Anda di halaman 1dari 22

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI, FITB - ITB

UJIAN AKHIR SEMESTER GEOTEKTONIK (GL-5211)


TANGGAL 04 DESEMBER 2017

Dosen : Dr. Ir. Chalid Idham ABDULLAH

1. Uraikan dengan singkat perbedaan dan persamaan tentang tatanan geodinamik antara Pra-
Tersier dan Tersier di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia
(KBI) ?

Jawaban

Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Indonesia Barat Indonesia (KBI) pada
Pra-Tersier memiliki perbedaan sebagai berikut: Kawasan Indonesia Bagian Barat merupakan
mikrokontinen dari paparan sunda. Tektonik yang berpengaruh pada saat itu adalah evolusi
evolusi berpisahnya Gondwanaland, Laurasia, Pangea dan Tethys. Sedangkan pada Kawasan
Indonesia Bagian Timur merupakan pecahan mikrokontinen dari bagian utara dari Gondwana
atau Benua Australia. Dan pada Tersier, perbedaan Geodinamik di Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dan Kawasan Indonesia Barat Indonesia (KBI) adalah sebagai berikut; perkembangan
geodinamik kawasan Indonesia Bagian Barat dipengaruhi oleh aktifitas collision antara benua
India dan benua Eurasia. Aktifitas antar lempeng di Kawasan Barat Indonesia membentuk
Trench dari aktifitas oblique subduction. Akibat dari olique ini mengakibatkan terbentuknya
sesar-sesar mendatar yang mendominasi, seperti di daerah Sumatera. Sementara di Kawasan
Timur Indonesia, aktifitas tektonik banyak dipengaruhi oleh Busur Kepulauan (Island Arc)
Banda dan aktifitas Benua Australia serta pasifik. Aktifitas tektonik yang terjadi berupa
subduksi, collision, dan obdaksi. Pada bagian utara wilayah Indonesia timur, lempeng pasifik
menabrak sisi barat dan selatan Indonesia. Tekanan dahsyat karena pergerakan tiga lempeng
besar bumi: Lempeng Eurasia, Lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik ini
menyebabkan interior lempeng bumi dari kepulauan Indonesia ini terpecah-pecah menjadi
bagian-bagian kecil kerak bumi yang bergerak antara satu terhadap lainnya yang dibatasi oleh
patahan-patahan aktif.

2. Sejak dulu kita telah mengenal bahwa batas tektonik Daratan Sunda (Sundaland) pada
zaman Kapur mengikuti arah Meratus (Hamilton, 1979). Tetapi akhir-akhir ini beberapa
peneliti mempunyai hipotesa bahwa batas tersebut terletak lebih ke arah timur (Sulawesi
Selatan - Bantimala).
a. Jelaskan data apa yang menjadi pertimbangan bagi para peneliti tersebut dalam
mengemukakan hipotesa tentang batas tektonik Daratan Sunda pada umur Kapur Akhir ?

b. Jika hipotesa tersebut di atas adalah benar, jelaskan model geodinamiknya pada umur
Kapur Akhir – Tersier Awal di kawasan tersebut ?. Sketsa penampangnya berarah Timur
– Barat yang memotong Sulawesi Selatan (Bantimala), Selat Makassar, Pulau Laut,
Pulau Kalimantan, Pegunungan Meratus dan berakhir di Cekungan Barito ?. Sebutkan
juga nama lingkungan tektoniknya dari masing-masing tempat pada penampang saudara ?

Jawaban

a. Pada awalnya batas timur Sundaland (Gambar 1) adalah Sulawesi Selatan, detached
continental platform di Laut Flores yang beralih dari sekitar Makassar Selatan dan
bagian tengah Teluk Bone, namun berdasarkan data seismik terbaru speculative survey
yang diakuisi Migas dan sebuah service company dari luar pada tahun 2006-2008 di
wilayah Teluk Tomini dan Teluk Bone data seismik terbaru batas tersebut perlu
diperpanjang hingga Teluk Tomini dan Sulawesi Tenggara. Data tersebut menyebutkan
bahwa Teluk Bone adalah forearc basin relatif terhadap volcanic arc di Sulawesi Selatan
terutama yang berumur Neogen (Camba volcanics) yang kelihatannya membentuk arc
yang masif di Lengan Sulawesi Selatan.

Gambar 1. Batas Sundaland bagian Timur

b. Berdasarkan data seismik di kedua teluk tersebut menunjukkan ciri –ciri berupa sekuen-
sekuen tektonostratigrafi yang merupakan ciri khas rifting basin, yaitu : pre-rift, syn-
rift, sagging, dan post-rift. Ketidakhadiran sekuen syn-inversion dan banyaknya sekuen
karbonat yang muncul merupakan ciri khas rifting basins di Tomini dan Bone, hal
inidikarenakan tidak ditemukan padaa rifting basins Indonesia Barat. Kedua ciri
tersebut muncul karena kedua wilayah tersebut tenggelam kira-kira sejak Neogen akhir.
Kondisi rifting basins secara umum dapat terlihat di Indonesia Barat yang berada di
dalam atau sekeliling Sundaland (NSB, CSB, SSB, West & East Natuna, Sunda, West
Java, East Java, Barito, Makassar Strait, basins2 di Sulawesi Selatan onshore). Wilayah
Tomini dan Bone juga merupakan hasil cekungan Sunda yang terangkat sehingga
berimplikasi pada tepi timur Sundaland yang berada di garis Teluk Tomini-Bone, yang
kemudian dihentikan oleh Australoid Banggai-Sula dan Buton-Tukang Besi. Teluk
Tomini memiliki cekungan yang mirip dengan rifting basin Sundaland.

Gambar 2. Ilustrasi Penampang Tenggara – Barat laut pada tepi sundaland pada zaman
kapur.

3. Pertemuan dua lempeng pada sistem konvergen menghasilkan model obduksi ofiolit
(obducted ophiolited model). Jelaskan apa yang dimaksud dengan model obduksi
tersebut ?. Sebutkan juga secara lengkap jenis batuan apa saja yang dapat diobduksikan ?

Jawaban

Model obduksi ofiolit merupakan model yang menggambarkan proses interaksi


dimana terdapat tumbukan berkecepatan tinggi. Proses tersebut tidak menyebabkan
terjadinya penunjaman tetapi mengakibatkan kerak samudera menumpangi kerak benua
yang membentuk model menyerupai buaya (crocodile type). Hal ini dikarenakan adanya
gaya friksi dan densitas kerak samudera yang lebih besar dibandingkan dengan kerak benua
sehingga menyebabkan kerak samudera dapat berada diatas kerak benua.
Gambar 3: Model obduksi yang menyebabkan ofiolit terangkat

Ofiolit adalah sekelompok batuan berkomposisi dominan ultramafik-mafik berasal dari


bagian paling atas mantel Bumi dan kerak samudera di atasnya (Penrose Field Conference,
1972). Adapun sekuennya dari bawah ke atas, yaitu :
1. Kompleks ultramafik (peridotit termetamorfik), terdiri dari lherzolit, hazburgit, dan dunit.
Umumnya batuan memperlihatkan struktur tektonik metamorfik (banyak atau sedikit
terserpentinisasi).
2. Kompleks gabro berlapis dan gabro massif. Gabro memiliki tekstur cumulus (mencakup
peridotit cumulus serta piroksenit). Komplek gabro biasanya sedikit terdeformasi
dibandingkan dengan kompleks ultramafik.
3. Kompleks retas berkomposisi mafik (diabas).
4. Kompleks batuan vulkanik berkomposisi mafic bertekstur bantal (basalt).

Beberapa ahli menyatakan ofiolit terbentuk pada Mid Oceanic Ridge. Namun demikian,
sebagian yang lain (diantaranya Miyashiro, 1973) mengemukakan bahwa ofiolit dapat pula
terbentuk pada lingkungan supra subduction zone di cekungan tepi benua. Di samping itu,
Raymond (2002) mengemukakan kemungkinan lain dimana sikuen batuan beku intrusi
basa – ultrabasa dapat menghasilkan kenampakan yang mirip ofiolit.
Gambar 4. Suksesi ofiolit

Obduksi sebagian kerak samudera, terjadi dalam proses benturan dua benua. Satu
benua dengan benua yang lain semula berjauhan, di tengahnya lempeng samudera. Tetapi
karena proses tektonik lempeng, benua-benua ini saling mendekat, lempeng samudera di
antaranya menunjam ke bawah satu benua. Kedua benua terus saling mendekat sampai
akhirnya berbenturan. Dalam proses benturan ini, sebagian massa lempeng samudera
berupa mantel bagian atas (lithospheric mantle) dan kerak samudera akan terputus
(detached) dari lempeng samudera induknya yang terus menunjam masuk ke dalam mantel
Bumi. Lepasan segmen lempeng samudera ini kemudian akan menumpu (obducted) di atas
satu lempeng benua. Dengan cara begitu, segmen lempeng samudera ini, yaitu ofiolit,
tersingkap, misalnya di Pegunungan Meratus-Kalimantan Selatan, Sulawesi Timur,
sebagian Pegunungan Tengah Papua dan sebagian Timor. Contoh aplikasi model obduksi
ofiolit adalah di Karang Sambung

4. Singkapan kelompok batuan ofiolit cukup luas di Pegunungan Meratus (Kalimantan


Selatan). Jelaskan proses terbentuknya dan alih tempat dari kelompok ofiolit tersebut ?

Jawaban

Obduksi Ofiolit berasal dari hasil interaksi konvergen antara kerak benua dengan
kerak samudera di mana kerak samudera yang harusnya menyusup di bawah kerak benua,
namun menjadi naik dan berada di atas kerak benua. Ofiolit bukanlah nama satu batuan,
tetapi nama yang diberikan kepada sekelompok/runtunan/kerabat/sekuen batuan. Batuan-
batuan ofiolit sering terdapat di jalur pegunungan, yaitu tempat benturan dua benua.
Gambar 5. Model obduksi Pegunungan Maratus
Obduksi ini terjadi ketika fragmen dari kerak benua tersebut dijepit yang merupakan
hasil dari overthrusting batuan mafik dan ultramafik kerak benua. Akibat dari obduksi ini
membuat batuan yang berasal dari samudra dapat terangkat ke atas serta munculnya teras-
teras pantai karena proses pengangkatan bertahap. Model ini sesuai dengan kejadian
tumbukan lempeng australia dengan lempeng pasifik yang membentuk Pulau Timor.
Pada Kapur Akhir hingga Paleosen (80-60 Ma), terjadi subduksi Lempeng Indo-
Australia terhadap Sundaland di wilayah batas timur Kalimantan (Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan). Proses subduksi itu membawa Mikrokontinen Parstenoster –
Kangean yang merupakan pecahan dari Gondwana sehingga memunculkan magmatisme di
bagian timur Kalimantan akibat proses subduksi yang menghasilkan zona melange di
tempat pertemuan dua buah lempeng tersebut. Pada umur Paleosen – Eosen Tengah (60-
40 Ma), terjadi kolisi antara Mikrokontinen Parstenoster-Kangean terhadap Sundaland
yang menyebabkan terjadinya tektonik kompresi sehingga terbentuklah zona melange dan
ofiolit yang tersingkap ke permukaan.
Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, adalah sebuah pegunungan ofiolit yang
sejak Paleogen telah terletak di sebuah wilayah yang jauh dari tepi-tepi konvergensi
lempeng. Pegunungan Meratus mulai terangkat pada Miosen Akhir dan efektif membatasi
Cekungan Barito di sebelah baratnya pada Plio-Pleistosen. Van de Weerd dan Armin
(1992), menafsirkan bahwa pegunungan ini terangkat oleh kompresi lateral benturan
mikrokontinen Buton-Tukang Besi atas Sulawesi Tenggara pada Miosen Awal. Data
seismik di tengah Cekungan Makassar Selatan yang sama-sekali tidak menunjukkan
kehadiran struktur kompresi pada Neogen dan kehadiran mikrokontinen stabil Paternoster
yang membatasi Pegunungan Meratus ke sebelah timur tidak mendukung interpretasi yang
diajukan van de Weerd dan Armin (1992).
Satyana (2003) merekonstruksi tektonik wilayah bagian tenggara Sundaland
(Kalimantan tenggara, Jawa Tengah-Jawa Timur, Sulawesi Selatan) dan menyatakan
bahwa ofiolit Pegunungan Meratus tidak seharusnya dihubungkan dengan ofiolit Ciletuh
dan Luk Ulo seperti digambarkan oleh Katili (1974) dan Hamilton (1979) yang
menyebutnya sebagai jalur penunjaman Kapur Akhir. Proses pengalihtempatan
(emplacement) ofiolit Meratus berbeda dengan proses emplacement ofiolit Ciletuh dan
Luk Ulo.
Satyana (2003) juga menyatakan bahwa Ciletuh dan Luk Ulo seharusnya
disambungkan dengan singkapan kompleks ofiolit di Bantimala, Sulawesi Selatan yang
berdasarkan umur metamorfisme dan radiolaria terjadi pada sekitar Maastrichtian (Kapur
paling akhir), sedangkan emplacement ofiolit Meratus terjadi pada Albian-Aptian (Kapur
Awal bagian atas). Berdasarkan interpretasi data geofisika (gayaberat) menunjukkan
bahwa ofiolit Pegunungan Meratus merupakan detached oceanic crust (slab) yang lepas
dari akarnya berupa slab induk di depan mikrokontinen Paternoster (tipe passive margin)
pada saat terjadi proses akresi karena benturan antara mikrokontinen Paternoster dan
mikrokontinen Schwaner (SW Borneo) pada Kapur Awal. Detached slab Meratus
terobduksi di atas dua mikrokontinen yang berbenturan ini, sementara sebagian kerak
benua mikrokontinen Paternoster menunjam di bawah detached slab Meratus karena
dibawa masuk ke dalam astenosfer oleh kerak samudera induk di depan mikrokontinen
Paternoster.
Pada suatu waktu di sekitar Miosen Awal, karena perbedaan densitas kerak benua
Paternoster (2,7 g/cc) yang ikut menunjam tetapi ringan dengan kerak samudera (2,9 g/cc)
di depan benua Paternoster dan astenosfer di sekelilingnya (2,9-3,0 g/cc); maka kerak
benua Paternoster yang densitasnya paling ringan putus sambungannya (break off) dengan
kerak samudera di depannya yang melaju terus memasuki astenosfer yang makin dalam ke
sebelah barat. Sejak saat itu, kerak benua Paternoster yang sempat menunjam karena
dibawa oleh kerak samudera di depannya terangkat kembali (ekshumasi) oleh tektonik
gaya berat akibat perbedaan densitas. Tektonik gayaberat ekshumasi berupa pengangkatan
kembali kerak benua Paternoster yang pernah menunjam ini turut mengangkat detached
oceanic slab ofiolit Meratus yang hanya menumpang secara pasif (obducted) di atas kerak
benua Paternoster dan dengan cara tersebut, terangkatlah Pegunungan Meratus,
seluruhnya melalui tektonik gayaberat ekshumasi akibat perbedaan densitas.

Gambar 6. Model evolusi Pegunungan Maratus (Satyana dan Armandita, 2008)

5. Sebagai akibat tumbukan pada zaman Tersier di Papua, maka dibagian ”Central range fold
belt” dijumpai struktur apa ?. Jelaskan dan gambarkan apakah yang dimaksud struktur
tersebut ?

Jawaban

Hampir keseluruhan elemen-elemen struktur geologi di Papua pada saat sekarang ini
termasuk ke dalam evolusi tektonik Kenozoik (gambar 9). Evolusi tektonik Kenozoik
merupakan hasil dari direct convergence dan oblique convergence antara Indo-Australia
dengan Lempeng Pasifik (Hamillton, 1979; Dow et al., 1989). Pada Lempeng Benua
Australia di Papua terdapat fold dan thrust belt yang berumur tersier akhir, yaitu Central
Thrust Belt (Mobile Belt) dan Lengguru Fold Belt.
Periode tektonik ini menyebabkan penyebaran sedimen klastik yang luas dan tebal
menindih group batuan karbonat dari Formasi Batugamping New Guinea. Di wilayah
Papua sedimen klastik ini terdiri dari Formasi Klasaman, Steenkol dan Formasi Buru. Pada
bagian utara Papua Formasi Makats menindih batuan dasar samudera.
Kemudian pada saat akhir tersier, Papua Fold dan thrust belt terangkat sedangkan
subsidence dan sedimentasi terjadi pada cekungan di dekatnya. Pengangkatan terjadi pada
dua tahap terpisah, dan zona yang mengalami tahapan dua kali telah teridentifikasi di zona
interaksi antara Central Thrust Belt dan Lengguru Fold Belt. Central Thrust Belt memiliki
trend barat-timur yang memanjang sepanjang Papua hingga Papua New Guinea (gambar
10). Lengguru Fold Belt terletak di sebelah barat Central Thrust Belt dengan trend
baratlaut-tenggara pada daerah leher burung Papua.

Gambar 7. Elemen-elemen struktur geologi utama Papua


Gambar 8. Central Thrust Belt

Lengguru Fold Belt dan Central Thrust Belt bertemu pada sesar Terera dan Aiduna di
Aiduna Bay. Kedua belt tersebut diisi oleh sedimen-sedimen Triassic. Jika sedimen Triassic
di interpretasikan sebagai endapan rift, maka Central Thrust Belt dan Lengguru Fold Belt
dapat didefinisikan sebagai rift Triassic yang terinversikan (gambar 11). Dengan demikian
perubahan trend dari barat-timur Central Thrust Belt menjadi baratlaut-tenggara Lengguru
Fold Belt adalah hasil dari geometri awal rift system.
Gambar 9. Perkiraan Lokasi Triassic Rift (Hobson, 1997)
Lengguru Fold Belt pertama kali didefinisikan oleh Visser dan Hermes (1962) yang
merupakan komplek lipatan-lipatan dengan trend baratlaut-tenggara. Lengguru Fold Belt
terlihat terpotong oleh Zona Sesar Terera-Aiduna sepanjang batas selatan. Batas timur
Lengguru Fold Belt dibatasi oleh Wandeman Ridge di sebelah selatan dan oleh Sarera Bay
di sebelah utara.
Central Thrust Belt terletak di sebelah selatan batuan metamorf dan ophiolite,
sehingga sepertinya struktur Central Thrust Belt dengan arah barat-timur terbentuk ketika
lempeng samudera terobduksi ke Lempeng Benua Australia, kemudian menginversikan sesar-
sesar extensional Triassic dan sedimen pengisinya. Pada saat itu sepertinya bahwa lempeng
Australia dan Pasifik mengalami direct convergence daripada oblique convergence.
Saat konvergensi terbentuk di barat Papua (Miosen-Pliosen), pecahan kontinen hasil dari
rekahan pada akhir Kretasius dan tanjung yang terbentuk berkolisi dengan Kepala Burung
dan membentuk sabuk lipatan Lengguru ketika konvergen Lempeng Australia dan Pasifik
berubah menjadi oblique convergence dan terjadilah inverse dari sesar-sesar extensional
berarah baratlaut-tenggara.

6. Pulau Timor merupakan contoh produk tektonik dari proses subduksi hingga tumbukan
antara busur kepulauan dan kerak kontinen (“Arc - Continent Collision”) di Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Jelaskan model geodinamik yang paling logis menurut anda
berdasarkan data stratigrafi dan struktur yang anda ketahui ?

Jawaban

a. Model Overtrust
Overthrust model dikembangkan pada awal pekerjaan geologi permukaan dengan
kondisi material overthrust sheet of allochthonous tersingkap dengan baik. Model ini
menekankan begitu rumitnya allochthonous sheet dari thrust sheet pada Pulau Timor
( Audley-Charles, 1968; Audley-Charles & Carter, 1972; Carter et al., 1976; Barber et al.,
1977). Mereka berargumentasi bahwa allochthonous strata diperoleh dari pergerakan
lempeng Eurasian ke utara yang mengangkat kerak benua Australia sepanjang proses
benturan atau kolisi. Perlipatan dan erosi dengan skala yang besar pada cekungan benua
Australia terjadi sebelum adanya thrust sheet dan tidak dipengaruhi oleh lipatan.
Pertimbangan untuk model overthrust adalah perbandingan batuan berdasarkan asal
dan jenisnya yang sangat berbeda, meskipun seringkali merupakan batuan pada umur yang
sama (Bowin et al., 1980). Bagaimanapun, Grady dan Berry ( 1977) dan yang lainnya,
sering menanyakan kebenaran dari model overthrust terutama karena tidak adanya bukti-
bukti yang cukup terutama mengenai thrust fault yang pada kenyataannya merupakan
dipping faults bertahap. Grady dan Berry (1977) juga menyatakan bahwa material
allochthonous dan autochthonous secara stratigrafi berhubungan normal dan berdasarkan
penelitian terbentuk dari deformasi yang sama.

Gambar 10. Model overthrust Pulau Timur


b. Model Imbrikasi
Model ini menekankan banyaknya perlipatan yang diakibatkan oleh adanya gaya
akibat sesar naik. Allochthonous dan para-autochthonous merupakan dasar atau basement
dari kontinen Australia. Susunan stratigrafi batuan baik beradasarkan jenis dan umur di
wilayah ini sangat rumit dan kompleks yang membentuk imbricated rock dan mélange
(Richardson & Blundell, 1996; Linthout et al., 1997; Hall, 2002).
Mikro continen dari Eurasia diperkirakan mempengaruhi susunan stratigrafi dan
struktur dari wilayah ini (Carter et al., 1976; Karig et al., 1987; Whittam et al., 1996).
Pengaruh dari mikrokontinen ini dimulai sejak 8 juta tahun yang lalu dan bersamaan
waktunya dengan pembentukan Formasi Aileu pada bagian utara pantai timur Timor. Data
paleomagnetik juga sebagian membuktikan bahwa Pulau Timor merupakan bagian dari
benua Australia.

Gambar 11. Model Imbrikasi Pulau Timur


Model ini mengutip atau menjelaskan suatu ketiadaan bukti-bukti lapangan untuk
overthrust dan imbricate model. Model ini dikembangkan akibat adanya pengangkatan dan
juga dipengaruhi oleh daya apung (buyoancy) dari interaksi lempeng Indo-Australia
dengan Eurasia.
Secara keseluruhan, penulis cenderung untuk memilih model autochton. Hal tersebut
dikarenakan model tersebut didukung beberapa bukti di lapangan dan dapat menjelaskan
pembentukan Formasi Bobonaro yang terdiri dari litologi scaly clay. Selain itu di Timor
hampir secara keseluruhan ditutupi oleh zona akresi dengan komposisi yang berasal dari
sekuen Kerak Benua Australia. Pada dasarnya, perbedaan-perbedaan model yang
diperlihatkan di atas, akan memberikan interpretasi, kondisi dan pendapat yang berbeda-
beda. Akan tetapi, semua itu merujuk pada kesimpulan yang mirip secara deskripsi geologi
yaitu Pulau Timor dibentuk dari kontribusi gabungan antara lempeng kontinen Australia,
mélange block, dan batuan ofiolit Banda terrane.
Berdasarkan data seismic, Hamilton (1979) menyatakan pendapat bahwa prisma
akresi tebal berasal dari sedimen dan gelinciran batuan kraton tua Australia yang terbentuk
di atas lantai lempeng yang tersubduksi. Teori Hamilton tadi dapat menjadi benar, karena
semestinya sekuen Timor terdiri dari batuan mélange dari lantai continental slope dengan
ketebalan lebih dari 4 km dan ditutupi oleh gelinciran batuan kraton Australia akibat
redistribusi mélange mass oleh gravity sliding. Batuan mélange di Timor ditemui sekitar
60% dari keseluruhan pulau dengan 6 km ketebalan dari batuan yang terimbrikasi pada
umur lebih tua atau sama dengan Miosen.

7. Jelaskan tentang evolusi dari jalur-jalur magmatisma di Pulau Jawa mulai dari umur Kapur,
Paleogen, Neogen dan Kuarter ?. Dan jelaskan juga di mana letak perbedaannya dengan
pola dari jalur-jalur magmatisma di Pulau Sumatera, (jawaban disertai sketsa / gambar).

Jawab:
Evolusi jalur magmatisme di Pulau Jawa sejak Awal Tersier hingga Kuarter
 Pra-Tersier
Keberadaan jalur subduksi purba yang dimulai dari Jawa Barat Selatan (Ciletuh),
Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian timur ke Kalimantan Tenggara.
Selain itu, hadir pula jalur magmatisme Kapur yang menempati lepas pantai utara Jawa.
Jalur subduksi purba terbentuk karena penunjaman lempeng India-Australia dibawah
lempeng Eurasia yang berarah NE – SW dan pola tektonik ini dikenal dengan Pola
Meratus.
 Tersier - Kuarter
Jalur subduksi purba membentuk punggungan bawah permukaan laut yang terletak di
selatan Pulau Jawa. Jalur tersebut merupakan kelanjutan deretan pulau – pulau di sebelah
barat Sumatera yang terdiri dari singkapan melange (Pulau Nias) berumur Miosen.
Punggungan berimpit dengan anomali gaya berat negatif. Jalur tersebut merupakan satuan
tektonik yang penting karena dikaitkan dengan terangkatnya masa ringan dibandingkan
sekitarnya sebagai akibat penyusupan Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Mikro
– Sunda. Jalur magmatik Tersier menempati sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Secara
garis besar, jalur magma Tersier dibagi menjadi dua periode :
 Eosen Akhir – Miosen Awal
Pola subduksi mengalami perubahan jalur semakin ke arah W – E. Pergerakan arah
tegasan NW – SE ke arah relatif N – S, sehingga terdapat pola struktur yang lebih muda,
yaitu Pola Sunda.
 Miosen Akhir – Pliosen – Resen
Pola subduksi yang sudah berarah W – E menghasilkan jalur magmatisme berarah W –
E juga yang menghasilkan pola – pola struktur berarah W – E dan berlangsung hingga saat
ini. Pola struktur ini dinamakan Pola Jawa.

Gambar 12. Evolusi jalur-jalur magmatisme di Pulau Jawa


Perbedaan pola jalur magmatisme Pulau Jawa dan Pulau Sumatra
Perbedaan kenampakan geologis, geofisik dan kegunungapian Sumatera dan Jawa
terjadi karena perbedaan arah gerak ke utara dari lempeng India-Australia, dan perbedaan
evolusi penurunan slab. Ini didukung fakta bawa zona magmatik di Sumatera dan Jawa
mempunyai pola berbeda (Katili, 1973). Gunungapi di busur Jawa dan Banda
menunjukkan dengan jelas efek dari proses ini.
Perbedaan lainnya yaitu ketidakhadiran gunungapi potasik di wilayah Sumatera.
Gunungapi potasikhadir di utara Jawa, utara Flores maupun Sumbawa. Hal ini disebabkan
adanya penetrasi terdalam dari litosfer di Jawa dan Flores dapat mencapai 400 dan 700
km. Ketidakhdiran gunungapi di Alor, Wetar dan Romang terjadi karena adanya
penghentian subduksi di busur subduksi Timor (Katili, 1974).

8. Dilihat dari posisi geografi, Pulau Sumba dan Pulau Sawu merupakan rangkaian pulau-pulau
bagian selatan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, tetapi dari tatanan geodinamiknya sangat
jauh berbeda. Jelaskan di mana letak perbedaannya ditinjau dari data stratigrafi, struktur dan
tektonik antara kedua pulau tersebut ?

Jawaban:
Pulau Sumba memiliki posisi yang khas terkait dengan busur Sunda-Banda yang
merepresentasikan sebuah potongan terisolasi dari kerak benua terhadap busur kepulauan
vulkanik aktif (Sumbawa, Flores) dalam cekungan muka busur, terletak di bagian utara pada
transisi antara Palung Jawa (bidang subduksi) dengan Timor Trough (bidang kolisi). Hal
tersebut tidak menunjukkan efek kompresi kuat, berbeda dengan pulau-pulau sistem busur
sebelah luar (Savu, Roti, Timor), sedangkan unit magmatik menjadi bagian yang substansial
pada stratigrafi Kapur Akhir hingga Paleogen.
Cekungan Sawu merupakan cekungan busur depan yang terletak pada wilayah tektonik
kerak transisional. Cekungan Sawu terletak pada bagian selatan Pulau Flores yang terletak
diantara Pulau Sumba dan Pulau Timor pada bagian barat dan timurnya. Secara umum
Cekungan ini pada bagian utara dibatasi oleh busur volkanik dan pada bagian selatan dibatasi
oleh Sawu thrust dan Sumba Ridge.
Stratigrafi Sumba
Stratigrafi Sumba telah banyak didiskusikan oleh beberapa ahli (van Bemmelen, 1949;
Laufer dan Kraeff, 1957; Burollet dan Salle, 1982; Chamalaun et al., 1982; Von der Borch et
al., 1983; Fortuin et al., 1992; Effendi dan Apandi, 1994; Abdullah, 1994; Fortuin et al., 1994,
1997). Pulau Sumba tersusun dari sedimen tidak termetamorfosis hingga sedikit
termetamorfosis berumur Mesozoikum, secara tidak selaras dilapisi oleh endapan berumur
Tersier dan Kuarter yang sedikit sekali terdeformasi; ketebalan total mencapai lebih dari 1000
m (van Bemmelen, 1949). Teras-teras terumbu karang yang menutupi tepi bagian yang
mengarah ke laut dari Formasi Sumba berumur Neogen, hampir secara kontinu tersingkap ke
permukaan di sepanjang pantai barat, pantai utara dan pantai timur Sumba (Hamilton, 1979).
Gambar 13. Stratigrafi Sumba

Tinjauan Tektonik Dan Struktur Sumba


Abdullah (1994) membedakan empat siklus sedimentasi di Sumba. Siklus pertama (Kapur
Akhir – Paleosen) menggambarkan endapan turbidit laut dari Formasi Lasipu. Pengendapan ini
diikuti oleh dua episode magmatik utama (calc-alkaline magma) yang terjadi pada umur 88 –
77 Jtl dan 71 – 56 Jtl. Siklus kedua (Paleogen) ditandai dengan endapan vulkaniklastik dan laut
dangkal disertai dengan episode magmatik ketiga pada umur 42 – 31 Jtl. Siklus berikutnya
(Neogen) merupakan periode transgresi yang menyebar luas, dicirikan dengan sedimentasi yang
cepat di lingkungan laut dalam (Fortuin dkk. 1992, 1994, 1997).
Beberapa batuan hasil dari proses magmatik di daerah ini bisa terbentuk akibat ketiga
proses magmatisme di atas, namun bukan tidak mungkin produk magmatik berasal dari proses
pengangkatan dan erosi dari batuan vulkanik Sumba yang berumur lebih tua. Selama seluruh
event di atas Sumba merupakan bagian dari pengangkatan dari cekungan depan busur di
dalam zona subduksi aktif sistem Sunda. Siklus keempat (Kuarter) ditandai dengan
pengangkatan terraces yang dimulai kuarang lebih 1 Jtl. Distribusi umur dari dating K-Ar
batuan vulkanik Sumba menunjukkan pergeseran ke arah barat dari pergeseran magmatisme
sepanjang waktu. Akan tetapi, tidak terdapat bukti bahwa aktifitas magmatik Neogen terjadi
di daerah Sumba. Namun, kesamaan antara Sumba dan SW Sulawesi magmatic belt (van
Leeuwen, 1981; Simandjuntak, 1993; Bergman dkk., 1996; Wakita dkk., 1996), yang terlihat
dari kesamaan proses magmatisme (Cretaceous Akhir-Paleocene) dan stratigrafi, mendukung
gagasan bahwa Sumba adalah bagian dari ‘Andean’ magmatic arc (Gambar. 16A) dekat
Western Sulawesi magmatic belt (Abdullah, 1994; Abdullah dkk., 1996; Soeria Atmadja dkk.,
1998) dan dekat pantai Kalimantan Tenggara (Pegunungan Meratus) (Yuwono dkk., 1988;
Wensink, 1997; Rampnoux dkk., 1997) di batas lempeng Asia.

Gambar 14. Rekonstruksi Geologi daerah Sumba

Dengan demikian, selama Paleogen pergerakan rata – rata dari lempeng Indo-Australia
berkurang, menyebabkan terbentuknya cekungan belakang busur dan pembentukan marginal
sea (Hamilton, 1979). Pemekaran back arc menyebabkan migrasi Sumba ke arah selatan
(Gambar 16B) (Rangin dkk. 1990 ; Lee dan Lawver, 1995). Migrasi ke arah selatan dikuatkan
oleh data terbaru dari paleomagnetik (Wensink, 1994). Dari Neogen hingga Kuarter Pulau
Sumba terjebak ke dalam cekungan depan busur di bagian depan dari Eastern Sunda volcanic
arc (Gambar 16C). Sekarang, kolisi dari Australia dengan Banda Arc bergeser ke arah utara-
barat (Gambar 16D) menyebabkan Sumba mengalami pengangkatan dengan rata – rata 0.5
mm/tahun yang dibuktikan dengan teras reef limestone (Pirazzoli dkk. 19990 ; Abdullah,
1994; Hendaryono, 1998).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Pulau Sumba tidak mengalami deformasi yang intens. Hal ini
menjelaskan bahwa selama Kapur Akhir hingga Neogen Pulau Sumba tidak terlibat dalam kolisi antara
lempeng India-Australia dengan lempeng Asia, kecuali fase minor kompresi yang terjadi selama Paleogen.
Data terbaru dari penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2000) menyatakan bahwa Sumba merupakan
bagian dari Asia (Sundaland).

Gambar 15. Evolusi Geodinamik Pulau Sumba dari Kapur hingga Kuarter (Abdullah, 2000)

Stratigrafi Cekungan Sawu


Berdasarkan data sumur (Savu-1) dengan total kedalaman 1.224 m didapatkan informasi
litologi batuan non-klastik berupa Napal globigerina dan batugamping dengan ketebalan 994
m. Sikuen berikutnya adalah sekuen post-orogenic berupa sikuen allocthonous yang
bercampur dengan sedimen Kapur Akhir, Paleosen, Eosen, dan Oligosen. Ketidakselarasan
muncul pada batas Pliosen-Pleistosen. Berdasarkan pengamatan seismik Cekungan Sawu terisi
oleh sedimen Miosen Akhir – Resen dengan ketebalan kurang lebih 1.500 m (Gambar 18).

Gambar 18. Penampang seismik regional Cekungan Sawu line SV 93-15.

Gambar 16. Stratigrafi Sawu dari Sumur Savu-1

Tinjauan Tektonik Dan Struktur Sawu


Cekungan Sawu mewakili sebuah kompleks cekungan busur depan, yang terletak pada
tepi bagian barat Busur Banda dan dipengaruhi oleh fase tumbukan Miosen Akhir dan Pliosen
(Hamilton, 1979; Reed, 1985; Karig dkk., 1987; Van der Werff dkk., 1994). Beberapa studi
mengindikasikan bahwa deformasi yang terjadi pada wilayah Sawu berhubungan dengan
tumbukkan yang terjadi pada “Timor Trough” oleh subduksi lempeng kontinen yang
menghasilkan deformasi didalam lempeng itu sendiri, backthrusting, underplating, dan prima
akresi. Wilayah backthrusting berkembang pada utara busur volkanik dan mungkin sebagai
indikasi awal pembalikan busur polaritas (Hamilton, 1979; Silver dkk., 1983; 1986; Breen,
1987; Hamilton, 1988).
Cekungan Sawu terjadi karena deformasi antara dua wilayah tektonik yang aktif. Ciri
penyebaran pusat pengendapan Cekungan Sawu dicatat dari evolusi cekungan dan pergerakan
vertikal yang berhubungan dengan pergerakan batuan dasar (Dickinson dan Seely, 1979).

Gambar 17. Perkembangan tektonik Kenozoikum Cekungan Sawu (van der Werff, 1993).

9. Fisiografi Kawasan Timur Indonesia (KTI) memperlihatkan posisi Pulau Sumba yang unik
pada cekungan muka busur Banda. Umbgrove (1949) sudah mensinyalir adanya problem
geodinamik pulau tersebut. Sebutkan apa problemnya ditinjau dari Teori Tektonik
Lempeng ?. Jelaskan juga evolusi geodinamik dari Pulau Sumba sejak umur Kapur hingga
Kuarter ?.

10. Cekungan Ombilin disebut oleh beberapa ahli kebumian sebagai cekungan antar gunung
(inter mountain basin). Jelaskan evolusi geodinamik cekungan Ombilin pada kala tersier
ditinjau dari tatanan geodinamik di mana mulai diendapkannya Formasi Brani, Formasi
Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang dan Formasi Ombilin ?.

11. Heidrick dan Aulia (1993) menyebut adanya fase-fase tektonik di kawasan Sumatera Tengah
yang menghasilkan bentuk-bentuk struktur yang khas. Ceritakan proses-proses apa yang
berlangsung selama kala Eosen-Oligosen dan selama kala Miosen Tengah-Resen serta
bentuk-bentuk struktur apa yang dihasilkan. Gambar-gambar akan memperjelas jawaban
Anda.

12. Jelaskan bagaimana hubungannya antara peristiwa “Roll-Back” dengan pembentukan


“Marginal Sea” atau “Marginal Basin” pada lempeng bagian atas (overriding plate) ?.

13. Sebutkan sekurang-kurangnya tiga hal (faktor) yang berpengaruh (mengontrol) geometri
zona penunjaman dan dalam hal-hal apakah akan diperoleh adanya suatu lempeng kerak
samudera yang dapat menunjam dengan terjal ?.

14. Jelaskan cara-cara untuk mengukur / mengetahui gerak relatif lempeng ?

15. Hotspot merupakan kegiatan volkanik yang tidak berhubungan dengan tepi lempeng.
Jelaskan dengan singkat hubungan antara Hotspot dengan gerak-gerak lempeng litosfer ?

16. Pada zona sesar mendatar atau “Pure Strike Slip Zone” (Sanderson and Marchine, 1984)
dijumpai adanya daerah transpresional dan daerah transtensional.
a. Jelaskan bagaimana dan di bagian mana dari sistem sesar mendatar daerah tersebut
dapat terbentuk ?.
b. Jelaskan dan ceritakan juga bagaimana terbentuknya sesar-sesar duplex transpression
dan sesar-sesar duplex transtension ?.

Selamat bekerja, hanya kepada Allah SWT. kita memohon kemudahan

Anda mungkin juga menyukai