Anda di halaman 1dari 13

LUKA POSTMORTEM

I. PENDAHULUAN

Luka didefinisikan sebagai rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh

suatu trauma. Ada bermacam-macam penyebab luka yaitu yang disebabkan oleh

persentuhan dengan benda tajam,benda tumpul,bahan kimia,tembakan,aliran

listrik,dan sebagainya.1

Luka terbuka adalah luka yang diakibatkan oleh benda tajam yang

merupakan kelainan pada tubuh yang disebabkan persentuhan dengan benda atau

alat bersisi tajam dan/atau berujung runcing sehingga kontinuitas jaringan rusak

atau hilang. Luka terbuka bermacam-macam, yaitu luka iris, luka tusuk, luka

bacok, luka tembak.1

Luka terbuka intravital adalah luka terbuka yang terjadi pada manusia yang

masih hidup dimana akan menyebabkan timbulnya reaksi tubuh terhadap luka

tersebut. Dengan menemukan reaksi tubuh terhadap luka terbuka, maka dapat

dipastikan bahwa saat terjadi trauma, yang bersangkutan masih hidup, atau

dengan kata lain luka terjadi secara intravital.1 Luka terbuka postmortem

merupakan luka terbuka yang terjadi pada saat manusia sudah mati. Luka

postmortem memiliki khas berwarna coklat kekuningan karena tidak terjadi reaksi

vital. Secara makroskopis, cedera memar yang menyertai (seperti bengkak) dapat

terlihat ekstravasasi darah (merah atau biru keunguan) dan perubahan lain yang

mencerminkan reaksi jaringan terhadap cedera, dan yang tergantung pada interval

antara penderitaan dari trauma hingga kematian.2

1
II. PATOMEKANISME
Sel sebagai bagian dari suatu jaringan apabila mengalami jejas atau cedera

akan melakukan respon adaptasinya sendiri. Penyebab jejas sel antara lain adalah :
(3)

1) Hipoksia;
2) Trauma fisik;
3) Obat-obatan dan zat kimia;
4) Reaksi imunologis;
5) Defek genetik; dan
6) Ketidakseimbangan nutrisi.

Penampakan luka bergantung dari jenis senjata yang digunakan. Pada

umumnya, luka yang disebabkan oleh benda tajam bermata satu, pada kedua sudut

lukanya dapat berbentuk tajam-tumpul atau sama tumpul. Jika benda tajam yang

digunakan bermata dua, sudut kedua luka berbentuk sama tajam. Namun dapat

pula ditemukan memar di sekitar luka, bila cedera terkena sampai ke pangkal

benda tajam tersebut.4,5

Luka iris karena benda tajam pada umumnya memiliki tepi dan permukaan

luka yang rata tanpa jembatan jaringan dengan sudut luka yang lancip. Pada

umunya, luka iris memiliki panjang luka yang lebih besar dari dalam luka.

Sedangkan pada luka tusuk,umumnya ukuran dalam luka lebih besar daripada

panjang luka.1

Pada kasus luka tembak, efek anak peluru menyebabkan luka tembak

masuk dan luka tembak keluar. Pada umumnya, bentuk dari suatu luka tembak

bermacam-macam, tergantung dari beberapa faktor seperti kecepatan, posisi dan

besar/bentuk anak peluru. Peluru berkecepatan tinggi akan menimbulkan

kerusakan lebih besar, faktor lain yang terpenting ialah kepadatan jaringan. Jadi

peluru yang menembus tulang menimbulkan kerusakan besar pada organ-organ

2
berongga yang berisi cairan seperti jantung, vesica urinaria, ventrikel otak karena

kekuatan hydrostatik yang ditimbulkan oleh anak peluru yang melalui rongga

tersebut mendorong cairan ke segala arah.1

Pada kasus luka memar, jejas sel terjadi karena trauma fisik benda tumpul.

Sel yang terkena jejas akan mengalami beberapa fase untuk beradaptasi agar dapat

kembali ke keadaan homeostasis. 5


Kontusio dapat dibedakan dari area livor mortis. Pada kontusio, darahnya

telah masuk hingga kedalam jaringan lunak sehingga tidak dapat dihapus atau

dikeluarkan seperti pada area livor mortis. Pemeriksaan immunohistokimia pada

kontusio dan perubahan warna postmortem menunjukkan adanya reaksi positif

dari glycophorin A, sebuah komponen dari sel darah merah, yang

mengindikasikan bahwa trauma tersebut adalah trauma antemortem. 6


Setelah kematian, tidak adanya tekanan darah berarti diperlukan tenaga yang

sangat besar untuk menghasilkan memar pada mayat. Memar postmortem seperti

itu sangat kecil jika dibandingkan dengan tenaga yang dikeluarkan, biasanya

dihubungkan dengan adanya fraktur, dan memar yang dihasilkan tersebut hanya

berdiameter beberapa centimeter. 7

III. LUKA INTRAVITAL DAN POSTMORTEM

Reaksi intravital luka merupakan dasar pemeriksaan traumatologi

kedokteran forensik. Reaksi intravital luka merupakan reaksi inflamasi akut

sebagai reaksi tubuh terhadap trauma. Karakteristik organisme hidup adalah

kemampuan untuk merespon terhadap stimulus eksternal. Stimulus eksternal

berupa biologi, fisika,dan kimia. Tubuh akan merespon stimulus tersebut dalam

bentuk reaksi inflamasi. 8

3
Tabel 1. Skema dari Legrand du Saule untuk Mendiagnosis Luka Intravital dan Postmortem

Mengingat hasil makroskopik sangat variatif dan jauh dari ketepatan maka

perlu di lakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain berguna bagi

intravitalis luka, pemeriksaan mikroskopik juga untuk menentukan umur luka

secara lebih teliti. Caranya ialah dengan mengamati perubahan perubahan

histologiknya. Infiltrasi perivaskuler dari leukosit polymorfonuklear dapat di lihat

dengan jelas pada kasus kasus dengan periode survival sekitar 4 jam atau lebih.

Dilatasi kapiler dan marginasi leukosit mungkin dapat di lihat lebih dini lagi,

bahkan beberapa menit sesudah trauma. Leukosit yang mula- mula masuk ke

jaringan adalah jenis polymorfonuklear. Pada stadium berikutnya akan tampak

monosit , namun leukosit jenis ini jarang di temukan pada eksudat kurang dari 12

jam sesudah trauma. Pada trauma dengan inflamsi aseptik, proses eksudasi akan

mencapai puncak dalam waktu 48 jam. Epitelisasi baru terjadi pada hari ketiga ,

sedangkan sel- sel fibroblast mulai menunjukan perubahan reaktif ( dalam bentuk

4
proliferasi ) sekitar 15 jam sesudah trauma. Tingkat proliferatif tersebut serta

pembentukan kapiler-kapiler baru sangat variatif , tetapi biasanya jaringan

granulasi lengkap dengan vaskularisasinya akan terbentu paling tidak sesudah 3

hari. Serabut-serbut kolagen yang baru juga mulai terbentuk 4 atau 5 hari sesudah

trauma.9

Pada luka-luka kecil, kemungkinan jaringan parut tampak pada akhir

minggu pertama. Biasanya sekitar 12 hari sesudah trauma, aktifitas sel- sel epitel

dan jaringan di bawahnya mengalami tahapan regresi. Akibatnya jaringan epitel

akan mengalami atrofi, vaskularisasi jaringan di bawahnya juga berkurang diganti

serabut-serabut kolagen. Sampai beberapa minggu sesudah penyembuhannya,

serabut-serabut elastis masih tampak banyak dari jaringan yang tidak terkena

trauma.10

Perubahan-peruabahan histologik dari luka ini di pengaruhi oleh ada

tidaknya infeksi. Perlu di ketahui bahwa infeksi akan memperlambat proses

penyembuhan luka. Peningkatan aktifitas adenosine triphosphatase dan

aminopeptidase dapat di lihat lebih dini, yaitu setengah jam setelah trauma.

Peningkatan aktifitas aminopeptidase dapat di lihat sesudah 2 jam, sedangkan

peningkatan acid phosphatase dan alkali phosphatase sesudah 4 jam.8

5
Gambar.1 Luka Terbuka Intravital5 Gambar.2 Luka Terbuka Postmortem5

Derajat dan keparahan kontusio tidak hanya bergantung kepada banyaknya

energi yang diberikan, tetapi juga terhadap struktur dan vaskularisasi jaringan

yang mengalami kontusio. Oleh karena itu, kontusio paling mudah terjadi pada

daerah yang berkulit tipis dan memiliki banyak lemak. 7


Anak-anak dan orang tua lebih mudah mengalami kontusio, karena anak-

anak memiliki kulit yang lebih tipis dan lembut serta memiliki banyak lemak

subkutan. Pada orang tua, terjadi hilangnya jaringan penyokong subkutan,

gangguan pembuluh darah dan memarnya lebih lama sembuh. 2,6,7


Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran dari sebuah kontusio : usia,

jenis kelamin, dan kondisi kesehatan korban, serta daerah dan tipe jaringan yang

terkena. 6
Tidak ada cara pasti untuk menentukan seberapa banyak energi yang diperlukan agar terjadi kontusio. 7 Penelitian untuk

mengetahui seberapa banyak energi yang diperlukan untuk terjadinya fraktur atau luka memar sulit dilakukan karena tidak adanya sampel

manusia.

6
Memar Lebam Mayat
Lokasi Bisa dimana saja Pada bagian terendah
Pembengkakan (+) (-)
Bila di tekan Warna tetap Warna memudar / hilang
Mikroskopik Reaksi jaringan (+) Reaksi jaringan (-)
Tabel 2 – Perbedaan memar dengan lebam mayat 3

Kontusio dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk dari objek yang

digunakan, karena bentuknya biasanya tercetak. Ketika seseorang dipukul dengan

benda yang rata seperti papan, kita sering menemukan kontusio linear paralel

yang sama dengan ujung dari papan tersebut. 6

Gambar 3 – Bentuk kontusio yang diakibatkan oleh ujung senter 6

PSEUDO-BRUISE
Ekstravasasi darah kedalam jaringan setelah kematian dapat

mengakibatkan terjadinya salah interpretasi. Kita harus menghindari penggunaan

istilah memar pada kejadian postmortem, karena pengertian forensik dari kata

memar itu adalah kejadian yang terjadi pada saat antemortem. “Pseudo-bruise”

merupakan istilah yang lebih tepat untuk digunakan untuk menyatakan perubahan

warna postmortem yang menyerupai luka memar. 2


Salah satu pernyataan yang paling sering kita dengar adalah bahwa

kontusio merupakan tanda bahwa trauma tersebut terjadi sebelum kematian,

7
karena tidak dapat terjadi kontusio setelah mati. Pernyataan ini tidak sepenuhnya

benar. Bukti menunjukkan bahwa kontusio postmortem dapat terjadi jika

diberikan pukulan yang keras pada tubuh beberapa jam setelah kematian.4,7
Pukulan yang keras tersebut memecahkan kapiler, membuat darah masuk

ke dalam jaringan lunak dan menghasilkan kontusio postmortem yang

penampakannya hampir sama dengan kontusio antemortem. Kontusio postmortem

sangat jarang terjadi dan paling sering terlihat di kulit dan jaringan lunak yang

menutupi tulang seperti di kepala. 7

Perubahan warna memar Antemortem dibanding Massa dan kecepatan

postmortem tumbukan
Pigmentasi kulit Cepatnya kematian Kedalaman dan kekuatan

Struktur dan vaskularisasi setelah trauma dari trauma

jaringan Kondisi lingkungan Deformasi fisik lain (luka

tusuk, overlapping)
Umur Pakaian

Subjektifitas pemeriksa
Jenis kelamin Laju metabolisme
dan derajat keahlian
Lemak subkutan dan Status kesehatan dan
Cahaya pada saat
berat badan korban penyakit (hipertensi,
observasi
gangguan koagulasi,
Laju resolusi
gangguan hati, Efek gravitasi seiring
Suhu tubuh
pengobatan) berjalannya waktu
Tabel 3 – Daftar hal-hal yang mempengaruhi penampakan luka memar 3

IV. PENGUKURAN USIA KONTUSIO

8
Metode yang biasa digunakan untuk menentukan usia dari sebuah luka

memar adalah dengan histologi dan perubahan warna. Metode penentuan umur

luka yang biasa digunakan dalam bidang forensik selama ini adalah dengan

melihat gambaran luka secara makroskopis, berdasarkan perubahan warna yang

mengikuti proses penyembuhan yang terjadi pada luka tersebut. Penentuan umur

luka secara mikroskopik ataupun secara serologik merupakan metode lain yang

dapat digunakan, yaitu dengan melihat perubahan-perubahan biokimiawi yang

terjadi pada jaringan dan cairan tubuh terutama pada darah. 10

Memar akan mengalami proses perubahan warna karena degradasi dari

hemoglobin. Tidak ada terminologi standar yang digunakan untuk menjelaskan

warna dari memar. Warna yang sama dapat disebut sebagai ungu, merah

keunguan, biru keunguan, atau biru. 6

Kebanyakan memar awalnya berwarna merah, biru gelap, ungu, atau hitam.

Setelah hemoglobin dipecah, warnanya perlahan berubah menjadi ungu, hijau,

kuning tua, kuning pucat, kemudian menghilang. Perubahan ini dapat terjadi

dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Namun, laju perubahan ini sangat

bervariasi, bukan hanya antar individu, tetapi antar memar pada individu yang

sama. Perubahan warna ini juga bisa terjadi tidak berurutan dan saling
6,3
bertumpang-tindih. Warna pada ujung luka memar biasanya merupakan

indikator usia memar yang paling baik, dengan warna tertua berada pada bagian

ujung. 3

9
Gambar 4 – Memar dengan berbagai gradasi warna 5

Gambar 4 diatas menunjukkan perubahan warna pada memar. Memar dengan

berbagai gradasi warna pada gambar tersebut berusia kira-kira 1 minggu.

Sumber 0-24 jam 1-3 hari 4-7 hari 1-2 minggu > 2 minggu

Merah, ungu,
Camps (1976) Hijau Kuning Menghilang
hitam

Glaister (1962) Biru gelap Biru gelap Hijau Kuning Menghilang


Polson et al Merah, merah Hijau
Kekuningan Menghilang
(1985) gelap / hitam kehitaman
Smith dan Fiddes Merah Ungu / Kuning /
Kuning Kuning Menghilang
(1955) hitam menghilang
Ungu gelap,
Spitz dan Fisher Biru muda /
Ungu gelap kuning Cokelat Menghilang
(1974) merah
kehijauan
Merah / biru, Biru / Kuning /
Adelson (1974) Menghilang Menghilang
ungu cokelat hijau
Tabel 4 – Perubahan warna luka memar 2

V. HISTOPATOLOGI LUKA POST MORTEM

Pemeriksaan histopatologi dilakukan bila permintaan telah sesuai dengan izin

yang diberikan, setiap lesi yang ditemukan dalam korban harus di identifikasi dan

pengambilan sampelnya dilakukan pemeriksaan histologi. Pemeriksaan histologi

10
sebaiknya dilakukan pada saat post mortem untuk menghindari kerusakan organ

saat dilakukan demonstrasi. 11

Setiap organ yang terkait dalam pemeriksaan harus di periksa secara

histologi, mulai dari organ seperti hati, pankreas, saluran cerna, ginjal hingga

kesaluran kemih. Hal ini guna menunjang penyebab utama kematian tidak

berdasarkan suatu luka, melainkan kelainan patologis dari organ, dan juga juga

untuk mengkofirmasi hasil dari penyelidikan. Jaringan yang di akan dilakukan

pemeriksaan histologi diambil secara rutin dalam formalin dan di tenggelamkan

dalam 96 % asam formik. 12

Perubahan warna kulit pada luka pada saat postmortem juga memberikan

interpretasi yang variatif, berbagai aspek seperti warna kulit dan tanda lebam, bila

diperiksa secara histologi mikroskopik dapat ditemukan serbukan sel radang

PMN. 13

V. KESIMPULAN

Luka terbuka intravital adalah luka terbuka yang terjadi pada manusia yang

masih hidup yang menyebabkan timbulnya reaksi tubuh terhadap luka tersebut.

Dengan menemukan reaksi tubuh terhadap luka terbuka, maka dapat dipastikan

bahwa saat terjadi trauma, yang bersangkutan masih hidup, atau dengan kata lain

luka terjadi secara intravital. Luka terbuka postmortem merupakan luka terbuka

yang terjadi pada saat manusia sudah mati. Luka postmortem memiliki khas

11
berwarna coklat kekuningan karena tidak terjadi reaksi vital. Perubahan warna

kulit pada luka postmortem juga memberikan interpretasi yang variatif, berbagai

aspek seperti warna kulit dan tanda lebam, bila diperiksa secara histologi

mikroskopik dapat ditemukan serbukan sel radang PMN.

Awal dari suatu luka ditandai dengan Inflamasi dimana melibatkan

banyak mediator-mediator radang. Inflamasi dapat terjadi secara lokal, sistemik,

akut hingga kronik dan dapat menimbulkan kelainan patologis, dan proses

penyembuhan luka terdiri dari:

1. fase inflamasi

2. fase proliferasi, dan

3. fase maturasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; Edisi Pertama. p.37-44.

2. Vanezis P. Interpreting bruises at necropsy. Journal of Clinical


Pathology.2001;54:348-55.

3. Herlambang PM. Referat : Mekanisme Biomolekular Luka Memar. 2008.

4. Stark MM. Clinical Forensic Medicine - A Physicians Guide 2nd Edition.

Totowa, New Jersey, USA: Humana Press Inc; 2005.

12
5. Lew E, Mathses E. Sharp Force Injuries. In: Dolinak D, Mathses EW, Lew

EO. Forensic Pathology - Principles and Practice. San Diego, California,

USA: Elsevier Academic Press; 2005.

6. DiMaio VJ, DiMaio D. Forensic Pathology Second Edition. Washington DC,


USA: CRC Press LLC; 2001.

7. Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. USA: CRC Press LLC; 2000.

8. De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 67-8

9. Kumar, Vinay, Ramzi S. Cotran dan Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar
Patologi. Jakarta: EGC. 35-84

10. Arkipus, Achmad D, Truly D, Dasril. HUBUNGAN KADAR MONOCYTES


CHEMOATTRACTANT PROTEIN-1 (MCP-1) DENGAN UMUR LUKA
TERBUKA PADA MENCIT (Mus musculus). Makassar: Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; 2013.

11. Lorenz H, peter, and Longaker Michael T. Chapter 7. Wounds :


Biology,Pathologym and Management. p.77-78

12. Obac Ar, Silva PCS. Histological analysis of short term vital reaction in skin
wounds potential application in forensik work. J Biol.2011. P1011-1014

13. Wahl LM, Wahl Sm. Inflammation. In: Cohen IK, Diegrelmann RF, Lindblad
WJ, eds. Wound Healing, Biochemical and Clinical Aspects. Philadelphia:
Saunders, 1992: 40-62

13

Anda mungkin juga menyukai