Anda di halaman 1dari 10

Pemberian Izin Hak Pengelolaan Lahan di Batam Ditinjau Dari

Perspektif Persaingan Usaha

Oleh :

Yudhi Priyo Amboro, SH, M.Hum1

Latar Belakang Sistem Pengaturan Lahan di Batam


Latar belakang sistem pengaturan lahan di Batam dipengaruhi dengan kondisi
investasi pada saat itu, dimana Pemerintah Indonesia melihat potensi adanya
kedekatan dengan negara tetangga untuk membuat sebuah tempat industri, dan
diharapkan sebagai terjadi persaingan di bidang investasi di kawasan Sijori
(Singapura, Johor, Riau). Selanjutnya lahirlah Kepres No. 41 Tahun 1973 tentang
Daerah Industri Pulau Batam yang membentuk sebuah badan bernama Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, yang dikenal dengan sebutan Otorita
Batam. Selanjutnya Keppres No. 41 Tahun 1973 ini diubah dengan Keppres No. 45
Tahun 1978, Keppres No. 58 Tahun 1989, Keppres No. 94 Tahun 1998, dan Keppres
No. 113 Tahun 2000. Pada intinya, berdasarkan ketentuan tersebut Otorita Batam
bertanggungjawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam
dan mempunyai tugas sebagai berikut :
- Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai
suatu daerah industri
- Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi-instalasi
prasarana dan fasilitas lainnya
- Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalihan-kapalan
(transhipment) di Pulau Batam
- Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan oleh para
pengusaha serta mengajukan kepada instansi-instansi yang bersangkutan
- Menjamin agar tata cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang diperluakan
dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam dapat berjalan
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam
2

lancar dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para
pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam.

Selanjutnya berdasarkan kewenangan tersebut, maka Otorita Batam


mengadopsi ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-
Ketentuan Kebijaksanaan selanjutnya, yang juga mengatur mengenai Hak
Pengelolaan. Hal ini tampak jelas di dalam Pasal 6 Keppres No. 41 Tahun 1973
yang pada intinya menyebutkan bahwa seluruh areal tanah yang terletak di
Pulau Batam diserahkan dengan HPL kepada Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam. Kawasan HPL Otorita Batam berkembang dan meluas ke
pulau-pulau sekitarnya dengan keluarnya Keppres No. 56 Tahun 1984 dan
terakhir dengan Keppres No. 28 Tahun 1992. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1965 ini merupakan perwujudan dari Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No.
5 Tahun 1960, yang pada intinya menyebutkan bahwa negara dapat memberikan
tanah yang dikuasainya kepada suatu Badan Penguasa untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugas masing-masing. Hal ini merupakan perwujudan dari Hak
Menguasai oleh Negara (HMN). Selanjutnya, di dalam Peraturan Menteri Agraria
Nomor 9 Tahun 1965 tersebut di dalam Pasal 2 disebutkan pada intinya bahwa
jika tanah negara selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri,
juga diberikan kepada pihak ketiga, dikonversi menjadi Hak Pengelolaan. Dasar
hukum inilah yang pertama kali diadopsi oleh Otorita Batam untuk menjadikan
lahan di Pulau Batam menjadi Hak Pengelolaan mengingat tugas Otorita Batam
untuk mengembangkan Pulau Batam sehingganya dimungkinkan pemberian
lahan kepada pihak ketiga.
Selanjutnya permohonan untuk mendapatkan lahan di atas Hak Pengelolaan
Otorita Batam diacu pertama kali pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1
Tahun 1977 dan juga ketentuan yang ditetapkan oleh Otorita Batam, yang
mempersyaratkan permohonan harus dilampiri dengan :
a. Mengenai pemohon
- Jika perorangan : fotocopy surat bukti identitas, surat bukti
kewarganegaraan Indonesia
- Jika badan hukum : fotocopy Akta atau Keputusan Pendirian dan salinan
surat keputusan penunjukkannya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku

b. Mengenai tanahnya
- Data yuridis : sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan
hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli
oleh pemerintah, akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan,
3

Surat Keputusan dari Badan Otorita Batam dan surat-surat bukti


perolehan tanah lainnya.
- Data fisik : surat ukur, gambar situasi, Gambar Penetapan Lokasi dari
Otorita Batam, dan Izin Mendirikan Bangunan jika ada.
- Surat lain yang dianggap perlu seperti Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir, khusus untuk yang
luas tanahnya 200 m2 atau lebih.
- Surat Perjanjian Pengalokasian, Penggunaan dan Pengurusan Tanah atas
Bagian-Bagian Tertentu dari Pada Tanah Hak Pengelolaan Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (SPJ)
- Rekomendasi dari Badan Otorita Batam.

Selain itu terdapat ketentuan khusus yang diatur oleh Otorita Batam itu sendiri,
yaitu :
- Memperoleh izin peralihan dari Badan Otorita Batam
- Setelah memperoleh izin, maka subyek pemegang hak harus membayarkan
uang muka sebesar 10% dari jumlah Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO)
yang harus dibayarkan.
- Menandatangani Surat Perjanjian Pengalokasian, Penggunaan dan
pengurusan Tanah atas Bagian-Bagian Tertentu Daripada Tanah Hak
Pengelolaan Otorita pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (SPJ)

Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Bumi dan Kandungannya


Konsep konsesi yang ada di Indonesia tidak jauh mengacu pada Pasal 33 UUD
1945 terutama dalam ayat (3)-nya yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsep penguasaan oleh negara,
sebagaimana diacu oleh Otorita Batam dengan Hak Pengelolaan-nya, merupakan
konsep konsesi yang ada di Indonesia. Yang harus digarisbawahi disini adalah
perbedaan antara penguasaan dan kepemilikan. Ada pandangan doktrin hukum
yang bisa dijadikan referensi mengenai perbedaan penguasaan dan kepemilikan
sebagai berikut :
Bahwa kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan
antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam dik dalamnya sebagai
hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat
maupun di negara-negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan
Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan
tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan
perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Negara selaku penerima kuasa
4

harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi


kuasa.2

Selanjutnya Maria S. Sumardjono membatasi kewenangan negara tersebut dalam


dua hal :3
- Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur
oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar
manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
- Pembatasan yang bersifat substantif. Semua peraturan pertanahan harus
ditujukan untuk terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA. Sementara itu, ruang
lingkup pengaturan pertanahan harus mengacu pada Pasal 2 ayat (2) UUPA.
Konsekuensinya, kewenangan pembuatan kebijakan tidak dapat
didelegasikan kepada organisasi swasta karena yang diatur itu berkaitan
dengan kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak
swasta merupakan bagian dari masyarakat yang ikut diwakili kepentingannya
sehingga tidak bisa ikut mengatur karena hal itu akan menimbulkan konflik
kepentingan.

Konsep Pengalihan Hak Penguasaan oleh Negara kepada Swasta Ditinjau dari
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa konsep pengalihan hak penguasaan negara di
atas bukanlah diberikan kepada swasta secara langsung. Akan tetapi Hak Menguasai
oleh Negara (HMN) tetap dipegang oleh Badan Penguasa, dalam hal ini adalah
Otorita Batam. Sebagaimana merupakan amanat dari Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa
HMN dapat dikuasakan hanya kepada daerah-daerah swatantra (vide Badan
Penguasa) dan bahkan kepada masyarakat adat khusus untuk tanah yang berkaitan
dengan hak ulayat. Sedangkan konsepsi yang ada di Pulau Batam sebagai daerah
industri, HMN diberikan kepada Otorita Batam sebagai pemegang lahan dengan
menggunakan mekanisme Hak Pengelolaan, dan selanjutnya berdasarkan Hak
Pengelolaan tersebut dapat diberikan hak atas tanah lain sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Parameter yang paling mudah digunakan
dalam teknisnya adalah ketika ada perpanjangan terhadap Hak Guna Bangunan di
atas lahan Hak Pengelolaan Otorita Batam dan Otorita Batam tidak memberikan

2
Maria Sriwulan Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Penguasaan Tanah oleh
Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 14 Februari 1998, hlm 4-9.
3
Ibid.
5

rekomendasi dan ijin perpanjangannya, maka siapapun tidak dapat melakukan


perpanjangan tersebut.
Dikaitkan dengan tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, terutama berkaitan
dengan mewujudkan iklim usaha yang kondusif, maka pemberian hak atas tanah di
atas Hak Pengelolaan Otorita Batam tidaklah berkaitan dengan reduksi persaingan
usaha, justru mempercepat peningkatan iklim usaha, terutama di Pulau Batam.
Sebagaimana merupakan asas yang dikandung oleh UUPA, bahwa tanah merupakan
benda yang harus dilakukan pengelolaannya, dengan kata lain diusahakan secara
optimal sehingga tidak terjadi lahan terlantar. Dengan logika hukum itulah, maka
Otorita Batam berusaha untuk menggunakan kewenangannya yang ada berdasar
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengusahaan-
pengusahaan lahan, dengan catatan bahwa segala pemberian lahan tersebut
haruslah dioptimalkan sebagaimana peruntukkannya. Meskipun demikian, masih
tampak secara empiris mengenai tanah terlantar di Pulau Batam ini. Hal ini
seharusnya yang menjadi konsen utama dari Otorita Batam sebagai pihak yang
diberikan kepercayaan untuk mengelola lahan di Pulau Batam ini, selain pemberian
hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan Otorita Batam kepada pihak ketiga. Sejauh
ini, konsep kebijakan dalam pemberian lahan di atas HPL tersebut masih
menggunakan sistem first to file, yang berarti bahwa barang siapa yang datang
untuk memohon terlebih dahulu akan dilayani dan diberikan persetujuan jika telah
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, dibandingkan dengan investor yang
datang belakangan. Menurut saya, bisa dimungkinkan adanya tender untuk
mendapatkan lahan di Pulau Batam ini, akan tetapi lahan-lahan yang bersifat
“emas”, yang berarti berlokasi strategis bagi usaha tertentu. Hal ini tentu saja dapat
akan lebih meningkatkan daya persaingan bagi investor-investor itu sendiri,
terutama untuk mendapatkan lahan yang strategis. Akan tetapi tidak semua lahan di
Pulau Batam harus ditenderkan, karena ada lahan yang sebagian mempunyai fungsi
sosial, yaitu sebagai dukungan infrastuktur sosial bagi sebuah industri, seperti
kawasan perumahan, pasar tradisional dan area hiburan publik. Hal ini harus sejalan
dengan asas yang dianut oleh Pasal 6 UUPA itu sendiri, yaitu “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. Ketentuan ini juga merujuk dari Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, dalam frase “….dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Jadi, dalam pemberian kebijakan lahan di atas HPL Otorita Batam kepada
investor, meskipun dilakukan mekanisme tender sekalipun, harus juga
memperhatikan fungsi sosial tersebut. Menurut saya, fungsi sosial secara luas dalam
hal ini dapat diartikan sebagai dua arti, yaitu :
- Mekanisme mendapatkan lahan harus memperhatikan fungsi sosial, harus
tidak semua menggunakan mekanisme tender, sehingga tidak hanya orang
yang mempunyai modal besar yang akan mendapatkan lahan di atas HPL
6

Otorita Batam, akan tetapi juga masyarakat biasa, baik secara individu
maupun secara komunal.
- Lahan untuk investor harus memperhatikan fungsi sosial. Ketika investor
mendapatkan lahan dari Otorita Batam, baik dengan mekanisme
permohonan maupun tender sekalipun, investor tersebut harus
memperhatikan kepentingan masyarakat, terutama masyarakat di sekitar
lingkungan lahan dimaksud, sehingga tidak menghancurkan kehidupan
masyarakat akan tetapi justru meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu
sendiri.

Hilangnya Izin Konsesi Lahan


Di dalam konteks hukum pertanahan, hilangnya hak atas tanah dikarenakan sebab-
sebab yang berbeda, tergantung dari jenis hak atas tanah tersebut. Akan tetapi
secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa ada hal-hal yang dapat mengakibatkan
hapusnya hak atas tanah dimaksud, yaitu apabila (1) jangka waktunya berakhir, (2)
dihentikan sebelum waktunya berakhir karena suatu persyaratan tidak dipenuhi, (3)
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, (4) dicabut
untuk kepentingan umum, (5) ditelantarkan, (6) tanahnya musnah, (7) orang atau
badan hukum tidak lagi memenuhi syarat dalam hal kewarganegaraan dan domisili
hukum dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan.

Selain itu, hilangnya izin konsesi lahan sebelum dilakukannya pengurusan hak atas
tanah, dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan dari Otorita Batam,
halmana mirip dengan hapusnya hak atas tanah di atas, kecuali terhadap kondisi
nomor 7.

Perubahan Peruntukkan Lahan di Pulau Batam Yang Diberikan kepada Investor


Dalam konteks perubahan peruntukkan, hal ini sangat erat berkaitan dengan
ketentuan tata ruang di daerah tersebut. Jadi tidak semata-mata perubahan
tersebut terjadi oleh karena permohonan dari investor semata, tetapi harus
disesuaikan dengan ketentuan tata ruang di daerah dimaksud.
Pengaturan tata ruang di wilayah Kota Batam diatur secara yuridis dalam sebuah
Peraturan Daerah Kota Batam, dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Batam No. 2
Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam tahun 2004-2014
(RTRW Kota Batam), yangmana Perda dimaksud harus mengacu pada Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perda ini, selama masih
berlaku, menjelaskan rencana alokasi pemanfaatan ruang wilayah darat dan wilayah
laut di Kota Batam yang terdiri dari :
7

- rencana alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, yang mencakup


kawasan lindung wilayah darat dan kawasan lindung wilayah laut
- rencana alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya, mencakup
kawasan budidaya wilayah darat dan kawasan budidaya di wilayah laut

Secara lengkap Tata Ruang Wilayah Kota Batam ini dapat dilihat dalam gambar
sebagai berikut :
8
9

Pada saat era perencanaan di Pulau Batam pada sekitar tahun 1969-1983, yang
dilakukan oleh Otorita Batam, pihak Otorita Batam sebenarnya juga telah melakukan
perencanaan tata ruangnya sendiri, sehingga dibuatlah Blue Print Pembangunan dan
Pengelolaan Pulau Batam. Tata ruang yang ditegaskan oleh Otorita Batam tampak
pertama kali pada Surat Keputusan OPDIPB No. 033/UM-KPTS/III/86 tentang
Petunjuk Pelaksanaan untuk Penyerahan Bagian-bagian Areal Tanah di Pulau Batam
kepada Pihak Ketiga yang menyebutkan mengenai penggunaan tanah untuk jasa
(perkantoran, pergudangan, perhotelan, pertokoan), perumahan, industri,
pariwisata, instansi pemerintah dan rumah ibadah/sosial dan pendidikan, dan juga
kawasan perkebunan, peternakan dan perikanan. Pada kenyataannya, Tata Ruang
yang ditetapkan oleh Otorita Batam berbeda dengan Tata Ruang versi Pemerintah
Kota Batam. Hal inilah yang terkadang membingungkan investor. Meskipun
demikian, setelah adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, sepatutnya apabila
Otorita Batam dalam memberikan lahannya juga mengacu pada Tata Ruang Wilayah
Kota Batam yang menurut mekanisme undang-undang tersebut ditetapkan dengan
menggunakan sebuah Peraturan Daerah.

Pengalihan Izin dari Satu Investor kepada Investor Lain


Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa selama investor baru dapat memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh Otorita Batam, maka investor baru tersebut dapat
menggantikan kedudukan investor lama pada lahan yang sama, dengan catatan
diantara keduanya telah tercapai kesepakatan mengenai peralihan lahan dimaksud.

Pemanfaatan Lahan dengan Hak Pengelolaan


Pada awalnya pemanfaatan lahan dengan Hak Pengelolaan berdasarkan Pasal 2 ayat
(4) UUPA jo. Permen Agraria No. 9 Tahun 1965 diperuntukkan untuk kepentingan
pelayanan publik, yaitu untuk kantor-kantor pemerintahan dan berkenaan dengan
tugas-tugas pemerintahan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan jaman, sejak
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 yang dilanjutkan dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977, fungsi HPL untuk publik tersebut
diperluas menjadi fungsi publik dan fungsi komersialisasi. Pada saat tersebut, terjadi
kecenderungan “calo tanah” terhadap tanah HPL karena ketidakjelasan bentuk
perjanjian antara pemegang HPL dan pihak ketiga, yang diakibatkan oleh multi tafsir
dari ketentuan yang ada, yang mengakibatkan prakteknya uang pemasukan tersebut
yang beragam antara subyek HPL satu dengan HPL yang lain. Sehingga muncul Surat
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 yang menyebutkan bahwa uang
pemasukan yang diterima oleh pemegang HPL dari pihak ketiga bukanlah perjanjian
sewa menyewa tanah. Menurut UUPA, yang dapat melakukan sewa menyewa
adalah perorangan ataupun badan hukum swasta, dan bukanlah negara ataupun
10

badan yang dikuasakan darinya. Akan tetapi pada kenyataannya praktek


“perusahaan tanah/calo tanah” tersebut tetap berjalan sampai dengan saat ini,
menyimpang dari arahan dari UUPA itu sendiri.

Secara pragmatis hukum sepatutnya sebuah HPL yang diberikan kepada pihak ketiga
dibebankan adanya hak atas tanah di atasnya, sehingga tercipta sesuatu hak atas
tanah, dan tidak sekedar hak penguasaan berdasarkan hukum perdata (vide Pasal
1963 KUHPerdata jo. Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah). Perbedaan antara pemegang Penetapan Lokasi oleh Otorita Batam (PL) yang
tidak mempunyai sertifikat hak atas tanah dengan pemegang Penetapan Lokasi oleh
Otorita Batam yang mempunyai sertifikat hak atas tanah adalah terletak di
pemberian perlindungan hukum terhadap hak atas tanahnya tersebut. Bagi
pemegang PL yang telah bersertifikat hak atas tanah, maka Hukum Agraria dan
Hukum Perdata secara umum akan melindungi haknya sampai dengan hapusnya hak
tersebut. Sedangkan pemegang PL tanpa adanya sertifikat hak atas tanah tentu
hanya akan berlandaskan pada Hukum Perdata saja, tanpa adanya perlindungan
hukum dari Hukum Agraria. Sedangkan di dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA telah jelas
disebutkan mengenai Asas Pemisahan Horizontal yang memungkinkan pemegang
hak atas tanah berbeda dengan pemegang hak atas benda-benda di atasnya. Hal ini
berarti bahwa hak yang diakui secara perdata hanyalah apa yang ada di atas atau di
dalam tanah, selain tanah itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai