ANTARA FOTO/M Agung
Rajasa
KEMENTERIAN Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menggandeng
Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) dalam kerja
sama pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya
hutan dan lingkungan.
Program perhutanan sosial
menjadi salah satu agenda yang dikerjasamakan.
Meski begitu, ujarnya, belum ada target luas lahan yang akan diterbitkan izinnya
melalui kerja sama tersebut. Pihaknya baru memetakan 16 daerah di delapan
provinsi yang bakal dikerjasamakan. Delapan provinsi itu ialah Jawa Timur,
Banten, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat,
Jambi, dan Kalimantan Barat.
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggandeng
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam kerjasama pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan. Program perhutanan sosial
menjadi salah satu agenda yang dikerjasamakan.
Meski begitu, Bambang mengungkapkan belum ada target luas lahan yang akan
diterbitkan izinnya melalui kerjasama tersebut. Pihaknya baru memetakan 16
daerah di 8 provinsi yang bakal dikerjasamakan. Delapan provinsi itu ialah Jawa
Timur, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Barat, Jambi, dan Kalimantan Barat.
"Tidak hanya dengan PBNU, cara tersebut juga akan dilakukan dengan
Muhammadiyah dan organisasi lainnya," ucap Bambang.
Realisasi perhutanan sosial hingga 4 April 2018 sebesar 1,51 juta hektar. Adapun
target yang ingin dicapai pemerintah mencapai 12,7 hektar.
Siti memandang kekuatan NU di level akar rumput amat penting untuk membantu
program pemerintah meredistribusi sumber daya kepada masyarakat.
"Masyarakat sekitar hutan itu mayoritas orang NU. Sudah saatnya pemerintah
memberi perhatian kepada kekuatan civil society," ucapnya. (OL-5)
Menteri LHK Siti Nurbaya dan Ketua Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siradj bersalaman usai
penandatangan kesepakatan bersama tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan
Lingkungan Hidup.
Terkait TORA dan PS, Menteri Nurbaya mengungkapkan tidak mudah untuk
mendistribusikan dan merealisasikan kedua program tersebut. “Memang
dibutuhkan masyarakat yang betul-betul siap, dan itu hanya bisa dikelola oleh
para pengelola grass root seperti PBNU ini. Oleh karena itu, kita lakukan
bersama-sama,” ajaknya.
“Yang paling penting, menurut arahan Bapak Presiden Jokowi, adalah bagaimana
rasa keadilan ekonomi itu bisa betul-betul berwujud nyata dan kita menyadari
bahwa pengelola grass root yang paling dekat kepada masyarakat adalah
organisasi-organisasi keagamaan seperti PBNU ini,” ujar Menteri
Nurbaya. Sugiharto
Bagikan
Akses legal pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu
Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga
desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan
Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara
masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan,
jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.
Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga
Negara Republik Indonesia, yang tinggal di kawasan hutan, atau di dalam kawasan hutan
negara, yang keabsahannya dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk, dan memiliki komunitas
sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, dan
aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Perhutanan Sosial mulai didengungkan sejak tahun 1999, keadaan Indonesia yang masih
gamang pasca reformasi, menjadikan agenda besar ini kurang diperhatikan. Pada tahun 2007
program Perhutanan Sosial ini mulai dilaksanakan, namun selama lebih kurang tujuh tahun
Untuk itu setelah periode tersebut dilakukan percepatan-percepatan, dan selama kurang lebih
tiga tahun masa Kabinet Kerja, telah tercatat seluas 604.373,26 Ha kawasan hutan, legal
membuka akses untuk dikelola oleh masyarakat.
Hingga saat ini, sejumlah 239.341 Kepala Keluarga (KK), telah memiliki akses legal untuk
mengelola kawasan hutan nusantara, dan sejauh ini sosialisasi dan fasilitasi juga telah
dilakukan kepada 2.460 kelompok, dimana fasilitasi yang diberikan adalah dalam bidang
Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
memiliki target untuk membentuk dan memfasilitasi lebih kurang 5000 Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial di Indonesia hingga tahun 2019.
Niatan menyejahterakan masyarakat Indonesia ini, bukan tidak memiliiki tantangan. Jauhnya
masyarakat dari akses infrastruktur menjadi salah satu kendala terlaksananya verifikasi
kelompok masyarakat, dan sering kali menjadi hal yang membuat terlambatnya sosialisasi
program ini.
Akses legal mengelola kawasan hutan ini, diharapkan menjadi jembatan yang mampu
memberikan bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan memberi kesejahteraan bagi masyarkat daerah terdepan Indonesia.
Perhutanan Sosial, ini saatnya hutan untuk rakyat.
Hal itu juga menggambarkan implementasi dari Nawacita ke enam, yang ertujuan
meningkatkan produktivitas masyarakat serta daya saing di tingkat internasional, sehingga
bisa bersaing dengan negara-negara ditingkat ASEAN lainnya. Mewujudkan masyarakat yang
mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis domestik, juga menjadi
landasan dari program Perhutanan Sosial ini dilaksanakan.(Red: Kendi Setiawan)
Akses legal pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu
Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga
desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan
Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara
masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan,
jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.
Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga
Negara Republik Indonesia, yang tinggal di kawasan hutan, atau di dalam kawasan hutan
negara, yang keabsahannya dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk, dan memiliki komunitas
sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, dan
aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Perhutanan Sosial mulai didengungkan sejak tahun 1999, keadaan Indonesia yang masih
gamang pasca reformasi, menjadikan agenda besar ini kurang diperhatikan. Pada tahun 2007
program Perhutanan Sosial ini mulai dilaksanakan, namun selama lebih kurang tujuh tahun
Untuk itu setelah periode tersebut dilakukan percepatan-percepatan, dan selama kurang lebih
tiga tahun masa Kabinet Kerja, telah tercatat seluas 604.373,26 Ha kawasan hutan, legal
membuka akses untuk dikelola oleh masyarakat.
Hingga saat ini, sejumlah 239.341 Kepala Keluarga (KK), telah memiliki akses legal untuk
mengelola kawasan hutan nusantara, dan sejauh ini sosialisasi dan fasilitasi juga telah
dilakukan kepada 2.460 kelompok, dimana fasilitasi yang diberikan adalah dalam bidang
Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
memiliki target untuk membentuk dan memfasilitasi lebih kurang 5000 Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial di Indonesia hingga tahun 2019.
Niatan menyejahterakan masyarakat Indonesia ini, bukan tidak memiliiki tantangan. Jauhnya
masyarakat dari akses infrastruktur menjadi salah satu kendala terlaksananya verifikasi
kelompok masyarakat, dan sering kali menjadi hal yang membuat terlambatnya sosialisasi
program ini.
Akses legal mengelola kawasan hutan ini, diharapkan menjadi jembatan yang mampu
memberikan bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan memberi kesejahteraan bagi masyarkat daerah terdepan Indonesia.
Perhutanan Sosial, ini saatnya hutan untuk rakyat.
Hal itu juga menggambarkan implementasi dari Nawacita ke enam, yang ertujuan
meningkatkan produktivitas masyarakat serta daya saing di tingkat internasional, sehingga
bisa bersaing dengan negara-negara ditingkat ASEAN lainnya. Mewujudkan masyarakat yang
mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis domestik, juga menjadi
landasan dari program Perhutanan Sosial ini dilaksanakan.(Red: Kendi Setiawan)
Bagikan
Jakarta, NU Online
Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj menerima kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, di Gedung PBNU lantai 5, Sabtu (30/12).
Dalam kesempatan tersebut Kiai Said menyerahkan hasil Bahtsul Masail Maudhu'iyyah,
Munas Konbes NU 2017 tentang Distribusi Lahan kepada Menteri LHK.
“Maka setidaknya ada empat jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, menarik kembali
tanah yang didistribusakan oleh pemerintan secara berlebihan. Kedua, menarik kembali tanah
Hak Guna Usaha yang tidak dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi tidak sebagaimana
mestinya,” kata Kiai Said.
Solusi selanjutnya adalah membatasi Hak Guna Usaha untuk pengusaha, baik jumlah lahan
maupun waktu pengelolaan dengan prinsip keadilan.
“Keempat, mendistribusikan tanah yang dikuasai negara untuk fuqara wal masakin (para fakir
miskin), baik dalam bentuk tamlik atau ghairu tamlik (membagi dua) dengan prinsip
keadailan,” tandas Kiai Said.
Menteri LKH Siti Nurbaya Bakar mengatakan paparan Kiai Said mempertebal keyakinan dia
dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang selama ini menjadi konsentrasi kementerian
yang dipimpinnya.
“Seperti yang disampaikan tadi, sudah banyak yang dititipkan Presiden kepada kami soal
penataan hutan yang lebih baik,” kata Nurbaya.
Ia menyebut terkait pengelolaan hutan bagi masyarakat, terdapat dua hak atau pendekatan,
yakni hak manusia untuk produktif dan hak mengembangkan ekonomi masyarat miskin.
Karenanya, LHK juga telah memprogramkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
Pada pertemuan tersebut, Menteri LHK didampingi Sekjen Bambang Hendroyo; Dirjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto; Dirjen Pengelolaan DAS
dan Lingkungan Hidup, Hilman Nugroho; Dirjen PSLB3, Vivien Rosa; Dirjen PPI, Nur
Maspripatin; Kabadan P2SDM, Helmi Basalamah; Pesasihat Menteri LKH, Sarwono
Kusumaatmaja, Chalid Muhammad, dan Suryo Adi Wibowo; serta Staf Khusus Hanni Hadiati.
Sementara dari PBNU turut hadir Waketum H Maksum Mahfoedz; Ketua PBNU Sultonul Huda;
Ketua Manan Suryaman; Wasekjen Andy Najmi; Wasekjen Imam Pituduh; Wasekjen Suwadi
Pranoto; Ketua LPBI PBNU M Ali Yusuf; Ketua LAZISNU Syamsul Huda. (Kendi Setiawan)
Jakarta, NU Online
Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj menerima kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, di Gedung PBNU lantai 5, Sabtu (30/12).
Dalam kesempatan tersebut Kiai Said menyerahkan hasil Bahtsul Masail Maudhu'iyyah,
Munas Konbes NU 2017 tentang Distribusi Lahan kepada Menteri LHK.
“Maka setidaknya ada empat jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, menarik kembali
tanah yang didistribusakan oleh pemerintan secara berlebihan. Kedua, menarik kembali tanah
Hak Guna Usaha yang tidak dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi tidak sebagaimana
mestinya,” kata Kiai Said.
Solusi selanjutnya adalah membatasi Hak Guna Usaha untuk pengusaha, baik jumlah lahan
maupun waktu pengelolaan dengan prinsip keadilan.
“Keempat, mendistribusikan tanah yang dikuasai negara untuk fuqara wal masakin (para fakir
miskin), baik dalam bentuk tamlik atau ghairu tamlik (membagi dua) dengan prinsip
keadailan,” tandas Kiai Said.
Menteri LKH Siti Nurbaya Bakar mengatakan paparan Kiai Said mempertebal keyakinan dia
dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang selama ini menjadi konsentrasi kementerian
yang dipimpinnya.
“Seperti yang disampaikan tadi, sudah banyak yang dititipkan Presiden kepada kami soal
penataan hutan yang lebih baik,” kata Nurbaya.
Ia menyebut terkait pengelolaan hutan bagi masyarakat, terdapat dua hak atau pendekatan,
yakni hak manusia untuk produktif dan hak mengembangkan ekonomi masyarat miskin.
Karenanya, LHK juga telah memprogramkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
Pada pertemuan tersebut, Menteri LHK didampingi Sekjen Bambang Hendroyo; Dirjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto; Dirjen Pengelolaan DAS
dan Lingkungan Hidup, Hilman Nugroho; Dirjen PSLB3, Vivien Rosa; Dirjen PPI, Nur
Maspripatin; Kabadan P2SDM, Helmi Basalamah; Pesasihat Menteri LKH, Sarwono
Kusumaatmaja, Chalid Muhammad, dan Suryo Adi Wibowo; serta Staf Khusus Hanni Hadiati.
Sementara dari PBNU turut hadir Waketum H Maksum Mahfoedz; Ketua PBNU Sultonul Huda;
Ketua Manan Suryaman; Wasekjen Andy Najmi; Wasekjen Imam Pituduh; Wasekjen Suwadi
Pranoto; Ketua LPBI PBNU M Ali Yusuf; Ketua LAZISNU Syamsul Huda. (Kendi Setiawan)
0
SHARED
INDEKS BERITA
BERITA TERKAIT
BACA JUGA
Swasta perlu ikut
kembangkan perhutanan sosial
siap diluncurkan
Pengurusan PBNU yang menyentuh hingga desa dinilai dapat
mempermudah proses perizinan pengelolaan perhutanan sosial.
Bambang bilang nantinya verifikasi akan dilakukan secara bersama
antara KLHK dengan PBNU.
"Belum ada angka luas hutan sosial, baru simpul ada 16 titik di 8
provinsi," terang Bambang.
Tidak hanya dengan PBNU, cara tersebut juga akan dilakukan dengan
Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Pasalnya saat ini pencapaian
perizinan hutan sosial masih jauh dari target.
Oleh Wisnubro
Berita Lainnya
Menteri LHK Siti Nurbaya dan Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj usai meneken kerja sama Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan Lingkungan Hidup di Jakarta, April 2018 (KLHK)
JPP JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), menjalin kerja sama dalam pelestarian dan pemanfaatan sumber
daya hutan dan lingkungan hidup yang tertuang dalam Memorandum of Understanding
(MoU)/Nota Kesepahaman, di Jakarta, Rabu (11/04/2018).
Penandatanganan MoU ini merupakan tindak lanjut dari silaturahim Kementerian LHK ke
Kantor PBNU, Jakarta pada 30 Desember 2017 lalu untuk mendiskusikan mengenai program
prioritas pembangunan Kementerian LHK.
Terdapat empat isu penting terkait dengan pembangunan LHK yang diwujudkan dalam
Kesepakatan Bersama ini antara lain Reforma Agraria yang terdiri dari program TORA dan
Perhutanan Sosial; Pengelolaan sampah, limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (B3);
Perubahan Iklim; dan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Pemerintah selama kurun waktu setidaknya 2-3 tahun terakhir, berupaya bagaimana untuk
mengembangkan atau menularkan rasa keadilan dalam ekonomi di masyarakat yang
dilakukan bersama-sama dengan berbagai elemen penting bangsa, termasuk keluarga besar
Nahdlatul Ulama.
"Yang paling penting, menurut arahan Bapak Presiden Jokowi, adalah bagaimana rasa
keadilan ekonomi itu bisa betul-betul berwujud nyata dan kita menyadari bahwa pengelola
grass root yang paling dekat kepada masyarakat adalah organisasi-organisasi keagamaan
seperti PBNU ini," ujar Menteri LHK Siti Nurbaya.
Dalam hal ini, PBNU dan Kementerian LHK telah bersama-sama dan terlibat aktif dalam
serangkaian persiapan rembuk Nasional Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk
Keadilan Sosial (RAPS) yang diinisiasi oleh PBNU dan Kementerian LHK bekerjasama
dengan Kantor Staf Presiden (KSP).
Sejauh ini, PBNU dan KLHK telah dan akan melaksanakan Pra-Rembuk RAPS di 8 (delapan)
Provinsi yaitu Jawa Timur, Banten, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Barat, Jambi, dan Kalimantan Barat.
Menteri Siti Nurbaya menambahkan bahwa cakupan kerja sama ini meliputi sosialisasi
berbagai kegiatan, penelitian bersama, pendidikan dan pelatihan, tukar-menukar informasi,
peningkatan kualitas SDM, terutama dalam perspektif agama sebagai tuntunan kehidupan
sehari-hari. "Semuanya dalam perspektif agama ini sangat penting karena akan berlangsung
dalam iklim yang sejuk," tutur Menteri Siti Nurbaya.
Terkait TORA dan PS, Menteri Siti Nurbaya mengungkapkan tidak mudah untuk
mendistribusikan dan merealisasikan kedua program tersebut. "Memang dibutuhkan
masyarakat yang betul-betul siap, dan itu hanya bisa dikelola oleh para pengelola grass root
seperti PBNU ini. Oleh karena itu, kita lakukan bersama-sama," ajaknya.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, menyambut baik kerja sama
ini. Kiai Said Aqil menyampaikan bahwa hal ini sejalan dengan rekomendasi oleh alim ulama
pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, di Nusa
Tenggara Barat, 23-25 November 2017. Menurut Kiai Said, Indonesia tengah menghadapi
ujian kebangsaan berupa gejala kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi.
Kiai Said Aqil juga menyampaikan bahwa NU mempunyai amanat untuk menjadikan agama
Islam sebagai agama moderat melalui pendekatan budaya. Dan yang kedua yaitu amanat
wathoniyah untuk menjaga Tanah Air Indonesia dengan prinsip hubbul wathon minal iman
(cinta tanah air bagian dari iman). Di samping menjaga keselamatan geografisnya, juga
menjaga sumberdaya alamnya. (lhk)
Oleh Wisnubro
Berita Lainnya
JPP JAKARTA - Pekan terakhir menjelang tutup tahun 2017, Menteri LHK, Siti Nurbaya,
memboyong jajaran eselon I dan para pakar, bersilaturahim dengan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) di Kantor PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta, Minggu (31/12/2017).
"Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang rencana kerja sama membangun
kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah, yakni Reforma Agraria dan akses
Hutan Sosial," tutur Siti Nurbaya.
KLHK sendiri terus memberikan akses legal pada rakyat untuk mengelola kawasan hutan,
melalui program Perhutanan Sosial. Per 18 Desember 2017, akses legal lahan yang sudah
terealisasi mencapai 1,33 juta hektare (ha) dari target 4,38 juta ha hingga 2019.
Pemerintahan Jokowi-JK juga telah mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektare
(10% dari luas kawasan hutan Indonesia) untuk masyarakat melalui program perhutanan
sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Tanaman
Rakyat dan Hutan Kemitraan.
Program pemerintah ini, disampaikan Siti Nurbaya, telah sejalan dengan paparan yang
disampaikan Ketum PBNU Said Aqil, yang dalam kesempatan tersebut menyerahkan hasil
Bahtsul Masail Maudhu'iyyah, Munas Konbes NU 2017 tentang Distribusi Lahan kepada
Menteri LHK.
Dijelaskan Said Akil bahwa salah satu dari tujuan hukum Islam atau maqashid syariah
adalah hifdz an-nafs (memelihara jiwa) dan hifdz al-mal (menjaga harta). Salah satu bagian
dari hifdz an-nafs adalah hidup layak, dan salah satu bagian dari hifdz al-mal adalah
keseimbangan ekonomi (attawazun al-iqtishadi). Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah
antiketimpangan, termasuk di dalamnya ketimpangan ekonomi.
"Maka negara memiliki tanggung jawab besar menciptakan keseimbangan ekonomi melalui
pendekatan preventif dan kuratif," kata Kiai Said.
Menurutnya selama ini sudah terjadi ketimpangan sosial. Maka ada empat jalan keluar yang
bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menarik kembali tanah yang didistribusikan oleh
pemerintah secara berlebihan. Kedua, menarik kembali tanah Hak Guna Usaha yang tidak
dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Ketiga membatasi Hak Guna Usaha untuk pengusaha, baik jumlah lahan maupun waktu
pengelolaan dengan prinsip keadilan.
Keempat, mendistribusikan tanah yang dikuasai negara untuk fuqara wal masakin (para fakir
miskin), baik dalam bentuk tamlik atau ghairu tamlik (membagi dua) dengan prinsip keadilan.
Kesejahteraan Rakyat
Dalam kesempatan ini juga, Menteri Siti Nurbaya kembali menegaskan, bahwa di era
Presiden Jokowi, kini hak pengelolaan hutan benar-benar diperuntukkan bagi kesejahteraan
rakyat.
"Melalui Reforma Agraria, tanah kini diberikan izin legalnya kepada masyarakat petani.
Sedangkan melalui Perhutanan Sosial, rakyat bisa mendapat akses untuk mendapatkan lahan
Selain membahas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, juga dibahas kerja sama
mengatasi persoalan sampah, perubahan iklim dan membentuk masyarakat peduli
lingkungan.
Siti Nurbaya mengatakan, semua program kerja KLHK tersebut akan lebih maksimal jika ada
kerjasama antara pemerintah dengan kelompok masyarakat, terlebih lagi dengan ketokohan
organisasi NU yang begitu luas.
"Tadi kami juga membahas kerja lapangan pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan circular
economy. Tindak lanjut disiapkan pada level teknis lapangan," lanjutnya.
"Saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi, atas kepedulian warga NU pada
hutan dan lingkungan," pungkas Siti Nurbaya.
Selanjutnya, kegiatan serupa juga akan dilaksanakan kepada PP Muhammadiyah dan MUI,
sebagaimana telah diagendakan KLHK dalam rangka mewujudkan kebijakan keadilan
ekonomi masyarakat.
Selain Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, dan para Dirjen, turut hadir
mendampingi Menteri LHK, Penasehat Senior Menteri LHK, Sarwono Kusumaatmaja, Staf
Khusus Menteri LHK Bidang Koordinasi Jaringan LSM dan Analisis Dampak Lingkungan,
Hanni Adiati, Chalid Muhammad, dan Suryo Adi Wibowo.
Sementara dari PBNU turut hadir Waketum H Maksum Mahfoedz, Ketua PBNU Sultonul
Huda, Ketua Manan Suryaman, Wasekjen Andy Najmi,Wasekjen Imam Pituduh, Wasekjen
Suwadi Pranoto, Ketua LPBI PBNU M Ali Yusuf, dan Ketua LAZISNU Syamsul Huda. (lhk)
Ist
Menteri Siti Nurbaya dan MUI
“Bahkan MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang larangan berburu satwa langka,” katanya.
Dalam pertemuan itu juga, KH Ma’ruf Amin memberikan buku yang disusun MUI tentang Eco-
Masjid, yaitu bagaimana teknik pengelolaan masjid yang ramah lingkungan, baik dari pengelolaan
air, penggunaan energi, dan pengolahan sampah.
KH Ma'ruf Amin pun mengajak para khotib dan penceramah agar mengangkat topik lingkungan
khutbah Jumat dan ceramah keagamaan lainnya.
Begitu juga sebaliknya, Menteri Siti Nurbaya memberikan buku tentang kisah perjuangan
bagaimana kebakaran hutan yang begitu massif di tahun 2015 bisa ditekan secara signifikan di
tahun-tahun selanjutnya.
Diskusi berjalan hangat dan penuh antusiasme dari kedua pihak, dan dari pertemuan ini akan
dilanjutkan dengan membentuk tim bersama untuk membahas isu terkait perhutanan sosial,
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Menteri LHK Siti Nurbaya Temui MUI
Bahas Perhutanan Sosial, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/01/11/menteri-lhk-siti-nurbaya-
temui-mui-bahas-perhutanan-sosial?page=2.
0
MoU itu juga merupakan salah satu langkah percepatan realisasi re-
distribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan
Sosial (PS) dengan meningkatkan peran serta organisasi
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyambut baik kerja sama
tersebut dan menyatakan hal itu sejalan dengan rekomendasi alim
ulama pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi
Besar Nahdlatul Ulama di NTB, 23-25 November 2017. Menurut
Said, Indonesia tengah menghadapi ujian kebangsaan berupa gejala
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi.
BERBAGI
Facebook
“Sudah tepat NU Jombang diserahi tugas 100 hektar lahan hutan produksi untuk
dua kepentingan sekaligus, yakni hutan produksi dan tradisi budaya Islam
Nusantara,” ungkapnya, Kamis (5/7).
“Perhutani adalah institusi yang ahli dibidang produksi tanaman pokok dan
penopang sektor kehutanan. Nah, NU ahli dibidang penjagaan dan perawatan
tradisi serta budaya,” jelasnya. “Terlebih dengan sudut pandang yang menyatu
dengan komunitas bawah,” lanjut dia.
Sementara 100 hektar hutan yang akan dikelola terdiri dari 50 hektar dengan
status Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan 50 hektar dengan
status Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
“Semuanya akan kita kelola dengan prinsip agar memberikan dampak yang positif
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tuturnya. (Syamsul
Arifin/Muhammad Faizin)
Mengenai agenda reforma agraria dan perhutanan sosial, PBNU dan KLHK
akan lakukan pra rembug di delapan provinsi, yakni, Jawa Timur, Banten,
Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat,
Jambi dan Kalimantan Barat.
Siti bilang, merealisasikan Tora dan perhutanan sosial ini tidaklah mudah.
”Perlu masyarakat yang betul-betul siap. Itu hanya bisa dikelola para
pengelola akar rumput seperti PBNU. Kita lakukan bersama-sama,” katanya.
NU, katanya, memiliki amanat wathoniyah untuk menjaga tanah air Indonesia
dengan prinsip hubbul wathin minal iman, yakni cinta tanah air bagian dari
iman. ”Di samping menjaga keselamatan geogrfis, tapi juga menjaga
sumberdaya alam.”
Dia yakin, melalui pemasifan program akan jadi kekuatan di masyarakat yang
tak hanya merawat lingkungan dan kehutanan, juga memanfaatkan secara
produktif dan bertanggung jawab.
Haedar mengingatkan, alam bukanlah milik manusia, dan tak boleh semena-
mena. ”Jangan atas nama pembangunan tapi merusak muka bumi ini.
Masyarakat mengemban tugas dalam menjaga keseimbangan alam.”
MoU ini, katanya, dalam isu pengelolaan sampah sudah kongkret dalam
beberapa aksi, seperti sedekah sampah dan membawa kantong belanja.
Harapannya, replikasi dan upaya pengurangan sampah ini makin masif
seluruh lini masyarakat.
Foto utama:Siti Nurbaya, Menteri LHK kala penyerahan hutan kelola warga di
Jawa Timur.Foto: Humas KLHK
BaLitbang LHK Palembang telah sejak tahun 2000an melakukan kegiatan litbang dan mendorong
pengarusutamaan PS. Menurut Edwin Martin, peneliti Sosiologi Kehutanan yang banyak mempelajari sistem
kehutanan masyarakat di wilayah target PS, program HD sejauh ini masih terkesan elitis. Informasi dan
pengetahuan tentang HD masih memusat di pengurus LPHD dan Kepala Desa, belum mengakar kepada
anggota yang sehari-harinya ada di lokasi HD. “Saya bertanya ke beberapa petani di lokasi HD Desa Cahaya
Alam, Tanjung Agung, Danau Gerak, dan Muara Danau, apakah mereka tahu tentang HD dan rencana
pengelolaannya, tak satupun menjawab tahu”, ujar Edwin Martin.
Bagi petani, kelancaran usahatani dalam bentuk pemeliharaan dan panen kopi adalah utama. Cara berpikir ini
tidak salah, karena makna akses dalam perhutanan sosial sesungguhnya bukan hanya keamanan berusaha
Nanang Herdiana, peneliti silvikultur Balitbang LHK Palembang, mengobservasi tutupan pohon di areal HD
Desa Cahaya Alam. Menurut catatannya, dominansi vegetasi yang ada di HD adalah kopi. Satu bidang kebun
kopi biasanya dikuasai oleh satu keluarga petani yang umumnya terdiri dari 3000 sampai dengan 4000 batang
tanaman kopi. Petani di Cahaya Alam menyebut luas satu bidang itu sebagai 70 Depe. “Dalam setiap kebun,
saya menemukan paling banyak 5 (lima) pohon pangan, berupa pohon buah seperti alpukat, nangka, dan
jambu, jarang ditemukan jenis pohon lainnya”, demikian disampaikan Nanang.
“Hamparan kebun kopi di areal HD ini sangat berpotensi diperkaya dengan pohon alpukat dan nangka, jenis ini
terbukti berbuah dan laku di pasaran”. “Untuk HD di Desa Muara Danau saya merekomendasikan jengkol dan
pinang sebagai komoditi unggulan”, tambah Nanang Herdiana.
Pak Munika, ketua LPHD Desa Cahaya Alam menyambut baik rencana riset aksi pohon pangan untuk HD.
“Areal HD itu adalah ulu ayek dusun kami, jika dihijaukan kembali dengan pohon buah pelindung kopi maka
petani anggota HD akan bertambah sumber penghasilannya”, katanya. “Nangka dan alpukat yang ada di
kebun-kebun kopi itu tumbuh sendiri, tidak secara sengaja ditanam, sekarang buahnya dicari pedagang, jadi
kami tidak hanya mengandalkan kopi nantinya”, tegas Pak Munika.
Pak Munika merencanakan bahwa jika riset aksi ini jadi dilaksanakan, maka bibit yang ditanam harus sama
atau lebih tinggi dari tanaman kopi, kurang lebih 1 M. “Dulu, orang kehutanan menanam pohon di kebun kopi
dengan bibit cuma 30 cm, tak bisa bersaing dengan kopi, tanamannya banyak yang mati”, bebernya.
Kang Saripin, teknisi Balitbang LHK Palembang meminta kelompok LPHD Cahaya Alam dan Muara Danau
mengambil peran aktif dalam riset aksi yang akan dilakukan pada tahun 2018 ini. “Kami [litbang] hanya
membantu menyibakkan ranting dan semak Pak, para petanilah yang membawa bekal dan berjalan menuju
kesejahteraan itu”, pesan dari Kang Saripin.
READ
Kiai Yahya dalam paparannya menegaskan tugas utama NU untuk menjadi wahana
konsolidasi aspirasi rakyat bagi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apa yang harus dilakukan negara harus disuarakan NU, karena NU hampir separo
Indonesia. Cacah jiwa rakyat Indonesia yang berafiliasi kepada NU hampir 90 juta. Hajat
90 juta rakyat itu tanggungjawab negara. Bodoh-miskinnya itu bukan tanggungjawab NU,
tetapi negara. NU bertugas menjadi konsolidator aspirasi rakyat agar dipenuhi negara,
demi keadilan sosial dan ekonomi.
Realitasnya Indonesia hari ini sangat timpang dalam distribusi sumber daya alam. Artinya
ada ketidakadilan sosial dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Ketimpangan
kepemilikan atas sumber agrarian itu terjadi justru dari kebijakan pemerintah itu sendiri.
Kata lain, negara mendorong dan melanggengkan ketimpangan sosial itu. Hal ini
dikonfirmasi oleh Joseph S. Stiglitz, penerima nobel ekonomi tahun 2001 dari Amerika
Serikat, sebagaimana dikutip Kiai Yahya.
Sementara Kiai Imam memulai paparan dari sejarah reforma agraria di Indonesia. Di
Indonesia umumnya dan khususnya bagi orang NU, kata agraria memiliki stigma yang
dalam. Reforma agraria dulu dikenang dengan istilah land reform dengan obyek tanah-
tanah pribadi. Hari ini reforma agraria dihidupkan lagi oleh Presiden Jokowi dengan
program redistribusi atas tanah lahan negara dan perhutani sosial. Bagi saya soal
sumber agraria ini penting karena berhubungan erat dengan upaya mengurangan
ketimpangan ekonomi dan penciptaan keadilan sosial. Bagaimana mungkin 10 orang
menguasai 70% asset agrarian kita?, ungkap Kiai Imam. Kemiskinan menjadi akut
karena negara gagal mengatur sumber agrarian itu.
Kaitan hal ini, Munas Alim Ulama NU di Lombok tahun 2017, menawarkan 4 langkah.
Pertama, menarik kembali tanah lahan yang berlebihan diberikan ke pihak-pihak tertentu.
Kedua, menarik lagi tanah HGU yang tidak digunakan dan dikelola secara benar. Ketiga,
membatasi waktu dan jumlah tanah lahan yang dikuasai. Bagaimana hak penguasaan
bisa sampai 90 tahun? Keempat, mendistribusikan tanah lahan yang dikuasai negara
yang tidak lagi produktif untuk rakyat miskin untuk dimiliki maupun untuk digunakan
sebagai basis usaha.
Empat tawaran NU ini menguatkan program redistribusi tanah lahan dan perhutanan
sosial yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK. Namun demikian, realitasnya
Dr. Tri Chandra Aprianto, Satuan Kerja Reforma Agraria KSP, menyatakan bahwa
reforma agraria bukan hanya sebatas redistribusi tanah. Tetapi sebuah konsep
pembangunan nasional. Banyak negara di dunia menggunakan konsep reforma agraria
untuk membangun ekonomi nasionalnya. Makanya yang perlu dipikirkan adalah konsepsi
ekonomi apa yang harus dipikirkan setelah reforma agraria dilaksanakan dan konteks
Indonesia, bagaimana desa terlibat di dalamnya. Karena ini Presiden Jokowi melalui
Menteri KLHK sudah menyusun program reforma agraria, termasuk mendiskusikan hal ini
dengan PBNU. Distribusi tanah lahan bagi petani miskin itu juga dipikirkan bagaimana
penguasaan lahannya, yakni khususnya petani miskin yang tidak punya lahan, tata
penguasaannya, tata guna penguasaan terkait jenis usaha dan bagaimana pasar yang
perlu disiapkan.
Kiai Yahya menyebutkan bahwa kasus yang menimpa Kiai Aziz, Rais Syuriah Ranting NU
Surokontowetan Kendal, tidak bisa dipisahkan dari kasus-kasus konflik sumber agraria
pertarungan negara vs rakyat. Secara prosedural seolah olah kasus-kasus itu selesai
secara hukum. Tetapi kenyataanya menjauh dari rasa keadilan terhadap pribadi maupun
petani Surkonto. Hukum menjadi tidak sebanding dengan keadilan sosial.
Kasus Surokonto saya meyakini ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan
persoalan tambang semen di pegunungan Kendeng utara. Terkesan dipaksakan oleh
pemerintah dengan BUMN tertentu dan sejumlah perusahan swasta besar bahkan
perusahaan asing, ungkap Kiai Yahya. Ujungnya, petani menjadi korban dari praktik yang
seolah olah lagal, tetapi mengandung kecurangan yang tidak adil dan merugikan petani.
Dalam kasus Kendeng misalnya, ada kecurangan dalam Amdal, ijin curang, atau tiba-tiba
menteri mengubah status lahan. Seperti yang terjadi di Surokonto, Banyuwangi,
Sumatera Utara dan lainnya di mana petani bertahun-tahun menjadi penggarap tanah
tiba-tiba dipinggirkan dan tiada jaminan pengakuan, hukum dan political will dari
pemerintah untuk membela mereka. Artinya dengan semangat Presiden Jokowi untuk
redistribusi, maka seharusnya kriminalisasi petani harus dihapuskan dan Kiai Aziz dan
petani lainnya dibebaskan.
Konteks makro di atas, NU punya peran besar sebagai wahana konsolidasi aspirasi
rakyat agar kebijakan negara berubah, sejalan amanat Muktamar Situbondo tahun 1984.
http://www.nu.or.id/post/read/85026/untuk-keadilan-sosial-dan-ekonomi-gus-yahya-sebut-
tugas-utama-nu
Tim GCS-Tenure Project bekerja sama dengan SAFIR telah membuat 8 buah
poster mengenai 5 skema perhutanan sosial dan tata cara permohonannya
berdasarkan peraturan terbaru PermenLHK No.83/2016. Peraturan terbaru
tentang perhutanan sosial memungkinkan masyarakat memperoleh salah satu
dari 5 skema yang tersebut dengan prosedur yang lebih cepat dan sederhana.
Poster perhutanan sosial yang dibuat ini untuk membantu masyarakat
memahami secara mudah alur dan persyaratan dalam permohonan 5 skema
perhutanan sosial yaitu Hutan Desa/HD (poster 1 dan 2), Hutan
Kemasyarakatan/HKm (poster 3 dan 4), Hutan Tanaman Rakyat/HTR (poster 5
dan 6), Hutan Adat/HA (poster 7) dan Kemitraan Kehutanan/KK (poster 8).
Prosedur permohonan perhutanan sosial terbaru terbukti mampu meningkatkan
jumlah hak maupun izin perhutanan sosial yang diterbitkan oleh pemerintah
sekarang dibanding pada periode pemerintahan sebelumnya. Namun demikian,
sejumlah kendala masih perlu diantisipasi, misalnya dalam proses permohonan
hutan adat yang mensyaratkan adanya peraturan daerah (Perda) yang
menetapkan masyarakat hukum adat terkendalam karena perda yang tidak
kunjung diterbitkan oleh Pemda dan DPRD setempat. Kementerian LHK saat
telah dan sedang memprioritaskan pemenuhan target perhutanan sosial 12,7
juta Ha. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat
Geographic: Indonesia
Presiden Joko Widodo menyerahkan perizinan penggunaan hutan sosial di Pabrik Barecore PT Nagabhuana
Aneka Piranti – Unit VI, Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah, hari Selasa (20/12). (Foto: BPMI
Setpres)
Pemerintah pada periode 2015-2019 mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta
hektare untuk dijadikan Perhutanan Sosial. Menurut datanya, masih ada 25.863 desa di
dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang 70 persen-nya menggantungkan hidup dari
sumberdaya hutan.
“Bahkan masih ada 10,2 juta penduduk kita yang belum sejahtera di dalam kawasan
hutan yang tidak memiliki aspek legal terhadap sumberdaya hutan," kata Presiden
Jokowi saat menyampaikan sambutannya.
"Tapi yang memiliki hak untuk mendapatkan lahan tanah adalah sekali lagi rakyat,
petani, kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)," katanya.
Presiden mengatakan, sebagai upaya agar lahan hutan tersebut menjadi produktif, selain
pemanfaatan kawasan hutan sebagai area penanaman, perhutanan sosial juga akan
dikolaborasikan dengan industri pengolahan sumber daya hutan agar produk yang
dihasilkan petani dapat berorientasi ekspor.
"Di sini akan menjadi contoh kemudian yang lain-lain diteruskan karena ini ngantri sekali,
kemudian dengan model perhutanan sosial kita ingin kembali kepada kejayaan industri
kehutanan dengan basis hutan tanaman rakyat," kata Presiden.
"Nanti pabriknya beli wajar tapi masyarakat sama menjualnya juga dengan harga wajar
jangan minta harga tinggi. Saya harapkan akan menjadi penggerak ekonomi di Kabupaten
Pulau Pisang," kata Presiden.
"Saya akan cek lagi, dimanfaatkan produktif tidak, ditanami tidak atau hanya dibiarkan,
apalagi ada yang jual, hati-hati, hati-hati pasti saya tahu karena akan saya ikuti terus,"
kata Presiden.
Hutan desa 7.685 hektare dengan pemegang izin 1.455 KK. Hutan Tanaman Rakyat 510
hektare dengan pemegang izin 354 KK, dan izin Hutan Tanaman Rakyat di kabupaten
sampit seluas 1542 hektare.
Turut mendampingi Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara. Iriana Joko Widodo dalam
acara ini, Menteri Koordinator bidang Pembangunam Manusia dan Kebudayaan Puan
Maharani, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Kabinet
Pramono Anung, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan Bupati Bupati
Pulang Pisau Edy Pratowo. (Setpres)
Editor : Eben E. Siadari
DIBACA (1752)
KOMENTAR (0)
Menurut UU Kehutanan Nomor 41/1999 Pasal 18 menyatakan, luas kawasan hutan minimal
30% dari luas DAS atau Pulau dengan sebaran secara proporsional. Kita perlu menyikapi
UU Kehutanan No. 41/1999 merupakan produk hukum kehutanan era Reformasi, sebagai
pengganti UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan sebelumnya yang
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip penguasaan dan pengurusan hutan.
Semangatnya, untuk mempertahankan keberadaan hutan secara optimal, menjaga daya
dukungnya secara lestari, dengan pengurusannya secara berkelanjutan dan berwawasan
mendunia, adil dan bijaksana, professional, menampung aspirasi dan peran masyarakat, adat
dan budaya yang berlandaskan norma hukum nasional.
Dengan semangat tersebut, Pasal 18, UU No. 41/1999 memuat ketentuan batasan luas
kawasan hutan minimal 30% dan mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menetapkan
dan mempertahankan kecukupkan luas kawasan hutan dan penutupan kawasan hutan setiap
Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Pada UU No. 5/1967 sebelumnya, Pasal 7, juga
telah memuat batasan luas kawasan hutan minimal , tetapi tidak menyebutkan angka
persentase, melainkan dengan kriteria kualitatif luas kawasan hutan yang cukup dan letak
yang tepat.
BLOG TERKAIT
Setiap Kita Punya Kewajiban Tanam dan Rawat 25 Pohon
Pesta Ikan di Dusun Njelok
Kita, Industri, dan Penghijauan Lahan
Kumbang 60+, Lebih Dekat dengan Konservasi Lingkungan
Ikan Larangan, Mitos Atau Fakta?
Pada waktu Wapres Yusuf Kalla memberikan sambuatan pembukaan KKI Ke VI bulan
Nopember tahun 2016 yang lalu, menanyakan: “ Berapa luas riil hutan Indonesia yang berisi
pohon? Bukan hutan yang isinya ilalang …”, tegasnya. Berkurangnya luas kawasan hutan
sekarang ini merupakan suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Ini sebagai
konsekuensi dari pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 2,5 kali lipat, dari
tahun 1960 sebanyak ±93,6 juta jiwa menjadi ±260 juta jiwa pada tahun 2017. Demikian pula
dengan pesatnya perkembangan pembangunan di berbagai sektor pertanian, perkebunan,
transmigrasi, pertambangan, pengembangan perkotaan, infrastruktur, dll. Tentu saja kondisi
luas kawasan hutan sekarang ini tidak mungkin dikembalikan luasnya sama dengan luas
kawasan hutan pada waktu 50 tahun yang lalu.
Luas daratan Indonesia saat ini adalah seluas ± 1.913.578 km2 atau ± 191.357.800 hektar
dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (BPS, 2017). Sedangkan luas kawasan hutan
Indonesia adalah ± 120.773.440 hektar (Statistik Kementerian LHK, 2015). Secara nasional
rasio luas kawasan hutan terhadap luas daratan adalah sebesar 63,1%. Ini berarti, dua kali
lipat lebih besar dari batasan luas kawasan minimal 30%, sebagaimana ketentuan yang diatur
menurut UU No. 41/1999. Informasi dari penafsiran citra satelit Landsat 8 OLI (2013), rasio
luas areal berhutan terhadap luas daratan Indonesia adalah 51,53 %. Dengan demikian
secara nasional rasio luas kawasan hutan terhadap luas daratan masih aman. Lalu, mengapa
Memang, di beberapa wilayah daratan dan DAS terutama di Pulau Jawa, kisaran rasio luas
kawasan hutannya berada dibawah batas minimal. Luas daratan Pulau Jawa ±132.107 km2
atau ±13.210.700 hektar, sedangkan luas kawasan hutannya ±3.532.600 hektar (Statistik
Kementerian LHK, 2015). Ini artinya, rasio luas kawasan hutan terhadap luas daratan Pulau
Jawa adalah 26,7%, lebih rendah dari batasan minimal 30% berdasarkan UU Kehutanan
No.41/1999. Dilain pihak, jumlah penduduknya terus bertambah dan sekarang ini telah
mencapai ±149 juta jiwa atau ± 57% dari jumlah populasi Indonesia (BPS, 2017).
Konsekuensinya, kebutuhan lahan oleh masyarakat terus meningkat. Hal ini sering
mengakibatkan terjadinya konflik sosial, perambahan di kawasan hutan. Keadaan inilah yang
menjadi kekhawatiran berbagai kalangan terutama bagi para Rimbawan.
Para Rimbawan penyusun UU No.41/1999 pada waktu itu tentu sudah memikirkan secara
seksama dengan argumentasi yang kuat, apa alasan dan tujuan mencantumkan kriteria luas
kawasan hutan minimal 30%. Namun demikian, beberapa kalangan termasuk para Rimbawan
ada yang menyebut angka 30% itu sebagai “angka misterius”. Karena itu, diperlukan
penjelasan dan argumentasi yang tidak cukup dengan teori dan ilmu kehutanan saja. Kriteria
luas kawasan hutan minimal 30% harus dapat dipahami dan dapat dijelaskan kepada publik
secara kualitatif dan kuantitatif yang didukung oleh data dan informasi hasil penelitian
berdasarkan perkembangan dan kemajuan IPTEK.
Hasil penelitian “Minimum forest cover for sustainable water flow regulation in a watershed
under rapid expansion of oil palm and rubber plantations” oleh Tim Peneliti dari IPB_University
of Göttingen, German_Fakultas Pertanian, Universitas Jambi (Journal: Hydrol. Earth Syst. Sci.
Discuss., doi:10.5194/hess-2017-116, 2017), dapat menjadi salah satu referensi ilmiah untuk
mendukung penjelasan kriteria luas kawasan hutan minimal. Penelitian dilakukan terhadap 6
(enam) DAS di Provinsi Jambi. Metode penelitian dengan modeling menggunakan software
SWAT (Soil and Water Assessment Tool), variabel yang diamati runoff coefficient (C) dan
baseflow index (BFI). Kesimpulan hasil penelitian, bahwa diperlukan rasio luas hutan terhadap
luas DAS lebih dari 30% dan tanaman perkebunan kurang dari 40%, agar nilai runoff
coefficient DAS lebih kecil dari 0,35.
Studi Kasus tentang “Penilaian Status Daerah Aliran Sungai” (AGRITECH, Vol. 29, No. 4
November 2009), di Sub DAS Serang luas 26. 882 hektar, BPDAS-HL Serayu Opak-Progo,
Jawa Tengah, diperoleh informasi yang lebih komprehensip. Sebanyak 9 (sembilan) variabel
telah diamati meliputi: 1) KRS ( koefisien rejim sungai), 2) koefesien aliran, 3) IPA (indeks
penggunaan air), 4) sedimentasi, 5) kualitas air permukaan, 6) air tanah, 7) erosi tanah, 8)
IPLM (indeks penutupan lahan permanen), dan 9) sosial ekonomi. Kondisi tata guna lahan
DAS Serang terdiri dari kawasan hutan 4,2 %, lahan pertanian 58,5% dan lainnya 37,3%.
Meskipun luas kawasan hutan di DAS Serang jauh dibawah luas minimal, tetapi hasil kajian
menunjukkan bahwa berdasarkan skroring status DAS Serang termasuk dalam kondisi baik
atau masuk klasifikasi DAS yang dipertahankan. PP No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS,
Meskipun belum dapat menjelaskan secara lengkap dan tuntas, tetapi informasi dari dua hasil
penelitian tersebut dapat sedikit mengungkap misteri batasan luas kawasan hutan minimal,
bahwa angka 30% tidak bersifat mutlak tetapi fleksibel dengan toleransi. Berkurangnya luas
kawasan hutan minimal dalam DAS yang berfungsi sebagai pengendali banjir, erosi,
sedimentasi dan kualitas air, dapat digantikan oleh rekayasa IPTEK dan input teknologi
konservasi tanah dan air (KTA). Ini tidak berarti bahwa semua fungsi hutan dalam ekosistem
DAS dan bentang alam dapat tergantikan. Fungsi hutan dalam pengendalian lingkungan dan
iklim, penyeimbang ekosistem, pelestarian plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, serta
penghasil O2, bersifat mutlak dan tidak dapat tergantikan.
Pertanyaannya, berapa “tolerable limit” pengurangan luas kawasan hutan minimal 30% ? Hal
ini menjadi PR besar bagi para pengambil kebijakan kehutanan, Rimbawan, praktisi dan para
Peneliti berbagai disiplin ilmu untuk menjawabnya. Data dan informasi hasil monitoring DAS
oleh BPDAS-HL, BBWS dan hasil interpretasi citra resolusi tinggi dari seluruh DAS di
Indonesia dapat menjadi bahan penelitian awal. Dukungan kemajuan IPTEK dan ketersediaan
program software pengolahan data, analisis dan modeling berbagai disiplin ilmu akan
menghasilkan informasi hasil penelitian yang lebih akurat, komprehensip dan akuntabel.
Kecenderungan luas kawasan hutan minimal pada wilayah DAS dan atau pulau yang terus
berkurang, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pesatnya perkembangan
pembangunan di Indonesia, perlu disikapi Pemerintah dan Para pihak secara bijaksana. Sejak
dini dan dalam lingkup nasional perlu dirancang strategi mitigasi dampak berkurangnya luas
kawasan hutan minimal 30%. Paling tidak dibutuhkan 3 (tiga) strategi mitigasi yang perlu
dipersiapkan, yaitu 1) Kemauan politik dan komitmen Pemerintah dan Para pihak, 2)
Realokasi dan transformasi fungsi kawasan hutan, dan 3) Rekayasa IPTEK dan input
teknologi.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 dan Pasal 65, PP No. 26/2008 tentang RTRWN
(Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional), PerMen LHK No. P.83/2016 dan PerMen LHK No.
P.39/2017 tentang Perhutanan Sosial, strategi realokasi dan transformasi fungsi kawasan
hutan, dapat ditempuh melalui 3(tiga) pendekatan. Pertama, Penetapan dan perluasan
kawasan lindung pada lahan masyarakat yang memenuhi kriteria dan memiliki kemampuan
tinggi sebagai kawasan resapan air hujan dan pengontrol tata air permukaan. Kedua,
Penetapan dan perluasan lahan masyarakat yang memenuhi kriteria kawasan untuk budidaya
hutan rakyat (HR). Ketiga, Pemberian akses masyarakat dalam pemanfaatan SDH.
Selanjutnya, UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA), menjadi landasan
hukum yang kuat untuk mengimplementasikan strategi rekayasa IPTEK dan input teknologi
dalam mitigasi dampak berkurangnya luas kawasan hutan minimal. Ketentuan dan kewajiban
melaksanakan KTA, antara lain tertuang dalam Pasal 13, bahwa penyelenggaraan KTA
dilaksanakan pada lahan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Konservasi tanah dan air
dilakukan dengan metode vegetatif, agronomi, sipil teknik bangunan KTA, dan metode lainnya
sesuai dengan perkembangan IPTEK dan teknologi.
Penulis,
Soeparno W, MSc.
Kelemahan PP 10
PP 10 Tahun 2010 dipandang sebagai regulasi yang mendorong komitmen
pelestarian lingkunan. Namun bagi Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo), beleid ini juga punya kelemahan. Dahnil Anzar S,
pengurus DPP Apkasindo, menilai PP 10 bisa menjadi ancaman bagi pengelola
perkebunan kelapa sawit. Terutama di daerah yang ditetapkan sebagai
daerah hutan lindung, dimana sebelumnya si pengusaha sudah mendapatkan
izin dari Pemda setempat.
Sosialisasi dibuka langsung oleh Montty Girianna, selaku Deputi Bidang Koordinasi
Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian. Menurut Montty Girianna, ditelurkannya tiga Peraturan Pemerintah
terkait sektor kehutanan bertujuan untuk merampingkan perizinan yang terkait pemanfaatan
kawasan hutan.
“Salah satunya kita ingin me-slimline yang berkaitan dengan izin-izin supaya investasi bisa
lancar namun tetap mempertahankan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan kelestarian
lingkungan hutan”, ujar Montty.
Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan hutan, pada prinsipnya
kawasan hutan dapat diubah peruntukan dan fungsinya. Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta
aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan
manfaat kawasan hutan secara optimal.
Acara dilanjutkan dengan pemaparan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, tentang
sosialisasi PP Nomor 104 Tahun 2015 dan PP Nomor 105 Tahun 2015. Kedua peraturan
tersebut merupakan upaya untuk mendukung pembangunan tanpa mengabaikan kelestarian
lingkungan hidup di dalam pemakaian kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur.
Adapun dasar dari PP Nomor 104 Tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan perlu dilakukan penyederhanaan proses perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Peraturan yang terbaru ini juga merupakan revisi dari
PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan.
Sedangkan dasar PP Nomor 105 Tahun 2015 adalah dalam rangka percepatan pembangunan
di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan perlu mengubah pengaturan mengenai
jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dan prosedur
penggunaan kawasan hutan.
“Ini hanya merubah PP 28 Tahun 2011 untuk pencantuman panas bumi sebagai izin
pemanfaatan jasa lingkungan”, tambah Tachrir. (nay)
Penyaluran KUR
Prev
Next
Syahrul menjelaskan bahwa RTRW Provinsi mempunyai fungsi sebagai pengendali pemanfaatan ruang wilayah
provinsi maupun kabupaten/kota dan menyelaraskan keseimbangan perkembangan antara wilayah, sehingga
pertumbuhan wilayah di provinsi Sulsel bisa tumbuh bersama-sama sesuai dengan potensi sumberdaya yang
dimilikinya.
“Sesuai dengan data Badan Informasi Geospasial (BIG), Provinsi Sulsel memiliki luas wilayah 5.100.856 Ha
dengan luas kawasan hutan 2.616.862 Ha atau sekitar 51,30 persen dari total luas wilayah. Sejak tahun 1999,
Provinsi Sulsel belum pernah mengusulkan perubahan kawasan, sehingga diperlukan penyesuaian terhadap
keadaan aktual di lapangan atas adanya permasalahan tenurial dan infrastruktur yang telah terbangun dalam
kawasan hutan,” kata Syahrul.
Syahrul mengungkapkan, permasalahan hutan yang dihadapi oleh Sulsel saat ini antara lain, adanya
pengembangan atau pemekaran wilayah kabupaten/kecamatan, permukiman penduduk dan pembangunan
fasilitas umum yang bersifat permanen, seperti perkantoran, sekolah, rumah, jalan, dan beberapa fasilitas
lainnya.
Olehnya itu, kata dia, tingginya konflik dan klaim kawasan hutan di kabupaten/kota tersebut menuntut
penanganan dan solusi yang segera.
“Dengan berbagai isu dan tantangan yang dihadapi, substansi RTRW Provinsi Sulsel diharapkan lebih mampu
merespon peluang untuk meningkatkan daya saing wilayah sulsel sekaligus mampu menghadapi tantangan
dalam mewujudkan keberlanjutan pembangunan regional dengan tetap memperhatikan prinsip daya dukung
libgkungan melalui keseimbangan alokasi ruang antara kawasan budidaya dan kawasan lindung,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, sebagai matra spasial, maka RTRW Provinsi Sulsel disusun berdasarkan
pencermatan terhadap kepentingan jangka panjang, dengan memperhatikan dinamika pembangunan yang
perlu direspon dan diantisipasi, sehingga mampu menjamin keberlangsungan implementasi di lapangan dan
pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang.
“Saya berharap, kegiatan Review RTRW Provinsi Substansi Kehutanan yang kita lakukan ini dapat berjalan
lancar dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, sehingga dapat mendorong tercapainya pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi serta pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya. (opa)
26
SHARED
INDEKS BERITA