Anda di halaman 1dari 66

Pertanian

Gambaran klasik pertanian di Indonesia

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan


sumber daya hayati yang dilakukan manusia
untuk menghasilkan bahan pangan, bahan
baku industri, atau sumber energi, serta untuk
mengelola lingkungan hidupnya.[1] Kegiatan
pemanfaatan sumber daya hayati yang
termasuk dalam pertanian biasa dipahami
orang sebagai budidaya tanaman atau
bercocok tanam (bahasa Inggris: crop
cultivation) serta pembesaran hewan ternak
(raising), meskipun cakupannya dapat pula
berupa pemanfaatan mikroorganisme dan
bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan,
seperti pembuatan keju dan tempe, atau
sekadar ekstraksi semata, seperti
penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.

Bagian terbesar penduduk dunia bermata


pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup
pertanian, namun pertanian hanya
menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah
Indonesia sejak masa kolonial sampai
sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor
pertanian dan perkebunan, karena sektor -
sektor ini memiliki arti yang sangat penting
dalam menentukan pembentukan berbagai
realitas ekonomi dan sosial masyarakat di
berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data
BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia
menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3%
penduduk meskipun hanya menyumbang
sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik
bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji
pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu
pendukungnya. Karena pertanian selalu terikat
dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung,
seperti ilmu tanah, meteorologi, teknik
pertanian, biokimia, dan statistika juga
dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming)
adalah bagian inti dari pertanian karena
menyangkut sekumpulan kegiatan yang
dilakukan dalam budidaya. "Petani" adalah
sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan
usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau"
atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan
ternak (livestock) secara khusus disebut
sebagai peternak.

Cakupan pertanian
Pertanian dalam pengertian yang luas
mencakup semua kegiatan yang melibatkan
pemanfaatan makhluk hidup (termasuk
tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk
kepentingan manusia. Dalam arti sempit,
pertanian diartikan sebagai kegiatan
pembudidayaan tanaman.

Usaha pertanian diberi nama khusus untuk


subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah
usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya
pohon) dan diusahakan pada lahan yang
setengah liar atau liar (hutan). Peternakan
menggunakan subjek hewan darat kering
(khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan
amfibia) atau serangga (misalnya lebah).
Perikanan memiliki subjek hewan perairan
(termasuk amfibia dan semua non-vertebrata
air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan
berbagai subjek ini bersama-sama dengan
alasan efisiensi dan peningkatan keuntungan.
Pertimbangan akan kelestarian lingkungan
mengakibatkan aspek-aspek konservasi
sumber daya alam juga menjadi bagian dalam
usaha pertanian.

Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah


kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-
dasar pengetahuan yang sama akan
pengelolaan tempat usaha, pemilihan
benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan
hasil, distribusi produk, pengolahan dan
pengemasan produk, dan pemasaran. Apabila
seorang petani memandang semua aspek ini
dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai
keuntungan maksimal maka ia melakukan
pertanian intensif (intensive farming). Usaha
pertanian yang dipandang dengan cara ini
dikenal sebagai agribisnis. Program dan
kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian
ke cara pandang demikian dikenal sebagai
intensifikasi. Karena pertanian industri selalu
menerapkan pertanian intensif, keduanya
sering kali disamakan.

Sisi pertanian industrial yang memperhatikan


lingkungannya adalah pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture). Pertanian
berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya
seperti pertanian organik atau permakultur,
memasukkan aspek kelestarian daya dukung
lahan maupun lingkungan dan pengetahuan
lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan
efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan
biasanya memberikan hasil yang lebih rendah
daripada pertanian industrial.

Pertanian modern masa kini biasanya


menerapkan sebagian komponen dari kedua
kutub "ideologi" pertanian yang disebutkan di
atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk
pertanian ekstensif (pertanian masukan
rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan
tradisional akan berbentuk pertanian subsisten,
yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan
semata hanya untuk memenuhi kebutuhan
sendiri atau komunitasnya.

Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua


ciri penting: selalu melibatkan barang dalam
volume besar dan proses produksi memiliki
risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini
muncul karena pertanian melibatkan makhluk
hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan
memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta
jangka waktu tertentu dalam proses produksi.
Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya
budidaya alga, hidroponik) telah dapat
mengurangi ciri-ciri ini tetapi sebagian besar
usaha pertanian dunia masih tetap demikian.

Sejarah singkat pertanian


dunia

Daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah. Di


tempat ini ditemukan bukti-bukti awal pertanian,
seperti biji-bijian dan alat-alat pengolahnya.

Domestikasi anjing diduga telah dilakukan


bahkan pada saat manusia belum mengenal
budidaya (masyarakat berburu dan peramu)
dan merupakan kegiatan pemeliharaan dan
pembudidayaan hewan yang pertama kali.
Selain itu, praktik pemanfaatan hutan sebagai
sumber bahan pangan diketahui sebagai
agroekosistem yang tertua.[2] Pemanfaatan
hutan sebagai kebun diawali dengan
kebudayaan berbasis hutan di sekitar sungai.
Secara bertahap manusia mengidentifikasi
pepohonan dan semak yang bermanfaat.
Hingga akhirnya seleksi buatan oleh manusia
terjadi dengan menyingkirkan spesies dan
varietas yang buruk dan memilih yang baik.[3]

Kegiatan pertanian (budidaya tanaman dan


ternak) merupakan salah satu kegiatan yang
paling awal dikenal peradaban manusia dan
mengubah total bentuk kebudayaan. Para ahli
prasejarah umumnya bersepakat bahwa
pertanian pertama kali berkembang sekitar
12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan di
daerah "bulan sabit yang subur" di Timur
Tengah, yang meliputi daerah lembah Sungai
Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat
hingga daerah Suriah dan Yordania sekarang.
Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai
menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-
bijian (serealia, terutama gandum kuna seperti
emmer) dan polong-polongan di daerah
tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun setelah
berakhirnya Zaman Es terakhir di era
Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan
dan padang yang sangat cocok bagi mulainya
pertanian. Pertanian telah dikenal oleh
masyarakat yang telah mencapai kebudayaan
batu muda (neolitikum), perunggu dan
megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-
bentuk kepercayaan, dari pemujaan terhadap
dewa-dewa perburuan menjadi pemujaan
terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan
dan ketersediaan pangan. Pada 5300 tahun
yang lalu di China, kucing didomestikasi untuk
menangkap hewan pengerat yang menjadi
hama di ladang.[4]

Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke barat


(Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara
belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur
(hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-
bukti di Tiongkok menunjukkan adanya
budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000
tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia
Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah
paling tidak pada saat 3000 tahun SM dan
Jepang serta Korea sejak 1000 tahun SM.
Sementara itu, masyarakat benua Amerika
mengembangkan tanaman dan hewan
budidaya yang sejak awal sama sekali berbeda.

Hewan ternak yang pertama kali didomestikasi


adalah kambing/domba (7000 tahun SM) serta
babi (6000 tahun SM), bersama-sama dengan
domestikasi kucing. Sapi, kuda, kerbau, yak
mulai dikembangkan antara 6000 hingga 3000
tahun SM. Unggas mulai dibudidayakan lebih
kemudian. Ulat sutera diketahui telah
diternakkan 2000 tahun SM. Budidaya ikan air
tawar baru dikenal semenjak 2000 tahun yang
lalu di daerah Tiongkok dan Jepang. Budidaya
ikan laut bahkan baru dikenal manusia pada
abad ke-20 ini.

Budidaya sayur-sayuran dan buah-buahan juga


dikenal manusia telah lama. Masyarakat Mesir
Kuno (4000 tahun SM) dan Yunani Kuna (3000
tahun SM) telah mengenal baik budidaya
anggur dan zaitun.

Tanaman serat didomestikasikan di saat yang


kurang lebih bersamaan dengan domestikasi
tanaman pangan. China mendomestikasikan
ganja sebagai penghasil serat untuk membuat
papan, tekstil, dan sebagainya; kapas
didomestikasikan di dua tempat yang berbeda
yaitu Afrika dan Amerika Selatan; di Timur
Tengah dibudidayakan flax.[5] Penggunaan
nutrisi untuk mengkondisikan tanah seperti
pupuk kandang, kompos, dan abu telah
dikembangkan secara independen di berbagai
tempat di dunia, termasuk Mesopotamia,
Lembah Nil, dan Asia Timur.[6]

Pertanian kontemporer
Citra satelit pertanian di Minnesota.

Citra inframerah pertanian di Minnesota. Tanaman


sehat berwarna merah, genangan air berwarna hitam,
dan lahan penuh pestisida berwarna coklat

Pertanian pada abad ke 20 dicirikan dengan


peningkatan hasil, penggunaan pupuk dan
pestisida sintetik, pembiakan selektif,
mekanisasi, pencemaran air, dan subsidi
pertanian. Pendukung pertanian organik seperti
Sir Albert Howard berpendapat bahwa di awal
abad ke 20, penggunaan pestisida dan pupuk
sintetik yang berlebihan dan secara jangka
panjang dapat merusak kesuburan tanah.
Pendapat ini drman selama puluhan tahun,
hingga kesadaran lingkungan meningkat di
awal abad ke 21 menyebabkan gerakan
pertanian berkelanjutan meluas dan mulai
dikembangkan oleh petani, konsumen, dan
pembuat kebijakan.

Sejak tahun 1990an, terdapat perlawanan


terhadap efek lingkungan dari pertanian
konvensional, terutama mengenai pencemaran
air,[7] menyebabkan tumbuhnya gerakan
organik. Salah satu penggerak utama dari
gerakan ini adalah sertifikasi bahan pangan
organik pertama di dunia, yang dilakukan oleh
Uni Eropa pada tahun 1991, dan mulai
mereformasi Kebijakan Pertanian Bersama Uni
Eropa pada tahun 2005.[8] Pertumbuhan
pertanian organik telah memperbarui penelitian
dalam teknologi alternatif seperti manajemen
hama terpadu dan pembiakan selektif.
Perkembangan teknologi terkini yang
dipergunakan secara luas yaitu bahan pangan
termodifikasi secara genetik.

Di akhir tahun 2007, beberapa faktor


mendorong peningkatan harga biji-bijian yang
dikonsumsi manusia dan hewan ternak,
menyebabkan peningkatan harga gandum
(hingga 58%), kedelai (hingga 32%), dan jagung
(hingga 11%) dalam satu tahun. Kontribusi
terbesar ada pada peningkatan permintaan biji-
bijian sebagai bahan pakan ternak di Cina dan
India, dan konversi biji-bijian bahan pangan
menjadi produk biofuel.[9][10] Hal ini
menyebabkan kerusuhan dan demonstrasi
yang menuntut turunnya harga pangan.[11][12][13]
International Fund for Agricultural Development
mengusulkan peningkatan pertanian skala kecil
dapat menjadi solusi untuk meningkatkan
suplai bahan pangan dan juga ketahanan
pangan. Visi mereka didasarkan pada
perkembangan Vietnam yang bergerak dari
importir makanan ke eksportir makanan, dan
mengalami penurunan angka kemiskinan
secara signifikan dikarenakan peningkatan
jumlah dan volume usaha kecil di bidang
pertanian di negara mereka.[14]

Sebuah epidemi yang disebabkan oleh fungi


Puccinia graminis pada tanaman gandum
menyebar di Afrika hingga ke Asia.[15][16][17]
Diperkirakan 40% lahan pertanian terdegradasi
secara serius.[18] Di Afrika, kecenderungan
degradasi tanah yang terus berlanjut dapat
menyebabkan lahan tersebut hanya mampu
memberi makan 25% populasinya.[19]

Pada tahun 2009, China merupakan produsen


hasil pertanian terbesar di dunia, diikuti oleh
Uni Eropa, India, dan Amerika Serikat,
berdasarkan IMF.Pakar ekonomi mengukur
total faktor produktivitas pertanian dan
menemukan bahwa Amerika Serikat saat ini 1.7
kali lebih produktif dibandingkan dengan tahun
1948.[20] Enam negara di dunia, yaitu Amerika
Serikat, Kanada, Prancis, Australia, Argentina,
dan Thailand mensuplai 90% biji-bijian bahan
pangan yang diperdagangkan di dunia.[21]
Defisit air yang terjadi telah meningkatkan
impor biji-bijian di berbagai negara
berkembang,[22] dan kemungkinan juga akan
terjadi di negara yang lebih besar seperti China
dan India.[23]

Tenaga kerja
Pada tahun 2011, International Labour
Organization (ILO) menyatakan bahwa
setidaknya terdapat 1 miliar lebih penduduk
yang bekerja di bidang sektor pertanian.
Pertanian menyumbang setidaknya 70% jumlah
pekerja anak-anak, dan di berbagai negara
sejumlah besar wanita juga bekerja di sektor ini
lebih banyak dibandingkan dengan sektor
lainnya.[24] Hanya sektor jasa yang mampu
mengungguli jumlah pekerja pertanian, yaitu
pada tahun 2007. Antara tahun 1997 dan 2007,
jumlah tenaga kerja di bidang pertanian turun
dan merupakan sebuah kecenderungan yang
akan berlanjut.[25] Jumlah pekerja yang
dipekerjakan di bidang pertanian bervariasi di
berbagai negara, mulai dari 2% di negara maju
seperti Amerika Serikat dan Kanada, hingga
80% di berbagai negara di Afrika.[26] Di negara
maju, angka ini secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan abad sebelumnya. Pada
abad ke 16, antara 55 hingga 75 persen
penduduk Eropa bekerja di bidang pertanian.
Pada abad ke 19, angka ini turun menjadi
antara 35 hingga 65 persen.[27] Angka ini
sekarang turun menjadi kurang dari 10%.[26]

Keamanan

Batang pelindung risiko tergulingnya traktor dipasang


di belakang kursi pengemudi

Pertanian merupakan industri yang berbahaya.


Petani di seluruh dunia bekerja pada risiko
tinggi terluka, penyakit paru-paru, hilangnya
pendengaran, penyakit kulit, juga kanker
tertentu karena penggunaan bahan kimia dan
paparan cahaya matahari dalam jangka
panjang. Pada pertanian industri, luka secara
berkala terjadi pada penggunaan alat dan
mesin pertanian, dan penyebab utama luka
serius.[28] Pestisida dan bahan kimia lainnya
juga membahayakan kesehatan. Pekerja yang
terpapar pestisida secara jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakan fertilitas.[29] Di negara
industri dengan keluarga yang semuanya
bekerja pada lahan usaha tani yang
dikembangkannya sendiri, seluruh keluarga
tersebut berada pada risiko.[30] Penyebab
utama kecelakaan fatal pada pekerja pertanian
yaitu tenggelam dan luka akibat permesinan.[30]

ILO menyatakan bahwa pertanian sebagai


salah satu sektor ekonomi yang
membahayakan tenaga kerja.[24] Diperkirakan
bahwa kematian pekerja di sektor ini
setidaknya 170 ribu jiwa per tahun. Berbagai
kasus kematian, luka, dan sakit karena aktivitas
pertanian seringkali tidak dilaporkan sebagai
kejadian akibat aktivitas pertanian.[31] ILO telah
mengembangkan Konvensi Kesehatan dan
Keselamatan di bidang Pertanian, 2001, yang
mencakup risiko pada pekerjaan di bidang
pertanian, pencegahan risiko ini, dan peran dari
individu dan organisasi terkait pertanian.[24]

Sistem pembudidayaan
tanaman

Budi daya padi di Bihar, India

Sistem pertanaman dapat bervariasi pada


setiap lahan usaha tani, tergantung pada
ketersediaan sumber daya dan pembatas;
geografi dan iklim; kebijakan pemerintah;
tekanan ekonomi, sosial, dan politik; dan
filosofi dan budaya petani.[32][33]
Pertanian berpindah (tebang dan bakar) adalah
sistem di mana hutan dibakar. Nutrisi yang
tertinggal di tanah setelah pembakaran dapat
mendukung pembudidayaan tumbuhan
semusim dan menahun untuk beberapa
tahun.[34] Lalu petak tersebut ditinggalkan agar
hutan tumbuh kembali dan petani berpindah ke
petak hutan berikutnya yang akan dijadikan
lahan pertanian. Waktu tunggu akan semakin
pendek ketika populasi petani meningkat,
sehingga membutuhkan input nutrisi dari
pupuk dan kotoran hewan, dan pengendalian
hama. Pembudidayaan semusim berkembang
dari budaya ini. Petani tidak berpindah, namun
membutuhkan intensitas input pupuk dan
pengendalian hama yang lebih tinggi.

Industrialisasi membawa pertanian monokultur


di mana satu kultivar dibudidayakan pada lahan
yang sangat luas. Karena tingkat
keanekaragaman hayati yang rendah,
penggunaan nutrisi cenderung seragam dan
hama dapat terakumulasi pada halah tersebut,
sehingga penggunaan pupuk dan pestisida
meningkat.[33] Di sisi lain, sistem tanaman
rotasi menumbuhkan tanaman berbeda secara
berurutan dalam satu tahun. Tumpang sari
adalah ketika tanaman yang berbeda ditanam
pada waktu yang sama dan lahan yang sama,
yang disebut juga dengan polikultur.[34]

Di lingkungan subtropis dan gersang, preiode


penanaman terbatas pada keberadaan musim
hujan sehingga tidak dimungkinkan menanam
banyak tanaman semusim bergiliran dalam
setahun, atau dibutuhkan irigasi. Di semua
jenis lingkungan ini, tanaman menahun seperti
kopi dan kakao dan praktik wanatani dapat
tumbuh. Di lingkungan beriklim sedang di mana
padang rumput dan sabana banyak tumbuh,
praktik budidaya tanaman semusim dan
penggembalaan hewan dominan.[34]

Bentuk pembudidayaan
tanaman di Indonesia
Sawah, yaitu suatu bentuk pertanian
yang dilakukan di lahan basah dan
memerlukan banyak air baik sawah
irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan
maupun sawah pasang surut[35].
Tegalan, yaitu suatu daerah dengan
lahan kering yang bergantung pada
pengairan air hujan, ditanami tanaman
musiman atau tahunan dan terpisah dari
lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan
tegalan tanahnya sulit untuk dibuat
pengairan irigasi karena permukaan
yang tidak rata. Pada saat musim
kemarau lahan tegalan akan kering dan
sulit untuk ditubuhi tanaman
pertanian[35].
Pekarangan, yaitu suatu lahan yang
berada di lingkungan dalam rumah
(biasanya dipagari dan masuk ke
wilayah rumah) yang dimanfaatkan
untuk ditanami tanaman pertanian[35].

Sistem produksi hewan


Sistem produksi hewan ternak dapat
didefinisikan berdasarkan sumber pakan yang
digunakan, yang terdiri dari peternakan
berbasis penggembalaan, sistem kandang
penuh, dan campuran.[36] Pada tahun 2010, 30
persen lahan di dunia digunakan untuk
memproduksi hewan ternak dengan
mempekerjakan lebih 1.3 miliar orang. Antara
tahun 1960an sampai 2000an terjadi
peningkatan produksi hewan ternak secara
signifikan, dihitung dari jumlah maupun massa
karkas, terutama pada produksi daging sapi,
daging babi, dan daging ayam. Produksi daging
ayam pada periode tersebut meningkat hingga
10 kali lipat. Hasil hewan non-daging seperti
susu sapi dan telur ayam juga menunjukan
peningkatan yang signifikan. Populasi sapi,
domba, dan kambing diperkirakan akan terus
meningkat hingga tahun 2050.[37]
Budi daya perikanan adalah produksi ikan dan
hewan air lainnya di dalam lingkungan yang
terkendali untuk konsumsi manusia. Sektor ini
juga termasuk yang mengalami peningkatan
hasil rata-rata 9 persen per tahun antara tahun
1975 hingga tahun 2007.[38]

Selama abad ke-20, produsen hewan ternak


dan ikan menggunakan pembiakan selektif
untuk menciptakan ras hewan dan hibrida yang
mampu meningkatkan hasil produksi, tanpa
memperdulikan keinginan untuk
mempertahankan keanekaragaman genetika.
Kecenderungan ini memicu penurunan
signifikan dalam keanekaragaman genetika
dan sumber daya pada ras hewan ternak, yang
menyebabkan berkurangnya resistansi hewan
ternak terhadap penyakit. Adaptasi lokal yang
sebelumnya banyak terdapat pada hewan
ternak ras setempat juga mulai menghilang.[39]

Produksi hewan ternak berbasis


penggembalaan amat bergantung pada
bentang alam seperti padang rumput dan
sabana untuk memberi makan hewan
ruminansia. Kotoran hewan menjadi input
nutrisi utama bagi vegetasi tersebut, namun
input lain di luar kotoran hewan dapat diberikan
tergantung kebutuhan. Sistem ini penting di
daerah di mana produksi tanaman pertanian
tidak memungkinkan karena kondisi iklim dan
tanah.[34] Sistem campuran menggunakan
lahan penggembalaan sekaligus pakan buatan
yang merupakan hasil pertanian yang diolah
menjadi pakan ternak.[36] Sistem kandang
memelihara hewan ternak di dalam kandang
secara penuh dengan input pakan yang harus
diberikan setiap hari. Pengolahan kotoran
ternak dapat menjadi masalah pencemaran
udara karena dapat menumpuk dan
melepaskan gas metan dalam jumlah besar.[36]

Negara industri menggunakan sistem kandang


penuh untuk mensuplai sebagian besar daging
dan produk peternakan di dalam negerinya.
Diperkirakan 75% dari seluruh peningkatan
produksi hewan ternak dari tahun 2003 hingga
2030 akan bergantung pada sistem produksi
peternakan pabrik. Sebagian besar
pertumbuhan ini akan terjadi di negara yang
saat ini merupakan negara berkembang di Asia,
dan sebagian kecil di Afrika.[37] Beberapa
praktik digunakan dalam produksi hewan
ternak komersial seperti penggunaan hormon
pertumbuhan menjadi kontroversi di berbagai
tempat di dunia.[40]

Masalah lingkungan
Pertanian mampu menyebabkan masalah
melalui pestisida, arus nutrisi, penggunaan air
berlebih, hilangnya lingkungan alam, dan
masalah lainnya. Sebuah penilaian yang
dilakukan pada tahun 2000 di Inggris
menyebutkan total biaya eksternal untuk
mengatasi permasalahan lingkungan terkait
pertanian adalah 2343 juta Poundsterling, atau
208 Poundsterling per hektare.[41] Sedangkan di
Amerika Serikat, biaya eksternal untuk produksi
tanaman pertaniannya mencapai 5 hingga 16
miliar US Dollar atau 30-96 US Dollar per
hektare, dan biaya eksternal produksi
peternakan mencapai 714 juta US Dollar.[42]
Kedua studi fokus pada dampak fiskal, yang
menghasilkan kesimpulan bahwa begitu
banyak hal yang harus dilakukan untuk
memasukkan biaya eksternal ke dalam usaha
pertanian. Keduanya tidak memasukkan
subsidi di dalam analisisnya, namun
memberikan catatan bahwa subsidi pertanian
juga membawa dampak bagi masyarakat.[41][42]
Pada tahun 2010, International Resource Panel
dari UNEP mempublikasikan laporan penilaian
dampak lingkungan dari konsumsi dan
produksi. Studi tersebut menemukan bahwa
pertanian dan konsumsi bahan pangan adalah
dua hal yang memberikan tekanan pada
lingkungan, terutama degradasi habitat,
perubahan iklim, penggunaan air, dan emisi zat
beracun.[43]

Masalah pada hewan ternak


PBB melaporkan bahwa "hewan ternak
merupakan salah satu penyumbang utama
masalah lingkungan".[44] 70% lahan pertanian
dunia digunakan untuk produksi hewan ternak,
secara langsung maupun tidak langsung,
sebagai lahan penggembalaan maupun lahan
untuk memproduksi pakan ternak. Jumlah ini
setara dengan 30% total lahan di dunia. Hewan
ternak juga merupakan salah satu penyumbang
gas rumah kaca berupa gas metana dan nitro
oksida yang, meski jumlahnya sedikit, namun
dampaknya setara dengan emisi total CO2. Hal
ini dikarenakan gas metana dan nitro oksida
merupakan gas rumah kaca yang lebih kuat
dibandingkan CO2. Peternakan juga didakwa
sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya
deforestasi. 70% basin Amazon yang
sebelumnya merupakan hutan kini menjadi
lahan penggembalaan hewan, dan sisanya
menjadi lahan produksi pakan.[45] Selain
deforestasi dan degradasi lahan, budi daya
hewan ternak yang sebagian besar berkonsep
ras tunggal juga menjadi pemicu hilangnya
keanekaragaman hayati.

Masalah penggunaan lahan


dan air

Transformasi lahan menuju penggunaannya


untuk menghasilkan barang dan jasa adalah
cara yang paling substansial bagi manusia
dalam mengubah ekosistem bumi, dan
dikategrikan sebagai penggerak utama
hilangnya keanekaragaman hayati.
Diperkirakan jumlah lahan yang diubah oleh
manusia antara 39%-50%.[46] Degradasi lahan,
penurunan fungsi dan produktivitas ekosistem
jangka panjang, diperkirakan terjadi pada 24%
lahan di dunia.[47] Laporan FAO menyatakan
bahwa manajemen lahan sebagai penggerak
utama degradasi dan 1.5 miliar orang
bergantung pada lahan yang terdegradasi.
Deforestasi, desertifikasi, erosi tanah,
kehilangan kadar mineral, dan salinisasi adalah
contoh bentuk degradasi tanah.[34]
Eutrofikasi adalah peningkatan populasi alga
dan tumbuhan air di ekosistem perairan akibat
aliran nutrisi dari lahan pertanian. Hal ini
mampu menyebabkan hilangnya kadar oksigen
di air ketika jumlah alga dan tumbuhan air yang
mati dan membusuk di perairan bertambah dan
dekomposisi terjadi. Hal ini mampu
menyebabkan kebinasaan ikan, hilangnya
keanekaragaman hayati, dan menjadikan air
tidak bisa digunakan sebagai air minum dan
kebutuhan masyarakat dan industri.
Penggunaan pupuk berlebihan di lahan
pertanian yang diikuti dengan aliran air
permukaan mampu menyebabkan nutrisi di
lahan pertanian terkikis dan mengalir terbawa
menuju ke perairan terdekat. Nutrisi inilah yang
menyebabkan eutrofikasi.[48]

Pertanian memanfaatkan 70% air tawar yang


diambil dari berbagai sumber di seluruh
dunia.[49] Pertanian memanfaatkan sebagian
besar air di akuifer, bahkan mengambilnya dari
lapisan air tanah dalam laju yang tidak dapat
dikembalikan (unsustainable). Telah diketahui
bahwa berbagai akuifer di berbagai tempat
padat penduduk di seluruh dunia, seperti China
bagian utara, sekitar Sungai Ganga, dan wilayah
barat Amerika Serikat, telah berkurang jauh,
dan penelitian mengenai ini sedang dilakukan
di akuifer di Iran, Meksiko, dan Arab Saudi.[50]
Tekanan terhadap konservasi air terus terjadi
dari sektor industri dan kawasan urban yang
terus mengambil air secara tidak lestari,
sehingga kompetisi penggunaan air bagi
pertanian meningkat dan tantangan dalam
memproduksi bahan pangan juga demikian,
terutama di kawasan yang langka air.[51]
Penggunaan air di pertanian juga dapat
menjadi penyebab masalah lingkungan,
termasuk hilangnya rawa, penyebaran penyakit
melalui air, dan degradasi lahan seperti
salinisasi tanah ketika irigasi tidak dilakukan
dengan baik.[52]

Pestisida
Penggunaan pestisida telah meningkat sejak
tahun 1950an, menjadi 2.5 juta ton per tahun di
seluruh dunia. Namun tingkat kehilangan
produksi pertanian tetap terjadi dalam jumlah
yang relatif konstan.[53] WHO memperkirakan
pada tahun 1992 bahwa 3 juta manusia
keracunan pestisida setiap tahun dan
menyebabkan kematian 200 ribu jiwa.[54]
Pestisida dapat menyebabkan resistansi
pestisida pada populasi hama sehingga
pengembangan pestisida baru terus
berlanjut.[55]

Argumen alernatif dari masalah ini adalah


pestisida merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan produksi pangan pada lahan
yang terbatas, sehingga dapat menumbuhkan
lebih banyak tanaman pertanian pada lahan
yang lebih sempit dan memberikan ruang lebih
banyak bagi alam liar dengan mencegah
perluasan lahan pertanian lebih ekstensif.[56][57]
Namun berbagai kritik berkembang bahwa
perluasan lahan yang mengorbankan
lingkungan karena peningkatan kebutuhan
pangan tidak dapat dihindari,[58] dan pestisida
hanya menggantikan praktik pertanian yang
baik yang ada seperti rotasi tanaman.[55] Rotasi
tanaman mencegah penumpukan hama yang
sama pada satu lahan sehingga hama
diharapkan menghilang setelah panen dan
tidak datang kembali karena tanaman yang
ditanam tidak sama dengan yang sebelumnya.

Perubahan iklim

Pertanian adalah salah satu yang


mempengaruhi perubahan iklim, dan
perubahan iklim memiliki dampak bagi
pertanian. Perubahan iklim memiliki pengaruh
bagi pertanian melalui perubahan temperatur,
hujan (perubahan periode dan kuantitas), kadar
karbon dioksida di udara, radiasi matahari, dan
interaksi dari semua elemen tersebut.[34]
Kejadian ekstrem seperti kekeringan dan banjir
diperkirakan meningkat akibat perubahan
iklim.[59] Pertanian merupakan sektor yang
paling rentan terhadap perubahan iklim. Suplai
air akan menjadi hal yang kritis untuk menjaga
produksi pertanian dan menyediakan bahan
pangan. Fluktuasi debit sungai akan terus
terjadi akibat perubahan iklim. Negara di
sekitar sungai Nil sudah mengalami dampak
fluktuasi debit sungai yang mempengaruhi
hasil pertanian musiman yang mampu
mengurangi hasil pertanian hingga 50%.[60]
Pendekatan yang bersifat mengubah
diperlukan untuk mengelola sumber daya alam
pada masa depan, seperti perubahan kebijakan,
metode praktik, dan alat untuk
mempromosikan pertanian berbasis iklim dan
lebih banyak menggunakan informasi ilmiah
dalam menganalisa risiko dan kerentanan
akibat perubahan iklim.[61][62]

Pertanian dapat memitigasi sekaligus


memperburuk pemanasan global. Beberapa
dari peningkatan kadar karbon dioksida di
atmosfer bumi dikarenakan dekomposisi
materi organik yang berada di tanah, dan
sebagian besar gas metanan yang dilepaskan
ke atmosfer berasal dari aktivitas pertanian,
termasuk dekomposisi pada lahan basah
pertanian seperti sawah,[63] dan aktivitas
digesti hewan ternak. Tanah yang basah dan
anaerobik mampu menyebabkan denitrifikasi
dan hilangnya nitrogen dari tanah,
menyebabkan lepasnya gas nitrat oksida dan
nitro oksida ke udara yang merupakan gas
rumah kaca.[64] Perubahan metode pengelolaan
pertanian mampu mengurangi pelepasan gas
rumah kaca ini, dan tanah dapat difungsikan
kembali sebagai fasilitas sekuestrasi
karbon.[63]

Energi dan pertanian


Sejak tahun 1940, produktivitas pertanian
meningkat secara signifikan dikarenakan
penggunaan energi yang intensif dari aktivitas
mekanisasi pertanian, pupuk, dan pestisida.
Input energi ini sebagian besar berasal dari
bahan bakar fosil.[65] Revolusi Hijau mengubah
pertanian di seluruh dunia dengan peningkatan
produksi biji-bijian secara signifikan,[66] dan kini
pertanian modern membutuhkan input minyak
bumi dan gas alam untuk sumber energi dan
produksi pupuk. Telah terjadi kekhawatiran
bahwa kelangkaan energi fosil akan
menyebabkan tingginya biaya produksi
pertanian sehingga mengurangi hasil pertanian
dan kelangkaan pangan.[67]

Rasio konsumsi energi pada pertanian dan sistem pangan (%)


pada tiga negara maju

Pertanian Sistem
Negara Tahun
(secara langsung & tidak langsung) pangan

Britania Raya[68] 2005 1.9 11

Amerika Serikat[69] 1996 2.1 10

Amerika Serikat[70] 2002 2.0 14

Swedia[71] 2000 2.5 13

Negara industri bergantung pada bahan bakar


fosil secara dua hal, yaitu secara langsung
dikonsumsi sebagai sumber energi di
pertanian, dan secara tidak langsung sebagai
input untuk manufaktur pupuk dan pestisida.
Konsumsi langsung dapat mencakup
penggunaan pelumas dalam perawatan
permesinan, dan fluida penukar panas pada
mesin pemanas dan pendingin. Pertanian di
Amerika Serikat mengkonsumsi sektar 1.2
eksajoule pada tahun 2002, yang merupakan
1% dari total energi yang dikonsumsi di negara
tersebut.[67] Konsumsi tidak langsung yaitu
sebagai manufaktur pupuk dan pestisida yang
mengkonsumsi bahan bakar fosil setara 0.6
eksajoule pada tahun 2002.[67]

Gas alam dan batu bara yang dikonsumsi


melalui produksi pupuk nitrogen besarnya
setara dengan setengah kebutuhan energi di
pertanian. China mengkonsumsi batu bara
untuk produksi pupuk nitrogennya, sedangkan
sebagian besar negara di Eropa menggunakan
gas alam dan hanya sebagian kecil batu bara.
Berdasarkan laporan pada tahun 2010 yang
dipublikasikan oleh The Royal Society,
ketergantungan pertanian terhadap bahan
bakar fosil terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Bahan bakar yang digunakan di
pertanian dapat bervariasi tergantung pada
beberapa faktor seperti jenis tanaman, sistem
produksi, dan lokasi.[72]

Energi yang digunakan untuk produksi alat dan


mesin pertanian juga merupakan salah satu
bentuk penggunaan energi di pertanian secara
tidak pangsung. Sistem pangan mencakup
tidak hanya pada produksi pertanian, namun
juga pemrosesan setelah hasil pertanian keluar
dari lahan usaha tani, pengepakan,
transportasi, pemasaran, konsumsi, dan
pembuangan dan pengolahan sampah
makanan. Energi yang digunakan pada sistem
pangan ini lebih tinggi dibandingkan
penggunaan energi pada produksi hasil
pertanian, dapat mencapai lima kali lipat.[69][70]

Pada tahun 2007, insentif yang lebih tinggi bagi


petani penanam tanaman non-pangan
penghasil biofuel[73] ditambah dengan faktor
lain seperti pemanfaatan kembali lahan tidur
yang kurang subur, peningkatan biaya
transportasi, perubahan iklim, peningkatan
jumlah konsumen, dan peningkatan penduduk
dunia,[74] menyebabkan kerentanan pangan dan
peningkatan harga pangan di berbagai tempat
di dunia.[75][76] Pada Desember 2007, 37 negara
di dunia menghadapi krisis pangan, dan 20
negara telah menghadapi peningkatan harga
pangan di luar kendali, yang dikenal dengan
kasus krisis harga pangan dunia 2007-2008.
Kerusuhan akibat menuntut turunnya harga
pangan terjadi di berbagai tempat hingga
menyebabkan korban jiwa.[11][12][13]

Mitigasi kelangkaan bahan


bakar fosil

Prediksi M. King Hubbert mengenai laju produksi


minyak bumi dunia. Pertanian modern sangat
bergantung pada energi fosil ini.[77]
Pada kelangkaan bahan bakar fosil, pertanian
organik akan lebih diprioritaskan dibandingkan
dengan pertanian konvensional yang
menggunakan begitu banyak input berbasis
minyak bumi seperti pupuk dan pestisida.
Berbagai studi mengenai pertanian organik
modern menunjukan bahwa hasil pertanian
organik sama besarnya dengan pertanian
konvensional.[78] Kuba pasca runtuhnya Uni
Soviet mengalami kelangkaan input pupuk dan
pestisida kimia sehingga usaha pertanian di
negeri tersebut menggunakan praktik organik
dan mampu memberi makan populasi
penduduknya.[79] Namun pertanian organik
akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja
dan jam kerja.[80] Perpindahan dari praktik
monokultur ke pertanian organik juga
membutuhkan waktu, terutama pengkondisian
tanah[78] untuk membersihkan bahan kimia
berbahaya yang tidak sesuai dengan standar
bahan pangan organik.
Komunitas pedesaan bisa memanfaatkan
biochar dan synfuel yang menggunakan limbah
pertanian untuk diolah menjadi pupuk dan
energi, sehingga bisa mendapatkan bahan
bakar dan bahan pangan sekaligus,
dibandingkan dengan persaingan bahan
pangan vs bahan bakar yang masih terjadi
hingga saat ini. Synfuel dapat digunakan di
tempat; prosesnya akan lebih efisien dan
mampu menghasilkan bahan bakar yang cukup
untuk seluruh aktivitas pertanian organik.[81][82]

Ketika bahan pangan termodifikasi genetik


(GMO) masih dikritik karena benih yang
dihasilkan bersifat steril sehingga tidak mampu
direproduksi oleh petani[83][84] dan hasilnya
dianggap berbahaya bagi manusia, telah
diusulkan agar tanaman jenis ini dikembangkan
lebih lanjut dan digunakan sebagai penghasil
bahan bakar, karena tanaman ini mampu
dimodifikasi untuk menghasilkan lebih banyak
dengan input energi yang lebih sedikit.[85]
Namun perusahaan utama penghasil GMO
sendiri, Monsanto, tidak mampu melaksanakan
proses produksi pertanian berkelanjutan
dengan tanaman GMO lebih dari satu tahun. Di
saat yang bersamaan, praktik pertanian dengan
memanfaatkan ras tradisional menghasilkan
lebih banyak pada jenis tanaman yang sama
dan dilakukan secara berkelanjutan.[86]

Ekonomi pertanian
Ekonomi pertanian adalah aktivitas ekonomi
yang terkait dengan produksi, distribusi, dan
konsumsi produk dan jasa pertanian.[87]
Mengkombinasikan produksi pertanian dengan
teori umum mengenai pemasaran dan bisnis
adalah sebuah disiplin ilmu yang dimulai sejak
akhir abad ke 19, dan terus bertumbuh
sepanjang abad ke-20.[88] Meski studi
mengenai pertanian terbilang baru, berbagai
kecenderungan utama di bidang pertanian
seperti sistem bagi hasil pasca Perang Saudara
Amerika Serikat hingga sistem feodal yang
pernah terjadi di Eropa, telah secara signifikan
mempengaruhi aktivitas ekonomi suatu negara
dan juga dunia.[89][90] Di berbagai tempat, harga
pangan yang dipengaruhi oleh pemrosesan
pangan, distribusi, dan pemasaran pertanian
telah tumbuh dan biaya harga pangan yang
dipengaruhi oleh aktivitas pertanian di atas
lahan telah jauh berkurang efeknya. Hal ini
terkait dengan efisiensi yang begitu tinggi
dalam bidang pertanian dan dikombinasikan
dengan peningkatan nilai tambah melalui
pemrosesan bahan pangan dan strategi
pemasaran. Konsentrasi pasar juga telah
meningkat di sektor ini yang dapat
meningkatkan efisiensi. Namun perubahan ini
mampu mengakibatkan perpindahan surplus
ekonomi dari produsen (petani) ke konsumen,
dan memiliki dampak yang negatif bagi
komunitas pedesaan.[91]

Kebijakan pemerintah suatu negara dapat


mempengaruhi secara signifikan pasar produk
pertanian, dalam bentuk pemberian pajak,
subsidi, tarif, dan bea lainnya.[92] Sejak tahun
1960an, kombinasi pembatasan ekspor impor,
kebijakan nilai tukar, dan subsidi
mempengaruhi pertanian di negara
berkembang dan negara maju. Pada tahun
1980an, para petani di negara berkembang
yang tidak mendapatkan subsidi akan kalah
bersaing dikarenakan kebijakan di berbagai
negara yang menyebabkan rendahnya harga
bahan pangan. Di antara tahun 1980an dan
2000an, beberapa negara di dunia membuat
kesepakatan untuk membatasi tarif, subsidi,
dan batasan perdagangan lainnya yang
diberlakukan di dunia pertanian.[93]

Namun pada tahun 2009, masih terdapat


sejumlah distorsi kebijakan pertanian yang
mempengaruhi harga bahan pangan. Tiga
komoditas yang sangat terpengaruh adalah
gula, susu, dan beras, yang terutama karena
pemberlakuan pajak. Wijen merupakan biji-
bijian penghasil minyak yang terkena pajak
paling tinggi meski masih lebih rendah
dibandingkan pajak produk peternakan.[94]
Namun subsidi kapas masih terjadi di negara
maju yang telah menyebabkan rendahnya
harga di tingkat dunia dan menekan petani
kapas di negara berkembang yang tidak
disubsidi.[95] Komoditas mentah seperti jagung
dan daging sapi umumnya diharga berdasarkan
kualitasnya, dan kualitas menentukan harga.
Komoditas yang dihasilkan di suatu wilayah
dilaporkan dalam bentuk volume produksi atau
berat.[96]

Lihat pula
Irigasi
FAO
Daftar perguruan tinggi pertanian di
Indonesia

Referensi
1. ^ Safety and health in agriculture .
International Labour Organization. 1999.
ISBN 978-92-2-111517-5. Diakses tanggal
13 September 2010.
2. ^ Douglas John McConnell (2003). The
Forest Farms of Kandy: And Other Gardens
of Complete Design . hlm. 1. ISBN 978-0-
7546-0958-2.
3. ^ Douglas John McConnell (1992). The
forest-garden farms of Kandy, Sri Lanka .
hlm. 1. ISBN 978-92-5-102898-8.
4. ^ "Kucing Piaraan Tertua di Dunia
Ditemukan" . Kompas. 17 Desember 2013.
5. ^ Hancock, James F. (2012). Plant
evolution and the origin of crop species
(edisi ke-3rd). CABI. hlm. 119.
ISBN 1845938011.
6. ^ UN Industrial Development
Organization, International Fertilizer
Development Center (1998). The Fertilizer
Manual (edisi ke-3rd). Springer. hlm. 46.
ISBN 0792350324.
7. ^ Scheierling, Susanne M. (1995).
"Overcoming agricultural pollution of water :
the challenge of integrating agricultural and
environmental policies in the European
Union, Volume 1" . The World Bank. Diakses
tanggal 2013-04-15.
8. ^ "CAP Reform" . European Commission.
2003. Diakses tanggal 2013-04-15.
9. ^ "At Tyson and Kraft, Grain Costs Limit
Profit" . The New York Times. Bloomberg. 6
September 2007.
10. ^ McMullen, Alia (7 January 2008).
"Forget oil, the new global crisis is food" .
Financial Post. Toronto.
11. ^ a b Watts, Jonathan (4 December
2007). "Riots and hunger feared as demand
for grain sends food costs soaring" , The
Guardian (London).
12. ^ a b Mortished, Carl (7 March
2008)."Already we have riots, hoarding,
panic: the sign of things to come?" , The
Times (London).
13. ^ a b Borger, Julian (26 February 2008).
"Feed the world? We are fighting a losing
battle, UN admits" , The Guardian (London).
14. ^ "Food prices: smallholder farmers can
be part of the solution" . International Fund
for Agricultural Development. Diakses
tanggal 2013-04-24.
15. ^ McKie, Robin; Rice, Xan (22 April
2007). "Millions face famine as crop
disease rages" , The Observer' (London).
16. ^ Mackenzie, Debora (3 April 2007).
"Billions at risk from wheat super-blight" .
New Scientist. London (2598): 6–7. Diakses
tanggal 19 April 2007.
17. ^ Leonard, K.J. (February 2001). "Black
stem rust biology and threat to wheat
growers" . USDA Agricultural Research
Service. Diakses tanggal 2013-04-22.
18. ^ Sample, Ian (31 August 2007). "Global
food crisis looms as climate change and
population growth strip fertile land" , The
Guardian (London).
19. ^ "Africa may be able to feed only 25%
of its population by 2025" , mongabay.com,
14 December 2006.
20. ^ "Agricultural Productivity in the United
States" . USDA Economic Research Service.
5 July 2012. Diakses tanggal 2013-04-22.
21. ^ "The Food Bubble Economy ". The
Institute of Science in Society.
22. ^ Brown, Lester R. "Global Water
Shortages May Lead to Food Shortages-
Aquifer Depletion" . Diarsipkan dari versi
asli tanggal 24 July 2010.
23. ^ "India grows a grain crisis" . Asia
Times (Hong Kong). 21 July 2006.
24. ^ a b c "Safety and health in agriculture" .
International Labour Organization. 21 March
2011. Diakses tanggal 2013-04-24.
25. ^ AP (26 January 2007). "Services
sector overtakes farming as world's biggest
employer: ILO" . The Financial Express.
Diakses tanggal 2013-04-24.
26. ^ a b "Labor Force – By Occupation" .
The World Factbook. Central Intelligence
Agency. Diakses tanggal 2013-05-04.
27. ^ Allen, Robert C. "Economic structure
and agricultural productivity in Europe,
1300–1800" (PDF). European Review of
Economic History. 3: 1–25.
28. ^ "NIOSH Workplace Safety & Health
Topic: Agricultural Injuries" . Centers for
Disease Control and Prevention. Diakses
tanggal 2013-04-16.
29. ^ "NIOSH Pesticide Poisoning
Monitoring Program Protects
Farmworkers" . Centers for Disease Control
and Prevention. Diakses tanggal 2013-04-
15.
30. ^ a b "NIOSH Workplace Safety & Health
Topic: Agriculture" . Centers for Disease
Control and Prevention. Diakses tanggal
2013-04-16.
31. ^ "Agriculture: A hazardous work" .
International Labour Organization. 15 June
2009. Diakses tanggal 2013-04-24.
32. ^ "Analysis of farming systems" . Food
and Agriculture Organization. Diakses
tanggal 2013-05-22.
33. ^ a b Acquaah, G. 2002. Agricultural
Production Systems. pp. 283–317 in
"Principles of Crop Production, Theories,
Techniques and Technology". Prentice Hall,
Upper Saddle River, NJ.
34. ^ a b c d e f Chrispeels, M.J.; Sadava, D.E.
1994. "Farming Systems: Development,
Productivity, and Sustainability". pp. 25–57
in Plants, Genes, and Agriculture. Jones and
Bartlett, Boston, MA.
35. ^ a b c Rangkuman Pengetahuan Umum
Lengkap.Dra.Dara Puspita.Pustaka
Media,Jakarta
36. ^ a b c Sere, C.; Steinfeld, H.; Groeneweld,
J. (1995). "Description of Systems in World
Livestock Systems – Current status issues
and trends" . U.N. Food and Agriculture
Organization. Diakses tanggal 2013-09-08.
37. ^ a b Thornton, Philip K. (27 September
2010). "Livestock production: recent trends,
future prospects" . Philosophical
Transactions of the Royal Society B. 365
(1554). doi:10.1098/rstb.2010.0134 .
38. ^ Stier, Ken (September 19, 2007). "Fish
Farming's Growing Dangers" . Time.
39. ^ P. Ajmone-Marsan (May 2010). "A
global view of livestock biodiversity and
conservation – GLOBALDIV" . Animal
Genetics. 41 (supplement S1): 1–5.
doi:10.1111/j.1365-2052.2010.02036.x .
40. ^ "Growth Promoting Hormones Pose
Health Risk to Consumers, Confirms EU
Scientific Committee" (PDF). European
Union. 23 April 2002. Diakses tanggal 2013-
04-06.
41. ^ a b Pretty, J; et al. (2000). "An
assessment of the total external costs of
UK agriculture" . Agricultural Systems. 65
(2): 113–136. doi:10.1016/S0308-
521X(00)00031-7 .
42. ^ a b Tegtmeier, E.M.; Duffy, M. (2005).
"External Costs of Agricultural Production in
the United States" (PDF). The Earthscan
Reader in Sustainable Agriculture.
43. ^ International Resource Panel (2010).
"Priority products and materials: assessing
the environmental impacts of consumption
and production" . United Nations
Environment Programme. Diakses tanggal
2013-05-07.
44. ^ "Livestock a major threat to
environment" . UN Food and Agriculture
Organization. 29 November 2006.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March
2008. Diakses tanggal 2013-04-24.
45. ^ Steinfeld, H.; Gerber, P.; Wassenaar, T.;
Castel, V.; Rosales, M.; de Haan, C. (2006).
"Livestock's Long Shadow – Environmental
issues and options" (PDF). Rome: U.N. Food
and Agriculture Organization. Diarsipkan
dari versi asli (PDF) tanggal 25 June 2008.
Diakses tanggal 5 December 2008.
46. ^ Vitousek, P.M.; Mooney, H.A.;
Lubchenco, J.; Melillo, J.M. (1997). "Human
Domination of Earth's Ecosystems".
Science. 277: 494–499.
47. ^ Bai, Z.G., D.L. Dent, L. Olsson, and M.E.
Schaepman (November 2008). "Global
assessment of land degradation and
improvement 1:identification by remote
sensing" (PDF). FAO/ISRIC. Diakses tanggal
2013-05-24.
48. ^ Carpenter, S.R., N.F. Caraco, D.L.
Correll, R.W. Howarth, A.N. Sharpley, and
V.H. Smith (1998). "Nonpoint Pollution of
Surface Waters with Phosphorus and
Nitrogen". Ecological Applications. 8 (3):
559–568. doi:10.1890/1051-
0761(1998)008[0559:NPOSWW]2.0.CO;2 .
49. ^ Molden, D. (ed.). "Findings of the
Comprehensive Assessment of Water
Management in Agriculture" . Annual Report
2006/2007. International Water
Management Institute. Diakses tanggal
2013-05-07.
50. ^ Li, Sophia (13 August 2012). "Stressed
Aquifers Around the Globe" . New York
Times. Diakses tanggal 2013-05-07.
51. ^ "Water Use in Agriculture" . FAO.
November 2005. Diakses tanggal 2013-05-
07.
52. ^ "Water Management: Towards 2030" .
FAO. March 2003. Diakses tanggal 2013-05-
07.
53. ^ Pimentel, D. T.W. Culliney, and T.
Bashore (1996.). "Public health risks
associated with pesticides and natural
toxins in foods" . Radcliffe's IPM World
Textbook. Diakses tanggal 2013-05-07.
Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
54. ^ WHO. 1992. Our planet, our health:
Report of the WHU commission on health
and environment. Geneva: World Health
Organization.
55. ^ a b Chrispeels, M.J. and D.E. Sadava.
1994. "Strategies for Pest Control" pp.355–
383 in Plants, Genes, and Agriculture. Jones
and Bartlett, Boston, MA.
56. ^ Avery, D.T. (2000). Saving the Planet
with Pesticides and Plastic: The
Environmental Triumph of High-Yield
Farming. Indianapolis, IN: Hudson Institute.
57. ^ "Home" . Center for Global Food
Issues. Diakses tanggal 2013-05-24.
58. ^ Lappe, F.M., J. Collins, and P. Rosset.
1998. "Myth 4: Food vs. Our Environment"
pp. 42–57 in World Hunger, Twelve Myths,
Grove Press, New York.
59. ^ Harvey, Fiona (18 November 2011).
"Extreme weather will strike as climate
change takes hold, IPCC warns" . The
Guardian.
60. ^ "Report: Blue Peace for the Nile"
(PDF). Strategic Foresight Group. Diakses
tanggal 2013-08-20.
61. ^ "World: Pessimism about future grows
in agribusiness" .
62. ^ "SREX: Lessons for the agricultural
sector" . Climate & Development Knowledge
Network. Diakses tanggal 2013-05-24.
63. ^ a b Brady, N.C. and R.R. Weil. 2002.
"Soil Organic Matter" pp. 353–385 in
Elements of the Nature and Properties of
Soils. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle
River, NJ.
64. ^ Brady, N.C. and R.R. Weil. 2002.
"Nitrogen and Sulfur Economy of Soils" pp.
386–421 in Elements of the Nature and
Properties of Soils. Pearson Prentice Hall,
Upper Saddle River, NJ.
65. ^ "World oil supplies are set to run out
faster than expected, warn scientists ". The
Independent. 14 June 2007.
66. ^ Robert W. Herdt (30 May 1997). "The
Future of the Green Revolution: Implications
for International Grain Markets" (PDF). The
Rockefeller Foundation. hlm. 2. Diakses
tanggal 2013-04-16.
67. ^ a b c Schnepf, Randy (19 November
2004). "Energy use in Agriculture:
Background and Issues" (PDF). CRS Report
for Congress. Congressional Research
Service. Diakses tanggal 2013-09-26.
68. ^ Rebecca White (2007). "Carbon
governance from a systems perspective: an
investigation of food production and
consumption in the UK" (PDF). Oxford
University Center for the Environment.
69. ^ a b Martin Heller and Gregory Keoleian
(2000). "Life Cycle-Based Sustainability
Indicators for Assessment of the U.S. Food
System" (PDF). University of Michigan
Center for Sustainable Food Systems.
70. ^ a b Patrick Canning, Ainsley Charles,
Sonya Huang, Karen R. Polenske, and
Arnold Waters (2010). "Energy Use in the
U.S. Food System" . USDA Economic
Research Service Report No. ERR-94. United
States Department of Agriculture.
71. ^ Wallgren, Christine; Höjer, Mattias
(2009). "Eating energy—Identifying
possibilities for reduced energy use in the
future food supply system". Energy Policy.
37 (12): 5803–5813.
doi:10.1016/j.enpol.2009.08.046 .
ISSN 0301-4215 .
72. ^ Jeremy Woods, Adrian Williams, John
K. Hughes, Mairi Black and Richard Murphy
(August 2010). "Energy and the food
system" . Philosophical Transactions of the
Royal Society. 365 (1554): 2991–3006.
doi:10.1098/rstb.2010.0172 .
73. ^ Smith, Kate; Edwards, Rob (8 March
2008). "2008: The year of global food
crisis" . The Herald. Glasgow.
74. ^ "The global grain bubble" . The
Christian Science Monitor. 18 January
2008. Diakses tanggal 2013-09-26.
75. ^ "The cost of food: Facts and figures" .
BBC News Online. 16 October 2008.
Diakses tanggal 2013-09-26.
76. ^ Walt, Vivienne (27 February 2008).
"The World's Growing Food-Price Crisis" .
Time.
77. ^ "World oil supplies are set to run out
faster than expected, warn scientists" . The
Independent. 14 June 2007.
78. ^ a b "Can Sustainable Agriculture Really
Feed the World?" . University of Minnesota.
August 2010. Diakses tanggal 2013-04-15.
79. ^ "Cuban Organic Farming Experiment" .
Harvard School of Public Health. Diakses
tanggal 2013-04-15.
80. ^ Strochlic, R.; Sierra, L. (2007).
"Conventional, Mixed, and "Deregistered"
Organic Farmers: Entry Barriers and
Reasons for Exiting Organic Production in
California" (PDF). California Institute for
Rural Studies. Diakses tanggal 2013-04-15.
81. ^ P. Read (2005). "Carbon cycle
management with increased photo-
synthesis and long-term sinks" (PDF).
Geophysical Research Abstracts. 7: 11082.
82. ^ Greene, Nathanael (December 2004).
"How biofuels can help end America's
energy dependence" . Biotechnology
Industry Organization.
83. ^ R. Pillarisetti and Kylie Radel (2004).
"Economic and Environmental Issues in
International Trade and Production of
Genetically Modified Foods and Crops and
the WTO" . 19 (2). Journal of Economic
Integration: 332–352. Parameter |month=
yang tidak diketahui akan diabaikan
(bantuan)
84. ^ Conway, G. (2000). "Genetically
modified crops: risks and promise" . 4(1): 2.
Conservation Ecology.
85. ^ Srinivas (2008). "Reviewing The
Methodologies For Sustainable Living". 7.
The Electronic Journal of Environmental,
Agricultural and Food Chemistry. Parameter
|month= yang tidak diketahui akan
diabaikan (bantuan)
86. ^ "Monsanto failure" . New Scientist.
181 (2433). London. 7 February 2004.
Diakses tanggal 18 April 2008.
87. ^ "Agricultural Economics" . University
of Idaho. Diakses tanggal 2013-04-16.
88. ^ Runge, C. Ford (June 2006).
"Agricultural Economics: A Brief Intellectual
History" (PDF). Center for International Food
and Agriculture Policy. hlm. 4. Diakses
tanggal 2013-09-16.
89. ^ Conrad, David E. "Tenant Farming and
Sharecropping" . Encyclopedia of Oklahoma
History and Culture. Oklahoma Historical
Society. Diakses tanggal 2013-09-16.
90. ^ Stokstad, Marilyn (2005). Medieval
Castles . Greenwood Publishing Group.
ISBN 0313325251.
91. ^ Sexton, R.J. (2000). "Industrialization
and Consolidation in the US Food Sector:
Implications for Competition and Welfare".
American Journal of Agricultural
Economics. 82 (5): 1087–1104.
doi:10.1111/0002-9092.00106 .
92. ^ Peter J. Lloyd, Johanna L. Croser, Kym
Anderson (March 2009). "How Do
Agricultural Policy Restrictions to Global
Trade and Welfare Differ Across
Commodities" (PDF). Policy Research
Working Paper #4864. The World Bank.
hlm. 2–3. Diakses tanggal 2013-04-16.
93. ^ Kym Anderson and Ernesto Valenzuela
(April 2006). "Do Global Trade Distortions
Still Harm Developing Country Farmers?"
(PDF). World Bank Policy Research Working
Paper 3901. World Bank. hlm. 1–2. Diakses
tanggal 2013-04-16.
94. ^ Peter J. Lloyd, Johanna L. Croser, Kym
Anderson (March 2009). "How Do
Agricultural Policy Restrictions to Global
Trade and Welfare Differ Across
Commodities" (PDF). Policy Research
Working Paper #4864. The World Bank.
hlm. 21. Diakses tanggal 2013-04-16.
95. ^ Glenys Kinnock (24 May 2011).
"America's $24bn subsidy damages
developing world cotton farmers" . The
Guardian. Diakses tanggal 2013-04-16.
96. ^ "Agriculture's Bounty" (PDF). May
2013. Diakses tanggal 2013-08-19.

Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media
mengenai Pertanian.

(Indonesia) Departemen Pertanian


Republik Indonesia
(Inggris) Organisasi Pangan dan
Pertanian PBB
(Inggris) Departemen Pertanian AS

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Pertanian&oldid=13810143"

Terakhir disunting 6 bulan yang lalu…

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai