syara.

Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya


kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas
hukum syara’

6
d. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.7

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap


hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan
melahirkan hukum yang sama pula.

Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah


dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman
Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)


khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.Al-Maidah:90)

Berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya.


Qiyas : Suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara
lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contoh: adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’,
‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama
menyakiti hati orang tua.

e. Istihsan

Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-


hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti

7
Abd. Rahman dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: amzah 2011, hlm 161
“kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih
baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah;
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”8
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di
kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang
serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang
lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat
diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas
yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti
dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih
hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang
dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang
pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada
setiap waktu shalat atas dasarIstihsan, padahal secara qiyas tayammum itu
sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak
wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal.
Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan
pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad
memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran
aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada
atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum

8
Sesarimun sukur, sumber-sumber hukum islam, surabaya; al-ikhlas, 1993, hlm. 169
tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini
memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam
pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau
memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan
hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun
meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil
dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya
dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya).
Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia
merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid
mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia
landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas
hasil ijtihad ini.”
Suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang
lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu
perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.

Contoh: menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang
barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak
memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli
diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya
dikirim kemudian.

f. Maslahah mursalah

Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal
maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah
yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut
mangandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa
pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Tujuan syara’
yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek
tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk
menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek
tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah. Dengan demikian, al-
Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’
memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi
penguatnya ataupun pembatalnya.

Menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Menurut istilah adalah


perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contoh : dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang
memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini
dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.

g. istihsab

Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada


hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum
yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang
mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya
hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum
tersebut.9
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya
hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan

9
Totok sumantoro dan samsul munir amin, kamus ilmu ushul fiqh, amzah, Jakarta 2005.hlm. 142
menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan
pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:

1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap
berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada
masa yang lalu.

Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B,
kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15
tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C.
Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka
walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.
Berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum
tersebut.
Contoh :

seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di


saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum
berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila
tidak berwudhu

h. Urf

Perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan


maupun perbuatan.
Contoh: adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul
karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

C. Kaidah ushul fiqh


 Segala perkataan terganyung pada niat
 Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan
 Kesulitan mendatangkan kemudahan
 Kemudhorotan harus dihilangkan
 Adat ebiasaan dapat dijadikan, ( pertimbangan) hukum.
D. Urgensi Hukum Islam
 Urgensi al Qur’an
1. Petunjuk bagi Manusia
Allah Swt menurunkan Al-Qur’an sebagai petujuk umat manusia,
seperti yang dijelaskan dalam firman Allah yaitu:

QS. Al-Baqarah: 185

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,


bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan – penjelasan mengenai
petunujuk itu dan pembeda (antara yang hak dan bathil).”

QS Al-Baqarah: 2

“ Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi


mereka yang bertaqwa.”

2. Sumber Pokok Ajaran Islam


Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan
diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya
meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah,
ekonomi, politik, social, budaya, pendidikan, ilmu pengethuan dan seni.

3. Peringatan dan Pelajaran Bagi Manusia


Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan
umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah
maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran
Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai
mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan
dalam Al-Qur’an.

4. Sebagai Mukjizat Nabi Muhammad Saw


Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki
oleh nabi Muhammad saw.
 Urgensi As – Sunnah

As-Sunah adalah penjelasan (al-bayan) dari Al-Quran, maka yang


diberi penjelasan (Al-Quran) harus didahulukan. Allah berfirman:

“Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan


pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan”(QS.An-Nahl:44)

Di dalam ayat ini, Nabi Muhammad dengan Sunahnya adalah


sebagi pemberi penjelasan isi Al-Quran, hal ini menunjukan kewajiban
untuk mengamalkan Sunah Nabi. Jika tidak, maka kita tidak munkin
mengamalkan perintah-perintah yang ada di dalam Al-Quran tersebut.

Dengan berlandaskan bahwa al-Qur’an berstatus qoth’iy (ijmaly dan


tafsily) dan as-sunnah berstatus qoth’iy secara ijmaly dan dzonny secara
tafsily serta kedudukan al-Qur’an sebagai mubayyan dan as-sunnah sebagai
bayan maka al-Qur’an harus di dahulukan dari pada as-sunnah dan
kedudukannya tidak sama sekalipun imam syafi’iy berargumen bahwa yang
shohih berkedudukan sama.10

Sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki


sangat signifikan terkait dengan al qur’an, baik secara struktural (sebagai
sumber hukum kedua) maupun fungsional yakni sebagai berikut;

1. Penguat (takidy) dan penetap (taqriry) al-Qur’an

As-Sunah sebagai penguat dan penetap hukum yang telah ada di dalam
Al-Quran, maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan dua
dalil; dalil Al-Quran dan dalil penguat As-Sunah. Hukum-hukum tersebut
Seperti perintah untuk melaksanakan sholat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, haji ke Baitullah, larangan menyekutukan Allah (syirik), durhaka
kepada kedua orang tua, dan perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-
Quran dan dikuatkan oleh As-Sunah.

2. Penjelas (bayan tafsiry) al-Qur’an

Terkait dengan hal ini terbagi menjadi 4 bagian, yakni as-Sunah sebagai
perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal) dari Al-Quran,
sebagi pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham), sebagi
pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, memberi
pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran.
Dalam buku ilmu ushul fiqih karangan Drs. Muhammad ma’shum zein, beliau
menambahi dengan taudhih al musykil (menjelaskan ayat al-Qur’an yang
masih rumit).

3. Penjelas ayat-ayat nasikh mansukh

10 Imam Syafi’iy, Al-Um, Juz:VIIi, (Kairo: Maktabah Dar al-Tijariyyah al-Islamiyyah: tth), hal
246
Bayan Nasakh adalah dalil yang membatalkan pengamalan dengan
sesesuatu hukum syara’ sebab adanya dalil setelahnya.

As sunnah sebagai penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang merevisi


dan direvisi seperti pada firman Allah,

“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang diantara kalian kedatangan(tanda-


tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertaqwa”
(QS. Al –Baqoroh: 180).

Ayat ini direvisi dengan ayat-ayat mawarits, hanya saja revisi tersebut
diketahui dari penjelasan as-sunnah.

4. Menetapkan hukum baru yang belum pernah disebutkan dalam al-Qur’an


(bayan tasyri’dan ziyadah)
As-Sunah sebagai dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan
hukum yang hakikatnya tidak ada dalam al-Qur’an, melalui 3 jalan yaitu,
ilhaq, qiyas, dan isthinbath (ijtihad).11
Di dalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa
ada di dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah,
bukan Al-Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah,
menolong orang yang dianiaya adapun di dalam bentuk larangan, hukum
haramnya memakan daging binatang buas yang bertaring, hadits yang
menerangkan tentang hukuman rajam bagi zina mukhshan, keharaman
memakai sutra dan emas bagi laki- laki, dan lain sebagainya12.
Imam Syafii menyatakan, "Apabila As-Sunah adalah tambahan Al-Quran,
maka As-Sunah mengikuti dan kembali kepada Al-Quran dan masuk di bawah
dasar-dasar umum syariat Al-Quran. Ijtihad hukum Rasulullah berpangkal

11 Drs. Muhammad Mahsun Zein, Ilmu Ushul Fiqih, hal. 59


12
Wahbah al-Zuhaili, Ushul, Juz 1, hal 460- 464
pada Al-Quran dan ruh syariat. Dengan ini, maka tidak mungkin akan terjadi
pertentangan dan perselisihan antara Al-Quran dan As-Sunah."
Imam Syaukani dan Imam Syafii menyatakan, "Pengingkaran terhadap
Sunah berkonsekwensi sangat bahaya di dalam agama, dan membuat kita tidak
faham shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lain yang masih global
dalam Al-Quran yang dijelaskan oleh Sunah. Kecuali dengan perkiraan bahasa
saja. Dengan sebab ini, gugurlah sholat, zakat, hal yang telah diketahui turun-
temurun oleh semua orang wajibnya. Hingga mengetahui hal tersebut adalah
pengetahuan pokok dalam agama. Orang yang mengingkari Sunah tidak ada
arti apa-apa di dalam Islam".
Walaupun as-sunnah dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil),
sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi
dan meligitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam
sari'at Islam.
 Urgensi Qiyas, ijma, masalah mursalah, istihsab, urf ,istihsan
1. Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat di ketahui
hukumnya sehingga hukum islam selalu berkembang serta sanggup
menjawab tantangga.
2. Dapat menyesuiakan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman,
waktu dan keadaan.
3. Menetapakan fatwa terhadap masalah masalah yang tidak terkait
dengan halal atau haram .
4. Dapat membantu umat islam dalam menghadapi setiap permasalahan
yang belm ada hukum nya secara islam.
 Urgensi hukum taklifi dan hukum wad’i
 Urgensi 5 kaidah ushul fiqh
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam
untuk memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena
dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan
persoalan esensial dalam satu persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa
persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah
fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan
persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa hash-


nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam
undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-
undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun- qanun tasyrik yang kulli yang tidak
terbatas suatu cabang undang-undang, karena cakupan dari lapangan fiqh
begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli
yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para
mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu
masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah
lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abdis


Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu
jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan
serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam
al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah
itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-
furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

E. Relevansi Hukum Islam pada zaman sekarang


 Al-Qur’an

َ‫ْن ِبأ َ ْنفُس ِِه َّن أَ ْربَعَة‬


َ ‫ون أَ ْز َوا ًجا َيتَ َربَّص‬
َ ‫ِين يُتَ َوفَّ ْو َن ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر‬
َ ‫َوالَّذ‬
َ ‫عش ًْرا فَ ِإذَا بَلَ ْغ َن أَ َجلَ ُه َّن فَال ُجنَا َح‬
‫علَ ْي ُك ْم فِي َما فَعَ ْل َن فِي‬ َ ‫ش ُه ٍر َو‬ْ َ‫أ‬
َ ُ‫َّللاُ بِ َما تَ ْع َمل‬
‫ون َخ ِبير‬ َّ ‫وف َو‬ ِ ‫أَ ْنفُس ِِه َّن بِا ْل َم ْع ُر‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.(Al-Baqarah:234)

Dalam ayat diatas di jelaskan bahwa masa Idah (masa tunggu )


istri yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan sepuluh hari, mengapa
4 bulan sebuluh hari dalam salah-satu kitab tafsir sijelaskan bahwa dalam
4 bulan istri yang mengandung akan terasa gerakan calan bayi dan
mengapa ditambah 10 hari dikhawatirkan masa perkembangan calon bayi
lamban sehingga ditambah 10 hari. Dari penjelasan tersebut saya
mengambil kesimpulah bahwa di anjurkannya masa tunggu dikarenakan
dikhawatirkan istri yang di tinggal suami dalam keadaan hamil, karena
apabila dalam keadaan hamil istri yang di tinggal mati suaminya harus
menunggu sampai bayi itu lahir atau masa idahnya 9 bulan. Melihat ayat
dan penjelasan tersebut jika di aplikasikan pada zaman sekarang banyak
yang mengatakan tidak tepat alasan mereka bahwa apabila seseorang
hamil bisa terdeteksi pada 3 minggu awal kehamilan dengan kecanggihan
tekhnologi saaat ini yaitu dengan USG, alasan mereka yang kedua adalah
masalah perekonomian sekarang yang semakin sulit, naiknya kurs dollar
terhadap rupiah membuat sebagian masyarakat terbebani, misalnya ada
seorang istri yang di tinggal suaminya dalam keadaan miskin dan
keluarganya pun juga dalam keadaan yang sama apakah harus menunggu
selama 4 bulan sepuruh hari jika seorang wanita diharuskan bekerja
memenuhi kebutuhan tidak etis dipandang karena kodratnya wanita
adalah mendidik anak-anaknya dan menadi ibu rumah tangga,
seyogyanya mencari pengganti suami agar perekonomian keluarga bisa
teratasi.

 Hadits
Etika seorang dalam kehidupannya merupakan cermikan gambaran
akhlak seseorang tersebut sehingga kita sangat pantas menggangap
bahkan meneladani akhlak mulia yamg dimiliki rasulullah saw. Etika
yang beliau ajarkan melalui hadits sudah banyak diteliti oleh para
ahli. Salah satu tentang anjuran beliau dalam sebuah hadits nya"amr
bin syu'aib dari neneknya r.a, berkata : saya telah melihat rasulullah
saw minum sambil berdiri dan minum sambil duduk.(HR.at-
Tirmidzi). Hadits ini membolehkan minum sambil berdiri tetapi jika
dalam suatu jamuan memungkinkan untuk duduk maka lebih baik
meminum dengan duduk. Hal itu dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan para ahli yang menemukan bahwa jika minum dengan
berdiri maka katup sepringer(penyaringan) yang berada di
tenggorokan terbuka sehingga tidak menyaring air terlebih dahulu
dan juga air tidak melewati ginjal kita sehingga jika hal tersebut terus
terjadi, itu akan memperberat kerja ginjal, lambat laun akan
menimbulkan kerusakan pada ginjal
 Ijtihad (ijma, qiyas, istihsan, istshab, maslahah mursalah dan
‘urf)

AlQur'an berulangkali menganjurkan umat Islam agar memanfaatkan


akal, merenung, dan membuat pertimbangan-pertimbangan. Berjayanya
ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa awal Islam merupakan hasil
dari adanya perhatian yang sungguh-sungguh dari umat Islam ketika itu,
menempatkan akal pada porsi yang strategis, sehingga dalam waktu yang
relatif singkat peradaban menjadi prestasi yang tak tertandingi. (Sardar,
72).
Manusia adalah makhluk yang dinamis, kreatif, sehingga dari masa ke
masa akan mengalami perkembangan dan pergeseran dalam sistem
kehidupannya sebagai sunnatullah. Karena pergeseran dan perubahan
itulah yang memunculkan persoalan-persoalan baru yang ketikafiqh
dirumuskan belum muncul. Sejumlah persoalan-persoalan kontemporer
yang memerlukan perhatian serius oleh umat Islam antara lain:
Bidang ekonomi: seperti masalah asuransi, jual beli saham, zakat gaji,
Bidang kedokteran: seperti masalah transplantasi, aborsi dan kloning.
(Qaradawi, 1995:7-11).
Kondisi sekarang ini dipandang sebagai kondisi darurat untuk
dilakukanya ijtihad, hal ini dimaksudkan untuk menghindar dari hal-hal
yang merusak dan membinasakan, baik pada makhluk hidup, lingkungan
dan alam secara keseluruhan, sesuai dengan kaidah; "Dar'ul mafasid
muqaddamun 'ala jalbil mashalih" (menghindari dari yang membawa
kerusakan didahulukan dari sesuatu tindakan yang mendatangkan
kemaslahatan).
Ijtihad yang dianggap sebagai satu alternatif dalam upaya
menemukan hukum baru masih sering dipersoalkan, apalagi menyangkut
persoalan teknis (Metode istinbath atau konsep ijtihad yang relevan
dengan kondisi sekarang dalam pembaharuan hukum Islam kontemporer.
Ulama-ulama klasik dalam mengembangkan metode istinbat
(menarik kesimpulan hukum) berdasarkan kaidah-kaidah dalam nash dan
penggunaan akal. Metode yang sering digunakan di antaranya adalah
qiyas, istihsan, maslahah mursalah. Ketiga metode ini hanyalah
merupakan metode alternatif dalam upaya memecahkan persoalan.
Karena dikalangan para ulama belum terjadi kesepakatan tentang
kebolehan menggunakan salah satu di antara ketiga metode tersebut.
Sebagian menolak dan sebagian menerimanya, perbedaan itu muncul
karena pemaknaan istilah tersebut.
Ijtihad sebagai gerak dinamisator alam Islam, tidak hanya terbatas
pada ruang lingkup masalah-masalah baru saja, tetapi ia memiliki
kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah pemikiran hukum
Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah
yang ada didalamnya berdasarkan kondisi kekinian dan kebutuhan
manusia untuk memilih pendapat yang terkuat dan paling cocok, dengan
merealisasikan tujuan syari’ah dan kemaslahatan manusia. (Basyir,
1991:62)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata-kata “Sumber Hukum Islam” merupakan terjemahan dari lafazh
Mashâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum
Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqh dan ushul fiqh klasik. Untuk
menjelaskan arti “sumber hukum Islam”, mereka menggunakan al-Adillah al-
Syariyyah. Penggunaan Mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini,
tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.13
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil
(diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum.
Macam- macam sumber hukum islam terdiri dari:
a. Al-Quran,
b. hadits
c. Ijtihad ( ijma’, qiyas, maslahah mursalah, istihan, istihsab, dan ‘urf )
Urgensi al quran
a. Pentnjuk bagi manusia
b. Perigatan dan pelajaran bagi manusia
c. Sumber hukum ajaran islam
Urgensi assunah
a. Penguat (takidy) dan penetap (taqriry) al-Qur’an
b. Penjelas (bayan tafsiry) al-Qur’an
c. Penjelas ayat-ayat nasikh mansukh
d. Menetapkan hukum baru yang belum pernah disebutkan dalam al-Qur’an
(bayan tasyri’dan ziyadah)
Urgensi ijtihad
1. Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat di ketahui
hukumnya sehingga hukum islam selalu berkembang serta sanggup
menjawab tantangga.
2. Dapat menyesuiakan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman,
waktu dan keadaan.
3. Menetapakan fatwa terhadap masalah masalah yang tidak terkait
dengan halal atau haram .
4. Dapat membantu umat islam dalam menghadapi setiap permasalahan
yang belum ada hukum nya secara islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.

Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.

Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan.


Surabaya: Al Ikhlas. 1993.
Usman, Iskandar. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1994.

Anda mungkin juga menyukai