PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot periodik, trismus dan
kejang otot. Clostridium tetani bersifat anaerob murni. Spora banyak terdapat di dalam
tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka
tusuk, luka bakar, maupun infeksi tali pusat (tetanus neonatorum). Neurotoksin yang
Pada tahun 1889 isolasi C. tetani dari manusia pertama kali dilakukan oleh
Kitasato dengan cara mengisolasi bakteri tetani dari tanah anaerob yang mengandung
tetanus. (Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ). Imunisasi pasif terhadap tetanus
pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897. Pada tahun 1924 Descombey
dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian
tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248000 kematian per tahun. Tetanus adalah
penyakit yang dapat dicegah. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot
yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab
medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya dengan
2.2. Sejarah
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”.Penyakit ini
telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates
Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan
menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang
tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur
dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian
membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897.
Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang
tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II.
2
Gambar 1. Lukisan “Opisthotonus” oleh Sir Charles Bell (1809), seorang dokter bedah dan ahli anatomi,
yang menggambarkan seorang tentara yang menderita tetanus.
Sumber: http://www.anatomyacts.co.uk
2.3. Epidemiologi
terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat
penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material
organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani.
Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera
jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan.
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak
lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak
aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan
higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan
kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di India.
3
aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi
101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi
rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak
pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang
dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas
akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bulan April - September.
Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun
2.4. Etiologi
bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram
positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu
ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif
resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan
fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di
dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi
menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu
121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas
kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160°C) tetapi efektif
4
terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat membunuh spora.
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah
yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora
dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia
dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan
terjadi akibat penurunan lokalkadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda
Gambar 2. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endospora
dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai
stik drum. Sumber: Todar, 2007
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam
5
yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin
merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum
2.5 Patogenesis
bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini
merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet
yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada
pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Bahkan apabila tidak
ditemukan adanya luka, tetanus bisa terjadi akibat adanya gigi berlubang atau otitis
media supuratif kronis. Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi
menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem
saraf termasuk otak, sebelum mencapai otak penderita umumnya meninggal akibat
gagal nafas.Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke
6
dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis
yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah
dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang
tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme.Neuron ini menjadi tidak mampu
acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap
rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang
berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila
toksin mencapai korteks serebri, maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang
spontan.
Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot
agonis dan antagonis.Neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang
berasal dari sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher.Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,
yang dulu jarang terjadi karena penderita sudah meninggal sebelum gejala
dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level
7
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
meningkatnya aktifitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus.Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme
otot yang khas .Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin.
memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat
8
Gambar 4. Mekanisme kerja tetanospasmin.
2.6. Manifestasi klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana
pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah
luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi
intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma
minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk
(portal of entry). Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau
hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat dan
interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka
2.6.1.Tetanus lokal
9
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan
tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-
otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan
2.6.2.Tetanus sefalik
sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-
otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul
setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan
konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul
dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII
(paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat
paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.
Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik.
Sumber: Cook, 2001
10
2.6.3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari
akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan
4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita
lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan
dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan.
detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat
periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan
kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai
stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan
mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara,
cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu
spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat
spasme tersebut.
nyeri hebat pada setiap episode spasme yang dapat berlanjut selama 2-3 minggu
setelah anti toksin diberikan, waktu 2-3 minggu ini dibutuhkan untuk
11
menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal. Apabila antitoksin
tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai
(a) (b)
(c)
Gambar 6. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang menangis
akibat kontraksi otot yang nyeri.Sumber: Cook, 2001
2.6.4.Tetanus neonatorum
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor
12
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala
awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir.
Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus
2.7. Diagnosis
daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.
Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar
pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki
sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi
C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus.
Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan
dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit untuk
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil
13
diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantungelektrokardiografi
Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua
atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil
untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai
penentu prognosis.
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0
pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor
14
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya
sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor >
18 tetanus berat.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
15
berupa spasme takikardia.
disekitar luka dan
kekakuan umum
terjadi beberapa jam
atau hari.
Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat
spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus dipertimbangkan
dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus. Spasme otot terjadi
lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-otot pernapasan dan
Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan
terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang
tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada
keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan
pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul lebih lambat serta
tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus. Berbagai kelainan yang
16
Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.
2.9. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi ini adalah berupa menetralisirkan peredaran toksin dalam
bantuan pernafasan sampai pulih, dan memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin
yang terfiksir pada neuron dimetabolisme. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai
berikut :
membuangbenda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. Lakukan observasi ketat pada
jalan nafas, perubahan posisi dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
17
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral (apabila pasase usus baik dan trismus minimal
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk yaitu Toksin bebas dalam
darah dan Toksin bergabung dengan jaringan saraf, yang dapat dinetralisir adalah toksin
yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak
dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-
nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU. Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga
tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur
Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang
berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU
antitoksin dimasukkan kedalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
18
(20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari
pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan
luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4
GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini
Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah
dan penetrasi lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg
setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik
yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100
Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan
membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen
peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2
Tetanus toksoid
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi
tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari
tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama
19
proses penyembuhan. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
20
Obat yang lazim digunakan ialah :
Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
karena memiliki margin of safety yang cukup baik, onset ketja obat ini cukup
Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat
dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan
oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu
oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium.
Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia.
dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat.
21
Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas
sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral
cukup kalori dan protein melalui jalur enteral maupun parenteral. Bentuk makanan
tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Selama pasase usus baik
diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat diberikan lewat pipa
2.10. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin
seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder
akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus,
pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon
akibat spasme otot. Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum dalam tabel 6.
2.11. Prognosis
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
22
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk
menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang
dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat
mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas
menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada
2.12. Pencegahan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak
anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa
digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus
Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4 bulan setelah
sampai usia 7 tahun yang injeksi pertama.
tidak diimunisasi pada Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
masa bayi awal. Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan
diulang setiap 10 tahun sekali.
23
Usia ≥ 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan
belum pernah pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah
diimunisasi. injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis
pernah diimunisasi. injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2
untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi
tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250
IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
harus diberikan.
Sumber: Edlich, 2003
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan
memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan
bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk membuang
semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap tetanus harus
Tabel 8.Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
24
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah
reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal
tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.Berikut adalah panduan
pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status
imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi
booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui.
Untuk anak ≤ 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,
gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak
tersedia HTIGdapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda
dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas
dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes
kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya
diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan,
seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada
25
penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu
poten sehingga dalam konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah
toksin yang masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidak
memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai
respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoid
untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi
karena C. tetanitelah diisolasi dari feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen
usus merangsang terbentuknya imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan
mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi
26
BAB III
KESIMPULAN
Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di Negara maju, namun
berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka
kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat sifat
alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan dan berbagai
faktor lainnya seperti kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Tetanus dapat dicegah melalui
pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, dan manajemen
Pemberian imunitas pasif tetanus dengan antitetanus serum (ATS) sudah tidak
dianjurkan karena risiko reaksi alergi tinggi, tetapi kebanyakan dokter umum di
Indonesia pasti akan berhadapan dengan penggunaan ATS. Hal yang perlu diingat
metode Bedreska dapat digunakan untuk pasien yang sangat membutuhkan antitoksin
penyakit tetanus pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilai
kemajuan perjalanan penyakit selama perawatan karena menilai banyak parameter dan
27
DAFTAR PUSTAKA
3. Lisboa Thiago, Yeh-Li Ho, Gustavo Trindade. Guidelines for The Management
4. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Layanan Primer. Tetanus. edisi revisi
2014.
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2007.
7. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
2000;69:292–301.
10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;
2005.
11. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health
2011;154:329-35.
28
12. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic
29