Anda di halaman 1dari 16

Manifestasi Klinis, Pemeriksaan, dan Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi pada

Anak
Agustinus Prio Nugroho
102015185
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Aalamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
Email: agustinus.2015fk185@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Di dalam tubuh manusia terdapat berbagai macam sistem untuk menjalankan aktivitas sehari – hari.
Salah satu sistem tersebut adalah sistem hematologi atau perdarahan. Gangguan darah sangat
bermacam – macam salah satunya adalah anemia. Anemia merupakan suatu gangguan pada darah
dimana terjadi penurunan pada hemoglobin, hematokrit, dan eritrosit. Secara garis besar anemia dapat
disebabkan karena tiga hal yakni penurunan dalam produksi eritrosit, peningkatan penghancuran
eritrosit, dan perdarahan. Salah satu gangguan pada penurunan produksi eritrosit adalah anemia
defesiensi besi. Penyakit ini merupakan anemia yang disebabkan karena kurangnya besi dalam tubuh
yang merupakan salah satu penyusun hemoglobin. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya
penurunan produksi eritrosit. Gejala yang sering terjadi adalah lemah, lesu, dan pucat. Selain itu
terdapat gejala khas lainnya berupa koilonikia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia maupun
pica. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dengan mengatasi penyebab terjadinya defisiensi serta
dapat diberikan suplemen zat besi dan vitamin C, serta konsumsi makanan yang bergizi dan tinggi zat
besi. Prognosis dari anemia defisiensi besi umumnya baik karena sangat responsif dengan pemberian
zat besi.
Kata kunci: hemoglobin, anemia, anemia defisiensi besi.
Abstract
In the human body there are various systems to run daily activities. One such system is a
hematological system or bleeding. Blood disorders vary widely - one of them is anemia. Anemia
occurs in the blood where there is a decrease in hemoglobin, hematocrit, and erythrocytes. This
substance can be used for various things such as erythrocytes, increased erythrocyte destruction, and
bleeding. One of the disruptions to the reduction of erythrocyte production is iron deficiency anemia.
This disease is anemia caused by lack of iron in the body which is one of the compilers of hemoglobin.
Things that cause a decrease in erythrocyte production. What often happens is weak, lethargic, and
pale. In addition there are other special symptoms such as koilonikia, atrophy papil tongue, angular
stomatitis, dysphagia or pica. Management of iron deficiency anemia by addressing the causes of
deficiency can also be given iron and vitamin C supplements, as well as the consumption of nutritious
and high-iron foods. The prognosis of iron deficiency anemia is mainly due to its highly responsive
iron administration.
Keywords: hemoglobin, anemia, iron deficiency anemia.

1
Pendahuluan
Tubuh manusia terdiri dari berbagai macam sistem dalam menjalankan aktivitas
sehari – hari. Ada sistem muskuloskeletal, sistem sirkulasi, sistem respirasi, sistem
kardiovaskuler, sistem persarafan, dan sistem hematologi. Semua sistem yang ada di dalam
tubuh manusia bekerja secara sinergis dan berrsama – sama untuk saling mendukung. Begitu
halnya dengan sistem hematologi pada tubuh manusia.
Hematologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan
yang membentuk darah termasuk sumsum tulang dan nodus limfa. Darah merupakan jaringan
yang berbentuk cairan yang terdiri dari dua bagian besar yakni plasma darah dan bagian
korpuskul. Darah memiliki peranan yang cukup penting di dalam tubuh manusia. Darah
menjadi bagian penting dari sistem transport. Darah berfungsi dalam mengangkut oksigen
dari paru – paru ke jaringan. Selain itu darah juga berperan dalam membawa karbon dioksida
dari jaringan ke paru – paru. Darah juga memiliki peranan dalam mengangkut sisa
metabolisme menuju alat ekskresi serta mengangkut sari makanan yang diserap dari usus ke
seluruh tubuh. Darah juga berhubungan dengan kekebalan tubuh karena di dalam darah
terkandung leukosit, antibodi, dan substansi protektif lainnya. Selain itu, darah berperan
dalam mengangkut ekskresi hormon dari organ satu ke organ lainnya. Darah juga berperan
dalam mengatur keseimbangan air dalam tubuh, suhu tubuh, keseimbangan tekanan osmotik,
keseimbangan asam basa tubuh, dan mengatur keseimbangan ion – ion dalam tubuh.
Seperti halnya dengan bagian tubuh lainnya, darah di dalam tubuh manusia juga
tidak jarang mengalami gangguan atau kelainan atau penyakit. Penyakit yang menyerang
darah sendiri cukup banyak mulai dari anemia hingga keganasan darah. Anemia menjadi
salah satu penyakit darah yang sering kali dijumpai. Penyebab dari anemia itu sendiri
bermacam – macam. Anemia dapat berasal dari gangguan pada produksi darahnya, gangguan
penghancuran darah, atau karena terjadinya perdarahan. Gangguan pada produksi jumlah
darahnya dapat berasal dari kekurangan bahan dalam membentuk darah itu sendiri. Salah satu
gangguan pada produksi darah adalah anemia defisiensi besi.
Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Tujuan dari anamnesis adalah untuk menentukkan kemungkinan diagnosis
yang akan membantu langkah pemeriksaan yang akan dilakukan, dimana meliputi
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, serta membantu dalam penatalaksanaannya.
Beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan meliputi identitas dari pasien, kemudian keluhan

2
utama dari pasien, serta sudah berapa lama keluhan utama itu terjadi. Pada pasien yang
mengeluh pucat dan merasa cepat lelah, dapat ditanyakan beberapa hal seperti ada tidaknya
demam. Apabila terdapat demam, ditanyakan apakah demamnya hilang timbul atau terus
menerus. Apakah ada keluhan lain seperti nyeri tulang, perdarahan, batuk, dan penurunan
berat badan.1 Selain itu juga dapat ditanyakan apakah sebelum datang sudah minum obat,
apabila sudah dapat ditanyakan perkembangannya. Selain itu juga dapat ditanyakan apakah
sebelumnya pernah sakit seperti ini, ada tidaknya riwayat transfusi darah berulang, riwayat
penggunaan obat – obatan OAINS serta ada tidaknya riwayat penyakit kronik misalnya gagal
ginjal, batuk menahun, dll.1 Kemudian dapat juga ditanyakan apakah ada anggota keluarga
yang sakit seperti ini, ada tidaknya riwayat penyakit kronik pada anggota keluarga lainnya,
dan ada tidaknya anggota keluarga yang memiliki riwayat transfusi darah berulang.2 Selain
itu juga ditanyakan mengenai riwayat personal hygiene seperti riwayat cuci tangan, dan
riwayat nutrisi pasien. Kemudian ditanyakan apakah pasien memiliki riwayat alergi baik dari
makanan, minuman, cuaca, ataupun obat.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang pertama diperiksa adalah keadaan umum, kesadaran, dan
tanda – tanda vital dari pasien. Pemeriksaan tanda – tanda vital sendiri meliputi pengukuran
tekanan darah, suhu, frekuensi nadi, dan frekuensi napas. Kemudian pemeriksaan fisik dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan head to toe meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Pada pemeriksaan head to toe dapat diawali dengan inspeksi pada bagian mata,
dilihat bagaimana konjungtiva dan skleranya apakah terjadi ikterik atau tidak.3 Kemudian
inspeksi bagian tulang – tulang kepala dan bagian lainnya. Kemudian inspeksi kulit apakah
terjadi kekuningan atau tidak atau tanda perdarahan.2,3 Selain itu, dapat dilakukan inspeksi
pada bagian kuku serta lidah apakah terjadi koilonikia ataupun atrofi papil lidah.3 Kemudian
pada palpasi dapat dilakukan pemeriksaan palpasi kelenjar getah bening. Selain itu, juga
perlu pemeriksaan palpasi pada hati dan liver.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dianjurkan pada penderita anemia adalah
pemeriksaan sel darah lengkap. Pemeriksaan darah lengkap ini meliputi penghitungan
eritrosit, trombosit, leukosit, hemoglobin, hematokrit, mean corpuscular volume (MCV),
mean corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular hemoglobin concentration
(MCHC), red blood cell distribution width (RDW).4,5 Nilai rujukan untuk eritrosit pada pria
adalah 4,6 juta hingga 6,2 juta/uL sedangkan pada wanita adalah 4,2 juta hingga 5,4 juta/uL.
Sedangkan nilai rujukan untuk leukosit adalah 4.500 hingga 11.000/uL. Sedangkan nilai

3
rujukan trombosit adalah 150.000 hingga 400.000/uL. Untuk nilai rujukan hemoglobin pada
laki-laki sendiri sebesar 13g/dL, dan pada wanita yang tidak hamil sebesar 12g/dL, dan pada
wanita yang sedang hamil sebesar 11g/dL. Nilai rujukan untuk hematokrit pada pria sebesar
40-54% dan wanita sebesar 36-46%. Sedangkan nilai rujukan MCV sebesar 82-92 fL. MCV
dapat diukur dengan rumus Hematokrit (%) dibagi eritrosit (juta/uL) dikali 10. MCV yang
kecil menunjukkan ukuran sel darah merah yang lebih kecil dari ukuran normal. Hal ini dapat
disebabkan karena kekurangan zat besi atau penyakit kronis. Sedangkan MCV yang besar
dapat menunjukkan adanya anemia megaloblastik, dengan sel darah merahnya besar dan
berwarna muda. Hal ini dapat disebabkan karenan kekurangan asam folat. Kemudian untuk
nilai rujukan MCH sendiri sebesar 27-31 pg. MCH dapat dihitung dengan rumus hemoglobin
(g/dL) dibagi eritrosit (juta/uL) dikali 10. MCH ini menunjukkan warna dari eritrosit. Apabila
MCH tinggi menunjukkan terjadinya hiperkrom sedangkan MCH yang rendah menunjukkan
terjadinya hipokrom. Sedangkan nilai rujukan untuk MCHC adalah 32-37%. MCHC dapat
dihitung dengan rumush hemoglobin (g/dL) dibagi hematokrit (%) dikali 100%. Kemudian
nilai rujukan untuk RDW sendiri adalah 11,5-14. RDW mengukur variasi ukuran sel darah
merah. Apabila ukuran variasi eritrosit bermacam – macam maka RDW akan meningkat.
Sedangkan apabila ukuran eritrosit tidak bervariasi, RDW akan rendah. Selain pemeriksaan
darah lengkap, untuk penderita yang dicurigai anemia juga dapat dilakukan pemeriksaan
hapus darah tepi. Pemeriksaan hapus darah tepi ini bertujuan untuk evaluasi morfologi sel
darah tepi, memperkirakan jumlah leukosit, dan trombosit, serta mengindefntifikasi parasit.
Pada eritrosit yang diamati berupa ukuran, bentuk, dan warna. Eritrosit normal berukuran 6-
8u, warna merah dengan daerah pucat bagian tengah. Ukuran normal disebut normosit.
Apabila ukuran bervariasi disebut anisositosis, sedangkan variasi yang abnormal disebut
poikilositosis. Eritrosit hipokrom yakni eritrosit dengan daerah berwarna pucat di tengah
lebih luas. Polikromasi adalah eritrosit berwarna kebiruaan di antara eritrosit normal
berwarna merah. Pada pemeriksaan leukosit dapat dilakukan hitung jenis leukosit.4 Urutan
penulisan baku hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit adalah basofil, eosinofil, batang,
segmen, limfosit, monosit. Pemeriksaan ini dilakukan terhadap 100 sel. Selain itu juga dapat
melakukan pemeriksaan laju endap darah untuk mengukur kecepatan pengendapan eritrosit
dalam plasma pada suatu interval waktu.5 Nilai rujukan LED adalah 0-10 mm/ pada pria dan
0-15 mm/jam pada wanita. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan retikulosit.
Retikulosit sendiri adalah eritrosit muda yang sitoplasmanya masih mengandung sejumlah
besar sisa – sisa ribosom dan RNA yang berasal dari sisa inti dari bentuk penuh
pendahulunya. Nilai rujukan retikulosit untuk dewasa adalah 0,5-1,5%. Hitung retikulosit

4
merupakan indikator aktivitas sumsum tulang dan digunakkan untuk mendiagnosis anemia.4
Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan tingginya produksi ertrosit dalam
sumsum tulang, begitu sebaliknya. Selain itu pada pemeriksaan penunjang juga dapat
dilakukan pemeriksaan sumsum tulang untuk membantu menetapkan diagnosis kelainan
hematologi, menentukan stadium penyakit, memantau kemoterapi, dan menetapkan cadangan
besi sumsum tulang. Selain itu juga dapat melihat kadar zat besi seperti serum iron, total iron
binding capacity, transferin, dan feritin. Apabila terdapat kecurgiaan anemia karena
perdarahan pada saluran gastrointestinal atau karena infeksi cacing juga dapat dilakukan
pemeriksaan tinja rutin.5
Diagnosis Banding
Thalasemia
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetika dan
menyebabkan protein yang ada di dalam sel darah merah (hemoglobin) tidak berfungsi secara
normal.6 Pada penderita thalasemia terdapat gangguan dalam memproduksi globin yang akan
digunakan untuk membentuk hemoglobin. Hemoglobin adalah protein pembentuk sel darah
merah yang berguna untuk mengikat oksigen dan membawanya ke seluruh tubuh. Saat tubuh
kekurangan hemoglobin, sel darah merah tidak bisa berfungsi dengan baik dan hanya dapat
hidup untuk waktu yang pendek. Hemoglobin sendiri pada dasarnya terdapat beberapa
macam yakni HbA, HbA2, HbF. Umumnya pada orang dewasa, HbA memiliki persentase
jumlah yang lebih besar dari pada HbA2 dan HbF. HbA sendiri terbentuk dari 2 rantai globin
alpha dan 2 protein globin beta. Sedangkan HbA2 mengandung 2 rantai globin alpha dan 2
rantai globin delta, dan HbF mengandung 2 rantai globin alpha dan 2 rantai globin gamma.
Jenis globin yang dibentuk akan menentukan hemoglobin yang akan terbentuk.
Thalasemia sendiri dibagi menjadi dua macam yakni Thalasemia A dan Thalasemia
B.6,7 Pada Thalasemia A, penderita mengalami gangguan dalam memproduksi rantai globin
alfa karena mutasi dari 1 atau lebih dari 4 gen globin alpha pada kromosom 16. Sedangkan
pada Thalasemia B, penderita mengalami gangguan dalam memproduksi globulin beta karena
adanya gangguan gen beta pada kromosom 11. Thalasemia Alfa dapat dibagi menjadi 4
macam yakni thalasemia alpha karena tidak adanya 1 gen alpha globin (carrier thalasemia),
tidak adanya 2 gen alpha globin (thalasemia trait atau minor), tidak adanya 3 gen alpha globin
(Hb H), tidak adanya 4 gen alpha globin yang menyebabkan hidrops fetalis.6,8 Sedangkan
thalasemia beta dibagi menjadi 3 yakni thalsemia major (anemia cooley), thalasemia
intermedia,dan thalasemia minor atau trait.8

5
Gejala thalasemia yang dialami oleh setiap orang berbeda – beda, tergantung dari
tingkat keparahan dan tipe thalasemia yang diderita. Berdasarkan tipe thalasemia, thalasemia
alpha memiliki gejala yang lebih parah dari pada thalasiemia beta. Bahkan thalasemia alpha
yakni jenis mayor dapat menyebabkan terjadinya abortus neonatorum.6 Gejala umum
thalasemia biasanya mudah lelah, lemah, terlihat pucat, warna kulit kekuningan, kelainan
bentuk wajah, pertumbuhan yang lambat, pembengkakan perut akibat hepatosplenomegali,
dan urin berwarna gelap.8 Namun hal ini dipengaruhi juga dari tipe thalasemia yang terjadi.
Pada thalasemia alpha carrier biasanya asimptomatik atau tidak bergejala namun dengan
pemeriksaan elektroforesis Hb ditemukan Hb Barts 1-2% dan biasanya tidak perlu diterapi.
Sedangkan thalasemia alpha minor biasanya bergejala anemia ringan, adanya eritrosit
mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis ringan, dan pada elektroforesis ditemukan Hb
Barts.7 Sedangkan pada thalasemia dengan tidak adanya 3 gen alpha yang menyebabkan
terbentuknya HbH yang berasal dari 4 rantai beta.6,7 Biasanya akan bergejala berupa anemia
hemolitik sedang sampai berat, ada ikterus, dan hepatosplenomegali, serta terdapat kelainan
bentuk tulang akibat peningkata eritropoesis, dengan eritrosit mikrositik hipokrom dengan sel
target. Elektroforesis Hb sendiri dominan HbH, dengan Hb Barts 20-40%, dan sedikit HbA2.
Sedangkan pada thalasemia dengan tidak adanya 4 gen alpha akan menyebabkan seseorang
lahir mati atau lahir dengan Hb sangat rendah dengan gangguan kardiorespirasi berat dan
hasil elektroforesis Hb menunjukan dominasi Hb Bart, sedikit HbH.7 Sedangkan gejala pada
thalasemia beta major atau anemia cooley biasanya ikterus ringan, hepatomegali, gangguan
pertumbuhan, kelainan tulang, dan umumnya mati sebelum usia 5 tahun.6 Penderita akan
mengalami anemia mikrositik hipokrom, anisopoikolositosis dengan sel target dengan Hb
rendah dan retikulosit tinggi. Dan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb akan didapatkan
HbF yang meningkat, HbA2 berveriasi, dan tidak terdapat HbA. Sedangkan pada thalasemia
intermedia akan menunjukkan gejala lebih ringan dari thalasemia beta mayor dan dapat
mencapai usia dewasa, namun pada usia dewasa dapat terjadi fraktur patologik, gagal jantung
karena hemosiderosis miokardium.8 Selain itu, juga dapat ditemukan facies cooley pada
penderita Thalasemia beta. Facies cooley memiliki gambaran batang hidung masuk ke dalam
dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi
kekurangan hemoglobin.6,7 Pada pemeriksaan laboratorium akan dijumpai anisopoikilositosis,
hipokrom dengan sel target, dan pada elektroforesis Hb terdapat HbA, HbF, HbA2 bervariasi.
Sedangkan thalasemia beta minor biasanya tidak bergejala atau terkadang terjadi anemia
ringan. Morfologi eritrosis berupa anisopoikilositosis, hipokrom dengan sel target, sedangkan

6
elektroforesis Hb menunjukkan HbA, HbF, HbA2 yang bervariasi. Sedangkan Thalasemia
minima atau sillent beta thalasemia biasanya asimptomatik.6
Leukemia Limfoblastik Akut
Leukemia limfoblastik akut (ALL) merupakan salah satu tipe dari kanker darah dan
sumsum tulang yang menyerang sel darah putih yang disebut limfosit. Leukemia limfoblastik
akut merupakan proliferasi maligna atau ganas limfoblas dari sumsum tulang yang disbabkan
oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik.6,9 ALL merupakan leukemia ang paling
sering terjadi pada anak – anak.7 Penyebab terjadinya ALL sampai sekarang belum jelas,
diduga karena faktor virus (virus T-cell Leukemia Virus-1) dan faktor lain yang ikut
berperan.6,7,9 Faktor – faktor lain tersebut dapat dibagi menjadi dua yakni faktor eksogen dan
endogen. Faktor eksogen yang mungkin ikut mempengaruhi adalah sinar radioaktif, hormon,
ataupun bahan kimia seperti bensol, arsen, ataupun preparat sulfat.7,9 Sedangkan faktor
endogen yang mungkin ikut mempengaruhi adalah ras, kongenital (kelainan kromosom,
terutama pada anak dengan Down Syndrome), dan herediter (kakak beradik atau kembar satu
telur).6,7 Pada ALL, sel – sel yang belum matang yang dalam keadaan normal berkembang
menjadi limfosit, berubah menjadi ganas. Sel leukemik ini tertimbun di sumsum tulang, lalu
menghancurkan dan menggantikan sel – sel yang menghasilkan sel darah yang normal.7 Sel
kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke hati, limpa, kelenjar
getah bening, otak, ginjal, dan organ reproduksi. Pada tempat-tempat tersebut, sel tersebut
akan melanjutkan pertumbuhannya dna membelah diri. Gejala yang biasa dijumpai pada
penderita ALL biasanya lemah, lelah, tampah pucat dan sesak nafas karena anemia, infeksi
dan demam yang disebabkan karena berkurangnya sel darah putih, serta perdarahan karena
jumlah trombosit yang terlalu sedikit.7 Sel – sel leukemia dalam otak bisa menyebabkan sakit
kepala, mual, muntah, dan gelisah, sedangkan di sumsum tulang dapat menyebabkan nyeri
tulang dan sendi.6 Selain itu pada penderita ALL juga dapat menunjukan adanya
organomegali (hepatomegali, splenomegali, dan limfadenopati).6,9 Selain itu pada ALL juga
dapat menyerang beberapa organ lainnya seperti testis, retina, kulit, pleura, perikardium, dan
tonsil. Dalam menegakan diagnosa ALL, diperlukan adanya pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Dari
pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan jumlah leukosit yang berkurang, normal,
ataupun bertambah tetapi jumlah sel darah merah dan trombosit biasanya selalu berkurang.6,9
Selain itu pada apusan darah tepi ditemukan adanya sel muda atau sel blas yang lebih dari
5%. Untuk menentukan jenis leukimia sendiri diperlukan biopsi sumsum tulang. Dalam
sumsum tulang sendiri ditemukan jumlah sel blas lebih dari 30%. Kemudian pemeriksaan

7
penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan imunofenotip seperti
sitogenetik, biologi molekuler, dan kemudian dilakukan klasifikasi FAB.6 Secara morfologi
menurut FAB ALL dibagi menjadi tiga yakni L1, L2, L3.6,7 L1 merupakan ALL dengan sel
limfoblas kecil – kecil dengan kromotin homogen, bentuk nukleus yang reguler, nukleolus
kecil. Sedangkan L2 biasanya menunjukan sel lebih besar, inti regular, kromatin bergumpal
dan heterogeneous, bentuk nukleus ireguler, dan nucleolus biasanya besar. Sedangkan L3
merupakan ALL mirip dengan limfoma Burkitt yakni sitoplasma basofil dengan banyak
vakuola pada sitoplasma
Anemia Infeksi Kronis
Anemia infeksi kronis atau anemia penyakit kronik merupakan anemia yang timbul
setelah terjadinya proses infeksi atau inflamasi kronik.7 Biasanya, anemia penyakit kronik ini
akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1-2 bulan. Penyakit –
penyakit kronis yang menyebabkan anemia seperti infeksi kronik karena TBC, sepsis,
TORCH, HIV, EBC. Selain itu juga dapat disebabkan karena inflamasi kronik seperti SLE,
RA, OA, demam reumatik. Gejala klinis anemia pada anemia infeksi kronik biasanya
tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari.6 Gejala – gejala yang dapat tampak
pada penderita anemia infeksi kornik berupa pucat, sesak napas, dan sakit kepala. Namun
pada anemia moderat dengan Hb <10g/dL akan menimbulkan gejala penyakit jantung
iskemik atau penyakit respiratorik, kelelahan, dan intoleransi terhadap aktivitas berat. Namun
diagnosis baru dapat ditegakan melalui pemeriksaan laboratorium atau penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan apusan darah tepi. Pada
pemeriksaan darah tepi menunjukan sel yang normositik dan normokrom yang pada beberapa
kasus dijumpai anemia mikrositik hipokrom.5,6,9 Selain itu pada pemeriksaan retikulosit
biasanya berkurang. Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya ditemukan jumlah Hb dan Ht
yang turun, namun leukosit dan trombosit dalam jumlah yang rendah.5 Pada anemia penyakit
kronik biasanya terdapat penurunan kadar eritropoietin. Dan pada pemeriksaan besi biasanya
ditemukan penurunan serum iron dan total iron binding capacity, serta terjadi peningkatan
feritin.6
Working Diagnosis
Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi disebabkan karena penurunan atau berkurangnya kadar besi di
dalam tubuh yang berlangsung lama sehingga terjadi gangguan dalam pembentukan darah
atau homeostasis.6,10 Hal ini disebabkan karena zat besi diperlukan oleh tubuh untuk
menghasilkan komponen sel darah merah yang dikenal sebagai hemoglobin. Hemoglobin ini

8
berperan dalam mengikat dan mengangkut oksigen dari paru – paru ke seluruh organ serta
berperan dalam membuang karbondioksida dari sel – sel tubuh ke paru-paru.10
Dalam menegakan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap, dimana akan menunjukan adanya penurunan Hb, penurunan MCV dan MCH
apabila sudah cukup berat. Pada pemeriksaan apusan darah tepi akan didapatkan morfologi
sel darah merah yang berbentuk mikrositik hipokrom.5,6 Kemudian pada pemeriksaan besi,
biasanya ditemukan penurunan serum besi dalam darah, saturasi transferin, dan feritin, serta
peningkatan total iron binding capacity.6,7 Feritin yang berada di bawah nilai normal
menunjukan persediaan zat besi telah digunakan dan tidak ada banyak zat besi yang tersedia
lagi. Kemudian pada pemeriksaan jumlah retikulosit ditemukan turun. Kemudian pada
pemeriksaan sumsum tulang, tidak ditemukan hemosiderin. Untuk menegakan anemia
defisiensi setidaknya diperlukan beberapa kriteria yakni merupakan anemia mikrositik
hipokrom dengan salah satu kriteria dari beberapa hal seperti feritin serum kurang dari
20mg/dL, pada pemeriksaan sumsm tulang tidak ditemukan hemosiderin, terjadi kenaikan Hb
lebih dari 2gr/dL setelah terapi sulfas ferosus 3x200 mg selama 4 minggi, atau memenuhi dua
dari 3 paremeter berikut ( serum iron kurang dari 50 mg/dL, TIBC lebih dari 350mg/dL,
saturasi transferin kurang dari 15%).6,7
Etiologi
Anemia defisiensi besi terjadi karena adanya penurunan atau berkurangnya kadar besi
di dalam tubuh.6,10,11 Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya asupan besi, peningkatan
kebutuhan, ataupun karena perdarahan kronis saluran cerna.6,10 Asupan besi yang rendah
dapat diakibatkan karena kurangnya jumlah besi total dalam makanan yang dikonsumsi,
malabsorbsi, ataupun karena terapi antasida. Hal ini disebabkan karena terapi antasida
membuat pH lambung naik, sedangkan besi akan lebih mudah diserap dalam keadaan asam.11
Kemudian penyebab lain anemia defisiensi besi lainnya karena peningkatan kebutuhan tubuh
akan besi. Peningkatan kebutuhan besi ini dapat terjadi ketika masa – masa pertumbuhan
(bayi, remaja, ibu hamil).10 Selain itu ketika menstruasi, infeksi kronik, ataupun infeksi akut
berulang juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan zat besi di dalam
tubuh.10,11 Kemudian penyebab anemia defisiensi besi lainnya adalah karena perdarahan
kronis saluran cerna.11 Perdarahan saluran cerna dapat disebabkan karena tukak peptik,
pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikuosis, hemoroid, dan
infeksi cacing tambang. Perdarahan kronik, khususnya uterus atau saluran cerna menjadi
penyebab utama. Sedangkan defisiensi besi dari makanan biasanya jarang menjadi penyebab

9
tunggal terjadinya anemia defisiensi besi di negara maju. Hal ini disebabkan karena besi
yang diserap oleh tubuh biasanya hanya dengan jumlah sedikit.6 Selain karena perdarahan
dari saluran cerna, terdapat beberapa perdarahan lainnya yang ikut dapat menyebabkan
defisiensi besi seperti menorrhagia pada saluran genitalia perempuan, hematuria pada saluran
kemih, dan hemoptoe pada saluran napas.10
Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul pada anemia defisiensi besi tergantung dari seberapa cepat
cadangan zat besi tubuh menurun. Gejala yang sering timbul pada penderita anemia defisiensi
besi adalah mudah atau lebih cepat lelah, kurang bersemangat, muka pucat, sesak napas, sulit
berkonsentrasi atau berpikir, pusing dan sakit kepala, kaki tangan terasa dingin, sensasi
kesemutan pada kaki, nafsu makan menurun, dan lebih mudah terserang infeksi.6,7 Penderita
anemia defisiensi besi lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi menyebabkan
gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan
tubuh terhadap infeksi.7 Selain itu, penderita anemia defisensi besi juga dapat menunjukan
gejala khas berupa koilonikia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia maupun
pica.6,10,11 Koilonikia merupakan hilangnya konveksi tas longitudinal dan lateral pada kuku
dengan penebalan pada bagian distal dan berbentuk menyerupai sendok.6 Sedangkan
stomatitis angularis merupakan kondisi dengan adanya lesi makulopapular dan vesikuler pada
kulit sudut bibir dan perbatasan mukokutaneus. Sedangkan atrofi papil lidah merupakan
kondisi dimana terdapat penumpukan atau hilangnya papil filiformis pada bagian lidah.
Atrofi papil lidah disebabkan karena kekurangan zat besi pada saluran pencernaan yang
kemudian menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Pika merupakan perilaku makan
bahan – bahan non nutrisi seperti tanah, kapur, dan lainnya. Pica dapat terjadi karena
hilangnya sensasi pengecapan rasa pada lidah akibat gangguan neurologis dan disebabkan
karena kekurangan sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung
besi berkurang.6,11
Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Salah
satunya adalah jenis kelamin, dimana pada wanita lebih mungkin terkena anemia defisiensi
besi yang diakibatkan karena menstruasi.7 Selain itu faktor usia juga ikut berperan, dimana
pada bayi dan anak – anak lebih mungkin terkena anemia defisiensi besi apabila tidak
mendapat cukup zat besi dari susu, sedangkan pada remaja juga mungkin sekali terkena
anemia defisiensi besi apabila tubuh tidak memiliki zat besi karena digunakan untuk
pertumbuhan.7,10 Selain itu, orang – orang vegetarian dan orang – orang yang memiliki pola

10
makan yang buruk berpeluang lebih besar mendapatkan gangguan. Kemudian, orang – orang
yang terlalu sering mendonorkan darah juga akan menurunkan zat besi yang kemudian akan
menyebabkan anemia defisiensi besi.10
Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu jenis anemia yang paling sering
dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Anemia defisiensi besi merupakan anemia
yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. WHO memperkirakan sekitar 24,8% dari
penduduk di dunia menderita anemia dengan kelompok yang paling tinggi prevalensinya
adalah ibu hamil, usia lanjut, dan diikuti oleh bayi dan anak usia dua tahun, anak usia pra
sekolah, anak usia sekolah, dan wanita tidak hamil.10 WHO juga memperkirakan bahwa pada
tahun 2004, anemia defisiensi besi telah menyebabkan 273.000 kematian dimana 45% terjadi
di Asia Tenggara, 31% di Afrika, 9% di Mediterania timur, 7% di Amerika, 4% di area
Pasifik Barat, dan 4% di Eropa dengan 97% dari kejadian ini ditemukan pada negara dengan
tingkat pendapatan rendah sampai menengah.10
Prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia belum ada data yang pasti. Namun
kelompok yang rentan terhadap anemia defisiensi besi terjadi pada wanita dan balita dengan
umur 13 sampai 24 bulan karena merupakan masa peralihan dari pergantian ASI menjadi
makanan padat.6 Apabila tidak memenuhi angka kebutuhan gizi maka bayi akan rentan
mengalami anemia defisiensi besi akibat kurangnya asupan protein. Pemberian asupan gizi
tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tersebut mengenai
pemberian makanan anak.12
Patofisiologi
Anemia defisiensi besi disebabkan karena penurunan atau berkurangnya kadar besi di
dalam tubuh yang berlangsung lama sehingga terjadi gangguan dalam pembentukan darah
atau homeostasis.6,10 Penurunan kadar besi di dalam tubuh dapat disebabkan karena
rendahnya asupan besi, peningkatan kebutuhan, ataupun karena perdarahan kronis saluran
cerna serta bagian tubuh lainnya.6,10,11 Terjadinya anemia defisiensi besi terdiri dari tiga
stadium atau tahapan yakni deplesi besi, eritropoiesis defisiensi besi, dan anemia defisiensi
besi.6,11,13 Pada stadium deplesi besi, cadangan besi tubuh menurun, dimana hal ini ditandai
dengan kadar feritin yang rendah namun kadar besi serum masih normal. Sedangkan pada
stadium eritropoiesis defisiensi besi ditandai dengan kadar serum besi yang menurun namun
kadar Hb masih normal.13 Pada stadium ini, kapasitas total iron binding capacity atau TIBC
meningkat namun kadar besi serum rendah, hal ini menyebabkan saturasi transferin menjadi
rendah.6 Hal ini disebabkan karena saturasi transferin dipengaruhi oleh kadar serum besi

11
dengan total iron binding capacity. Pada stadium ini, kadar besi untuk sintesis Hb dalam
retikulosit menurun namun kadar Hb belum sampai anemia. Pada pemeriksaan MCV dan
MCH sendiri masih berada dalam batas rujukan.11 Pada stadium eritropoiesis defisiensi besi
ini juga dijumpai peningkatan free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit.6,13 Kondisi kekurangan besi yang terus berkepanjangan akan menyebabkan jumlah
besi menurut terus dan eritropoesis akan semakin terganggu juga sehingga kadar Hb mulai
menurun dan muncul anemia mikrositik hipokrom yang sudah mencapai keadaan anemia
defisiensi besi.11,13 Pada keadaan anemia defisiensi besi didapatkan kadar Hb menurun di
bawah nilai rujukan. Pada anemia ringat, eritrosit masih normositik nromokrom, namun pada
anemia yang lebih berat, eritrosit menjadi mikrositik hipokrom.
Tatalaksana
Setelah diagnosis anemia defisiensi besi ditegakan maka perlu dilakukan
penatalaksanaan. Secara medika mentosa, anemia defisiensi besi perlu diberikan FeSO4.
Pada anak kecil, kadar atau dosis FeSO4 yang diberikan sebesar 6mg/kgBB/hari secara oral,
dimana dosis ini dibagi menjadi 3 dosis.6,11 Pemeberian FeSO4 ini diberikan diantara waktu
makan serta FeSO4 diberikan hingga kurang lebih 8 minggu setelah Hb normal. Selain itu,
penderita anemia defisiensi besi juga dapat diberikan vitamin C 100 mg untuk setiap 15 mg
FeSO4 yang diberikan.11 Pemberian vitamin C ini berperan dalam mempermudah absorbsi
zat besi yang diberikan. Apabila Hb kurang dari 4mg/dL, maka perlu dilakukan pemerian
PRC 2-3mL/kg/kali. Pemberian PRC ini diberikan hingga Hb lebih dari atau sama dengan
7gr/dL. Indikasi transfusi darah pada anemia defisiensi besi adalah apabila terdapat penyakit
jantung anemik, anemia yang simptomatik, atau penderita memerlukan peningkatan kadar Hb
yang cepat.6 Selain itu, pengobatan anemia defisiensi besi ini juga harus berdasarkan
penyebab terjadinya defisiensi besi.6,10,11 Apabila disebabkan karena ulkus peptik maka dapat
diberikan obat – obat untuk penyembuhan ulkus tersebut seperti obat – obat golongan PPI
serta pemberian antibiotik. Apabila disebabkan karena infeksi cacing, maka perlu diberikan
obat – obatan untuk infeksi cacing seperti albendazole (anak tidak boleh alergi terhadap
dengan obat ini) untuk mengobati cacing pita, pirantel (tidak boleh untuk penderita gangguan
hati, anak dibawah 2 tahun dan alergi terhadap obat ini) untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh cacing kremi ataupun cacing gelang, atau mebendazole (tidak boleh untuk
anak usia di bawah dua tahun) untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing cambuk, dan
cacing tambang. Selain penatalaksanaan medika mentosa, dapat juga dibantu dengan
penatalaksanaan non-medika mentosa. Penatalaksanaan non-medika mentosa yang dapat

12
dilakukan adalah pemberian makanan gizi seimbang dan usahakan makanan yang diberikan
memiliki atau kaya akan zat besi, misalnya daging merah, ayam, ikan, bayam, kacang, dll.10,11
Komplikasi
Apabila anemia defisiensi besi tidak ditangani dengan tepat, pada akhirnya bisa
menyebabkan komplikasi penyakit lain. Kekurangan zat besi berdampak buruk kepada sistem
kekebalan tubuh manusia.10 Hal ini akan membuat penderita anemia defisiensi besi dapat
terserang penyakit lainnya. Anemia defisiensi besi juga dapat menyebabkan terjadinya gagal
jantung. Hal ini disebabkan karena kinerja jantung menurun dan tidak bisa memompa darah
ke seluruh bagian tubuh dengan baik.11 Pada ibu hamil yang mengalami anemia defisiensi
besi juga akan meningkatkan risiko komplikasi pada ibu dan janinnya. Komplikasi yang
dapat terjadi misalnya adalah keguguran, pertumbuhan janin yang lambat atau tidak normal,
serta lahir prematur.6 Selain itu, defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan
gastrointestinal, gangguan kemampuan kerja fisik, gangguan kognitif dan tingkah laku,
bahkan dapat terjadi sebelum timbul gejala anemia. Dampak negatif yang diakibatkan oleh
anemia defisiensi besi pada anak balita dapat berupa gangguan konsentrasi belajar, tumbuh
kembang terganggu, penurunan katifitas fisik maupun kreatifitas. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa perubahan yang terjadi ini tidak dapat kembali normal walaupun keadaan
anemia defisiensi besi telah teratasi.6,10 Hal ini menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi
yang terjadi pada fase pertumbuhan dan perkemabangan otak menimbulkan kelainan
permanen.
Pencegahan dan Edukasi
Pencegahan terjadinya anemia defisiensi besi sangatlah penting terutama pada masa
bayi. Karena adanya gangguan anemia defisiensi pada bayi akan memberikan dampak jangka
panjang bagi kehidupan si bayi.6,10 Pencegahan yang bisa dilakukan mencakup pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer meliputi konseling di pusat – pusat
kesehatan mengenai asupan zat besi yang adekuat dan memberikan suplementasi zat besi
serta fortifikasi zat besi dalam makanan.7,9 Pencegahan sekunder mencakup uji tapis dan
diagnosis dini serta tata laksana yang tepat terhadap defisiensi besi. Selain itu, pencegahan
terjadinya anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan menghindari faktor – faktor
penyebab kekurangan zat besi dalam darah seperti mencegah terjadinya perdarahan. Selain
itu dapat juga dicegah dengan pemberian suplemen besi pada orang – orang yang
membutuhkan zat besi misalnya pada wanita hamil, bayi, anak – anak, maupun remaja.6,11
Untuk mencegah anemia defisiensi besi juga dapat dengan memakan makanan yang bergizi
dan tinggi fe untuk memenuhi kebutuhan besi dalam tubuh.12 Serta dapat mencegah

13
terjadinya infeksi yang dapat menyebabkan perdarahan termasuk dalam hal ini adalah
perdarahan saluran cerna misalnya untuk mencegah infeksi cacing dengan diberikan obat
anticacing secara rutin.11
Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dipengaruhi oleh ketepatan dalam penanganan serta
penyebab terjadinya defisiensi besi itu sendiri. namun umumnya, anemia defisiensi besi
memiliki prognosis yang sangat baik.6,7 Hal ini disebabkan karena anemia defisiensi besi
mudah diobati dengan hasil yang baik apabila ditangani dengan tepat. Namun anemia
defisiensi besi juga dapat menjadi berbahaya apabila sudah mencapai keadaan yang sangat
berat bahkan apabila sudah disertai dengan komplikasi – komplikasinya atau karena
gangguan penyebab defisiensi besi itu sendiri yang sangat berat.
Kesimpulan
Gangguan darah sangat bermacam – macam salah satunya adalah anemia. Anemia
merupakan suatu gangguan pada darah dimana terjadi penurunan pada hemoglobin,
hematokrit, dan eritrosit. Secara garis besar anemia dapat disebabkan karena 3 hal yakni
penurunan dalam produksi eritrosit, peningkatan penghancuran eritrosit, dan perdarahan.
Salah satu gangguan pada penurunan produksi eritrosit adalah anemia defesiensi besi.
Anemia defisiensi besi merupakan suatu keadaan anemia yang disebabkan karena penurunan
kadar besi dalam darah. Hal ini disebabkan karena zat besi merupakan bahan pembentuk dari
hemoglobin yang terkandung dalam eritrosit. Gejala klinis dari anemia defisiensi besi adalah
cepat lelah, kurang bersemangat, pucat, sesak napas, sulit berkonsentrasi, pusing, sakit
kepala, kaki tangan terasa dingin, nafsu makan menurun, lebih mudah terinfeksi. Selain itu,
penderita anemia defisiensi besi juga dapat menunjukan gejala khas berupa koilonikisa, atrofi
papil lidah, stomatitis angularis, disfagia maupun pica. Prevalensi anemia defisiensi besi
berdasarkan gender, lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Berdasarkan umur,
prevalensi anemia defisiensi besi lebih tinggi pada bayi, anak – anak, dan remaja. Angka
kejadian anemia defisiensi besi juga tinggi pada orang – orang vegetarian, orang – orang
yang sering mendonorkan darah, serta orang – orang yang memiliki pola makan yang buruk.
Anemia defisiensi besi disebabkan karena penurunan atau berkurangnya kadar besi di dalam
tubuh yang berlangsung lama sehingga terjadi gangguan dalam pembentukan darah atau
homeostasis. Secara garis besar, proses terjadinya anemia defisiensi besi terjadi melalui
beberapa tahapan yakni deplesi besi, eritropoiesis defisiensi besi, dan anemia defisiensi besi.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi biasanya dengan pemberian suplemen FeSO4. Selain
itu juga dapat diberikan vitamin C untuk mempermudah absorbsi besi. Selain itu juga dapat

14
dilakkan pemberian PRC apabila Hb kurang dari 4gr/dL. Selain itu, penderita anemia
defisiensi besi juga diberikan terapi sesuai penyebab terjadinya defisiensi besi. Komplikasi
terjadinya anemia defisiensi besi dapat berupa gagal jantung, keguguran, pertumbuhan janin
terhambat, lahir prematur, gangguan gastrointestinal, gangguan kognitif dan tingkah laku
yang bersifat ireversibel. Prognosis dari anemia defisien besi umumnya sangat baik karena
sangat responsif dengan pemberian zat besi.

15
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007. h. 44-6, 94-5.
2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2009. h. 152-5.
3. Bickley LS. Bates : buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-8.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. h. 151-5.
4. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: FK UKRIDA; 2009. h.38-43 ; 69-74; 79-81; 88.
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Kosasih R. Penuntun Patologi Klinik
Hematologi. Jakarta: Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA;
2007. h. 70-82, 105-130,150-2.
6. Hadayani W, Haribowo AS. Asuhan Kepeprawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Hematologi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika;2008. h. 37-53,87-99.
7. Suhandi S, Wijaya WS, Santoso AH, editor. Buku Saku Hematologi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2001. h. 11-8.
8. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. Kapita selekta hematologi Ed. 4. Jakarta :
EGC, 2008.h.35-7.
9. Tucker SM, Canobbio MM, Paquette EV, Wells MF. Standar Perawatan Pasien:
Proses Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. Edisi5. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1999. h. 977-81.
10. Huch R, Schaefer R. Iron Deficiency and Iron Deficiency Anemia: Pocket Atlas
Spesial. Germany: Thieme; 2006. h. 34-6, 42-51
11. Garrison CD. The Iron Disorders Institute Guide to Anemia. Edisi2. Illinois:
Cumberland House, an imprint of Sourcebooks, Inc; 2009. h. 60-113, 254-64.
12. Andari D, Sumarmi Sri. Hubungan konsumsi protein hewani dan zat besi dengan
kadar hemoglobin pada balita usia 12 -36 bulan. The Indonesian Journal of Public
Health, 2006 Jun;3(1):19-23.
13. Tambayong J. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2000. h. 73-82.

16

Anda mungkin juga menyukai