Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang

dihasilkan Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot periodik, trismus dan

kejang otot. Clostridium tetani bersifat anaerob murni. Spora banyak terdapat di dalam

tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka

tusuk, luka bakar, maupun infeksi tali pusat (tetanus neonatorum). Neurotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani dihasilkan oleh bentuk vegetatifnya.

Pada tahun 1889 isolasi C. tetani dari manusia pertama kali dilakukan oleh

Kitasato dengan cara mengisolasi bakteri tetani dari tanah anaerob yang mengandung

bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari

tetanus. (Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ). Imunisasi pasif terhadap tetanus

pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897. Pada tahun 1924 Descombey

mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid.

Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang

dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,

Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu

penyakit yang menjadi target program imunisasi World Health Organization.

Di negara berkembang mortaitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah

kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian

tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248000 kematian per tahun. Tetanus adalah

penyakit yang dapat dicegah. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan

menyebabkan tingginya prevalensi penyakit tetanus di negara berkembang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot

yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab

medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya dengan

atau tanpa riwayat trauma.

2.2. Sejarah

Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”.Penyakit ini

telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates

kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia yang tiada akhir”.

Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan

menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang

sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan

tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur

murni dan membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila

diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetanidapat

dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian

membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897.

Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang

Dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada

tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II.

2
Gambar 1. Lukisan “Opisthotonus” oleh Sir Charles Bell (1809), seorang dokter bedah dan ahli anatomi,
yang menggambarkan seorang tentara yang menderita tetanus.
Sumber: http://www.anatomyacts.co.uk
2.3. Epidemiologi

Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus

terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat

penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material

organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani.

Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera

jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan.

Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.

Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak

lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak

aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik

telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah.

Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan

di negara kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50%

mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi

higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan

kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di India.

Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi

3
aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi

101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi

rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak

pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang

dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas

akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bulan April - September.

Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun

dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang ditemukan.

Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan

tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung.

2.4. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yangmemiliki dua

bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram

positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan

terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan

antibiotik.Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus.

Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu

ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif

resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan

fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di

dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi

menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu

121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas

kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160°C) tetapi efektif

4
terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat membunuh spora.

Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah

yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora

dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia

dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan

heroin yang terkontaminasi.

Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai

tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi

terjadi akibat penurunan lokalkadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda

asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif.

Gambar 2. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endospora
dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai
stik drum. Sumber: Todar, 2007

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk

vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi

perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam

patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten

5
yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin

merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum

untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat badan.

2.5 Patogenesis

Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif

anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi

bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini

merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari

pengaruh kekuatan eksotoksin (Tetanolisin dan Tetanospasmin). Tempat masuknya

kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan

jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet

yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari

tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada

pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Bahkan apabila tidak

ditemukan adanya luka, tetanus bisa terjadi akibat adanya gigi berlubang atau otitis

media supuratif kronis. Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi

menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen

jaringan yang rendah. Selanjutnya,toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh

bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa.

Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem

saraf termasuk otak, sebelum mencapai otak penderita umumnya meninggal akibat

gagal nafas.Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal

dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke

motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke

6
dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis

yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah

dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang

tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme.Neuron ini menjadi tidak mampu

untuk melepaskan neurotransmitter.Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric

acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap

tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap

rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot

masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang

berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila

toksin mencapai korteks serebri, maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang

spontan.

Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot

agonis dan antagonis.Neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang

berasal dari sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta

kekakuan dari otot leher.Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,

sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran

cerna, saluran kemih, dan neuromuscular.Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama

janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom,

yang dulu jarang terjadi karena penderita sudah meninggal sebelum gejala

timbul.Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang

dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level

dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

7
 Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat

pelepasanGABA dari terminal nerve di otot.

 Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari

reflex synaptik di spinal cord.

 Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral

ganglioside.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan

meningkatnya aktifitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi

trismus.Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin

tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang

kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme

otot yang khas .Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik

dibawa ke kornu anterior medulla spinalis

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri

kemudian masuk kedalam medulla spinalis.

Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin.

Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan

memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat

2-3 minggu setelah terapi dimulai.

8
Gambar 4. Mekanisme kerja tetanospasmin.
2.6. Manifestasi klinis

Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana

pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah

luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi

intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma

minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk

(portal of entry). Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan

setelah ulkus dekubitus.

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau

beberapa minggu).Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya.Terdapat

hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat dan

interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka

masa inkubasi makin panjang.Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk

berdasarkan manifestasi klinisnya.

2.6.1.Tetanus lokal

9
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan

tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-

otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan

selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat

berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan

jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1%.

2.6.2.Tetanus sefalik

Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan(insiden

sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-

otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul

setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan

konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul

dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII

(paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat

paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.

Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30%.

Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik.
Sumber: Cook, 2001

10
2.6.3.Tetanus general

Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari

tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut

akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan

leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-

4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita

tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile).

Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk

lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan

dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan.

Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh

merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara

intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa

detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat

periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan

kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai

stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan

mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara,

cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu

spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat

spasme tersebut.

Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami

nyeri hebat pada setiap episode spasme yang dapat berlanjut selama 2-3 minggu

setelah anti toksin diberikan, waktu 2-3 minggu ini dibutuhkan untuk

11
menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal. Apabila antitoksin

tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai

produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan

neuromuscular junction yang baru.

(a) (b)

(c)
Gambar 6. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang menangis
akibat kontraksi otot yang nyeri.Sumber: Cook, 2001

2.6.4.Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali

pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun

obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat

pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor

utama dalam terjadinya tetanus neonatorum.

12
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala

awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir.

Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus

sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus.

2.7. Diagnosis

Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis

dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada

daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara

berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik

menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran

yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.

Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar

pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki

riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas.

Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya

sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi

C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus.

Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan

dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit untuk

menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum

media kultur diinokulasi.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan

serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil

elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu

13
diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantungelektrokardiografi

dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan.

Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua

atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil

untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif.

Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.

Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,

Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai

penentu prognosis.

Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Faktor pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1
Sumber: Farrar et al, 2000
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan

pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor

14
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya

sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor >

18 tetanus berat.

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia
bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya
dapat menjadi persisten.
Sumber: Cottle, 2011

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut

beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan.Selain

skoring Ablett terdapat juga skoring Cole and Youngman (1966)

Grade I: ringan Grade II: sedang Grade III: berat

 Masa inkubasi lebih  Masa inkubasi 10-  Masa inkubasi < 10


dari 14 hari. 14 hari hari
 Period of onset > 6  Period of onset 3  Period of onset < 3
hari hari atau kurang hari
 Trismus positif tapi  Trismus dan disfagi  Trismus dan
tidak berat ada disfagia berat
 Sukar makan dan  Kekakuan umum  Kekakuan umum
minum tetapi terjadi dalam dan gangguan
disfagi tidak ada beberapa hari tetapi pernapasan asfiksia,
 Lokalisasi kekakuan dispnoe dan ketakutan, keringat
dekat dengan luka sianosis tidak ada banyak dan

15
berupa spasme takikardia.
disekitar luka dan
kekakuan umum
terjadi beberapa jam
atau hari.

2.8. Diagnosis banding

Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus.

Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat

menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan

pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan

spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus dipertimbangkan

dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus. Spasme otot terjadi

lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-otot pernapasan dan

deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus dipertimbangkan.

Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan

kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi

terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang

tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada

keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan

pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul lebih lambat serta

tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus. Berbagai kelainan yang

merupakan diagnosis banding tetanus dirangkum dalam tabel 5.

16
Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.

Penyakit Gambaran diferensial


INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan kesadaran, cairan
serebrospinal abnormal.
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya spasme
orofaring.
Lesi orofaring Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh tubuh tidak
ada.
Peritonitis Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal, hipokalsemia.
Keracunan striknin Relaksasi komplit diantara spasme.
Reaksi fenotiazin Distonia, menunjukkan respon dengan difenhidramin.
PENYAKIT SISTEM SARAF PUSAT
Status epileptikus Penurunan kesadaran.
Perdarahan atau tumor (SOL) Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara spasme.
KELAINAN MUSKULOSKELETAL
Trauma Hanya lokal.
Sumber: Ritarwan, 2004

2.9. Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi ini adalah berupa menetralisirkan peredaran toksin dalam

sirkulasi, menghilangkan sumber tetanospasmin, mencegah spasme otot, memberikan

bantuan pernafasan sampai pulih, dan memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin

yang terfiksir pada neuron dimetabolisme. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai

berikut :

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),

membuangbenda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini

penata laksanaan,terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan

pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. Lakukan observasi ketat pada

jalan nafas, perubahan posisi dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus

17
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan

membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan

personde atau parenteral (apabila pasase usus baik dan trismus minimal

pemberian peroral merupakan pilihan utama)

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap

penderita (metode ini mulai ditinggalkan ).

4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu (apabila terdapat

kekauan pada laring).

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (rehidrasi).

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk yaitu Toksin bebas dalam

darah dan Toksin bergabung dengan jaringan saraf, yang dapat dinetralisir adalah toksin

yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak

dapat dinetralisir oleh antitoksin.Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan

memberikanhuman tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai

dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-

6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium

nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU. Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga

tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur

intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat

mencetuskan reaksi alergi.

Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang

berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU

antitoksin dimasukkan kedalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara

intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa

18
(20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari

serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga

pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan

menggunakan cairan garam fisiologisdengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan

intradermal.HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum

memasuki sistem saraf.

Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen

luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4

dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor

GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini

Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah

dan penetrasi lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg

setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik

yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100

mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin, Sefalosporin, dan

Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan

membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen

peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2

jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik.

Tetanus toksoid

Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi

tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan

tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari

tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama

19
proses penyembuhan. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan

bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik

yang berbeda. Pemberian dilakukansecara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai

imunisasi dasar terhadap tetanus selesai

Indikasi pemberian imunisasi tetanus

Imunisasi Luka bersih Luka Kotor


sebelumnya
Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada / Ya* Tidak Ya* Ya
tidak pasti
1x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau Ya* Tidak Ya* Ya
DTP
3x DT atau DTP Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak
Keterangan :

 * = seri imunisasinya harus dilengkapi

 + = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu

 ++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih

Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U)(4)

Pemberian antikonvulsan bertujuan untuk mengontol spasme dan

rigiditas.Adapun jenis obat yang dapat digunakan, tertera dalam teabel.

Jenis Obat Dosis Efek Samping


Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat Stupor, Koma
badan / 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan

20
Obat yang lazim digunakan ialah :

 Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis

0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang

setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde

lambung) dengan dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.Diazepam diberikan

karena memiliki margin of safety yang cukup baik, onset ketja obat ini cukup

cepat, kumulasi cukup tinggi dalam 72 jam.

 Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat

berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam

dapat ditingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik,

dengan atau tanpa kurarisasi. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan

magnesium sulfat, bila ada gangguan saraf otonom.

 Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan

dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja

dengan cara meningkatkan aktivitas neurotransmitter GABA begitu juga dengan

phenotiazine dan klopromazine.

Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan

oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu

oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium.

Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia.

Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan

dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga

100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi utama.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat.

21
Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas

sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral

untuk mempertahankan integritas gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet

cukup kalori dan protein melalui jalur enteral maupun parenteral. Bentuk makanan

tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Selama pasase usus baik

diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat diberikan lewat pipa

lambung maupun gastrostomi.

2.10. Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin

seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder

akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus,

pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon

akibat spasme otot. Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum dalam tabel 6.

Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus


Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi
mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia, asistol, gagal
jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi
multiorgan.
Sumber: Ang, 2003

2.11. Prognosis

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,

periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang

22
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk

menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang

dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat

mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas

menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada

kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.

2.12. Pencegahan

Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan

morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu

perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.

Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan

merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak

anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa

digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus

bervariasi menurut usia pasien.

Tabel 7.Jadwal imunisasiaktif terhadap tetanus


Bayi dan anak normal. Imunisasi DPT pada usia 2,4,6,dan 15-18 bulan.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan
diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4 bulan setelah
sampai usia 7 tahun yang injeksi pertama.
tidak diimunisasi pada Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
masa bayi awal. Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan
diulang setiap 10 tahun sekali.

23
Usia ≥ 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan
belum pernah pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah
diimunisasi. injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis
pernah diimunisasi. injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2
untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi
tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250
IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
harus diberikan.
Sumber: Edlich, 2003

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan

trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka

khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa

memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan

bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk membuang

semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap tetanus harus

dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang demikian penting

sebagai profilaksis terhadap tetanus.

Tabel 8.Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus


Usia luka > 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm ≤ 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka Benda tajam (pisau, kaca)
bakar, frostbite
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, feses, Ada Tidak ada
rumput, saliva, dan lain-lain)
Jaringan denervasi/iskemik Ada Tidak ada
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

24
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah

reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal

tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.Berikut adalah panduan

pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status

imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi

booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui.

Tabel 9.Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma


Riwayat imunisasi tetanus Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus
sebelumnya (dosis) TT HTIG TT HTIG
Tidak diketahui atau < 3 Ya Ya Ya Tidak
≥ 3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali ≥ 5 tahun sejak (kecuali ≥ 10 tahun
dosis terakhir) sejak dosis terakhir)
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Untuk anak ≤ 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis

profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.

Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,

gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak

tersedia HTIGdapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda

dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas

dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes

kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya

diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang

potensial terhadap produk ini.

Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan,

artinya penderita tersebutmemiliki kemungkinan yang sama untuk menderita tetanus

seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada

25
penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu

merangsang pembentukan antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat

poten sehingga dalam konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah

toksin yang masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk

merangsang imunitas aktif penderita.

Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidak

memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai

respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoid

untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi

karena C. tetanitelah diisolasi dari feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen

usus merangsang terbentuknya imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan

mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi

tetanus tidak terlaksana dengan baik.

26
BAB III

KESIMPULAN

Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di Negara maju, namun

berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka

kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat sifat

alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan dan berbagai

faktor lainnya seperti kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,

perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan

pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Tetanus dapat dicegah melalui

pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, dan manajemen

perawatan luka yang adekuat.

Pemberian imunitas pasif tetanus dengan antitetanus serum (ATS) sudah tidak

dianjurkan karena risiko reaksi alergi tinggi, tetapi kebanyakan dokter umum di

Indonesia pasti akan berhadapan dengan penggunaan ATS. Hal yang perlu diingat

adalah melakukan tes sensitivitas sebelum pemberian ATS. Desensitisasi dengan

metode Bedreska dapat digunakan untuk pasien yang sangat membutuhkan antitoksin

(ATS) tetapi hasil tes sensitivitas positif.

Skor Phillips masih merupakan pilihan dalam menentukan derajat keparahan

penyakit tetanus pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilai

kemajuan perjalanan penyakit selama perawatan karena menilai banyak parameter dan

penilaian unsur-unsurnya bersifat objektif.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Laksmi Ni Komang. Penatalaksanaan Tetanus. IAI. 2014. Vol 4. 11 : 823-827.

2. World Health Organization. Current recommendations for treatment of tetanus

during humanitarian emergencies. 2010.

3. Lisboa Thiago, Yeh-Li Ho, Gustavo Trindade. Guidelines for The Management

of Accidental Tetanus In Adults Patients. 2011: 23 (4) : 394-409.

4. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Layanan Primer. Tetanus. edisi revisi

2014.

5. KEMENKES. Tetanus Maternal dan Neonatal. 2012. vol 1: 23-26

6. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,

(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;

2007.

7. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological

Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.

2000;69:292–301.

8. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of

Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.

9. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British

Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.

10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;

2005.

11. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health

Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.

2011;154:329-35.

28
12. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic

Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of

Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.

13. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of

Emergency Medicine. 2001;3(1):47-50.

29

Anda mungkin juga menyukai