Anda di halaman 1dari 68

NU & Perhutanan Sosial

KLHK Gandeng NU Garap Perhutanan Sosial


Penulis: (Dhk/H-1)Pada: Kamis, 12 Apr 2018, 23:50 WIB HUMANIORA


ANTARA FOTO/M Agung
Rajasa

KEMENTERIAN Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menggandeng
Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) dalam kerja
sama pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya
hutan dan lingkungan.
Program perhutanan sosial
menjadi salah satu agenda yang dikerjasamakan.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto


mengatakan jejaring keanggotaan PBNU yang tersebar di desa-desa dapat
membantu percepatan realisasi perhutanan sosial. Kerja sama dengan organisasi
umat muslim terbesar itu antara lain untuk membantu verifikasi lapangan dan
pendampingan.

Meski begitu, ujarnya, belum ada target luas lahan yang akan diterbitkan izinnya
melalui kerja sama tersebut. Pihaknya baru memetakan 16 daerah di delapan
provinsi yang bakal dikerjasamakan. Delapan provinsi itu ialah Jawa Timur,
Banten, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat,
Jambi, dan Kalimantan Barat.

1 NU dan Perhutanan Sosial


KLHK Gandeng NU Garap Perhutanan Sosial
Penulis: Dhika kusuma winataPada: Kamis, 12 Apr 2018, 15:22 WIB HUMANIORA


KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggandeng
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam kerjasama pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan. Program perhutanan sosial
menjadi salah satu agenda yang dikerjasamakan.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang


Supriyanto, mengatakan jejaring keanggotaan PBNU yang tersebar di desa-desa
dapat membantu percepatan realisasi perhutanan sosial. Kerjasama dengan
organisasi umat muslim terbesar itu antara lain untuk membantu verifikasi
lapangan dan pendampingan.

Meski begitu, Bambang mengungkapkan belum ada target luas lahan yang akan
diterbitkan izinnya melalui kerjasama tersebut. Pihaknya baru memetakan 16
daerah di 8 provinsi yang bakal dikerjasamakan. Delapan provinsi itu ialah Jawa
Timur, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Barat, Jambi, dan Kalimantan Barat.

"Tidak hanya dengan PBNU, cara tersebut juga akan dilakukan dengan
Muhammadiyah dan organisasi lainnya," ucap Bambang.

Realisasi perhutanan sosial hingga 4 April 2018 sebesar 1,51 juta hektar. Adapun
target yang ingin dicapai pemerintah mencapai 12,7 hektar.

2 NU dan Perhutanan Sosial


Menteri LHK Siti Nurbaya, dalam seremoni penandatanganan nota kesepakatan
kerjasama di Gedung KLHK, Jakarta, Rabu (11/4), menyatakan kerjasama dengan
PBNU strategis untuk mendukung percepatan reforma agraria pemerintah melalui
perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (TORA).

Siti memandang kekuatan NU di level akar rumput amat penting untuk membantu
program pemerintah meredistribusi sumber daya kepada masyarakat.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengapresiasi kerjasama tersebut.


Ketimpangan pengelolaan hutan menurutnya harus diatasi dengan melibatkan
masyarakat akar rumput.

"Masyarakat sekitar hutan itu mayoritas orang NU. Sudah saatnya pemerintah
memberi perhatian kepada kekuatan civil society," ucapnya. (OL-5)

Percepat Realisasi Perhutanan


Sosial, Menteri LHK Gandeng
NU

Menteri LHK Siti Nurbaya dan Ketua Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siradj bersalaman usai
penandatangan kesepakatan bersama tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan
Lingkungan Hidup.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pengurus Besar


Nahdlatul Ulama (PBNU) menjalin kerja sama dalam pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya hutan dan lingkungan hidup. Lewat kerja sama ini realisasi
redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS)
diharapkan bisa makin cepat.
Nota kesepakatan kerja sama ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, di Kantor

3 NU dan Perhutanan Sosial


KLHK, Rabu (11/4/2018). Selain TORA dan PS, kerja sama juga mencakup isu
pengelolaan sampah, limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (B3); perubahan
iklim; dan pendidikan lingkungan hidup.

Menteri Nurbaya menjelaskan, cakupan kerja sama ini meliputi sosialisasi


berbagai kegiatan, penelitian bersama, pendidikan dan pelatihan, tukar-menukar
informasi, peningkatan kualitas SDM, terutama dalam perspektif agama sebagai
tuntunan kehidupan sehari-hari. “Semuanya dalam perspektif agama ini sangat
penting karena akan berlangsung dalam iklim yang sejuk,” tutur Menteri Nurbaya.

Terkait TORA dan PS, Menteri Nurbaya mengungkapkan tidak mudah untuk
mendistribusikan dan merealisasikan kedua program tersebut. “Memang
dibutuhkan masyarakat yang betul-betul siap, dan itu hanya bisa dikelola oleh
para pengelola grass root seperti PBNU ini. Oleh karena itu, kita lakukan
bersama-sama,” ajaknya.

Penandatanganan MoU ini merupakan tindak lanjut dari silaturahmi Kementerian


LHK ke Kantor PBNU tanggal 30 Desember 2017 lalu untuk mendiskusikan
mengenai program prioritas pembangunan Kementerian LHK.

Menteri menjelaskan, pemerintah selama kurun waktu setidaknya 2-3 tahun


terakhir, berupaya bagaimana untuk mengembangkan atau menularkan rasa
keadilan dalam ekonomi di masyarakat yang dilakukan bersama-sama dengan
berbagai elemen penting bangsa, termasuk keluarga besar Nahdlatul Ulama.

“Yang paling penting, menurut arahan Bapak Presiden Jokowi, adalah bagaimana
rasa keadilan ekonomi itu bisa betul-betul berwujud nyata dan kita menyadari
bahwa pengelola grass root yang paling dekat kepada masyarakat adalah
organisasi-organisasi keagamaan seperti PBNU ini,” ujar Menteri
Nurbaya. Sugiharto

Perhutanan Sosial, Kini Masyarakat Legal Mengelola


Hutan
Jumat, 08 September 2017 11:40Nasional

Bagikan

4 NU dan Perhutanan Sosial


Jakarta, NU Online
Membangun Indonesia dari pinggiran, didefinisikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), salah satunya melalui program Perhutanan Sosial, sebuah program
nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan
ekonomi melalui tiga pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha, dan sumberdaya manusia.
Perhutanan Sosial juga menjadi benda legal untuk masyarakat disekitar kawasan hutan untuk
mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar.

Akses legal pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu
Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga
desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan
Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara
masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan,
jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.

Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga
Negara Republik Indonesia, yang tinggal di kawasan hutan, atau di dalam kawasan hutan
negara, yang keabsahannya dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk, dan memiliki komunitas
sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, dan
aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Perhutanan Sosial mulai didengungkan sejak tahun 1999, keadaan Indonesia yang masih
gamang pasca reformasi, menjadikan agenda besar ini kurang diperhatikan. Pada tahun 2007
program Perhutanan Sosial ini mulai dilaksanakan, namun selama lebih kurang tujuh tahun

5 NU dan Perhutanan Sosial


hingga tahun 2014, program ini berjalan tersendat. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan mencatat selama periode 2007-2014, hutan yang terjangkau akses kelola
masyarakat hanya seluas 449.104,23 Ha.

Untuk itu setelah periode tersebut dilakukan percepatan-percepatan, dan selama kurang lebih
tiga tahun masa Kabinet Kerja, telah tercatat seluas 604.373,26 Ha kawasan hutan, legal
membuka akses untuk dikelola oleh masyarakat.

Hingga saat ini, sejumlah 239.341 Kepala Keluarga (KK), telah memiliki akses legal untuk
mengelola kawasan hutan nusantara, dan sejauh ini sosialisasi dan fasilitasi juga telah
dilakukan kepada 2.460 kelompok, dimana fasilitasi yang diberikan adalah dalam bidang
Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
memiliki target untuk membentuk dan memfasilitasi lebih kurang 5000 Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial di Indonesia hingga tahun 2019.

Niatan menyejahterakan masyarakat Indonesia ini, bukan tidak memiliiki tantangan. Jauhnya
masyarakat dari akses infrastruktur menjadi salah satu kendala terlaksananya verifikasi
kelompok masyarakat, dan sering kali menjadi hal yang membuat terlambatnya sosialisasi
program ini.

Dalam pendampingan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan


multi pihak, termasuk LSM, dan program ini tentu saja membutuhkan banyak pendamping
yang turun ke lapangan, yang memberikan pengetahuan dan pengidentifikasian potensi
kawasan hutan, pengembangan usaha, serta pemasaran hasil usaha masyarakat, yang sering
kita sebut sebagai akses ekonomi,hingga penguatan legal, sehingga masyarakat mampu
mengadvokasi dirinya sendiri.

Akses legal mengelola kawasan hutan ini, diharapkan menjadi jembatan yang mampu
memberikan bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan memberi kesejahteraan bagi masyarkat daerah terdepan Indonesia.
Perhutanan Sosial, ini saatnya hutan untuk rakyat.

Hal itu juga menggambarkan implementasi dari Nawacita ke enam, yang ertujuan
meningkatkan produktivitas masyarakat serta daya saing di tingkat internasional, sehingga
bisa bersaing dengan negara-negara ditingkat ASEAN lainnya. Mewujudkan masyarakat yang
mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis domestik, juga menjadi
landasan dari program Perhutanan Sosial ini dilaksanakan.(Red: Kendi Setiawan)

6 NU dan Perhutanan Sosial


Jakarta, NU Online
Membangun Indonesia dari pinggiran, didefinisikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), salah satunya melalui program Perhutanan Sosial, sebuah program
nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan
ekonomi melalui tiga pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha, dan sumberdaya manusia.
Perhutanan Sosial juga menjadi benda legal untuk masyarakat disekitar kawasan hutan untuk
mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar.

Akses legal pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu
Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga
desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan
Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara
masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan,
jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.

Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga
Negara Republik Indonesia, yang tinggal di kawasan hutan, atau di dalam kawasan hutan
negara, yang keabsahannya dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk, dan memiliki komunitas
sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, dan
aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Perhutanan Sosial mulai didengungkan sejak tahun 1999, keadaan Indonesia yang masih
gamang pasca reformasi, menjadikan agenda besar ini kurang diperhatikan. Pada tahun 2007
program Perhutanan Sosial ini mulai dilaksanakan, namun selama lebih kurang tujuh tahun

7 NU dan Perhutanan Sosial


hingga tahun 2014, program ini berjalan tersendat. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan mencatat selama periode 2007-2014, hutan yang terjangkau akses kelola
masyarakat hanya seluas 449.104,23 Ha.

Untuk itu setelah periode tersebut dilakukan percepatan-percepatan, dan selama kurang lebih
tiga tahun masa Kabinet Kerja, telah tercatat seluas 604.373,26 Ha kawasan hutan, legal
membuka akses untuk dikelola oleh masyarakat.

Hingga saat ini, sejumlah 239.341 Kepala Keluarga (KK), telah memiliki akses legal untuk
mengelola kawasan hutan nusantara, dan sejauh ini sosialisasi dan fasilitasi juga telah
dilakukan kepada 2.460 kelompok, dimana fasilitasi yang diberikan adalah dalam bidang
Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
memiliki target untuk membentuk dan memfasilitasi lebih kurang 5000 Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial di Indonesia hingga tahun 2019.

Niatan menyejahterakan masyarakat Indonesia ini, bukan tidak memiliiki tantangan. Jauhnya
masyarakat dari akses infrastruktur menjadi salah satu kendala terlaksananya verifikasi
kelompok masyarakat, dan sering kali menjadi hal yang membuat terlambatnya sosialisasi
program ini.

Dalam pendampingan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan


multi pihak, termasuk LSM, dan program ini tentu saja membutuhkan banyak pendamping
yang turun ke lapangan, yang memberikan pengetahuan dan pengidentifikasian potensi
kawasan hutan, pengembangan usaha, serta pemasaran hasil usaha masyarakat, yang sering
kita sebut sebagai akses ekonomi,hingga penguatan legal, sehingga masyarakat mampu
mengadvokasi dirinya sendiri.

Akses legal mengelola kawasan hutan ini, diharapkan menjadi jembatan yang mampu
memberikan bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan memberi kesejahteraan bagi masyarkat daerah terdepan Indonesia.
Perhutanan Sosial, ini saatnya hutan untuk rakyat.

Hal itu juga menggambarkan implementasi dari Nawacita ke enam, yang ertujuan
meningkatkan produktivitas masyarakat serta daya saing di tingkat internasional, sehingga
bisa bersaing dengan negara-negara ditingkat ASEAN lainnya. Mewujudkan masyarakat yang
mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis domestik, juga menjadi
landasan dari program Perhutanan Sosial ini dilaksanakan.(Red: Kendi Setiawan)

TINDAK LANJUT MUNAS NU 2017

PBNU dan Kementerian LHK Sepakati Tata Kelola


Hutan untuk Kebaikan Masyarakat
Sabtu, 30 Desember 2017 14:01Nasional

Bagikan

8 NU dan Perhutanan Sosial


Foto: Jajang Nurdin

Jakarta, NU Online

Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj menerima kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, di Gedung PBNU lantai 5, Sabtu (30/12).

Dalam kesempatan tersebut Kiai Said menyerahkan hasil Bahtsul Masail Maudhu'iyyah,
Munas Konbes NU 2017 tentang Distribusi Lahan kepada Menteri LHK.

9 NU dan Perhutanan Sosial


Dikatakan salah satu dari maqashid syariah (tujuan hukum Islam) adalah hifdz an-
nafs (memelihara jiwa) dan hifdz al-mal (menjaga harta). Salah satu bagian dari hifdz an-
nafs adalah hidup layak, dan salah satu bagian dari hifdz al-mal adalah keseimbangan
ekonomi (attawazun al-iqtishadi). Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah antiketimpangan,
termasuk di dalamnya ketimpangan ekonomi.

Negara memiliki tanggung jawab besar menciptakan keseimbangan ekonomi melalui


pendekatan preventif dan kuratif. Namun, sekarang ketimpangan itu sudah nyata terjadi.

“Maka setidaknya ada empat jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, menarik kembali
tanah yang didistribusakan oleh pemerintan secara berlebihan. Kedua, menarik kembali tanah
Hak Guna Usaha yang tidak dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi tidak sebagaimana
mestinya,” kata Kiai Said.

Solusi selanjutnya adalah membatasi Hak Guna Usaha untuk pengusaha, baik jumlah lahan
maupun waktu pengelolaan dengan prinsip keadilan.

“Keempat, mendistribusikan tanah yang dikuasai negara untuk fuqara wal masakin (para fakir
miskin), baik dalam bentuk tamlik atau ghairu tamlik (membagi dua) dengan prinsip
keadailan,” tandas Kiai Said.

Menteri LKH Siti Nurbaya Bakar mengatakan paparan Kiai Said mempertebal keyakinan dia
dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang selama ini menjadi konsentrasi kementerian
yang dipimpinnya.

“Seperti yang disampaikan tadi, sudah banyak yang dititipkan Presiden kepada kami soal
penataan hutan yang lebih baik,” kata Nurbaya.

Ia menyebut terkait pengelolaan hutan bagi masyarakat, terdapat dua hak atau pendekatan,
yakni hak manusia untuk produktif dan hak mengembangkan ekonomi masyarat miskin.

Karenanya, LHK juga telah memprogramkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.

10 NU dan Perhutanan Sosial


“Reforma Agraria di mana tanah dilepaskan kepada masyarakat (petani). Sedangkan
Perhutanan Sosial adalah akses untuk mendapatkan lahan dalam jangka waktu 35 tahun dan
dapat diperpanjang,” lanjut Menteri.

Ia menegaskan dalam program tersebut sangat mungkin dikerjasamakan dengan komunitas


(kelompok).

“Aksesnya diberikan kepada kelompok dengan jelas pembagainnya, kelompoknya, ada


koordinatnya,” tandas Nurbaya.

Menteri mengapresiasi NU yang sejak kelahirannya memiliki perhatian terhadap persoalan


lahan, hutan dan lingkungan.

Pada pertemuan tersebut, Menteri LHK didampingi Sekjen Bambang Hendroyo; Dirjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto; Dirjen Pengelolaan DAS
dan Lingkungan Hidup, Hilman Nugroho; Dirjen PSLB3, Vivien Rosa; Dirjen PPI, Nur
Maspripatin; Kabadan P2SDM, Helmi Basalamah; Pesasihat Menteri LKH, Sarwono
Kusumaatmaja, Chalid Muhammad, dan Suryo Adi Wibowo; serta Staf Khusus Hanni Hadiati.

Sementara dari PBNU turut hadir Waketum H Maksum Mahfoedz; Ketua PBNU Sultonul Huda;
Ketua Manan Suryaman; Wasekjen Andy Najmi; Wasekjen Imam Pituduh; Wasekjen Suwadi
Pranoto; Ketua LPBI PBNU M Ali Yusuf; Ketua LAZISNU Syamsul Huda. (Kendi Setiawan)

11 NU dan Perhutanan Sosial


Foto: Jajang Nurdin

Jakarta, NU Online

Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj menerima kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, di Gedung PBNU lantai 5, Sabtu (30/12).

Dalam kesempatan tersebut Kiai Said menyerahkan hasil Bahtsul Masail Maudhu'iyyah,
Munas Konbes NU 2017 tentang Distribusi Lahan kepada Menteri LHK.

12 NU dan Perhutanan Sosial


Dikatakan salah satu dari maqashid syariah (tujuan hukum Islam) adalah hifdz an-
nafs (memelihara jiwa) dan hifdz al-mal (menjaga harta). Salah satu bagian dari hifdz an-
nafs adalah hidup layak, dan salah satu bagian dari hifdz al-mal adalah keseimbangan
ekonomi (attawazun al-iqtishadi). Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah antiketimpangan,
termasuk di dalamnya ketimpangan ekonomi.

Negara memiliki tanggung jawab besar menciptakan keseimbangan ekonomi melalui


pendekatan preventif dan kuratif. Namun, sekarang ketimpangan itu sudah nyata terjadi.

“Maka setidaknya ada empat jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, menarik kembali
tanah yang didistribusakan oleh pemerintan secara berlebihan. Kedua, menarik kembali tanah
Hak Guna Usaha yang tidak dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi tidak sebagaimana
mestinya,” kata Kiai Said.

Solusi selanjutnya adalah membatasi Hak Guna Usaha untuk pengusaha, baik jumlah lahan
maupun waktu pengelolaan dengan prinsip keadilan.

“Keempat, mendistribusikan tanah yang dikuasai negara untuk fuqara wal masakin (para fakir
miskin), baik dalam bentuk tamlik atau ghairu tamlik (membagi dua) dengan prinsip
keadailan,” tandas Kiai Said.

Menteri LKH Siti Nurbaya Bakar mengatakan paparan Kiai Said mempertebal keyakinan dia
dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang selama ini menjadi konsentrasi kementerian
yang dipimpinnya.

“Seperti yang disampaikan tadi, sudah banyak yang dititipkan Presiden kepada kami soal
penataan hutan yang lebih baik,” kata Nurbaya.

Ia menyebut terkait pengelolaan hutan bagi masyarakat, terdapat dua hak atau pendekatan,
yakni hak manusia untuk produktif dan hak mengembangkan ekonomi masyarat miskin.

Karenanya, LHK juga telah memprogramkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.

13 NU dan Perhutanan Sosial


“Reforma Agraria di mana tanah dilepaskan kepada masyarakat (petani). Sedangkan
Perhutanan Sosial adalah akses untuk mendapatkan lahan dalam jangka waktu 35 tahun dan
dapat diperpanjang,” lanjut Menteri.

Ia menegaskan dalam program tersebut sangat mungkin dikerjasamakan dengan komunitas


(kelompok).

“Aksesnya diberikan kepada kelompok dengan jelas pembagainnya, kelompoknya, ada


koordinatnya,” tandas Nurbaya.

Menteri mengapresiasi NU yang sejak kelahirannya memiliki perhatian terhadap persoalan


lahan, hutan dan lingkungan.

Pada pertemuan tersebut, Menteri LHK didampingi Sekjen Bambang Hendroyo; Dirjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto; Dirjen Pengelolaan DAS
dan Lingkungan Hidup, Hilman Nugroho; Dirjen PSLB3, Vivien Rosa; Dirjen PPI, Nur
Maspripatin; Kabadan P2SDM, Helmi Basalamah; Pesasihat Menteri LKH, Sarwono
Kusumaatmaja, Chalid Muhammad, dan Suryo Adi Wibowo; serta Staf Khusus Hanni Hadiati.

Sementara dari PBNU turut hadir Waketum H Maksum Mahfoedz; Ketua PBNU Sultonul Huda;
Ketua Manan Suryaman; Wasekjen Andy Najmi; Wasekjen Imam Pituduh; Wasekjen Suwadi
Pranoto; Ketua LPBI PBNU M Ali Yusuf; Ketua LAZISNU Syamsul Huda. (Kendi Setiawan)

KLHK gandeng PBNU untuk


percepatan program perhutanan
sosial
Rabu, 11 April 2018 / 20:39 WIB

0
SHARED

14 NU dan Perhutanan Sosial


INDEKS BERITA

15 NU dan Perhutanan Sosial


ILUSTRASI. Petani menunjukan SK Izin Pemanfaatan Hutan
Perhutanan Sosial

BERITA TERKAIT

 Jokowi hadiri Program


Perhutanan Sosial di Bekasi
 Program perhutanan sosial
meluncur akhir Oktober
 Program perhutanan sosial
terganjal data
 Pemerintah segera terbitkan
izin perhutanan sosial
 24 wilayah perhutanan sosial
disiapkan
 Reforma agraria, begini
skema perhutanan sosial
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) gandeng Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU)
untuk mempercepat pembagian izin kelola perhutanan sosial.

"Kerja sama dengan PBNU akan mempercepat dan menyambungkan


langsung," ujar Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto, Rabu (11/4).

BACA JUGA

Swasta perlu ikut
kembangkan perhutanan sosial

16 NU dan Perhutanan Sosial



Program perhutanan sosial di
Teluk Jambe tersendat lokasi
lahan

Pemerintah siap
mendistribusikan program
perhutanan sosial tahap II pada
Maret
Perhutanan Sosial tahap II

siap diluncurkan
Pengurusan PBNU yang menyentuh hingga desa dinilai dapat
mempermudah proses perizinan pengelolaan perhutanan sosial.
Bambang bilang nantinya verifikasi akan dilakukan secara bersama
antara KLHK dengan PBNU.

Tidak hanya membantu menyalurkan, PBNU pun akan menjadi


pendamping bagi pengelola hutan sosial tersebut. Meski begitu,
Bambang mengungkapkan belum terdapat luas lahan yang akan
diterbitkan izinnya.

"Belum ada angka luas hutan sosial, baru simpul ada 16 titik di 8
provinsi," terang Bambang.

Tidak hanya dengan PBNU, cara tersebut juga akan dilakukan dengan
Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Pasalnya saat ini pencapaian
perizinan hutan sosial masih jauh dari target.

Realisasi pemberian izin pengelolaan perhutanan sosial hingga 4 April


2018 diutarakan Bambang sebesar 1,51 juta hektare (ha). Sementara
target pemerintah pemberian izin perhutanan sosial mencapai 12,7 ha.

Ketua PBNU Said Aqil Siroj menyatakan, kesiapannya untuk membantu


program KLHK tersebut. "Mayoritas masyarakat sekitar hutan adalah
anggota NU sehingga lebih mudah mengatur," jelasnya.

17 NU dan Perhutanan Sosial


Selain itu program perhutanan sosial dinilai dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hal itu mengingat selama ini pengelolaan
hutan hanya dikuasai oleh perusahaan besar.

Mengawal TORA dan Perhutanan Sosial, KLHK


dan PBNU Bersinergi
 Kamis, 12/04/2018 14:55

 Oleh Wisnubro

Berita Lainnya

 Kementerian PANRB Wujudkan Perpustakan Zaman


Now

 Kemensos Jangkau Warga Negeri Maneo Rendah

 200 Orang dari Berbagai Suku Ikuti Pembekalan Bela


Negara Kemhan

 Wamen ESDM: BBM Satu Harga Wujud Keadilan


Sosial

Menteri LHK Siti Nurbaya dan Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj usai meneken kerja sama Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan Lingkungan Hidup di Jakarta, April 2018 (KLHK)

JPP JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), menjalin kerja sama dalam pelestarian dan pemanfaatan sumber
daya hutan dan lingkungan hidup yang tertuang dalam Memorandum of Understanding
(MoU)/Nota Kesepahaman, di Jakarta, Rabu (11/04/2018).

18 NU dan Perhutanan Sosial


Nota Kesepahaman ini juga merupakan salah satu langkah percepatan realisasi redistribusi
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS) dengan meningkatkan
peran serta organisasi kemasyarakatan.

Penandatanganan MoU ini merupakan tindak lanjut dari silaturahim Kementerian LHK ke
Kantor PBNU, Jakarta pada 30 Desember 2017 lalu untuk mendiskusikan mengenai program
prioritas pembangunan Kementerian LHK.

Terdapat empat isu penting terkait dengan pembangunan LHK yang diwujudkan dalam
Kesepakatan Bersama ini antara lain Reforma Agraria yang terdiri dari program TORA dan
Perhutanan Sosial; Pengelolaan sampah, limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (B3);
Perubahan Iklim; dan Pendidikan Lingkungan Hidup.

Pemerintah selama kurun waktu setidaknya 2-3 tahun terakhir, berupaya bagaimana untuk
mengembangkan atau menularkan rasa keadilan dalam ekonomi di masyarakat yang
dilakukan bersama-sama dengan berbagai elemen penting bangsa, termasuk keluarga besar
Nahdlatul Ulama.

"Yang paling penting, menurut arahan Bapak Presiden Jokowi, adalah bagaimana rasa
keadilan ekonomi itu bisa betul-betul berwujud nyata dan kita menyadari bahwa pengelola
grass root yang paling dekat kepada masyarakat adalah organisasi-organisasi keagamaan
seperti PBNU ini," ujar Menteri LHK Siti Nurbaya.

Dalam hal ini, PBNU dan Kementerian LHK telah bersama-sama dan terlibat aktif dalam
serangkaian persiapan rembuk Nasional Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk
Keadilan Sosial (RAPS) yang diinisiasi oleh PBNU dan Kementerian LHK bekerjasama
dengan Kantor Staf Presiden (KSP).

Sejauh ini, PBNU dan KLHK telah dan akan melaksanakan Pra-Rembuk RAPS di 8 (delapan)
Provinsi yaitu Jawa Timur, Banten, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Barat, Jambi, dan Kalimantan Barat.

Menteri Siti Nurbaya menambahkan bahwa cakupan kerja sama ini meliputi sosialisasi
berbagai kegiatan, penelitian bersama, pendidikan dan pelatihan, tukar-menukar informasi,
peningkatan kualitas SDM, terutama dalam perspektif agama sebagai tuntunan kehidupan
sehari-hari. "Semuanya dalam perspektif agama ini sangat penting karena akan berlangsung
dalam iklim yang sejuk," tutur Menteri Siti Nurbaya.

Terkait TORA dan PS, Menteri Siti Nurbaya mengungkapkan tidak mudah untuk
mendistribusikan dan merealisasikan kedua program tersebut. "Memang dibutuhkan
masyarakat yang betul-betul siap, dan itu hanya bisa dikelola oleh para pengelola grass root
seperti PBNU ini. Oleh karena itu, kita lakukan bersama-sama," ajaknya.

Pada kesempatan itu, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, menyambut baik kerja sama
ini. Kiai Said Aqil menyampaikan bahwa hal ini sejalan dengan rekomendasi oleh alim ulama
pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, di Nusa
Tenggara Barat, 23-25 November 2017. Menurut Kiai Said, Indonesia tengah menghadapi
ujian kebangsaan berupa gejala kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi.

19 NU dan Perhutanan Sosial


"Saya tegaskan, kerja sama antara Kementerian LHK dan PBNU sangat tepat, tidak keliru,
dan sangat benar. Karena masyarakat sekitar hutan itu mayoritas orang NU. Sudah saatnya
pemerintah memberi perhatian kepada kekuatan civil society sebagai pilar bangsa ini,"
ujarnya.

Kiai Said Aqil juga menyampaikan bahwa NU mempunyai amanat untuk menjadikan agama
Islam sebagai agama moderat melalui pendekatan budaya. Dan yang kedua yaitu amanat
wathoniyah untuk menjaga Tanah Air Indonesia dengan prinsip hubbul wathon minal iman
(cinta tanah air bagian dari iman). Di samping menjaga keselamatan geografisnya, juga
menjaga sumberdaya alamnya. (lhk)

KLHK Jalin Kerja Sama Reforma Agraria dan


Perhutanan Sosial dengan PBNU
 Minggu, 31/12/2017 23:45

 Oleh Wisnubro

Berita Lainnya

 Kementerian PANRB Wujudkan Perpustakan


Zaman Now

 Kemensos Jangkau Warga Negeri Maneo


Rendah

 Wamen ESDM: BBM Satu Harga Wujud


Keadilan Sosial

 Reformasi Birokrasi Sukseskan PTSL dan


Reforma Agraria

Kunjungan Menteri LHK Siti Nurbaya ke PBNU (KemenLHK)

JPP JAKARTA - Pekan terakhir menjelang tutup tahun 2017, Menteri LHK, Siti Nurbaya,
memboyong jajaran eselon I dan para pakar, bersilaturahim dengan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) di Kantor PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta, Minggu (31/12/2017).

20 NU dan Perhutanan Sosial


Kedatangan Menteri LHK diterima langsung oleh Ketua PBNU Prof Dr KH. Said Aqil Siroj, MA
beserta jajarannya. Selain menggelar diskusi, pada kesempatan tersebut juga disepakati
rencana kerja sama bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang rencana kerja sama membangun
kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah, yakni Reforma Agraria dan akses
Hutan Sosial," tutur Siti Nurbaya.

KLHK sendiri terus memberikan akses legal pada rakyat untuk mengelola kawasan hutan,
melalui program Perhutanan Sosial. Per 18 Desember 2017, akses legal lahan yang sudah
terealisasi mencapai 1,33 juta hektare (ha) dari target 4,38 juta ha hingga 2019.

Pemerintahan Jokowi-JK juga telah mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektare
(10% dari luas kawasan hutan Indonesia) untuk masyarakat melalui program perhutanan
sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Tanaman
Rakyat dan Hutan Kemitraan.

Program pemerintah ini, disampaikan Siti Nurbaya, telah sejalan dengan paparan yang
disampaikan Ketum PBNU Said Aqil, yang dalam kesempatan tersebut menyerahkan hasil
Bahtsul Masail Maudhu'iyyah, Munas Konbes NU 2017 tentang Distribusi Lahan kepada
Menteri LHK.

Dijelaskan Said Akil bahwa salah satu dari tujuan hukum Islam atau maqashid syariah
adalah hifdz an-nafs (memelihara jiwa) dan hifdz al-mal (menjaga harta). Salah satu bagian
dari hifdz an-nafs adalah hidup layak, dan salah satu bagian dari hifdz al-mal adalah
keseimbangan ekonomi (attawazun al-iqtishadi). Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah
antiketimpangan, termasuk di dalamnya ketimpangan ekonomi.

"Maka negara memiliki tanggung jawab besar menciptakan keseimbangan ekonomi melalui
pendekatan preventif dan kuratif," kata Kiai Said.

Menurutnya selama ini sudah terjadi ketimpangan sosial. Maka ada empat jalan keluar yang
bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menarik kembali tanah yang didistribusikan oleh
pemerintah secara berlebihan. Kedua, menarik kembali tanah Hak Guna Usaha yang tidak
dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Ketiga membatasi Hak Guna Usaha untuk pengusaha, baik jumlah lahan maupun waktu
pengelolaan dengan prinsip keadilan.

Keempat, mendistribusikan tanah yang dikuasai negara untuk fuqara wal masakin (para fakir
miskin), baik dalam bentuk tamlik atau ghairu tamlik (membagi dua) dengan prinsip keadilan.

Kesejahteraan Rakyat

Dalam kesempatan ini juga, Menteri Siti Nurbaya kembali menegaskan, bahwa di era
Presiden Jokowi, kini hak pengelolaan hutan benar-benar diperuntukkan bagi kesejahteraan
rakyat.

"Melalui Reforma Agraria, tanah kini diberikan izin legalnya kepada masyarakat petani.
Sedangkan melalui Perhutanan Sosial, rakyat bisa mendapat akses untuk mendapatkan lahan

21 NU dan Perhutanan Sosial


dalam jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang dengan periode yang sama. Kini hak
pengelolaan hutan sudah kembali untuk rakyat," tegas Siti Nurbaya.

Selain membahas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, juga dibahas kerja sama
mengatasi persoalan sampah, perubahan iklim dan membentuk masyarakat peduli
lingkungan.

Siti Nurbaya mengatakan, semua program kerja KLHK tersebut akan lebih maksimal jika ada
kerjasama antara pemerintah dengan kelompok masyarakat, terlebih lagi dengan ketokohan
organisasi NU yang begitu luas.

"Tadi kami juga membahas kerja lapangan pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan circular
economy. Tindak lanjut disiapkan pada level teknis lapangan," lanjutnya.

"Saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi, atas kepedulian warga NU pada
hutan dan lingkungan," pungkas Siti Nurbaya.

Selanjutnya, kegiatan serupa juga akan dilaksanakan kepada PP Muhammadiyah dan MUI,
sebagaimana telah diagendakan KLHK dalam rangka mewujudkan kebijakan keadilan
ekonomi masyarakat.

Selain Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, dan para Dirjen, turut hadir
mendampingi Menteri LHK, Penasehat Senior Menteri LHK, Sarwono Kusumaatmaja, Staf
Khusus Menteri LHK Bidang Koordinasi Jaringan LSM dan Analisis Dampak Lingkungan,
Hanni Adiati, Chalid Muhammad, dan Suryo Adi Wibowo.

Sementara dari PBNU turut hadir Waketum H Maksum Mahfoedz, Ketua PBNU Sultonul
Huda, Ketua Manan Suryaman, Wasekjen Andy Najmi,Wasekjen Imam Pituduh, Wasekjen
Suwadi Pranoto, Ketua LPBI PBNU M Ali Yusuf, dan Ketua LAZISNU Syamsul Huda. (lhk)

Kemen LHK Jalin Kerjasama NU


Kembangkan Perhutanan Sosial
Wednesday, 11 April 2018 | 19:43 WIB
477

22 NU dan Perhutanan Sosial


klhk jalin kerjsama NU pengembangan perhutanan sosial
Tropis.co | Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjalin
kerjasama dengan NU dalam upaya mempercepat pengembangan perhutanan
sosial. MOU ditandatangani bersama Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dengan Ketua Umum NU Said Aqil, di Jakarta,
Rabu.

Kata Siti Nurbaya, Pemerintah berusaha mempercepat proses pemanfaatan


aset hingga terjadinya pemerataan ekonomi secara wujud nyata di lapangan.
Kini telah alokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk Perhutana
sosial, 4,7 juta hektar redistribusi melalui program TORA – Tanah Objek
Reformasi Agraria.

Sementara Ketua Umum NU Said Aqil mengatakan, dilibatkanya warga NU


dalam program Perhutanan Sosial sangat tepat. Sebab sebagian besar warga
NU bermukim di sekitar kawasan hutan dalam kondisi banyak yang miskin.
Hanya Said minta agar warga NU jangan diberikan “tulang” atau kawasan
yang bercadas, jurang, tapi berikanlah kawasan yang masih potensial.

23 NU dan Perhutanan Sosial


“Tidak salah KLHK bekerjasama dengan NU, selain karena warganya sebagian
besar berada di sekitar kawasan hutan, dalam kondisi ekonomi yang belum
baik, NU tidak berorientasi profit, bersama NU program perhutanan sosial ini
akan jalan,”kata Said Aqil.

Menteri LHK Siti Nurbaya


Temui MUI Bahas
Perhutanan Sosial
Kamis, 11 Januari 2018 19:29 WIB

Ist
Menteri Siti Nurbaya dan MUI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan


Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan jajaran Kementerian LHK kembali
melanjutkan silaturahmi dan diskusi dengan Ormas keagamaan membahas
program kementeriannya, antara lain program kehutanan sosial untuk
membangkitkan ekonomi masyarakat.

24 NU dan Perhutanan Sosial


Setelah sebelumnya mendatangi Kantor PBNU dan Kantor Muhammadiyah
serta berdiskusi dengan para pimpinan Ormas Islam terbesar di Tanah Air itu,
kemarin, Menteri LHK dan jajarannya, kemarin, mendatangi Kantor Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan diskusi dengan para pimpinan MUIdan ulama.
Langkah ini juga akan dilanjutkan dengan PGI dan Ormas lain.
Ketua MUI KH Ma'ruf Amin sebagai tokoh utama dalam diskusi tersebut
menyambut gembira langkah yang ditempuh Menteri Siti Nurbaya ini.
Dalam silaturahmi dan diskusi, Rabu (10/1) terdapat kesamaan pandangan
antara Kementerian LHK dengan MUI dalam beberapa topik yang diangkat,
antara lain terkait program perhutanan sosial yang diharapkan mampu
membangkitkan ekonomi masyarakat dengan tetap menjaga keragaman
hayati.
Menteri Siti Nurbaya mengatakan, selama ini konsesi pengelolaan hutan jauh
lebih banyak yang diberikan kepada konglomerasi daripada kepada rakyat,
bahkan hingga 96 persen dipegang oleh korporasi raksasa, sisanya hanya 4
persen yang dikelola rakyat.
“Ini yang mau dibalik oleh pemerintah sekarang, dengan rakyat yang
mendapat prioritas utama, sehingga aroma keadilan akan lebih terasa. Ada
12.7 juta hektar lahan yang akan dibagikan bertahap untuk dikelola oleh
masyarakat,”ujar Siti.
Dalam konteks masalah ini, menurut Menteri Siti, Ormas seperti MUI, NU,
Muhammadiyah akan berperan penting menjaga supaya redistribusi konsesi
hutan ini tidak jatuh ke tangan oknum.
Topik lain yang didiskusikan dengan hangat antara lain terkait masalah isu
lingkungan, sampah, keragaman hayati.
Ketua MUI KH Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa Islam adalah ajaran yang
sangat memperhatikan masalah kebersihan, sehingga mereka pun juga ingin
mendorong supaya ajakan tentang cinta lingkungan, bersih dari sampah,
menjadi materi Khutbah yang wajib disampaikan di masjid dan pesantren.

“Bahkan MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang larangan berburu satwa langka,” katanya.
Dalam pertemuan itu juga, KH Ma’ruf Amin memberikan buku yang disusun MUI tentang Eco-
Masjid, yaitu bagaimana teknik pengelolaan masjid yang ramah lingkungan, baik dari pengelolaan
air, penggunaan energi, dan pengolahan sampah.
KH Ma'ruf Amin pun mengajak para khotib dan penceramah agar mengangkat topik lingkungan
khutbah Jumat dan ceramah keagamaan lainnya.
Begitu juga sebaliknya, Menteri Siti Nurbaya memberikan buku tentang kisah perjuangan
bagaimana kebakaran hutan yang begitu massif di tahun 2015 bisa ditekan secara signifikan di
tahun-tahun selanjutnya.
Diskusi berjalan hangat dan penuh antusiasme dari kedua pihak, dan dari pertemuan ini akan
dilanjutkan dengan membentuk tim bersama untuk membahas isu terkait perhutanan sosial,

25 NU dan Perhutanan Sosial


redistribusi lahan, sampah, supaya issue ini bisa dibahas secara berkelanjutan, tidak hanya di
silaturahmi ini. Dan untuk itu tengah dipersiapkan MoU antara Kementerian LHK dan MUI,
sehingga diharapkan kerja sama bisa semakin memberi maslahat bagi ummat.
Menteri Siti Nurbaya berharap, sinergi seperti ini bisa terus berlanjut, dan sinergi
pemerintah/umaro-ulama mampu menjadi katalis bagi semakin majunya ekonomi bangsa dalam
kerangka masyarakat madani.(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Menteri LHK Siti Nurbaya Temui MUI
Bahas Perhutanan Sosial, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/01/11/menteri-lhk-siti-nurbaya-
temui-mui-bahas-perhutanan-sosial?page=2.

Editor: Johnson Simanjuntak

Penghijauan di Graha NU Blitar


Karya_remaja in Kabupaten Malang, Malang Raya

26 NU dan Perhutanan Sosial


27 NU dan Perhutanan Sosial
Blitar Kabupaten 25 Juli 2018
LPBI NU Kabupaten Blitar lakukan penghijauan di Graha NU bersama ADM Perhutani,
Perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan Hidup. kegiatan
ini dilakukan disela-sela kunjungan Tim KLHK RI ke Graha NU untuk melakukan verifikasi
usulan program perhutanan sosial yang mana PCNU mengusulkan dapat mengakses program
ini dengan kuota seribu hektare.
Kegiatan penanaman pohon ini merupakan simbolik sebagai wujud komitmen NU untuk
mendukung program pemerintah yaitu penurunan Emisi gas rumah kaca yang dicanangkan
oleh pemerintah kabupaten Blitar.
Hadir dalam kegiatan penanaman ini Ketua NU Kabupaten Blitar KH Masdain Rifai Ahyat serta
Rois Syuriah KH Ardhani Ahmad. dalam sambutanya Ketua PCNU menyampaikan " dengan
Program perhutanan Sosial Nahdlatul ulama akan menjemput manfaat untuk meningkatkan
ekonomi umat dan menjaga lingkungan merupakan kewajiban NU guna melestarikan bumi "
Sementara itu Kepala Bidang Konservasi dan kemitraan lingkungan DLH Kabupaten Blitar Dian
Ainurrofiq menyampaikan " NU merupakan mitra strategis DLH guna membangun Lingkungan
hidup, banyak sekali kegiatan-kegiatan kerjasama DLH dengan LPBINU misalnya program Eko
Pesantren, program Eko pesantren berhasil sukses karena fasilitasi nahdlatul Ulama "
sesudah melakukan penanaman pohon di Graha NU Tim KLHK melakukan kunjungan
Lapangan guna melihat area hutan yang nantinya akan dikerjasamakan pengelolaanya kepada

28 NU dan Perhutanan Sosial


nahdlatul ulama. kegiatan kunjungan lapangan ini dipandu langsung ADM Perhutani KPH
Blitar dan ketua LPNU. begitu juga dari PCNU didampingi oleh DR H Ariif Faizin selaku wakil
ketua PCNU Kabupaten Blitar.
Nahdlatul Ulama kabupaten Blitar sangat bersemangat guna terus berkontribusi untuk
pemberdayaan umat yaitu dengan cara membangun sinergi dengan seluruh pemangku
kepentingan baik pemerintah maupun swasta. Sinergitas menjadi salah satu strategi untuk
mewujudkan kemandirian umat.

KLHK-PBNU Kerja Sama


Pelestarian Hutan
Kamis 12 April 2018 21:51 WIB

Rep: EH Ismail/ Red: Hiru Muhammad


 0

 0

29 NU dan Perhutanan Sosial


Meenteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj.
Foto: Humas KLHK.
Kerja sama sejalan dengan rekomendasi alim ulama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup


dan Kehutanan (LHK) menjalin kerja sama dengan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam hal pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya hutan dan lingkungan hidup. Kerja sama tersebut
tertuang dalam MoU atau Nota Kesepahaman yang ditandatangani
di Jakarta, Rabu (11/4).

MoU itu juga merupakan salah satu langkah percepatan realisasi re-
distribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan
Sosial (PS) dengan meningkatkan peran serta organisasi

30 NU dan Perhutanan Sosial


kemasyarakatan. Penandatanganan MoU merupakan tindak lanjut
dari silaturahim Kementerian LHK ke Kantor PBNU pada 30
Desember 2017 lalu untuk mendiskusikan mengenai program
prioritas pembangunan Kementerian LHK.

Dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (12/4), Menteri


LHK Siti Nurbaya mengatakan, ada empat isu penting terkait dengan
pembangunan LHK yang diwujudkan dalam kesepakatan bersama
tersebut, antara lain, reforma agraria yang terdiri dari program TORA
dan perhutanan sosial; pengelolaan sampah, limbah, dan bahan
beracun berbahaya (B3); perubahan iklim; dan pendidikan
lingkungan hidup.

Menurut Siti Nurbaya, pemerintah selama kurun waktu setidaknya 2-


3 tahun terakhir, berupaya mengembangkan atau menularkan rasa
keadilan dalam ekonomi di masyarakat yang dilakukan bersama-
sama dengan berbagai elemen penting bangsa, termasuk keluarga
besar Nahdlatul Ulama.

“Yang paling penting, menurut arahan Bapak Presiden Jokowi,


adalah bagaimana rasa keadilan ekonomi itu bisa betul-betul
berwujud nyata dan kita menyadari bahwa pengelola grass root yang
paling dekat kepada masyarakat adalah organisasi-organisasi
keagamaan seperti PBNU ini,” ujar Siti Nurbaya.

Menteri LHK melanjutkan, PBNU dan Kementerian LHK telah


bersama-sama dan terlibat aktif dalam serangkaian persiapan
rembuk Nasional Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk
Keadilan Sosial yang diinisiasi oleh PBNU dan Kementerian LHK
bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP). PBNU dan
Kementerian LHK telah dan akan melaksanakan Pra-Rembug RAPS
di delapan provinsi, yaitu Jawa Timur, Banten, Sumatra Selatan,

31 NU dan Perhutanan Sosial


Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jambi, dan
Kalimantan Barat.

Siti Nurbaya menambahkan, cakupan kerja sama meliputi sosialisasi


berbagai kegiatan, penelitian bersama, pendidikan dan pelatihan,
tukar-menukar informasi, peningkatan kualitas SDM, terutama dalam
perspektif agama sebagai tuntunan kehidupan sehari-hari.
“Semuanya dalam perspektif agama ini sangat penting karena akan
berlangsung dalam iklim yang sejuk,” ujar Siti Nurbaya.

Mengenai TORA dan PS, Siti Nurbaya mengungkapkan, tidak


mudah untuk mendistribusikan dan merealisasikan kedua program
tersebut. “Memang dibutuhkan masyarakat yang betul-betul siap,
dan itu hanya bisa dikelola oleh para pengelola //grass root// seperti
PBNU ini. Oleh karena itu, kita lakukan bersama-sama,” kata dia.

Siti Nurbaya pun menekankan kepada seluruh jajaran di


Kementerian LHK untuk melakukan apa yang sudah menjadi
kesepakatan bersama tersebut. “Do what you write, write what you
do. Jadi, tidak hanya ditulis, tapi tidak dilaksanakan. Yang paling
penting adalah tindak lanjut bersama-sama untuk melangkah lebih
konkret lagi,” ujarnya tegas.

Sesuai Rekomendasi Ulama

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyambut baik kerja sama
tersebut dan menyatakan hal itu sejalan dengan rekomendasi alim
ulama pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi
Besar Nahdlatul Ulama di NTB, 23-25 November 2017. Menurut
Said, Indonesia tengah menghadapi ujian kebangsaan berupa gejala
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi.

32 NU dan Perhutanan Sosial


“Saya tegaskan, kerja sama antara KLHK dan PBNU sangat tepat,
tidak keliru, dan sangat benar. Karena masyarakat sekitar hutan itu
mayoritas orang NU. Sudah saatnya pemerintah memberi perhatian
kepada kekuatan civil society sebagai pilar bangsa ini,” ujarnya.

Said Aqil juga menyampaikan, NU mempunyai amanat untuk


menjadikan agama Islam sebagai agama moderat melalui
pendekatan budaya. Selain itu, NU juga menjalankan amanat
wathoniyah untuk menjaga Tanah Air Indonesia dengan prinsip
hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari iman). Di
samping menjaga keselamatan geografisnya, juga menjaga
sumberdaya alamnya.

“Terima kasih atas kepercayaan pemerintah kepada PBNU untuk


melaksanakan program TORA dan PS. Bersama NU, insya Allah
program ini dapat berjalan karena NU tidak berorientasi profit, tapi
pengabdian kepada negara,” kata Said Aqil.

Dua Kepentingan NU soal


Pengelolaan Hutan
Oleh
Jejaring Arrahmah
-
Juli 5, 2018
4

BERBAGI
Facebook

Twitter

33 NU dan Perhutanan Sosial


Jombang,
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang, Jawa Timur mendapat
amanah sekaligus kepercayaan untuk mengelola hutan Perhutani seluas seratus
hektar. Pengelolaan sektor kehutanan merupakan hasil kerja sama Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam hal pengelolaan tersebut, Katib PCNU Jombang Ahmad Samsul Rijal
menjelaskan, NU memiliki dua kepentingan sekaligus, yakni pengelolaan hutan
produksi juga tradisi budaya Islam Nusantara.

“Sudah tepat NU Jombang diserahi tugas 100 hektar lahan hutan produksi untuk
dua kepentingan sekaligus, yakni hutan produksi dan tradisi budaya Islam
Nusantara,” ungkapnya, Kamis (5/7).

Ia menambahkan, pada titik-titik tertentu, hutan produksi dalam kelola Perhutani


terdapat kekhasan dari perspektif pendidikan, budaya, lingkungan dan sosial
keagamaan. Karenanya perlu diurus dan dikelola oleh mereka yang ahli di
bidangnya.

“Perhutani adalah institusi yang ahli dibidang produksi tanaman pokok dan
penopang sektor kehutanan. Nah, NU ahli dibidang penjagaan dan perawatan
tradisi serta budaya,” jelasnya. “Terlebih dengan sudut pandang yang menyatu
dengan komunitas bawah,” lanjut dia.

Hutan yang diamanahi untuk dikelola berada di Desa Kedunglumpang,


Mojoagung. Di dalamnya terdapat sejumlah situs seperti makam Syekh Palumbon
atau Syekh Ami Luhur juga makam Alit. Di Kedunglumpang juga terdapat situs
tua yang keberadaannya bagian dari jejak dakwah Islam sebelum Syekh Subakir.

34 NU dan Perhutanan Sosial


“Dan hak kelola kawasan tanpa merubah, terlebih merusak fungsi pokok hutan
produksi,” ujarnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ketua PCNU Jombang KH Salmanudin


Yazid Alhafid bersama beberapa pengurus NU yang lain telah membincangkan
terkait pengelolaan hutan secara langsung dengan pihak Perhutani di Pondok
Pesantren Babussalam Kalibening, Kecamatan Mojoagung, Jombang yang
diasuhnya. Kala itu juga didampingi rombongan Lembaga Pertanian NU

Sementara 100 hektar hutan yang akan dikelola terdiri dari 50 hektar dengan
status Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan 50 hektar dengan
status Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).

“Semuanya akan kita kelola dengan prinsip agar memberikan dampak yang positif
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tuturnya. (Syamsul
Arifin/Muhammad Faizin)

Soal Hutan Rakyat dan Komitmen


Lingkungan Masyarakat, Kementerian
Gandeng Organisasi Agama
oleh Lusia Arumingtyas [Jakarta] di 26 April 2018

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggandeng masyarakat


dalam upaya menjaga lingkungan. Kali ini, KLHK menandatangani nota
kesepahaman penguatan upaya bersama jaga hutan dan lingkungan, antara
lain dengan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persaudaraan Muslimin
Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.

Pada 11 April 2018, tanda tangan memorandum of understanding (MoU)


antara KLHK dan PBNU, disusul PP Muhammadiyah, pada 13 April 2018.
Adapun empat isu penting dalam kesepakatan ini antara lain, reforma agraria
terdiri dari tanah obyek reforma agraria dan perhutann sosial, pengelolaan
sampah, limbah dan bahan beracun berbahaya (B3), perubahan iklim dan
pendidikan lingkungan. Penandatangan kerjasama disusul PGI dan Parmusi.

KLHK menilai, pengelolaan dan pemulihan lingkungan perlu melibatkan


organisasi kemasyarakatan. Terutama, ormas keagamaan, dengan para
pengurus dan anggota menyentuh semua elemen masyarakat hingga akar
rumput.

35 NU dan Perhutanan Sosial


”Ormas kan sehari-hari berada di tengah masyarakat. Sebetulnya, buat
pemerintah lebih memudahkan,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.

Mengenai agenda reforma agraria dan perhutanan sosial, PBNU dan KLHK
akan lakukan pra rembug di delapan provinsi, yakni, Jawa Timur, Banten,
Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat,
Jambi dan Kalimantan Barat.

Cakupan kerjasama ini, meliputi sosialisasi kegiatan, penelitian bersama,


pendidikan dan pelatihan, tukar-menukar informasi, peningkatan kualitas
sumber daya manusia, terutama dalam perspektif agama sebagai tuntuan
kehidupan sehari-hari.

Presiden Joko Widodo, katanya, menegaskan rasa keadilan harus betul-betul


terwujud bagi masyarakat.

Siti bilang, merealisasikan Tora dan perhutanan sosial ini tidaklah mudah.
”Perlu masyarakat yang betul-betul siap. Itu hanya bisa dikelola para
pengelola akar rumput seperti PBNU. Kita lakukan bersama-sama,” katanya.

Pelibatan ormas keagamaan ini, katanya, tak hanya untuk memutus


kesenjangan sosial bagi masayrakat sekitar hutan, juga membantu KLHK
mengurangi jenjang penyuluh lapangan.

KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU mengatakan, Indonesia menghadapi


ujian kebangsaan berupa gejala kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
ekonomi. ”Kerjasama antara KLHK dan PBNU ini sangat tepat, sangat benar.
Masyarakat sekitar hutan mayoritas orang NU. Sudah saatnya pemerintah
memberikan perhatian kepada kekuatan civil society sebagai pilar bangsa
ini,” katanya.

NU, katanya, memiliki amanat wathoniyah untuk menjaga tanah air Indonesia
dengan prinsip hubbul wathin minal iman, yakni cinta tanah air bagian dari
iman. ”Di samping menjaga keselamatan geogrfis, tapi juga menjaga
sumberdaya alam.”

Untuk kerjasama dengan Muhammadiyah, kata Siti, Muhammadiyah punya


layanan kesehatan dan pendidikan, seperti rumah sakit, sekolah hingga
perguruan tinggi. Ketiganya memiliki keterlibatan masyarakat luas. Program-
program yang sudah berjalan dapat dikembangkan dalam kerjasama ini
adalah hutan pendidikan, usaha-usaha hutan produktif, pemberdayaan hutan
untuk masyarakat. Juga program SITI (sadarkan perempuan, dengan inovasi
lahan, tepat guna untuk meningkatkan income), serta program pemberdayaan
lingkungan.

Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan,


keterlibatan ormas besar seperti Muhammadiyah dan Aisyiah akan
mempercepat aktualisasi program pemerintah. ”KLHK punya legalitas

36 NU dan Perhutanan Sosial


kebijakan lahan dan akses, Muhammadiyah punya umat dan masyarakat
serta organisasi mengakar,” katanya.

Dia yakin, melalui pemasifan program akan jadi kekuatan di masyarakat yang
tak hanya merawat lingkungan dan kehutanan, juga memanfaatkan secara
produktif dan bertanggung jawab.

Haedar mengingatkan, alam bukanlah milik manusia, dan tak boleh semena-
mena. ”Jangan atas nama pembangunan tapi merusak muka bumi ini.
Masyarakat mengemban tugas dalam menjaga keseimbangan alam.”

Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK mengapresiasi inisiatif


gerakan Muhammadiyah, khusus Aisyiah yang sejalan dengan tema Hari
Lingkungan Hidup 2018. ”Beat Plastic Pollution, If you can’t reuse, refuse it.”

MoU ini, katanya, dalam isu pengelolaan sampah sudah kongkret dalam
beberapa aksi, seperti sedekah sampah dan membawa kantong belanja.
Harapannya, replikasi dan upaya pengurangan sampah ini makin masif
seluruh lini masyarakat.

Foto utama:Siti Nurbaya, Menteri LHK kala penyerahan hutan kelola warga di
Jawa Timur.Foto: Humas KLHK

(Visited 1 times, 1 visits today)

Rabu 06 September 2017, 12:41 WIB

Yuk! Ikut Festival Perhutanan Sosial


Nusantara 2017
Mega Putra Ratya - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 0 komentar

37 NU dan Perhutanan Sosial


Ilustrasi hutan tropis/ Foto: Ari Saputra

Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)


akan menggelar Festival Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa)
Tahun 2017. Festival itu akan digelar 6-8 September 2017 di
Jakarta.

"Melalui PeSoNa, di sini kami menyediakan satu ruang untuk


berkontribusi bahkan mengkritisi apa yang telah dan akan kami
(KLHK) lakukan. Di sini juga bertemu antara petani, pemegang
izin dan hak pengelolaan hutan. Melalui PeSoNA ini, menjadi
media promosi produk hasil hutan bukan kayu, bukan hanya kopi,
ada gaharu, ada tenun-tenun asli, dan ada sumber-sumber pangan
dari hutan," terang Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan

38 NU dan Perhutanan Sosial


Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Hadi Daryanto dalam
keterangan tertulis, Rabu (6/9/2017).

Festival PeSoNa merupakan ajang pertemuan antar stakeholder


(Kementerian/Lembaga, NGO/LSM, dunia usaha, Kelompok Kerja
Percepatan Perhutanan Sosial, Kelompok Tani/Masyarakat) yang
bergerak di bidang Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
sekaligus untuk mempromosikan hasil kerja yang telah dicapai
selama ini.

Festival PeSoNa Tahun 2017 yang bertema 'Saatnya untuk


Rakyat', dimaksudkan untuk membangun kolaborasi yang
produktif antara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan
dalam pemanfaatan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Tahun ini,
Festival PeSoNa akan diikuti oleh 73 partisipan, dengan jumlah
booth 117 buah yang tersebar di kompleks Gedung Manggala
Wanabakti, Jakarta.

Festival PeSoNa juga merupakan ajang sosialisasi program dan


kegiatan yang terkait dengan kegiatan Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan
Adat (HA, dan Kemitraan Kehutanan khususnya, dan KLHK pada
umumnya.

Selain pameran yang menampilkan aneka produk hasil hutan


bukan kayu oleh berbagai kelompok tani hutan, PeSoNa tahun ini
juga menghadirkan hidangan yang diolah dari bahan baku hutan
yang dibalut dalam tajuk 'Santap PeSoNa'. Tidak ketinggalan
sarasehan dan talkshow dengan tema besar 'Saatnya Rakyat
Bicara', yang diselingi penampilan seni tradisional dari berbagai
daerah.

Temu Usaha (seller meet buyer) merupakan agenda utama yang


menjadi ajang bertemunya para kelompok tani penghasil produk
Perhutanan Sosial non kayu sebagai penjual dengan calon
penyalur atau pembeli. Selain itu, diberikan ruang bagi pemuda
yang mempunyai hobi seni lukis untuk menyalurkan bakat dan
kreatifitasnya dalam event Live Mural.
(ega/nwy)

Pohon Pangan berpotensi besar menjadi komoditi unggulan Perhutanan


Sosial
Kamis, 8 Mar 2018 | 340 Dibaca

39 NU dan Perhutanan Sosial


BP2LHK Palembang (Palembang, 8/3/2018). Peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS) di Sumatera
Selatan menunjuk areal seluas 413.626 Ha sebagai potensi Perhutanan Sosial (PS). Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Selatan melaporkan bahwa sampai Desember 2017 telah terbit izin PS untuk areal seluas 46.983,32
Ha. Dari lima skema yang tersedia, Izin Hutan Desa (HD) menempati alokasi terluas, yaitu 28.880 Ha, terdiri
dari 18 Unit Hak Pengelolaan HD. Apakah tujuan PS dapat tercapai hanya dengan pengalokasian kawasan dan
izin Hak Pengelolaan? Bukankah sebagian besar areal kerja PS adalah kawasan hutan terdeforestasi?

BaLitbang LHK Palembang telah sejak tahun 2000an melakukan kegiatan litbang dan mendorong
pengarusutamaan PS. Menurut Edwin Martin, peneliti Sosiologi Kehutanan yang banyak mempelajari sistem
kehutanan masyarakat di wilayah target PS, program HD sejauh ini masih terkesan elitis. Informasi dan
pengetahuan tentang HD masih memusat di pengurus LPHD dan Kepala Desa, belum mengakar kepada
anggota yang sehari-harinya ada di lokasi HD. “Saya bertanya ke beberapa petani di lokasi HD Desa Cahaya
Alam, Tanjung Agung, Danau Gerak, dan Muara Danau, apakah mereka tahu tentang HD dan rencana
pengelolaannya, tak satupun menjawab tahu”, ujar Edwin Martin.

Bagi petani, kelancaran usahatani dalam bentuk pemeliharaan dan panen kopi adalah utama. Cara berpikir ini
tidak salah, karena makna akses dalam perhutanan sosial sesungguhnya bukan hanya keamanan berusaha

40 NU dan Perhutanan Sosial


tani (tenurial) tetapi seberapa besar aliran manfaat yang didapatkan petani dari program tersebut. “Na, salah
satu cara untuk menciptakan sistem hutan lestari sekaligus mencapai tujuan PS adalah dengan
menumbuhkembangkan potensi pohon yang telah didomestikasi petani secara lokal”, jelas Edwin Martin. Sejak
dulu hingga kini, pohon yang biasa didomestikasi petani adalah pohon pangan, yakni jenis-jenis pohon
penghasil pangan untuk keperluan subsistensi dan penghasil uang tunai (cash crops) bagi petani.

Nanang Herdiana, peneliti silvikultur Balitbang LHK Palembang, mengobservasi tutupan pohon di areal HD
Desa Cahaya Alam. Menurut catatannya, dominansi vegetasi yang ada di HD adalah kopi. Satu bidang kebun
kopi biasanya dikuasai oleh satu keluarga petani yang umumnya terdiri dari 3000 sampai dengan 4000 batang
tanaman kopi. Petani di Cahaya Alam menyebut luas satu bidang itu sebagai 70 Depe. “Dalam setiap kebun,
saya menemukan paling banyak 5 (lima) pohon pangan, berupa pohon buah seperti alpukat, nangka, dan
jambu, jarang ditemukan jenis pohon lainnya”, demikian disampaikan Nanang.

“Hamparan kebun kopi di areal HD ini sangat berpotensi diperkaya dengan pohon alpukat dan nangka, jenis ini
terbukti berbuah dan laku di pasaran”. “Untuk HD di Desa Muara Danau saya merekomendasikan jengkol dan
pinang sebagai komoditi unggulan”, tambah Nanang Herdiana.

Pak Munika, ketua LPHD Desa Cahaya Alam menyambut baik rencana riset aksi pohon pangan untuk HD.
“Areal HD itu adalah ulu ayek dusun kami, jika dihijaukan kembali dengan pohon buah pelindung kopi maka
petani anggota HD akan bertambah sumber penghasilannya”, katanya. “Nangka dan alpukat yang ada di
kebun-kebun kopi itu tumbuh sendiri, tidak secara sengaja ditanam, sekarang buahnya dicari pedagang, jadi
kami tidak hanya mengandalkan kopi nantinya”, tegas Pak Munika.

Pak Munika merencanakan bahwa jika riset aksi ini jadi dilaksanakan, maka bibit yang ditanam harus sama
atau lebih tinggi dari tanaman kopi, kurang lebih 1 M. “Dulu, orang kehutanan menanam pohon di kebun kopi
dengan bibit cuma 30 cm, tak bisa bersaing dengan kopi, tanamannya banyak yang mati”, bebernya.

Kang Saripin, teknisi Balitbang LHK Palembang meminta kelompok LPHD Cahaya Alam dan Muara Danau
mengambil peran aktif dalam riset aksi yang akan dilakukan pada tahun 2018 ini. “Kami [litbang] hanya
membantu menyibakkan ranting dan semak Pak, para petanilah yang membawa bekal dan berjalan menuju
kesejahteraan itu”, pesan dari Kang Saripin.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No: P.83/Menhut/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang


Perhutanan Sosial (PS) menjelaskan bahwa Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang
dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat
setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Riset aksi pohon pangan diharapkan menjadi
kendaraan bagi PS menuju sistem pengelolaan hutan lestari (NU-Kelti Sosial Ekonomi Kehutanan)

Ormas Siapkan Kader


Perhutanan Sosial
Koran Sindo
Minggu, 15 April 2018 - 08:19 WIB
views: 4.560

41 NU dan Perhutanan Sosial


Ormas Siapkan Kader Perhutanan Sosial. (Istimewa).
A+ A-

JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menyiapkan kader untuk


mendukung program perhutanan sosial (PS). Kader ini akan direkrut dari
sekolah, perguruan tinggi, remaja masjid serta para da’i. Selanjutnya mereka
bakal digembleng dan dilatih untuk mendukung program tersebut.

Penyediaan dan peningkatan kapasitas kader lingkungan merupakan bagian dari


memorandum of understanding (MoU) yang diteken Muhammadiyah dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat (13/4).
Sebelumnya, KLHK juga merangkul Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
untuk program yang sama.

Secara umum, kerjasama dengan Muhammadiyah yang juga melibatkan Aisyiyah


ini diarahkan pada program implementasi PS dan kawasan hutan dengan tujuan
khusus (KHDTK), serta pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan kehutanan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengapresiasi terobosan


pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui KLHK yang menggandeng
organisasi masyarakat (ormas) Islam dalam pengelolaan sumber daya alam
berkelanjutan dan berkeadilan.

Muhammadiyah sepakat bekerjasama mendorong pemerataan ekonomi dan


pendidikan di sektor kehutanan dan lingkungan hidup untuk mewujudkan
Nawacita.

42 NU dan Perhutanan Sosial


Dalam MoU tersebut para pihak sepaham untuk melaksanakan identifikasi lokasi
calon PS dan permasalahannya, serta mempercepat terbitnya hak atau izin PS
pada calon lokasi sasaran. Selain itu melakukan pemberdayaan dan peningkatan
kapasitas kelompok tani calon penerima atau pengelola PS, beserta
pendampingnya.

KLHK dan Muhammadiyah juga akan bekerjasama meningkatkan efektifitas


pengelolaan KHDTK di lingkungan kampus. Selain itu menerapkan konsep green
school, green campus, green mosque, dan green hospital.

"Alhamdulilah ibu menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Siti Nurbaya)


menggandeng ormas yang punya dasar lingkungan hidup, termasuk
Muhammadiyah. Ini perlu juga dilakukan kementerian lain supaya jangan salah
ambil keputusan," katanya.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa kerja sama dengan


Muhammadiyah sangat penting. Terlebih lagi sesuai arahan Presiden Joko
Widodo, program pemerintah khususnya di KLHK harus dapat mewujudkan
keadilan ekonomi bagi masyarakat.
Contohnya Muhammadiyah sudah memiliki lahan di berbagai universitas untuk
hutan pendidikan, seperti di Sumut, Palangkaraya, dan Bengkulu.(Neneng
Zubaedah)

Reforma Agraria Keniscayaan


Pewujudan Keadilan Sosial
3 MINUTE

READ

DAULATANI-Indonesia dilaporkan independen.co.uk menjadi negara nomor empat


tertinggi kesenjangan ekonomi setelah Thailand, India dan Rusia. Faktanya tercatat 10
orang di Indonesia menguasai asset hingga 70% di Indonesia. Kondisi ini yang menjadi
satu alasan agenda reforma agraria pemerintahan Jokowi-JK. Dikatakan Presiden Jokowi
bahwa reforma agraria harus menjadi cara baru bukan saja untuk menyelesaikan
sengketa agraria antara perusahaan dengan masyarakat atau masyarakat dengan
negara, tapi juga cara baru mengatasi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan sosial
ekonomi, khususnya di pedesaan.
Halaqoh Agraria bagi kiai muda yang dilaksanakan Sabtu, 6 Januari 2018 di Ponpes Bani
Umar Al Karim Kaliwungu Kendal dimaksudkan untuk mensosialisasikan hasil Munas
Alim Ulama NU di Lombok tahun 2017 lalu, sekaligus mengkaji lebih nyata bagaimana
reforma agraria dapat dilaksanakan. Hadir menjadi keynote speaker KH. Yahya C.

43 NU dan Perhutanan Sosial


Tsaquf, Katib Am Syuriah PBNU. Sedangkan tiga pembicara KH. Abdul Majid, Ketua
Tanfidziyah PCNU Kab. Kendal; Dr. Tri Chandra Aprianto, Satuan Kerja Reforma Agraria
KSP dan KH. Moh. Imam Aziz, Ketua Tanfidziyah PBNU.

Kiai Yahya dalam paparannya menegaskan tugas utama NU untuk menjadi wahana
konsolidasi aspirasi rakyat bagi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apa yang harus dilakukan negara harus disuarakan NU, karena NU hampir separo
Indonesia. Cacah jiwa rakyat Indonesia yang berafiliasi kepada NU hampir 90 juta. Hajat
90 juta rakyat itu tanggungjawab negara. Bodoh-miskinnya itu bukan tanggungjawab NU,
tetapi negara. NU bertugas menjadi konsolidator aspirasi rakyat agar dipenuhi negara,
demi keadilan sosial dan ekonomi.

Realitasnya Indonesia hari ini sangat timpang dalam distribusi sumber daya alam. Artinya
ada ketidakadilan sosial dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Ketimpangan
kepemilikan atas sumber agrarian itu terjadi justru dari kebijakan pemerintah itu sendiri.
Kata lain, negara mendorong dan melanggengkan ketimpangan sosial itu. Hal ini
dikonfirmasi oleh Joseph S. Stiglitz, penerima nobel ekonomi tahun 2001 dari Amerika
Serikat, sebagaimana dikutip Kiai Yahya.
Sementara Kiai Imam memulai paparan dari sejarah reforma agraria di Indonesia. Di
Indonesia umumnya dan khususnya bagi orang NU, kata agraria memiliki stigma yang
dalam. Reforma agraria dulu dikenang dengan istilah land reform dengan obyek tanah-
tanah pribadi. Hari ini reforma agraria dihidupkan lagi oleh Presiden Jokowi dengan
program redistribusi atas tanah lahan negara dan perhutani sosial. Bagi saya soal
sumber agraria ini penting karena berhubungan erat dengan upaya mengurangan
ketimpangan ekonomi dan penciptaan keadilan sosial. Bagaimana mungkin 10 orang
menguasai 70% asset agrarian kita?, ungkap Kiai Imam. Kemiskinan menjadi akut
karena negara gagal mengatur sumber agrarian itu.

Kaitan hal ini, Munas Alim Ulama NU di Lombok tahun 2017, menawarkan 4 langkah.
Pertama, menarik kembali tanah lahan yang berlebihan diberikan ke pihak-pihak tertentu.
Kedua, menarik lagi tanah HGU yang tidak digunakan dan dikelola secara benar. Ketiga,
membatasi waktu dan jumlah tanah lahan yang dikuasai. Bagaimana hak penguasaan
bisa sampai 90 tahun? Keempat, mendistribusikan tanah lahan yang dikuasai negara
yang tidak lagi produktif untuk rakyat miskin untuk dimiliki maupun untuk digunakan
sebagai basis usaha.
Empat tawaran NU ini menguatkan program redistribusi tanah lahan dan perhutanan
sosial yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK. Namun demikian, realitasnya

44 NU dan Perhutanan Sosial


ketimpangan sosial dan ekonomi ini masalah besar yang dihadapi Indonesia hari ini.
Bangsa Indonesia memerlukan semangat bersama untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh bangsa Indonesia dengan membangun konsensus konsensus yang lebih
memihak dan menjamin keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakayat Indonesia dan
mencegah proses ketimpagan akibat privatisasi dan liberalisasi ekonomi.

Dr. Tri Chandra Aprianto, Satuan Kerja Reforma Agraria KSP, menyatakan bahwa
reforma agraria bukan hanya sebatas redistribusi tanah. Tetapi sebuah konsep
pembangunan nasional. Banyak negara di dunia menggunakan konsep reforma agraria
untuk membangun ekonomi nasionalnya. Makanya yang perlu dipikirkan adalah konsepsi
ekonomi apa yang harus dipikirkan setelah reforma agraria dilaksanakan dan konteks
Indonesia, bagaimana desa terlibat di dalamnya. Karena ini Presiden Jokowi melalui
Menteri KLHK sudah menyusun program reforma agraria, termasuk mendiskusikan hal ini
dengan PBNU. Distribusi tanah lahan bagi petani miskin itu juga dipikirkan bagaimana
penguasaan lahannya, yakni khususnya petani miskin yang tidak punya lahan, tata
penguasaannya, tata guna penguasaan terkait jenis usaha dan bagaimana pasar yang
perlu disiapkan.
Kiai Yahya menyebutkan bahwa kasus yang menimpa Kiai Aziz, Rais Syuriah Ranting NU
Surokontowetan Kendal, tidak bisa dipisahkan dari kasus-kasus konflik sumber agraria
pertarungan negara vs rakyat. Secara prosedural seolah olah kasus-kasus itu selesai
secara hukum. Tetapi kenyataanya menjauh dari rasa keadilan terhadap pribadi maupun
petani Surkonto. Hukum menjadi tidak sebanding dengan keadilan sosial.

Kasus Surokonto saya meyakini ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan
persoalan tambang semen di pegunungan Kendeng utara. Terkesan dipaksakan oleh
pemerintah dengan BUMN tertentu dan sejumlah perusahan swasta besar bahkan
perusahaan asing, ungkap Kiai Yahya. Ujungnya, petani menjadi korban dari praktik yang
seolah olah lagal, tetapi mengandung kecurangan yang tidak adil dan merugikan petani.
Dalam kasus Kendeng misalnya, ada kecurangan dalam Amdal, ijin curang, atau tiba-tiba
menteri mengubah status lahan. Seperti yang terjadi di Surokonto, Banyuwangi,
Sumatera Utara dan lainnya di mana petani bertahun-tahun menjadi penggarap tanah
tiba-tiba dipinggirkan dan tiada jaminan pengakuan, hukum dan political will dari
pemerintah untuk membela mereka. Artinya dengan semangat Presiden Jokowi untuk
redistribusi, maka seharusnya kriminalisasi petani harus dihapuskan dan Kiai Aziz dan
petani lainnya dibebaskan.
Konteks makro di atas, NU punya peran besar sebagai wahana konsolidasi aspirasi
rakyat agar kebijakan negara berubah, sejalan amanat Muktamar Situbondo tahun 1984.

45 NU dan Perhutanan Sosial


NU harus independen. Soal kompetisi kekuasan politik hanyalah urusan taktis. Karena
kesetiaan NU hanya pada rakyat. Karena itu NU pasti akan sejalan dengan mereka yang
berjuang menghapuskan ketimpangan ekonomi dan mewujudkan keadilan, tegas Kiai
Yahya.

Penulis berita: Saiful Huda Shodiq, 08112794345, saifulsyarikat@yahoo.co.id

http://www.nu.or.id/post/read/85026/untuk-keadilan-sosial-dan-ekonomi-gus-yahya-sebut-
tugas-utama-nu

Perhutanan Sosial dan Tata Cara


Permohonannya

Tim GCS-Tenure Project bekerja sama dengan SAFIR telah membuat 8 buah
poster mengenai 5 skema perhutanan sosial dan tata cara permohonannya
berdasarkan peraturan terbaru PermenLHK No.83/2016. Peraturan terbaru
tentang perhutanan sosial memungkinkan masyarakat memperoleh salah satu
dari 5 skema yang tersebut dengan prosedur yang lebih cepat dan sederhana.
Poster perhutanan sosial yang dibuat ini untuk membantu masyarakat
memahami secara mudah alur dan persyaratan dalam permohonan 5 skema
perhutanan sosial yaitu Hutan Desa/HD (poster 1 dan 2), Hutan
Kemasyarakatan/HKm (poster 3 dan 4), Hutan Tanaman Rakyat/HTR (poster 5
dan 6), Hutan Adat/HA (poster 7) dan Kemitraan Kehutanan/KK (poster 8).
Prosedur permohonan perhutanan sosial terbaru terbukti mampu meningkatkan
jumlah hak maupun izin perhutanan sosial yang diterbitkan oleh pemerintah
sekarang dibanding pada periode pemerintahan sebelumnya. Namun demikian,
sejumlah kendala masih perlu diantisipasi, misalnya dalam proses permohonan
hutan adat yang mensyaratkan adanya peraturan daerah (Perda) yang
menetapkan masyarakat hukum adat terkendalam karena perda yang tidak
kunjung diterbitkan oleh Pemda dan DPRD setempat. Kementerian LHK saat
telah dan sedang memprioritaskan pemenuhan target perhutanan sosial 12,7
juta Ha. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat

46 NU dan Perhutanan Sosial


untuk terlibat aktif sebagai aktor dalam pengelolaan hutan agar masyarakat
lebih sejahtera dan lestari hutannya.

Authors: Firdaus, A.Y.

Topic: tenure, land use, forest management

Geographic: Indonesia

Publisher: Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia

Publication Year: 2017

Penulis: Melki Pangaribuan13:26 WIB | Rabu, 21 Desember 2016

Presiden Realisasikan Perhutanan


Sosial di Kalteng
Mensejahterakan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan

Presiden Joko Widodo menyerahkan perizinan penggunaan hutan sosial di Pabrik Barecore PT Nagabhuana
Aneka Piranti – Unit VI, Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah, hari Selasa (20/12). (Foto: BPMI
Setpres)

47 NU dan Perhutanan Sosial


PULANG PISAU, SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo menyerahkan perizinan
penggunaan hutan sosial di Pabrik Barecore PT Nagabhuana Aneka Piranti – Unit VI,
Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah, hari Selasa (20/12) guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Pemerintah pada periode 2015-2019 mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta
hektare untuk dijadikan Perhutanan Sosial. Menurut datanya, masih ada 25.863 desa di
dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang 70 persen-nya menggantungkan hidup dari
sumberdaya hutan.

“Bahkan masih ada 10,2 juta penduduk kita yang belum sejahtera di dalam kawasan
hutan yang tidak memiliki aspek legal terhadap sumberdaya hutan," kata Presiden
Jokowi saat menyampaikan sambutannya.

Menurut Presiden, semangat perhutanan sosial adalah memunculkan keadilan sosial


bagi masyarakat yang hidup di daerah perhutanan sembari menjaga kelestarian sumber
daya hutan. Caranya melalui perizinan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan
negara dengan skema hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat dan kemitraan
kehutanan.

"Tapi yang memiliki hak untuk mendapatkan lahan tanah adalah sekali lagi rakyat,
petani, kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)," katanya.

Presiden mengatakan, sebagai upaya agar lahan hutan tersebut menjadi produktif, selain
pemanfaatan kawasan hutan sebagai area penanaman, perhutanan sosial juga akan
dikolaborasikan dengan industri pengolahan sumber daya hutan agar produk yang
dihasilkan petani dapat berorientasi ekspor.

"Di sini akan menjadi contoh kemudian yang lain-lain diteruskan karena ini ngantri sekali,
kemudian dengan model perhutanan sosial kita ingin kembali kepada kejayaan industri
kehutanan dengan basis hutan tanaman rakyat," kata Presiden.

Baca juga: Jokowi Instruksikan KLHK Permudah Akses Perhutanan Sosial


Presiden meminta setelah penyerahan izin tersebut, untuk segera dibangun pabrik
pengolahan kayu lapis yang nantinya akan membeli kayu hasil tanam masyarakat.

"Nanti pabriknya beli wajar tapi masyarakat sama menjualnya juga dengan harga wajar
jangan minta harga tinggi. Saya harapkan akan menjadi penggerak ekonomi di Kabupaten
Pulau Pisang," kata Presiden.

Di akhir sambutannya, Presiden berpesan agar masyarakat benar-benar memanfaatkan


lahan yang sudah diberikan izinnya untuk dikelola. Dia berjanji akan selalu mengecek
pemanfaatan perhutanan sosial tersebut.

"Saya akan cek lagi, dimanfaatkan produktif tidak, ditanami tidak atau hanya dibiarkan,
apalagi ada yang jual, hati-hati, hati-hati pasti saya tahu karena akan saya ikuti terus,"
kata Presiden.

48 NU dan Perhutanan Sosial


Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, proyeksi Perhutanan
Sosial di Kalimantan Tengah mencapai 1,6 juta hektare. Adapun Presiden Jokowi hari ini
menyerahkan 1.885 hektare untuk usaha izin Usaha Hutan Kemasyarakatan dengan
pemegang izin 183 Kepala Keluarga (KK).

Hutan desa 7.685 hektare dengan pemegang izin 1.455 KK. Hutan Tanaman Rakyat 510
hektare dengan pemegang izin 354 KK, dan izin Hutan Tanaman Rakyat di kabupaten
sampit seluas 1542 hektare.

Turut mendampingi Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara. Iriana Joko Widodo dalam
acara ini, Menteri Koordinator bidang Pembangunam Manusia dan Kebudayaan Puan
Maharani, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Kabinet
Pramono Anung, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan Bupati Bupati
Pulang Pisau Edy Pratowo. (Setpres)
Editor : Eben E. Siadari

JUMAT 05 JANUARI 2018 19:44 WIB

DIBACA (1752)

KOMENTAR (0)

Menyoal Luas Kawasan Hutan


Minimal 30%?

Menurut UU Kehutanan Nomor 41/1999 Pasal 18 menyatakan, luas kawasan hutan minimal
30% dari luas DAS atau Pulau dengan sebaran secara proporsional. Kita perlu menyikapi

49 NU dan Perhutanan Sosial


secara bijaksana, karena luas kawasan hutan Indonesia sekarang sudah jauh berkurang
dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu.

UU Kehutanan No. 41/1999 merupakan produk hukum kehutanan era Reformasi, sebagai
pengganti UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan sebelumnya yang
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip penguasaan dan pengurusan hutan.
Semangatnya, untuk mempertahankan keberadaan hutan secara optimal, menjaga daya
dukungnya secara lestari, dengan pengurusannya secara berkelanjutan dan berwawasan
mendunia, adil dan bijaksana, professional, menampung aspirasi dan peran masyarakat, adat
dan budaya yang berlandaskan norma hukum nasional.

Dengan semangat tersebut, Pasal 18, UU No. 41/1999 memuat ketentuan batasan luas
kawasan hutan minimal 30% dan mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menetapkan
dan mempertahankan kecukupkan luas kawasan hutan dan penutupan kawasan hutan setiap
Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Pada UU No. 5/1967 sebelumnya, Pasal 7, juga
telah memuat batasan luas kawasan hutan minimal , tetapi tidak menyebutkan angka
persentase, melainkan dengan kriteria kualitatif luas kawasan hutan yang cukup dan letak
yang tepat.
BLOG TERKAIT
 Setiap Kita Punya Kewajiban Tanam dan Rawat 25 Pohon
 Pesta Ikan di Dusun Njelok
 Kita, Industri, dan Penghijauan Lahan
 Kumbang 60+, Lebih Dekat dengan Konservasi Lingkungan
 Ikan Larangan, Mitos Atau Fakta?

Rasio Luas Kawasan Hutan

Pada waktu Wapres Yusuf Kalla memberikan sambuatan pembukaan KKI Ke VI bulan
Nopember tahun 2016 yang lalu, menanyakan: “ Berapa luas riil hutan Indonesia yang berisi
pohon? Bukan hutan yang isinya ilalang …”, tegasnya. Berkurangnya luas kawasan hutan
sekarang ini merupakan suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Ini sebagai
konsekuensi dari pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 2,5 kali lipat, dari
tahun 1960 sebanyak ±93,6 juta jiwa menjadi ±260 juta jiwa pada tahun 2017. Demikian pula
dengan pesatnya perkembangan pembangunan di berbagai sektor pertanian, perkebunan,
transmigrasi, pertambangan, pengembangan perkotaan, infrastruktur, dll. Tentu saja kondisi
luas kawasan hutan sekarang ini tidak mungkin dikembalikan luasnya sama dengan luas
kawasan hutan pada waktu 50 tahun yang lalu.

Luas daratan Indonesia saat ini adalah seluas ± 1.913.578 km2 atau ± 191.357.800 hektar
dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (BPS, 2017). Sedangkan luas kawasan hutan
Indonesia adalah ± 120.773.440 hektar (Statistik Kementerian LHK, 2015). Secara nasional
rasio luas kawasan hutan terhadap luas daratan adalah sebesar 63,1%. Ini berarti, dua kali
lipat lebih besar dari batasan luas kawasan minimal 30%, sebagaimana ketentuan yang diatur
menurut UU No. 41/1999. Informasi dari penafsiran citra satelit Landsat 8 OLI (2013), rasio
luas areal berhutan terhadap luas daratan Indonesia adalah 51,53 %. Dengan demikian
secara nasional rasio luas kawasan hutan terhadap luas daratan masih aman. Lalu, mengapa

50 NU dan Perhutanan Sosial


banyak kalangan termasuk para Rimbawan yang mengkawatirkan terhadap keadaan rasio
luas kawasan hutan?

Memang, di beberapa wilayah daratan dan DAS terutama di Pulau Jawa, kisaran rasio luas
kawasan hutannya berada dibawah batas minimal. Luas daratan Pulau Jawa ±132.107 km2
atau ±13.210.700 hektar, sedangkan luas kawasan hutannya ±3.532.600 hektar (Statistik
Kementerian LHK, 2015). Ini artinya, rasio luas kawasan hutan terhadap luas daratan Pulau
Jawa adalah 26,7%, lebih rendah dari batasan minimal 30% berdasarkan UU Kehutanan
No.41/1999. Dilain pihak, jumlah penduduknya terus bertambah dan sekarang ini telah
mencapai ±149 juta jiwa atau ± 57% dari jumlah populasi Indonesia (BPS, 2017).
Konsekuensinya, kebutuhan lahan oleh masyarakat terus meningkat. Hal ini sering
mengakibatkan terjadinya konflik sosial, perambahan di kawasan hutan. Keadaan inilah yang
menjadi kekhawatiran berbagai kalangan terutama bagi para Rimbawan.

Angka Misterius 30%?

Para Rimbawan penyusun UU No.41/1999 pada waktu itu tentu sudah memikirkan secara
seksama dengan argumentasi yang kuat, apa alasan dan tujuan mencantumkan kriteria luas
kawasan hutan minimal 30%. Namun demikian, beberapa kalangan termasuk para Rimbawan
ada yang menyebut angka 30% itu sebagai “angka misterius”. Karena itu, diperlukan
penjelasan dan argumentasi yang tidak cukup dengan teori dan ilmu kehutanan saja. Kriteria
luas kawasan hutan minimal 30% harus dapat dipahami dan dapat dijelaskan kepada publik
secara kualitatif dan kuantitatif yang didukung oleh data dan informasi hasil penelitian
berdasarkan perkembangan dan kemajuan IPTEK.

Hasil penelitian “Minimum forest cover for sustainable water flow regulation in a watershed
under rapid expansion of oil palm and rubber plantations” oleh Tim Peneliti dari IPB_University
of Göttingen, German_Fakultas Pertanian, Universitas Jambi (Journal: Hydrol. Earth Syst. Sci.
Discuss., doi:10.5194/hess-2017-116, 2017), dapat menjadi salah satu referensi ilmiah untuk
mendukung penjelasan kriteria luas kawasan hutan minimal. Penelitian dilakukan terhadap 6
(enam) DAS di Provinsi Jambi. Metode penelitian dengan modeling menggunakan software
SWAT (Soil and Water Assessment Tool), variabel yang diamati runoff coefficient (C) dan
baseflow index (BFI). Kesimpulan hasil penelitian, bahwa diperlukan rasio luas hutan terhadap
luas DAS lebih dari 30% dan tanaman perkebunan kurang dari 40%, agar nilai runoff
coefficient DAS lebih kecil dari 0,35.

Studi Kasus tentang “Penilaian Status Daerah Aliran Sungai” (AGRITECH, Vol. 29, No. 4
November 2009), di Sub DAS Serang luas 26. 882 hektar, BPDAS-HL Serayu Opak-Progo,
Jawa Tengah, diperoleh informasi yang lebih komprehensip. Sebanyak 9 (sembilan) variabel
telah diamati meliputi: 1) KRS ( koefisien rejim sungai), 2) koefesien aliran, 3) IPA (indeks
penggunaan air), 4) sedimentasi, 5) kualitas air permukaan, 6) air tanah, 7) erosi tanah, 8)
IPLM (indeks penutupan lahan permanen), dan 9) sosial ekonomi. Kondisi tata guna lahan
DAS Serang terdiri dari kawasan hutan 4,2 %, lahan pertanian 58,5% dan lainnya 37,3%.
Meskipun luas kawasan hutan di DAS Serang jauh dibawah luas minimal, tetapi hasil kajian
menunjukkan bahwa berdasarkan skroring status DAS Serang termasuk dalam kondisi baik
atau masuk klasifikasi DAS yang dipertahankan. PP No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS,

51 NU dan Perhutanan Sosial


Pasal 12, mengklasifikasikan DAS kedalam 2 (dua) kategori, yaitu DAS yang dipulihkan atau
kondisinya rusak dan DAS yang dipertahankan atau kondisinya masih baik.

Meskipun belum dapat menjelaskan secara lengkap dan tuntas, tetapi informasi dari dua hasil
penelitian tersebut dapat sedikit mengungkap misteri batasan luas kawasan hutan minimal,
bahwa angka 30% tidak bersifat mutlak tetapi fleksibel dengan toleransi. Berkurangnya luas
kawasan hutan minimal dalam DAS yang berfungsi sebagai pengendali banjir, erosi,
sedimentasi dan kualitas air, dapat digantikan oleh rekayasa IPTEK dan input teknologi
konservasi tanah dan air (KTA). Ini tidak berarti bahwa semua fungsi hutan dalam ekosistem
DAS dan bentang alam dapat tergantikan. Fungsi hutan dalam pengendalian lingkungan dan
iklim, penyeimbang ekosistem, pelestarian plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, serta
penghasil O2, bersifat mutlak dan tidak dapat tergantikan.

Pertanyaannya, berapa “tolerable limit” pengurangan luas kawasan hutan minimal 30% ? Hal
ini menjadi PR besar bagi para pengambil kebijakan kehutanan, Rimbawan, praktisi dan para
Peneliti berbagai disiplin ilmu untuk menjawabnya. Data dan informasi hasil monitoring DAS
oleh BPDAS-HL, BBWS dan hasil interpretasi citra resolusi tinggi dari seluruh DAS di
Indonesia dapat menjadi bahan penelitian awal. Dukungan kemajuan IPTEK dan ketersediaan
program software pengolahan data, analisis dan modeling berbagai disiplin ilmu akan
menghasilkan informasi hasil penelitian yang lebih akurat, komprehensip dan akuntabel.

Mitigasi dan Rekayasa IPTEK

Kecenderungan luas kawasan hutan minimal pada wilayah DAS dan atau pulau yang terus
berkurang, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pesatnya perkembangan
pembangunan di Indonesia, perlu disikapi Pemerintah dan Para pihak secara bijaksana. Sejak
dini dan dalam lingkup nasional perlu dirancang strategi mitigasi dampak berkurangnya luas
kawasan hutan minimal 30%. Paling tidak dibutuhkan 3 (tiga) strategi mitigasi yang perlu
dipersiapkan, yaitu 1) Kemauan politik dan komitmen Pemerintah dan Para pihak, 2)
Realokasi dan transformasi fungsi kawasan hutan, dan 3) Rekayasa IPTEK dan input
teknologi.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 dan Pasal 65, PP No. 26/2008 tentang RTRWN
(Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional), PerMen LHK No. P.83/2016 dan PerMen LHK No.
P.39/2017 tentang Perhutanan Sosial, strategi realokasi dan transformasi fungsi kawasan
hutan, dapat ditempuh melalui 3(tiga) pendekatan. Pertama, Penetapan dan perluasan
kawasan lindung pada lahan masyarakat yang memenuhi kriteria dan memiliki kemampuan
tinggi sebagai kawasan resapan air hujan dan pengontrol tata air permukaan. Kedua,
Penetapan dan perluasan lahan masyarakat yang memenuhi kriteria kawasan untuk budidaya
hutan rakyat (HR). Ketiga, Pemberian akses masyarakat dalam pemanfaatan SDH.

Selanjutnya, UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA), menjadi landasan
hukum yang kuat untuk mengimplementasikan strategi rekayasa IPTEK dan input teknologi
dalam mitigasi dampak berkurangnya luas kawasan hutan minimal. Ketentuan dan kewajiban
melaksanakan KTA, antara lain tertuang dalam Pasal 13, bahwa penyelenggaraan KTA
dilaksanakan pada lahan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Konservasi tanah dan air
dilakukan dengan metode vegetatif, agronomi, sipil teknik bangunan KTA, dan metode lainnya
sesuai dengan perkembangan IPTEK dan teknologi.

52 NU dan Perhutanan Sosial


Jakarta, 10 Desember 2017

Penulis,

Soeparno W, MSc.

Jumat, 21 Mei 2010

Mengubah Status Kawasan


Hutan Ada di Tangan Menteri
Sikap daerah yang gampang memberikan izin lokasi bagi
perkebunan dikritik.
Mys
0
Undang-Undang Kehutanan tegas menyebutkan kewenangan mengubah
status suatu kawasan hutan ada di tangan Menteri Kehutanan. Namun dalam
praktik, seiring semangat otonomi daerah, kewenangan itu sering dilangkahi.
Di satu sisi, kepala daerah dengan gampang memberikan izin lokasi kepada
perusahaan meskipun izin itu pada akhirnya akan mengubah kondisi suatu
hutan. Di sisi lain, jumlah daerah pemekaran terus bertambah sehingga
menyulitkan kontrol Pusat. Kini, Indonesia memiliki 534 kabupaten/kota.

Kewenangan Menteri Kehutanan mengubah status suatu kawasan hutan


diingatkan kembali Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan, Dwi Sudarto, dalam “Indonesian Palm Oil Business
and Legal Conference 2010” di Jakarta, Selasa (18/5). Lokakarya yang
diselenggarakan Institute for Advanced Learning and Education itu membahas
berbagai aspek hukum dan bisnis perkebunan kelapa sawit seiring terbitnya
sejumlah peraturan baru yang relevan.

Belum lama ini Pemerintah memang menerbitkan sejumlah regulasi. Antara


lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, PP No. 18 Tahun 2010
tentang Udaha Budidaya Tanaman, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 14
Tahu 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya
Kelapa Sawit.

Berdasarkan PP 10, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan


dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan, aspirasi
masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan
manfaat kawasan hutan. Kalau peruntukan dan fungsi suatu kawasan hutan
mau diubah, Menteri mengeluarkan penetapan setelah mendapatkan
masukan dari tim penelitian terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan
dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi. Perubahan
peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui tukar menukar
kawasan hutan, atau pelepasan kawasan.

53 NU dan Perhutanan Sosial


Menurut Dwi, pada dasarnya status suatu kawasan hutan ‘halal’ untuk diubah
sepanjang sesuai kewenangan. Yang terjadi di lapangan, sejumlah kepala
daerah langsung memberikan izin denga tujuan memperoleh PAD. Padahal,
kata Dwi, “tidak ada kewenangan Pemda untuk mengubah status kawasan
hutan”.

Akibat gampangnya kepala daerah memberikan izin, hak-hak di atas suatu


kawasan menjadi tumpang tindih. Tidak mengherankan timbul konflik antara
pengusaha perkebunan dan pengusaha pertambangan. Masing-masing
memiliki izin di atas lahan yang sama. Celakanya, daerah enggan meminta
‘restu’ ke Kementerian Kehutanan saat memberikan izin tersebut. “Sehingga
sering terjadi tumpang tindih” tandas Dwi. Kondisi akan semakin runyam jika
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU)
setelah izin dari Pemda terbit. “Itu tambah runyam lagi,” sambunnya.

Kelemahan PP 10
PP 10 Tahun 2010 dipandang sebagai regulasi yang mendorong komitmen
pelestarian lingkunan. Namun bagi Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo), beleid ini juga punya kelemahan. Dahnil Anzar S,
pengurus DPP Apkasindo, menilai PP 10 bisa menjadi ancaman bagi pengelola
perkebunan kelapa sawit. Terutama di daerah yang ditetapkan sebagai
daerah hutan lindung, dimana sebelumnya si pengusaha sudah mendapatkan
izin dari Pemda setempat.

Jika pengusaha sudah mendapatkan izin dari Pemda, sudah seharusnya


pengusaha tak dikriminalisasi. Sebab, kata Dahnil, jika pengusaha
dikriminalisasi, kelanjutan perusahaan pun ikut terancam. “Padahal kebijakan
terdahulu justru memberikan izin pemanfaatan hutan sebagai perkebunan,”
tegas dia.

Ditambahkan Dahnil, PP 10 memberikan ‘ruang’ bagi pemda untuk melakukan


kecurangan dengan menekan perusahaan perkebunan, sehingga sangat
merugikan petani. Untuk itu, Apkasindo meminta Pemerintah memerhatikan
masalah yang dihadapi perkebunan yang telah memperoleh izin peralihan
peruntukan hutan menjadi perkebunan pada periode sebelumnya dan
ternyata masuk kawasan hutan lindung. Apalagi jika aktivitas perusahaan
perkebunan sudah berlangsung lama. Jika PP 10 diterapkan secara kaku,
Dahnil khawatir, “petani dan pengusaha akan terkorbankan”.

Konservasi Hutan Bukan


Upaya Menjauhkan
Masyarakat dari
Kesejahteraan
28 August 2017

FACEBOOK TWIT TE R GOOGLE+

54 NU dan Perhutanan Sosial


RiauKepri.com, PEKANBARU — Telah terjadi pergeseran
paradigma pengelolaan hutan yang semula dalam perspektif
negara, pemerintah adalah pemain tunggal, bergeser ke arah
perspektif community based dimana hutan harus dikelola oleh
pihak-pihak yang pro kepada kesejahteraan masyarakat dan
kelestarian lingkungan. Demikian disampaikan Koordinator DPW
FKKM Riau M.Mardhiansyah dalam workshop yang ditaja Yayasan
Belantara bekerjasama dengan DPW FKKM Riau, Senin (28/8) di
Hotel Grand Zuri Pekanbaru.

Workshop yang dilaksanakan selama 2 hari sampai Selasa (29/8)


ini sekaligus bertujuan menyusun Rencana Strategis (Renstra)
sebagai acuan strategi dalam mendorong upaya proteksi dan
restorasi pada 5 (lima) bentang alam di Provinsi Riau.

“Pemain dalam prespektif ini adalah pemerintah, masyarakat,


pebisnis, tokoh masyarakat dan tokoh adat,” ujar Mardhiansyah
yang juga dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Riau ini.

Menurutnya, bahwa di Riau, hutan dipandang sebagai penyangga


kehidupan dan kebudayaan. Dimana dalam konteks tata kelola
hutan di Indonesia, cenderung memandang masyarakat dan
swasta merupakan “penyewa rumah” dan pemerintah adalah
“pemilik rumah”.

Dinamika yang sering dihadapi di Riau sehingga memicu konflik


pengelolaan hutan antara swasta – masyarakat – pemerintah
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: negara tidak hadir
dalam pengelolaan hutan (RTRW, status lahan, dll); pemahaman
publik yang kurang tepat; perhatian dan kepentingan
internasional terhadap hutan dan kawasan hutan.

“Oleh karena itu menjadi penting pengelolaan hutan dan kawasan


hutan yang partisipatif dan prospektif melibatkan multi pihak,”
terangnya.

55 NU dan Perhutanan Sosial


Seiring dengan meningkatnya perhatian publik pada fungsi
ekologi dari hutan melalui fungsi konservasi dan fungsi
lindungnya, maka upaya proteksi dan restorasi hutan menjadi hal
yang sangat strategis dan krusial. Berbagai peraturan terbit
untuk mengharuskan melakukan perlindungan dan konservasi.
Yang paling hangat di kawasan yang didominasi gambut seperti di
Provinsi Riau adalah terbitnya PP Nomor 57 tahun 2016 sebagai
revisi dari PP Nomor 71 tahun 2014. Dengan berbagai pro dan
kontranya, yang harus dipahami bahwa semangat Peraturan
tersebut adalah untuk melindungi dan melestarikan kawasan
gambut.

Pemerhati Kehutanan yang merupakan anak negeri Bengkalis ini


berpandangan bahwa, upaya konservasi dan perlindungan
kawasan berbasis bentang alam khususnya gambut bukan
merupakan upaya menjauhkan masyarakat yang bermukim dan
berada disekitar hutan dari kesejahteraan. Upaya yang dilakukan
harus berorientasi pada kesejahteraan dan peradaban manusia
yang ada pada kawasan bentang alam tersebut. Pemulihan
dilakukan dengan cara suksesi alami, rehabilitasi, restorasi dan
cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Perhutanan Sosial sebagai salah satu bentuk pengelolaan


kawasan yang melibatkan multipihak merupakan suatu harapan
jika masyarakat memahami untuk memanfaatkan kawasan dan
bahkan akan menjadi ancaman jika masyarakat masih
berpersepsi penguasaan (memiliki) kawasan.

Perhutanan sosial menjadi harapan bagi kehutanan di Provinsi


Riau dalam hal pengelolaan yang kolaboratif dan partisipatif,
peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat,
meminimalisir konflik sosial dan tanurial pengelolaan hutan,
menyangga kebudayaan, pelestarian lingkungan dan mendukung
kondusifitas iklim investasi.

56 NU dan Perhutanan Sosial


“Pengelolaan kawasan yang kolaboratif dan partisipatif
melibatkan multi pihak harus memperhatikan optimalisasi
produktifitas kawasan, pelestarian lingkungan, pemahaman dan
kepatuhan para pihak terhadap regulasi, optimalisasi kearifan
lokal dan penghormatan kebudayaan setempat serta kehadiran
pemerintah dan pemerintah daerah secara nyata dalam
pengelolaan hutan,” katanya.

Lelaki yang biasa disapa Mardi ini menyampaikan gagasannya


bahwa optimalisasi produktifitas kawasan hutan merupakan
langkah strategis ditengah terbatasnya luasan kawasan hutan
namun kebutuhan akan fungsi hutan terus meningkat. Hutan tak
semata dipandang sebagai penghasil kayu, namun produksi
bukan kayu dan jasa lingkungan lainnya harus dioptimalkan untuk
kesejahteraan masyarakat. Pelibatan para pihak dalam
pendampingan dan kemitraan sangat diperlukan. Peran Swasta
dalam pola kemitraan sangat berperan produktif. Swasta tak
patut dianggap sebagai “musuh” bersama dalam pengelolaan
hutan, karena dalam pengelolaan kawasan hutan pihak swasta
mendapat mandat dari pemerintah sebagai pelaksana tugas dan
tanggung jawab pemerintah dalam mengelolaan hutan dan
kawasan.

“Pendampingan dan penguatan jaringan serta kontrol dari NGO


sangat diperlukan untuk kesuksesan pengelolaan hutan dan
kawasan hutan,” tegasnya.

Pemilihan jenis yang akan dikembangkan untuk tujuan


perlindungan dan konservasi sepertinya harus melawan arus
kebiasaan dimana memilih jenis yang punya nilai ekonomis dan
pioner. Ke depan jenis yang dikembangkan di kawasan lindung
dan konservasi haruslah jenis yang tak bernilai ekonomis dan tak
disukai masyarakat namun memiliki kesesuaian tempat tumbuh
pada kawasan yang akan dikonservasi dan dilindungi.

Jika jenis yang bernilai ekonomi dan diminati masyarakat, maka


akan sangat berpotensi dirambah dan dipanen secara ilegal

57 NU dan Perhutanan Sosial


sebelum waktu masak tebangnya. Jika itu yang terjadi, maka
tujuan konservasi dan melindungi pada kawasan tersebut akan
sulit tercapai. Pemilihan jenis yang menyangga dan disakralkan
oleh kebudayaan merupakan langkah pemilihan jenis yang
stratregis dalam upaya proteksi dan konservasi kawasan.
Kayu jenis-jenis tersebut tentu akan dilindungi oleh kelembagaan
adat dan hanya digunakan terbatas untuk kepentingan adat dan
budaya semata. Pada upaya pemilihan jenis dan budidaya ini
diperlukan intervensi silvikultur dan sentuhan ilmu pengetahuan
dan teknologi, tidak berpasrah pada pengetahuan tradisional
semata.

Pada akhir paparannnya, diserukan kepada para pihak yang


terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan harus memiliki
pemahaman yang sama bahwa Ekosistem harus dikelola secara
lestari dimana ketiga pilar kelestarian harus dijalankan sebagai
satu kesatuan secara selaras dan sinergi.

“Para pihak harus saling percaya dan menghormati peran dan


fungsinya masing-masing sesuai mandat dan legitimasi yang
dimilikinya. Kelestarian kawasan dan hutan haruslah berorientasi
pada Lingkungan yang elok terjaga, kesejahteraan yang nikmat
dirasa dan kehidupan sosial yang nyaman berwibawa,” tutupnya.
(RK2)

Sosialisasi Peraturan Pemerintah


di Sektor Kehutanan

58 NU dan Perhutanan Sosial


Jakarta - Dalam rangka meningkatkan pengetahuan akan Peraturan Pemerintah Nomor 104
Tahun 2015, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Nomor
108 Tahun 2015, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyelenggarakan
Sosialisasi Peraturan Pemerintah di Sektor Kehutanan, Jumat pagi (5/2), di Graha Sawala
Jakarta Pusat.

Sosialisasi dibuka langsung oleh Montty Girianna, selaku Deputi Bidang Koordinasi
Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian. Menurut Montty Girianna, ditelurkannya tiga Peraturan Pemerintah
terkait sektor kehutanan bertujuan untuk merampingkan perizinan yang terkait pemanfaatan
kawasan hutan.

“Salah satunya kita ingin me-slimline yang berkaitan dengan izin-izin supaya investasi bisa
lancar namun tetap mempertahankan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan kelestarian
lingkungan hutan”, ujar Montty.

Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan hutan, pada prinsipnya
kawasan hutan dapat diubah peruntukan dan fungsinya. Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta
aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan
manfaat kawasan hutan secara optimal.

Acara dilanjutkan dengan pemaparan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, tentang
sosialisasi PP Nomor 104 Tahun 2015 dan PP Nomor 105 Tahun 2015. Kedua peraturan
tersebut merupakan upaya untuk mendukung pembangunan tanpa mengabaikan kelestarian
lingkungan hidup di dalam pemakaian kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur.

Adapun dasar dari PP Nomor 104 Tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan perlu dilakukan penyederhanaan proses perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Peraturan yang terbaru ini juga merupakan revisi dari
PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan.

Sedangkan dasar PP Nomor 105 Tahun 2015 adalah dalam rangka percepatan pembangunan
di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan perlu mengubah pengaturan mengenai
jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dan prosedur
penggunaan kawasan hutan.

59 NU dan Perhutanan Sosial


Sementara Tachrir Fathoni, Direktur Jenderal Konservasi Sumebr Daya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memaparkan detil teknis PP Nomor 108
Tahun 2015. Menurutnya, PP Nomor 108 Tahun 2015 bertujuan untuk mengakomodir
pemanfaatan jasa panas bumi di Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA). Peraturan ini juga merupakan perubahan peraturan sebelumnya yaitu PP Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA.

“Ini hanya merubah PP 28 Tahun 2011 untuk pencantuman panas bumi sebagai izin
pemanfaatan jasa lingkungan”, tambah Tachrir. (nay)

Senin, 06 Nov 2017 13:26 WIB

Cara Jokowi Sediakan Lahan Garapan


untuk Petani
Sugeng Harianto - detikFinance

Share 0 Tweet 0 Share 0 1 komentar

Foto: Sugeng Harianto/detikcom

Madiun - Dukungan optimalisasi lahan hutan negara kembali


dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Timur. Hal ini ditandai dengan

60 NU dan Perhutanan Sosial


kehadiran Presiden Joko Widodo meninjau lokasi Perhutanan
Sosial di Kabupaten Madiun, Senin (6/11/2017).

Dalam kunjungannya, Jokowi didampingi Menteri BUMN, Rini


Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti
Nurbaya Bakar, Direktur Utama Perum Perhutani Denaldy M.
Mauna, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Achmad Baiquni dan sejumlah pejabat daerah setempat.

Pemerintah mencatat, Program Perhutanan Sosial di wilayah


Jawa timur dilatarbelakangi oleh ketidakpastian mengenai lokasi
lahan garapan dan jangka waktu hak garap petani penggarap,
kesulitan akses sumber pendanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
perbankan. Kemudian, tidak adanya kepastian pasar atau
serapan hasil produksi, petani tidak mendapatkan pembinaan
intensif dari departemen terkait dan pendapatan yang diterima
parapetani masih kurang dan tidak pasti.

Untuk tahap awal, pemerintah mengalokasikan lahan seluas


5.717,2 hektar (ha) sebagai program Perhutanan Sosial di Provinsi
Jawa Timur yang tersebar di enam lokasi dengan alokasi terbesar
terdapat di Madiun seluas, 2,149.1 ha, dan sisanya di wilayah
Probolinggo seluas 1.275 ha, Lumajang seluas 940 ha, Tulung
Agung seluas 663,5 ha , Jember seluas dan di Tuban seluas 77,3
ha.

Perhutanan Sosial Madiun merupakan optimalisasi lahan hutan


negara seluas 2.149,1 ha yang tersebar di Dagangan, Dalopo
seluas 264,4 ha, di wilayah Dungus, Wungus 1.364,7 ha dan di
wilayah Wonoreso, Mojorayung seluas 520 ha. Jumlah petani
penggarap di ketiga wilayah ini tercatat ada 2.778 orang dengan
jumlah terbanyak tercatat di wilayah Dungus dengan jumlah 344
orang.

Optimalisasi lahan hutan negara di Perhutanan Sosial Madiun


akan difokuskan pada pengembangan dan pembudidayaan
tanaman hutan seperti jati dan kayu putih serta komoditas
pertanian seperti jagung dan ketela. Selain itu, pengolahan lahan
juga diperuntukkan bagi program Multi Purpose Tree Species
(MPTS) seperti alpukat, cengkeh, cempedak, jambu mete, jengkol,
kelengkeng, mangga, mangka, pete, rambutan, sukun, asam.
Selain sebagai lahan konservasi, masyarakat juga dapat
mengambil manfaat lain dari program MPTS tersebut.

61 NU dan Perhutanan Sosial


Menteri Rini mengungkapkan,keberadaan Perhutanan Sosial di
wilayah Madiun akan memberikan dampak positif bagi
peningkatan perekonomian masyarakat sekitar. Pemerintah
memberikan akses kepada masyarakat untuk menggunakan
lahan secara produktif dalam sebuah sistem pertanian modern
sehingga pada akhirnya mampu mendorong peningkatan ekonomi
petani penggarap.

"Saya berharap petani di Madiun mampu menggunakan lahan


yang pemerintah berikan ini secara produktif. Jika dimanfaatkan
dengan baik saya yakin keberadaan Perhutanan Sosial
memberikan dampak bagi peningkatan ekonomi petani," pesan
Rini.

Penyaluran KUR

Selain pemberian lahan oleh Perhutani, BUMN hadir dalam


mendukung program Perhutanan Sosial Madiun melalui kegiatan
pembiayaan bagi petani penggarap berupa penyaluran KUR oleh
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dimana potensi
penyaluran KUR bagi 587 petani penggarap tercatat sebesar Rp
2,19 Miliar.

Fasilitas KUR dicairkan dalam bentuk Kartu Tani yang terkoneksi


dengan sistem database Kelompok Tani yang sudah teregistrasi
dari hulu sampai hilir yaitu mulai pengadaan pupuk, penanaman
sampai pemasaran hasil pertanian dan perkebunan.

Selain itu, pemerintah juga membantu pemasaran hasil pertanian


melalui kemitraaan dengan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes).Dalam bisnis model ini, BUMDes berperan penting
dalam membantu melakukan verifikasi / seleksi Mitra Kerja On
Farm (MKO) Calon Penerima kredit menjadi mitra dari off taker
dengan bekerjasama dengan Perum BULOG.

Rini berharap, melalui skema pemberdayaan dan pendampingan,


kehadiran Perhutanan Sosial di Jawa tengah mampu memberikan
manfaat terutama dalam memecahkan persoalan sosial ekonomi
masyarakat. Dengan konsep Perhutanan Sosial, petani penggarap
dapat memperoleh akses sumber pendanaan, mendapatkan
kepastian pasar atau serapan hasil produksi, mendapatkan
pembinaan intensif dari departemen terkait serta perbankan
serta mendapatkan pendapatan tambahan yang pada akhirnya

62 NU dan Perhutanan Sosial


mampu meningkatan kesejahteraan hidup para petani.

Sebagai informasi, Program Perhutanan Sosial yang digulirkan


pemerintah dilatarbelakangi oleh kondisi lahan eksisiting milik
Perhutani yang dikuasai dan digarap secara liar oleh petani
(sekitar 12 juta hekta are/Ha) di mana proses penggarapan tidak
memperhatikan keseimbangan alam dan lingkungan hidup hingga
pada praktik sewa dan jual beli lahan.

Pemerintah mencatat, terdapat 25.863 Desa di Indonesia berada


di dalam kawasan hutan, dan 70% di antaranya menggantungkan
hidup pada sumber daya hutan. Sementara itu, terdapat 10,2 Juta
penduduk belum sejahtera di kawasan hutan dan tanpa aspek
legal dalam mengelola sumber daya hutan.

Dengan program Perhutanan Sosial, pemerintah mendorong


optimalisasai lahan dalam rangka mewujudkan pemerataan
ekonomi, memperkuat produksi sektor berbasis pangan yaitu
perikanan, pertanian dan peternakan, membuka lebih banyak
akses kesempatan kerja bagi masyarakat dan secara makro
diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan
kinerja ekonomi nasional. (hns/hns)

Pemprov Sulsel Ajukan Usulan Perubahan Fungsi


Kawasan Hutan ke KLHK
By: radarOn: May 15, 2017

Prev
Next






63 NU dan Perhutanan Sosial


64 NU dan Perhutanan Sosial
MAKASSAR – Guna melakukan penyesuaian terhadap keadaan aktual di
lapangan atas adanya permasalahan tenurial dan infrastruktur yang telah
terbangun dalam kawasan hutan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi
Selatan (Sulsel) mengajukan usulan perubahan fungsi kawasan hutan sulsel
kepada tim terpadu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
untuk diteliti dan dicermati berdasarkan aspek biofisik, sosial ekonomi dan

65 NU dan Perhutanan Sosial


budaya serta hukum dan kelembagaan, pada kegiatan Review Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Substansi Kehutanan, di Ruang Rapat
Pimpinan Kantor Gubernur Sulsel, Senin (15/5/2017).
Dalam sambutannya pada kegiatan tersebut, Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo mengatakan, untuk
memenuhi dinamika pembangunan, serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi
kawasan hutan, kelestarian fungsi hutan, efrktifitas pengelolaan kawasan hutan, keberadaan kawasan hutan
dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, maka dianggap perlu untuk melakukan perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Syahrul menjelaskan bahwa RTRW Provinsi mempunyai fungsi sebagai pengendali pemanfaatan ruang wilayah
provinsi maupun kabupaten/kota dan menyelaraskan keseimbangan perkembangan antara wilayah, sehingga
pertumbuhan wilayah di provinsi Sulsel bisa tumbuh bersama-sama sesuai dengan potensi sumberdaya yang
dimilikinya.

“Sesuai dengan data Badan Informasi Geospasial (BIG), Provinsi Sulsel memiliki luas wilayah 5.100.856 Ha
dengan luas kawasan hutan 2.616.862 Ha atau sekitar 51,30 persen dari total luas wilayah. Sejak tahun 1999,
Provinsi Sulsel belum pernah mengusulkan perubahan kawasan, sehingga diperlukan penyesuaian terhadap
keadaan aktual di lapangan atas adanya permasalahan tenurial dan infrastruktur yang telah terbangun dalam
kawasan hutan,” kata Syahrul.

Syahrul mengungkapkan, permasalahan hutan yang dihadapi oleh Sulsel saat ini antara lain, adanya
pengembangan atau pemekaran wilayah kabupaten/kecamatan, permukiman penduduk dan pembangunan
fasilitas umum yang bersifat permanen, seperti perkantoran, sekolah, rumah, jalan, dan beberapa fasilitas
lainnya.

Olehnya itu, kata dia, tingginya konflik dan klaim kawasan hutan di kabupaten/kota tersebut menuntut
penanganan dan solusi yang segera.

“Dengan berbagai isu dan tantangan yang dihadapi, substansi RTRW Provinsi Sulsel diharapkan lebih mampu
merespon peluang untuk meningkatkan daya saing wilayah sulsel sekaligus mampu menghadapi tantangan
dalam mewujudkan keberlanjutan pembangunan regional dengan tetap memperhatikan prinsip daya dukung
libgkungan melalui keseimbangan alokasi ruang antara kawasan budidaya dan kawasan lindung,” ungkapnya.

Lebih jauh dikatakannya, sebagai matra spasial, maka RTRW Provinsi Sulsel disusun berdasarkan
pencermatan terhadap kepentingan jangka panjang, dengan memperhatikan dinamika pembangunan yang
perlu direspon dan diantisipasi, sehingga mampu menjamin keberlangsungan implementasi di lapangan dan
pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang.

“Saya berharap, kegiatan Review RTRW Provinsi Substansi Kehutanan yang kita lakukan ini dapat berjalan
lancar dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, sehingga dapat mendorong tercapainya pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi serta pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya. (opa)

Presiden akan tebar udang di


tambak hutan sosial
Rabu, 01 November 2017 / 15:44 WIB

26
SHARED

66 NU dan Perhutanan Sosial


INDEKS BERITA

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden RI, Joko Widodo akan


melakukan tebar perdana udang vaname pada kawasan tambak rintisan

67 NU dan Perhutanan Sosial


Program Perhutanan Sosial di Desa Pantai Bakti, Kecamatan Muara
Gembong, Jawa Barat. Presiden akan melepas setidaknya 200 ribu ekor
benih udang vaname untuk satu petak pembesaran pada tambak 2B
seluas 4.000 meter persegi.

"Optimalisasi Kawasan Perhutani di Muara Gembong memang


difokuskan untuk pengembangan usaha budidaya udang/ikan berbasis
lingkungan," ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet
Soebjakto dalam siaran pers, Rabu (1/11).

Slamet menjelaskan, pengelolaan budidaya ikan vaname akan


menggunakan teknologi semi intensif. Selain udang vaname, akan
dilakukan pula budidaya ikan bandeng dan mangrove yang akan
diintegrasikan melalui budidaya sistem silvofishery.

Pelepasan tersebut menandai beroperasinya unit kawasan budidaya


udang vaname Program Perhutanan Sosial. Pemerintah setidaknya telah
memberikan akses pengelolaan lahan perhutani seluas 12,7 juta hektar
bagi masyarakat sekitar hutan, termasuk untuk kegiatan budidaya
perikanan.

Di Kawasan Muara Gembong sendiri, Perum Perhutani melepas


pengelolaan kawasan seluas 830 hektar untuk pengembangan
pertambakan ikan dan udang. Target pada tahun 2017 sebagai program
awal akan digarap seluas 17,2 hektar.

Pemerintah menargetkan program rintisan untuk lahan tambak 17,2


hektar ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan produksi
udang dan bandeng sebanyak 204 ton per tahun. Sementara ditargetkan
nilai ekonomi mencapai Rp16,3 miliar per tahun. Selain itu pendapatan
masyarakat pengelola juga ditargetkan sebesar Rp35 juta hingga50 juta
per tahun dan serapan tenaga kerja lebih dari 425 orang.

Asal tahu saja Program Perhutanan Sosial merupakan program


optimalisasi lahan perhutanan melalui skema kerja sama kemitraan
dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Program ini diharapkan
akan memicu pemerataan ekonomi, memperkuat produksi berbasis
pangan, membuka akses kesempatan kerja yang lebih luas bagi
masyarakat, dan secara makro akan memberikan kontribusi bagi
peningkatan kinerja ekonomi nasional.

68 NU dan Perhutanan Sosial

Anda mungkin juga menyukai