Anda di halaman 1dari 8

APLIKASI GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS (GIS)

SEBAGAI PENGETAHUAN PADA PENYULUHAN


KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA

Disusun oleh :
KELAS / PRODI:
A / AGROTEKNOLOGI

Lely Febrianti (1625010015)

Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
Tahun Ajaran 2017 / 2018
Pendahuluan
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
bagi kehidupan makhluk hidup , hal ini disebabkan karena hutan merupakan
penyumbang oksigen terbesar untuk keberlangsungan hidup makhluk lainnya
seperti manusia dan hewan. Selain itu, hutan juga memegang fungsi penting yaitu
ekologi. Fungsi hidro-orologi, pengatur iklim dan sebagai sumber
keanekaragaman hayati. Namun banyak hal yang terlepas dari
pengawasan manusia seperti adanya kebakaran hutan.
Kepedulian dan kepekaan bangsa Indonesia terhadap berbagai masalah
hutan semakin meningkat, karena kepedulian ini diperlukan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas dan keberadaan hutan di Indonesia. Peran penyuluh
tentunya sangat penting dalam melindungi hutan. Penyuluh harus mampu
memberikan saran-saran kepada penjaga hutan yang dapat mengubah cara tatanan
pertanian yang menggunakan sistem buka tutup lahan pada hutan dengan
menggunakan cara membakar hutan. Penyuluh disini harus memiliki peta
penyebaran kebakaran yang terakurat, agar nantinya penyuluh dapat bekerja tepat
pada sasaran serta dapat langsung berinteraksi kepada petani agar dapat
mengurangi teknik pembakaran lahan dalam pembukaan lahan baru . Selain
itu dapat memberikan solusi bagaimana cara lain untuk membuka lahan baaru..
Tujuan tersebut dapat dilakuakan dengan metode GIS (Geographic
Information System) yang dapat melakukan visualisasi secara efektif mengenai
kondisi geografis yang akurat berupa kejadian bencana kebakaran, ataupun
perkiraan ancaman kebakaran yang akan terjadi. Informasi spasial tersebut akan
sangat membantu penyuluh di dalam melakukan penyuluhan.

KEBAKARAN HUTAN
Kerusakan yang diakibatkan kebakaran termasuk yang paling besar dan
kejadiannya dapat berlangsung dalam waktu yang singkat dengan kerusakan yang
besar, seperti polusi udara (kabut asap), kondisi tanah yang rusak,
keanekaragaman hayati menurun, menurunnya jumlah binatang buruan dan
tanaman obat yang dikomsumsi sehari hari oleh masyarakat, menambah angka
laju deforestasi hutan.
Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan
dan lahan diantaranya :

a. Dampak Terhadap Bio-fisik


Dampak buruk dari kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan
dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman
sampai dengan hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut
vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah
hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring
dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu, kebakaran dapat melemahkan daya
tahan tegakan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang
menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena
serangan penyakit/pembusukan. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi
kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta
menggangu habitat satwa liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh
kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk
mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut. Kebakaran hutan dan lahan dapat
merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah,
dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan
aliran air permukaan. Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi dan tingkat air
tanah menurun. Kebakaran yang berulang-ulang dikawasan yang sama dapat
menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang
sangat berguna bagi kesuburan tanah. Dampak lainnya dari kebakaran hutan
adalah rusaknya permukaan tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang
terbakar di lereng-lereng di daerah hulu DAS cenderung menurukan kapasitas
penyimpanan air di daerah-daerah dibawahnya. Dari hasil pengamatan
menunjukkan bahwa penurunan mutu kawasan karena kebakaran yang berulang-
ulang menyebabkan erosi tanah dan banjir, yang menimbulkan dampak lanjutan
berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai, danau dan bendungan.

b. Dampak Terhadap Sosial Ekonomi


Perubahan bio-fisik terhadap sumber daya dan lingkungan akibat
kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan penurunan daya dukung dan
produktivitas hutan dan lahan. Pada keadaan serupa ini akan menurunkan
pendapatan masyarakat dan negara dari sektor kehutanan, pertanian, perindustrian,
perdagangan, jasa wisata dan lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungannya.

c. Dampak Terhadap Lingkungan


Selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan
juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada
tahun 1994 dan tahun 1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu
kondisi cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang
terperangkap di bawah suatu lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah
Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus
pandang) sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut dan udara.

Peran Pemerintah Serta Penyuluh Dalam Upaya Penanggulangan


Kebakaran Hutan

Penyuluhan kehutanan sebagai bagian dari pembangunan kehutanan yang


intinya adalah upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia, dunia usaha dan para
pihak lainnya, merupakan investasi dalam mengamankan asset negara terutama
sumber daya hutan.
Tujuan penyuluhan sendiri untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu
mendukung pembangunan kehutanan sehingga terwujudnya lingkungan yang
aman dan terjaga dari polusi.Tujuan lain untuk menanamkan kepedulian
masyarakat dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Pemerintah tidak
akan dapat melaksanakan penyuluhan kebakaran dengan hanya mengandalkan
sumber daya manusianya , dengan adanya teknologi GIS tidak menjadi kendala
dalam kinerja dan diharapan kedepan adalah tidak ada lagi kebakaran, tidak ada
asap yang menyesakkan, dan memedihkan mata.

GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS (GIS)

Seiring dengan perkembangan teknologi, kegiatan pemantauan hutan


untuk mencegah kebakaran sudah dapat dilakukan dengan sistem komputerisasi,
bukan sistem konvensional lagi. Dengan sistem komputerisasi, maka pemantauan
hutan dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, sekaligus dapat
menentukan atau memperkirakan lokasi-lokasi yang rawan kebakaran. Untuk
pemantauan kebakaran yang terkomputerisasi, diperlukan suatu sistem, yaitu apa
yang disebut Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode GIS (Geographic
Information System) yang dapat melakukan visualisasi secara efektif mengenai
kondisi geografis yang akurat, kejadian bencana kebakaran, ataupun perkiraan
ancaman kebakaran yang akan terjadi.
Ceecati et al (1999) dalam Sunupprapto (2000) dalam Achmad Siddik
Thoha (2008) menyatakan, mendokumentasikan penggunaan metodologi dan
teknik-teknik, dimana memadukan NOAA-AVHRR data satelit dengan
songkongan Sistem Informasi Geografis (SIG) menyediakan deteksi dan
monitoring kebakaran yang berhubungan dengan factor linkungan. Jadi dalam
penggunaan SIG diperlukan data Pengindraan Jarak Jauh yang memantau titik-
titik api yang berpotensi kebakaran, sehingga data hotspot di gabung dengan data
peta yang lain seperti Peta Penutupan Lahan.

Gambar 1. SIG untuk Kehutanan

Aplikasi GIS dalam pembuatan Peta Rawan kebakaran

Peta Rawan Kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk


mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran
hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk
memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena
itu, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal
yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin, dkk, 2007).

Menurut Zaidil Firza (2011), Peta Rawan Kebakaran Hutan dapat diperoleh
menggunakan metode overlay peta-peta tematik. Peta-peta yang digunakan antara
lain:
1. Peta Penutupan Lahan yang diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit
yang dilakukan oleh BPKH II, digunakan sebagai salah satu faktor yang
terkait dengan penggunaan lahan aktual. Wilayah yang terdegradasi dan
tidak memiliki pola pemanfaatan intensif cenderung rawan terhadap
kebakaran.

2. Penyebaran Lahan Gambut merupakan faktor penting yang berpengaruh


terhadap intensitas dan dampak kebakaran yang terjadi, serta merupakan
bahan bakar paling efektif dalam kebakaran hutan. Informasi penyebaran
jenis lahan diperoleh dari peta unit lahan yang dikeluarkan oleh
Puslitanak.

3. Peta Elevasi atau Peta Ketinggian diperoleh dari data Digital Elevation
Model (DEM) SRTM. Informasi ketinggian digunakan untuk membedakan
dataran rendah (0-25) daerah lahan kering (25 -1000 m) dan dataran tinggi
atau pegunungan (1000 – 3000 m). Pembagian tiga zona ketinggian ini
terkait dengan pembagian zona iklim, mengingat curah hujan di Indonesia,
seperti contoh di Sumatera dipengaruhi oleh topografi yang berkisar antara
6000 mm per tahun di wilayah barat atau sekitar bukit Barisan hingga
1500 mm di bagian timur (Whitten et al, 2000). Ketinggian juga
mempengaruhi daerah persebaran kebakaran hutan, karena pada teorinya
kebakaran merambat dari daerah bertekanan udara rendah ke tinggi,
dimana semakin tinggi elevasi, semakin tinggi tekanan udaranya.

4. Batas Administrasi digunakan hanya sebagai batas areal yang akan


dianalisa, sehingga peta yang dihasilkan memiliki areal sesuai dengan
yang kita inginkan. (peta tambahan)

Dari keempat peta ini, lalu dilakukan overlay, menggunakan


metode scoring dengan pembobotan masing-masing elemen. Kriteria
pembobotannya antara lain : 1. Peta Penutupan Lahan (40%) 2. Peta Ketinggian
(30%) 3. Peta Tanah - Persebaran Gambut (30%)

Dari scoring ini kita akan mendapatkan poligon-poligon yang mempunyai


skor rawan kebakaran, sehingga kita mampu mengklasifikasikan wilayah
berdasarkan kerawanan kebakaran. Dari peta rawan kebakaran ini, kita mampu
merekomendasikan wilayah-wilayah berdasarkan prioritas penanggulangan
kebakarannya, baik ditinjau dari fasilitas yang kurang memadai, jarak dari sumber
air terdekat, jumlah personil, maupun beratnya kondisi fisik lapangan. Untuk
strategi penanggulangan kebakaran hutan yang bersifat berkelanjutan, harus
diadakan pemutakhiran data teraktual tiap tahunnya. Dengan prioritas kebakaran
yang tepat maka wilayah prioritas tersebut menjadi prioritas dalam penyuluhan
kebakaran.
Gambar 2. Peta Rawan Kebakaran

Label Warna
Tidak Rawan Putih
Rendah Hijau
Dari peta
Sedang Kuning diperoleh,
Tinggi/Sangat Rawan Merah diketahui
daerah-daerah dengan tingkat-tingkat kerawanan yang berbeda-beda. Karena
keterbatasan sumberdaya pemadaman yang ada di sekitar hutan, maka diperlukan
konsentrasi kegiatan pencegahan dan pemadaman di wilayah tersebut seperti
penyuluhan kebakaran. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan melalui
pengembangan masyarakat adalah melalui upaya pemberian altenatif
matapencaharian sekitar lahan gambut, untuk menghindari terpicunya kebakaran
gambut oleh masyarakat saat musim kemarau. Peningkatan kesadaran masyarakat
sekitar akan bahaya kebakaran gambut serta pentingnya ekosistem bagi
lingkungan global juga harus diterapkan dengan cara pemberian penyuluhan
kebakaran. Masalah lain yang kerap muncul adalah rendahnya aksesibilitas yang
dapat dilalui oleh regu-regu pemadam kebakaran, ditambah lagi dengan
terbatasnya sumber air di lahan gambut saat kemarau, mengakibatkan regu
pemadam hanya mampu menjangkau areal lahan gambut tidak lebih dari 500
meter dari pinggir jalan dan kanal. Butuh upaya alternatif transportasi bagi regu
pemadam, selain akses jalan, karenanya sangat perlu diperhatikan, mengingat
sulitnya aksesibilitas menuju areal lahan gambut yang terdegradasi. Namun, upaya
pencegahan perlu diprioritaskan di wilayah-wilayah rawan berdasarkan peta
daerah rawan kebakaran hutan.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa SIG bisa membantu
penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan kebakaran hutan yang mana lokasi
penyuluhan tersebut disesuaikan atau dikonsentrasikan dengan daerah rawan
kebakaran, sehingga tujuan penyuluhan tersebut dapat tepat lokasi sasaran.

Referensi

Abidin Hasanuddin. 2007. Integrasi GPS dan SIG

Achmad siddik Thoha, 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk


Monitoring Kebakaran Hutan. USU Repository.

Direktorat Jendral planologi Kehutanan kementrian Kehutanan. 2010. WebGis


Kementrian Kehutanan, Situs Informasi Geografis/Data Spasial Kehutanan.
hppt://webgis. Dephut.do.id/

Firza , Zaidil. 2011. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Sig) Dalam Prediksi
Spasial Wilayah Rawan Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai