PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue telah muncul di Indonesia sejak abad ke 18, dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter kebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue dikenal
sebagai penyakit demam lima hari (Vijf Daagse Koorts) kadang disebut juga demam
sendi (Knokkel Koorts). Disebut demikian oleh karena demam menghilang dalam lima
hari, disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala hebat. Pada saat itu Infeksi
virus dengue merupakan penyakit yang ringan dan tidak pernah menyebabkan kematian,
tapi sejak tahun 1968 mulai dilaporkan adanya pasien demam berdarah yang meninggal
di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi1.
Faktor – faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini
sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak
terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan
peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk,
transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi geografis setempat2.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh keadaan iklim dan
kelembapan udara. Pada suhu yang panas (28 – 32°C) dengan kelembapan yang tinggi,
nyamuk aedes akan tetap bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Di Indonesia oleh
karena suhu udara dan kelembapan tidak selalu sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda. Di Jawa pada umumnya infeksi dengue terjadi pada
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak pada bulan April – Mei setiap
tahun3.
Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade
terakhir. Sekitar 40 % dari penduduk dunia (2,5 trilyun orang) di daerah tropis dan sub
tropis beresiko terkena DHF. Penyakit ini kini menjadi penyakit yang endemik di
Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap tahun bahkan sampai
terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia4. Sampai saat ini 200 kota telah
melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100 000 penduduk
pada tahun 1968 menjadi berkisar 6 – 27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini 3.
1
Jumlah kasus Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei 2004
mencapai 64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang
(CFR 1,1 %)5.
DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan
umur di Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia
sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun4. DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin
untuk pencegahan dan penatalaksanaannya hanya bersifat suportif. Keberhasilan
penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi secara dini fase kritis dan
penanganan yang cepat dan tepat5.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala
perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan
trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau
lebih dari harga normal1.
2.2 Epidemiologi
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global.
Sebanyak 2,5 – 3,0 triliyun penduduk di seluruh dunia memiliki risiko menderita
penyakit ini. Di seluruh dunia 50 – 100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya
sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak
2
– anak usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan
sekitar 25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya6.
3
Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih
Hidup di dalam dan di sekitar rumah
Menggigit/menghisap darah pada siang hari
Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap
semut dan lain-lain.
4
Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus
dengue, dia akan sakit demam ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai
perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya3.
5
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.2,4
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika
terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.6 Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga
juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.6
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada gambar 2.3 Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan
kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga
6
serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.4
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat ), sehingga trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulapati konsumtif ( KID; koagulasi intravaskular deseminata ), ditandai
dengan peningkatan FDP ( fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan
7
faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif
pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan
akan memperberat syok yang terjadi.4
berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue ( SSD ).1
8
Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2 – 7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, manifestasi
perdarahan dan leukopenia1.
9
Gambar 2.5 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue6.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakanh berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
1986 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan
untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan ( Overdiagnosis )1.
Kriteria Klinis :
10
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas berlangsung terus menerus selama
2 – 7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji torniquet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis / melena.
c. Pembesaran hati
d. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratoris :
a. Trombositopenia ( 100.000 / mm3 atau kurang )
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau lebih,
menurut standar umur dan jenis kelamin.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit cukup untuk menegakan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan
atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau
terjadi perdarahan. Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan trombositopenia
mendukung diagnosis DBD1.
11
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva. 3
Identifikasi Virus :
Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence
antibody technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan
cunjugate. Untuk identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara
Uji Serologi :
1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)
Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai
dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak
dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun),
maka uji ini baik digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari
titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif,
atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent
dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh
karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan
tenaga periksa yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI,
antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3
tahun )
12
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang
terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan
dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan
bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu
yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa )
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali
dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum
pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang
diikuti oleh IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setselah adanya
infeksi. Untuk memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji
terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu –
satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan
kelebihan uji mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesifitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI ,
hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi
dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang
telah beredar di pasaran.
13
Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase
konvalesen terhadap titer antibodi fase akut ( naik empat kali kelipatan atau lebih )3.
Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi virus
dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase Polymerase
Chai Reaction (RTPCR). Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan
spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.
Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan
tubuh manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR
tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam
penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak
mempengaruhi hasil dari PCR3.
14
demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet
positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan
perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada
hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas
terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP
demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia.
Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder3.
2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dapat dirawat di ruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. 1
Pada kasus DB|D derajat I dan II
1. Tirah baring3.
2. Asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi
Asupan makanan berupa diet makanan lunak. Pasien dianjurkan untuk banyak
minum, 2-2,5 liter dalam 24 jam. Pemberian cairan oral bertujuan untuk
15
mencegah dehidrasi. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis,
sirup, susu, serta larutan oralit. Apabila cairan oralit tidak dapat diberikan karena
penderita muntah , tidak mau minum, atau nyeri perut yang berlebihan sebaiknya
diberikan secara intravena3.
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin dan dipiron.
Paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39o C
dengan dosis 10-15 mg / kgbb / kali. Hindari pemberian salisilat (aspirin, asetosal)
karena dapat menimbulkan pendarahan saluran cerna dan asidosis. Selain
pemberian obat-obatan juga dilakukan pemberian kompres dingin.3
4. Monitor tanda- tanda vital (suhu, nadi. Tekanan darah, pernafasan). Jika kondisi
pasien memburuk observasi ketat tiap jam. Periksa hemoglobin, hematokrit dan
trombosit setiap hari, terutama saat dimana periode febris berubah menjadi
afebris. Monitor tanda-tanda renjatan dini meliputi keadaan umum, perubahan
tanda-tanda vital, hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk. Bila
penderita terus muntah atau keadaan semakin memburuk perlu diberkan cairan
per intravena dengan Ringer laktat atau Dekstrosa 40 % dalam NaCL 0,9 %.3
16
3. Monitor tekanan darah , nadi, dan respirasi tiap 1-2 jam, Hb dan HCT tiap 4 jam.
Observasi hepatomegali, pendarahan , efusi pleura, gejala edema paru, produksi
urin dan suhu badan.
4. Koreksi keseimbangan asam dan basa
5. Transfusi darah, sebaiknya darah segar. Indikasinya pendarahan nyata seperti
hematemesis, melena, epistaksis terus menerus
6. Pemberian antibiotik bila diperkirakan adanya infeksi sekunder.
7. Oksigen pada setiap pasien syok
8. Trombosit konsentrat. Pemberian ini masih kontroversial
2.10 Penyulit
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari
koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat
menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan
dengan kegagalan hati akut3.
17
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau
somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila
pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya
ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu
dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi
dan kesadaran tetap menurun (Hati – hati bila jumlah trombosit < 50.000 / μl). Pada
ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT / SGPT), PT dan
PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah, dan
hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah)3.
Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang.
Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah
syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok
belum teratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok
berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai
penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin3.
Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler,
apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami
distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran
oedema paru pada foto rontgen3.
18
2.11 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam
Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)
Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut8:
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-
lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat
minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain
agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan
lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap
disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk
ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.
Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup
dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu
sendok makan peres berisi 10 gram ABATE.
Setelah dibubuhkan ABATE maka8:
1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti
airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan
air tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan
dan tetap aman bila air tersebut diminum
19
2.12 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan,
umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat
III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian
pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan
yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan
Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang
dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai
komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk3.
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
II. HETEROANAMNESIS
KU : Panas Badan
Riwayat Penyakit Sekarang
- Os dikeluhkan panas badan sejak hari kamis (3 April 2008, pk 17.00 WITA),
panasnya mendadak tinggi, panas sempat turun dengan obat penurun panas tapi
kemudian naik lagi, panas tidak disertai kejang, tidak disertai mengigil ataupun
berkeringat.
- Sakit kepala (+) hilang timbul sejak 3 hari SMRS terasa nyut-nyut, pegal-pegal dan
nyeri sendi terutama pada kaki sejak hari kamis, nyeri perut (-), nyeri bagian
belakang bola mata (-).
- Batuk (+) sejak 2 hari SMRS, jarang, dahak (-).
20
- Mimisan (-), bintik-bintik merah kecil pada kedua tangan dan kaki os (-), berak
darah (-) dan Perdarahan gusi (-).
- Mual (-), muntah (-)
- Pilek (-)
- Buang air besar normal, konsistensi padat, kuning, mencret (-)
Buang air kecil terakhir ± pkl 15.00 (1 jam SMRS), warna kuning jernih, tidak
pekat.
- Nafsu makan dan minum menurun sejak sakit, Os merasa mual dan ingin muntah
setiap makan dan minum.
- Aktivitas sehari-hari Os menurun sejak sakit.
21
Status present
KU : Sedang
Kesadaran : E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 112x/ menit reguler, isi cukup
Respirasi : 24 x/ menit
Suhu aksila : 37,3 °C (dengan pemberian antipiretik : Antiza)
Berat badan : 15 kg
Status Gizi : 95 % (Status gizi Waterlow normal)
Status General
Kepala : Normo Cephali, Ubun-ubun besar menutup
Mata : anemis -/- ikterus -/- reflek pupil +/+ isokor
THT : Telinga : tidak dievaluasi
Hidung : NCH(-), sianosis(-), darah(-)
Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Faring Hiperemis (-)
Thorax : Cor : S1S2 Tunggal Reguler normal, murmur (-)
Po : BronchoVesicular +/+ Ronchi -/- wheezing -/-
Simetris (+), retraksi (-)
Abdomen : Distensi (-), Bising Usus (+) Normal
Hepar/Limpa : Tak teraba, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pada keempat ekstremitas
Petecchie (+), Cappilary Refill < 2 detik
22
WBC (K/μL) 3.05 2.22 4.75 4.30 5.60
RBC (M/μL) 4.18 4.09 4.33 4.20 4.2
V. DIAGNOSIS
DHF Grade I (panas hari ke III mulai pk 17.00 WITA)
Planning Diagnosis
- Uji Darah Lengkap setiap 24 jam atau sesuai gejala klinis
- Ig G atau Ig M anti Dengue pada hari keenam
- Observasi vital sign
- Observasi tanda-tanda perdarahan dan syok
- Balance cairan
- Pasang lingkar Abdomen
23
VII. FOLLOW UP SAAT MRS
Tanggal Subyektif, Obyektif, Assesment Terapi dan Planning Diagnosis
6/4/2008 S : batuk (+), Panas (+) Tx :
IVFD RL 16
O : St. Present tetes/menit
KU : sedang Cefotaxim
Kes : CM 3x500 mg (iv)
N : 88 x/menit Antiza 3xCth ½
R : 28 x/menit
tax : 37,8 °C KIE keluarga
St General PDx :
Kepala : Normo Cephali, Cek DL @ 24
UUB menutup jam
Mata : an -/- ikt -/- Rp +/+
isokor Monitoring :
THT : Vital Sign
Telinga : tidak dievaluasi Balance Cairan
Hidung : NCH(-), sianosis Tanda-tanda
(-), darah(-) syok
Tenggorok : Tonsil T1/T1
hiperemis (-)
Faring Hip (-)
Thorax :
Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)
Po : BV +/+ Rh -/- wh -/-
Simetris (+),retraksi (-)
Abdomen : Distensi (-),
B.Usus (+) N
Hepar/Limpa:
Tak teraba,
Nyeri tekan(-)
Ekstremitas : Hangat (+)
sianosis (-)
edema (-)
pd 4 ekst.
Petecchie (+),
Cap.Ref<2 dtk
24
perdarahan (-) IVFD RL 16
tetes/menit
O : St. Present Cefotaxim
KU : sedang 3x500 mg (iv)
Kes : CM Antiza 3xCth ½
N : 92 x/menit
R : 24 x/menit KIE keluarga
tax : 36 °C
PDx :
St General Cek DL @ 24
Kepala : Normo Cephali, jam
UUB menutup
Mata : an -/- ikt -/- Rp +/+ Monitoring :
isokor Vital Sign
THT : Balance Cairan
Telinga : tidak dievaluasi Tanda-tanda syok
Hidung : NCH(-), sianosis
(-), darah(-)
Tenggorok : Tonsil T1/T1
hiperemis (-)
Faring Hip (-)
Thorax :
Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)
Po : BV +/+ Rh -/- wh -/-
Simetris (+),retraksi (-)
Abdomen : Distensi (-),
B.Usus (+) N
Hepar/Limpa:
Tak teraba,
Nyeri tekan(-)
Ekstremitas : Hangat (+)
sianosis (-)
edema (-)
pd 4 ekst.
Petecchie (+),
Cap.Ref<2 dtk
25
8/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), Tx :
perdarahan (-) IVFD RL 16
tetes/menit
O : St. Present Cefotaxim
KU : sedang 3x500 mg (iv)
Kes : CM Antiza 3xCth ½
N : 92 x/menit
R : 28 x/menit KIE keluarga
tax : 36,5 °C
PDx :
St General Cek DL @ 24
Kepala : Normo Cephali, jam
UUB menutup
Mata : an -/- ikt -/- Rp +/+ Monitoring :
isokor Vital Sign
THT : Balance Cairan
Telinga : tidak dievaluasi Tanda-tanda syok
Hidung : NCH(-), sianosis
(-), darah(-)
Tenggorok : Tonsil T1/T1
hiperemis (-)
Faring Hip (-)
Thorax :
Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)
Po : BV +/+ Rh -/- wh -/-
Simetris (+),retraksi (-)
Abdomen : Distensi (-),
B.Usus (+) N
Hepar/Limpa:
Tak teraba,
Nyeri tekan(-)
Ekstremitas : Hangat (+)
sianosis (-)
edema (-)
pd 4 ekst.
Petecchie (+),
Cap.Ref<2 dtk
26
9/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), Tx :
perdarahan (-) IVFD RL 16
tetes/menit
O : St. Present Cefotaxim
KU : sedang 3x500 mg (iv)
Kes : CM Antiza 3xCth ½
N : 98 x/menit
R : 30 x/menit KIE keluarga
tax : 36 °C
PDx :
St General Cek DL @ 24
Kepala : Normo Cephali, jam
UUB menutup
Mata : an -/- ikt -/- Rp +/+ Monitoring :
isokor Vital Sign
THT : Balance Cairan
Telinga : tidak dievaluasi Tanda-tanda syok
Hidung : NCH(-), sianosis
(-), darah(-)
Tenggorok : Tonsil T1/T1
hiperemis (-)
Faring Hip (-)
Thorax :
Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)
Po : BV +/+ Rh -/- wh -/-
Simetris (+),retraksi (-)
Abdomen : Distensi (-),
B.Usus (+) N
Hepar/Limpa:
Tak teraba,
Nyeri tekan(-)
Ekstremitas : Hangat (+)
sianosis (-)
edema (-)
pd 4 ekst.
Petecchie (+),
Cap.Ref<2 dtk
27
10/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), Tx :
perdarahan (-) IVFD RL 16
tetes/menit
O : St. Present Cefotaxim
KU : sedang 3x500 mg (iv)
Kes : CM Antiza 3xCth ½
N : 98 x/menit
R : 30 x/menit KIE keluarga
tax : 36 °C
PDx :
St General Cek DL @ 24
Kepala : Normo Cephali, jam
UUB menutup
Mata : an -/- ikt -/- Rp +/+ Monitoring :
isokor Vital Sign
THT : Balance Cairan
Telinga : tidak dievaluasi Tanda-tanda syok
Hidung : NCH(-), sianosis
(-), darah(-)
Tenggorok : Tonsil T1/T1
hiperemis (-)
Faring Hip (-)
Thorax :
Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)
Po : BV +/+ Rh -/- wh -/-
Simetris (+),retraksi (-)
Abdomen : Distensi (-),
B.Usus (+) N
Hepar/Limpa:
Tak teraba,
Nyeri tekan(-)
Ekstremitas : Hangat (+)
sianosis (-)
edema (-)
pd 4 ekst.
Petecchie (+),
Cap.Ref<2 dtk
28
DAFTAR PUSTAKA
29