20
ISPA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius
baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara
Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi
1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun
(Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta kematian
tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap harinya. Dari
seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi pada 15 negara,
termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6
juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA)
pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian pada
balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang
balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika
Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di
Indonesia (Depkes RI, 2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari jumlah
kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota. Sampai dengan awal
bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA mengunjungi puskesmas dan
sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan prosentase penyakit ISPA di setiap
kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk tahun
2010, menemukan angka kematian balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk bayi
laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000
kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih di
dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA diantaranya
infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB sebanyak 1.720 kasus, faringitis akut
sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut sebanyak 1.215 kasus, dan batuk 853 kasus. Dominasi
penyakis ISPA juga terlihat dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap puskesmas, yaitu
bronchitis dan bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran bagian atas akut
sebanyak 278 kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma sebanyak 150 kasus,
pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan gangguan mastoid sebanyak 39 kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama diantara 10
besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang terdaftar di
Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun ditahun 2012 yang
berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti rata-rata balita yang terkena
ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata kunjungan balita
yang positif karena penyakit dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi
ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011 dan
menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia
tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang semakin tinggi pada
negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang memberikan kontribusi
besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab bagaimanapun juga faktor dominan penyebab
penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban, pencemaran
udara dalam rumah, pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak memadai dan air
minum yang kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat begitu
banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan yang tidak sehat
dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010 dimana secara nasional
pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak hanya sebesar 55,53%, presentase
paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(25,35%). Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan
hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%) (Kemenkes RI,
2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang hanya
sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga menunjukan
kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah manapun kita berada di
Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di wilayah Daerah Instimewa
Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005, hal
ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan sebagian rumah di
beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh tersebut mengakibatkan kondisi
rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah sehat di
Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085 rumah
(37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat sebanyak 69.823 rumah (83,0%)
(Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628 rumah (14,97%). Dari
hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332 (79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, DIY”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu “Adakah hubungan antara
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi puskesmas
tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan sanitasi
lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya, membuat tempat limbah rumah
tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah, menjaga
pencahayaan dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat seperti lantai yang kotor,
kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi dalam
rumah, pembuangan limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan kejadian ISPA
pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti yang ingin
mengembangkan penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti ”Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali”. Jenis penelitian ini adalah observasional
dengan rancangan penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
cluster random sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara ventilasi
rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA, antara lain ventilasi
rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001), dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan rancangan
penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang “Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Terhadap
Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu
11 Kabupaten Gianyar Bali”. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan
rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5 tahun.
Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system random sampling. Sebagai
respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan antara sanitasi
fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian ISPA pada balita di bawah 5 tahun di
mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan
keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi penelitian, jenis
penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu variabel penelitian, tempat
penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan Penyakit
ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta”. Jenis penelitian ini
adalah non eksperimen dengan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik
pengambilan sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian, rancangan
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Juwati
adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak usia kurang
dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih tergantung penuh kepada
orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan lain, seperti berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan usia
balita tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang manusia, bahkan
menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa selanjutnya.
Pada masa ini, pertumbuhan balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering
disebut sebagai golden age atau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-4 tahun dan
anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih cepat dibandingkan masa prasekolah
sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya pertumbuhannya berlansung
lebih baik (Nelson, 2000).
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya sehingga
berat badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan aktivitas yang mulai
meningkat. Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan teman
seusianya sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga proses
yang sama (Supartiny, 2004):
1) Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak akan berusaha
menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2) Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak akan lebih dulu
menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.
3) Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-
lain.
Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif yang artinya,
anak mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah sel serta jaringan intraseluler,
seperti meningkatnya berat badan dan tinggi badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala,
muncul dan bertambahnya gigi dan gerahang, menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot,
bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya (Supartiny,
2004).
Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya berlangsung secara
perlahan-lahan, bertahap, dan terpola secara proporsional tiap bulannya. Ketika kita melihat
adanya penambahan ukuran tubuh pada balita maka bisa dikatakan proses pertumbuhan balita
tersebut berlangsung baik, salah satu caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat badan
dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang terlihat
merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan atau
hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya pada diri balita
akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi), baik itu kemampuan personal
maupun kemampuan sosil (Suririnah, 2006).
1) Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan
meliputi;
a) Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca
b) Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan menyimak pembicaraan
c) Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk
d) Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda kasar atau halus
e) Pengecap, misalnya merasakan pahit, manis dan asam.
2) Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari kemampuan personal yang
semakin meningkat. Dari hal tersebut balita akan berhubungan degan beragam aspek lingkungan
sekitar yang membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat di mana ia
berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia akan
senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia belum pandai dalam
berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas sedang dipupuk, dengan
berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi yang
meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan
stimulasi dini (asah) (Nelson, 2000).
1) Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).
Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh kembang anak. Pada usia balita,
perkembangan dalam kemampuan untuk berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional
dan inteligensi anak berjalan sangat cepat (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan mempengaruhi tumbuh kembang
fisik maupun biologis balita. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zat-zat gizi
yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-zat gizinya
menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson, 2000).
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan berlangsung
optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian
otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis
yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan
terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit (Nelson, 2000).
2) Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).
Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu orangtua merupakan
tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi atau
kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam kemampuan
membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua merupakan teladan yang baik bagi
anak-anaknya karena melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur-unsur positif
dan menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak orangtua sebaiknya melalui
metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Nelson, 2000).
3) Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak
sedini mungkin, bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan
agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan
merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan
mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu,
stimulasi dini juga dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,
kreativitas dan lain-lain pada anak (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistik,
kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal,
kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis
(Suririnah, 2006).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
a. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari walaupun beberapa
penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari (Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak
yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA
adalah proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau spairasi subtansi
asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, penyakit ISPA adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
b. Jenis-jenis penyakit ISPA
Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah: influenza,
sinusitis, faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis paru.
1) Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak dan
penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah, 2005).
Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus haemophillus
influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri kepala yang hebat, nyeri otot, demam,
menggigil dan anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali mengalami komplikasi
terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi sekunder bakteri patogen seperti pneumokokus,
sreptokokus, haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor predisposisi kelelahan, gizi
buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin. Keluar
sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret menjadi
kental dan purulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan
mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat menyebabkan perubahan
patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum dan leukosit dan jaringan menjadi kemerahan
dan mengalami pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian atas,
sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering ditemukan pada anak kecil karena sinus frontalis
belum berkembang pada anak kecil. Jika terkena infeksi sinusitis maka akan menyebabkan nyeri
tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat berulang-ulang hinga menetap
dan kadang-kadang menyebabkan post nasal drip (Hull, 2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran cairan serosa sampai purulen
melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan tertekan di atas sinus yang tertekan akibat
tersumbatnya ostium sehingga timbul tekanan negatif dalam sinus. Gejala lain seperti yeri
kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat mulut, penciuman terganggu,
bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke kelopak mata (Ngastiyah, 2005).
3) Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di sekitarnya, sehingga
infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil, sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut
dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat nyeri di tenggorokan,
mulut berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai otalgia, demam tinggi dan pembesaran kelenjar
submandibula (Ngastiyah, 2005).
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda
karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus, streptococcus viridans,
pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses radang pada laring dipermudah oleh trauma,
bahan kimia, radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).
Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya infeksi ini disebabkan oleh
infeksi virus pada saluran pernapasan terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung
menyebar ke saluran penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus, sulit
bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada bayi (Hull,
2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek, nyeri menelan, dan pada
waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas sampai stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan
terdapat tanda obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas bertambah
berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).
5) Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang saluran pernafasan
bagian atas, dengan tanda kas timbulnya pseudomembran.
Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae corynebacterium, bersifat gram
positif, tidak bergerak dan tidak berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan suhu c
selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu, dan lendir
yang telah mengering (Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain conynebacterium
diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui
percikan ludah dari orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-7
hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan gejala
lokal yang timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada
kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium lanjut (Ngastiyah, 2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak dan bergram negatif. penyakit ini
sangat mudah tertular dan dapat mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada ditempat yang padat
penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis. Penyakit ini biasanya
berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa bayi. Pada orang dengan pertusis biasanya
akan muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme, muntah, sianosis, apneu dan akan
mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari 2-3 minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan menjadi berat
menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak dan
anoreksia, keringat dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar, tanpak
gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah, 2005).
7) Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat
malnutrisi atau faktor lain akan menderita pneumonia berulang.
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi traktus respiratorius
bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik dengan mendadak sampai 39-40 dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan
cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di sekitar mulut dan hidung.
Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk biasanya tidak ditemukan pada
permulaan penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif
(Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering di derita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian
besar disebabkan oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat mengenai trakea dan laring
yang berlansung lama. penyakit ini dapat memproduksi mukus yang berlebihan sehingga
menimbulkan batuk kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun (Somantri, 2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat mengakibatkan kerusakan dan
dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih banyak.
Penyakit ini biasanya karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada anak-anak
kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, disertai batuk pilek
beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak napas,
makin lama makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk, terlihat juga
pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan biasanya
terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang di sertai dengan mengi (Ngastiyah,
2005).
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer
biasanya terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian
atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki, penyakit
ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat dengan kepadatan penghuni yang dapat membuat
cahaya matahari susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering ditemukan
pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,
tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar fokus primer
tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan juga bisa melalui oral jika
meminum susu yang mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini adalah
demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk, demam, anoreksia
dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus abdominalis atau
malaria yang disertai atau tanpa hepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c. Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan Streptococcus
pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus aureaus dan Klebsiella
pneumonia, sedangkan virus yang sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial
virus (RSV) dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai penyebab ISPA pada anak
dengan AIDS adalah Pneumocystisjiroveci (WHO, 2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1) Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster
dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli, torch, Streptokokus dan
Pneumokokus. Pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus,
Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu
B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia
(Depkes RI, 2010).
2) Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Streptococci A. Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa menggantikan udara ruangan
yang sudah terpakai dengan udara yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan kelembaban
udara dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya lebih rendah c
dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono, 2011):
(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang
ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai
sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap hasil pembakaran sampah
atau asap kendaraan bermotor serta debu.
(3) Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang hawa tidak terhalang oleh
barang-barang rumah seperti lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.
(4) Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di
Desa Penjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah yang
baik sebanyak 10 rumah dan responden yang terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah
yang tidak baik sebanyak 27 rumah.
e) Tingkat kepadatan penghuni
Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas bangunan harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 20 untuk tiap anggota keluarga.
Riskesdas (2007) menunjukan provinsi dengan proporsi hunian padat lebih tinggi dari rerata
nasional antara lain Papua (51,0%), Papua Barat (40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%). (BPPK
Depkes RI, 2008).
Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan (Ambarwati, 2007) :
(1) Tentukan rumah yang akan di hitung
(2) Ukur dan hitung luas rumah L = p x l
(3) Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah tersebut dengan cara :
f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Kurangnya
cahaya, terutama cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang nyaman, juga
merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya
jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya merusak mata (Suharmadi, 2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:
ISPA
Variabel pengganggu
1. Nutrisi
2. Status imunisasi
3. Status ekonomi
4. Pendidikan
Keterangan :
Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :
D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4
tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang berbentuk
angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode penelitian
observasional dan menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu penelitian dimana
variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian
diobservasi dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan
adalah korelasional deskriptif yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti dapat mencari,
menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada yang
bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).
E. Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup,
benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah dikategorikan:
a. Baik : 7-9
b. Sedang : 4-6
c. Buruk : 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas medis
lainnya di Puskesmas Ngaglik I.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam penelitian ini
berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas ventilasi rumah dan
hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan dan lux meter untuk
mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa check list yaitu suatu daftar
pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran pengamatan
(Notoatmodjo, 2005).
I. Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal penelitian ini
adalah:
a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d. Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
e. Menyusun proposal penelitian.
f. Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
g. Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
h. Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:
a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan
penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
b. Mengajukan izin penelitian.
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
d. Memberikan informed consent.
e. Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
f. Melakukan pengolahan data.
g. Menganalisis data.
3. Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
a. Menyimpulkan hasil penelitian.
b. Membuat laporan hasil penelitian.
c. Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
d. Melaksanakan seminar hasil penelitian.
e. Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
f. Pengumpulan hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media Promosi
Kesehatan Indomesia No XIV.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran Pernafasan
Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.
Azwar. (1990). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.
BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Dachroni. (2003). Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Jakarta: Media Promosi
Kesehatan Indonesia No XIV.
Departemen Pekerjaan Umum. (1985). Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat. Jakarta: Dinas
Cipta Karya.
Dinkes Kabupaten Sleman. (2011). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Yogyakarta:
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
Dinkes Provinsi DIY. (2010). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas
Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.
Gunawan. (1999). ISPA pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: Dinkes Provinsi DIY.
Iswarini, W. (2006). Rumah Sebagai Tempat Tinggal yang Nyaman. Bandung: PT Cipta
Karya.
Keman, P. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Social Ekonomi Terhadap Kejadian ISPA
Pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu 11
Kabupaten Gianyar Bali.
Kemenkes RI. (2010). Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
SalembaMedika.
Said, M. (2010). Pengendalian ISPA Dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta: menrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Sukar. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA. Bandung:
Buletin Penelitian Kesehatan.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Supriyanto, J, K. (2008). Hubungan Antara Kondisi Fisik Kamar Hunian Dengan Kejadian ISPA
di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Yogyakarta.
Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penulis Penebar Swadaya. (2008). Penanganan dan Pengelolaan Sampah. Jakarta:
Penebar Swadaya.
World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and Control of
Pneumonia. Ge-neva: WHO.
Tambahkan komentar
library
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
1.
Apr
20
ISPA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat
serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan
bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika
dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat
ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang
dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan
Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di
Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta
kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap
harinya. Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya
terjadi pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan
jumlah kasus ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama
diantara 10 besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang
terdaftar di Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun
ditahun 2012 yang berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti
rata-rata balita yang terkena ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang.
Sedangkan rata-rata kunjungan balita yang positif karena penyakit dalam satu minggu
berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan
sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011 dan menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak
1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti
Indonesia tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang
semakin tinggi pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor
yang memberikan kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab
bagaimanapun juga faktor dominan penyebab penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan
lingkungan rumah seperti kelembaban, pencemaran udara dalam rumah, pencahayaan
yang kurang, tempat sampah yang tidak memadai dan air minum yang kurang sehat
(Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang
hanya sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga
menunjukan kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah
manapun kita berada di Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di
wilayah Daerah Instimewa Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase
rumah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan
tahun 2005, hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan
sebagian rumah di beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh
tersebut mengakibatkan kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga
mempengaruhi presentase rumah sehat di Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat
kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085
rumah (37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat sebanyak 69.823
rumah (83,0%) (Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628
rumah (14,97%). Dari hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332
(79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah
dengan Kejadian ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I,
Ngaglik, Sleman, DIY”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu “Adakah hubungan
antara sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4
tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti ”Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian
Infeki Saluran Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali”. Jenis
penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian cross sectional.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling.
Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah,
pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA, antara lain
ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001), dan lantai rumah
(p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan
rancangan penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu
yaitu variabel penelitian, tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan
tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang “Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial
Ekonomi Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen
Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali”. Jenis
penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan rancangan penelitian
cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5 tahun.
Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system random sampling.
Sebagai respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah ada
hubungan antara sanitasi fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian
ISPA pada balita di bawah 5 tahun di mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-
5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi
penelitian, jenis penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu
variabel penelitian, tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik
pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan
Penyakit ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis
Yogyakarta”. Jenis penelitian ini adalah non eksperimen dengan metode deskriptif
analitik korelasional dan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi pada
penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik pengambilan sampel dengan cara
accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian,
rancangan penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian Juwati adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak
usia kurang dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih
tergantung penuh kepada orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari
seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan lain, seperti berbicara dan
berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan usia balita tersebut (Nelson,
2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang
manusia, bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan pada masa-masa selanjutnya. Pada masa ini, pertumbuhan balita
berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering disebut sebagai golden
age atau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia
1-4 tahun dan anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih
cepat dibandingkan masa prasekolah sehingga
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya
sehingga berat badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan
aktivitas yang mulai meningkat. Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya
sangat senang bergaul dengan teman seusianya sehinga berefek pada beberapa
perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga
proses yang sama (Supartiny, 2004):
1) Kemampuan personal
2) Kemampuan sosial
Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu
orangtua merupakan tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi
anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan
menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam
kemampuan membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang
tua merupakan teladan yang baik bagi anak-anaknya karena melalui
keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur-unsur positif dan
menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak orangtua
sebaiknya melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Nelson,
2000).
a. Pengertian ISPA
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat
menyebabkan perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum
dan leukosit dan jaringan menjadi kemerahan dan mengalami
pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Radang faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di
sekitarnya, sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil,
sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut dan kronik.
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi
pada anak berbeda karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni,
sesak nafas dan stridor.
5) Difteria
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain
conynebacterium diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi
tenggorokan dan disebarkan melalui percikan ludah dari orang-orang yang
sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-7 hari dan disertai
nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam
tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga
pasien tampak sangat lemah. Sedangkan gejala lokal yang timbul antara
lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada
kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium
lanjut (Ngastiyah, 2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab
pertusis adalah Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak
dan bergram negatif. penyakit ini sangat mudah tertular dan dapat
mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak mengenai laki-
laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada ditempat yang padat
penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan
menjadi berat menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini
stadium lanjut ialah pilek, serak dan anoreksia, keringat dingin,
pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar, tanpak gelisah,
tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah,
2005).
7) Pneumonia
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi
traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat
naik dengan mendadak sampai 39-40 dan kadang disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan
dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di sekitar mulut
dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk
biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit tetapi setelah beberapa
hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer
yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium
bovis yang bersifat sistemik. TB primer biasanya terdapat keluhan demam
dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian atas
(Ngastiyah, 2005).
c. Penyebab ISPA
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi
virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta
bakteri Coli, torch, Streptokokus dan Pneumokokus. Pneumonia biasanya
disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan
bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S.
pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh
virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri
yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A.
Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh
virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri,
yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma (Depkes RI,
2010).
Tanda dan gejala ISPA pada anak balita secara umum (Wong, 2003):
1) Demam
Demam yang terjadi secara tiba-tiba dan disertai sakit kepala, nyeri
dan kekakuan pada punggung dan leher, adanya tanda kernig dan akan
berkurang saat suhu tubuh turun.
3) Muntah
4) Diare
Diare biasanya ringan tapi lama kelamaan menjadi berat dan akan
terjadi dehidrasi.
Keluarnya cairan pada lubang hidung yang bersifat encer dan sedikit
kental dan purulen tergantung pada tipe dan tahap infeksi, dapat
menyebabkan kegatalan, dapat mengiritasi bibir bagian atas dan kulit
sekitar hidung.
7) Batuk
9) Sakit tenggorokan
a) ISPA ringan
b) ISPA sedang
ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak umur
1 tahun, suhu tubuh meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan berwarna
merah, timbul bercak-bercak pada kulit yang menyerupai bercak
campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari lubang
telinga (Kartasasmita, 2010).
c) ISPA berat
ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan mulut,
terlihat cuping hidung saat bernafas, kesadaran menurun, pernafasan
berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah, sela iga tertarik ke dalam
pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak teraba,
tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita, 2010).
ISPA ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan
mengalami batuk, bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri
atau zat virus yang menyebabkan ISPA secara tidak sengaja akan
menginfeksi orang yang ada di sekitar yang menghirup udara tersebut.
2) Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang lain
baik lewat kontak lansung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk
tanpa menutup mulut dan hidung (Said, 2010).
3) Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang yang
satu ke orang yang lain, terutama pada rumah yang anggota keluarganya
banyak dan tinggal dalam rumah yang ukurannya kecil (Said, 2010).
f. Pencegahan ISPA
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap ISPA sebagai komplikasi campak.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan
berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi
faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan
menjadi lebih berat (Hull, 2008).
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang
efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan
dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat pneumonia dapat
dicegah (Hull, 2008).
2) Pencegahan Spesifik
a) Cegah BBLR
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan
serangannya lebih lama (Depkes RI, 2010).
c) Vaksinasi
Usaha penanganan ISPA pada anak di rumah oleh seorang ibu dilakukan
beberapa cara:
Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi
dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua
bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan sehari
empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara pemberiannya,
tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan,
memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain
dicelupkan pada air (tidak perlu di tambah air es) (Kusbiyantoro, 2009).
2) Mengatasi batuk
3) Pemberian nutrisi
4) Pemberian minuman
3. Lingkungan Rumah
a) Sampah
(1) Gali
Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil dari
sumur gali, maka untuk setiap sumur gali hanya diperbolehkan
mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak inlet
perlu dipasang lubang untuk pemeriksaan dan pengurasan. Alat
tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat dari
permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(3) Peresapan
(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut
dimasukan ke rembesan
e) Asap dapur
(1) Partikel
(4) Carbonmonoksida(CO)
(6) Sulfurdioksida(SO2)
a) Lantai
Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media
yang baik untuk perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA.
Usaha yang perlu dilakukan untuk menghindari bakteri atau virus
infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari bahan
kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di plaster
atau memasang ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan
(Departemen Pekerjaan Umum, 1985).
b) Dinding
c) Atap
(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan.
Sedangkan luas lubang ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan
ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai sehingga
jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh
asap hasil pembakaran sampah atau asap kendaraan bermotor serta
debu.
f) Pencahayaan
h) Suhu
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
ISPA
Variabel pengganggu
1. Nutrisi
2. Status imunisasi
3. Status ekonomi
4. Pendidikan
Keterangan :
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang
berbentuk angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode
penelitian observasional dan menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu
penelitian dimana variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang
terjadi pada objek penelitian diobservasi dalam waktu yang bersamaan
(Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan adalah korelasional deskriptif
yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu
hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada yang bertujuan
mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Populasi Penelitian
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini
adalah total populasi yang berjumlah 37 orang.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam
penelitian ini adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono,
2010). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA).
E. Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
a. Baik : 7-9
b. Sedang : 4-6
c. Buruk : 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas
medis lainnya di Puskesmas Ngaglik I.
Data diperoleh langsung oleh peneliti yang diawali dengan informed consent dengan
menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita 1-
4 tahun yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang
didapatkan dari Puskesmas Ngaglik I.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti
lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam
penelitian ini berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas
ventilasi rumah dan hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan
dan lux meter untuk mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah
(Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa
check list yaitu suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau
identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2005).
1. Pengolahan data
Menurut Setyadi (2009), pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan
rumus tertentu sehingga menhasilkan informasi yang diperlukan. Pengolahan data
dilakukan dengan cara mengolah hasil check list yang telah diisi oleh peneliti, kemudian
diolah dengan menggunakan komputer. Pengolahan meliputi:
a. Editing
Editing adalah memeriksa seluruh pernyataan dan pertanyaan yang sudah
diisi oleh peneliti. Jika terdapat kekeliruan, check list belum diisi atau
pengisian yang tidak sesuai dengan petunjuk akan diperbaiki dengan
mengulang, sehingga data yang dimasukkan dalam komputer adalah data yang
benar.
b. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden
ke dalam kategori dengan memberikan tanda atau simbol untuk memudahkan
pengolahan data, kemudian dilakukan skoring. Dalam hal ini peneliti
memberikan skor pada masing-masing variabel.
c. Entry data
Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan
dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang dimasukkan
melalui pengolahan dalam komputer.
d. Tabulating
Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan
pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang
dijadikan dasar pertimbangan dalam pemberian predikat sesuai ketentuan. Data
yang ditabulasi kemudian dianalisis.
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
variabel terikat yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi
lingkungan rumah dari hasil penelitian. Pada umumnya analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel terikat (dependent) dan variabel bebas
(independent) yaitu hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian
ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis bivariat yaitu dengan menguji
masing-masing variabel dengan menggunakan program komputer.
Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan
hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95% :
1) Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2) Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.
I. Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal
penelitian ini adalah:
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.
BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Budiarto. (2007). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and
Control of Pneumonia. Ge-neva: WHO.
(2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah
Sakit Negara Berkembang. Jakarta: Depkes RI.
Tambahkan komentar
2.
Apr
20
sriktur uretra
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat diselesaikan.
Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat sebagai tugas dalam
persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami
susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah khususnya dalam kasus orang yang mengalami
hidronefrosis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
kepada klien. Dalam kegiatan sehari-hari perawat sebagai anggota masyarakat dan
juga sebagai tenaga kesehatan dapat menemukan berbagai masalah yang dialami
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
sehingga tekanan diginjal meningkat. Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau
kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi
terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal
yang rusak.
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut
dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja
disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan
piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal
kronik akan muncul. Klien akan merasa nyeri dan panas saat miksi atau BAK.
Untuk mencegah hidronefrosis dapat dilakukan dengan mengonsumsi air putih
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
hidronefrosis.
TINAJUAN TEORI
A. Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter
yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.
B. Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran
kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-
negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya
2. Batu
3. Neoplasma/tomur
4. Hipertrofi prostat
6. Penyempitan uretra
E. Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik sehingga
tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih,
tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi terjadi di salah
satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal yang rusak.
Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di
piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan
oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat obses atau
inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat
dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah yang
Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung
kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan
ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini, atrofi ginjal
terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap maka ginjal yang lain
F. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut
dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja
disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan
piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis :
2. Blood Study :
3. Imaging Studies:
a. CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non invasif
jelas
rontgent
4. Voiding Cystourethrogram :
vesikoureteral refluk
H. Komplikasi
1. Gagal ginjal
I. Penatalaksanaan
atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti mikrobial karena sisa
urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien disiapkan
untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika
salah satu fungsi ginjal rusak parah dan hancur maka nefrektomi (pengangkatan
a. Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
b. Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu, maka
penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat
jaringan fibrosa.
2) Pembedahan
1. Identitas
2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah
tembus pinggang.
Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi atau
Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit yang
pemakaian obat-obatan dibeli dari apotik atau toko sesuai dengan resep
dokter.
c. Pola aktivitas
dan pinggang.
nyeri yang timbul dan rasa cemas atas apa yang diderita.
Adanya perasaan cemas, takut dan khawatir dengan apa yang akan
dijalaninya.
g. Mekanisme koping
Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan siapa
Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan BAK
terganggu.
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan
BAK.
d. Sistem respirasi
Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan
e. Sistem kardiovakuler
f. Sistem perkemihan
g. Sistem pencernaan
h. Sistem muskuloskeletal
Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.
cairan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Contoh Kasus
Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian bawah
terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5). Pasien
mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri pinggang kiri
2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan cemas. Turgor kulit
tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien mengatakan tidak
nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut akan penyakitnya dan
sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak.
Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya.
S 37 oC konjungtiva pucat.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. Biodata :
Pasien
Nama : Tn. A
Umur :46 th
Agama :Islam
Pendidikan :SMA
Pekerjaan :Wiraswasta
Penanggung Jawab
Nama :Ny. B
Agama :Islam
Pendidikan :S1
Pekerjaan :PNS
B. Keluhan utama
Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).
C. Riwayat kesehatan
Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien juga
mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).
2. Riwayat Penyakit Dahulu:
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit seperti yang
dialaminya.
D. GENOGRAM
Keterangan:
: Laki-laki meninggal
: Laki-laki
: Perempuan meninggal
: Perempuan
: Pasien
: Tinggal serumah
sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun
setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah sakit
Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna cemas
tidurnya.
d. Scale : skala 5
4. Nutrisi
Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak menghabiskan
porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan 170 cm. IMT =
c. Support IV Line : Ya
= 15 cc per kg BB
= 15 x 50
= 750 cc
IV line = 250cc/hari
= 1050 – 1350
= 300 cc
6. Oksigenasi
Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.
7. Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,
ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.
8. Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau 600
cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas (amoniak), dan
klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien menggunakan kateter dan
dan pengecapan. Klien tidak ada riwayat penyakit sensori persepsi dan kognitif.
F. Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan Umum :
Vital Sign :
TD : 130/90 mmHg,
Nadi : 110 x/mnt,
Irama : ireguler
Suhu : 37 oC
2. Kepala :
Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak
rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah oval.
Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak ikterik), kornea
: keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan ( + ) dan kiri ( +),
palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki 6/6.Keadaan hidung ;
tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada polip, tidak ada sputum
deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan telinga ; ki/ka simetris, tidak
ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri tekan. Keadaan mulut ; gigi
normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu, bersih dan tidak ada caries gigi.
kuduk,
Palpasi :Fremitus taktil ka/ki : Fremitus kanan = premitus kiri sama, tidak
ada benjolan
Perkusi :Sonor
lokasinya di semua bagian paru yang jauh dari trachea dan bronkhi
trakhea
7. Cor:
Inspeksi :-
Perkusi : batas jantung : Normal (costa ke1 – costa ke inter costa ke5)
Bunyi : pekak
8. Abdomen:
Inspeksi : Normal, bentuk datar, tidak ada hematome, tidak ada luka, tidak
Perkusi : Tympani
10 Genetalia
klien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun Klien berencana
nada bicara klien sopan, pola interaksi sangat baik dengan perawat, dan
c. Budaya :Budaya yang diikuti pasien adalah budaya Jawa dan tidak ada
menghadapinya.
ANALISA DATA
DO:
TD : 130/90 mmHg
Suhu: 37 oC
RR : 25x/mnt
DO:
TD : 130/90 mmHg
RR: 25x/mnt
Suhu: 37 oC
DO :
klien tampak pucat dan
cemas
N: 110x/menit
TD : 130/90 mmHg
RR 25 x/mnt
Suhu : 37 oC
klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :
130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis dan
mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc per hari.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri 5.
Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi: 110
ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya apakah
penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur karena
sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan cemas. N:
RENCANA TINDAKAN
Nama klien : Tn. A No. Register : 08130430
Umur : 46 th Diagnosa Medis : Hidronefrosis
Ruang Rawat : Melati I Alamat : Jl Solo No 24, Janti
Sleman, Yogyakarta.
CATATAN PERKEMBANGAN
HARI I
10.30
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
11.00
3 15-11-2012 09.30 1. Mengkaji tingkat Pukul 11.00 WIB Ayub
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
tampak pucat. pengetahuan tentang
2. Memberi kesempatan penyakitnya. klien
klien untuk mengatakan sudah tidak
mengungkapkan cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
10.00 O: klien tampak bingung gelisah lagi. Klien terlihat
3. Beri penjelasan kepada tidur dengan nyaman.
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya. A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
10.30
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.
11.00
HARI II
10.30
11.00
HARI III
A : tujuan tercapai
P : pertahankan intervensi
10.00
2 17-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Ayub
S:-
O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
2. kaji tingkat nyeri berkemih,
S : klien mengatakan skala klien mengatakan skala
nyerinya 3 nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk O :pasien terlihat segar
09.25 teknik relaksasi napas TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan otot-
ototnya sudah rileks Suhu: 37 oC
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang. A : tujuan tercapai
4. Memberikan analgesic
(asam mefenamat) P : pertahankan intervensi
10.00 S: -
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
10.30
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan
diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini
adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu mulai dari pengkajian, diagnose
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter yang
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya
A. Pengkajian
wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu
perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di ruangan
kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga cukup
terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga dan
pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab
pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat pada
Suhu : 37°C
Irama : Teratur
Dari data yang terkumpul kemudian di lakukan analisa dan identifikasi masalah
yang di hadapi oleh klien yang merupakan data focus dan selanjutnya di tentukan
diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan kasus tidak ada
kesenjangan.
B. Diagnosa Keperawatan
klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :
130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc
per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri
5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:
ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan
C. Perencanaan
keperawatan di tentukan . Tujuan dan KH sebagai alat ukur untuk pencapaian tujuan
yang mengacu pada tujuan yang di susun pada rencana keperawatan harus bersifat
volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan pada Tn. A adalah prioritas
yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung oleh perawat
E. Evaluasi
keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah di tetapkan
lebih dulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya
pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu juga, hidronefrosis bisa
arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi : batu di dalam ureter, tumor
di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi klinik : nyeri, demam, mual dan
muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa di daerah antara tulang rusuk dan
pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil jika infeksi dapat dikendalikan dan
Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada makalah
ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC
Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8
. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012
Tambahkan komentar
3.
Nov
29
Tambahkan komentar
4.
Nov
29
Oleh:
(UNRYO)
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat diselesaikan.
Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat sebagai tugas dalam
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun
persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami
susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah khususnya dalam kasus orang yang mengalami
hidronefrosis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perawat masa kini dituntut untuk menggunakan metode pendekatan pemecahan
kepada klien. Dalam kegiatan sehari-hari perawat sebagai anggota masyarakat dan
juga sebagai tenaga kesehatan dapat menemukan berbagai masalah yang dialami
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
sehingga tekanan diginjal meningkat. Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau
kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi
terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal
yang rusak.
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut
dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja
disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan
piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal
kronik akan muncul. Klien akan merasa nyeri dan panas saat miksi atau BAK.
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
hidronefrosis.
TINAJUAN TEORI
A. Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter
yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.
B. Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran
kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-
negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya
D. Etiologi
1. Jaringan parut ginjal/ureter.
2. Batu
3. Neoplasma/tomur
4. Hipertrofi prostat
6. Penyempitan uretra
E. Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik sehingga
tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih,
tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi terjadi di salah
satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal yang rusak.
Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di
piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan
oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat obses atau
inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat
dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah yang
kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan
ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini, atrofi ginjal
terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap maka ginjal yang lain
F. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut
dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja
disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan
piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis :
2. Blood Study :
3. Imaging Studies:
a. CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non invasif
jelas
rontgent
4. Voiding Cystourethrogram :
b. Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,
vesikoureteral refluk
1. Gagal ginjal
I. Penatalaksanaan
atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti mikrobial karena sisa
urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien disiapkan
untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika
salah satu fungsi ginjal rusak parah dan hancur maka nefrektomi (pengangkatan
a. Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat
jaringan fibrosa.
2) Pembedahan
J. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk
2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah
tembus pinggang.
Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi atau
Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit yang
Keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan Kx atau tidak atau
pemakaian obat-obatan dibeli dari apotik atau toko sesuai dengan resep
dokter.
c. Pola aktivitas
dan pinggang.
nyeri yang timbul dan rasa cemas atas apa yang diderita.
dijalaninya.
g. Mekanisme koping
Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan siapa
Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan BAK
terganggu.
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
BAK.
d. Sistem respirasi
Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan
e. Sistem kardiovakuler
f. Sistem perkemihan
g. Sistem pencernaan
h. Sistem muskuloskeletal
cairan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Contoh Kasus
Hidronefrosis karena batu ureter
Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian bawah
terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5). Pasien
mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri pinggang kiri
2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan cemas. Turgor kulit
tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien mengatakan tidak
nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut akan penyakitnya dan
sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak.
Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya.
S 37 oC konjungtiva pucat.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. Biodata :
Pasien
Nama : Tn. A
Umur :46 th
Agama :Islam
Pendidikan :SMA
Pekerjaan :Wiraswasta
Penanggung Jawab
Nama :Ny. B
Agama :Islam
Pendidikan :S1
Pekerjaan :PNS
Status Pernikahan :Menikah
B. Keluhan utama
Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).
C. Riwayat kesehatan
Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien juga
mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).
dialaminya.
D. GENOGRAM
Keterangan:
: Laki-laki meninggal
: Laki-laki
: Perempuan meninggal
: Perempuan
: Pasien
: Tinggal serumah
sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun
setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah sakit
Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur siang.
Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna cemas
tidurnya.
3. Kenyamanan dan nyeri
d. Scale : skala 5
4. Nutrisi
Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak menghabiskan
porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan 170 cm. IMT =
c. Support IV Line : Ya
= 15 x 50
= 750 cc
IV line = 250cc/hari
= 1050 – 1350
= 300 cc
6. Oksigenasi
Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.
7. Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,
ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.
8. Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau 600
cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas (amoniak), dan
klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien menggunakan kateter dan
dan pengecapan. Klien tidak ada riwayat penyakit sensori persepsi dan kognitif.
F. Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan Umum :
Vital Sign :
TD : 130/90 mmHg,
Irama : ireguler
2. Kepala :
Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak
rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah oval.
Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak ikterik), kornea
: keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan ( + ) dan kiri ( +),
palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki 6/6.Keadaan hidung ;
tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada polip, tidak ada sputum
deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan telinga ; ki/ka simetris, tidak
ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri tekan. Keadaan mulut ; gigi
normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu, bersih dan tidak ada caries gigi.
kuduk,
6. Pulmo:
ada benjolan
Perkusi :Sonor
lokasinya di semua bagian paru yang jauh dari trachea dan bronkhi
trakhea
7. Cor:
Inspeksi :-
Perkusi : batas jantung : Normal (costa ke1 – costa ke inter costa ke5)
Bunyi : pekak
8. Abdomen:
Inspeksi : Normal, bentuk datar, tidak ada hematome, tidak ada luka, tidak
Perkusi : Tympani
10 Genetalia
Pria : tidak ada benjolan, tidak ada tumor maupun hernia
klien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun Klien berencana
nada bicara klien sopan, pola interaksi sangat baik dengan perawat, dan
c. Budaya :Budaya yang diikuti pasien adalah budaya Jawa dan tidak ada
menghadapinya.
ANALISA DATA
DO:
TD : 130/90 mmHg
Suhu: 37 oC
RR : 25x/mnt
DO:
TD : 130/90 mmHg
RR: 25x/mnt
Suhu: 37 oC
DO :
klien tampak pucat dan
cemas
N: 110x/menit
TD : 130/90 mmHg
RR 25 x/mnt
Suhu : 37 oC
klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :
130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis dan
mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc per hari.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri 5.
Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi: 110
ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya apakah
penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur karena
sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan cemas. N:
RENCANA TINDAKAN
Nama klien : Tn. A No. Register : 08130430
Umur : 46 th Diagnosa Medis : Hidronefrosis
Ruang Rawat : Melati I Alamat : Jl Solo No 24, Janti
Sleman, Yogyakarta.
CATATAN PERKEMBANGAN
HARI I
10.30
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
11.00
3 15-11-2012 09.30 1. Mengkaji tingkat Pukul 11.00 WIB Ayub
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
tampak pucat. pengetahuan tentang
2. Memberi kesempatan penyakitnya. klien
klien untuk mengatakan sudah tidak
mengungkapkan cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
10.00 O: klien tampak bingung gelisah lagi. Klien terlihat
3. Beri penjelasan kepada tidur dengan nyaman.
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya. A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
10.30
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.
11.00
HARI II
10.30
11.00
HARI III
A : tujuan tercapai
P : pertahankan intervensi
10.00
2 17-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Ayub
S:-
O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
2. kaji tingkat nyeri berkemih,
S : klien mengatakan skala klien mengatakan skala
nyerinya 3 nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk O :pasien terlihat segar
09.25 teknik relaksasi napas TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan otot-
ototnya sudah rileks Suhu: 37 oC
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang. A : tujuan tercapai
4. Memberikan analgesic
(asam mefenamat) P : pertahankan intervensi
10.00 S: -
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
10.30
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan
diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini
adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu mulai dari pengkajian, diagnose
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter yang
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya
A. Pengkajian
wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu
perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di ruangan
kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga cukup
terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga dan
pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab
pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat pada
Suhu : 37°C
Irama : Teratur
Dari data yang terkumpul kemudian di lakukan analisa dan identifikasi masalah
yang di hadapi oleh klien yang merupakan data focus dan selanjutnya di tentukan
diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan kasus tidak ada
kesenjangan.
B. Diagnosa Keperawatan
klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :
130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc
per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri
5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:
ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan
C. Perencanaan
keperawatan di tentukan . Tujuan dan KH sebagai alat ukur untuk pencapaian tujuan
yang mengacu pada tujuan yang di susun pada rencana keperawatan harus bersifat
volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan pada Tn. A adalah prioritas
yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung oleh perawat
E. Evaluasi
keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah di tetapkan
lebih dulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya
pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu juga, hidronefrosis bisa
arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi : batu di dalam ureter, tumor
di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi klinik : nyeri, demam, mual dan
muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa di daerah antara tulang rusuk dan
pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil jika infeksi dapat dikendalikan dan
Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada makalah
ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC
Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8
. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012
ASKEP KMB
Minggu, 05 Agustus 2012
Askep pada Klien Fraktur
I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur
terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk
terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI,
1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan
langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari
sendi tersebut (FKUI, 1995:553).
IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus
diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi
tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang
menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk
antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran
perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG),
peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma
(terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan
produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan
interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah
Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat
refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi,
trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau
gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya
adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral,
leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada
anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih
pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya
bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan
usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada
hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada
perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan
glomerulonefritis dan pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan
pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan
pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
BAB II PEMBAHASAN
A. GLOMERULONEFRITIS
1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus
kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).
Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti
pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).
Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu
pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner &
Suddarth, 2001).
2. Etiologi
a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).
3. Manifestasi Klinis
4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus).
Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan
kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan
kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman
streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai
interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi
antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).
6. Penatalaksanaan
a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif
cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).
B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal
dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen
atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai
menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora
normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan
Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut,
E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi
menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan
multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi
menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang
dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta
atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara
Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).
6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan
A. PENGKAJIAN
Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi
klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat
meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak
dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematik untuk
menentukan keadaan kesehatan klien sekarang dan masa lalu serta untuk mengevaluasi
pola koping klien sekarang dan masa lalu. Data dapat diperoleh dengan 5 (lima) cara
yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, menelaah catatan dan laporan diagnostik
serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Untuk mewujudkan pengkajian yang
akurat, perawat harus dapat berkomunikasi secara efektif, mengobservasi secara
sistematik dan menginterprestasikan data yang akurat (Carpenito, 2000)
Data dasar yang ada pada saat pengkajian pasien stroke menurut Doenges, Moorhouse,
Geissler (1999) adalah :
1. Aktifitas/istirahat
Adanya kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis, terdapat gangguan tonus otot dan
gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Adanya hipertensi arterial, disritmia, desiran pada karotis, femoralis dan aorta yang
abnormal.
3. Integritas Ego
Ditemukan adanya emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri, perasaan
tidak berdaya dan putus asa.
4. Eliminasi
Ditemukan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine maupun anuria,
distensi abdomen (pada perabaan kandung kemih berlebihan).
5. Status Nutrisi
Didapatkan anoreksia, mual dan muntah selama fase peningkatan TIK, kehilangan
sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan dan disfagia (kesulitan menelan).
6. Neurosensori
Adanya sakit kepala (yang bertambah berat dengan adanya perdarahan intraserebral),
kelemahan, kesemutan, penglihatan menurun (total), kehilangan daya lihat sebagian
(kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia) serta hilangnya rangsang sensorik
kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas. Dapat juga ditemukan
adanya gangguan tingkat kesadaran seperti koma, kelemahan atau paralisis, pada
ekstermitas (kontralateral pada semua jenis stroke), parase pada wajah, afasia,
miosis/midriasis pada pupil disertai dengan ukuran yang tidak sama.
7. Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-bada, adanya tingkah laku yang tidak stabil
dan gelisah
8. Pernafasan
Ditandai dengan ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas.
9. Keamanan
Ditemukan perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, kesulitan untuk melihat
objek dari sisi kiri atau kanan, gangguan berespon terhadap panas atau dingin.
10. Interaksi sosial
Masalah dalam berbicara, ketidak mampuan untuk berkomunikasi
11. Penyuluhan atau pembelajaran
Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke dan pacandu alcohol.
12. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan memperlihatkan edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
b. Sinar X menggambarkan klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid.
c. EEG mengidentifikasi masalah berdasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
d. Angiografi serebral memperlihatkan adanya perdarahan arteri atau adanya oklusi atau
ruptur.
e. MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
(AVM).
f. Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang mengandung
darah menunjukan adanya perdarahan intrakranial.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi
kebutuhan spesifik serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doenges dkk,
1999).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan stroke hemoragik menurut
Doenges, et al (1999) adalah :
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan, parestesia, flaksid/paralisis hipotonik (awal), paralisis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial atau oral,
kelemahan/kelelahan umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi,
integrasi (trauma neurologis atau defisit).
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot, kerusakan
perseptual/kognitif.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,
perseptual kognitif.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler atau perseptual.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
C. Perencanaan Keperawatan Stroke Hemoragik
Sebagai langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah perencanaan yaitu
penentuan apa yang ingin dilakukan untuk membantu klien dalam pemenuhan kebutuhan
kesehatan dan mengatasi masalah keperawatan.
Fase perencanaan dari proses keperawatan mempunyai 3 (tiga) komponen (Carpenito,
2000) yaitu :
1. Menetapkan set prioritas diagnosis
Untuk membedakan prioritas diagnosa dari semua yang penting, tapi bukan prioritas.
a. Diagnosa prioritas
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif yang apabila tidak
diarahkan akan menghambat kemajuan untuk mencapai hasil atau akan berpengaruh
negative pada status fungsional klien (gangguan perfusi jaringan serebral pada klien
dengan perdarahan di otak)
b. Diagnosa penting
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif dimana pengobatanya
dapat ditangguhkan pada waktu lain tanpa menurunkan status fungsional yang ada (resiko
gangguan perawatan diri pada pasien dengan kondisi kesehatan yang mulai stabil)
2. Menyusun kriteria hasil dan sasaran keperawatan
Menurut Bulechek dan McCloskey (1985) dalam Carpenito (2000) Tujuan diagnosa
keperawatan adalah sebagai “pos pemandu untuk memilih intervensi keperawatan dan
kriteria evaluasi dari intervensi keperawatan”.
3. Memutuskan intervensi keperawatan
Bulechek dan McCloskey (1989) mendifinisikan intervensi keperawatan sebagai suatu
tindakan perawatan langsung yang dapat dilakukan perawat atas nama klien. Tindakan ini
termasuk tindakan inisiatif perawat sebagai hasil dari diagnosa keperawatan, tindakan
inisiatif dokter sebagai hasil dari diagnosa medis dan penampilan dari fungsi harian yang
esensial bagi klien yang tidak dapat melakukannya.
Diagnosa keperawatan yang telah disusun pada pasien dengan stroke hemoragik, maka
rencana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Doenges et al, (1999) adalah
:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
Kriteria evalusi pasien akan :
a. mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisidan fungsi motorik
atau sensori.
b. mendemostrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan
Tekanan Intrakranial (TIK).
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda atau
kemunduran tanda atau gejala neurologis atau kegagalan memperbaikinya setelah fase
awal memerlukan pembendahan dan atau pasien harus di pindahkan ke ruang perawatan
kritis (ICU).
b. Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan
normalnya atau standar
Rasional : Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan/resolusi kerusakan Sistem Saraf Pusat (SSP).
Dapat menunjukan Transient Ischemic Attack (TIA).
c. Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar.
Rasional : Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari
lokasi/derajat gangguan serebral dan mungkin mengidentifikasikan dengan
penurunan/peningkatan TIK.
d. Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi
pengunjung/aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodik antara
aktivitas perawatan, batasi lamanya setiap prosedur.
Rasional : Aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total dan
ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus
stroke hemoragi
e. Pentau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan darah
yang terbaca pada kedua lengan.
Rasional : Hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat terjadi
karena syok (kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi karena edema,
adanya formasi bekuan darah. Tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan
adanya perbedaan tekanan pada kedua lengan.
f. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan
reaksinya terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna dalam
menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. Ukuran dan kesamaaan pupil
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis yang
mempersarafinya.
g. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
Rasional : Gangguan penglihatan yang telah spesifik mencerminkan daerah otak yang
terkena mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan mempengaruhi
intervensi yang harus dilakukan.
h. Pantau pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Keseimbangan harus dipertahankan untuk menjamin hidrasi untuk
mengencerkan sekresi pada saat yang sama mencegah hipovolemia yang meningkatkan
TIK (Tucker et al, 1998).
i. Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
Rasional : Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan
sirklasi atau perfusi serebral (Tucker et al, 1998).
j. Kolaborasi dalam analisa gas darah dan pemberian terapi medis.
Rasional : Hipoksia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan terbentuknya edema
(Tucker et al,1998).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang
dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasilnya sudah tercapai atau belum
dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges et al, 2000).
Evaluasi mencakup tiga pertimbangan yang berbeda (Carpenito, 2000) yaitu :
1. Evaluasi mengenai status klien
2. Evaluasi tentang kemajuan klien kearah pencapaian sasaran.
3. Evaluasi mengenai status dan kejadian rencana perawatan.
Hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan pada penderita
stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan (Doenges et al, 2000) adalah :
1. Fungsi serebral membaik/meningkat, penurunan fungsi neurologis diminimalkan atau
dapat stabil.
2. Komplikasi dapat dicegah atau diminimalkan.
3. Kebutuhan pasien sehari-hari dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dengan bantuan
yang minimal dari orang lain.
4. Mampu melakukan koping dengan cara yang positif, perencanaan untuk masa depan.
5. Proses dan prognosis penyakit dan pengobatanya dapat dipahami.
Dokumentasi keperawatan sangat penting bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan. Dokumentasi ini penting karena pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada klien membutuhkan catatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai
tanggung jawab dan tanggung gugat dari berbagai kemungkinan masalah yang dialami
klien baik masalah kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan
(Hidayat 2001).
Inspeksi
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi
sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis
mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada
penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan
dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.
Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan dada
adalah:
Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru menutupi
jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang khususnya
ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya pungtum
maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas. Pembesaran
ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga akan berada
diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan memindahkan pungtum
maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan menggeser kekanan. Perlekatan
pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan pneumotoraks akan menyebabkan terjadi
pemindahan yang sama.
Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan seperti
hipertiroidisme, anemia, demam.
Palpasi
Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan
perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)
Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira
1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk dada
yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis
midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis agak
ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic
heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.
Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis
Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.
Auskultasi Jantung
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi
(getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian
hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama untuk
mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk
mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.
Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi
yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya
pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub (opening
snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang lebih besar
dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada stenosis mitral.
2.Intensitas bunyi:
intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras. Pada
insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung kanan
dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar dengan nada
tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.
Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:
4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin menyebar
kearah tertentu
Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke leher
atau aorta
A. Pengertian.
Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia Anderson Price
1985).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan junadi
1982).
B. Insidensi
Fraktur femur mempunyai angka kejadian/ insiden yang cukup tinggi di banding dengan
patah tulang jenis yang berbeda. Umumnya fraktur terjadi pada 1/3 tengah.
C. Penyebab Fraktur
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian
tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah
tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada “underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
1. Sakit (nyeri).
2. Inspeksi
a. Bengkak.
b. Deformitas.
3. Palpasi
a. Nyeri.
b. Nyeri sumbu.
c. Krepitasi.
4. Gerakan
E. Patofisiologi
F. Deskripsi fraktur
a. Fraktur tertutup (“Closed Fraktur”) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
a. Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang lain,
jadi mengenai seluruh dari korteks tulang.
b. Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain, jadi
masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi pada anak-anak
yang lazim di sebut dengan “Greenstick Farcture”.
b. Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling berbungan/
bertemu.
c. Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling berhubungan
dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang sama, misalnya fraktur yang
terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.
a. Fraktur melintang.
b. Farktur miring.
c. Fraktur spiral.
d. Fraktur kompresi.
a. Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.
b. Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3
distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi ¼ medial, ½ tengah, ¼ lateral.
- Undisplaced.
G. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif.
Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau
operatif selamanya tidak absolut.
Cara konservatif:
2. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).
4. Fraktur patologik.
- Pemasangan Gips.
- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin
traksi adalah 5 Kg.
Pengobatan operatif:
- Reposisi.
- Fiksasi.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction Internal
Fixation”)
1. Pengkajian
b. Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah atau denyut nadi (akibat dari nyeri, response dari
stress).
Penurunan jumlah nadi pada bagian yang sakit, pemanjangan dari capilarry refill
time, pucat pada bagian yang sakit.
Kehilangan sensai pada bagian yang sakit, spasme otot, paraesthaesi pada bagian
yang sakit.
Lokal deformitas, terjadinya sudut pada tempat yang abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi, kelemahan pada bagian tertentu.
d. Kenyamanan
Nyeri yang sangat dan yang terjadi secara tiba-tiba. Hilangnya sensai nyeri akibat
dari kerusakan sistem syaraf.
e. Keamanan
f. Studi diagnostik
X ray : Menunjukkan secra pasti letak dan posisi dari terjadinya fraktur.
Bone scan, tomography, CT/ MRI scan : Menegakan diagnosa fraktur dan
mengidentifikasi lokasi jaringan lunak yang mengalami kerusakan.
Ateriogram: Mungkin Jika diduga ada kerusakan pembuluh darah pada daerah
yang mengalami trauma.
Tujuan:
Rencana:
7. Jelaskan pada pasien beberapa tahenik yang dapat dilakukan guna mengurangi
nyeri (relaksasi, distraksi dan fiksasi).
b. Perubahan pola eliminasi uri berhubungan dengan adanya batu di saluran kemih,
iritasi jaringan oleh batu, mekanik obstruksi, inflamasi.
Rencana:
4. Tampung semua urine dan perlu di lihat apakah ada batu yang perlu untuk di
lakukan pemeriksan.
5. Kaji adanya keluhan kandung kemih yang penuh, penurunan jumlah urine dan
adanya periorbital/ edema dependent sebagai tanda dari terjadinya obstruksi.
6. Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit, Bun, serum creat, urine kultur, dan
pemberian antibiotik.
Rencana:
3. Anjurkan pasien untuk minum banyak (3-4 l/hari) jika tidak ada kontra indikasi.
4. Monitor tanda vital (peningkatan nadi, turgor kulit, mukosa membran, capilary
refill time).
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.
Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Diposkan 29th November 2012 oleh charles tonjo
Tambahkan komentar
Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.