PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan terhadap ushul fiqh ini senantiasa tidak penah padam, karena
masyarakat senantiasa bergerak dnamis terutama atas perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga seakan hukum islam itu senantiasa berpacu
dengan perkembangan ilmu dan teknologi.banyak persoalan-ersoalan yang
senantiasa muncul yang perlu ditetapkan status hukumnya, yang hal itu belum
secara tegas dihukumi pada masa-masa yang telah berlalu.
B. Rumusan masalah
C. tujuan
PENDAHULUAN
Secara etimologis
Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara
teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua
kitabullah dan intisari dari ilmu.3
3
Roysdi Anwar, S. Thi pengantar ulumul quran dan ulumul hadits teori dan metodologi hlm. 11
4
Mutawatir ialah, informasi yang di riwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya banyak, yang
semua mereka adil dan kuat ingatan, ari suatu generasi kepada generasi lainya dan secara terus
menerus, yang secara logika tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dala periwayatanya
tersebut karena banyaknya jumlah perawi itu.
5
Ilmu tafsir dan hadits Iain Sunan Ampel, Cv, aneka bahagia, surabaya, 1993.hm. 41
1. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
2. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
3. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap
pernyataan ataupun perbuatan orang lain
4. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan
dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
c. Ijma
6
d. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.7
e. Istihsan
7
Abd. Rahman dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: amzah 2011, hlm 161
“kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih
baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah;
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”8
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di
kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang
serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang
lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat
diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas
yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti
dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih
hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang
dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang
pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada
setiap waktu shalat atas dasarIstihsan, padahal secara qiyas tayammum itu
sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak
wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal.
Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan
pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad
memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran
aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada
atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum
8
Sesarimun sukur, sumber-sumber hukum islam, surabaya; al-ikhlas, 1993, hlm. 169
tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini
memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam
pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau
memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan
hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun
meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil
dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya
dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya).
Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia
merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid
mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia
landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas
hasil ijtihad ini.”
Suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang
lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu
perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contoh: menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang
barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak
memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli
diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya
dikirim kemudian.
f. Maslahah mursalah
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal
maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah
yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut
mangandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa
pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Tujuan syara’
yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek
tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk
menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek
tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah. Dengan demikian, al-
Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’
memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi
penguatnya ataupun pembatalnya.
g. istihsab
9
Totok sumantoro dan samsul munir amin, kamus ilmu ushul fiqh, amzah, Jakarta 2005.hlm. 142
menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan
pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap
berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada
masa yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B,
kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15
tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C.
Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka
walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.
Berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum
tersebut.
Contoh :
h. Urf
QS Al-Baqarah: 2
As-Sunah sebagai penguat dan penetap hukum yang telah ada di dalam
Al-Quran, maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan dua
dalil; dalil Al-Quran dan dalil penguat As-Sunah. Hukum-hukum tersebut
Seperti perintah untuk melaksanakan sholat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, haji ke Baitullah, larangan menyekutukan Allah (syirik), durhaka
kepada kedua orang tua, dan perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-
Quran dan dikuatkan oleh As-Sunah.
Terkait dengan hal ini terbagi menjadi 4 bagian, yakni as-Sunah sebagai
perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal) dari Al-Quran,
sebagi pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham), sebagi
pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, memberi
pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran.
Dalam buku ilmu ushul fiqih karangan Drs. Muhammad ma’shum zein, beliau
menambahi dengan taudhih al musykil (menjelaskan ayat al-Qur’an yang
masih rumit).
10 Imam Syafi’iy, Al-Um, Juz:VIIi, (Kairo: Maktabah Dar al-Tijariyyah al-Islamiyyah: tth), hal
246
Bayan Nasakh adalah dalil yang membatalkan pengamalan dengan
sesesuatu hukum syara’ sebab adanya dalil setelahnya.
Ayat ini direvisi dengan ayat-ayat mawarits, hanya saja revisi tersebut
diketahui dari penjelasan as-sunnah.
Hadits
Etika seorang dalam kehidupannya merupakan cermikan gambaran
akhlak seseorang tersebut sehingga kita sangat pantas menggangap
bahkan meneladani akhlak mulia yamg dimiliki rasulullah saw. Etika
yang beliau ajarkan melalui hadits sudah banyak diteliti oleh para
ahli. Salah satu tentang anjuran beliau dalam sebuah hadits nya"amr
bin syu'aib dari neneknya r.a, berkata : saya telah melihat rasulullah
saw minum sambil berdiri dan minum sambil duduk.(HR.at-
Tirmidzi). Hadits ini membolehkan minum sambil berdiri tetapi jika
dalam suatu jamuan memungkinkan untuk duduk maka lebih baik
meminum dengan duduk. Hal itu dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan para ahli yang menemukan bahwa jika minum dengan
berdiri maka katup sepringer(penyaringan) yang berada di
tenggorokan terbuka sehingga tidak menyaring air terlebih dahulu
dan juga air tidak melewati ginjal kita sehingga jika hal tersebut terus
terjadi, itu akan memperberat kerja ginjal, lambat laun akan
menimbulkan kerusakan pada ginjal
Ijtihad (ijma, qiyas, istihsan, istshab, maslahah mursalah dan
‘urf)
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.