Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS INDONESIA

TINGKAT KETERLIBATAN AYAH DALAM CUTI MENGASUH ANAK DI


JEPANG

MAKALAH NON SEMINAR

YASMIN
1206227554

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI JEPANG
DEPOK
JUNI 2016

Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016


Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Tingkat Keterlibatan Ayah Dalam Cuti Mengasuh Anak di Jepang

Yasmin

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,


Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: yasminbalfas@yahoo.com

Abstrak

Dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang disebut work-life balance society di mana para pekerja
memiliki semangat tinggi untuk bekerja di samping mengasuh anak ataupun merawat anggota keluarga,
pemerintah Jepang membuat kebijakan yang disebut Ikuji Kaigo Kyuugyou Hou (育児・介護休業法) yang
dapat diartikan sebagai Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga. Sejak awal
diberlakukannya pada tahun 1992, kebijakan cuti mengasuh anak tersebut telah melalui beberapa kali evaluasi
dan revisi. Untuk meneliti tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan pemerintah Jepang yang didukung pula oleh
banyak perusahaan tersebut, peneliti menggunakan metode studi dokumen dan analisis kualitatif. Tingkat
keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak ini kemudian ditinjau dengan menggunakan teori four-
factor model of father involvement (Lamb dan Pleck) dan teori Role Identity (Alicia D. Cast). Hasilnya, tingkat
keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak yang terbilang rendah dan jauh dari angka yang
ditargetkan pemerintah tidak sejalan dengan tingginya persentase perusahaan yang memberlakukan kebijakan.
Sehingga dapat disimpulkan pandangan tradisional masyarakat Jepang bahwa mengasuh anak bukanlah tugas
utama ayah masih mendominasi persepsi kaum ayah terhadap peran ayah itu sendiri.

Father Involvement in Childcare Leave in Japan

Abstract

In order to create work-life balance society where each citizen works with a sense of satisfaction in work-related
responsibilities, and at the same time are able to take care of a child or a family member, Japan Government
enacts a policy named Ikuji Kaigo Kyuugyou Hou (育児・介護休業法) and also known as Child Care and
Family Care Leave Law. Since the beginning of the implementation in 1992, Child Care and Family Care Leave
Law has been through some evaluation and revision. To examine father involvement in this policy made by
Japan Government which also supported by many companies, I use document study and qualitative analysis
methods. Father involvement in childcare leave policy then analyzed based on four-factor model of father
involvement theory (by Lamb dan Pleck) and Role Identity Theory (by Alicia D. Cast). The main results is that
father involvement in childcare leave policy in Japan which remain low and far from the number Japan
Government targeted is not match to the high rate of companies implementing the policy. In conclusion, fathers’
perception about fathers role are still dominated by Japanese traditional point of view that childcare is not
father’s main task.

Keywords: childcare leave, father, father involvement

Latar Belakang

Berbagai macam cara akan dilakukan oleh orangtua untuk dapat meluangkan waktu dan
mengasuh anaknya dengan baik. Hal ini pun menjadi perhatian negara mengingat setiap anak

1
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
yang lahir merupakan generasi penerus bangsa yang selayaknya diasuh dan dididik dengan
penuh perhatian. Dalam perkembangannya, seorang anak sangat membutuhkan keterlibatan
orangtua, baik ayah maupun ibu. Selama ini pembagian peran yang kaku antara ayah dan ibu
membuat masyarakat berpikir bahwa kebutuhan anak akan keterlibatan ibu lebih besar dari
ayah. Namun sesungguhnya kebutuhan anak terhadap keterlibatan ayah sama besarnya,
meskipun keterlibatan ayah berbeda dengan ibu dalam mengasuh anak. Dalam
Higashikokubaru (2015), Nishioka (1998) menyatakan bahwa kurangnya keterlibatan kaum
ayah di Jepang dalam mengasuh anak di antaranya karena secara kultural, ada pandangan
bahwa tugas perempuan adalah mengurus anak dan pekerjaan rumah, sementara tugas pria
bekerja di luar rumah. Ia menyebutkan bahwa pembatasan lingkungan sekitar seperti norma-
norma sosial, hubungan antar manusia serta sistem sosial di Jepang sangat membatasi
keterlibatan kaum ayah dalam mengasuh anak. Berdasarkan survey yang dilakukan
Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan (dalam Boll, Reppin, & Reich,
2014) pada tahun 1993 terhadap 6,073 pasangan, meskipun faktanya kaum ayah di Jepang
memiliki keinginan yang tinggi untuk berpartisipasi dalam mengasuh anak serta meluangkan
waktu bersama anaknya seperti kaum ibu, mereka hanya memiliki kesempatan satu hingga
dua kali dalam satu minggu.

Waktu yang dihabiskan ayah di luar rumah pun turut mempengaruhi hal ini. Matsuda (2001)
mengatakan bahwa keterbatasan partisipasi kaum ayah dalam mengasuh anak terutama
dipengaruhi oleh jam kerja ayah. Menurutnya, tak dapat dipungkiri bahwa ketika ayah pulang
ke rumah setelah bekerja, anak-anak mereka sudah selesai mandi atau bahkan sudah pergi
tidur. Sehingga ia menyimpulkan bahwa meskipun kaum ayah berkeinginan untuk melibatkan
diri dalam mengasuh anak kapanpun di saat yang memungkinkan, panjangnya jam kerja kaum
ayah secara langsung telah menghalangi mereka (dalam Higashikokubaru, 2015).

Rendahnya tingkat keterlibatan kaum ayah dalam mengasuh anak ini, yang sejalan dengan
masalah ketidak seimbangan waktu yang digunakan ayah untuk bekerja dan mengurus
keluarga, mendorong pemerintah Jepang untuk membuat kebijakan cuti mengasuh anak yang
dapat digunakan oleh kaum ayah. Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut diharapkan
keterlibatan ayah dalam mengasuh anak di Jepang dapat meningkat. Atas dasar hal tersebut,
dalam penelitian ini penulis akan membahas tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti
mengasuh anak di Jepang.

2
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Studi Terdahulu

Sebelum menganalisis tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak di
Jepang, penulis telah lebih dulu mencari penelitian terdahulu yang terkait dengan kebijakan
cuti mengasuh anak yang dapat dijadikan landasan dalam penelitian ini. Rujukan studi
terdahulu yang digunakan dalam penulisan artikel jurnal ini yakni jurnal internasional
berjudul “Paternal Childcare And Parental Leave Policies: Evidence From Industrialized
Countries” (2014) yang membahas pemberlakuan kebijakan cuti mengasuh anak yang diambil
kaum ayah di negara-negara industri di Eropa serta dampak langsungnya terhadap waktu yang
digunakan ayah untuk mengasuh anak.

Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa partisipasi ayah dalam kebijakan cuti mengasuh
anak secara langsung berdampak pada peningkatan waktu yang digunakan ayah untuk
mengasuh anak. Namun demikian, hubungan antara kebijakan cuti mengasuh anak bagi kaum
ayah dengan waktu yang digunakannya untuk mengasuh anak bergantung pada nilai-nilai
kebudayaan yang mungkin tidak ditangkap oleh negara. Misalnya di negara-negara yang
umumnya kaum ibu bekerja, kemungkinan kebijakan cuti mengasuh anak ini lebih
menguntungkan bagi kaum ayah, dan pembagian waktu dalam mengasuh anak akan sama
bagi ayah dan ibu (Boll, Leppin, & Reich, 2014). Dari pernyataan tersebut, di mana studi
terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini membahas partisipasi kaum ayah dalam
kebijakan cuti mengasuh anak bagi kaum ayah serta dampaknya terhadap keterlibatan ayah
dalam mengasuh anak di negara-negara Eropa, maka penulis berusaha untuk meninjau tingkat
keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak di negara dengan kebudayaan yang
berbeda, yakni Jepang.

Masalah Penelitian

Masalah penelitian artikel jurnal ini adalah tingkat keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh
anak di Jepang. Variabel utama dalam penelitian ini yaitu tingkat keterlibatan ayah dan unit
analisisnya yaitu kaum ayah di Jepang selama masa diberlakukannya kebijakan cuti
mengasuh anak. Proposisi yang ada dalam penelitian ini adalah univariat, sehingga tidak
terdapat hubungan antar variabel. Terkait unit analisa, skop penelitian ini cukup luas yakni
Jepang secara luas, dalam kurun waktu semenjak diberlakukannya kebijakan cuti mengasuh
anak pada tahun 1992 hingga saat ini. Skala pengukuran yang akan digunakan berupa skala

3
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
nominal atau kualitatif, mengingat penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang sosial
budaya.

Kerangka Teoritis

Teori terkait keterlibatan ayah dalam mengasuh anak dicetuskan oleh Michael E. Lamb pada
tahun 1987 dan Pleck pada tahun 1997. Lamb dan Pleck (dalam Bayens, 2007)
mengungkapkan 4 faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam mengasuh anak.
Pertama motivasi, yang turut dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti tumbuh kembang ayah,
karakter personal, dan keyakinannya, termasuk pula di dalamnya ekspektasi lingkungan
sekitar terkait peran ayah dan keyakinan pribadi akan apa yang sebaiknya dilakukan sebagai
seorang ayah. Kedua, kemampuan dan kepercayaan diri ayah dalam mengasuh anak. Ketiga
dukungan sosial dan stress, di mana termasuk di dalamnya apakah pasangannya bekerja,
karakter pasangan, tingkat keterlibatan pasangan, serta hubungan pernikahan. Dan keempat,
faktor institusi atau kelembagaan yang berperan besar dalam panjangnya waktu yang dapat
digunakan ayah dengan anaknya, termasuk di dalamnya panjang masa penahanan jika sang
ayah dipenjara, dinas ataupun tugas militer, serta kebijakan terkait mengasuh anak yang
diterapkan di tempat kerja.

Dalam mempertimbangkan faktor kelembagaan dan pengaruhnya secara praktis dalam


keterlibatan ayah, Pleck melakukan penelitian tentang karakteristik pekerjaan ayah dan
konflik antara pekerjaan dengan keluarga, serta efek langsung dari kebijakan yang
diberlakukan di tempat ayah bekerja, seperti jam kerja yang fleksibel dan cuti mengasuh anak
bagi ayah (dalam Day dan Lamb, 2004). Dengan mengacu pada faktor pertama dan keempat
yang diungkapkan dalam teori di atas, bahwa ekspektasi lingkungan serta persepsi pribadi
ayah, serta kebijakan yang diterapkan di tempat ayah bekerja, khususnya kebijakan cuti
mengasuh anak bagi kaum ayah memegang peranan besar dalam tingkat keterlibatan ayah
dalam kebijakan cuti mengasuh anak, maka teori yang disebut four-factor model of father
involvement ini akan dijadikan dasar penelitian kualitatif penelitian ini.

Selanjutnya, dalam penelitian ini juga digunakan teori Role Identity yang oleh Alicia D. Cast
digambarkan sebagai kombinasi dari ekspektasi objektif sosial dan pemaknaan subjektif
pribadi yang diatributkan untuk diri sendiri pada peran tertentu, seperti orang tua atau dalam
penelitian ini yaitu ayah (Cast, 2003). Pleck dan Stueve (2004) mengatakan bahwa teori
Identitas Peran telah banyak digunakan untuk menjelaskan keterlibatan ayah, dengan catatan

4
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
bahwa tingkat dan jenis dari kedua aspek tersebut di atas berasal dari arti dan pentingnya
peran tersebut bagi diri sang ayah (dalam Bronte-Tinkew, 2006). Lebih lanjut Stone dan
McKenry (1998) mengungkapkan penelitian tentang identitas peran orangtua telah
menemukan bukti yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara identitas peran
yang dipegang teguh dengan keterlibatan ayah (dalam Bronte-Tinkew, 2006). Karena
identitas peran ayah terdiri dari persepsi, keyakinan, dan ekspektasi masyarakat maupun ayah
mengenai peran yang bersangkutan, maka teori Identitas Peran dijadikan kerangka teoritis
dalam memandu penelitian terkait tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh
anak di Jepang ini.

Metodologi

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.
Data yang digunakan bersumber dari buku, jurnal internasional, disertasi dan tesis terkait
kebijakan cuti mengasuh anak di Jepang serta gambaran keterlibatan kaum ayah di dalamnya.
Semua sumber yang dijadikan rujukan merupakan terbitan antara tahun 2001-2016. Setelah
data terkumpul, metode analisa data yang akan digunakan adalah analisis kualitatif.

Susunan Artikel

Berikut adalah susunan penulisan artikel jurnal yang dibuat secara sistematis agar pembaca
mudah memahami materi yang disampaikan.
 Bagian pendahuluan, pada bagian ini dijabarkan latar belakang, studi terdahulu,
masalah penelitian, kerangka teoritis, metodologi, dan susunan artikel.
 Kebijakan cuti mengasuh anak di Jepang, pada bagian ini akan dijabarkan mengenai
kebijakan cuti mengasuh anak yang berlaku di Jepang, konten dari kebijakan tersebut,
serta tujuan pemerintah Jepang memberlakukan kebijakan cuti mengasuh anak untuk
kaum ayah.
 Ayah dan partisipasinya dalam kebijakan cuti mengasuh anak, pada bagian ini akan
dituangkan hasil penelusuran dan analisa penulis mengenai tingkat keterlibatan ayah
dalam kebijakan cuti mengasuh anak sejak awal diberlakukannya kebijakan hingga
kini.
 Kesimpulan, pada bagian ini penulis akan menyimpulkan hasil penelitian terkait
keterlibatan kaum ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak di Jepang, implikasi
teoritisnya, keterbatasan penelitian, serta prospek penelitian lanjutan.
 Daftar kepustakaan

5
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Kebijakan Cuti Mengasuh Anak di Jepang

Masalah kurangnya ketelibatan ayah dalam mengasuh anak serta ketidak seimbangan kehidupan
pekerja antara berkarier dan berkeluarga yang menjadi perhatian pemerintah Jepang hanya
memiliki satu solusi, yakni mengubah kondisi yang memaksa pekerja untuk memilih antara
bekerja dan mengurus keluarga (MHLW, 2009). Dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat
yang disebut work-life balance society di mana para pekerja memiliki semangat tinggi untuk
bekerja di samping mengasuh anak ataupun merawat anggota keluarga, pemerintah Jepang
membuat kebijakan yang disebut Ikuji Kaigo Kyuugyou Hou (育児・介護休業法). Kata 育
児(ikuji) berarti mengasuh anak, (kaigo) berarti merawat, (kyuugyou) berarti cuti, dan (hou)
berarti Undang-Undang. Oleh karena itu Ikuji Kaigo Kyuugyou Hou dapat diartikan sebagai
Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga (Wahyuni, 2014).

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa yang juga menerapkan kebijakan cuti
mengasuh anak bagi kaum ayah, tujuan pemerintah Jepang menerapkan kebijakan ini
memiliki motif yang jelas berbeda. Neyer dkk. (2006) mengungkapkan bahwa kebijakan cuti
mengasuh anak di negara-negara Nordik (Swedia, Finlandia, Norwegia) dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan bagi kaum ibu untuk kembali berkarier pasca melahirkan (dalam
Boll, Leppin, & Reich, 2014). Kemudian di Jerman dan Itali, di mana ibu dipandang sebagai
sosok utama dalam mengasuh anak, kebijakan cuti mengasuh anak yang berlaku lebih
ditujukan untuk kaum ibu meskipun ayah diperbolehkan mengambil cuti bersamaan dengan
ibu. Lalu di Inggris, Belanda, dan Kanada, kebijakan cuti mengasuh anak yang eksklusif bagi
kaum ayah tidak diterapkan. Sementara bagi Jepang Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak
dan Merawat Keluarga ini, yang di dalamnya terdapat kebijakan cuti eksklusif yang dapat
dipergunakan oleh kaum ayah, disebut sebagai langkah untuk mendukung penyeimbangan
kehidupan kerja dan mengurus keluarga (MHLW, 2009).

Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga dibuat melalui Kementerian
Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Jepang pada tahun 1991. Pada 8 Mei 1991
undang-undang yang awalnya hanya terbatas pada cuti mengasuh anak ini diumumkan dan
mulai diberlakukan secara efekif sejak 1 April 1992. Selanjutnya dalam rangka
menyejahterakan pekerja yang memiliki tanggungan untuk merawat anggota keluarganya,
sejak 1 Oktober 1995 diberlakukan cuti merawat keluarga yang termasuk di dalam Undang-
Undang Cuti Mengasuh Anak. Kemudian pada 1 April 1999 kebijakan terkait cuti mengasuh

6
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
anak dan merawat anggota keluarga ini diubah menjadi Undang-Undang Cuti Mengasuh
Anak dan Merawat Keluarga (MHLW, 2009). Dalam situs resmi Kementerian Kesehatan,
Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan dijabarkan bahwa undang-undang yang berfokus pada
pengasuhan anak ini mencakup beberapa sistem cuti. Pertama, Sistem Cuti Mengasuh
Anak/Merawat Keluarga yang ditujukan bagi pekerja laki-laki maupun perempuan yang
telah menikah dan memiliki anak hingga anak mereka berusia 1 tahun atau 18 bulan dalam
kasus tertentu seperti tidak mendapatkan bangku di childcare center. Pada sistem ini
dinyatakan pula bahwa pekerja berhak mengambil cuti merawat keluarga satu kali untuk
setiap anggota keluarga yang membutuhkan perawatan konstan, hingga total 93 hari dan
menerima gaji bulanan sebesar 30% dari Asuransi Tenaga Kerja.

Kemudian terdapat Sistem Cuti Merawat Anak yang Sakit, yakni sistem cuti yang dapat
diberikan kepada pekerja perempuan maupun laki-laki ketika anak mereka sakit, selama anak
tersebut masih berusia di bawah tiga tahun. Selain Sistem Cuti Mengasuh Anak dan Sistem
Cuti Merawat Anak yang Sakit, terdapat pula Sistem Penyingkatan Jam Kerja. Di dalam
sistem ini, terdapat 4 jenis sistem pemendekan jam kerja bagi pekerja yang memiliki anak,
yakni (1) Sistem Penyingkatan Jam Kerja, (2) Sistem Jam Kerja Fleksibel, (3)
Memajukan/Memundurkan Jam Masuk/Pulang Kerja, dan (4) Subsidi Biaya Perawatan
Keluarga. Kemudian terdapat Sistem Pembatasan Jam Lembur yakni total 24 jam per bulan
dan 150 jam per tahun, dan Sistem Pembatasan Jam Kerja Malam yakni pembebasan dari
shift pukul 10 malam hingga 5 pagi jika diminta oleh pekerja yang sedang merawat anak di
bawah usia 3 tahun atau pekerja yang merawat anggota keluarganya.

Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga ini telah mengalami dua kali
revisi yang signifikan terkait kontennya, yaitu pada tahun 2005 dan 2009. Dengan Undang-
Undang yang diberlakukan sejak tahun 1992, pekerja perempuan yang telah memiliki anak
mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan antara bekerja dan mengasuh anak. Oleh sebab
itu, mereka meminta waktu bekerja yang dapat diperpendek dan dibebaskan dari kerja
lembur. Setelah direvisi pada tahun 2005, Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan
Merawat Keluarga memperbolehkan pekerja mengambil salah satu dari Sistem Kerja Jam
Pendek atau Sistem Pembebasan Lembur, dan tidak diizinkan mengambil keduanya secara
bersamaan.

Selanjutnya, pada Sistem Cuti Merawat Anak yang Sakit para orangtua yang bekerja berhak

7
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
mengambil cuti selama 5 hari dalam satu tahun, terlepas dari jumlah anak yang dimilikinya.
Hal ini kemudian menjadi evaluasi hingga dilakukan revisi kembali pada tahun 2009. Dalam
Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga revisi tahun 2009, orangtua
dengan 1 anak berhak mengambil cuti 5 hari dalam satu tahun, dan orangtua dengan lebih
dari 2 anak dapat mengambil cuti 10 hari dalam satu tahun. Kemudian dalam Sistem
Penyingkatan Jam Kerja, orangtua dengan anak di bawah usia 3 tahun diperbolehkan
mempersingkat jam kerja menjadi 6 jam per hari.

Sementara itu, dalam Sistem Cuti Mengasuh Anak, pemerintah Jepang menambahkan poin
baru untuk mengubah gaya bekerja orangtua dan memungkinkan ayah ikut berpartisipasi
dalam mengasuh anak. Kondisi di mana para ayah terlalu sering bekerja lembur hingga
membawa pekerjaan kantor ke rumah dan bahkan tidak pernah mengambil cuti selama
bekerja melatar belakangi pemerintah Jepang untuk mengubah gaya bekerja ini dan agar
para pekerja, baik perempuan maupun laki-laki, dapat menyeimbangkan antara
kehidupannya dengan pekerjaannya. Dengan pertimbangan demikian, pemerintah
menambahkan sistem cuti baru yang disebut papa mama ikukyuu purasu (パパ マ マ育休プ
ラス) atau Cuti Ayah dan Ibu Plus. Dalam sistem cuti ini, baik ayah maupun ibu diizinkan
untuk mengambil cuti untuk mengasuh anak yang baru lahir selama 1 tahun hingga anak
tersebut berusia 1 tahun 2 bulan, jika keduanya mengambil cuti dalam waktu bersamaan
(MHLW, 2015).

Dalam Pengantar Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga tahun 2009
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Jepang
(dalam Wahyuni, 2014), pekerja yang telah memiliki anak yang berusia dibawah 3 tahun
dapat menggunakan Sistem Kerja Jam Pendek dan Sistem Pembebasan Lembur secara
bersamaan. Dan pada sistem cuti papa mama ikukyuu purasu tahun 2009 orangtua dapat
mengambil cuti sebanyak 2 kali tanpa syarat apapun.

Dalam mendukung program pemerintah tersebut, tentunya kebijakan cuti yang diterapkan di
perusahaan pun turut berperan besar. Berdasarkan Basic Survey of Gender Equality in
Employment Management (Koyou-kintou Kihon Chousa) tahun 2011 yang menggunakan
4.097 perusahaan swasta yang mempekerjakan lima atau lebih karyawan tetap sebagai sampel,
46,8 persen di antaranya menerapkan kebijakan cuti yang disebut Haigusha Sussan Kyuka
(Cuti Mengasuh Anak Bagi Suami) (dalam Nakazato dan Nishimura, 2015). Kebijakan cuti

8
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
ini bukan merupakan Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga namun
secara tidak langsung mendukung program pemerintah tersebut. Proporsi ini meningkat
sebesar 10,8 persen dari survey serupa yang dilakukan pada tahun 2008. Sebagian besar
perusahaan, yakni sebanyak 88,9 persen yang menerapkan kebijakan ini, mengizinkan
pekerjanya untuk mengambil cuti satu hingga lima hari. Bahkan 77,6 persen di antaranya
memberikan upah atas cuti yang diambil, dan 4,2 persen lainnya memberikan upah sebagian.
Melalui survey yang sama ditemukan pula bahwa lebih dari setengah pekerja pria, atau
sebanyak 52,9 persen pekerja pria yang pasangannya melahirkan antara rentang waktu 1 April
2009 hingga 31 Maret 2010 telah mengambil cuti ini.

Survey yang sama pada tahun 2013 (dalam Nakazato dan Nishimura, 2015) juga
menyebutkan persentase perusahaan yang menerapkan kebijakan cuti terkait Undang-Undang
Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga. Sebesar 57,7 persen perusahaan telah
memberlakukan Sistem Penyingkatan Jam Kerja, 55,2 persen perusahaan memberlakukan
Sistem Pembatasan Jam Lembur, 14 persen memberlakukan Sistem Jam Kerja Fleksibel, 31,9
persen memberlakukan kebijakan Memajukan/Memundurkan Jam Masuk/Pulang Kerja, 1,6
persen menyediakan on-site childcare centre di mana anak-anak dari para pekerja berusia
hingga 3 tahun dapat dititipkan ketika orangtuanya bekerja, 4,7 persen perusahaan
menyediakan Subsidi Biaya Perawatan Keluarga dan 15,4 persen perusahaan meningkatkan
kebijakan cuti mengasuh anak.

Dengan adanya Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga yang telah
melalui beberapa kali evaluasi dan revisi, pemerintah Jepang yang didukung pula oleh banyak
perusahaan telah menunjukkan upayanya dalam memberikan kemudahan bagi para pekerja
baik perempuan maupun laki-laki, khususnya bagi mereka yang memiliki anak untuk tetap
dapat bekerja sambil mengasuh anak, dan lebih jauh lagi membuka peluang bagi masyarakat
agar dapat menjalani hidup dengan seimbang.

Ayah dan Partisipasinya dalam Kebijakan Cuti Mengasuh Anak

Menanggapi Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga serta beragam
kebijakan cuti yang diterapkan oleh perusahaan dalam mendukung program pemerintah
tersebut, kaum ayah pekerja di Jepang tidak lantas beramai-ramai mengambil cuti. Basic
Survey of Gender Equality in Employment Management (Koyou-kintou Kihon Chousa) yang
dilakukan pada tahun 2010 membedakan persentase pekerja pria yang berpartisipasi dalam

9
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
kebijakan cuti mengasuh anak berdasarkan sistem cuti yang diambil (dalam Nakazato dan
Nishimura, 2015). Pada tahun tersebut hanya 1,1 persen pekerja pria yang berpartisipasi
dalam Sistem Penyingkatan Jam Kerja, dan sebanyak 56,2 persen pekerja pria berpartisipasi
dalam Sistem Jam Kerja Fleksibel. Di samping itu, belum ada pekerja pria yang
memanfaatkan fasilitas on-site childcare centre yang disediakan oleh perusahaannya.

Akan tetapi survey yang sama pada tahun 2013 menunjukkan sebanyak 2,0 persen pekerja
pria yang pasangannya melahirkan dalam rentang waktu antara 1 Oktober 2011 hingga 30
September 2012, telah mendaftarkan diri untuk mengambil cuti mengasuh anak per 1 Oktober
2013. Meskipun angka ini jauh lebih kecil dibandingkan jumlah pekerja wanita yang
mengambil cuti megasuh anak, nyatanya jumlah ini telah mengalami peningkatan sebesar
0,14 persen dari partisipasi kaum ayah pada tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1,89
persen. Selain itu, di antara kaum ayah yang mengambil cuti mengasuh anak pada periode ini,
75,4 persennya mengambil cuti kurang dari 1 bulan dan 41,3 persen lainnya hanya mengambil
cuti kurang dari 5 hari.

Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan merilis tabel persentase pekerja


pria dan wanita yang berpartisipasi dalam cuti mengasuh anak, di antara pekerja-pekerja yang
baru melahirkan atupun pasangannya baru melahirkan. Dalam laporan pada situs resminya,
Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan mencantumkan tabel dari
rentang tahun 2004 hingga 2011. Data tahun 2004 dan 2005 merupakan Basic Survey of
Employment Management of Women yang dilakukan oleh Equal Employment, Children and
Families Bureau, dan data tahun 2007 hingga 2011 merupakan Basic Survey of Gender
Equality in Employment Management yang dilakukan oleh Equal Employment, Children and
Families Bureau dengan catatan survey di tahun 2011 tidak mencakup perfektur Iwate,
Miyagi, dan Fukushima (MHLW, 2015: 173). Kemudian terdapat tabel serupa dengan rentang
tahun 1996 hingga 2002 (North, 2011: 5), tahun 2012 (Chiu-Lan, 2015: 260), dan tahun 2013
(Cabinet Office, 2015: 2) yang saat ini sudah tidak dicantumkan ataupun belum tercantum di
dalam situs resmi Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan. Tabel 1
menunjukkan persentase pekerja pria dan wanita yang berpartisipasi dalam Cuti Mengasuh
Anak dari tahun 1996 hingga 2013 yang dikombinasikan dari keempat sumber tersebut.

Tabel 1. Partisipasi Pekerja Pria dan Wanita dalam Cuti Mengasuh Anak

Persentase ibu pekerja yang Persentase ayah pekerja yang


mengambil cuti mengasuh mengambil cuti mengasuh anak

10
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
anak (%) (%)
1996 49,1 0,12
1999 56,4 0,42
2002 64,0 0,33
2004 70,6 0,56
2005 72,3 0,50
2007 89,7 1,56
2008 90,6 1,23
2009 85,6 1,72
2010 83,7 1,38
2011* 87,8 2,63
2012 83,6 1,89
2013 - 2,03
Catatan:
Data tahun 2011 tidak mencakup perfektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima karena terdampak peristiwa
gempa besar di Jepang bagian Timur.

Sumber: Kompilasi penulis dari beberapa sumber.


MHLW (Tahun 1996, Tahun 1999, Tahun 2002) dalam North, 2011: 5
MHLW (Tahun 2004, Tahun 2005, Tahun 2007, Tahun 2008, Tahun 2009, Tahun 2010, Tahun 2011),
dalam Annual MHLW Report 2015: 173
MHLW (Tahun 2012) dalam Chiu-Lan, 2015: 260
“Numerical Targets and Updated Figures of the Third Basic Plan for Gender Equality” (Tahun 2013),
Gender Equality Bureau Cabinet Office

Pemerintah Jepang menargetkan angka keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh anak ini dapat
terus meningkat hingga 10% pada tahun 2017 (Kyodo dalam North, 2011) dan mencapai 13%
pada tahun 2020 (Yamazaki dan Ito, 2014). Meskipun partisipasi kaum ayah dalam kebijakan
cuti mengasuh anak jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi kaum ibu,
namun sejak awal diberlakukannya kebijakan yakni pada tahun 1992 hingga data terbaru
tahun 2013 terlihat adanya peningkatan.

Dalam studi terdahulu yang dijadikan acuan penelitian ini, Boll, Leppin, dan Reich (2014)
meneliti hubungan antara durasi cuti mengasuh anak yang diambil ayah dengan waktu yang
digunakan ayah untuk mengasuh anak, dan hasilnya adalah secara umum berpengaruh positif.
Dengan demikian UNICE, dll. menyatakan bahwa pria harus didorong untuk mengambil
tanggung jawab yang setara dengan wanita dalam mengurus keluarga, salah satunya dengan
mengambil cuti mengasuh anak (dalam Boll, Leppin, & Reich, 2014). Akan tetapi, melihat
rendahnya tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak setelah
diberlakukan selama 21 tahun (hingga data terbaru tahun 2013), artinya ada pandangan bahwa
ayah tidak perlu berkontribusi besar dalam mengasuh anak sehingga ayah tidak perlu
berpartisipasi dalam kebijakan cuti mengasuh anak.

11
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Menurut Atsumi Masako, dalam masyarakat Jepang terdapat pemikiran yang mendarah
daging bahwa bekerja adalah tugas utama ayah dan merupakan cara ayah dalam mengasuh
anaknya, kemudian juga terdapat hal-hal yang dianggap tabu untuk dilakukan pria di hadapan
orang lain (dalam North, 2002). Dengan kata lain, sosok pria yang terlihat sedang melakukan
aktivitas mengasuh anak seperti misalnya menggantikan popok anak dianggap sebagai hal
yang tabu oleh masyarakat Jepang. Selanjutnya dalam wawancara Masako Ishii-Kuntz (1992)
terhadap 20 pasang suami-istri, terdapat responden yang mengungkapkan bahwa merupakan
hal yang mustahil jika ia harus meninggalkan tempat kerja sementara rekan-rekannya masih
bekerja, tanpa mengorbankan reputasinya di perusahaan(dalam North, 2002: 25). Dari hasil
wawancara tersebut, Ishii-Kuntz menyimpulkan bahwa sanksi sosial merupakan penghambat
terhadap keterlibatan ayah. Lebih jauh Ishii-Kuntz (1993) mengatakan bahwa sanksi sosial itu
kemudian mempengaruhi persepsi ayah dalam melibatkan diri untuk mengasuh anak dan
menimbulkan kekhawatiran akan kehilangan maskulinitas di hadapan kolega dan keluarganya
(dalam North, 2002).

Dari data yang diperoleh oleh Kementrian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan
pun, ayah yang berpartisipasi dalam kebijakan cuti mengasuh anak pada tahun 2013 hanya
mengambil cuti selama kurang dari 1 bulan. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa motif
ayah dalam mengambil cuti mengasuh anak sesungguhnya lebih ditujukan untuk membantu
istri pasca melahirkan dan bahwa kaum ayah tidak dapat memalingkan perhatiannya dari
pekerjaan yang ia tinggalkan selama masa cuti.

Jika dikaitkan dengan teori four-factor model of father involvement bahwa kebijakan yang
diterapkan di tempat ayah bekerja, khususnya kebijakan cuti mengasuh anak bagi kaum ayah
memegang peranan besar dalam tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh
anak, kenyataannya meskipun telah cukup banyak perusahaan yang memberlakukan
kebijakan serta memberikan kemudahan bagi ayah untuk berpartisipasi dalam cuti mengasuh
anak sekalipun, jumlah ayah yang terlibat masih sangat sedikit. Selanjutnya jika dilihat dari
teori Role Identity terkait ekspektasi masyarakat dan persepsi ayah sendiri terhadap peran
ayah, pemikiran yang tertanam dalam masyarakat Jepang bahwa ayah tidak harus berperan
besar dan turun tangan dalam mengasuh anak juga telah menjadi keyakinan pribadi sang ayah
akan apa yang sebaiknya dilakukan dalam berperan sebagai ayah.

Kesimpulan

12
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Temuan penelitian ini adalah tingkat keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh anak di Jepang
terbilang rendah dan jauh dari angka yang ditargetkan pemerintah. Meskipun tingkat
keterlibatan ayah sejak diberlakukannya Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat
Keluarga di tahun 1992 mengalami peningkatan, namun persentase keterlibatan ayah tidak
signifikan. Dalam data terbaru yang didapatkan terkait tingkat keterlibatan ayah dalam cuti
mengasuh anak, sebanyak 2,03 persen ayah telah mengambil cuti pada tahun 2013. Sementara
pemerintah menargetkan angka tersebut meningkat hingga 10 persen pada tahun 2017 dan
mencapai 13 persen pada tahun 2020. Rendahnya tingkat keterlibatan ayah dalam cuti
mengasuh anak ini tidak sejalan dengan tingginya persentase perusahaan yang
memberlakukan kebijakan. Sehingga jika dilihat pula dari minimnya masa cuti yang diambil
ayah, yakni kurang dari 1 bulan, dapat disimpulkan bahwa pandangan tradisional masyarakat
Jepang bahwa mengasuh anak bukanlah tugas utama ayah masih mendominasi persepsi kaum
ayah terhadap peran ayah itu sendiri.

Implikasi teori four-factor model of father involvement bahwa kebijakan yang diterapkan di
tempat ayah bekerja memegang peranan besar dalam tingkat keterlibatan ayah dalam cuti
mengasuh anak ternyata kurang relevan melihat besarnya persentase perusahaan yang
memberlakukan kebijakan cuti mengasuh anak bagi ayah tidak diimbangi dengan persentase
keterlibatan ayah yang terbilang rendah. Kemudian implikasi teori Role Identity dengan
tingkat keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh anak, yaitu ekspektasi masyarakat yang
berlandaskan pandangan tradisional bahwa tugas utama ayah adalah bekerja dan bukan
mengurus anak ternyata sejalan dengan pemaknaan pribadi ayah terhadap peran tersebut. Hal
ini terlihat dari rendahnya tingkat keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh anak. Dari kedua
teori yang dijadikan landasan penelitian, teori Role Identity yang dicetuskan oleh Alicia D.
Cast bahwa identitas peran merupakan kombinasi dari ekspektasi objektif sosial dan
pemaknaan subjektif pribadi yang diatributkan untuk diri sendiri pada peran tertentu, yakni
dalam penelitian ini peran ayah, ternyata lebih relevan dalam penelitian ini.

Keterbatasan penelitian ini adalah tingkat keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh anak hanya
dilihat dari jumlah atau persentase ayah yang mengambil cuti setiap tahunnya, dan tidak
dilakukan penelitian terkait motif kaum ayah yang berpartisipasi maupun yang memilih untuk
tidak berpartisipasi dalam cuti mengasuh anak. Kemudian perubahan pandangan masyarakat
Jepang terhadap peran ayah yang mungkin terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang
Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga pun belum diteliti dalam artikel jurnal ini.

13
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Prospek penelitian lanjutan dilihat dari keterbatasan penelitian ini yakni motif kaum ayah
yang berpartisipasi maupun yang tidak berpartisipasi dalam cuti mengasuh anak dikaitkan
dengan evaluasi kinerja karyawan yang dilakukan perusahaan setiap tahunnya, juga dengan
sanksi sosial dalam perusahaan. Kemudian ekspektasi masyarakat Jepang terhadap peran ayah
dalam mengasuh anak sejak diberlakukannya Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan
Merawat Keluarga pun dapat dijadikan penelitian lanjutan. Apakah konsep yang diajukan
pemerintah seperti work-life balance society dan Ikumen Project telah mengubah pandangan
tradisional masyarakat Jepang bahwa tugas perempuan hanya mengurus anak dan pekerjaan
rumah, sementara tugas pria hanya bekerja di luar rumah. Penelitian lanjutan dapat pula
memandang keterlibatan ayah dalam cuti mengasuh anak dari sisi perubahan budaya,
kesetaraan gender, maupun maskulinitas.

Daftar Kepustakaan

Bayens, Christina. (2007). A group for fathers of dolscent girls: How to understand, relate,
and communicate. Disertasi, Program Doktor Univeristas Spalding, Louisville. 24
April 2016
<https://books.google.co.id/books?id=yPy6WaafN7UC&pg=PA50&lpg=PA50&dq=la
mbs+four-
factor+model+of+motivation&source=bl&ots=_rZ8t1mtMJ&sig=sPeMZLV-
awr5LZPyMRsh6hrkdsk&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiX7-
jc76TMAhVIBI4KHcxwC0IQ6AEIQzAI#v=onepage&q=lambs%20four-
factor%20model%20of%20motivation&f=false>
Boll, C., Leppin, J., & Reich, N. (2014). Paternal childcare and parental leave policies:
Evidence from industrialized countries. Household, 12, 129-158.
Bronte-Tinkew, J., Carrano, J., & Guzman, L. (2006). Resident fathers’ perceptions of their
roles and links to involvement with infants. Fathering, 4(3), 254-285.
Cabinet Office, Gender Equality Bureau. (2015). Numerical Targets and Updated Figures of
the Third Basic Plan for Gender Equality. 6 Mei 2016
<http://www.gender.go.jp/english_contents/basic_data/indicators/index.html>
Cast, Alicia. (2003). Identities and behavior. Dalam P. J. Burke, T. J. Owens, R. T. Serpe, & P.
A. Thoits (Eds.). Advances in identity theory and research (hlm.41-56). Ney York:
Kluwer Academic. 2 Mei 2016
<http://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-4419-9188-1_4>

14
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
Chiu-Lan Chang. (2015). Comparative analysis of work-life balance policies and work
practices in Taiwan and Japan. Dalam Luo Lu dan C. L. Cooper (eds.). Handbook of
research on work-life balance in asia (hlm.251-270). Cheltenham, UK: Edward Elgar.
6 Mei 2016
<https://books.google.co.id/books?id=yK8VCgAAQBAJ&pg=PA260&lpg=PA260&d
q=japanese+men+take+childcare+leave+2012&source=bl&ots=TyHdtBfe8F&sig=cD
fkSH9-
3JDS8QPHVoFKAJrHHe4&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjD9uyEgsXMAhWGuo4K
HSUlAhEQ6AEIMDAD#v=onepage&q=japanese%20men%20take%20childcare%20
leave%202012&f=false>
Day, R. D., dan Lamb, M. E. (2004). Conceptualizing and measuring father involvement:
Pathaways, problems, and progress. Dalam R. D. Day & M. E. Lamb (eds.).
Conceptualizing and measuring father involvement (hlm.1-15). Mahwah, New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates. 24 April 2016
<https://books.google.co.id/books?id=yQyQAgAAQBAJ&pg=PT388&lpg=PT388&d
q=lambs+four-
factor+model+of+motivation&source=bl&ots=xzQJVTL7T1&sig=492HsnSEyA1Rxk
Vf93pCQ-irFys&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiX7-
jc76TMAhVIBI4KHcxwC0IQ6AEIITAA#v=onepage&q=lambs%20four-
factor%20model%20of%20motivation&f=false>
Higashikokubaru, Mamoru. (2015). Effects of childcare leave policy on males’ childcare
participation and fertility in Japan. Tesis, Program Master Universitas Georgetown,
Washington DC.
Ministry of Health, Labour, and Welfare. (2009). Introduction to the Revised Childcare and
Family Care Leave Law. 24 April 2016
<http://www.mhlw.go.jp/english/policy/children/work-family/index.html>
Ministry of Health, Labour, and Welfare. (2015). Equal Employment and Child Welfare.
Dalam Annual Health, Labour, and Welfare Report 2015. 24 April
<http://www.mhlw.go.jp/english/policy/children/work-family/index.html >
Nakazato, H. dan Nishimura, J. (2015). Japan country note. Dalam P. Moss (ed.).
International review of leave policies and research 2014.
<http://www.leavenetwork.org/lp_and_r_reports/ >
Nort, R. S. (2002). Gender perjudice and men’s family work in Japanese twin-career
marriages. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas California, Barkeley.

15
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016
_________. (2011). Work-Life in Japan: The Past Is Prologue. [Pdf]. 3 Mei 2016
< https://www.academia.edu/4027616/_Work-Life_in_Japan._ >
Wahyuni, Firda. (2014). Dinamika Perempuan Pekerja Jepang Zaman Modern (2002-2012).
Skripsi, Program Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Yamazaki T. dan Ito K. “Japanese Men Bringing Up Babies Aim to Send Wives to Work.”
Bloomberg 23 April 2014. 6 Mei 2016
<http://www.bloomberg.com/news/articles/2014-04-22/japanese-men-bringing-up-
babies-seek-to-send-wives-back-to-work>

16
Tingkat keterlibatan …, Yasmin, FIB UI, 2016

Anda mungkin juga menyukai