Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
NO : 17
SINGARAJA
http://sman4singaraja.net
Pada jamannya Waiwasta Manu ada yang bernama Bhagawan Byasa, putra
bhagawan Parasara. Beliau telah mendapatkan sinar kesadaran bathin. Gelar beliau yang
lain Sri Krsna Dwipayana, beliau adalah titisan Bhatara Wisnu. Kemudian beliau diminta
oleh Dewa Brahma untuk mempelajari Weda pada jaman Waiwasta Manu. Bhagawan
Byasa mempunyai siswa empat orang masing-masing ahli dalam Veda. Antara lain
Bhagawan Jemini, keahliannya adalah mempelajari kitab Samaveda. Bhagawan Pulaha
menguasai isi kitab Rgveda keistimewaan beliau. Bhagawan Waisampayana menguasai
dan memahami kitab Yajurveda sebagai kitab sucinya yang teristimewa. Bhagawan
Sumantu (adalah) Atharwaveda pengetahuannya yang paling utama. Adapun hamba
(Bhagawan Byasa) menguasai Itihasa dan Purana. (Gde dan Pudja. Gede, 1981:44).
Bhagawan Byasa adalah Maharsi yang mengumpulkan wahyu-wahyu suci Tuhan menjadi
kitab suci Veda. Kebesaran jiwa Maharsi Wyasa ini menjiwai nenek moyang keturunan
Bharata. Beliau adalah penegak keadilan dan kebenaran. Sari-sari ajarannya telah
dikumpulkan oleh seorang Rsi, bernama Rsi Wararuci. Nama pustaka itu adalah
“Sarasamuccaya”. Rsi Wararuci adalah penulis kitab Sarasamuccaya, yang kini menjadi
sebagai salah satu kitab suci, sebagai penuntun jiwa dan prilaku umat manusia untuk
mencapai kehidupan yang suci, kehidupan yang tidak terikat oleh hawa nafsu yang
akhirnya dapat mencapai kebahagiaan abadi (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1968:39)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bhagawan Byasa adalah orang
suci Hindu yang pada masa hidupnya selalu mengabdikan dirinya kepada Tuhan demi
untuk kesejahteraan dan kebahagian umat manusia. Beliau adalah putra Bhagawan
Parasara sebagai titisan dari Bhatara Wisnu yang oleh Dewa Brahma disuruh untuk
menerima dan mempelajari veda (catur veda) sebagai wahyu Tuhan bersama empat orang
muridnya. Bhagawan Byasa telah menyatu dengan Tuhan (Brahman) dengan
meninggalkan hasil karyanya yang sangat bermanfaat untuk umat manusia.
Mpu Kuturan
Pada jaman kerajaan Bedahulu ini, disebutkan seorang raja yang bernama Dharma
Udayana dengan permaisurinya Mahendradatta yang merupakan seorang putri dari
Kerajaan Medang Kemulan. Kemungkinan melihat dari status keluarganya,
Mahendradatta yang dikenal juga dengan nama Sri Gunaprya Dharma Patni mempunyai
kekuasaan yang lebih besar dari suaminya, raja Udayana. Kerajaan Bedahulu sendiri
kemungkinan merupakan bawahan dari Kerajaan Medang Kemulan yang pada saat itu
dipimpin oleh raja Teguh Dharmawangsa saudara dari Mahendradatta.
Di Bali sendiri pada saat itu terjadi pertentangan yang sangat kuat antar sekte
agama, bahkan diyakini cerita Maya Denawa merupakan sebuah ilustrasi pertentangan
antara sekte Waisnawa yang memuja Wisnu yang dianggap sebagai dewa air (Danu –>
Denawa) dengan penganut sekte Indra. Sekte pemujaan terhadap dewa Indra sangat luas
berkembang di India. Sekte yang seperti ini sekarang masih dianut oleh masyarakat Desa
Tenganan. Salah satu desa kuno di Bali Timur (Kabupaten Karangasem). Kemungkinan
raja Airlangga mengutus penasihat utamanya Mpu Kuturan untuk mengatur tatanan agama
maupun pemerintahan di Bali.
Mpu Kuturan sendiri dianggap sangat berjasa dalam meredam konflik antar sekte
dan antar wangsa/klan yang pada masa itu terus terjadi di Bali. Dalam suatu pertemuan
dengan komponen masyarakat Bali pada suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai desa
Mpu Kuturan juga memegang peranan yang sangat penting dalam roda
pemerintahan di Bali. Beliau diangkat Pendeta Kerajaan, bahkan dalam beberapa lontar
maupun prasasti (Prasasti Kehen B di pura Kehen, Bangli) beliau lebih dikenal sebagai
Senapati Kuturan yang menunjukan bahwa beliau mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam pemerintahan pada waktu itu. Ini semua tidak lepas dari tugas yang
diberikan oleh Raja Airlangga terhadap Mpu Kuturan untuk menata pola hidup masyarakat
Bali yang merupakan tanah kelahiran dari Raja Airlangga.
Dengan Mpu Kuturan yang juga menjabat sebagai Mahapatih maka Kerajaan
Bedahulu menjadi sebuah kerajaan dengan roda pemerintahan yang berjalan dengan sangat
baik, baik dalam hubungan politik, pemerintahan, agama, kebudayaan, sastra, dan irigasi.
Pada catatan yang ditemukan di Goa Gajah disebutkan bahwa raja didampingi oleh
pendeta agama Hindu dan Buddha dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ini
menunjukan bahwa pada saat itu telah terjalin kerukunan antar umat beragama di Bali.
Mpu Kuturan berperanan sangat penting dalam membangun beberapa Pura di Bali.
Hampir semua pura pada saat ini yang dianggap sebagai Pura Kahyangan Jagat adalah
merupakan hasil karya beliau. Beliau juga mewariskan arsitektural bangunan pelinggih
yang disebut sebagai Meru. Meru secara harfiah merupakan perwujudan dari gunung
namun secara lebih mendalam Meru merupakan perwujudan dari alam semesta dengan
segala kaitannya dengan aspek spiritual sebagai tempat bersemayamnya dewa.
Salah satu bentuk penghormatan masyarakat Hindu Bali terhadap Mpu Kuturan
juga tampak pada keberadaan pelinggih Menjangan Seluang yang biasanya termasuk
dalam rangkaian pelinggih-pelinggih di sebuah pura besar ataupun merajan keluarga
(Paibon atau Pedharman). Ciri khas dari pelinggih Menjangan Seluang adalah keberadaan
arca menjangan tepat di bawah rong (ruang tempat banten persembahan) pelinggih
tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan cerita tentang Mpu Kuturan yang kedatangannya di
Bali disertai oleh seekor menjangan.
Mpu Beradah sendiri adalah adik dari Mpu Kuturan (kemungkinan adik
seperguruan), mereka tadinya merupakan 2 orang penasehat raja Airlangga. Kemungkinan
Mpu Beradah diutus ke Bali oleh raja Airlangga untuk membujuk kakaknya Mpu Kuturan
sebagai penasehat kerajaan Bali agar memberikan pulau Bali kepada salah satu putra
Airlangga. Pada saat itu raja Airlangga memang menghadapi persoalan pembagian
kekuasaan kepada 2 orang putranya yang keduanya merasa mempunyai hak yang sama
untuk menjadi raja penerus Airlangga. Permintaan raja Airlangga kemungkinan besar
ditolak oleh Mpu Kuturan dan membiarkan kerajaan Bali tetap dalam pemerintahan dinasti
Warmadewa dengan rajanya saat itu adalah raja Anak Wungsu.
Setelah tidak berhasil membujuk Mpu Kuturan untuk menyerahkan kerajaan Bali
ke salah satu putra Airlangga, Mpu Beradah kemudian kembali ke Jawa dan melapor ke
raja Airlangga. Seperti kita ketahui, raja Airlangga melalui Mpu Beradah kemudian
membagi kerajaan Kahuripan menjadi 2 yaitu kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala (ada
sumber menyebutkan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 4 atau 5 bagian namun cuma 2
kerajaan tersebut yang kemudian berkembang menjadi 2 kerajaan besar yang saling
bersaing).
Selain pura Tanjungsari, tidak banyak peninggalan dari Mpu Beradah selama di
Bali mungkin karena kedatangan beliau ke Bali memang hanya untuk berdiskusi dengan
Mpu Kuturan perihal pembagian kekuasaan untuk putra-putra raja Airlangga. Namun
begitu tampaknya beliau juga sempat berkunjung ke pura Besakih dan memberi pengaruh
yang signifikan dalam perkembangan pura Besakih ini, dimana di salah satu pura yaitu
pura Mrajan Kanginan terdapat sebuah pelinggih yang ditujukan untuk penghormatan
terhadap Mpu Beradah.
Setelah masa pemerintahan raja Anak Wungsu tidak banyak data sejarah yang dapat
diungkap. Data berikutnya mencatat adanya seorang raja yang bergelar Shri Mahaguru
(1324 – 1328 M). Pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh raja Shri Astasura Ratna
Bhumi Banten (prasasti Patapan Langgahan/ 1377 M). Beliau disimbolkan pada sebuah
patung yang tersimpan di Pura Tegeh Koripan (Kintamani). Shri Astasura dalam
pemerintahannya didampingi oleh seorang mangkubumi/ mahapatih bernama Ki
Pasunggrigis. Karang Kepatihannya di Desa Tengkulak didekat istana raja di Bedahulu.
Raja juga mempunyai seorang mentri/ rakrian yang bernama Ki Kebo Iwa/ Kebo Taruna
yang tinggal di daerah Blahbatuh. Daerah kekuasaan kerajaan ini meliputi Buleleng,
Jimbaran, Tenganan, Batur, Tianyar, Seraya dan Taro. Masing-masing daerah itu
dipimpin oleh seorang Krian.
10 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
Oleh karena raja Shri Astasura tidak mau tunduk terhadap Kerajaan Majapahit
maka raja Majapahit waktu itu, Raja Hayam Wuruk kemudian mengutus Patih Gajah Mada
untuk menyerang Bali (1343 M). Setelah Bali ditaklukan oleh Majapahit, sejak saat itu Bali
diperintah oleh para Arya (kasta ksatria) yang didatangkan dari Majapahit dan pusat
pemerintahan dipindah ke Samprangan, Klungkung. Namun pada masa tersebut terjadi
pemberontakan yang terus menerus terutama yang dilakukan oleh masyarakat Bali Aga
sebagai pengikut dari sisa kerajaan Badahulu.
Bali mulai mengalami ketentraman lagi pada masa raja Dalem Waturenggong
(1460 – 1552 M) dengan pusat pemerintahannya di Swecapura (Gelgel). Pada masa ini Bali
kedatangan 2 orang pendeta suci dari Jawa yaitu seorang pendeta Buddha yang dikenal
sebagai Danghyang Astapaka dan seorang pendeta Siwa yaitu Danghyang Nirartha.
Rsi Markandeya
Tempat suci yang berhubungan dengan Maha Rsi Markandeya di Bali adalah
pendirian Pura terbesar di Bali yatu Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung
(Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten
Karangasem Bali.
Dikisahkan, Salah satu keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu,
beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang
Meru. Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata.
Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana, dan Sang Niata mempunyai putra
bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan
sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya.
Rsi Markandeya sangat tampan dan mempunyai banyak ilmu, Lama beliau
membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang
bergelar Hyang rsi Dewa Sirah.Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya
adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa (India Kuno dimana
dahulu Raja Bharata berkuasa).
11 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
Dan Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah
selatan India di bagian timur Nusantara dengan beberapa murid beliau yang telah siap turun
gunung.
Perjalanan beliau pertama menuju Gunung Dumalung di Hyang yang disebut
gunung Hyang atau Dewata. Namun disana sudah ada pertapaan Sang Ida putra Rsi
Trenawindhu yang merupakan murid dari Sang Hyang Maharsi Agastya. Yang telah
bertapa di tanah Jawa dan telah berbaur dengan Sapta Rsidi sana.
Dan itulah sebabnya Hyang Mahayogi Merkandeya pergi ke tempat lain yaitu Gunung
Raung, Jawa timur. Disana beliau bertapa dan membangun pesraman, dan pada suatu hari
Belau mendengar Sabda Dari Akasa dan melihat sinar menjulang ke Akasa, Sabda didengar
dari leluhur Beliau Hyang Jagatnatha, dan Sabda itu memerintahkan Mahayogi
Markandeya pergi ke arah timur yaitu Bali pulina. Sebelah timur Tanah jawa, dan di
Sabdalan itu karena di Bali Pulina ada Stana Para Dewa yaitu di Gunung Tohlangkir
(Gunung Agung).Yang pada saat itu disebut Giri Raja, Dalam Sabda beliau mendengar
bahwa Gunung itu adalah potongan Gunung Maha Meru yang di bawa hyang Pasupati
untuk memngunci Dunia saat itu. Akhirnya Mhayogi markandeya pergi kea rah Timur Bali
sesuai sabda dengan pengikutnya 800 orang. Beliau berkehendak berdharmayatra
menyebarkan ajaran ajaran Tri Sakti paksa, terutama Waisnawa Paksa segala aturan
Tatacara upacara dan upakaranya. Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama
kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi
pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan.
Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini
lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas
yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang
menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri Tirai Bambu, Cina, banyak
bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter
dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di
antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari
Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di
satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba
sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas
papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi.
Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih
Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian
dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya
Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi
Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa.
Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di
Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa
Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur
ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa
12 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan
perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun
banyak tempat suci. Di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan,
tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan
pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila
dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni sebagai guru
pengajian yaitu memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura
Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua
dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi.
Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku Eka
Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan
bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.
Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II,
karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan,
kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang
dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan
membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-
bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan
rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan.
Kini lokasinya di Desa Adat Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten
Gianyar. Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya
Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan
ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek
Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha
pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa
marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus
puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas
ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran
swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh
akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge
sawah mwang tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua
di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya
melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon
perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap
13 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa
yajnya dan Bhuta yajnya, serta memuja Pertiwi.
Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa (kini bernama
Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti
otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama.
Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur
pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa
Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus
memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara
berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas
menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa
Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan.
Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi
Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya
menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana.
Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana
14 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan
sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.
Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih
berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang
dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan,
Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah.
Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai
fungsi dan jabatan yang dipegang.
Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Bali dwipa, banyak meninggalkan atau
ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat,
tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.
Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura
Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih,
Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat
yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Panca Datu, lima jenis logam
mulia.
Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi
beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan komplek pura Basukian
dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa
Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai
tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah
menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.
Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan
lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung
Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa
Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari
tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi
Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di
Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi.
Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini
menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak
tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga
semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.
Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi
Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat
sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa
mala.
15 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya
iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida
Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga
Waisnawa.
16 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
yang digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa
ider-ider,
lelontek,
dll.
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan
pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek
Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang
menciptakan getah.
Rsi Agastya
Di dalam sejarah penyebaran Agama Hindu, Rsi Agastya adalah sangat terkenal
jasa-jasanya. Menurut Pustaka Purana dan Mahabharata, beliau lahir di Kasi (Benares)
sebagai penganut Siwa yang taat. Beliau merupakan sebagai pemegang obor dan memberi
penerangan suci ke seluru pelosok. Beliau meninggalkan kota Kasi menuju ke selatan
sebagai Dharmaduta menyebarkan Agama Hindu. Di India Selatan, Beliau dapat
menaklukkan para Asura dan oleh karena ajaran-ajaran Dharmanya dapat menjadikan
Daerah Selatan tempat perkembangannya Dharma. Kemuliaan nama beliau menyebar luas
sampai ke India Belakang dan Indonesia sebagai penyebar agama Hindu. Di India
Belakang nama beliau disebut dalam prasasti-prasasti.
Di Indonesia denagn jelas disebut dalam prasasti Dinaya. Di Jawa Timur pada abad
ke 8 dibuatkan pelinggih untuk beliau. Oleh karena kebesaran dan kesucian Maha Rsi
Agastya, maka juga disebut Bhatara Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia mengajarkan
Dharma. Di dalam sejarah agama Hindu di Indonesia, Maha Rsi Agastya disucikan
namanya dalam prasasti-prasasti dan kesusastraaan-kesusastraan kuno. Yang terdahulu
17 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I
sekali menyebut nama beliau ialah prasasti Dinaya di Jawa Timur tahun Saka 682 di mana
seorang Raja bernama Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Rsi
Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk mengatasi kekuatan yang
gelap. Juga di Porong (Jawa Tengah). Prasasti tahun Saka 785 menyebutkan bahwa
“Selama matahari dan bulan ada di cakrawala dan selama dunia ini dikelilingi oleh empat
Samudra, selama dunia ini dipenuhi oleh hawa, selama itu ada kepercayaan kepada Maha
Rsi Agastya.”
Di Bali didapatkan pemuliaan nama Rsi Agastya sebagai saksi dan penguat
sumpah-sumpah (Harichandana). Pemuliaan terhadap Bhatara Guru yaitu Maha Rsi
Agastya tidak hanya terbatas pada Bali, Jawa dan Lombok saja tetapi juga di Sulawesi
bagian Selatan, Kalimantan dan lain-lainnya. Mengingat usaha-usahanya dalam
Dharmayatra ini maka banyak istilah-istilah yang diberikan kepada Maha Rsi Agastya di
antaranya:
a. Agastya Yatra, artinya perjalanan suci yang tak mengenal kembali dalam
pengabdiannya untuk Dharma.
b. Pita Sagara, artinya Bapak dari Lautan, karena mengarungi lautan-lautan yang
luas demi untuk Dharma.
18 | A g a m a H i n d u K e l a s X I I