Disusun oleh :
KELAS / PRODI:
A / AGROTEKNOLOGI
Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
Tahun Ajaran 2017 / 2018
Pendahuluan
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
bagi kehidupan makhluk hidup , hal ini disebabkan karena hutan merupakan
penyumbang oksigen terbesar untuk keberlangsungan hidup makhluk lainnya
seperti manusia dan hewan. Selain itu, hutan juga memegang fungsi penting yaitu
ekologi. Fungsi hidro-orologi, pengatur iklim dan sebagai sumber
keanekaragaman hayati. Namun banyak hal yang terlepas dari
pengawasan manusia seperti adanya kebakaran hutan.
Kepedulian dan kepekaan bangsa Indonesia terhadap berbagai masalah
hutan semakin meningkat, karena kepedulian ini diperlukan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas dan keberadaan hutan di Indonesia. Peran penyuluh
tentunya sangat penting dalam melindungi hutan. Penyuluh harus mampu
memberikan saran-saran kepada penjaga hutan yang dapat mengubah cara tatanan
pertanian yang menggunakan sistem buka tutup lahan pada hutan dengan
menggunakan cara membakar hutan. Penyuluh disini harus memiliki peta
penyebaran kebakaran yang terakurat, agar nantinya penyuluh dapat bekerja tepat
pada sasaran serta dapat langsung berinteraksi kepada petani agar dapat
mengurangi teknik pembakaran lahan dalam pembukaan lahan baru . Selain
itu dapat memberikan solusi bagaimana cara lain untuk membuka lahan baaru..
Tujuan tersebut dapat dilakuakan dengan metode GIS (Geographic
Information System) yang dapat melakukan visualisasi secara efektif mengenai
kondisi geografis yang akurat berupa kejadian bencana kebakaran, ataupun
perkiraan ancaman kebakaran yang akan terjadi. Informasi spasial tersebut akan
sangat membantu penyuluh di dalam melakukan penyuluhan.
KEBAKARAN HUTAN
Kerusakan yang diakibatkan kebakaran termasuk yang paling besar dan
kejadiannya dapat berlangsung dalam waktu yang singkat dengan kerusakan yang
besar, seperti polusi udara (kabut asap), kondisi tanah yang rusak,
keanekaragaman hayati menurun, menurunnya jumlah binatang buruan dan
tanaman obat yang dikomsumsi sehari hari oleh masyarakat, menambah angka
laju deforestasi hutan.
Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan
dan lahan diantaranya :
Menurut Zaidil Firza (2011), Peta Rawan Kebakaran Hutan dapat diperoleh
menggunakan metode overlay peta-peta tematik. Peta-peta yang digunakan antara
lain:
1. Peta Penutupan Lahan yang diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit
yang dilakukan oleh BPKH II, digunakan sebagai salah satu faktor yang
terkait dengan penggunaan lahan aktual. Wilayah yang terdegradasi dan
tidak memiliki pola pemanfaatan intensif cenderung rawan terhadap
kebakaran.
3. Peta Elevasi atau Peta Ketinggian diperoleh dari data Digital Elevation
Model (DEM) SRTM. Informasi ketinggian digunakan untuk membedakan
dataran rendah (0-25) daerah lahan kering (25 -1000 m) dan dataran tinggi
atau pegunungan (1000 – 3000 m). Pembagian tiga zona ketinggian ini
terkait dengan pembagian zona iklim, mengingat curah hujan di Indonesia,
seperti contoh di Sumatera dipengaruhi oleh topografi yang berkisar antara
6000 mm per tahun di wilayah barat atau sekitar bukit Barisan hingga
1500 mm di bagian timur (Whitten et al, 2000). Ketinggian juga
mempengaruhi daerah persebaran kebakaran hutan, karena pada teorinya
kebakaran merambat dari daerah bertekanan udara rendah ke tinggi,
dimana semakin tinggi elevasi, semakin tinggi tekanan udaranya.
Label Warna
Tidak Rawan Putih
Rendah Hijau
Dari peta
Sedang Kuning diperoleh,
Tinggi/Sangat Rawan Merah diketahui
daerah-daerah dengan tingkat-tingkat kerawanan yang berbeda-beda. Karena
keterbatasan sumberdaya pemadaman yang ada di sekitar hutan, maka diperlukan
konsentrasi kegiatan pencegahan dan pemadaman di wilayah tersebut seperti
penyuluhan kebakaran. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan melalui
pengembangan masyarakat adalah melalui upaya pemberian altenatif
matapencaharian sekitar lahan gambut, untuk menghindari terpicunya kebakaran
gambut oleh masyarakat saat musim kemarau. Peningkatan kesadaran masyarakat
sekitar akan bahaya kebakaran gambut serta pentingnya ekosistem bagi
lingkungan global juga harus diterapkan dengan cara pemberian penyuluhan
kebakaran. Masalah lain yang kerap muncul adalah rendahnya aksesibilitas yang
dapat dilalui oleh regu-regu pemadam kebakaran, ditambah lagi dengan
terbatasnya sumber air di lahan gambut saat kemarau, mengakibatkan regu
pemadam hanya mampu menjangkau areal lahan gambut tidak lebih dari 500
meter dari pinggir jalan dan kanal. Butuh upaya alternatif transportasi bagi regu
pemadam, selain akses jalan, karenanya sangat perlu diperhatikan, mengingat
sulitnya aksesibilitas menuju areal lahan gambut yang terdegradasi. Namun, upaya
pencegahan perlu diprioritaskan di wilayah-wilayah rawan berdasarkan peta
daerah rawan kebakaran hutan.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa SIG bisa membantu
penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan kebakaran hutan yang mana lokasi
penyuluhan tersebut disesuaikan atau dikonsentrasikan dengan daerah rawan
kebakaran, sehingga tujuan penyuluhan tersebut dapat tepat lokasi sasaran.
Referensi
Firza , Zaidil. 2011. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Sig) Dalam Prediksi
Spasial Wilayah Rawan Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada