K
K
Abstrak
Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana pengguna internet, yang merasa bahwa
mereka adalah pengguna internet yang berat, menafsirkan arti kecanduan internet. Studi
fenomenologi ini didasarkan pada wawancara dengan 9 informan yang melihat diri mereka
sebagai pecandu internet. Seorang ahli psikologi telah diwawancara untuk triangulasi. Metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data yakni wawancara mendalam, observasi, dan
interaksi langsung dengan media sosial informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
informan menghabiskan 1 hingga 8 jam setiap hari untuk mengakses internet, dan mereka
merasa kesal, marah, bosan, terbuang, terputus dari dunia, atau merasa seperti ada sesuatu yang
hilang ketika mereka tidak dapat mengakses internet, (6) informan memiliki komitmen sendiri
dalam bekerja. Namun, para informan tidak menganggap kecanduan internet mereka sebagai
hal yang kritis. Sebaliknya, mereka merasa bahwa ‘kecanduan’ mereka sebagai bagian dari
kebutuhan sehari-hari dan gaya hidup.
Kata kunci: kecanduan internet, pecandu internet, gaya hidup, gangguan mental
1. Latar Belakang
1.1. Fenomena “Kecanduan Internet”
Internet telah menjadi bagian terbesar dari kehidupan seseorang. Banyak orang
yang tidak dapat hidup tanpa internet, memeriksa gadget sejak mereka bangun
hingga waktu tidur mereka. Global Web Index Q4 2015 melaporkan bahwa orang
Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 4 jam 42 menit menggunakan PC dan 3
jam 33 menit menggunakan ponsel. Sementara itu, orang Indonesia yang
mengakses media sosial dari berbagai macam perangkat menghabiskan rata-rata 2
jam 51 menit di media social dalam sehari [13]. Sebuah meme di internet
menggambarkan fenomena ini menggunakan piramida kebutuhan oleh Abraham
Maslow dengan mengganti kebutuhan dasar manusia – pada tombol piramida –
1
dengan Wi-Fi telah menjadi viral di media sosial. Ini menyiratkan bagaimana
orang-orang membutuhkan Wi-Fi lebih dari apapun dalam hidup mereka. Orang-
orang dengan ketergantungan tinggi pada internet ini maka dianggap sebagai
pecandu internet.
2
1.3. Pertanyaan Penelitiaan
Gangguan mental, menurut DSM-5, ditafsirkan secara berbeda oleh norma-
norma budaya, sosial dan nilai-nilai keluarga. Penilaian diagnostik perlu
mempertimbangkan perbedaan budaya sosial dalam setiap pengalaman, gejala dan
perilaku individu, keluarga maupun konteks sosial [1]. Gangguan mental atau
penyakit mental adalah masalah kesehatan yang memengaruhi perasaan seseorang,
pikiran, perilaku dan interaksi seseorang dengan orang lain. Seseorang dianggap
sebagai orang yang mengalami gangguan mental memiliki tiga gejala, yaitu stigma,
menunjukkan kondisi tertentu yang terkategori sebagai gangguan mental oleh
seorang ahli kesehatan mental dan sebagai hasil dari kontrol sosial dengan
menggunakan perilaku yang disetujui secara sosial [6]. Namun demikian, orang-
orang cenderung memberi label hanya berdasarkan apa yang mereka lihat, apa yang
mereka dengar, dan bagaimana perasaan mereka.
Dalam penelitian ini, beberapa pengguna aktif media sosial menganggap diri
mereka sebagai pecandu internet karena ketergantungan mereka yang tinggi pada
internet. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana seseorang,
yang mengakui dirinya sebagai pecandu internet, bukan dengan diagnosis medis,
menafsirkan arti kecanduan internet?” Sebagai sebuah fenomona, kecanduan
internet dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti aspek medis, psikologis,
informatika, hukum, etika, sosial, dll. Dalam penelitian ini, peneliti menganggap
fenomena ini dalam konteks ilmu sosial berdasarkan perspektif komunikasi yang
diperantarai dengan komputer. Ini adalah penelitian yang diperlukan mengingat
generasi saat ini adalah generasi internet.
3
2. Metode Penelitian
4
Temuan ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan informan pada
internet. Ini sejalan dengan pernyataan bahwa generasi internet bukan tentang usia
seseorang akan tetapi tentang bagaimana sebuah generasi terhubung dengan
teknologi dan internet. Pada era internet ini, manusia selalu terhubung secara
digital, dapat mengakses informasi di mana saja dan kapan saja, percaya pada
hubungan sosial online, dan mampu menyeimbangkan antara kehidupan dan
pekerjaan mereka. Penemuan ini menunjukkan bagaimana informan, yang lahir
pada tahun 1980-an juga memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi dan interaksi yang
tinggi dengan internet.
5
dapat berhenti mengakses internet hingga jam tidurnya pada pukul 01.00 setiap
harinya. Namun, ada juga informan yang hanya mengakses internet sambil bekerja
dengan rata-rata 6 jam. Waktu rata-rata informan ini digunakan untuk mengakses
internet lebih tinggi dari rata-rata waktu yang digunakan orang Indonesia untuk
mengakses internet pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Global Web Index
Q4 2015, yaitu 4 jam dan 42 menit menggunakan PC, 3 jam dan 33 menit
menggunakan ponsel, dan 2 jam 51 menit menggunakan perangkat lain [13].
3.5. Perasaan Para Informan Ketika Mereka Tidak Dapat Mengakses Internet
Para informan merasa kesal, marah, bosan, tersisih, terputus dari dunia, atau
merasa seperti ada sesuatu yang hilang ketika mereka tidak dapat mengakses
internet. Perasaan ini berasal dari pemenuhan informasi mereka dan kebutuhan
akses berkecepatan tinggi. Dalam [4], Azher berpendapat bahwa penggunaan
internet berlebihan menyebabkan kecanduan internet pada siswa dan menghasilkan
kecemasan dan stress.
3.6. Pandangan Para Informan tentang Kecanduan Internet dan Kinerja Kerja Mereka
Walaupun informan mendapati kecanduan internet mengganggu mereka,
namun mereka masih menganggapnya sebagai kondisi normal. Mereka memiliki
komitmen sendiri dalam bekerja. Mereka sangat menyadari untuk mengganti waktu
kerja atau waktu belajar mereka ketika internet mengganggu salah satunya. Sebagai
6
contoh, para informan memilih bekerja pada akhir pekan ketika mereka tidak bisa
menyelesaikan pekerjaan mereka karena internet. Seorang informan bahkan
mengakui bahwa internet tidak mengganggu pekerjaannya tetapi mengganggu
waktu luang bersama keluarganya. Penelitian Cardona, Kretschmer, dan Strobel
(2013) menunjukkan bahwa indikasi ICT memengaruhi produktivitas individu
secara positif dan signifikan. Namun, temuan lain oleh CISCO juga menunjukkan
44% responden dari professional generasi Y lebih fokus untuk bekerja di kantor dan
38% reponden lainnya dapat produktif di rumah dan di kantor [9].
7
Seorang informan bahkan menyarankan sebaliknya, daripada menghentikan akses
orang hanya perlu menggunakan internet dengan benar, misalnya, dengan
menyediakan koneksi berkecepatan tinggi di perpustakaan. Julian Amriwijaya,
seorang ahli psikologi, menyatakan sulit untuk mengubah pola perilaku berulang
yang dapat membawa kesenangan, perlu hal lain untuk menggantikan kesenangan
itu dan kemauan yang kuat yang berasal dari diri sendiri [2]. Dengan kata lain,
ketika seseorang mencoba mengubah pola yang positif, ia membutuhkan rekondisi.
Rekonstruksi nalar dan kesadaran seseorang diperlukan untuk menjadi lebih baik.
Ketika seseorang mencoba untuk mengurangi penggunaan internetnya, maka dia
perlu mengetahui tujuan dari hal itu dan seberapa kuat komitmennya untuk
mencapai tujuan tersebut, dan kemudian perbaikan dapat disetujui. Pergantian
aktivitas atau kompensasi dibutuhkan untuk menggantikan kesenangan dalam
menggunakan internet, seperti berbelanja, bepergian, dll. Dalam konteks hubungan
interpersonal dan psikologi sosial, ada Teori Pertukaran Sosial oleh Harold Kelley,
George Homans, Richard Emerson dan Peter Blau [10,11]. Teori ini menguraikan
tentang bagaimana hubungan interpersonal seolah-olah transaksi perdagangan di
mana setiap transaksi dipengaruhi oleh imbalan, biaya, dan keuntungan. Dalam hal
ini, seseorang cenderung mengulangi perilaku yang sama atau mengubah perilaku
ketika nilai atau hasil yang didapatkan proporsional atau bahkan lebih dari investasi
itu sendiri.
4. Kesimpulan
Penemuan ini menunjukkan bahwa meskipun para informan menganggap
kecanduan internet cukup menjadi masalah, mereka tidak menganggapnya sebagai
gangguan mental. Mereka menyebut kecanduan mereka sebagai kebutuhan dan gaya
hidup. Dalam [5], Block menunjukkan 4 poin signifikan mengenai Gangguan Adiksi
Internet (IAD): 1) penggunaan berlebihan, 2) penarikan diri, 3) toleransi, dan 4) reaksi
negatif.
Sesuai dengan empat komponen ini, informan (1) menghabiskan 1 hingga 8 jam
untuk mengakses internet, (2) menjadi kesal, marah, bosan, tersisih, terpisah dari dunia,
merasa seperti ada sesuatu yang hilang ketika mereka tidak dapat mengakses internet,
(3) membutuhkan koneksi internet berkecepatan tinggi, (4) namun kemudian mereka
menyadari prioritas utama mereka adalah fokus dalam bekerja, untuk keluarga, dan
kehidupan sosial secara offline. Dengan demikian, informan masih memiliki kendali
8
atas diri mereka sendiri, mereka dapat membedakan dunia online dan offline, dan
produktivitas kerja mereka tetap terkendali.
Julian Amriwijaya, dosen Departemen Psikologi Umum dan Eksperimental,
Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran, menyatakan bahwa istilah kecanduan
internet perlu digunakan secara hati-hati. Julian juga menjelaskan bahwa kecanduan
internet belum diakui oleh DSM-5, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai
gangguan mental. Selama pengguna internet memiliki kontrol diri, ego yang kuat,
pengujian realitas yang baik atas ruang dan waktu, tidak merugikan dirinya sendiri dan
orang lain, maka hal positif nya adalah aktivitas itu sendiri berfungsi untuk memperluas
pengetahuan seseorang dan meningkatkan produktivitasnya [2].
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat
ketergantungan internet tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan mental, seperti
yang tunjukkan pada penemuan ini, di mana tinggi nya intensitas penggunaan internet
oleh para informan adalah untuk memenuhi pekerjaan atau kebutuhan bisnis mereka,
untuk belajar, mencari informasi, memperluas pengetahuan, berkomunikasi,
berbelanja, rekreasi, menguntit, dan membujuk orang untuk suatu tujuan. Dengan kata
lain, ketergantungan internet pada generasi internet adalah gaya hidup dan kebutuhan.
Referensi
Psychiatric Publishing.
[2] J. Amriwijaya, (2016, September 05). Interview about Internet Addiction. (N. Kurniasih,
Interviewer).
9
[3] M. Anandarajan and C. A. Simmers, Personal Web Usage in the Workplace: A Guide to
2014.
[5] J. J. Block, “Issues for DSM-V: Internet addiction,” American Journal of Psychiatry,
[7] M. Cardona, T. Kretschmer, and T. Strobel, “ICT and productivity: Conclusions from
the empirical literature,” Information Economics and Policy, vol. 25, no. 3, pp. 109– 125,
2013.
[8] H. Cash, C. D. Rae, A. H. Steel, and A. Winkler, “Internet addiction: A brief summary
of research and practice,” Current Psychiatry Reviews, vol. 8, no. 4, pp. 292–298, 2012.
[9] CISCO, Connected World Technology Final Report, CISCO, San Jose, CA, 2014.
10
[12] R. Jahanian and Z. Seifury, “The impact of internet addiction on students’ mental health
in technical and vocational colleges in alborz province,” Middle East Journal of Scientific
[13] S. Kemp, Digital in 2016: We Are Social’s Compendium of Global Digital, Social and
[14] R. W. Kubey, M. J. Lavin, and J. R. Barrows, “Internet use and collegiate academic
performance decrements: Early findings,” Journal of Communication, vol. 51, no. 2, pp.
366–382, 2001.
[15] S. Moidfar and K. H. Gatabi, “Investigating the Phenomenon of the Internet Addictive
Usage Among Adolescents and Youth (15-25 years of age) in the City of Tehran,” in
[17] T. Pénard, N. Poussing, and R. Suire, (2011, Julu). Does the Internet make people
[19] M. Prensky, immigrants. (2001, Retrieved October 5). Digital natives, digital September
25, 2013, from Marc http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20- Prensky:
%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf.
[20] PricewaterhouseCoopers [PWC], (2012). The Power of The Net Generation. Virginia:
PWC.
11
[21] PsychGuides.com, (2016). Getting Help for an Internet Addiction. Retrieved Septem-
ber 5, 2016, from PsychGuides.com: http://www.psychguides.com/guides/getting- help-for-
an-internet-addiction/.
[22] B. A. Quinn, (2007). The Evolving Psychology of Online Use: From Computerphobia
to Internet Addiction. Texas: Texas Tech University. Retrieved from https://ttu-
ir.tdl.org/ttu-ir/bitstream/handle/2346/489/fulltext.pdf?sequence=1.
ology and clinical management,” CNS Drugs, vol. 22, no. 5, pp. 253–265, 2008.
Washington, 2009.
12