Anda di halaman 1dari 9

Tinjauan pustaka

ADVERSE DRUG REACTION

Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah, Denpasar

e-mail: harbanu_h_m@yahoo.com

SUMMARY

ADVERSE DRUG REACTION

There are lots of new drugs that made for therapy, prevent and even as a diagnostic tools. Beside the desired effect there

were also undesired effect that can occur when managing patient with drugs which then we call adverse drugs reaction. An

adverse reaction to a drug has been defined as any noxious or unintended reaction to a drug that is administered in standard doses

by the proper route for the purpose of prophylaxis, diagnosis, or treatment. Adverse drug reaction can be devided in two groups,

which is reactions than can occur on everyone and the ones that can only occur on susceptible ones. One of the adverse drug

reaction is drug allergy. History taking is the most important thing on diagnosing drug allergy, one that can help was Naranjo’s

score. We can run few more test to defined the type of Adverse Drug Reaction. For managing patient with adverse drug reaction,

we have to avoid drugs that induce the reaction, premedication and also desensitisation.

Keywords: adverse drug reaction, drug allergy, diagnosis, treatment

PENDAHULUAN
dan mengantuk. Jenis ADR sangatlah banyak, dari yang

dapat diperkirakan akan timbul sampai yang tidak kita

Perkembangan pengetahuan dan ditemukannya


perkirakan yang potensial membahayakan keselamatan

obat-obat baru untuk pengobatan, pencegahan, maupun


jiwa pasien. 3 Karena hal ini cukup sering didapatkan di

diagnosis menuntut kita untuk lebih mengetahui lebih


kl i ni k, a m a t la h pe nt i ng a rt i nya ba gi kita unt uk

banyak mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik


m e ng e t a h ui b a ga i m a na c a ra mendiagnosis,

dari obat. Selain efek yang diharapkan pada saat


penatalaksanaan serta pencegahan apabila terdapat reaksi

pemberian obat kepada pasien, dapat pula terjadi reaksi


akibat ADR.

yang tidak diinginkan, dengan kata lain adverse drug

reaction (ADR). Adverse drug reaction dapat timbul dari


DEFINISI

yang paling ringan hingga dapat menjadi sangat berat


Beberapa definisi telah dikemukakan untuk

yang dapat menimbulkan kematian. 1,2


adverse drug reaction. WHO 1972, ADR adalah setiap

A dv e r s e dr ug re ac t i on ya n g t e rj a di da pa t
efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada

memperburuk penyakit dasar yang akan kita obati,


pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk

menambah permasalahan baru dan bahkan kematian.


profilaksis, diagnosis dan terapi. FDA, 1995, ADR

Keracunan dan syok anafilaktik merupakan contoh ADR


didefinisikan sebagai efek yang tidak diinginkan yang

ya ng be ra t ya ng da pa t m e n ye ba b ka n ke m a t i a n ,
berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul

sedangkan sebagai contoh yang ringan adalah rasa gatal


sebagai bagan dari aksi farmakologis dari obat yang

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008


164
ke j a di a nn ya m un gki n t i da k da pa t di pe r ki ra ka n . ADR diperkira kan terjadi hampir 15% dari

Laurence, 1998 ADR adalah efek yang membahayakan pemberian obat. Risiko terjadinya dapat menigkat hingga

atau tidak mengenakkan yang disebabkan oleh dosis obat dua kali lipat di rumah sakit. Reaksi obat yang dapat

yang digunakan sebagai terapi (atau profilaksis atau dia- menimbulkan kematian dapat timbul sebesar 0,1% pada

gnosis) yang mengharuskan untuk mengurangi dosis atau pasien medik rawat inap dan 0,01% pada penderita

menyetop pemberian dan meramalkan adanya bahaya bedah. Hanya 5 – 10% dari ADR merupakan alergi obat.1

pada pemberian selanjutnya. Edward dan Aronson, 2000, ADR dapat dibagi menjadi dua kategori besar,

A DR a da l a h re a k si ya n g be r ba ha ya atau t i da k yaitu yang dapat diperkirakan, umum terjadi dan

mengenakkan akibat penggunaan produk medis yang berhubungan dengan aksi farmakologis obat (reaksi tipe

memperkirakan adanya bahaya pada pemberian berikut- A) dan yang tidak dapat diperkirakan, jarang terjadi dan

nya sehingga mengharuskan pencegahan, terapi spesifik, biasanya tidak berhubungan dengan aksi farmakologis

pengaturan dosis atau penghentian obat. 1 obat (reaksi tipe B). Hampir 80% ADR adalah tipe A

Beberapa reaksi obat dapat timbul pada semua contohnya adalah toksisitas obat, efek samping, efek

orang, sedangkan lainnya hanya dapat timbul pada orang sekunder, dan interaksi obat. Reaksi termediasi sistem

ya ng s us e pt i be l . A l e rgi oba t m e ru pa ka n re a ks i imun atau alergi termasuk tipe B, timbulnya jarang,

imunologis yang spesifik (timbul pada orang yang hanya 6 – 10% dari keseluruhan ADR. Tipe B seringkali

suseptibel) dan berulang bila terpapar kembali oleh obat tidak terlihat sampai obat tersebut dipasarkan, dependen

yang mencetuskannya. terhadap faktor genetik dan lingkungan. Yang termasuk

reaksi tipe B adalah i nt ol era nsi obat (efek tidak

INSIDEN diinginkan yang timbul pada dosis terapi atau subterapi),

reaksi idiosinkrasi (reaksi tidak spesifik yang tidak dapat

Efek samping obat sering kita jumpai di praktek dijelaskan oleh reaksi farmakologis obat) dan alergi atau

sehari-hari. Pada sebuah penelitian di Perancis, dari 2067 reaksi hipersensitifitas (reaksi yang sesuai dengan

dewasa berusia 20 – 67 tahun yang datang ke pusat mekanisme imunologi). Alergi dapat diklasifikasikan

kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan dilaporkan berdasarkan sistem klasifikasi Gell dan Coombs, menjadi

bahwa 14,7% memiliki riwayat efek samping sistemik reaksi hipersensitivitas tipe cepat (diperantarai IgE),

terhadap satu atau lebih obat. Penelitian di Swiss dari reaksi sitotoksik dan imun kompleks (diperantarai IgG

5568 pasien rawat inap, 17% diantaranya mendapatkan dan IgM) dan reaksi tipe lambat (diperantarai limfosit

efek samping obat. Reaksi obat yang fatal terjadi pada T). Meskipun kategorinya jelas, tetapi mengklasifikasi-

0,1% pasien medik dan 0,01% pasien bedah. Obat yang kannya amat sulit karena mekanisme yang belum jelas.1-7

tersering adalah antibiotik dan obat anti inflamasi non

4,5
steroid.

Banyak mekanisme ADR yang diperkirakan,

tetapi mekanisme pasti reaksi obat yang menimbulkan

ADR belum jelas diketahui. Hal ini menyebabkan sangat

sulit untuk membedakan antara alergi obat dengan

bentuk lain reaksi obat serta dalam menilai insiden alergi

obat, mengevaluasi faktor risiko dan menentukan

panatalaksanaannya.

Adverse Drug Reaction


165
Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana
Gambar 1. Mekanisme alergi berdasarkan Gell & Coombs

A DR da l a m se gi p ra kt i s kl i ni s da pa t

diklasifikasikan untuk memudahkan dalam mengetahui berbeda dari efek farmakologisnya. Hal ini timbul

terjadin ADR pada penggunaan obat dalam praktek pada pasien yang suseptibel dan kejadian bisa /

sehari-hari, salah satu klasifikasi yang dapat digunakan tidak bisa diperkirakan. Terjadi karena

adalah:1 metabolisme obat ataupun defisiensi enzim.

1. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang: c. Alergi obat

a. Overdosis obat: efek farmakologis toksik yang d. Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara

timbul pada pemberian obat yang timbul akibat klinis mirip dengan reaksi alergi tanpa peranan

kelebihan dosis ataupun karena gangguan imunologis (tidak diperantarai IgE).

ekskresi obat

b. Efek samping obat: efek farmakologis yang tidak ALERGI OBAT

di i ngi n ka n ya ng t i m b ul pa da dosis Alergi obat atau hipersensitivitas terhadap obat

terrekomendasi. merupakan salah satu bentuk dari ADR. Alergi obat

c. Interaksi obat: aksi farmakologis obat pada didefinisikan sebagai reaksi yang diperantarai respon

efektivitas maupun toksisitas obat yang lain. imunologis yang timbul pada populasi subyek yang

2. R e a k s i ya ng ha nya t i m b ul pa da ora n g ya n g suseptibel dengan karakteristik spesifik, transferability

suseptibel: oleh antibodi maupun limfosit dan rekurens pada paparan

a. Intoleransi obat: ambang batas yang rendah pada ulangan.8,9

aksi farmakologis normal dari obat. Alergi obat merupakan reaksi yang sering

b. Idiosinkrasi obat: respon abnormal dari obat yang didefinisikan sebagai reaksi yang ditimbulkan oleh

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008


166
mekanisme imunologis. Merupakan hasil produksi jarang pada penggunaan secara oral. Pemberian secara

antibodi dan / atau sel T sit ot oksi k akibat obat, intravena akan dapat menimbulkan reaksi yang lebih

metabolitnya, ataupun protein pembawa baik yang berat. Penggunaan obat -obatan penyekat β akan

soluble maupun yang berikatan dengan sel. Merupakan mengurangi respon penderita terhadap adrenalin yang

respon dari paparan obat yang sebelumnya atau diberikan untuk menangani anafilaksis. Asma akan

pemberian berkesinambungan. m e m pe r be r a t pe na n ga na n a pa bi l a te rj a di re a ks i

Berdasarkan Gel dan Coomb reaksi alergi anafilaksis, karena konstriksi bronkus yang terjadi dapat

diklasifikasikan menjadi empat tipe, tipe I – IV. disebabkan oleh asmanya sendiri maupun akibat reaksi

Immediate-type hypersensitivity reactions, diperantarai dengan obat yang diberikan. Kehamilan juga akan

Imunoglobulin E (IgE) antibodi spesifik obat dengan menyulitkan dalam penatalaksanaan, seperti pemilihan

gambaran urtikaria, angioudem, dan anafilaksis. Reaksi obat serta kita harus memikirkan nasib janin yang

toksisitas akibat obat, diperantarai oleh antibodi IgG atau dikandung selain menangani kegawatan yang terjadi

1,10
Ig M t e rm a s uk a ne m i a h e m ol i t i k a ki ba t oba t , pada si ibu.

trombositopenia akibat obat serta lekopenia akibat obat. Faktor risiko

Reaksi imun kompleks akibat obat diperantarai oleh 1. Berhubungan dengan pasien

kebanyakan obat (penisilin, sulfonamid) memiliki berat • Usia

molekul yang rendah (hapten) yang terikat dengan pro- • Jenis Kelamin

tein sebelum dikenal oleh limfosit atau antibodi. Reaksi • Genetik

ps e u d oa l e r gi t e rh a da p o ba t da pa t m e n ye r u pa i
• Atopi

mekanisme imunologi ini, contoh pelepasan histamin


• AIDS

2. Berhubungan dengan obat


oleh opioid dan aktivasi komplemen oleh bahan kont-
• Makromolekul
ras radioaktif.
• Bivalensi
ADR terutama timbul pada usia muda dan dua
• Hapten
kali lebih sering pada wanita. Faktor genetik mungkin
• Rute pemberian


penting, predisposisi familial terhadap obat antimikroba
Dosis
telah dilaporkan. Peranan adanya riwayat atopi dalam
• Lama terapi

keluarga yang memudahkan terjadinya reaksi obat masih


3. Faktor pendukung

diperdebatkan. Atopi mungkin berperan pada reaksi yang


• Beta bloker

timbul akibat pemberian kontras yodium tetapi tidak • Asma

untuk penisilin maupun obat anestesi. Faktor risiko yang • Kehamilan

berhubungan dengan obat itu sendiri termasuk ukuran

molekulnya, molekul yang besar dapat dianggap sebagai DIAGNOSIS

antigen kom plit, cont oh i nsulin; bi vale nsi , yaitu Tes diagnosis untuk reaksi hipersensitivitas yang

kemampuan untuk berikatan dengan beberapa reseptor baik termasuk anamnesa yang detil dan pemeriksaan

( c r os s l i nk ) c o nt o h n ya s u ksi ni l k ol i n; se rt a fisik sangat penting untuk mengklasifikasikan reaksi,

kemampuannya berperan sebagai hapten. Sensitisasi menentukan terapi, mengidentifikasi obat yang

dapat tergantung pada cara pemberian, lebih sering menimbulkan reaksi tersebut dan untuk mengetahui

timbul pada cara pemberian lokal atau topikal, lebih insiden alergi terhadap obat tersebut.

jarang pada pemberian secara parenteral, dan paling

Adverse Drug Reaction


167
Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana
lain urtika dan asma

Aftamftesis • Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah

Anam nesis yang me ndetail dan pasti harus paparan. Gejala yang mungkin didapatkan antara

didapatkan dari pasien. Hal – hal yang harus didapatkan lain sidrom mukokutan ( rash, dermatitis

1 eksfoliatif) atau tipe hematologis (anemia,


pada saat anamnesis adalah :

1. Gejala klinis serta waktu timbulnya gejala serta jarak trombositopenia, netropenia)

timbul gejala dari paparan obat yang dicurigai

2. Kemungkinan onset timbulnya gejala:

• Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga

6 jam dari paparan, gejala klinis yang dapat timbul

a da l a h a n a f i l a k si s , urt i c a , a n gi o u de m ,

bronkospasme

• Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah


paparan. Gejala yang mungkin didapatkan antara

Tabel 1. Skoring Naranjo yang dapat digunakan untuk mengetahui ADR 10

Bila skor Naranjo 9 or 10 menunjukkan bahwa kejadian tersebut “definitely” ADR; skor 5 -8 kemungkinannya

“probable”; skor 1-4 “possible”; dan bila skor kurang dari 1 “doubtful.”

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008


168
menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent

Tes diagftosis assay (ELISA). Yang terpenting adalah menentukan

hubungan IgG dan IgM dengan manifestasi klinis, kar-

Skin Prick Test (SPT) ena antibodi dapat positif tanpa kelainan imunopatologi.

Skin Prick Test (tes kulit epikutan) dan tes kulit

intradermal merupakan tes untuk mengetahui adanya IgE Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV

spesifik terhadap obat tertentu yang berguna hanya untuk Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang

beberapa obat dengan berat molekul rendah (penisilin, di pe ra nt a ra i sel T, t e rut am a e c z e m a t o us , e ru ps i

relaksan otot, barbiturat) karena reagen untuk yang lain terinduksi obat. Tes ini dapat diaplikasikan pada kelainan

belum tersedia. Karena reagen belum tersedia, klinisi kulit karena obat serta rekasi sistemik. Kegunaan metode

harus membuat sendiri reagennya. Meskipun kadang ini t e r ga nt u n g da ri pe m b a w a oba t da n t e m pa t

dapat dijumpai hasil positif pada pemberian obat yang aplikasinya. Patch test berguna untuk antikonvulsan

dapat melepaskan histamin tanpa melalui perantaraan seperti carbamazepin dan penisilin. Metode ini terbatas

IgE, sepereti misalnya pada pemberian propofol atau penggunaannya karena terbatasnya reagen yang sesuai

atracurium. dengan determinan imunogenik dari obat.

Radio Allergo Sorbent Assay (RAST) Tes-tes lain

Merupakan solid phase radioimmunoassay yang Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis

mengukur circulating allergen spesific IgE antibodies. dan perjalanan respon inflamasi, tetapi hanya hal umum

Kegunaannya terbatas sebagai tes diagnosis alergi obat, saja yang bisa didapatkan (tipe infiltrat seluler, adanya

ka re na s e pe rt i tes k ul i t , i m m u n o c h e m i s t r y da ri e de m a ) . P e m e ri k s a a n i munohisto kimia da pa t

ke ba nya ka n obat bel um di ke t a hui . Tes ini tela h memeberikan informasi tambahan. Tryptase yang

dikembangkan untuk penisilin (penicilloyl moiety), in- merupakan mast cell spesific protease dapat meningkat

sulin, chymopapain, relaksan otot, thiopental, protamine pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi yang meningkat

dan lateks. didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa

antibiotik. Tes lain yang dapat berguna antara lain basofil

Tes Provokasi hi s t a m i n re l e a s e , p r ol i fe r a s i li mfosit, a kt i va s i

Tes Provokasi oral dapat menjadi gold standar komplemen dan tes lymphocyte cytotoxicity. Tes-tes ini

dalam menentukan adanya alergi obat. Tes ini harus masih dalam penelitian, belum digunakan untuk evaluasi

dikerjakan dengan pengawasan yang ketat dengan alat ADR.

bantu resusitasi yang tersedia.

PENATALAKSANAAN

Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III Sekara ng ini hanya sedikit alat yang dapat

Tes hemaglutinasi (Coomb’s test direk atau membantu evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan

indirek) telah digunakan untuk menentukan adanya reaksi akibat obat. Alat tersebut belum ada karena

antibodi IgG dan IgM spesifik untuk membantu diagno- keterbatasan pengetahuan mengenai patofisiologi dan

sis anemia hemolitik yang diperantarai obat. Karena faktor pre di s posisi ti m bul nya ke ba nya ka n rea ksi

keterbatasannya (harus menjaga kesegaran eritrosit yang tersebut. Meski dengan segala keterbatasan pasien tetap

terkonyugasi dengan obat ) sekarang lebih banyak harus dapat ditangani. Pendekatan terhadap pasien alergi

Adverse Drug Reaction


169
Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana
obat harus secara metodologis. Pertama hubungannya tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya.

dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut 2. Premedikasi

dapat dibuktikan, tipe reaksi harus dapat ditentukan • Penggunaan antihistamin H1 sebagai pencegahan

sebisa mungkin. Untuk reaksi tipe A, modifikasi dosis tidak dianjurkan, karena tidak dapat mencegah

sebelum diberikan merupakan satu – satunya hal yang t e rj a di n ya s y ok a na fi l a kt i k da n da pa t

perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping dan efek mengaburkan gejala awal alergi obat.

sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis • Antihistamin H1 yang dikombinasikan dengan

obat. Untuk reaksi tipe B, obat masih dapat diberikan steroid telah dibuktikan dapat menurunkan reaksi

kembali bila reaksi sebelumnya ringan (tinitus pada akibat media kontras radiografi.

pe m b e ri a n a s pi ri n ). U nt uk re a ksi i d i o s i n k r a s i , 3. Desensitisasi

kewaspadaan yang lebih perlu dipertimbangkan. Pada • Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien
yang pernah mengalami reaksi yang diperantarai
reaksi yang berat atau mengancam nyawa penderita, obat
IgE terhadap penisilin dan memerlukan penisilin
tersebut tidak boleh diberikan kembali. Pada reaksi yang
untuk terapi infeksi yang berat seperti endokarditis
t i da k t e rl a l u be ra t , tes pr o v o ka si dapat
bakterial dan meningitis.
dipertimbangkan.2,3,11-15
• Beberapa protokol telah dikemukakan dengan
U nt uk re a ksi t i pe B, p e n a t a l a k s a n a a n n y a
jalur oral maupun parenteral

tergantung dari mekanisme yang mendasari timbulnya


• Harus dikerajakan dengan pengawasan khusus

reaksi. Bila tes konfirmasi tersedia dan telah divalidasi, dari seorang spesialis.

tes tersebut harus digunakan untuk menentukan status • Pemberian secara oral lebih disukai karena lebih

alergi pasien (tes untuk IgE spesifik penisilin dengan kecil kemungkinannya untuk menimbulkan reaksi

Pre-Pen dan determinan campuran minor). Bila tes yang mengancam nyawa.

tersebut tidak tersedia dan pada kebanyakan kasus • Desensitisasi juga dapat dikerjakan untuk pasien
yang memerlukan sulfonamid dan cephalosporin.
memang t i da k a da , be be ra pa pe nde ka t a n da pa t

dilakukan.Pendekatan yang paling mudah adalah dengan

menghindari obat bila obat alternatif tersedia. Bila obat

alternatif tidak ada, challenge test bertahap dapat

dikerjakan bila reaksi yang timbul sebelumnya bukan

merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan tidak

merupakan reaksi yan berat dan membahayakan nyawa

penderita. Bila reaksi yang sebelumnya timbul

merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi

harus dikerjakan.

1. Avoidance (menghindari paparan)

• Merupakan panduan umum, diamana kita harus

m e ng hi n da ri pe n g g un a a n o ba t ya ng telah

diketahui menyebabkan reaksi alergi pada pasien,

kecuali bila obat tersebut sangat dibutuhkan dan

J
J Peny
Peny Dalam, Volume 9
Dalam, Volume 9 Nomor
Nomor 2
2 Mei 2008
Mei 2008
170
170

Gambar 2. Skema alur penatalaksanaan ADR


RINGKASAN
yang spesifik (timbul pada orang yang suseptibel) dan

ADR adalah setiap efek yang tidak diinginkan dari be rul a n g bi l a t e r pa pa r ke m b a l i ol e h o ba t ya ng

obat yang timbul pada pemberian obat dengan dosis yang mencetuskannya. Mekanisme pasti reaksi obat yang

digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi. menimbulkan ADR belum jelas diketahui. ADR dapat

Beberapa reaksi obat dapat timbul pada semua orang, dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang dapat

sedangkan lainnya hanya dapat timbul pada orang yang diperkirakan, umum terjadi dan berhubungan dengan

suseptibel. Alergi obat merupakan reaksi imunologis aksi farmakologis obat (reaksi tipe A) dan yang tidak

Adverse Drug Reaction


171
Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana
9. Aberer W, Bircher A, Romano A, Blanca M, Campi
dapat diperkirakan, jarang terjadi dan biasanya tidak
P,Fernandez J, et al. Drug provocation testing in
berhubungan dengan aksi farmakologis obat (reaksi tipe
the diagnosis of drug hypersensitivity reactions:
B). Tes diagnosis untuk reaksi hipersensitivitas yang baik
general considerations. Allergy 2003;58: 854-63.
termasuk anamnesa yang detil dan pemeriksaan fisik
10. Naranjo CA, Busto U, Sellers EM, et al. A method
sangat penting untuk me ngkla si fi ka si ka n reaksi,
for estimating the probability of adverse drug re-
m e ne nt u ka n t e ra pi , m e n g i d e n t i fi k a si oba t ya ng
actions. Clin Pharmacol Ther 1981;30:239-45.
menimbulkan reaksi tersebut dan untuk mengetahui
11. Naisbitt D J, Farrell J, Wong G, Dipta J H , Dodd
insiden alergi terhadap obat tersebut. Tes diagnosis yang
C, Hopkins J, et al. Characterization of drug-
dapat dilakukan antara lain: skin prick test, radio all-
specific t-cells in lamotrigine hypersensitivity, J
ergo sorbent assay, tes provokasi, tes hemaglutinasi,
Allergy Clin immunol 2003;111:1393-403.
patch test. Penatalaksanaan terpenting adalah melakukan
12. Bush WH, Swanson DP. Acute reactions to intravas-
avoidance, premedikasi dan desensitisasi.
cular contrast media: types, risk factors, recognition,

and specific treatment. AJR 1991;157:1153-61.


DAFTAR RUJUKAN
13. Sicherer SH, Leung DM. Advances in allergic skin

disease, anaphylaxis, and hypersensitivity reactions

1. Vervloet C, Durham S. ABC of allergies Adverse to foods, drugs, and insects. J Allergy Clin Immunol

reactions to drugs. BMJ 1998;316:1511-4. 2006;118:170-7.

2. Gruchalla R. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol 14. Sicherer SH, Leung DM. Advances in allergic skin

2003;111 Suppl 5:48-59. disease, anaphylaxis, and hypersensitivity reactions

3. Gruchalla R. Understanding drug allergies. J to foods, drugs, and insects. J Allergy Clin Immunol

Allergy Clin Immunol 2000;105 Suppl 6:37-44. 2005;116:153-63.

4. Torpet LA, Kragelund C, Reibel J, Nauntofte B. 15. P a pa s t a v ro s T, D ol o vi c h L R, H ol b r o ok A,

Oral adverse drug reactions to cardiovascular drugs. Whiehead L, Loeb M. Adverse events associated

Crit Rev Oral Biol Med 2004;15(1):28-46. with pyrazinamide and levofloxacin in the treat-

ment of latent multidrug-resistant tuberculosis.


5. Weinshilboum R. Inheritance and drug response.
CMAJ 2002;23:167.
N Engl J Med 2004;348;6.

6. Hamilton R, Adkinson F. Clinical laboratory as-

sessment of IgE-dependent hypersensitivity. J al-

lergy clin immunol 2003;111 Suppl 6:87-701.

7. Gruchalla R. Drug metabolism, danger signals, and

drug-induced hypersensitivity. J Allergy Clin

Immunol 2001;108:475-88.

8. Adkinson F, Essayan D, Gruchalla R, Haggerty H,

Kawabata J, Sandler D, et al. Task force report:

future research needs For the prevention and man-

agement of Immune-mediated drug hypersensitiv-

ity Reactions The health and environmental sci-

ences institute task force. J allergy clin immunol

2002;109 Suppl 4:61-78.

J Peny Dalam, Volume


Volume 9
9 Nomor
Nomor 2
2 Mei 2008
Mei 2008
172
172

Anda mungkin juga menyukai