Anda di halaman 1dari 232

Apr

20

ISPA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius
baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara
Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi
1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun
(Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta kematian
tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap harinya. Dari
seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi pada 15 negara,
termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6
juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA)
pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian pada
balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang
balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika
Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di
Indonesia (Depkes RI, 2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari jumlah
kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota. Sampai dengan awal
bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA mengunjungi puskesmas dan
sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan prosentase penyakit ISPA di setiap
kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk tahun
2010, menemukan angka kematian balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk bayi
laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000
kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih di
dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA diantaranya
infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB sebanyak 1.720 kasus, faringitis akut
sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut sebanyak 1.215 kasus, dan batuk 853 kasus. Dominasi
penyakis ISPA juga terlihat dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap puskesmas, yaitu
bronchitis dan bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran bagian atas akut
sebanyak 278 kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma sebanyak 150 kasus,
pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan gangguan mastoid sebanyak 39 kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama diantara 10
besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang terdaftar di
Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun ditahun 2012 yang
berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti rata-rata balita yang terkena
ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata kunjungan balita
yang positif karena penyakit dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi
ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011 dan
menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia
tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang semakin tinggi pada
negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang memberikan kontribusi
besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab bagaimanapun juga faktor dominan penyebab
penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban, pencemaran
udara dalam rumah, pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak memadai dan air
minum yang kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat begitu
banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan yang tidak sehat
dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010 dimana secara nasional
pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak hanya sebesar 55,53%, presentase
paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(25,35%). Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan
hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%) (Kemenkes RI,
2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang hanya
sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga menunjukan
kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah manapun kita berada di
Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di wilayah Daerah Instimewa
Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005, hal
ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan sebagian rumah di
beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh tersebut mengakibatkan kondisi
rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah sehat di
Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085 rumah
(37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat sebanyak 69.823 rumah (83,0%)
(Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628 rumah (14,97%). Dari
hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332 (79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, DIY”.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu “Adakah hubungan antara
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi puskesmas
tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan sanitasi
lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya, membuat tempat limbah rumah
tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah, menjaga
pencahayaan dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat seperti lantai yang kotor,
kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi dalam
rumah, pembuangan limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan kejadian ISPA
pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti yang ingin
mengembangkan penelitian lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti ”Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali”. Jenis penelitian ini adalah observasional
dengan rancangan penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
cluster random sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara ventilasi
rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA, antara lain ventilasi
rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001), dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan rancangan
penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang “Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Terhadap
Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu
11 Kabupaten Gianyar Bali”. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan
rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5 tahun.
Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system random sampling. Sebagai
respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan antara sanitasi
fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian ISPA pada balita di bawah 5 tahun di
mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan
keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi penelitian, jenis
penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu variabel penelitian, tempat
penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan Penyakit
ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta”. Jenis penelitian ini
adalah non eksperimen dengan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik
pengambilan sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian, rancangan
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Juwati
adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak usia kurang
dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih tergantung penuh kepada
orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan lain, seperti berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan usia
balita tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang manusia, bahkan
menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa selanjutnya.
Pada masa ini, pertumbuhan balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering
disebut sebagai golden age atau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-4 tahun dan
anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih cepat dibandingkan masa prasekolah
sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya pertumbuhannya berlansung
lebih baik (Nelson, 2000).
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya sehingga
berat badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan aktivitas yang mulai
meningkat. Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan teman
seusianya sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga proses
yang sama (Supartiny, 2004):
1) Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak akan berusaha
menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2) Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak akan lebih dulu
menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.
3) Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-
lain.
Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif yang artinya,
anak mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah sel serta jaringan intraseluler,
seperti meningkatnya berat badan dan tinggi badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala,
muncul dan bertambahnya gigi dan gerahang, menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot,
bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya (Supartiny,
2004).
Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya berlangsung secara
perlahan-lahan, bertahap, dan terpola secara proporsional tiap bulannya. Ketika kita melihat
adanya penambahan ukuran tubuh pada balita maka bisa dikatakan proses pertumbuhan balita
tersebut berlangsung baik, salah satu caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat badan
dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang terlihat
merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan atau
hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya pada diri balita
akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi), baik itu kemampuan personal
maupun kemampuan sosil (Suririnah, 2006).
1) Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan
meliputi;
a) Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca
b) Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan menyimak pembicaraan
c) Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk
d) Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda kasar atau halus
e) Pengecap, misalnya merasakan pahit, manis dan asam.
2) Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari kemampuan personal yang
semakin meningkat. Dari hal tersebut balita akan berhubungan degan beragam aspek lingkungan
sekitar yang membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat di mana ia
berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia akan
senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia belum pandai dalam
berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas sedang dipupuk, dengan
berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi yang
meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan
stimulasi dini (asah) (Nelson, 2000).
1) Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).
Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh kembang anak. Pada usia balita,
perkembangan dalam kemampuan untuk berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional
dan inteligensi anak berjalan sangat cepat (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan mempengaruhi tumbuh kembang
fisik maupun biologis balita. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zat-zat gizi
yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-zat gizinya
menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson, 2000).
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan berlangsung
optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian
otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis
yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan
terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit (Nelson, 2000).
2) Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).
Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu orangtua merupakan
tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi atau
kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam kemampuan
membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua merupakan teladan yang baik bagi
anak-anaknya karena melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur-unsur positif
dan menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak orangtua sebaiknya melalui
metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Nelson, 2000).
3) Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak
sedini mungkin, bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan
agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan
merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan
mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu,
stimulasi dini juga dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,
kreativitas dan lain-lain pada anak (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistik,
kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal,
kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis
(Suririnah, 2006).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
a. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari walaupun beberapa
penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari (Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak
yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA
adalah proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau spairasi subtansi
asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, penyakit ISPA adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
b. Jenis-jenis penyakit ISPA
Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah: influenza,
sinusitis, faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis paru.
1) Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak dan
penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah, 2005).
Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus haemophillus
influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri kepala yang hebat, nyeri otot, demam,
menggigil dan anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali mengalami komplikasi
terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi sekunder bakteri patogen seperti pneumokokus,
sreptokokus, haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor predisposisi kelelahan, gizi
buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin. Keluar
sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret menjadi
kental dan purulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan
mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat menyebabkan perubahan
patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum dan leukosit dan jaringan menjadi kemerahan
dan mengalami pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian atas,
sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering ditemukan pada anak kecil karena sinus frontalis
belum berkembang pada anak kecil. Jika terkena infeksi sinusitis maka akan menyebabkan nyeri
tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat berulang-ulang hinga menetap
dan kadang-kadang menyebabkan post nasal drip (Hull, 2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran cairan serosa sampai purulen
melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan tertekan di atas sinus yang tertekan akibat
tersumbatnya ostium sehingga timbul tekanan negatif dalam sinus. Gejala lain seperti yeri
kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat mulut, penciuman terganggu,
bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke kelopak mata (Ngastiyah, 2005).
3) Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di sekitarnya, sehingga
infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil, sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut
dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat nyeri di tenggorokan,
mulut berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai otalgia, demam tinggi dan pembesaran kelenjar
submandibula (Ngastiyah, 2005).
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda
karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus, streptococcus viridans,
pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses radang pada laring dipermudah oleh trauma,
bahan kimia, radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).
Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya infeksi ini disebabkan oleh
infeksi virus pada saluran pernapasan terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung
menyebar ke saluran penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus, sulit
bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada bayi (Hull,
2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek, nyeri menelan, dan pada
waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas sampai stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan
terdapat tanda obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas bertambah
berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).
5) Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang saluran pernafasan
bagian atas, dengan tanda kas timbulnya pseudomembran.
Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae corynebacterium, bersifat gram
positif, tidak bergerak dan tidak berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan suhu c
selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu, dan lendir
yang telah mengering (Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain conynebacterium
diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui
percikan ludah dari orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-7
hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan gejala
lokal yang timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada
kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium lanjut (Ngastiyah, 2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak dan bergram negatif. penyakit ini
sangat mudah tertular dan dapat mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada ditempat yang padat
penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis. Penyakit ini biasanya
berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa bayi. Pada orang dengan pertusis biasanya
akan muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme, muntah, sianosis, apneu dan akan
mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari 2-3 minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan menjadi berat
menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak dan
anoreksia, keringat dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar, tanpak
gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah, 2005).
7) Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat
malnutrisi atau faktor lain akan menderita pneumonia berulang.
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi traktus respiratorius
bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik dengan mendadak sampai 39-40 dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan
cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di sekitar mulut dan hidung.
Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk biasanya tidak ditemukan pada
permulaan penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif
(Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering di derita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian
besar disebabkan oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat mengenai trakea dan laring
yang berlansung lama. penyakit ini dapat memproduksi mukus yang berlebihan sehingga
menimbulkan batuk kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun (Somantri, 2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat mengakibatkan kerusakan dan
dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih banyak.
Penyakit ini biasanya karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada anak-anak
kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, disertai batuk pilek
beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak napas,
makin lama makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk, terlihat juga
pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan biasanya
terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang di sertai dengan mengi (Ngastiyah,
2005).
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer
biasanya terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian
atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki, penyakit
ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat dengan kepadatan penghuni yang dapat membuat
cahaya matahari susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering ditemukan
pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,
tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar fokus primer
tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan juga bisa melalui oral jika
meminum susu yang mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini adalah
demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk, demam, anoreksia
dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus abdominalis atau
malaria yang disertai atau tanpa hepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c. Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan Streptococcus
pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus aureaus dan Klebsiella
pneumonia, sedangkan virus yang sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial
virus (RSV) dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai penyebab ISPA pada anak
dengan AIDS adalah Pneumocystisjiroveci (WHO, 2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1) Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster
dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli, torch, Streptokokus dan
Pneumokokus. Pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus,
Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu
B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia
(Depkes RI, 2010).
2) Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Streptococci A. Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).

3) Anak usia sekolah dan remaja


ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh virus, yaitu Adeno,
Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan
Mycoplasma (Depkes RI, 2010).
d. Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala ISPA pada anak balita secara umum (Wong, 2003):
1) Demam
Suhu badan meningkat 39,5-40,5 c, malas dan peka ransang, terkadang eoforia dan lebih
aktif dari normal, dapat mencetuskan kejang febris.
2) Meningismus
Demam yang terjadi secara tiba-tiba dan disertai sakit kepala, nyeri dan kekakuan pada
punggung dan leher, adanya tanda kernig dan akan berkurang saat suhu tubuh turun.
3) Muntah
Muntah dapat didahului tanda-tanda lain degan selang beberapa jam biasanya berlansung
singkat tetapi dapat menetap selama sakit.
4) Diare
Diare biasanya ringan tapi lama kelamaan menjadi berat dan akan terjadi dehidrasi.
5) Sumbatan lubang hidung
Lubang hidung balita mudah tersumbat oleh pembengkakan mukosa dan eksudasi yang
dapat mempengaruhi pernafasan dan menyusui pada bayi sehingga dapat menyebabkan otitis
media dan sinusitis.
6) Keluarnya cairan dari lubang hidung
Keluarnya cairan pada lubang hidung yang bersifat encer dan sedikit kental dan purulen
tergantung pada tipe dan tahap infeksi, dapat menyebabkan kegatalan, dapat mengiritasi bibir
bagian atas dan kulit sekitar hidung.
7) Batuk
Gambaran umum dari penyakit pernafasan dapat menjadi bukti hanya selama fase akut dan
dapat menetap selama beberapa bulan setelah penyakit muncul.
8) Bunyi pernafasan
Suara serak, mengorok, stridor dan mengi.
9) Sakit tenggorokan
Sakit tenggorokan merupakan keluhan yang sering dari anak dewasa, anak kecil tidak bisa
mengambarkan gejala, mungkin tidak akan mengeluh meskipun sudah sangat terinflamasi.
Seringkali anak menolak untuk makan dan minum.
Menurut derajat keparahanya, ISPA dapat di bagi menjadi tiga golongan (Kartasasmita,
2010):
a) ISPA ringan
ISPA ringan yaitu terjadi batuk, serak (anak mengeluarkan suara parau pada waktu anak
bersuara), pilek (anak mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung), demam (suhu tubuh
meningkat lebih dari suhu tubuh normal) (Kartasasmita, 2010).
b) ISPA sedang
ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak umur 1 tahun, suhu tubuh
meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit yang
menyerupai bercak campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari lubang telinga
(Kartasasmita, 2010).
c) ISPA berat
ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan mulut, terlihat cuping hidung
saat bernafas, kesadaran menurun, pernafasan berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah, sela
iga tertarik ke dalam pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak teraba,
tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita, 2010).
e. Cara penularan penyakit ISPA
ISPA ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan mengalami batuk,
bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri atau zat virus yang menyebabkan ISPA
secara tidak sengaja akan menginfeksi orang yang ada di sekitar yang menghirup udara tersebut.
Faktor yang dapat memudahkan penularan (Said, 2010):
1) Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah berkembangbiak dalam rumah
yang lantainya lembab, pencahayaan kurang, ventilasi yang tidak memenuhi standar dan polusi
udara entah karena asap rokok ataupun asap api sebagai bahan untuk memasak (Said, 2010).
2) Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang lain baik lewat kontak
lansung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk tanpa menutup mulut dan hidung (Said,
2010).
3) Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang yang satu ke orang yang lain,
terutama pada rumah yang anggota keluarganya banyak dan tinggal dalam rumah yang
ukurannya kecil (Said, 2010).
f. Pencegahan ISPA
ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan atau mengurangi
faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan melakukan pendidikan
kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan
pedoman diagnosis dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan
waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama pneumonia berat.
Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan
imunisasi, dan pengurangan polusi udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko.
Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi kejadian ISPA
(Depkes RI, 2010).
Usaha pencegahan ISPA (WHO, 2003):
1) Pencegahan Non spesifik.
a) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
Meningkatkan derajat sosio-ekonomi dapat mengurangi kejadian ISPA. Pada beberapa
negara berpenghasilan rendah pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan kesehatan yang
tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur kesehatan untuk diagnostik
dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga kesehatan yang terampil terbatas, di
tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang (WHO, 2003).
b) Menurunkan angka kemiskinan
Angka kemiskinan yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian ISPA. Di negara berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah terdapat
banyak kasus ISPA karena susah untuk mendapat tempat tinggal yang layak ditambah besarnya
populasi anak akan semakin menambah tekanan pada pengendalian dan pencegahan ISPA
terutama pada aspek pembiayaan (WHO, 2003).
c) Meningkatkan pendidikan kesehatan
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah pendidikan ibu dan
status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada
balita (Depkes RI, 2010).
d) Meningkatkan status gizi
Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena ISPA. Imunisasi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah imunisasi pertusis (DTP), campak,
Haemophilus influenza, dan pneumokokus (WHO, 2003).
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami
terhadap ISPA sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis
ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Hull, 2008).
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan
pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita
dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat pneumonia dapat
dicegah (Hull, 2008).
e) Meningkatkan derajat kesehatan
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk infeksi kronis dan
infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain seperti malaria, campak, gizi kurang,
defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn). tingginya prevalensi kolonisasi patogen di nasofaring,
tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan ASI dan
imunisasi yang tidak adekwat memperburuk derajat kesehatan (Depkes RI, 2010).
f) Lingkungan yang bersih, bebas polusi
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam ruang akibat penggunaan biomass (bahan bakar
rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah lagi dengan
tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan dan kepercayaan lokal
yang salah (Depkes RI, 2010).
2) Pencegahan Spesifik
a) Cegah BBLR
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA. BBLR
terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan
(prematur) khususnya yang masa kehamilannya <35 minggu, biasanya mengalami penyulit
seperti gangguan napas karena infeksi pada saluran pernafasan (Depkes RI, 2010).
BLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir hingga dapat
terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir
yang bernafas cepat >60 kali/menit, lambat <30 kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut,
bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada serta merintih, dengan demikian BBLR sangat
beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Depkes RI, 2010).
b) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan
infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian
mikronutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI suboptimal
mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20% (Depkes RI,
2010).
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita
dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama
(Depkes RI, 2010).
c) Vaksinasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin pertussis
(ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b) dan Pneumococcus (PCV). Dua
vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi
nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah
dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah kematian
1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak negara yang
memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.
(1) Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini dapat
dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan sendirinya, namun dapat dikatakan berat dengan
berbagai komplikasi seperti ISPA terutama pneumonia yang bahkan dapat mengakibatkan
kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem imun (WHO, 2003).
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit campak biasanya berat.
Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat
menurunkan kematian akibat pneumonia (Depkes RI, 2010)
(2) Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari. Penyakit ini masih
sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi terhadap
penyakit ini sudah lama masuk ke dalam program imunisasi nasional di Indonesia, diberikan
dalam sediaan DTP, bersama difteri dan tetanus (Ngastiyah, 2005).
(3) Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b (Hib) merupakan penyebab
ISPA dan radang otak (meningitis) yang utama. Diduga Hib mengakibatkan penyakit berat pada
2 sampai 3 juta anak setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih dari 10 tahun, namun
penggunaannya masih terbatas dan belum merata.. Hal ini dimungkinkan karena harganya yang
relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib diberikan kepada semua
anak di negara berkembang (Somantri, 2007).
(4) Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama terutama pneumonia pada anak di negara
berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun dan
dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan anak dibawah 3 tahun sudah tersedia, yang
dikenal sebagai Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) (Ngastiyah, 2005).
g. Pertolongan pertama penderita ISPA
Usaha penanganan ISPA pada anak di rumah oleh seorang ibu dilakukan beberapa cara:
1) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk.
Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara
pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan,
memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air
(tidak perlu di tambah air es) (Kusbiyantoro, 2009).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan
diberikan tiga kali sehari (Kusbiyantoro, 2009).
3) Pemberian nutrisi
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi sering, lebih-lebih
jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap diteruskan (Kusbiyantoro,
2009).
4) Pemberian minuman
Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita (Kusbiyantoro, 2009).
5) Pertolongan lain yang dapat dilakukan
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih
pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Apabila selama perawatan di rumah
keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas kesehatan.
Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di atas diusahakan agar obat
yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari penuh dan setelah dua hari anak
perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang (Kusbiyantoro, 2009).
3. Lingkungan Rumah
a. Pengertian Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup,
benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata. Rumah dibuat karena manusia ingin bernaung
serta melindungi mereka dari berbagai macam ancaman kesehatan. Lingkungan rumah antara
lain mencakup udara, ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian rumah, penerangan alami,
konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan air besar atau kecil dan
penyediaan sumber air bersih (Slamet, 2009).
Lingkungan rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi derajat kesehatan serta produktifitas
seseorang. Rumah merupakan surga bagi kita karena disitulah tempat kita berlindung.
Lingkungan rumah sebaiknya dijauhi dari segala macam faktor-fakor yang dapat merugikan
kesehatan misalnya limbah buangan pabrik, asap yang membuat udara tercemar, tempat
pembuangan sampah atau perternakan yang kurang bersih, fasilitas-fasilitas lainya seperti air
minum yang kurang bersih, fasilitas pembuangan limbah dan air yang tidak memadai. Disamping
itu sumber daya alam yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan seperti adanya sinar
matahari yang bisa menyinari segala ruangan di dalam rumah sehingga tidak terjadi kelembaban
di dalam rumah (Hindarto, 2007).
b. Syarat Lingkungan dan Rumah Sehat
1) Syarat lingkungan sehat.
a) Sampah
Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia
maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Ada beberapa bentuk sampah yaitu padat,
cair dan gas. Secara sederhana sampah dapat dibagi berdasarkan sifatnya yaitu sampah organik
dan anorganik. Sampah organik yaitu sampah basah yang berasal dari makluk hidup seperti
dedaunan dan sampah dapur. Sampah organik ini mudah terurai secara alami. Sementara itu
sampah anorganik yaitu sampah kering yang tidak dapat terurai seperti karet, plastik, kaleng dan
logam (Suharmadi, 2002).
Sampah selalu menjadi persoalan rumit dalam masyarakat yang kurang peka terhadap
lingkungan. Ketidaksiplinan mengenai kebersihan dapat menciptakan suasana semberawut akibat
timbunan sampah, kondisi yang tidak menyenangkan akan muncul seperti bau tidak sedap, lalat
berterbangan dan peluang pencemaran lingkungan sekitar akan menjadi santapan sehari-hari.
Sampah rumah tangga dapat ditanggulangi dengan membuat lubang tempat pembuangan
sampah, melalui penimbunan supaya dapat diolah menjadi pupuk kandang dan briket arang (Tim
Penulis Penebar Swadaya, 2008).
b) Sumber Air dan Sumur
Penyediaan air minimum setiap rumah pada dasarnya harus memenuhi persyaratan.
Berkenaan dengan itu maka air yang akan dipergunakan untuk air minum harus berdasarkan
rekomendasi dari PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan contoh air hendaknya
dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya bukan oleh pihak developer. Untuk
menyediakan air minum dengan jumlah yang cukup, dapat diambil sumber dari Sumur gali,
sumur artesis dan PDAM/PAM (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman,
2008).
(1) Gali
Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil dari sumur gali, maka untuk setiap
sumur gali hanya diperbolehkan mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Pipa sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur tersebut selalu dapat
menyediakan air dengan jumlah yang cukup, walaupun pada musim kemarau (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008) .
Jarak sumur gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-lebih septic tank harus lebih
besar dari 8 meter. Untuk sumur gali jarak tersebut diukur dari dinding sumur ke dinding bagian
luar septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2) Sumur Artesis
Debit air harus dapat memenuhi kebutuhan setiap penghuni rumah dengan cukup. Pusat
reservoir dengan ketinggian yang cukup ( >4 meter dari kran rumah yang tertinggi) dan volume
minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah per hari dari rumah-rumah yang
disalurkan oleh sumur tersebut (Suharmadi, 2002).
Jarak lokasi sumur artesis dengan lokasi pembuangan air kotor (≥25 meter). Letak pompa
atau inlet pipa sedot harus paling dekat 2 meter di bawah muka air terendah yang ada dalam
jamban.
Instalasi jaring-jaring pipa distribusinya harus direncanakan dan dipasang sesuai dengan
ketentuan PDAM setempat dan pelaksanaannya harus ditangani oleh instalatur yang mempunyai
surat pas dari PDAM setempat. Untuk itu baik perencanaan maupun pelaksanaannya harus
diawasi oleh PDAM (Suharmadi, 2002).
(3) PDAM (PAM)
Rumah yang dianggap telah tersedia air PAM dengan baik yaitu bila penyambungan pipa
beserta meterannya telah terpasang. Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya
supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan tersebut perlu adanya
testing secara periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah disaring. Debit airnya
harus mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan baik, maka persyaratan bak
reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi. Tiap rumah agar dipasang meteran air,
dan jaringan instalasi distribusinya harus dilegalisir oleh PAM setempat (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
c) Pembuangan air kotoran (WC)
Pembuangan air kotoran dari WC dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dari
tingginya permukaan tanah. Apabila permukaan air tanah cukup dalam yakni di bawah 1 meter,
dari permukaan tanah, sebaiknya dipakai sistim Septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008):
(1) Bak septic
Dinding dan alas atau dasarnya harus rapat (tebal plesteran harus >2 cm), volume air dalam
bak septic minimal 1 meter kubik, tinggi air dalam bak septic minimal 1,20 meter, letak lubang
inlet minimal harus 10 cm di atas lubang outlet, bagian dinding penyekat yang masuk dalam air
minimal harus 40 cm, jarak lubang outlet dan inlet minimal 1 meter, jarak dari sumur
penampungan minimal 8 meter (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2) Lubang pemeriksaan kontrol untuk bak septic
Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak inlet perlu dipasang lubang untuk
pemeriksaan dan pengurasan. Alat tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat dari
permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(3) Peresapan
Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air minimal 400 liter/hari, kalau peresapan
tersebut hanya dipakai untuk meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau peresapan
tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari cucian dan kamar mandi, maka daya resapnya
harus mampu untuk meresapkan air minimal 2000 liter/hari (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis tanahnya. Oleh karena itu untuk
daerah-daerah yang jenis tanahnya bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari tanah
tersebut perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang resap yang dibutuhkan. Jenis tanah yang
sulit meresapkan air atau kedap air antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya warnanya hitam),
tanah lempung, tanah berkapur atau batuan kapur. Untuk menyelidiki daya serap tanah dapat
dilakukan pengujian melalui laboratorium mekanika tanah dengan dicoba langsung di lapangan.
Apabila akan dicoba langsung di lapangan maka sebaiknya dilakukan pada waktu musim hujan
(agar pengadaan tanah dalam keadaan yang terjelek) (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008).
d) Pembuangan air limbah dan air hujan
Apabila akan dipakai saluran, dapat dikerjakan sebagai berikut, kalau pembuangan air dari
cucian dan kamar mandi disalurkan rembesan, maka harus dipenuhi syarat (Suharmadi, 2002):
(1) Luas bidang rembesan harus dihitung dulu untuk mampu meresapkan air tersebut di atas (±
2000 liter/hari).
(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut dimasukan ke rembesan
(3) Pembuangan atau pengaliran air hujan harus disediakan tersendiri karena debitnya cukup besar
(dibuang ke saluran umum atau sungai).
e) Asap dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain disebabkan oleh infeksi
kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan
karena asap dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya
antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak, asap rokok, pengguna insektisida
semprot maupun bakar dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes (Sukar,
1996).
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar
biomassa yang menimbulkan asap yang berbahaya bagi kesehatan adalah :
(1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung unsur-unsur kimia,
seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini
tergantung pada kandungan kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb dan
Cd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama akan
menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat pernapasan. Hal ini akan
menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas sampai
dengan timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).
(2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena diketahui bersifat
karsinogenik adalah benzo-a-pyrene (Anwar, 1992).
(3) Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung dan alat pernapasan
bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan air
mata atau lendir dalam saluran pernapasan (Anwar, 1992).
(4) Carbonmonoksida(CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen dalam tubuh, yang
disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin membentuk COHb
(Anwar, 1992).
(5) Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah kerentanan
terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau virus (influenza) (Anwar, 1992).
(6) Sulfurdioksida(SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air membentuk asam sulfat
aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru (Anwar, 1992).
Anak-anak atau balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan ibunya
ketika sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan
polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus
menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya infeksi
(Anwar, 1992).
f) Kebiasaan merokok dalam rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah
perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun
menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru
perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni,
2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung
rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap
sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap
tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau
perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota
keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat
penyakit anginapectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit
saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas
berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk
tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan
paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan
pecahnya kantong udara (Dachroni, 2003).
2) Bahan bangunan Rumah
a) Lantai
Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media yang baik untuk
perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA. Usaha yang perlu dilakukan untuk
menghindari bakteri atau virus infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari
bahan kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di plaster atau memasang
ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan (Departemen Pekerjaan Umum, 1985).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 tentang hubungan antara lantai rumah dengan kejadian
ISPA di Desa Cepogo memperkuat fakta bahwa lantai rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat mempengaruhi kejadian ISPA dengan didapatkan nilai p (0,025) lebih kecil dari
nilai α (0,05). Dari sampel penelitian yang diteliti memperlihatkan bahwa, rumah yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 13 rumah sedangkan lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 24 rumah.
b) Dinding
Dinding adalah bagian dari bangunan yang dipasang secara vertikal dengan fungsi sebagai
pemisah antar ruang dalam rumah dengan ruang luar rumah. Dinding rumah yang sehat
menggunakan tembok yang terbuat dari batako dan sudah diplester, tetapi dinding rumah di
daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu, hal ini
akan mempersulit untuk dibersihkan sehingga menyebabkan penumpukan debu dan menjadi
media yang baik untuk perkembangan bakteri seperti bakteri penyebab ISPA (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 mengambarkan bahwa dinding rumah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan mempunyai hubungan erat dengan kejadian ISPA dengan nilai p
(0,00) lebih kecil dari nilai α (0,05). Dari beberapa responden yang diteliti didapatkan
responden yang terinfeksi penyakit ISPA dan menggunakan dinding rumah yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 5 rumah dan responden yang terkena ISPA dan menggunakan dinding
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 32 rumah.
c) Atap
Atap adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai penutup seluruh ruangan
yang ada dibawahnya terhadap pengaruh panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan
perlindungan. Atap rumah yang sehat seharusnya terbuat dari genteng dan menggunakan plafon
atau langit-langit agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah ataupun panas matahari. Atap
rumah yang terbuat dari genteng akan tahan terhadap pengaruh cuaca, serta masyarakat juga
dapat membuatnya sendiri (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Supriyanto (2008) di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai atap rumah yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 16 rumah dan responden yang terkena ISPA yang menggunakan atap
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 21 rumah.

d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa menggantikan udara ruangan
yang sudah terpakai dengan udara yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan kelembaban
udara dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya lebih rendah c
dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono, 2011):
(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang
ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai
sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap hasil pembakaran sampah
atau asap kendaraan bermotor serta debu.
(3) Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang hawa tidak terhalang oleh
barang-barang rumah seperti lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.
(4) Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di
Desa Penjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah yang
baik sebanyak 10 rumah dan responden yang terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah
yang tidak baik sebanyak 27 rumah.
e) Tingkat kepadatan penghuni
Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas bangunan harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 20 untuk tiap anggota keluarga.
Riskesdas (2007) menunjukan provinsi dengan proporsi hunian padat lebih tinggi dari rerata
nasional antara lain Papua (51,0%), Papua Barat (40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%). (BPPK
Depkes RI, 2008).
Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan (Ambarwati, 2007) :
(1) Tentukan rumah yang akan di hitung
(2) Ukur dan hitung luas rumah L = p x l
(3) Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah tersebut dengan cara :

f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Kurangnya
cahaya, terutama cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang nyaman, juga
merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya
jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya merusak mata (Suharmadi, 2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:

(1) Cahaya alamiah


Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela,
celah-celah, dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak terhalang
oleh bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar yang tinggi. Cahaya matahari dapat mengurangi
kelembaban dalam ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit
seperti penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurang 10-20% dari luas
lantai rumah (Kasjono, 2011).
(2) Cahaya buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu minyak, listrik, gas dan
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat ditentukan
oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari pagi yang baik, sebaiknya jendela
kamar harus menghadap ke timur. Luas jendela sebaiknya 10-20% dari luas lantai rumah. Kuat
sinar yang memenuhi standar penerangan dalam rumah yaitu berkisar antara 50-100 lux. Pada
bagian tertentu kuat penyinaran untuk penerangan seperti dapur memerlukan 200 lux, sedangkan
kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar berkisar 100 lux (Kasjono, 2011).
Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan antara kondisi fisik kamar hunian
dengan kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan
responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang baik sebanyak 10 rumah
sedangkan responden yang terkena ISPA yang mendapatkan pencahayaan yang kurang baik
sebanyak 27 rumah.
g) Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat perhatian kusus dari penghuni
rumah. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit basah,
hal ini akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut. Kelembaban merupakan
sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA. Kelembaban
rumah yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 60%
(Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi square untuk hubungan
antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan nilai p
(0,883) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan menunjukan responden yang terkena
ISPA mempunyai kelembaban rumah yang kurang baik sebanyak 18 rumah dan responden yang
terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah baik sebanyak 15 rumah.
h) Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena kuman biasanya
bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan bantuan tekanan oksigen dan suhu dari
lingkungannya. Dalam mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan rumah
tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah cukup tinggi maka akan membahayakan
bagi kesehatan (Sanropie, 1989).
Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih rendah 4 dari temperatur udara
luar ruangan. Untuk daerah tropis umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30 c sudah cukup
segar (Sanropie, 1989).
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah

ISPA

Variabel pengganggu
1. Nutrisi
2. Status imunisasi
3. Status ekonomi
4. Pendidikan

Keterangan :
Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :

D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4
tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang berbentuk
angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode penelitian
observasional dan menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu penelitian dimana
variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian
diobservasi dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan
adalah korelasional deskriptif yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti dapat mencari,
menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada yang
bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelilitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal 04 April 2013.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur 1-4 tahun yang terdaftar
di Puskesmas Ngaglik I terhitung dari tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal 04 April
2013 yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta yang berjumlah 37 orang.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah total
populasi yang berjumlah 37 orang.
3. Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau
tersedia (Notoatmodjo, 2005).
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau
berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini adalah
sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

E. Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup,
benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah dikategorikan:

a. Baik : 7-9
b. Sedang : 4-6
c. Buruk : 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas medis
lainnya di Puskesmas Ngaglik I.

F. Tehnik Pengumpulan Data


Data diperoleh langsung oleh peneliti yang diawali dengan informed consent dengan
menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan sanitasi lingkungan
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita 1-4 tahun yang
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari Puskesmas
Ngaglik I.

G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam penelitian ini
berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas ventilasi rumah dan
hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan dan lux meter untuk
mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa check list yaitu suatu daftar
pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran pengamatan
(Notoatmodjo, 2005).

H. Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengolahan data
Menurut Setyadi (2009), pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh data
atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus
tertentu sehingga menhasilkan informasi yang diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan
cara mengolah hasil check list yang telah diisi oleh peneliti, kemudian diolah dengan
menggunakan komputer. Pengolahan meliputi:
a. Editing
Editing adalah memeriksa seluruh pernyataan dan pertanyaan yang sudah diisi oleh
peneliti. Jika terdapat kekeliruan, check list belum diisi atau pengisian yang tidak sesuai dengan
petunjuk akan diperbaiki dengan mengulang, sehingga data yang dimasukkan dalam komputer
adalah data yang benar.
b. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden ke dalam
kategori dengan memberikan tanda atau simbol untuk memudahkan pengolahan data, kemudian
dilakukan skoring. Dalam hal ini peneliti memberikan skor pada masing-masing variabel.
c. Entry data
Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan dalam tabel
dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang dimasukkan melalui pengolahan dalam
komputer.
d. Tabulating
Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan pertanyaan
dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang dijadikan dasar pertimbangan
dalam pemberian predikat sesuai ketentuan. Data yang ditabulasi kemudian dianalisis.
2. Rencana Analisis Data
Hasil pengolahan data di analisis dengan uji statistik yaitu menggunakan Analisis Univariat
dan Bivariat .
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan variabel terikat
yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi lingkungan rumah dari hasil penelitian.
Pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel (Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi
(Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
terikat (dependent) dan variabel bebas (independent) yaitu hubungan sanitasi lingkungan rumah
dengan kejadian ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis bivariat yaitu dengan menguji
masing-masing variabel dengan menggunakan program komputer.
Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan
tingkat kepercayaan 95% :
1) Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2) Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

I. Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal penelitian ini
adalah:
a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d. Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
e. Menyusun proposal penelitian.
f. Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
g. Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
h. Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:
a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan
penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
b. Mengajukan izin penelitian.
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
d. Memberikan informed consent.
e. Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
f. Melakukan pengolahan data.
g. Menganalisis data.
3. Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
a. Menyimpulkan hasil penelitian.
b. Membuat laporan hasil penelitian.
c. Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
d. Melaksanakan seminar hasil penelitian.
e. Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
f. Pengumpulan hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media Promosi
Kesehatan Indomesia No XIV.

Ambarwati. (2007). Cara-Cara Membuat Rumah Sehat. Jakarta: Arsitek.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran Pernafasan
Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.
Azwar. (1990). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.

BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.

Budiarto. (2007). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Dachroni. (2003). Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Jakarta: Media Promosi
Kesehatan Indonesia No XIV.

Departemen Pekerjaan Umum. (1985). Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat. Jakarta: Dinas
Cipta Karya.

Depkes RI. (2010). Riskesdas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dinkes Kabupaten Sleman. (2011). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Yogyakarta:
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

Dinkes Provinsi DIY. (2010). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas
Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman. (2008). Informasi Penyehatan


Lingkugan Pemukiman. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gunawan. (1999). ISPA pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: Dinkes Provinsi DIY.

Hindarto, P. (2007). Inspirasi Rumah Sehat di Perkotaan. Yogyakarta: Andi Offset.

Hull, D. (2008). Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.

Iswarini, W. (2006). Rumah Sebagai Tempat Tinggal yang Nyaman. Bandung: PT Cipta
Karya.

Juwati, S. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penanganan Penyakit ISPA di


Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta.

Kartasasmita, B, C. (2010). Pneumonia Pembunuh Nomor 1. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Kasjono, S, H. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta: Gosyen.

Keman, P. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Social Ekonomi Terhadap Kejadian ISPA
Pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu 11
Kabupaten Gianyar Bali.
Kemenkes RI. (2010). Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

(2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Indonesia.

Kumolowati, dkk. (2011). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas


Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Kusbiyantoro. (2009). Pedoman pengendalian ISPA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik


Indonesia.

Nelson, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.


(2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
SalembaMedika.

Ranuh. (2001). Penanganan Penyakit Menular Pada Anak. Jakarta: EGC.

Said, M. (2010). Pengendalian ISPA Dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta: menrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Sanropie. (1989). Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta.

Setyadi. (2009). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Slamet, S, J. (2009). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University press.

Somantri, S. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharmadi. (2002). Lingkungan Rumah Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik


Indonesia.

Sukar. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA. Bandung:
Buletin Penelitian Kesehatan.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Supriyanto, J, K. (2008). Hubungan Antara Kondisi Fisik Kamar Hunian Dengan Kejadian ISPA
di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Yogyakarta.
Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Penulis Penebar Swadaya. (2008). Penanganan dan Pengelolaan Sampah. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Weber, M. (2011). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia .

Wong, dkk. (1991). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.


(2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jajarta: EGC.

World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and Control of
Pneumonia. Ge-neva: WHO.

(2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Negara


Berkembang. Jakarta: Depkes RI.

Diposkan 20th April 2013 oleh charles tonjo


0

Tambahkan komentar

library

 Klasik
 Kartu Lipat
 Majalah
 Mozaik
 Bilah Sisi
 Cuplikan
 Kronologis

1.

Apr

20
ISPA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat
serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan
bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika
dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat
ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang
dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan
Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di
Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Depkes RI, 2010).

Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta
kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap
harinya. Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya
terjadi pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan
jumlah kasus ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).

Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa


tidak, selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-
35,9%. Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4
tahun (AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau
sebesar 30.470 kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti
secara rata-rata di Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA.
Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA
pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).

Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari


jumlah kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota.
Sampai dengan awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA
mengunjungi puskesmas dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan
prosentase penyakit ISPA di setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh
penyakit. Hasil sensus penduduk tahun 2010, menemukan angka kematian balita umur 1-
4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk bayi laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran
hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Provinsi
DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih
di dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA
diantaranya infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB sebanyak 1.720
kasus, faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut sebanyak 1.215 kasus, dan
batuk 853 kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat dari rata-rata kunjungan rawat
jalan di tiap puskesmas, yaitu bronchitis dan bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus,
infkesi saluran bagian atas akut sebanyak 278 kasus, tuberculosis paru sebanyak 159
kasus, asma sebanyak 150 kasus, pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan
gangguan mastoid sebanyak 39 kasus.

Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama
diantara 10 besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang
terdaftar di Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun
ditahun 2012 yang berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti
rata-rata balita yang terkena ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang.
Sedangkan rata-rata kunjungan balita yang positif karena penyakit dalam satu minggu
berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan
sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011 dan menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak
1091 kunjungan.

Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti
Indonesia tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang
semakin tinggi pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor
yang memberikan kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab
bagaimanapun juga faktor dominan penyebab penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan
lingkungan rumah seperti kelembaban, pencemaran udara dalam rumah, pencahayaan
yang kurang, tempat sampah yang tidak memadai dan air minum yang kurang sehat
(Kemenkes RI, 2011).

Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat


begitu banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan
yang tidak sehat dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010
dimana secara nasional pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak
hanya sebesar 55,53%, presentase paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan
terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%). Menurut kualifikasi daerah,
pencapaian terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%)
dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%) (Kemenkes RI, 2011).

Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang
hanya sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga
menunjukan kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah
manapun kita berada di Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di
wilayah Daerah Instimewa Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).

Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase
rumah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan
tahun 2005, hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan
sebagian rumah di beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh
tersebut mengakibatkan kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga
mempengaruhi presentase rumah sehat di Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat
kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).

Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085
rumah (37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat sebanyak 69.823
rumah (83,0%) (Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).

Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628
rumah (14,97%). Dari hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332
(79,19%).

Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah
dengan Kejadian ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I,
Ngaglik, Sleman, DIY”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu “Adakah hubungan
antara sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4
tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit


ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik,
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi
puskesmas tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga
kebersihan sanitasi lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya,
membuat tempat limbah rumah tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak
membuat polusi dalam rumah, menjaga pencahayaan dalam rumah agar tidak
terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko kejadian ISPA pada balita
usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat
seperti lantai yang kotor, kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang
belum memenuhi standar, polusi dalam rumah, pembuangan limbah rumah tangga
yang sebarangan terhadap peningkatan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun,
sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti yang ingin mengembangkan
penelitian lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

1. Ayu (2006), meneliti ”Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian
Infeki Saluran Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali”. Jenis
penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian cross sectional.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling.
Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah,
pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA, antara lain
ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001), dan lantai rumah
(p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan
rancangan penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu
yaitu variabel penelitian, tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan
tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang “Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial
Ekonomi Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen
Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali”. Jenis
penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan rancangan penelitian
cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5 tahun.
Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system random sampling.
Sebagai respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah ada
hubungan antara sanitasi fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian
ISPA pada balita di bawah 5 tahun di mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-
5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi
penelitian, jenis penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu
variabel penelitian, tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik
pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan
Penyakit ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis
Yogyakarta”. Jenis penelitian ini adalah non eksperimen dengan metode deskriptif
analitik korelasional dan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi pada
penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik pengambilan sampel dengan cara
accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian,
rancangan penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian Juwati adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori

1. Balita

a. Pengertian Balita

Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak
usia kurang dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih
tergantung penuh kepada orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari
seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan lain, seperti berbicara dan
berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan usia balita tersebut (Nelson,
2000).

Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang
manusia, bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan pada masa-masa selanjutnya. Pada masa ini, pertumbuhan balita
berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering disebut sebagai golden
age atau masa keemasan (Nelson, 2000).

b. Karakteristik Balita

Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia
1-4 tahun dan anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih
cepat dibandingkan masa prasekolah sehingga

pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya


pertumbuhannya berlansung lebih baik (Nelson, 2000).

Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya
sehingga berat badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan
aktivitas yang mulai meningkat. Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya
sangat senang bergaul dengan teman seusianya sehinga berefek pada beberapa
perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita

Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga
proses yang sama (Supartiny, 2004):

1) Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak


akan berusaha menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan
kakinya.

2) Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak


akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk
menggenggam sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.

3) Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar,


menendang, berlari dan lain-lain.

Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif


yang artinya, anak mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah sel
serta jaringan intraseluler, seperti meningkatnya berat badan dan tinggi badan,
bertambahnya ukuran lingkar kepala, muncul dan bertambahnya gigi dan
gerahang, menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot, bertambahnya
organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya (Supartiny,
2004).

Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya berlangsung


secara perlahan-lahan, bertahap, dan terpola secara proporsional tiap bulannya.
Ketika kita melihat adanya penambahan ukuran tubuh pada balita maka bisa
dikatakan proses pertumbuhan balita tersebut berlangsung baik, salah satu
caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat badan dan tinggi badan
yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang terlihat
merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu
gangguan atau hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita
tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya
pada diri balita akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan
(maturasi), baik itu kemampuan personal maupun kemampuan sosil (Suririnah,
2006).

1) Kemampuan personal

Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap


fungsi alat-alat pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki.
kemampuan fungsi pengindraan meliputi;

a) Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca

b) Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan menyimak


pembicaraan

c) Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk

d) Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda


kasar atau halus

e) Pengecap, misalnya merasakan pahit, manis dan asam.

2) Kemampuan sosial

Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari


kemampuan personal yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita
akan berhubungan degan beragam aspek lingkungan sekitar yang
membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat di
mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun
dan mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-
anak lainnya meskipun ia belum pandai dalam berbicara. Dari situlah
dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas sedang dipupuk, dengan
berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang

Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang


harus terpenuhi yang meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi
dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan stimulasi dini (asah) (Nelson, 2000).

1) Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).

Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh kembang


anak. Pada usia balita, perkembangan dalam kemampuan untuk berbahasa,
berkreativitas, kesadaran sosial, emosional dan inteligensi anak berjalan
sangat cepat (Nelson, 2000).

Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan


mempengaruhi tumbuh kembang fisik maupun biologis balita. Tepat
berarti makanan yang diberikan mengandung zat-zat gizi yang sesuai
kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-
zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson,
2000).

Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan


otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan
berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur
sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis
yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya
tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang
penyakit (Nelson, 2000).

2) Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).

Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu
orangtua merupakan tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi
anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan
menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam
kemampuan membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang
tua merupakan teladan yang baik bagi anak-anaknya karena melalui
keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur-unsur positif dan
menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak orangtua
sebaiknya melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Nelson,
2000).

3) Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).

Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan


tertentu pada anak sedini mungkin, bahkan hal ini dianjurkan ketika anak
masih dalam kandungan dengan tujuan agar tumbuh kembang anak dapat
berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang
melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan,
kegiatan mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal
huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini juga dapat mendorong
munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian, kreativitas dan lain-
lain pada anak (Nelson, 2000).

Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat


merangsang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) anak.
Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-
matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal,
kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan
kecerdasan naturalis (Suririnah, 2006).

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita

a. Pengertian ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu


infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu mulai dari hidung
hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari
walaupun beberapa penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari
(Gunawan, 2004).

ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan


berkembangbiak yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran
pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti
sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA adalah proses
inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau spairasi subtansi
asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong,
2003).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa,


penyakit ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan, baik saluran
pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.

b. Jenis-jenis penyakit ISPA

Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah:


influenza, sinusitis, faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis,
pneumoni dan tuberkolosis paru.

1) Influenza (common cold)

Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi


dan anak-anak dan penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat
karena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga tengah, dan
nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah, 2005). Influenza
merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus
haemophillus influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri
kepala yang hebat, nyeri otot, demam, menggigil dan anoreksia (Somantri,
2007).

Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali


mengalami komplikasi terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi
sekunder bakteri patogen seperti pneumokokus, sreptokokus, haemopilus
influenza atau stafilokokus dengan faktor predisposisi kelelahan, gizi
buruk, anemia dan kedinginan.

Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-


kadang bersin. Keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi
infeksi sekunder oleh kokus sekret menjadi kental dan purulen. Sumbatan
hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan mengakibatkan anak
menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).

2) Sinusitis

Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat
menyebabkan perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum
dan leukosit dan jaringan menjadi kemerahan dan mengalami
pembengkakan (Ngastiyah, 2005).

Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran


pernapasan bagian atas, sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering
ditemukan pada anak kecil karena sinus frontalis belum berkembang pada
anak kecil. Jika terkena infeksi sinusitis maka akan menyebabkan nyeri
tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat
berulang-ulang hinga menetap dan kadang-kadang menyebabkan post
nasal drip (Hull, 2008).

Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran cairan serosa


sampai purulen melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan
tertekan di atas sinus yang tertekan akibat tersumbatnya ostium sehingga
timbul tekanan negatif dalam sinus. Gejala lain seperti yeri kepala, batuk,
mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat mulut, penciuman
terganggu, bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke
kelopak mata (Ngastiyah, 2005).

3) Faringitis dan tonsilofaringitis

Radang faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di
sekitarnya, sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil,
sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut dan kronik.

Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat


nyeri di tenggorokan, mulut berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai
otalgia, demam tinggi dan pembesaran kelenjar submandibula (Ngastiyah,
2005).

4) Laringitis

Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi
pada anak berbeda karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni,
sesak nafas dan stridor.

Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus,


streptococcus viridans, pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses
radang pada laring dipermudah oleh trauma, bahan kimia, radiasi, alergi
dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).

Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya


infeksi ini disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernapasan terutama
virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung menyebar ke saluran penapasan
bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus, sulit bernapas,
suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada
bayi (Hull, 2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek,
nyeri menelan, dan pada waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas
sampai stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda obstruksi
pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas bertambah berat,
retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).

5) Difteria

Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang


saluran pernafasan bagian atas, dengan tanda kas timbulnya
pseudomembran.

Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae


corynebacterium, bersifat gram positif, tidak bergerak dan tidak berbentuk
spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan suhu c selama 10 menit,
tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu, dan
lendir yang telah mengering (Ngastiyah, 2005).

Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain
conynebacterium diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi
tenggorokan dan disebarkan melalui percikan ludah dari orang-orang yang
sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-7 hari dan disertai
nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).

Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam
tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga
pasien tampak sangat lemah. Sedangkan gejala lokal yang timbul antara
lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada
kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium
lanjut (Ngastiyah, 2005).

6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab
pertusis adalah Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak
dan bergram negatif. penyakit ini sangat mudah tertular dan dapat
mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak mengenai laki-
laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada ditempat yang padat
penduduknya (Ngastiyah, 2005).

Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis.


Penyakit ini biasanya berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa
bayi. Pada orang dengan pertusis biasanya akan muncul tanda yang berupa
batuk parah, spasme, muntah, sianosis, apneu dan akan mengalami susah
bernapas yang berlansung lebih dari 2-3 minggu (Hull, 2008).

Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan
menjadi berat menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini
stadium lanjut ialah pilek, serak dan anoreksia, keringat dingin,
pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar, tanpak gelisah,
tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah,
2005).

7) Pneumonia

Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh


bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat malnutrisi atau faktor lain
akan menderita pneumonia berulang.

Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi
traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat
naik dengan mendadak sampai 39-40 dan kadang disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan
dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di sekitar mulut
dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk
biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit tetapi setelah beberapa
hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).

8) Bronkiolitis

Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering


di derita bayi atau anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada
usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan oleh
respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).

Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat


mengenai trakea dan laring yang berlansung lama. penyakit ini dapat
memproduksi mukus yang berlebihan sehingga menimbulkan batuk
kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun (Somantri, 2007).

Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat


mengakibatkan kerusakan dan dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk
kronik dan memproduksi sputum yang lebih banyak. Penyakit ini biasanya
karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada anak-anak
kurang gizi (Hull, 2008).

Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas,


disertai batuk pilek beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu
badan. Anak mulai menderita sesak napas, makin lama makin parah,
pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk, terlihat juga
pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada
pemeriksaan biasanya terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi
memanjang di sertai dengan mengi (Ngastiyah, 2005).

9) Tuberkolosis

Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer
yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium
bovis yang bersifat sistemik. TB primer biasanya terdapat keluhan demam
dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian atas
(Ngastiyah, 2005).

TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan


maupun laki-laki, penyakit ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat
dengan kepadatan penghuni yang dapat membuat cahaya matahari susah
menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering ditemukan pada
anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).

Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu


dalam keadaan kering, tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c
selama 15-20 menit.

Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar


fokus primer tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara
penularan juga bisa melalui oral jika meminum susu yang mengandung
basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini adalah demam yang
naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk, demam,
anoreksia dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang
menyerupai tifus abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpa
hepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).

c. Penyebab ISPA

Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%)


dan Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah
Staphylococcus aureaus dan Klebsiella pneumonia, sedangkan virus yang
sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial virus (RSV) dan
influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai penyebab ISPA pada anak
dengan AIDS adalah Pneumocystisjiroveci (WHO, 2003).

Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):


1) Bayi baru lahir

ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi
virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta
bakteri Coli, torch, Streptokokus dan Pneumokokus. Pneumonia biasanya
disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan
bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S.
pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).

2) Balita dan anak pra-sekolah

ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh
virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri
yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A.
Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).

3) Anak usia sekolah dan remaja

ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh
virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri,
yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma (Depkes RI,
2010).

d. Tanda dan Gejala ISPA

Tanda dan gejala ISPA pada anak balita secara umum (Wong, 2003):

1) Demam

Suhu badan meningkat 39,5-40,5 c, malas dan peka ransang,


terkadang eoforia dan lebih aktif dari normal, dapat mencetuskan kejang
febris.
2) Meningismus

Demam yang terjadi secara tiba-tiba dan disertai sakit kepala, nyeri
dan kekakuan pada punggung dan leher, adanya tanda kernig dan akan
berkurang saat suhu tubuh turun.

3) Muntah

Muntah dapat didahului tanda-tanda lain degan selang beberapa jam


biasanya berlansung singkat tetapi dapat menetap selama sakit.

4) Diare

Diare biasanya ringan tapi lama kelamaan menjadi berat dan akan
terjadi dehidrasi.

5) Sumbatan lubang hidung

Lubang hidung balita mudah tersumbat oleh pembengkakan mukosa


dan eksudasi yang dapat mempengaruhi pernafasan dan menyusui pada
bayi sehingga dapat menyebabkan otitis media dan sinusitis.

6) Keluarnya cairan dari lubang hidung

Keluarnya cairan pada lubang hidung yang bersifat encer dan sedikit
kental dan purulen tergantung pada tipe dan tahap infeksi, dapat
menyebabkan kegatalan, dapat mengiritasi bibir bagian atas dan kulit
sekitar hidung.

7) Batuk

Gambaran umum dari penyakit pernafasan dapat menjadi bukti hanya


selama fase akut dan dapat menetap selama beberapa bulan setelah
penyakit muncul.
8) Bunyi pernafasan

Suara serak, mengorok, stridor dan mengi.

9) Sakit tenggorokan

Sakit tenggorokan merupakan keluhan yang sering dari anak dewasa,


anak kecil tidak bisa mengambarkan gejala, mungkin tidak akan mengeluh
meskipun sudah sangat terinflamasi. Seringkali anak menolak untuk
makan dan minum.

Menurut derajat keparahanya, ISPA dapat di bagi menjadi tiga


golongan (Kartasasmita, 2010):

a) ISPA ringan

ISPA ringan yaitu terjadi batuk, serak (anak mengeluarkan suara


parau pada waktu anak bersuara), pilek (anak mengeluarkan lendir atau
ingus dari hidung), demam (suhu tubuh meningkat lebih dari suhu
tubuh normal) (Kartasasmita, 2010).

b) ISPA sedang

ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak umur
1 tahun, suhu tubuh meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan berwarna
merah, timbul bercak-bercak pada kulit yang menyerupai bercak
campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari lubang
telinga (Kartasasmita, 2010).

c) ISPA berat

ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan mulut,
terlihat cuping hidung saat bernafas, kesadaran menurun, pernafasan
berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah, sela iga tertarik ke dalam
pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak teraba,
tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita, 2010).

e. Cara penularan penyakit ISPA

ISPA ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan
mengalami batuk, bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri
atau zat virus yang menyebabkan ISPA secara tidak sengaja akan
menginfeksi orang yang ada di sekitar yang menghirup udara tersebut.

Faktor yang dapat memudahkan penularan (Said, 2010):

1) Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah


berkembangbiak dalam rumah yang lantainya lembab, pencahayaan
kurang, ventilasi yang tidak memenuhi standar dan polusi udara entah
karena asap rokok ataupun asap api sebagai bahan untuk memasak (Said,
2010).

2) Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang lain
baik lewat kontak lansung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk
tanpa menutup mulut dan hidung (Said, 2010).

3) Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang yang
satu ke orang yang lain, terutama pada rumah yang anggota keluarganya
banyak dan tinggal dalam rumah yang ukurannya kecil (Said, 2010).

f. Pencegahan ISPA

ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan


atau mengurangi faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu
dengan melakukan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi,
pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan
pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu
untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama pneumonia
berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc,
peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi udara di dalam
ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko. Penelitian terkini juga
menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi kejadian ISPA
(Depkes RI, 2010).
Usaha pencegahan ISPA (WHO, 2003):

1) Pencegahan Non spesifik.

a) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi

Meningkatkan derajat sosio-ekonomi dapat mengurangi kejadian


ISPA. Pada beberapa negara berpenghasilan rendah pembiayaan
kesehatan sangat kurang. Pembiayaan kesehatan yang tidak cukup
menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur kesehatan untuk
diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga
kesehatan yang terampil terbatas, di tambah lagi dengan akses ke
fasilitas kesehatan sangat kurang (WHO, 2003).

b) Menurunkan angka kemiskinan

Angka kemiskinan yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor


yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA. Di negara berkembang yang
umumnya berpenghasilan rendah terdapat banyak kasus ISPA karena
susah untuk mendapat tempat tinggal yang layak ditambah besarnya
populasi anak akan semakin menambah tekanan pada pengendalian dan
pencegahan ISPA terutama pada aspek pembiayaan (WHO, 2003).

c) Meningkatkan pendidikan kesehatan

Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah


pendidikan ibu dan status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah
pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada balita (Depkes RI,
2010).

d) Meningkatkan status gizi

Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena ISPA.


Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah
imunisasi pertusis (DTP), campak, Haemophilus influenza, dan
pneumokokus (WHO, 2003).

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap ISPA sebagai komplikasi campak.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan
berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi
faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan
menjadi lebih berat (Hull, 2008).

Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang
efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan
dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat pneumonia dapat
dicegah (Hull, 2008).

e) Meningkatkan derajat kesehatan

Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi


termasuk infeksi kronis dan infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya
komorbid lain seperti malaria, campak, gizi kurang, defisiensi vit A,
defisiensi seng (Zn). tingginya prevalensi kolonisasi patogen di
nasofaring, tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada
atau tidak memberikan ASI dan imunisasi yang tidak adekwat
memperburuk derajat kesehatan (Depkes RI, 2010).

f) Lingkungan yang bersih, bebas polusi


Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya
lingkungan, daerah pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam ruang
akibat penggunaan biomass (bahan bakar rumah tangga dari kayu dan
sekam padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah lagi dengan tingkat
pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan dan
kepercayaan lokal yang salah (Depkes RI, 2010).

2) Pencegahan Spesifik

a) Cegah BBLR

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk


meningkatnya ISPA. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR
cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan (prematur) khususnya
yang masa kehamilannya <35 minggu, biasanya mengalami penyulit
seperti gangguan napas karena infeksi pada saluran pernafasan (Depkes
RI, 2010).

BLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan


waktu lahir hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko
mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang bernafas cepat
>60 kali/menit, lambat <30 kali/menit dapat disertai sianosis pada
mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada serta merintih,
dengan demikian BBLR sangat beresiko untuk terkena ISPA
dibandingkan bayi bukan BBLR (Depkes RI, 2010).

b) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang

Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan


kematian balita dengan infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi
seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian mikronutrien bisa
membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI suboptimal
mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah,
sebesar 20% (Depkes RI, 2010).

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan
serangannya lebih lama (Depkes RI, 2010).

c) Vaksinasi

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung


pneumonia adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib
(Haemophilus influenzae type b) dan Pneumococcus (PCV). Dua vaksin
diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk ke dalam program
vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan
Hib dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut
laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah kematian 1.075.000 anak
setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak negara yang
memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional
imunisasi.

(1) Vaksin Campak

Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus


campak. Penyakit ini dapat dikatakan ringan karena dapat sembuh
dengan sendirinya, namun dapat dikatakan berat dengan berbagai
komplikasi seperti ISPA terutama pneumonia yang bahkan dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak
dengan gangguan sistem imun (WHO, 2003).
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit
campak biasanya berat. Menurunkan kejadian penyakit campak
pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat menurunkan
kematian akibat pneumonia (Depkes RI, 2010)

(2) Vaksin Pertusis

Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk


seratus hari. Penyakit ini masih sering ditemui. Penyakit ini
disebabkan infeksi bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi
terhadap penyakit ini sudah lama masuk ke dalam program
imunisasi nasional di Indonesia, diberikan dalam sediaan DTP,
bersama difteri dan tetanus (Ngastiyah, 2005).

(3) Vaksin Hib

Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type


b (Hib) merupakan penyebab ISPA dan radang otak (meningitis)
yang utama. Diduga Hib mengakibatkan penyakit berat pada 2
sampai 3 juta anak setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak
lebih dari 10 tahun, namun penggunaannya masih terbatas dan
belum merata.. Hal ini dimungkinkan karena harganya yang relatif
mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib
diberikan kepada semua anak di negara berkembang (Somantri,
2007).

(4) Vaksin Pneumococcus

Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama terutama


pneumonia pada anak di negara berkembang. Vaksin pneumokokus
sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun dan dewasa.
Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan anak dibawah 3 tahun
sudah tersedia, yang dikenal sebagai Pneumococcal Conjugate
Vaccine (PCV) (Ngastiyah, 2005).

g. Pertolongan pertama penderita ISPA

Usaha penanganan ISPA pada anak di rumah oleh seorang ibu dilakukan
beberapa cara:

1) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi
dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua
bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan sehari
empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara pemberiannya,
tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan,
memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain
dicelupkan pada air (tidak perlu di tambah air es) (Kusbiyantoro, 2009).

2) Mengatasi batuk

Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya


ramuan tradisional yaitu jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan
kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali sehari
(Kusbiyantoro, 2009).

3) Pemberian nutrisi

Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit


tetapi sering, lebih-lebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi
yang menyusui tetap diteruskan (Kusbiyantoro, 2009).

4) Pemberian minuman

Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya)


lebih banyak dari biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak,
selain itu kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita
(Kusbiyantoro, 2009).

5) Pertolongan lain yang dapat dilakukan

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal


dan rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada
saat pilek akan berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah. Apabila selama perawatan di rumah keadaan
anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas
kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan
di atas diusahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan
benar selama lima hari penuh dan setelah dua hari anak perlu dibawa
kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang (Kusbiyantoro,
2009).

3. Lingkungan Rumah

a. Pengertian Lingkungan Rumah

Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik


berupa benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata.
Rumah dibuat karena manusia ingin bernaung serta melindungi mereka dari
berbagai macam ancaman kesehatan. Lingkungan rumah antara lain
mencakup udara, ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian rumah,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana
pembuangan air besar atau kecil dan penyediaan sumber air bersih (Slamet,
2009).

Lingkungan rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi derajat kesehatan


serta produktifitas seseorang. Rumah merupakan surga bagi kita karena
disitulah tempat kita berlindung. Lingkungan rumah sebaiknya dijauhi dari
segala macam faktor-fakor yang dapat merugikan kesehatan misalnya limbah
buangan pabrik, asap yang membuat udara tercemar, tempat pembuangan
sampah atau perternakan yang kurang bersih, fasilitas-fasilitas lainya seperti
air minum yang kurang bersih, fasilitas pembuangan limbah dan air yang
tidak memadai. Disamping itu sumber daya alam yang baik akan
meningkatkan derajat kesehatan seperti adanya sinar matahari yang bisa
menyinari segala ruangan di dalam rumah sehingga tidak terjadi kelembaban
di dalam rumah (Hindarto, 2007).

b. Syarat Lingkungan dan Rumah Sehat

1) Syarat lingkungan sehat.

a) Sampah

Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari


sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai
ekonomis. Ada beberapa bentuk sampah yaitu padat, cair dan gas.
Secara sederhana sampah dapat dibagi berdasarkan sifatnya yaitu
sampah organik dan anorganik. Sampah organik yaitu sampah basah
yang berasal dari makluk hidup seperti dedaunan dan sampah dapur.
Sampah organik ini mudah terurai secara alami. Sementara itu sampah
anorganik yaitu sampah kering yang tidak dapat terurai seperti karet,
plastik, kaleng dan logam (Suharmadi, 2002).

Sampah selalu menjadi persoalan rumit dalam masyarakat yang


kurang peka terhadap lingkungan. Ketidaksiplinan mengenai kebersihan
dapat menciptakan suasana semberawut akibat timbunan sampah,
kondisi yang tidak menyenangkan akan muncul seperti bau tidak sedap,
lalat berterbangan dan peluang pencemaran lingkungan sekitar akan
menjadi santapan sehari-hari. Sampah rumah tangga dapat
ditanggulangi dengan membuat lubang tempat pembuangan sampah,
melalui penimbunan supaya dapat diolah menjadi pupuk kandang dan
briket arang (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).
b) Sumber Air dan Sumur

Penyediaan air minimum setiap rumah pada dasarnya harus


memenuhi persyaratan. Berkenaan dengan itu maka air yang akan
dipergunakan untuk air minum harus berdasarkan rekomendasi dari
PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan contoh air
hendaknya dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya
bukan oleh pihak developer. Untuk menyediakan air minum dengan
jumlah yang cukup, dapat diambil sumber dari Sumur gali, sumur
artesis dan PDAM/PAM (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).

(1) Gali

Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil dari
sumur gali, maka untuk setiap sumur gali hanya diperbolehkan
mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).

Pipa sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur


tersebut selalu dapat menyediakan air dengan jumlah yang cukup,
walaupun pada musim kemarau (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008) .

Jarak sumur gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-


lebih septic tank harus lebih besar dari 8 meter. Untuk sumur gali
jarak tersebut diukur dari dinding sumur ke dinding bagian luar
septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).

(2) Sumur Artesis


Debit air harus dapat memenuhi kebutuhan setiap penghuni
rumah dengan cukup. Pusat reservoir dengan ketinggian yang
cukup ( >4 meter dari kran rumah yang tertinggi) dan volume
minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah per
hari dari rumah-rumah yang disalurkan oleh sumur tersebut
(Suharmadi, 2002).

Jarak lokasi sumur artesis dengan lokasi pembuangan air kotor


(≥25 meter). Letak pompa atau inlet pipa sedot harus paling dekat
2 meter di bawah muka air terendah yang ada dalam jamban.

Instalasi jaring-jaring pipa distribusinya harus direncanakan


dan dipasang sesuai dengan ketentuan PDAM setempat dan
pelaksanaannya harus ditangani oleh instalatur yang mempunyai
surat pas dari PDAM setempat. Untuk itu baik perencanaan
maupun pelaksanaannya harus diawasi oleh PDAM (Suharmadi,
2002).

(3) PDAM (PAM)

Rumah yang dianggap telah tersedia air PAM dengan baik


yaitu bila penyambungan pipa beserta meterannya telah terpasang.
Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya supaya
dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan
tersebut perlu adanya testing secara periodik terhadap alat
penyaring maupun hasil air yang telah disaring. Debit airnya harus
mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan baik, maka
persyaratan bak reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap
dipenuhi. Tiap rumah agar dipasang meteran air, dan jaringan
instalasi distribusinya harus dilegalisir oleh PAM setempat
(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).

c) Pembuangan air kotoran (WC)


Pembuangan air kotoran dari WC dapat dilakukan dengan dua cara,
tergantung dari tingginya permukaan tanah. Apabila permukaan air
tanah cukup dalam yakni di bawah 1 meter, dari permukaan tanah,
sebaiknya dipakai sistim Septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008):

(1) Bak septic

Dinding dan alas atau dasarnya harus rapat (tebal plesteran


harus >2 cm), volume air dalam bak septic minimal 1 meter kubik,
tinggi air dalam bak septic minimal 1,20 meter, letak lubang inlet
minimal harus 10 cm di atas lubang outlet, bagian dinding
penyekat yang masuk dalam air minimal harus 40 cm, jarak lubang
outlet dan inlet minimal 1 meter, jarak dari sumur penampungan
minimal 8 meter (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).

(2) Lubang pemeriksaan kontrol untuk bak septic

Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak inlet
perlu dipasang lubang untuk pemeriksaan dan pengurasan. Alat
tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat dari
permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).

(3) Peresapan

Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air minimal


400 liter/hari, kalau peresapan tersebut hanya dipakai untuk
meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau peresapan
tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari cucian dan kamar
mandi, maka daya resapnya harus mampu untuk meresapkan air
minimal 2000 liter/hari (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis
tanahnya. Oleh karena itu untuk daerah-daerah yang jenis tanahnya
bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari tanah tersebut
perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang resap yang
dibutuhkan. Jenis tanah yang sulit meresapkan air atau kedap air
antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya warnanya hitam), tanah
lempung, tanah berkapur atau batuan kapur. Untuk menyelidiki
daya serap tanah dapat dilakukan pengujian melalui laboratorium
mekanika tanah dengan dicoba langsung di lapangan. Apabila akan
dicoba langsung di lapangan maka sebaiknya dilakukan pada
waktu musim hujan (agar pengadaan tanah dalam keadaan yang
terjelek) (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman,
2008).

d) Pembuangan air limbah dan air hujan

Apabila akan dipakai saluran, dapat dikerjakan sebagai berikut,


kalau pembuangan air dari cucian dan kamar mandi disalurkan
rembesan, maka harus dipenuhi syarat (Suharmadi, 2002):

(1) Luas bidang rembesan harus dihitung dulu untuk mampu


meresapkan air tersebut di atas (± 2000 liter/hari).

(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut
dimasukan ke rembesan

(3) Pembuangan atau pengaliran air hujan harus disediakan tersendiri


karena debitnya cukup besar (dibuang ke saluran umum atau
sungai).

e) Asap dapur

Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain


disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran
udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur.
Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas
penghuninya antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk
memasak, asap rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar dan
penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes (Sukar,
1996).

Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh


pembakaran bahan bakar biomassa yang menimbulkan asap yang
berbahaya bagi kesehatan adalah :

(1) Partikel

Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa


mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe),
mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk
langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan kimia
dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus.
Beberapa logam seperti Pb dan Cd, bersifat akumulatif, paparan
yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama akan
menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat
pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh yang bersifat
kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas sampai dengan
timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).

(2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.

Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena


diketahui bersifat karsinogenik adalah benzo-a-pyrene (Anwar,
1992).

(3) Formaldehid (HCHO)

Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata,


hidung dan alat pernapasan bagian atas. Hal ini terjadi karena
adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan air
mata atau lendir dalam saluran pernapasan (Anwar, 1992).

(4) Carbonmonoksida(CO)

Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan


oksigen dalam tubuh, yang disebabkan oleh bergabungnya CO
dalam darah dengan molekul hemoglobin membentuk COHb
(Anwar, 1992).

(5) Nitrogendioksida (NO2)

Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang


paling banyak mempengaruhi kesehatan paru bagian dalam.
Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah kerentanan
terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau
virus (influenza) (Anwar, 1992).

(6) Sulfurdioksida(SO2)

Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam


air membentuk asam sulfat aerosol, yang dapat masuk ke dalam
paru dan mangganggu fungsi paru (Anwar, 1992).

Anak-anak atau balita biasanya berada di dekat api atau berada di


pangkuan ibunya ketika sedang memasak dan saat menyiapkan
makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan polusi dari bahan bakar
biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus
menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi (Anwar, 1992).

f) Kebiasaan merokok dalam rumah

Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin


banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita
gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok
(bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang mengalami risiko
lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003).

Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream


sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap
sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan
asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua
atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah
yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa (Adningsih,
2003).

Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan


memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan
pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit
anginapectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat
serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya
perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu,
asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas
berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan
bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan
bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru
mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru
dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2003).

2) Bahan bangunan Rumah

a) Lantai

Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media
yang baik untuk perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA.
Usaha yang perlu dilakukan untuk menghindari bakteri atau virus
infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari bahan
kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di plaster
atau memasang ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan
(Departemen Pekerjaan Umum, 1985).

Hasil penelitian Ayu tahun 2009 tentang hubungan antara lantai


rumah dengan kejadian ISPA di Desa Cepogo memperkuat fakta bahwa
lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat
mempengaruhi kejadian ISPA dengan didapatkan nilai p (0,025) lebih
kecil dari nilai α (0,05). Dari sampel penelitian yang diteliti
memperlihatkan bahwa, rumah yang memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 13 rumah sedangkan lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 24 rumah.

b) Dinding

Dinding adalah bagian dari bangunan yang dipasang secara vertikal


dengan fungsi sebagai pemisah antar ruang dalam rumah dengan ruang
luar rumah. Dinding rumah yang sehat menggunakan tembok yang
terbuat dari batako dan sudah diplester, tetapi dinding rumah di daerah
tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan
bambu, hal ini akan mempersulit untuk dibersihkan sehingga
menyebabkan penumpukan debu dan menjadi media yang baik untuk
perkembangan bakteri seperti bakteri penyebab ISPA (Ambarwati,
2007).

Hasil penelitian Ayu tahun 2009 mengambarkan bahwa dinding


rumah yang kurang memenuhi syarat kesehatan mempunyai hubungan
erat dengan kejadian ISPA dengan nilai p (0,00) lebih kecil dari nilai α
(0,05). Dari beberapa responden yang diteliti didapatkan responden
yang terinfeksi penyakit ISPA dan menggunakan dinding rumah yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 5 rumah dan responden yang
terkena ISPA dan menggunakan dinding rumah yang tidak memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 32 rumah.

c) Atap

Atap adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai


penutup seluruh ruangan yang ada dibawahnya terhadap pengaruh
panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan perlindungan. Atap
rumah yang sehat seharusnya terbuat dari genteng dan menggunakan
plafon atau langit-langit agar debu tidak langsung masuk ke dalam
rumah ataupun panas matahari. Atap rumah yang terbuat dari genteng
akan tahan terhadap pengaruh cuaca, serta masyarakat juga dapat
membuatnya sendiri (Ambarwati, 2007).

Hasil penelitian Supriyanto (2008) di Desa Tual, Kecamatan Kei


Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan responden yang
terkena ISPA mempunyai atap rumah yang memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 16 rumah dan responden yang terkena ISPA yang
menggunakan atap rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 21 rumah.
d) Ventilasi

Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa


menggantikan udara ruangan yang sudah terpakai dengan udara yang
segar dari luar ruangan, agar temperatur dan kelembaban udara dalam
ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya
lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).

Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono,


2011):

(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan.
Sedangkan luas lubang ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan
ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai sehingga
jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.

(2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh
asap hasil pembakaran sampah atau asap kendaraan bermotor serta
debu.

(3) Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang


hawa tidak terhalang oleh barang-barang rumah seperti lemari dan
lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.

(4) Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan


tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.

Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi


fisik rumah dengan kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten
Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di Desa Penjaringan
Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari
hasil penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang
menggunakan ventilasi rumah yang baik sebanyak 10 rumah dan
responden yang terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah yang
tidak baik sebanyak 27 rumah.
e) Tingkat kepadatan penghuni

Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya


luas bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas
bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 20 untuk
tiap anggota keluarga.

Riskesdas (2007) menunjukan provinsi dengan proporsi hunian


padat lebih tinggi dari rerata nasional antara lain Papua (51,0%), Papua
Barat (40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%). (BPPK Depkes RI, 2008).

Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan


(Ambarwati, 2007) :

(1) Tentukan rumah yang akan di hitung

(2) Ukur dan hitung luas rumah L = p x l

(3) Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah tersebut


dengan cara :

f) Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang


dan tidak lebih. Kurangnya cahaya, terutama cahaya matahari yang
masuk ke dalam rumah selain kurang nyaman, juga merupakan media
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya
merusak mata (Suharmadi, 2002).

Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:


(1) Cahaya alamiah

Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke dalam


ruangan melalui jendela, celah-celah, dan bagian-bagian bangunan
yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak terhalang oleh
bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar yang tinggi. Cahaya
matahari dapat mengurangi kelembaban dalam ruangan, mengusir
nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit seperti
penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurang 10-20% dari luas lantai rumah (Kasjono, 2011).

(2) Cahaya buatan

Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu


minyak, listrik, gas dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat ditentukan oleh
letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari pagi
yang baik, sebaiknya jendela kamar harus menghadap ke timur.
Luas jendela sebaiknya 10-20% dari luas lantai rumah. Kuat sinar
yang memenuhi standar penerangan dalam rumah yaitu berkisar
antara 50-100 lux. Pada bagian tertentu kuat penyinaran untuk
penerangan seperti dapur memerlukan 200 lux, sedangkan kamar
tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar berkisar 100
lux (Kasjono, 2011).

Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan antara


kondisi fisik kamar hunian dengan kejadian ISPA di Desa Tual,
Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan responden
yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang baik sebanyak
10 rumah sedangkan responden yang terkena ISPA yang
mendapatkan pencahayaan yang kurang baik sebanyak 27 rumah.
g) Kelembaban

Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat perhatian


kusus dari penghuni rumah. Kelembaban yang tinggi akan
menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit basah, hal ini akan
dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut. Kelembaban
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti
bakteri penyebab ISPA. Kelembaban rumah yang bagus berkisar antara
40-60% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 60% (Kasjono,
2011).

Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi


square untuk hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan nilai p (0,883) lebih
kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan
menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai kelembaban
rumah yang kurang baik sebanyak 18 rumah dan responden yang
terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah baik sebanyak 15
rumah.

h) Suhu

Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena


kuman biasanya bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan
bantuan tekanan oksigen dan suhu dari lingkungannya. Dalam
mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan
rumah tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah cukup
tinggi maka akan membahayakan bagi kesehatan (Sanropie, 1989).

Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih rendah 4


dari temperatur udara luar ruangan. Untuk daerah tropis umumnya
temperatur di dalam ruangan 22-30 c sudah cukup segar (Sanropie,
1989).

B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep

Sanitasi Lingkungan Rumah

ISPA

Variabel pengganggu
1. Nutrisi
2. Status imunisasi
3. Status ekonomi
4. Pendidikan

Keterangan :

Variabel yang diteliti :

Variabel yang tidak diteliti :


D. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang
berbentuk angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode
penelitian observasional dan menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu
penelitian dimana variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang
terjadi pada objek penelitian diobservasi dalam waktu yang bersamaan
(Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan adalah korelasional deskriptif
yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu
hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada yang bertujuan
mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).
B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelilitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik,


Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan
tanggal 04 April 2013.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang


diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur 1-4
tahun yang terdaftar di Puskesmas Ngaglik I terhitung dari tanggal 18 Maret 2013
sampai dengan tanggal 04 April 2013 yang berdomisili di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang
berjumlah 37 orang.

2. Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini
adalah total populasi yang berjumlah 37 orang.

3. Tehnik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan
ada atau tersedia (Notoatmodjo, 2005).

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam
penelitian ini adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono,
2010). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA).

E. Definisi Operasional

1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).

Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah


dikategorikan:

a. Baik : 7-9
b. Sedang : 4-6
c. Buruk : 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas
medis lainnya di Puskesmas Ngaglik I.

F. Tehnik Pengumpulan Data

Data diperoleh langsung oleh peneliti yang diawali dengan informed consent dengan
menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita 1-
4 tahun yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang
didapatkan dari Puskesmas Ngaglik I.
G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti
lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam
penelitian ini berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas
ventilasi rumah dan hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan
dan lux meter untuk mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah
(Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa
check list yaitu suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau
identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2005).

H. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan data
Menurut Setyadi (2009), pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan
rumus tertentu sehingga menhasilkan informasi yang diperlukan. Pengolahan data
dilakukan dengan cara mengolah hasil check list yang telah diisi oleh peneliti, kemudian
diolah dengan menggunakan komputer. Pengolahan meliputi:

a. Editing
Editing adalah memeriksa seluruh pernyataan dan pertanyaan yang sudah
diisi oleh peneliti. Jika terdapat kekeliruan, check list belum diisi atau
pengisian yang tidak sesuai dengan petunjuk akan diperbaiki dengan
mengulang, sehingga data yang dimasukkan dalam komputer adalah data yang
benar.
b. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden
ke dalam kategori dengan memberikan tanda atau simbol untuk memudahkan
pengolahan data, kemudian dilakukan skoring. Dalam hal ini peneliti
memberikan skor pada masing-masing variabel.
c. Entry data
Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan
dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang dimasukkan
melalui pengolahan dalam komputer.
d. Tabulating
Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan
pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang
dijadikan dasar pertimbangan dalam pemberian predikat sesuai ketentuan. Data
yang ditabulasi kemudian dianalisis.

2. Rencana Analisis Data


Hasil pengolahan data di analisis dengan uji statistik yaitu menggunakan
Analisis Univariat dan Bivariat .

a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
variabel terikat yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi
lingkungan rumah dari hasil penelitian. Pada umumnya analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel terikat (dependent) dan variabel bebas
(independent) yaitu hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian
ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis bivariat yaitu dengan menguji
masing-masing variabel dengan menggunakan program komputer.
Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan
hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95% :
1) Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2) Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

I. Jalannya Penelitian

1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal
penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.


b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d. Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I,
Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
e. Menyusun proposal penelitian.
f. Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
g. Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
h. Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:
a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
b. Mengajukan izin penelitian.
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
d. Memberikan informed consent.
e. Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
f. Melakukan pengolahan data.
g. Menganalisis data.
3. Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
a. Menyimpulkan hasil penelitian.
b. Membuat laporan hasil penelitian.
c. Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
d. Melaksanakan seminar hasil penelitian.
e. Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
f. Pengumpulan hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media


Promosi Kesehatan Indomesia No XIV.

Ambarwati. (2007). Cara-Cara Membuat Rumah Sehat. Jakarta: Arsitek.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.

Azwar. (1990). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.

BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Budiarto. (2007). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Dachroni. (2003). Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Jakarta: Media


Promosi Kesehatan Indonesia No XIV.

Departemen Pekerjaan Umum. (1985). Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat.


Jakarta: Dinas Cipta Karya.

Depkes RI. (2010). Riskesdas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dinkes Kabupaten Sleman. (2011). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.


Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

Dinkes Provinsi DIY. (2010). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta:


Dinas Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman. (2008). Informasi


Penyehatan Lingkugan Pemukiman. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gunawan. (1999). ISPA pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: Dinkes


Provinsi DIY.

Hindarto, P. (2007). Inspirasi Rumah Sehat di Perkotaan. Yogyakarta: Andi Offset.

Hull, D. (2008). Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.


Iswarini, W. (2006). Rumah Sebagai Tempat Tinggal yang Nyaman. Bandung: PT
Cipta Karya.

Juwati, S. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penanganan Penyakit ISPA


di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta.

Kartasasmita, B, C. (2010). Pneumonia Pembunuh Nomor 1. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kasjono, S, H. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta: Gosyen.

Keman, P. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Social Ekonomi Terhadap


Kejadian ISPA Pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di
Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali.

Kemenkes RI. (2010). Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

(2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Indonesia.

Kumolowati, dkk. (2011). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta:


Dinas Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Kusbiyantoro. (2009). Pedoman pengendalian ISPA. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Nelson, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.


Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

(2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta: SalembaMedika.

Ranuh. (2001). Penanganan Penyakit Menular Pada Anak. Jakarta: EGC.

Said, M. (2010). Pengendalian ISPA Dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta:


menrian Kesehatan Republik Indonesia.

Sanropie. (1989). Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta.

Setyadi. (2009). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Slamet, S, J. (2009). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University press.

Somantri, S. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.


Suharmadi. (2002). Lingkungan Rumah Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Sukar. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA.


Bandung: Buletin Penelitian Kesehatan.

Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Supriyanto, J, K. (2008). Hubungan Antara Kondisi Fisik Kamar Hunian Dengan


Kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara.
Yogyakarta.

Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Penulis Penebar Swadaya. (2008). Penanganan dan Pengelolaan Sampah.


Jakarta: Penebar Swadaya.

Weber, M. (2011). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia .

Wong, dkk. (1991). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

(2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jajarta: EGC.

World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and
Control of Pneumonia. Ge-neva: WHO.
(2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah
Sakit Negara Berkembang. Jakarta: Depkes RI.

Diposkan 20th April 2013 oleh charles tonjo

Tambahkan komentar

2.

Apr

20

sriktur uretra

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat diselesaikan.

Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat sebagai tugas dalam

mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.


Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun

literature. Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya untuk memenuhi

persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami

susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari

Asuhan Keperawatan Medikal Bedah khususnya dalam kasus orang yang mengalami

hidronefrosis.

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Perawat masa kini dituntut untuk menggunakan metode pendekatan pemecahan

masalah (problem solving approach) didalam memberikan Asuhan Keperawatan

kepada klien. Dalam kegiatan sehari-hari perawat sebagai anggota masyarakat dan

juga sebagai tenaga kesehatan dapat menemukan berbagai masalah yang dialami

pasien yang harus segera mendapat pertolongan.

Salah satu masalah kesehatan klien adalah hidronefrosis. Hidronefrosis

merupakan salah satu penyakit sistem genitourinarius yang dijumpai di masyarakat.

Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal

akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik

sehingga tekanan diginjal meningkat. Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau

kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi

terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal

yang rusak.

Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut

dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja

disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan

piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal

kronik akan muncul. Klien akan merasa nyeri dan panas saat miksi atau BAK.
Untuk mencegah hidronefrosis dapat dilakukan dengan mengonsumsi air putih

sesuai kebutuhan tubuh secara teratur.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui

gambaran umum tentang penyakit hidronefrosis.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengertian hidronefrosis.

b. Untuk mengetahui tanda dan gejala hidronefrosis serta patofisiologinya.

c. Mengetahui manifestasi klinis tentang hidronefrosis

d. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan dari

hidronefrosis.

e. Mampu melakukan Asuhan Keperawatan yang komprehensif untuk pasien

dengan penyakit hidronefrosis.


BAB II

TINAJUAN TEORI

A. Pengertian

Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal

akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik

sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).

Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih

dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter

yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).

Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan

mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat

adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

B. Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran

kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-

negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya

Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.

C. Anatomi-Fisiologi Organ terkait


D. Etiologi

1. Jaringan parut ginjal/ureter.

2. Batu

3. Neoplasma/tomur

4. Hipertrofi prostat

5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra

6. Penyempitan uretra

7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).

E. Patofisiologi

Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik sehingga

tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih,

tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi terjadi di salah

satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal yang rusak.

Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di
piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan

oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat obses atau

inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat

dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah yang

menyebabkan ureter kaku.

Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung

kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan

akibat pembesaran uterus. Apapun penyebabnya adanya akumulasi urine di piala

ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini, atrofi ginjal

terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap maka ginjal yang lain

akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori) akhirnya fungsi renal

terganggu (Smeltzer, 2001).

F. Manifestasi Klinis

Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut

dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja

disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan

piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal

kronik akan muncul, seperti:

1. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).

2. Gagal jantung kongestif.


3. Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi).

4. Pruritis (gatal kulit).

5. Butiran uremik (kristal urea pada kulit).

6. Anoreksia, mual, muntah, cegukan.

7. Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.

8. Amenore, atrofi testikuler. (Smeltzer dan Bare, 2002)

G. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis:

1. Urinalisis :

a. Warna, kejernihan & bau urine

b. Keasaman (Ph) & berat jenis urine

c. Protein, glukosa, badan keton dalam urine

d. Sedimen urine : Erytrosit, leukosit, silinder, kristal, pus & bakteri

2. Blood Study :

a. Complete blood count :


1) Leukosit : meningkat pada infeksi, peritonitis

2) Erytrosit, HB, HMT : menurun pada CKD

b. Protein serum : menurun pada nepritis

c. Uric acid : meningkat pd kerusakan fungsi renal,kerusakan absorbsi tubuler.

d. BUN (Blood Urea Nitrogen) : meningkat pada glomerulonefritis, obstruksi

tubuler, obstruksi uropati, sindrome nefrotik

e. Kreatinin serum : meningkat pada insufisiensi ren

3. Imaging Studies:

a. CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non invasif

untukmemberikan gambaran penampang ginjal & saluran kemih yang sangat

jelas

b. IVP (intravenous Pyelogram) : visualisasi ginjal,ureter& vesika urinaria dg

memasukanmedia kontras radiopaquemelalui intra vena kmd dilakukan foto

rontgent

4. Voiding Cystourethrogram :

a. Memasukkanmedium kontras ke dalambladder dengan tekanan syringe

kemudian dilakukan pengambilan gambar dengan fluoroskopi.


b. Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,

vesikoureteral refluk

5. USG : Mengetahui akumulasi cairan,massa, malformasi, perubahan ukuran

organ(renal hypertropi), urinary obstruksi, lesi renal (abces, kista, batuginjal)

H. Komplikasi

1. Gagal ginjal

2. Batu saluran kemih

I. Penatalaksanaan

Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari

hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan serta melindungi fungsi

ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan nefrostomi

atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti mikrobial karena sisa

urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien disiapkan

untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika

salah satu fungsi ginjal rusak parah dan hancur maka nefrektomi (pengangkatan

ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan Bare, 2002).


1. Pada hidronefrosis akut:

a. Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,

maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan

(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).

b. Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu, maka

bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.

2. Hidronefrosis kronis diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi

penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat

melalui pembedahan dan ujung-ujungnya disambungkan kembali.

a. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk membebaskan ureter dari

jaringan fibrosa.

b. Jika sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan

pembedahan untuk melepaskan ureter dan menyambungkannya kembali di

sisi kandung kemih yang berbeda.

c. Jika uretra tersumbat, maka pengobatannya meliputi:

1) Terapi hormonal untuk kanker prostat

2) Pembedahan

3) Melebarkan uretra dengan dilator.


J. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas

Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk

rumah sakit, alamat, suku, nomor registrasi, diagnosa medis.

2. Keluhan utama

Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah

tembus pinggang.

3. Riwayat penyakit sekarang

Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi atau

memperberat keluhan sehingga di bawa ke RS.

4. Riwayat penyakit dahulu

Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit yang

berkenaan dengan saluran perkemihan ataupun penyakit lainya.

5. Riwayat penyakit keluarga


Keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan Kx atau tidak atau

penyakit menurun atau menular lainnya.

6. Pola-pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Tanggapan px mengenai kesehatan dan kalau sakit di bawa kemana

pemakaian obat-obatan dibeli dari apotik atau toko sesuai dengan resep

dokter.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Meliputi keteraturan makan Kx dan Kx biasanya mengalami gangguan

kebutuhan nutrisi karena merasa mual.

c. Pola aktivitas

Kx biasanya membatasi gerakannya karena merasa nyeri pada perut bawah

dan pinggang.

d. Pola persepsi dan kognitif

Mengenai persepsi Kx tentang penyakit yang menimpanua dan sejauh mana

Kx mengetahui penyakit dan kesehatannya.

e. Pola tidur dan istirahat


Biasanya Kx mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tidur karena

nyeri yang timbul dan rasa cemas atas apa yang diderita.

f. Pola persepsi diri

Adanya perasaan cemas, takut dan khawatir dengan apa yang akan

dijalaninya.

g. Mekanisme koping

Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan siapa

saja Kx mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

h. Pola eliminasi muksi dan defekasi

Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan BAK

terganggu.

i. Pola reproduksi dan sexual

Menikah atau tidak serta jumlah anak

j. Pola hubungan dan peran

Hubungan biasanya tidak mengalami gangguan

7. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum
Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan

BAK.

b. Kepala dan leher

Tidak mengalami gangguan.

c. Dada dan abdomen

Meliputi bentuk, nyeri tekan pada abdomen

d. Sistem respirasi

Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan

bantu pernafasan, suara nafas tambahan.

e. Sistem kardiovakuler

Biasanya tidak mengalami gangguan

f. Sistem perkemihan

Meliputi adanya gangguan : keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang timbul.

g. Sistem pencernaan

Meliputi adanya mual, muntah.

h. Sistem muskuloskeletal
Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.

K. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

1. Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan

cairan.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit

3. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologis

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.

BAB III
TINJAUAN KASUS

Contoh Kasus

Hidronefrosis karena batu ureter

Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian bawah

terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5). Pasien

mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri pinggang kiri

2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan cemas. Turgor kulit

tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien mengatakan tidak

nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut akan penyakitnya dan

sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak.

Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya.

Pada pemeriksaan fisik : komposmentis, TD 130/90 mmHg, N 110 x/mnt, RR 25 x/mnt,

S 37 oC konjungtiva pucat.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Nama Perawat : Ayup


Tanggal Pengkajian : 15 November 2012

Jam pengkajian : 08.30 WIB

A. Biodata :

Pasien

Nama : Tn. A

Umur :46 th

Agama :Islam

Pendidikan :SMA

Pekerjaan :Wiraswasta

Status Pernikahan :Menikah

Alamat :Jl solo, No 24 Janti

Tanggal masuk RS :13 November 2012

Diagnosa Medis :Hidronefrosis

Penanggung Jawab

Nama :Ny. B
Agama :Islam

Pendidikan :S1

Pekerjaan :PNS

Status Pernikahan :Menikah

Alamat :Jl Solo, No 24 Janti

Hubungan dengan klien :Istri klien

B. Keluhan utama

Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).

C. Riwayat kesehatan

1. Riwayat penyakit sekarang:

Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien juga

mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).
2. Riwayat Penyakit Dahulu:

Klien mengatakan sebelumnya mengalami nyeri pingang kiri serta hermaturia..

3. Riwayat Penyakit Keluarga:

Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit seperti yang

dialaminya.

D. GENOGRAM

Keterangan:
: Laki-laki meninggal

: Laki-laki

: Perempuan meninggal

: Perempuan

: Pasien

: Tinggal serumah

E. Basic Promoting physiology of Health

1. Aktivitas dan latihan

Klien bekerja sebagai wiraswasta. Klien jarang melakukan olahraga dalam

sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun

setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah sakit

kemampuan ADL klien masih aktif .

2. Tidur dan istirahat


Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur siang.

Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna cemas

terhadapa penyakit yang dideritanya. Klien mengeluh kesulitan tidur menjelang

tidurnya.

3. Kenyamanan dan nyeri

a. Nyeri profokatif = nyeri pada saat melakukan aktifitas

Paliatif = posisi semi fowler setelah miksi

b. Quality : seperti tertusuk-tusuk

c. Region : perut kiri bagian bawah, pingang kiri.

d. Scale : skala 5

e. Time : pada saat miksi

4. Nutrisi

Selera makan pasien berkurang,ia hanya mengahabiskan 1/3 porsi makannya.

Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak menghabiskan

porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan 170 cm. IMT =

BB / (Tinggi badan(m))2 = 50 kg / (1.7 m)2 = 17.3. Berarti pasien tergolong kurus.


5. Cairan, elektrolit dan asam basa

a. Frekuensi minum : Konsumsi air/hari : 800 cc/hari

b. Turgor kulit : Tidak elastik

c. Support IV Line : Ya

IWL selama 24 jam

= 15 cc per kg BB

= 15 x 50

= 750 cc

Urine ouput = 25cc x 24 jam = 600 cc

IV line = 250cc/hari

Balance cairan = input – output

= (800 + 250) – ( 750 + 600 )

= 1050 – 1350

= 300 cc

6. Oksigenasi

Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.

Tidak nyeri dada, dan klien perokok pasif.

7. Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,

feses klien berwarna kuning dengan konsitensi lunak. Kebutuhan pemenuhan

ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.

8. Eliminasi urin

Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau 600

cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas (amoniak), dan

klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien menggunakan kateter dan

kebutuhan pemenuhan ADL bladder klien adalah aktif.

9. Sensori, persepsi dan kognitif

Tidak ada gangguan penglihatan, pendengaran, penciuman, sensasi taktil,

dan pengecapan. Klien tidak ada riwayat penyakit sensori persepsi dan kognitif.

F. Pemeriksaan Fisik :

1. Keadaan Umum :

Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign :

TD : 130/90 mmHg,
Nadi : 110 x/mnt,

Irama : ireguler

Respirasi frekuensi : 25 x/mnt,normal

Suhu : 37 oC

2. Kepala :

Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak

rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah oval.

Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak ikterik), kornea

: keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan ( + ) dan kiri ( +),

palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki 6/6.Keadaan hidung ;

tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada polip, tidak ada sputum

deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan telinga ; ki/ka simetris, tidak

ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri tekan. Keadaan mulut ; gigi

normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu, bersih dan tidak ada caries gigi.

Mukosa bibir pucar dan kering.

3. Leher : Normal, Tidak ada pembesaran thyroid, tidak kaku

kuduk,

4. Tenggorokan : Refleks menelan baik

5. Bentuk dada : datar


6. Pulmo:

Inspeksi :Pengembangan dada simetris, warna kulit normal, retraksi dada,

tidak ada penggunaan otot bantu napas.

Palpasi :Fremitus taktil ka/ki : Fremitus kanan = premitus kiri sama, tidak

ada benjolan

Perkusi :Sonor

Auskultasi :Suara nafas Bronkial lokasinya di sterni atau scapulae, vesikuler

lokasinya di semua bagian paru yang jauh dari trachea dan bronkhi

besar dan bronkovesikuler lokasinya di percabangan bronkus dan

trakhea

7. Cor:

Inspeksi :-

Palpasi : Ictus cordis : Normal ( teraba pada inter costa ke- 5)

Perkusi : batas jantung : Normal (costa ke1 – costa ke inter costa ke5)

Bunyi : pekak

Auskultasi :Bunyi jantung tunggal

8. Abdomen:

Inspeksi : Normal, bentuk datar, tidak ada hematome, tidak ada luka, tidak

ada bekas operasi.


Palpasi : nyeri tekan pada abdomen sebelah kiri bawah.

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Peristaltik : 15x/mnt

10 Genetalia

Pria : tidak ada benjolan, tidak ada tumor maupun hernia

Rectum :Tidak ada Hemoroid dan tidak ada Tumor

11 Psiko Sosio Budaya Dan Spiritual :

a. Psikologis :Klien mengalami kecemasan setelah mendapat penyakitnya karna

klien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun Klien berencana

jika penyakitnya telah sembuh klien akan menjaga kesehatan dengan

melakukan banyak minum.

b. Sosial :Gaya klien dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia,

nada bicara klien sopan, pola interaksi sangat baik dengan perawat, dan

kooperatif dengan keluarga, masyarakat, dan perawat.

c. Budaya :Budaya yang diikuti pasien adalah budaya Jawa dan tidak ada

kebiasaan atau kebudayaan yang dianut klien merugikan kesehatan.

d. Spiritual :Aktivitas ibadah sehari-hari klien adalah Sholat, kegiatan

keagamaan yang biasa dilakukan adalah mengaji, dan klien menganggap

penyakitnya merupakan sebuah ujian dan berusaha untuk tegar

menghadapinya.
ANALISA DATA

Nama klien : Tn. A No. Register : 08130430


Umur : 46 th Diagnosa Medis: Hidronefrosis
Ruang Rawat : Melati I Alamt : Jl Solo No 24,Janti, sleman, Yogyakarta.

TGL/JAM DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM


15-11-2012 DS: Adanya sumbatan Gangguan
07.00 keseimbangan cairan
 Klien mengatakan tidak nafsu
makan dan minum serta BAK
sedikit.

DO:

 TD : 130/90 mmHg

 Nadi: 110 x/mnt

 Suhu: 37 oC

 RR : 25x/mnt

 Turgor kulit tampak tidak


elastis dan mukosa mulut klien
terlihat kering

 Balance cairan = input –


output = 300 cc per hari

 Urin bewarna merah, bau


khas, dan terasa panas saat
miksi.

15-11-2012 DS: Agen injuri biologi Nyeri akut


07.05
 Klien mengeluh perut kiri
bagian bawah terasa nyeri
sejak 1,5 bulan dengan Skala
nyeri 5.
 Klien mengatakan nyeri
pinggang kiri sejak 2,5 bulan
yang lalu.

DO:

 TD : 130/90 mmHg

 Nadi: 110 x/mnt

 RR: 25x/mnt

 Suhu: 37 oC

15-11-2012 DS : Kurangnya informasi Ansietas


07.10 tentang proses penyakit
 Klien merasa takut dan sering
menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa
disembuhkan atau tidak
 Klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya

DO :
 klien tampak pucat dan
cemas
 N: 110x/menit
 TD : 130/90 mmHg

 RR 25 x/mnt
 Suhu : 37 oC

Prioritas diagnosa keperawatan:

1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan ditandai

klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :

130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis dan

mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc per hari.

Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien

mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri 5.

Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi: 110

x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit yang

ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya apakah

penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur karena

sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan cemas. N:

110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.

RENCANA TINDAKAN
Nama klien : Tn. A No. Register : 08130430
Umur : 46 th Diagnosa Medis : Hidronefrosis
Ruang Rawat : Melati I Alamat : Jl Solo No 24, Janti
Sleman, Yogyakarta.

N Dx Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi Nama/


o TTD
1 Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Dengan memonitor Charles
keseimbanga tindakan keperawatan TTV dapat
n cairan kepada Tn.A selama mengetahui
berhubungan perkembangan
3x24 jam klien akan
dengan 2. Pantau intake dan output pasien
adanya menunjukkan tidak ada klien 2. Dengan pantauan
sumbatan tanda-tanda gangguan intake dan output
keseimbangan cairan perawat bisa
dengan kriteria hasil: mengetahui apakah
 Nafsu makan dan 3. Kolaborasi untuk asupan cairan sama
pemberian antidiuretik dengan cairan yang
minum serta BAK dikeluarkan
kembali normal. 3. Dengan kolaborasi
pemberian
 TD : 120/80 mmHg antidiuretik
diharapkan urin bisa
 Nadi: 60-100x/mnt
keluar dengan
lancar sehingga
 Suhu: 37 oC
mengurangi adanya
edema.
 RR : 16-24x/mnt

 Turgor kulit tampak


elastis dan mukosa
mulut klien terlihat
lembab

 Balance cairan input


dan output kembali
normal
 Urin bewarna jernih,
tidak berbau khas, dan
tidak terasa panas pada
saat miksi.

2 Nyeri Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Mengetahui keadaan charles


berhubungan tindakan keperawatan umum klien dan
dengan Agen kepada Tn. A selama mengidentifikasi
adanya
injuri 3x 24 jam diharapkan
penyimpanan respon
biologis. nyeri yang dirasakan nyeri pada tubuh
klien berkurang dengan2. Kaji tingkat nyeri pasien
criteria hasil: 2. dengan mengkaji
 Klien tidak mengeluh tingkat nyeri
perawat bisa
nyeri perut kiri bagian mengetahui skala
bawah 3. Atur posisi tidur Klien dan kualitas nyeri
senyaman mungkin 3. dengan mengatur
 Klien tidak mengeluh posisi nyaman pada
pinggang bagian kiri klien diharapkan
mengurangi
 TD : 120/80 mmHg4. Anjarkan klien teknik penekanan pada
relaksasi dan distraksi daerah nyeri.
 Nadi: 60-100x/mnt 4. dengan tehnik
relaksasi dan
 RR: 16-24x/mnt 5. Kolaborasi dengan tim distraksi dapat
medis dalam pemberian meminimalisir nyeri
 Suhu: 37 oC analgetik yaitu asam yang dirasakan
efenamat 2x 1 / hari pasien
5. dengan pemberian
analgetik dapat
menekan rasa nyeri.

3 Ansietas Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Untuk mengetahui berat charles


berhubunga tindakan keperawatan kecemasaan ringannya kecemasan
n dengan kepada Tn. A selama 1x klien sehingga dapat
ditentukan tindakan yang
kurangnya 24 jam diharapkan klien
2. Beri kesempatan sesuai untuk klien.
informasi tidak cemas lagi dengan klien untuk 2. Dengan memberikan
tentang kriteria hasil : mengungkapkan kesempatan pada klien
proses perasaannya. untuk mengungkapkan
penyakit.  Klien sudah tidak cemas perasaannya, klien
diharapkan mempunyai
lagi semangat dan mau
3. Beri penjelasan berempati terhadap
 Klien bisa tidur dengan kepada keluarga pengobatannya.
aman dan nyaman dan pasien tentang3. Dengan memberikan
penyakitnya. penjelasan tentang
 N: 60-100x/menit penyakit kepada klien
 TD : 120/80 mmHg dan keluarga dapat
meningkatkan
 RR: 16-24x/mnt pemahaman mereka
sehingga dapat
 Suhu : 37 oC mengurangi kecemasan.

CATATAN PERKEMBANGAN

Nama klien: Tn. A

Umur : 46 th Diagnosa Medis: Hidronefrosis


Ruang : Melati I Alamat: Jl Solo No 24, Janti
sleman, Yogyakarta.

HARI I

No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/


TTD
1 15-11-2012 09.00 1. Monitor TTV Pukul 11.00 WIB Charles
S:-
O:TD: 130/90 mmHg, Nadi: S: klien mengatakan BAKnya
110 x/mnt, RR :25x/mnt,
belum lancar dan tidak
Suhu: 37 oC
2. Memantau intake dan terasa panas lagi waktu
output klien miksi
S:klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb O: tugor kulit tanpak tidak
09.30 O:intake dan output belum elastis dan mukosa mulut
seimbang kering. urin bewarna merah
3. Memberikan obat diuresis
muda, sedikit berbau khas.
S:klien menayakan kegunaan
obat tsb Balance urin input-output
O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
yang diberikan 130/90 mmHg, Nadi: 110
x/mnt, RR: 25x/mnt, Suhu:
37 oC

10.00 A : tujuan belum tercapai

P : intervensi 1,2, dan 3


dilanjutkan
2 15-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Vian
S:-
O : TD: 130/90 mmHg, Nadi: S : klien mengatakan masih
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
terasa nyeri di perut bagian
Suhu: 35 oC
2. kaji tingkat nyeri bawah saat berkemih. klien
S : klien mengatakan skala mengatakan skala nyerinya
nyerinya 5 5
O: klien terlihat sedikit pucat
09.25 dan gelisah. O :TD: 130/90 mmHg, Nadi:
3.Atur posisi tidur pasien 110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
senyaman mungkin
Suhu: 35 oC
S: klien mengatakan posisi
tidurnya kurang nyaman A : tujuan belum tercapai
O: mengatur posisi pasien
semi fowler dan pasien P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4
tampak lebih nyaman dan 5
10.00
dengan posisi tersebut
4. Anjurkan klien untuk
teknik relaksasi( napas
dalam) dan distraksi
S: pasien mengatakan otot-
ototnya terasa tegang dan
nyeri
O: perawat mengajarkan
tehnik relaksasi napas
dalam dan distraksi kepada
pasien.

10.30
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

11.00
3 15-11-2012 09.30 1. Mengkaji tingkat Pukul 11.00 WIB Ayub
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
tampak pucat. pengetahuan tentang
2. Memberi kesempatan penyakitnya. klien
klien untuk mengatakan sudah tidak
mengungkapkan cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
10.00 O: klien tampak bingung gelisah lagi. Klien terlihat
3. Beri penjelasan kepada tidur dengan nyaman.
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya. A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
10.30
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.

11.00
HARI II

No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/TT


D
1 16-11-2012 09.00 1. Monitor TTV Pukul 11.00 WIB Charles
S:-
O: TD : 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR
sedikit lancar dan tidak
:24x/mnt, Suhu: 37 oC
2. Memantau intake dan terasa panas lagi waktu
output klien miksi
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb O: tugor kulit tanpak sedikit
O: intake dan output elastis dan mukosa mulut
09.30 belum seimbang sudah lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
merah muda, tidak berbau.
diuresis
S:- Balance urin input-output
O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
yang diberikan 120/80 mmHg, Nadi: 100
x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu:
37 oC

A : tujuan tercapai sebagian

P : intervensi 1,2, dan 3


10.00 dilanjutkan

2 16-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Vian


S:-
O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sedikit
100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
terasa nyeri saat berkemih,
Suhu: 37 oC
2. kaji tingkat nyeri klien mengatakan skala
S : klien mengatakan skala nyerinya 4
nyerinya 4
O: pasien terlihat tenang O :pasien terlihat segar
09.25 3. Atur posisi tidur pasien TD: 120/80 mmHg, Nadi:
senyaman mungkin 100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
S: pasien mengatakan posisi
Suhu: 37 oC
tidurnya sudah nyaman
dengan posisi semi
fowler. A : tujuan tercapai sebagian
O: pasien terlihat tenang
4. Anjurkan klien untuk P : lanjutkan intervensi 1,2,4
dan 5
10.00 teknik relaksasi napas
dalam dan distraksi
S: pasien mengatakan otot-
ototnya sudah rileks
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang.
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S:-
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

10.30

11.00
HARI III

No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/TT


D
1 17-11-2012 09.00 1. Monitor TTV Pukul 11.00 WIB Charles
S:-
O: TD : 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR
sudah lancar dan tidak
:22x/mnt, Suhu: 37 oC
2. Memantau intake dan terasa panas lagi waktu
output klien miksi
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb O: tugor kulit elastis dan
O: urin output normal 0,8 mukosa mulut sudah
09.30 cc/kgBB/jam lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
kuning, tidak berbau.
diuresis
S:- Balance urin output sudah
O:klien terlihat minum obat seimbang 0,8 cc/kgBB/jam.
yang diberikan TD: 120/80 mmHg, Nadi:
100 x/mnt, RR: 23x/mnt,
Suhu: 37 oC

A : tujuan tercapai

P : pertahankan intervensi
10.00
2 17-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Ayub
S:-
O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
2. kaji tingkat nyeri berkemih,
S : klien mengatakan skala klien mengatakan skala
nyerinya 3 nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk O :pasien terlihat segar
09.25 teknik relaksasi napas TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan otot-
ototnya sudah rileks Suhu: 37 oC
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang. A : tujuan tercapai
4. Memberikan analgesic
(asam mefenamat) P : pertahankan intervensi
10.00 S: -
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

10.30
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan

diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini

adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu mulai dari pengkajian, diagnose

keperawatan, perencanaan ,pelaksanaan dan evaluasi.


Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal

akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik

sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).

Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih

dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter yang

dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).

Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan

mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya

batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

A. Pengkajian

Proses pengkajian terhadap klien dengan hidronefrosis adalah dengan cara

wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu

perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di ruangan

dan dokter serta data-data yang ada di catatan medis klien.

Pelaksanaan pengkajian mengacu pada teori , akan tetapi di sesuaikan dengan

kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga cukup

terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga dan

perawat sehingga mempermudah perawat dalam mengkaji klien dan dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab

pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat pada

saat pengkajian hidronefrosis pada Tn. A


Kesadaran: klien dalam kesadaran kompos mentis

Tekanan darah : 130/90 mmhg

Suhu : 37°C

Nadi : Frekuensi : 110 x/menit

Irama : Tidak teratur

Kedalaman : Teraba jelas.

Pernafasan : Frekuensi : 25 x/menit

Irama : Teratur

Dari data yang terkumpul kemudian di lakukan analisa dan identifikasi masalah

yang di hadapi oleh klien yang merupakan data focus dan selanjutnya di tentukan

diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan kasus tidak ada

kesenjangan.

B. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah :

1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan ditandai

klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :

130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc

per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien

mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri

5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:

110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit yang

ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya

apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur

karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan

cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.

Setelah diagnosa atau masalah keperawatan ditegakkan selanjutnya di lakukna

pembuatan rencana tindakan dan kriteria hasil utnuk mengatasi masalah

keperawatan yang ada pada klien.

C. Perencanaan

Perencanaan dalam proses keperawatan dimulai setelah data terkumpul,

dikelompokan, dianalisa, dan ditetapkan masalah keperawatan. Perencanaan disusun

berdasarkanm prioritas masalah yang disesuaikan dengan kondisis klien. Setelah

masalah di tentukan berdasarkan prioritas, tujuan tindakan , dan criteria hasil

keperawatan di tentukan . Tujuan dan KH sebagai alat ukur untuk pencapaian tujuan

yang mengacu pada tujuan yang di susun pada rencana keperawatan harus bersifat

SMART. Pada penyusunan criteria hasil perawat menyesuaikan dengan waktu


pemberian perawatan yang di lakukan perawatan yaitu selaman 3x 24 jam.

perencanaan di buat pada Tn. A dengan masalah utama Gangguan keseimbangan

volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan pada Tn. A adalah prioritas

utama , hal ini k arena dapat menyebabkan kematian

D. Implementasi atau Pelaksanaan

Setelah rencana keperawatan di buat, kemudian dilanjutkan dengan

pelaksanaan. Perlaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan atau

tindakan yang diberikan pada Tn. A dengan menerapkan pengetahuan dan

kemampuan klinik yang dimiliki oleh perawat berdasarkan ilmu-ilmu

keperawatan dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait. seluruh perencanaan tindakan

yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung oleh perawat

yang kompeten di bidangnya.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan

keperawatan. Hambatan-hambatan itu antara lain keterbatasan sumber referensi

buku sebagai acuan perawat dan juga alat yang tersedia.

E. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses kerperawatan. Tujuan tahap

evaluasi adalah untruk memberikan umpan balik rencana keperawatan, menilai,

meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan asuhan

keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah di tetapkan

lebih dulu.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hidronefrosis adalah penggembungan ginjal akibat tekanan balik terhadap ginjal

karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya

sumbatan pada sambungan ateropelvik yang meliputi : kelainan struktural, lilitan

pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu juga, hidronefrosis bisa

terjadi akibat adanya penyumbatan di bawah sambungan uretropelvik atau karena

arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi : batu di dalam ureter, tumor

di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi klinik : nyeri, demam, mual dan

muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa di daerah antara tulang rusuk dan

tulang pinggul, USG, urografi, laboratorium. Penatalaksanaan meliputi :

penatalaksanaan pada hidronefrosis akut dan hidronefrosis kronis, prognosisnya,

pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil jika infeksi dapat dikendalikan dan

ginjal dengan baik. Untuk hidronefrosis kronik belum bisa dipastikan.


B. Saran

Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada makalah

ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC

D o e n g e , M a r i l y n n E . ( 1 9 9 9 ) . Rencana asuhan keperawatan: Pedoman


untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.

Price dan Sylvia. (1992). Patofisiologi edisi 4. Jakatya: EGC.

Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8

. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012

Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update :


November 2012.

Diposkan 20th April 2013 oleh charles tonjo

Tambahkan komentar

3.

Nov

29

ASKEP KMB: Asuhan keperawatan


dengan # FEMUR
ASKEP KMB: Asuhan keperawatan dengan # FEMUR: A. Pengertian. Suatu keadaan
diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia Anderson Price 1985). Fraktur
adalah terp...

Diposkan 29th November 2012 oleh charles tonjo

Tambahkan komentar

4.
Nov

29

askep pada orang hidronefritis

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

PADA Tn. A DENGAN HIDRONEFROSIS

Oleh:

CHARLES LEOPOLD S. TANJO (08130461)


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

(UNRYO)

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat diselesaikan.

Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat sebagai tugas dalam

mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.

Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun

literature. Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya untuk memenuhi

persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami

susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah khususnya dalam kasus orang yang mengalami

hidronefrosis.

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perawat masa kini dituntut untuk menggunakan metode pendekatan pemecahan

masalah (problem solving approach) didalam memberikan Asuhan Keperawatan

kepada klien. Dalam kegiatan sehari-hari perawat sebagai anggota masyarakat dan

juga sebagai tenaga kesehatan dapat menemukan berbagai masalah yang dialami

pasien yang harus segera mendapat pertolongan.

Salah satu masalah kesehatan klien adalah hidronefrosis. Hidronefrosis

merupakan salah satu penyakit sistem genitourinarius yang dijumpai di masyarakat.

Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal

akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik

sehingga tekanan diginjal meningkat. Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau

kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi

terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal

yang rusak.

Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut

dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja

disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan

piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal

kronik akan muncul. Klien akan merasa nyeri dan panas saat miksi atau BAK.

Untuk mencegah hidronefrosis dapat dilakukan dengan mengonsumsi air putih

sesuai kebutuhan tubuh secara teratur.


B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui

gambaran umum tentang penyakit hidronefrosis.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengertian hidronefrosis.

b. Untuk mengetahui tanda dan gejala hidronefrosis serta patofisiologinya.

c. Mengetahui manifestasi klinis tentang hidronefrosis

d. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan dari

hidronefrosis.

e. Mampu melakukan Asuhan Keperawatan yang komprehensif untuk pasien

dengan penyakit hidronefrosis.


BAB II

TINAJUAN TEORI

A. Pengertian

Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal

akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik

sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).

Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih

dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter

yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).

Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan

mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat

adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

B. Epidemiologi

Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran

kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-

negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya

Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.


C. Anatomi-Fisiologi Organ terkait

D. Etiologi
1. Jaringan parut ginjal/ureter.

2. Batu

3. Neoplasma/tomur

4. Hipertrofi prostat

5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra

6. Penyempitan uretra

7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).

E. Patofisiologi

Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik sehingga

tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih,

tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi terjadi di salah

satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal yang rusak.

Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di

piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan

oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat obses atau

inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat

dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah yang

menyebabkan ureter kaku.


Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung

kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan

akibat pembesaran uterus. Apapun penyebabnya adanya akumulasi urine di piala

ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini, atrofi ginjal

terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap maka ginjal yang lain

akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori) akhirnya fungsi renal

terganggu (Smeltzer, 2001).

F. Manifestasi Klinis

Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut

dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maja

disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri dan

piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal ginjal

kronik akan muncul, seperti:

1. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).

2. Gagal jantung kongestif.

3. Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi).

4. Pruritis (gatal kulit).

5. Butiran uremik (kristal urea pada kulit).


6. Anoreksia, mual, muntah, cegukan.

7. Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.

8. Amenore, atrofi testikuler. (Smeltzer dan Bare, 2002)

G. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis:

1. Urinalisis :

a. Warna, kejernihan & bau urine

b. Keasaman (Ph) & berat jenis urine

c. Protein, glukosa, badan keton dalam urine

d. Sedimen urine : Erytrosit, leukosit, silinder, kristal, pus & bakteri

2. Blood Study :

a. Complete blood count :

1) Leukosit : meningkat pada infeksi, peritonitis

2) Erytrosit, HB, HMT : menurun pada CKD

b. Protein serum : menurun pada nepritis


c. Uric acid : meningkat pd kerusakan fungsi renal,kerusakan absorbsi tubuler.

d. BUN (Blood Urea Nitrogen) : meningkat pada glomerulonefritis, obstruksi

tubuler, obstruksi uropati, sindrome nefrotik

e. Kreatinin serum : meningkat pada insufisiensi ren

3. Imaging Studies:

a. CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non invasif

untukmemberikan gambaran penampang ginjal & saluran kemih yang sangat

jelas

b. IVP (intravenous Pyelogram) : visualisasi ginjal,ureter& vesika urinaria dg

memasukanmedia kontras radiopaquemelalui intra vena kmd dilakukan foto

rontgent

4. Voiding Cystourethrogram :

a. Memasukkanmedium kontras ke dalambladder dengan tekanan syringe

kemudian dilakukan pengambilan gambar dengan fluoroskopi.

b. Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,

vesikoureteral refluk

5. USG : Mengetahui akumulasi cairan,massa, malformasi, perubahan ukuran

organ(renal hypertropi), urinary obstruksi, lesi renal (abces, kista, batuginjal)


H. Komplikasi

1. Gagal ginjal

2. Batu saluran kemih

I. Penatalaksanaan

Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari

hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan serta melindungi fungsi

ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan nefrostomi

atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti mikrobial karena sisa

urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien disiapkan

untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika

salah satu fungsi ginjal rusak parah dan hancur maka nefrektomi (pengangkatan

ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan Bare, 2002).

1. Pada hidronefrosis akut:

a. Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,

maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan

(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).


b. Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu, maka

bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.

2. Hidronefrosis kronis diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi

penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat

melalui pembedahan dan ujung-ujungnya disambungkan kembali.

a. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk membebaskan ureter dari

jaringan fibrosa.

b. Jika sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan

pembedahan untuk melepaskan ureter dan menyambungkannya kembali di

sisi kandung kemih yang berbeda.

c. Jika uretra tersumbat, maka pengobatannya meliputi:

1) Terapi hormonal untuk kanker prostat

2) Pembedahan

3) Melebarkan uretra dengan dilator.

J. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk

rumah sakit, alamat, suku, nomor registrasi, diagnosa medis.

2. Keluhan utama

Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah

tembus pinggang.

3. Riwayat penyakit sekarang

Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi atau

memperberat keluhan sehingga di bawa ke RS.

4. Riwayat penyakit dahulu

Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit yang

berkenaan dengan saluran perkemihan ataupun penyakit lainya.

5. Riwayat penyakit keluarga

Keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan Kx atau tidak atau

penyakit menurun atau menular lainnya.

6. Pola-pola fungsi kesehatan


a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Tanggapan px mengenai kesehatan dan kalau sakit di bawa kemana

pemakaian obat-obatan dibeli dari apotik atau toko sesuai dengan resep

dokter.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Meliputi keteraturan makan Kx dan Kx biasanya mengalami gangguan

kebutuhan nutrisi karena merasa mual.

c. Pola aktivitas

Kx biasanya membatasi gerakannya karena merasa nyeri pada perut bawah

dan pinggang.

d. Pola persepsi dan kognitif

Mengenai persepsi Kx tentang penyakit yang menimpanua dan sejauh mana

Kx mengetahui penyakit dan kesehatannya.

e. Pola tidur dan istirahat

Biasanya Kx mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tidur karena

nyeri yang timbul dan rasa cemas atas apa yang diderita.

f. Pola persepsi diri


Adanya perasaan cemas, takut dan khawatir dengan apa yang akan

dijalaninya.

g. Mekanisme koping

Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan siapa

saja Kx mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

h. Pola eliminasi muksi dan defekasi

Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan BAK

terganggu.

i. Pola reproduksi dan sexual

Menikah atau tidak serta jumlah anak

j. Pola hubungan dan peran

Hubungan biasanya tidak mengalami gangguan

7. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan

BAK.

b. Kepala dan leher


Tidak mengalami gangguan.

c. Dada dan abdomen

Meliputi bentuk, nyeri tekan pada abdomen

d. Sistem respirasi

Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan

bantu pernafasan, suara nafas tambahan.

e. Sistem kardiovakuler

Biasanya tidak mengalami gangguan

f. Sistem perkemihan

Meliputi adanya gangguan : keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang timbul.

g. Sistem pencernaan

Meliputi adanya mual, muntah.

h. Sistem muskuloskeletal

Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.

K. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1. Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan

cairan.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit

3. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologis

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.

BAB III

TINJAUAN KASUS

Contoh Kasus
Hidronefrosis karena batu ureter

Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian bawah

terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5). Pasien

mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri pinggang kiri

2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan cemas. Turgor kulit

tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien mengatakan tidak

nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut akan penyakitnya dan

sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak.

Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya.

Pada pemeriksaan fisik : komposmentis, TD 130/90 mmHg, N 110 x/mnt, RR 25 x/mnt,

S 37 oC konjungtiva pucat.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Nama Perawat : Ayup

Tanggal Pengkajian : 15 November 2012

Jam pengkajian : 08.30 WIB

A. Biodata :
Pasien

Nama : Tn. A

Umur :46 th

Agama :Islam

Pendidikan :SMA

Pekerjaan :Wiraswasta

Status Pernikahan :Menikah

Alamat :Jl solo, No 24 Janti

Tanggal masuk RS :13 November 2012

Diagnosa Medis :Hidronefrosis

Penanggung Jawab

Nama :Ny. B

Agama :Islam

Pendidikan :S1

Pekerjaan :PNS
Status Pernikahan :Menikah

Alamat :Jl Solo, No 24 Janti

Hubungan dengan klien :Istri klien

B. Keluhan utama

Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).

C. Riwayat kesehatan

1. Riwayat penyakit sekarang:

Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien juga

mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).

2. Riwayat Penyakit Dahulu:

Klien mengatakan sebelumnya mengalami nyeri pingang kiri serta hermaturia..

3. Riwayat Penyakit Keluarga:


Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit seperti yang

dialaminya.

D. GENOGRAM

Keterangan:

: Laki-laki meninggal

: Laki-laki
: Perempuan meninggal

: Perempuan

: Pasien

: Tinggal serumah

E. Basic Promoting physiology of Health

1. Aktivitas dan latihan

Klien bekerja sebagai wiraswasta. Klien jarang melakukan olahraga dalam

sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun

setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah sakit

kemampuan ADL klien masih aktif .

2. Tidur dan istirahat

Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur siang.

Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna cemas

terhadapa penyakit yang dideritanya. Klien mengeluh kesulitan tidur menjelang

tidurnya.
3. Kenyamanan dan nyeri

a. Nyeri profokatif = nyeri pada saat melakukan aktifitas

Paliatif = posisi semi fowler setelah miksi

b. Quality : seperti tertusuk-tusuk

c. Region : perut kiri bagian bawah, pingang kiri.

d. Scale : skala 5

e. Time : pada saat miksi

4. Nutrisi

Selera makan pasien berkurang,ia hanya mengahabiskan 1/3 porsi makannya.

Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak menghabiskan

porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan 170 cm. IMT =

BB / (Tinggi badan(m))2 = 50 kg / (1.7 m)2 = 17.3. Berarti pasien tergolong kurus.

5. Cairan, elektrolit dan asam basa

a. Frekuensi minum : Konsumsi air/hari : 800 cc/hari

b. Turgor kulit : Tidak elastik

c. Support IV Line : Ya

IWL selama 24 jam


= 15 cc per kg BB

= 15 x 50

= 750 cc

Urine ouput = 25cc x 24 jam = 600 cc

IV line = 250cc/hari

Balance cairan = input – output

= (800 + 250) – ( 750 + 600 )

= 1050 – 1350

= 300 cc

6. Oksigenasi

Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.

Tidak nyeri dada, dan klien perokok pasif.

7. Eliminasi fekal/bowel

Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,

feses klien berwarna kuning dengan konsitensi lunak. Kebutuhan pemenuhan

ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.

8. Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau 600

cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas (amoniak), dan

klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien menggunakan kateter dan

kebutuhan pemenuhan ADL bladder klien adalah aktif.

9. Sensori, persepsi dan kognitif

Tidak ada gangguan penglihatan, pendengaran, penciuman, sensasi taktil,

dan pengecapan. Klien tidak ada riwayat penyakit sensori persepsi dan kognitif.

F. Pemeriksaan Fisik :

1. Keadaan Umum :

Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign :

TD : 130/90 mmHg,

Nadi : 110 x/mnt,

Irama : ireguler

Respirasi frekuensi : 25 x/mnt,normal


Suhu : 37 oC

2. Kepala :

Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak

rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah oval.

Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak ikterik), kornea

: keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan ( + ) dan kiri ( +),

palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki 6/6.Keadaan hidung ;

tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada polip, tidak ada sputum

deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan telinga ; ki/ka simetris, tidak

ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri tekan. Keadaan mulut ; gigi

normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu, bersih dan tidak ada caries gigi.

Mukosa bibir pucar dan kering.

3. Leher : Normal, Tidak ada pembesaran thyroid, tidak kaku

kuduk,

4. Tenggorokan : Refleks menelan baik

5. Bentuk dada : datar

6. Pulmo:

Inspeksi :Pengembangan dada simetris, warna kulit normal, retraksi dada,

tidak ada penggunaan otot bantu napas.


Palpasi :Fremitus taktil ka/ki : Fremitus kanan = premitus kiri sama, tidak

ada benjolan

Perkusi :Sonor

Auskultasi :Suara nafas Bronkial lokasinya di sterni atau scapulae, vesikuler

lokasinya di semua bagian paru yang jauh dari trachea dan bronkhi

besar dan bronkovesikuler lokasinya di percabangan bronkus dan

trakhea

7. Cor:

Inspeksi :-

Palpasi : Ictus cordis : Normal ( teraba pada inter costa ke- 5)

Perkusi : batas jantung : Normal (costa ke1 – costa ke inter costa ke5)

Bunyi : pekak

Auskultasi :Bunyi jantung tunggal

8. Abdomen:

Inspeksi : Normal, bentuk datar, tidak ada hematome, tidak ada luka, tidak

ada bekas operasi.

Palpasi : nyeri tekan pada abdomen sebelah kiri bawah.

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Peristaltik : 15x/mnt

10 Genetalia
Pria : tidak ada benjolan, tidak ada tumor maupun hernia

Rectum :Tidak ada Hemoroid dan tidak ada Tumor

11 Psiko Sosio Budaya Dan Spiritual :

a. Psikologis :Klien mengalami kecemasan setelah mendapat penyakitnya karna

klien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun Klien berencana

jika penyakitnya telah sembuh klien akan menjaga kesehatan dengan

melakukan banyak minum.

b. Sosial :Gaya klien dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia,

nada bicara klien sopan, pola interaksi sangat baik dengan perawat, dan

kooperatif dengan keluarga, masyarakat, dan perawat.

c. Budaya :Budaya yang diikuti pasien adalah budaya Jawa dan tidak ada

kebiasaan atau kebudayaan yang dianut klien merugikan kesehatan.

d. Spiritual :Aktivitas ibadah sehari-hari klien adalah Sholat, kegiatan

keagamaan yang biasa dilakukan adalah mengaji, dan klien menganggap

penyakitnya merupakan sebuah ujian dan berusaha untuk tegar

menghadapinya.
ANALISA DATA

Nama klien : Tn. A No. Register : 08130430


Umur : 46 th Diagnosa Medis: Hidronefrosis
Ruang Rawat : Melati I Alamt : Jl Solo No 24,Janti, sleman, Yogyakarta.

TGL/JAM DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM


15-11-2012 DS: Adanya sumbatan Gangguan
07.00 keseimbangan cairan
 Klien mengatakan tidak nafsu
makan dan minum serta BAK
sedikit.

DO:

 TD : 130/90 mmHg

 Nadi: 110 x/mnt

 Suhu: 37 oC

 RR : 25x/mnt

 Turgor kulit tampak tidak


elastis dan mukosa mulut klien
terlihat kering

 Balance cairan = input –


output = 300 cc per hari

 Urin bewarna merah, bau


khas, dan terasa panas saat
miksi.

15-11-2012 DS: Agen injuri biologi Nyeri akut


07.05
 Klien mengeluh perut kiri
bagian bawah terasa nyeri
sejak 1,5 bulan dengan Skala
nyeri 5.
 Klien mengatakan nyeri
pinggang kiri sejak 2,5 bulan
yang lalu.

DO:

 TD : 130/90 mmHg

 Nadi: 110 x/mnt

 RR: 25x/mnt

 Suhu: 37 oC

15-11-2012 DS : Kurangnya informasi Ansietas


07.10 tentang proses penyakit
 Klien merasa takut dan sering
menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa
disembuhkan atau tidak
 Klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya

DO :
 klien tampak pucat dan
cemas
 N: 110x/menit
 TD : 130/90 mmHg

 RR 25 x/mnt
 Suhu : 37 oC

Prioritas diagnosa keperawatan:

1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan ditandai

klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :

130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis dan

mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc per hari.

Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien

mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri 5.

Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi: 110

x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit yang

ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya apakah

penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur karena

sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan cemas. N:

110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.

RENCANA TINDAKAN
Nama klien : Tn. A No. Register : 08130430
Umur : 46 th Diagnosa Medis : Hidronefrosis
Ruang Rawat : Melati I Alamat : Jl Solo No 24, Janti
Sleman, Yogyakarta.

N Dx Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi Nama/


o TTD
1 Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Dengan memonitor Charles
keseimbanga tindakan keperawatan TTV dapat
n cairan kepada Tn.A selama mengetahui
berhubungan perkembangan
3x24 jam klien akan
dengan 2. Pantau intake dan output pasien
adanya menunjukkan tidak ada klien 2. Dengan pantauan
sumbatan tanda-tanda gangguan intake dan output
keseimbangan cairan perawat bisa
dengan kriteria hasil: mengetahui apakah
 Nafsu makan dan 3. Kolaborasi untuk asupan cairan sama
pemberian antidiuretik dengan cairan yang
minum serta BAK dikeluarkan
kembali normal. 3. Dengan kolaborasi
pemberian
 TD : 120/80 mmHg antidiuretik
diharapkan urin bisa
 Nadi: 60-100x/mnt
keluar dengan
lancar sehingga
 Suhu: 37 oC
mengurangi adanya
edema.
 RR : 16-24x/mnt

 Turgor kulit tampak


elastis dan mukosa
mulut klien terlihat
lembab

 Balance cairan input


dan output kembali
normal
 Urin bewarna jernih,
tidak berbau khas, dan
tidak terasa panas pada
saat miksi.

2 Nyeri Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Mengetahui keadaan charles


berhubungan tindakan keperawatan umum klien dan
dengan Agen kepada Tn. A selama mengidentifikasi
adanya
injuri 3x 24 jam diharapkan
penyimpanan respon
biologis. nyeri yang dirasakan nyeri pada tubuh
klien berkurang dengan2. Kaji tingkat nyeri pasien
criteria hasil: 2. dengan mengkaji
 Klien tidak mengeluh tingkat nyeri
perawat bisa
nyeri perut kiri bagian mengetahui skala
bawah 3. Atur posisi tidur Klien dan kualitas nyeri
senyaman mungkin 3. dengan mengatur
 Klien tidak mengeluh posisi nyaman pada
pinggang bagian kiri klien diharapkan
mengurangi
 TD : 120/80 mmHg4. Anjarkan klien teknik penekanan pada
relaksasi dan distraksi daerah nyeri.
 Nadi: 60-100x/mnt 4. dengan tehnik
relaksasi dan
 RR: 16-24x/mnt 5. Kolaborasi dengan tim distraksi dapat
medis dalam pemberian meminimalisir nyeri
 Suhu: 37 oC analgetik yaitu asam yang dirasakan
efenamat 2x 1 / hari pasien
5. dengan pemberian
analgetik dapat
menekan rasa nyeri.

3 Ansietas Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Untuk mengetahui berat charles


berhubunga tindakan keperawatan kecemasaan ringannya kecemasan
n dengan kepada Tn. A selama 1x klien sehingga dapat
ditentukan tindakan yang
kurangnya 24 jam diharapkan klien
2. Beri kesempatan sesuai untuk klien.
informasi tidak cemas lagi dengan klien untuk 2. Dengan memberikan
tentang kriteria hasil : mengungkapkan kesempatan pada klien
proses perasaannya. untuk mengungkapkan
penyakit.  Klien sudah tidak cemas perasaannya, klien
diharapkan mempunyai
lagi semangat dan mau
3. Beri penjelasan berempati terhadap
 Klien bisa tidur dengan kepada keluarga pengobatannya.
aman dan nyaman dan pasien tentang3. Dengan memberikan
penyakitnya. penjelasan tentang
 N: 60-100x/menit penyakit kepada klien
 TD : 120/80 mmHg dan keluarga dapat
meningkatkan
 RR: 16-24x/mnt pemahaman mereka
sehingga dapat
 Suhu : 37 oC mengurangi kecemasan.

CATATAN PERKEMBANGAN

Nama klien: Tn. A

Umur : 46 th Diagnosa Medis: Hidronefrosis


Ruang : Melati I Alamat: Jl Solo No 24, Janti
sleman, Yogyakarta.

HARI I

No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/


TTD
1 15-11-2012 09.00 1. Monitor TTV Pukul 11.00 WIB Charles
S:-
O:TD: 130/90 mmHg, Nadi: S: klien mengatakan BAKnya
110 x/mnt, RR :25x/mnt,
belum lancar dan tidak
Suhu: 37 oC
2. Memantau intake dan terasa panas lagi waktu
output klien miksi
S:klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb O: tugor kulit tanpak tidak
09.30 O:intake dan output belum elastis dan mukosa mulut
seimbang kering. urin bewarna merah
3. Memberikan obat diuresis
muda, sedikit berbau khas.
S:klien menayakan kegunaan
obat tsb Balance urin input-output
O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
yang diberikan 130/90 mmHg, Nadi: 110
x/mnt, RR: 25x/mnt, Suhu:
37 oC

10.00 A : tujuan belum tercapai

P : intervensi 1,2, dan 3


dilanjutkan
2 15-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Vian
S:-
O : TD: 130/90 mmHg, Nadi: S : klien mengatakan masih
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
terasa nyeri di perut bagian
Suhu: 35 oC
2. kaji tingkat nyeri bawah saat berkemih. klien
S : klien mengatakan skala mengatakan skala nyerinya
nyerinya 5 5
O: klien terlihat sedikit pucat
09.25 dan gelisah. O :TD: 130/90 mmHg, Nadi:
3.Atur posisi tidur pasien 110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
senyaman mungkin
Suhu: 35 oC
S: klien mengatakan posisi
tidurnya kurang nyaman A : tujuan belum tercapai
O: mengatur posisi pasien
semi fowler dan pasien P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4
tampak lebih nyaman dan 5
10.00
dengan posisi tersebut
4. Anjurkan klien untuk
teknik relaksasi( napas
dalam) dan distraksi
S: pasien mengatakan otot-
ototnya terasa tegang dan
nyeri
O: perawat mengajarkan
tehnik relaksasi napas
dalam dan distraksi kepada
pasien.

10.30
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

11.00
3 15-11-2012 09.30 1. Mengkaji tingkat Pukul 11.00 WIB Ayub
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
tampak pucat. pengetahuan tentang
2. Memberi kesempatan penyakitnya. klien
klien untuk mengatakan sudah tidak
mengungkapkan cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
10.00 O: klien tampak bingung gelisah lagi. Klien terlihat
3. Beri penjelasan kepada tidur dengan nyaman.
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya. A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
10.30
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.

11.00
HARI II

No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/TT


D
1 16-11-2012 09.00 1. Monitor TTV Pukul 11.00 WIB Charles
S:-
O: TD : 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR
sedikit lancar dan tidak
:24x/mnt, Suhu: 37 oC
2. Memantau intake dan terasa panas lagi waktu
output klien miksi
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb O: tugor kulit tanpak sedikit
O: intake dan output elastis dan mukosa mulut
09.30 belum seimbang sudah lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
merah muda, tidak berbau.
diuresis
S:- Balance urin input-output
O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
yang diberikan 120/80 mmHg, Nadi: 100
x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu:
37 oC

A : tujuan tercapai sebagian

P : intervensi 1,2, dan 3


10.00 dilanjutkan

2 16-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Vian


S:-
O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sedikit
100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
terasa nyeri saat berkemih,
Suhu: 37 oC
2. kaji tingkat nyeri klien mengatakan skala
S : klien mengatakan skala nyerinya 4
nyerinya 4
O: pasien terlihat tenang O :pasien terlihat segar
09.25 3. Atur posisi tidur pasien TD: 120/80 mmHg, Nadi:
senyaman mungkin 100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
S: pasien mengatakan posisi
Suhu: 37 oC
tidurnya sudah nyaman
dengan posisi semi
fowler. A : tujuan tercapai sebagian
O: pasien terlihat tenang
4. Anjurkan klien untuk P : lanjutkan intervensi 1,2,4
dan 5
10.00 teknik relaksasi napas
dalam dan distraksi
S: pasien mengatakan otot-
ototnya sudah rileks
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang.
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S:-
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

10.30

11.00
HARI III

No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/TT


D
1 17-11-2012 09.00 1. Monitor TTV Pukul 11.00 WIB Charles
S:-
O: TD : 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR
sudah lancar dan tidak
:22x/mnt, Suhu: 37 oC
2. Memantau intake dan terasa panas lagi waktu
output klien miksi
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb O: tugor kulit elastis dan
O: urin output normal 0,8 mukosa mulut sudah
09.30 cc/kgBB/jam lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
kuning, tidak berbau.
diuresis
S:- Balance urin output sudah
O:klien terlihat minum obat seimbang 0,8 cc/kgBB/jam.
yang diberikan TD: 120/80 mmHg, Nadi:
100 x/mnt, RR: 23x/mnt,
Suhu: 37 oC

A : tujuan tercapai

P : pertahankan intervensi
10.00
2 17-11-2012 09.00 1. Memonitor TTV Pukul 12.00 WIB Ayub
S:-
O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
2. kaji tingkat nyeri berkemih,
S : klien mengatakan skala klien mengatakan skala
nyerinya 3 nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk O :pasien terlihat segar
09.25 teknik relaksasi napas TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan otot-
ototnya sudah rileks Suhu: 37 oC
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang. A : tujuan tercapai
4. Memberikan analgesic
(asam mefenamat) P : pertahankan intervensi
10.00 S: -
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

10.30
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan

diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini

adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu mulai dari pengkajian, diagnose

keperawatan, perencanaan ,pelaksanaan dan evaluasi.


Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal

akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik

sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).

Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih

dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter yang

dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).

Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan

mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya

batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

A. Pengkajian

Proses pengkajian terhadap klien dengan hidronefrosis adalah dengan cara

wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu

perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di ruangan

dan dokter serta data-data yang ada di catatan medis klien.

Pelaksanaan pengkajian mengacu pada teori , akan tetapi di sesuaikan dengan

kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga cukup

terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga dan

perawat sehingga mempermudah perawat dalam mengkaji klien dan dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab

pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat pada

saat pengkajian hidronefrosis pada Tn. A


Kesadaran: klien dalam kesadaran kompos mentis

Tekanan darah : 130/90 mmhg

Suhu : 37°C

Nadi : Frekuensi : 110 x/menit

Irama : Tidak teratur

Kedalaman : Teraba jelas.

Pernafasan : Frekuensi : 25 x/menit

Irama : Teratur

Dari data yang terkumpul kemudian di lakukan analisa dan identifikasi masalah

yang di hadapi oleh klien yang merupakan data focus dan selanjutnya di tentukan

diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan kasus tidak ada

kesenjangan.

B. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah :

1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan ditandai

klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD :

130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input – output = 300 cc

per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien

mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri

5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:

110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit yang

ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya

apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur

karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan

cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.

Setelah diagnosa atau masalah keperawatan ditegakkan selanjutnya di lakukna

pembuatan rencana tindakan dan kriteria hasil utnuk mengatasi masalah

keperawatan yang ada pada klien.

C. Perencanaan

Perencanaan dalam proses keperawatan dimulai setelah data terkumpul,

dikelompokan, dianalisa, dan ditetapkan masalah keperawatan. Perencanaan disusun

berdasarkanm prioritas masalah yang disesuaikan dengan kondisis klien. Setelah

masalah di tentukan berdasarkan prioritas, tujuan tindakan , dan criteria hasil

keperawatan di tentukan . Tujuan dan KH sebagai alat ukur untuk pencapaian tujuan

yang mengacu pada tujuan yang di susun pada rencana keperawatan harus bersifat

SMART. Pada penyusunan criteria hasil perawat menyesuaikan dengan waktu


pemberian perawatan yang di lakukan perawatan yaitu selaman 3x 24 jam.

perencanaan di buat pada Tn. A dengan masalah utama Gangguan keseimbangan

volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan pada Tn. A adalah prioritas

utama , hal ini k arena dapat menyebabkan kematian

D. Implementasi atau Pelaksanaan

Setelah rencana keperawatan di buat, kemudian dilanjutkan dengan

pelaksanaan. Perlaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan atau

tindakan yang diberikan pada Tn. A dengan menerapkan pengetahuan dan

kemampuan klinik yang dimiliki oleh perawat berdasarkan ilmu-ilmu

keperawatan dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait. seluruh perencanaan tindakan

yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung oleh perawat

yang kompeten di bidangnya.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan

keperawatan. Hambatan-hambatan itu antara lain keterbatasan sumber referensi

buku sebagai acuan perawat dan juga alat yang tersedia.

E. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses kerperawatan. Tujuan tahap

evaluasi adalah untruk memberikan umpan balik rencana keperawatan, menilai,

meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan asuhan

keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah di tetapkan

lebih dulu.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hidronefrosis adalah penggembungan ginjal akibat tekanan balik terhadap ginjal

karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya

sumbatan pada sambungan ateropelvik yang meliputi : kelainan struktural, lilitan

pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu juga, hidronefrosis bisa

terjadi akibat adanya penyumbatan di bawah sambungan uretropelvik atau karena

arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi : batu di dalam ureter, tumor

di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi klinik : nyeri, demam, mual dan

muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa di daerah antara tulang rusuk dan

tulang pinggul, USG, urografi, laboratorium. Penatalaksanaan meliputi :

penatalaksanaan pada hidronefrosis akut dan hidronefrosis kronis, prognosisnya,

pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil jika infeksi dapat dikendalikan dan

ginjal dengan baik. Untuk hidronefrosis kronik belum bisa dipastikan.


B. Saran

Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada makalah

ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC

D o e n g e , M a r i l y n n E . ( 1 9 9 9 ) . Rencana asuhan keperawatan: Pedoman


untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.

Price dan Sylvia. (1992). Patofisiologi edisi 4. Jakatya: EGC.

Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8

. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012

Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update :


November 2012.

ASKEP KMB
Minggu, 05 Agustus 2012
Askep pada Klien Fraktur

I. PENGERTIAN

Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur
terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk
terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI,
1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan
langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari
sendi tersebut (FKUI, 1995:553).

II. ETIOLOGI FRAKTUR


Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara
spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan
progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi
kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler
serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
• Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser
dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
• Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
- Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
- Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi
fragmen (Smeltzer, 2001:2357).

IV. PATOFISIOLOGI FRAKTUR


Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru
fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang
menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas
osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).
V. TANDA DAN GEJALA FRAKTUR
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Foto Rontgen
- Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
- Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun (
perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau
cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).
VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
- Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara
manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
- Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi pembedahan,
seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti
plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
* Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
* Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
- Pembalutan (gips)
- Eksternal Fiksasi
- Internal Fiksasi
- Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
- Pembedahan debridement dan irigrasi
- Imunisasi tetanus
- Terapi antibiotic prophylactic
- Immobilisasi (Smeltzer, 2001).

MANAJEMEN KEPERAWATAN FRAKTUR


I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau
stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ;
malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan
pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune
(peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker /
terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ;
Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah
koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi,
antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi
koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson,
2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik,
kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi,
kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi
informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI


Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op
frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat
dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari
enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : – Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup
mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan
atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : – perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan
untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan
secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan
tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan
steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya
infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit
normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya
luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang
berisiko terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan
fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : – penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan
sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi
informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.
Kriteria Hasil : – melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu
tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen
perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan
merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan
dari tindakan yang dilakukan.

IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.

Diposkan oleh gimy di 18:00 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook


Askep Glomerulonefritis dan Pielonefritis

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus
diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi
tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang
menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk
antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran
perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG),
peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma
(terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan
produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).

Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan
interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah
Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat
refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi,
trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau
gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).

Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A


tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah
hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine M.
Willson, 2005).

Penyebab
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya
adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral,
leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada
anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih
pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya
bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan
usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada
hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada
perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan
glomerulonefritis dan pielonefritis.

2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan
pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan
pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.

BAB II PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. GLOMERULONEFRITIS

1. Pengertian

Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus
kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).

Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti
pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).

Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu
pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner &
Suddarth, 2001).

2. Etiologi

a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).

3. Manifestasi Klinis

a. Faringitis atau tansiktis.


b. Demam.
c. Sakit kepala.
d. Malaise.
e. Nyeri panggul.
f. Hipertensi.
g. Anoreksia.
h. Muntah.
i. Edema akut.
j. Oliguria, proteinuria, dan urine berwarna cokelat.
(Sandra M. Nettina, 2001).

4. Patofisiologi

Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus).
Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan
kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan
kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman
streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai
interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi
antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).

6. Penatalaksanaan

a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif
cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).

7. Komplikasi

a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).

B. PIELONEFRITIS

1. Pengertian

Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal
dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).

Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen
atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).

2. Etiologi

a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).


b. Obstruksi urinari track.
c. Refluks.
d. Kehamilan.
e. Kencing manis.
f. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
(Barbara Engram, 1988).
3. Manifestasi Klinis

Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai
menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).

4. Patofisiologi

Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora
normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan
Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut,
E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi
menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan
multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi
menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang
dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta
atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara
Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).

6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan

a. Terapi antimikroba spesifik organisme:


- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian
disesuaikan berdasarkan hasil kultur urine.
- Pengobatan dilakukan 2 minggu atau lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien tidak
dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati abses
renal atau abses perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.


2. Kardivaskular : hipertensi.
3. Neurologis : letargi, iritabilitas, kejang.
4. Gastrointestinal : anoreksia, azotemia, hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia)


berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : – Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui
input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.


Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan
dihabiskan minimal 80%.

Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi
klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat
meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak
dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.

3. Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.


Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : – Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1.


EGC. Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC.
Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
EGC. Jakart

Diposkan oleh gimy di 17:57 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragik

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematik untuk
menentukan keadaan kesehatan klien sekarang dan masa lalu serta untuk mengevaluasi
pola koping klien sekarang dan masa lalu. Data dapat diperoleh dengan 5 (lima) cara
yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, menelaah catatan dan laporan diagnostik
serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Untuk mewujudkan pengkajian yang
akurat, perawat harus dapat berkomunikasi secara efektif, mengobservasi secara
sistematik dan menginterprestasikan data yang akurat (Carpenito, 2000)
Data dasar yang ada pada saat pengkajian pasien stroke menurut Doenges, Moorhouse,
Geissler (1999) adalah :
1. Aktifitas/istirahat
Adanya kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis, terdapat gangguan tonus otot dan
gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Adanya hipertensi arterial, disritmia, desiran pada karotis, femoralis dan aorta yang
abnormal.
3. Integritas Ego
Ditemukan adanya emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri, perasaan
tidak berdaya dan putus asa.
4. Eliminasi
Ditemukan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine maupun anuria,
distensi abdomen (pada perabaan kandung kemih berlebihan).
5. Status Nutrisi
Didapatkan anoreksia, mual dan muntah selama fase peningkatan TIK, kehilangan
sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan dan disfagia (kesulitan menelan).
6. Neurosensori
Adanya sakit kepala (yang bertambah berat dengan adanya perdarahan intraserebral),
kelemahan, kesemutan, penglihatan menurun (total), kehilangan daya lihat sebagian
(kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia) serta hilangnya rangsang sensorik
kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas. Dapat juga ditemukan
adanya gangguan tingkat kesadaran seperti koma, kelemahan atau paralisis, pada
ekstermitas (kontralateral pada semua jenis stroke), parase pada wajah, afasia,
miosis/midriasis pada pupil disertai dengan ukuran yang tidak sama.
7. Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-bada, adanya tingkah laku yang tidak stabil
dan gelisah
8. Pernafasan
Ditandai dengan ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas.
9. Keamanan
Ditemukan perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, kesulitan untuk melihat
objek dari sisi kiri atau kanan, gangguan berespon terhadap panas atau dingin.
10. Interaksi sosial
Masalah dalam berbicara, ketidak mampuan untuk berkomunikasi
11. Penyuluhan atau pembelajaran
Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke dan pacandu alcohol.
12. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan memperlihatkan edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
b. Sinar X menggambarkan klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid.
c. EEG mengidentifikasi masalah berdasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
d. Angiografi serebral memperlihatkan adanya perdarahan arteri atau adanya oklusi atau
ruptur.
e. MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
(AVM).
f. Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang mengandung
darah menunjukan adanya perdarahan intrakranial.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi
kebutuhan spesifik serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doenges dkk,
1999).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan stroke hemoragik menurut
Doenges, et al (1999) adalah :
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan, parestesia, flaksid/paralisis hipotonik (awal), paralisis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial atau oral,
kelemahan/kelelahan umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi,
integrasi (trauma neurologis atau defisit).
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot, kerusakan
perseptual/kognitif.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,
perseptual kognitif.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler atau perseptual.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
C. Perencanaan Keperawatan Stroke Hemoragik
Sebagai langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah perencanaan yaitu
penentuan apa yang ingin dilakukan untuk membantu klien dalam pemenuhan kebutuhan
kesehatan dan mengatasi masalah keperawatan.
Fase perencanaan dari proses keperawatan mempunyai 3 (tiga) komponen (Carpenito,
2000) yaitu :
1. Menetapkan set prioritas diagnosis
Untuk membedakan prioritas diagnosa dari semua yang penting, tapi bukan prioritas.
a. Diagnosa prioritas
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif yang apabila tidak
diarahkan akan menghambat kemajuan untuk mencapai hasil atau akan berpengaruh
negative pada status fungsional klien (gangguan perfusi jaringan serebral pada klien
dengan perdarahan di otak)
b. Diagnosa penting
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif dimana pengobatanya
dapat ditangguhkan pada waktu lain tanpa menurunkan status fungsional yang ada (resiko
gangguan perawatan diri pada pasien dengan kondisi kesehatan yang mulai stabil)
2. Menyusun kriteria hasil dan sasaran keperawatan
Menurut Bulechek dan McCloskey (1985) dalam Carpenito (2000) Tujuan diagnosa
keperawatan adalah sebagai “pos pemandu untuk memilih intervensi keperawatan dan
kriteria evaluasi dari intervensi keperawatan”.
3. Memutuskan intervensi keperawatan
Bulechek dan McCloskey (1989) mendifinisikan intervensi keperawatan sebagai suatu
tindakan perawatan langsung yang dapat dilakukan perawat atas nama klien. Tindakan ini
termasuk tindakan inisiatif perawat sebagai hasil dari diagnosa keperawatan, tindakan
inisiatif dokter sebagai hasil dari diagnosa medis dan penampilan dari fungsi harian yang
esensial bagi klien yang tidak dapat melakukannya.
Diagnosa keperawatan yang telah disusun pada pasien dengan stroke hemoragik, maka
rencana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Doenges et al, (1999) adalah
:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
Kriteria evalusi pasien akan :
a. mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisidan fungsi motorik
atau sensori.
b. mendemostrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan
Tekanan Intrakranial (TIK).
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda atau
kemunduran tanda atau gejala neurologis atau kegagalan memperbaikinya setelah fase
awal memerlukan pembendahan dan atau pasien harus di pindahkan ke ruang perawatan
kritis (ICU).
b. Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan
normalnya atau standar
Rasional : Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan/resolusi kerusakan Sistem Saraf Pusat (SSP).
Dapat menunjukan Transient Ischemic Attack (TIA).
c. Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar.
Rasional : Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari
lokasi/derajat gangguan serebral dan mungkin mengidentifikasikan dengan
penurunan/peningkatan TIK.
d. Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi
pengunjung/aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodik antara
aktivitas perawatan, batasi lamanya setiap prosedur.
Rasional : Aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total dan
ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus
stroke hemoragi
e. Pentau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan darah
yang terbaca pada kedua lengan.
Rasional : Hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat terjadi
karena syok (kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi karena edema,
adanya formasi bekuan darah. Tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan
adanya perbedaan tekanan pada kedua lengan.
f. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan
reaksinya terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna dalam
menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. Ukuran dan kesamaaan pupil
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis yang
mempersarafinya.
g. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
Rasional : Gangguan penglihatan yang telah spesifik mencerminkan daerah otak yang
terkena mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan mempengaruhi
intervensi yang harus dilakukan.
h. Pantau pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Keseimbangan harus dipertahankan untuk menjamin hidrasi untuk
mengencerkan sekresi pada saat yang sama mencegah hipovolemia yang meningkatkan
TIK (Tucker et al, 1998).
i. Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
Rasional : Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan
sirklasi atau perfusi serebral (Tucker et al, 1998).
j. Kolaborasi dalam analisa gas darah dan pemberian terapi medis.
Rasional : Hipoksia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan terbentuknya edema
(Tucker et al,1998).

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,


kelemahan, flaksid/paralisis hipotonik, paralisis spastis.
Kriteria evaluasi pasien akan :
a. mempertahankan posisi yang optimal yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur.
b. mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang terkena.
c. mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas, serta
mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dengan cara yang teratur.
Klasifikasikan melalui skala 0-4.
0 = pasien tidak tergantung pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit bantuan
2 = pasien butuh bantuan/pangawasan/bimbingan sederhana
3 = pasien butuh bantuan/peralatan yang banyak
4 = pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang
berbeda digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid.
b. Ubah posisi minimal tiap dua jam (miring, telentang).
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang terkena
mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar
menimbulkan kerusakan pada kulit/dekubitus
c. Lakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas (bila memungkinkan).
Sokong ekstermitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki selama periode
paralisis.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, menurunkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah
utamanya adalah perdarahan.
d. Gunakan penyangga lengan ketika klien berada dalam posisi tegak, sesuai indikasi.
Rasional : Selama paralisis flaksid, penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko
terjadinya subluksasio lengan dan “sindrom bahu-lengan”.
e. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Rasional : Mempertahankan posisi fungsional.
f. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian
kepala) tempat tidur, bantu untuk duduk disisi tempat tidur.
Rasional : Membantu dalam melatih kembali fungsi saraf, meningkatkan respon
proprioseptik dan motorik.
g. Alasi kursi duduk dengan busa atau balon air dan bantu pasien untuk memindahkan
berat badan dalam interval yang teratur.
Rasional : Mencegah/menurunkan tekanan koksigeal atau kerusakan kulit.
h. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema atau tanda lain dari gangguan
sirkulasi.
Rasional : Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan
penyembuhannya lambat.
i. Lakukan massase pada daerah kemerahan dan beri alat bantu seperti bantalan lunak
kulit sesuai kebutuhan.
Rasional : Titik-titik takanan pada daerah yang menonjol paling beresiko untuk terjadinya
penurunan perfusi/iskemia. Stimulasi sirkulasi dan memberikan bantalan membantu
mencegah kerusakan kulit dan berkembangnya dekubitus.
j. Susun tujuan dengan klien atau orang terdekat untuk berpartisipasi dalam latihan dan
mengubah posisi.
Rasional : Meningkatkan harapan terhadap perkembangan atau peningkatan dan
memeberikan perasaan kontrol atau kemandirian.
k. Anjurkan klien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan
ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/menggerakkan daerah tubuh yang
mengalami kelemahan.
Rasional : Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih
terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk menyatukan kembali
sebagai bagian dari tubuhnya sendiri.
l. Kolaborasikan dengan ahli fisioterapi dan obat-obatan medis dalam membantu
pemulihan kondisi.
Rasional : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang
berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirulasi serebral,


kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot fasia/oral.
Kriteria hasil pasien akan :
mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi, membuat metode komunikasi
dimana kebutuhan dapat diekspresikan, menggunakan sumber-sumber dengan tepat.
Intervensi :
a. Kaji derajat disfungsi, seperti klien mengalami kesulitan berbicara atau membuat
pengertian sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi dan
kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
b. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar
dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata. Umpan balik
membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti atau berespon
sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi isi atau makna yang
terkandung.
c. Tunjukkan objek dan minta klien untuk menunjukkan nama dari objek tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik)
seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
d. Minta klien untuk menggucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau “Pus”.
Rasional : Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara
(seperti : lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat mempengaruhi artikulasi.
e. Minta klien untuk menulis nama atau kalimat pendek.
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca yang
benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensori dan afasia motorik.
f. Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan pasien jatak
waktu untuk merespons. Bicaralah tanpa tekanan pada sebuah respons.
Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran dan meninggikan suara dapat
menimbulkan pasien marah. Mefokuskan respons dapat mengakibatkan frustasi dan
mungkin menyebabkan pasien terpaksa untuk bicara otomatis seperti : memutarbalikkan
kata.
g. Anjurkan kepada orang terdekat untuk tetap memelihara komunikasi dengan klien.
Rasional : Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi
yang efektif.

4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, trasmisi,


integrasi (trauma neurologis).
Kriteria evaluasi pasien akan :
mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual, mengakui perubahan dalam
kemampuan dan adanya keterbatasan residual, mendemonstrasikan perilaku untuk
mengkompensasikan terhadap/defisit hasil.
Intervensi :
a. Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetik
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi tubuh dan kesesuaian dari gerakan
yang menggangu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma.
b. Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal. Biarkan lampu menyala, letakkan
banda dalam jangkauan lapang penglihatan yang normal. Tutup mata yang sakit jika
perlu.
Rasional : Pemberian pengenalan terhadap adanya orang/benda dapat membantu masalah
persepsi, mencegah pasien dari terkejut. Penutupan mata mungkin dapat menurunkan
kebingungan karena adanya pandangan ganda.
c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabotan yang membahayakan.
Rasional : Menurunkan/membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin dapat
menimbulkan kebingungan terhadap interprestasi lingkungan, menurunkan resiko
terjadinya kecelakaan
d. Lindungi pasien dari suhu yang berlebih, kaji adanya lingkungan yang membahayakan.
Rekomendasikan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.
e. Hindari kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebih sesuai kebutuhan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respons emosi yang berlebihan/kebingungan yang
berhubungan dengan sensori berlebihan.
f. Lakukan validasi terhadap persepsi pasien. Orientasikan kembali pasien secara teratur
pada lingkungannya, staf dan tindakan yang akan dilakukan.
Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidak-konsistenan dari persepsi dan
integritas stimulasi dan mungkin menurunkan distorsi persepsi pada realitas.

5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan


kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Kriteria evaluasi pasien akan :
mendemonstrasikan teknik/perubahan gaya hidup yang memenuhi kebutuhan perawatan
diri, melakukan akativitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri,
mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas memberikan bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 0-4) untuk
melakukan kebutuhan sehari-hari.
0 = pasien tidak tergantung pada orang lain.
1 = pasien butuh sedikit bantuan.
2 = pasien butuh bantuan/pangawasan/bimbingan sederhana.
3 = pasien butuh bantuan/peralatan yang banyak.
4 = pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan.
Rasional : Mambantu dalam mangantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara
individual.
b. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri, tetapi
berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional : Pasien ini mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan
meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting
bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk
mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
c. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau
keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri. Meningkatkan kemandirian, dan
mendorong pasien untuk berusaha secara kontinu.
d. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk
mengerjakan tugasnya.
Rasional : Pasien akan memerlukan empati tapi perlu untuk mengetahui pemberi asuhan
yang akan membantu pasien secara konsisten

6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,


perseptual kognitif.
Kriteria evaluasi pasien akan :
Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang telah terjadi,
mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi, mengenali dan
menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam cara yang akurat tanpa
menimbulkan harga diri negatif.
Intervensi :
a. Kaji luasnya gangguan peresepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.
Rasional : Penentuan faktor-faktor secara individu membantu dalam mengembangkan
perencanaan asuhan/pilihan intervensi.
b. Anjurkan pasien untuk mengekpresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan
perasaan marah.
Rasional : Mendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal dan mulai
mamahami perasaan ini.
c. Tekankan keberhasilan yang kecil sekali pun baik mengenai penyembuhan fungsi
tubuh ataupun kemandirian pasien.
Rasional : Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah dan
ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.
d. Bantu dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional : Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol atas salah satu
bagian kehidupan.
e. Dorong orang terdekat agar memberikan kesempatan pada klien untuk melakukan
sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.
Rasional : Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan
meningkatkan proses rehabilitasi.
f. Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti meningkatkan minat/pertisipasi
pasien dalam kegiatan rehabilitatif.
Rasional : Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami
tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.

7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan


neuromuskuler atau perseptual.
Kriteria evaluasi pasien akan :
mendemostrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah,
mempertahankan berat badan yang diinginkan
Intervensi :
a. Kaji ulang kemampuan menalan pasien secara individual, catat luasnya paralisis fasial,
gangguan lidah, kemampuan untuk melindungi jalan nafas. Timbang berat badan secara
periodik sesuai kebutuhan.
Rasional : Identifikasi kemampuan menelan pasien untuk menentukan pemilihan
intervensi yang tepat.
b. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar.
c. Mulai berikan makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat
menelan air. Pilih/Bantu pasien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu
mengunyah dan mudah ditelan, contohnya : telur, agar-agar, makanan kecil yang lunak
lainnya.
Rasional : Makanan lunak/cair kental lebih muda untuk mengendalikannya di dalam
mulut, menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
d. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional : Menguatkan otot fasialis dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya
tersedak.
e. Pertahankan masukan dan haluan dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.
Rasional : Jika usaha menelan tidak mamadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
makanan harus dicarikan metode alternatif untuk makan.
f. Berikan cairan melalui IV dan/atau makanan melalui selang.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan
jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.

8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.


Kriteria evalusi pasien akan :
berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi/prognosis dan aturan terapeutik, memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan.
Intervensi :
a. Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana/kemungkinan melakukan
kembali aktifitas.
Rasional : Meningkatkan pemahaman, memberikan harapan pada masa. Datang dan
menimbulkan harapan dari keterabatasan hidup secara “normal”.
b. Tinjau ulang/pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara
meneruskan program setelah pulang.
Rasional : Aktvitas yang dianjurkan, pembatasan dan kebutuhan obat/terapi dibuat pada
dasar pendekatan interdisipliner terkoordinasi. Mengikuti cara tersebut merupakan suatu
hal yang penting pada kemajuan pemulihan/pencegahan komplikasi.
c. Sarankan menurunkan/membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan
berpikir.
Rasional : Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.
d. Identifikasi sumber-sumber yang ada dimasyarakat, seperti perkumpulan stroke, atau
program pendukung lainnya.
Rasional : Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan di rumah
dan penyelesaian terhadap kerusakan.

D. Pelaksanaan Keperawatan Stroke Hemoragik


Tindakan keperawatan (implementasi) adalah preskripsi untuk mengetahui perilaku
positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai
dengan apa yang direncanakan (Doenges et al, 1999).
Alfaro (1994) dalam Carpenito (2000) menyatakan bahwa komponan implementasi dari
proses keperawatan meliputi penerapan keterampilan yang perlu implementasi intervensi
keperawatan. Keterampilan dan pengetahuan perlu untuk implementasi yang biasanya
difokuskan pada :
1. Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien.
2. Melakukan pengakajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mamantau status atau masalah yang ada.
3. Melakukan penyuluhan untuk membantu klien mamperoleh pengetahuan baru
mangenai kesehatan mereka sendiri atau penatalaksanaan penyimpangan.
4. Membantu klien membuat keputusan tantang perawatan kesehatan dirinya sendiri.
5. Konsultasi dan rujuk pada profesional perawatan kesehatan lainnya untuk memperoleh
arahan yang tepat.
6. Memberikan tindakan perawatan spesifik untuk menghilangkan, mengurangi atau
mengatasi masalah kesehatan.
7. Membantu klien untuk melaksanakan aktivitas mereka sendiri.
8. Membantu klien untuk mengidentifikasi resiko, atau masalah dan menggali pilihan
yang tersedia.

E. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang
dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasilnya sudah tercapai atau belum
dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges et al, 2000).
Evaluasi mencakup tiga pertimbangan yang berbeda (Carpenito, 2000) yaitu :
1. Evaluasi mengenai status klien
2. Evaluasi tentang kemajuan klien kearah pencapaian sasaran.
3. Evaluasi mengenai status dan kejadian rencana perawatan.
Hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan pada penderita
stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan (Doenges et al, 2000) adalah :
1. Fungsi serebral membaik/meningkat, penurunan fungsi neurologis diminimalkan atau
dapat stabil.
2. Komplikasi dapat dicegah atau diminimalkan.
3. Kebutuhan pasien sehari-hari dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dengan bantuan
yang minimal dari orang lain.
4. Mampu melakukan koping dengan cara yang positif, perencanaan untuk masa depan.
5. Proses dan prognosis penyakit dan pengobatanya dapat dipahami.
Dokumentasi keperawatan sangat penting bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan. Dokumentasi ini penting karena pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada klien membutuhkan catatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai
tanggung jawab dan tanggung gugat dari berbagai kemungkinan masalah yang dialami
klien baik masalah kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan
(Hidayat 2001).

Diposkan oleh gimy di 17:55 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Kamis, 26 Juli 2012


PEMERIKSAAN JANTUNG

Inspeksi
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi
sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis
mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada
penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan
dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.

Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan dada
adalah:
Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru menutupi
jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang khususnya
ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya pungtum
maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas. Pembesaran
ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga akan berada
diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan memindahkan pungtum
maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan menggeser kekanan. Perlekatan
pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan pneumotoraks akan menyebabkan terjadi
pemindahan yang sama.
Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan seperti
hipertiroidisme, anemia, demam.
Palpasi

Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan
perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)
Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira
1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk dada
yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis
midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis agak
ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic
heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.
Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis
Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.

Pulsasi ventrikel kiri


Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar teraba
seperti menggelombang (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan tempat ke
lateral, terjadi misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meningkat akibat stenosis
aorta. Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral bawah, terjadi misalnya
pada beban diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat insufisiensi katub aorta.
Pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis beranjak ke lateral bawah.
Pulsasi apeks kembar terdapat pada aneurisme apikal atau pada kardiomiopati hipertrofi
obstruktif.

Pulsasi ventrikel kanan


Area dibawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal
tidak ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh kelebihan
beban sistolik ventrikel kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau hipertensi
pulmonal. Pulsasi yang kuat di daerah epigastrium dibawah prosesus sifoideus
menunjukkan kemungkinan adanya hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan. Pulsasi
abnormal diatas iga ke III kanan menunjukkan kemungkinan adanya aneurisma aorta
asendens. Pulsasi sistolik pada interkostal II sebelah kiri pada batas sternum
menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.

Getar jantung ( Cardiac Trill)


Getar jantung ialah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising
jantung adalah desiaran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah
prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik
(systolic thrill) timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya impuls
apikal. Getar diastolic (diastolic thrill) timbul pada fase diastolik dan teraba sesudah
impuls apikal.
Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan
insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerh mitral dan
bersambung kearah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik yang
pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang panjang
pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik pada area
aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis menunjukkan adanya
stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah tersebut menunjukkan adanya
insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut lebih keras teraba pada waktu
ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal menunjukkan adanya stenosis katup
pulmonal.
Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea para
sternalis kiri.

Perkusi jantungCara perkusi


Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV pada
garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari untuk
menentukan gambaran besarnya jantung.
Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi ventrikel
kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung merupakan
batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri. Kardiomegali dapat dijumpai
pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark miokard akut,
perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid, insufisiensi aorta, ventrikel
septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung
merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantung
melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas. Pada perikarditis pekat jantung absolut
melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat
menghilang pada emfisema paru yang berat, sehingga batas jantung dalam keadaan
tersebut sukar ditentukan.

Auskultasi Jantung
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi
(getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian
hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama untuk
mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk
mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.

Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :


a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.
b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.
c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan
bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang
terdengar.
Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian
hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac murmur).

Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi
yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya
pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub (opening
snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang lebih besar
dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada stenosis mitral.

Bunyi jantung utama


Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal sistolik,
meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat tekanan dalam
ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba chordae tendinea
yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan sempurna, dan getaran
kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri dan di dinding pangkal aorta
dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi jantung I terdiri dari komponen
mitral dan trikuspidal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:


Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras
bunyinya
Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin dekat
terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar dari
ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar terbukanya
katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena akselerasi darah dan
gerakan katup lebih cepat.
Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras
terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah. Demikian
juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.
Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,
BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta),
penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak
dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada pangkal
aorta yang baru tertutup rapat.
Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi Fallot,
stenosis pulmonalis,
Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen pulmonal.
Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial septal depect
bunyi jantung II terbelah.
BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi yang
ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan ventrikel
karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh perlambatan aliran
pengisian
Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal jantung,
hipertensi
Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang
lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi
sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi
atrium yang lebih kuat.
Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi ventrikel
kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,
Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut,
miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi, regurgitasi
aorta.

Bunyi jantung tambahan


Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi
dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi
aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan
terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan karena
stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana katup
aorta terbuka lebih lambat.
Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick) adalah
bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang disebabkan
karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih lambat dan lebih
keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena gangguan fungsi
muskulus papilaris atau chordae tendinea.
Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II pada
awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan kekuatan yang
lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral. Keadaan ini dapat
terjadi pada stenosis katup mitral.
Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.

Bunyi ekstra kardial


Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik
akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada
perikarditis.

Bising (desir) jantung (cardiac murmure)


Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat
vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.
Evaluasi desir jantung dilihat dari:
1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik
Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau
diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang teraba
pada awal sistolik.
Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi aorta,
gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri sampai
xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis
Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis
infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri bagian
atas, tatralogi fallot,
Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:
Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati pase
awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik
Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan fase
sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,
Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat
terdengar BJ II
Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan
Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh fase
sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid
Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:
Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan
biasanya menghilang pada pertengahan diastolik.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect
Bising jantung pertengahan: terdengar sesaat sesudah terdengar BJ II dan biasanya
berakhir sebelum BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect, stenosis mitral, Duktus Arteriosus
Persisten (DAP) yang berat
Bising jantung akhir diastolik atau presistolik: terdengar pada fase akhir diastolik dan
berakhir pada saat terdengar BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada stenosis mitral,
Bising jantung bersambungan: mulai terdengar paada fase sistolik dan tanpa interupsi
melampai BJ II terdengar kedalam fase diastolic
Bising ini dapat ditemukan pada patent dutus srteriosus

2.Intensitas bunyi:
intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras. Pada
insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung kanan
dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar dengan nada
tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.
Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:

3.Tipe (konfigurasi): timbul karena penyempitan atau aliran balik, dibedakan


Bising tipe kresendo: mulai terdengar dari pelan kemudian mengeras
Bising kresendo diastolik dapat terdengar pada stenosis mitral
Bising tipe dekresendo: bunyi dari keras kemudian menjadi pelan
Bising tipe kresendo-dekresendo: bunyi pelan lalu keras lalu pelan kembali
Bising tipe plateau: keras suara bising lebih menetap sepanjang pase sistolik, keras jarang
berbunyi kasar
Bising ini dapat dijumpai pada insufisiensi mitral.

4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin menyebar
kearah tertentu
Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke leher
atau aorta

Diposkan oleh gimy di 19:19 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Asuhan keperawatan dengan # FEMUR

A. Pengertian.

Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia Anderson Price
1985).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan junadi
1982).

B. Insidensi

Fraktur femur mempunyai angka kejadian/ insiden yang cukup tinggi di banding dengan
patah tulang jenis yang berbeda. Umumnya fraktur terjadi pada 1/3 tengah.

C. Penyebab Fraktur

1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian
tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah
tulang).

2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.

3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada “underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.

D. Tanda dan gejalanya

1. Sakit (nyeri).

2. Inspeksi

a. Bengkak.

b. Deformitas.

3. Palpasi

a. Nyeri.
b. Nyeri sumbu.

c. Krepitasi.

4. Gerakan

a. Aktif (tidak bisa  fungsio laesa).

b. Pasif  gerakan abnormal.

E. Patofisiologi

F. Deskripsi fraktur

1. Berdasarkan keadaan luka

a. Fraktur tertutup (“Closed Fraktur”) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.

b. Fraktur terbuka (“Open/ Compound Fraktur”) bila terdapat hubungan antara


fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.

2. Berdasarkan garis patah

a. Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang lain,
jadi mengenai seluruh dari korteks tulang.

b. Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain, jadi
masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi pada anak-anak
yang lazim di sebut dengan “Greenstick Farcture”.

3. Berdasarkan jumlah garis patah

a. Simple fraktur bila hanya terdapat satu garis patah.

b. Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling berbungan/
bertemu.

c. Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling berhubungan
dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang sama, misalnya fraktur yang
terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.

4. Berdasarkan arah garis patah

a. Fraktur melintang.
b. Farktur miring.

c. Fraktur spiral.

d. Fraktur kompresi.

e. Fraktur V/ Y/ T sering pada permukaan sendi.

Beberapa hal lain yang perlu di perhatikan dalam patah tulang:

a. Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.

b. Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3
distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi ¼ medial, ½ tengah, ¼ lateral.

c. Dislokasi fragmen tulang:

- Undisplaced.

- Fragmen distal bersudut terhadap proksimal.

- Fragmen distal memutar.

- Kedua fragmen saling mendekat dn sejajar.

- Kedua fragmen saling menjauhi dan sumbu sejajar.

G. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif.
Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau
operatif selamanya tidak absolut.

Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:

Cara konservatif:

1. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.

2. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.

3. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.

4. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.

Cara operatif di lakukan apabila:


1. Bila reposisi mengalami kegagalan.

2. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi  akibat yang lebih buruk).

3. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.

4. Fraktur patologik.

5. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.

Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:

- Pemasangan Gips.

- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin
traksi adalah 5 Kg.

Pengobatan operatif:

- Reposisi.

- Fiksasi.

Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction Internal
Fixation”)

H. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan fraktur

1. Pengkajian

a. Aktivitas dan istirahat

Keterbatasan, kehilangan fungsi pada bagian yang mengalami fraktur.

b. Sirkulasi

Peningkatan tekanan darah atau denyut nadi (akibat dari nyeri, response dari
stress).

Penurunan tekanan darah akibat dari kehilangan darah.

Penurunan jumlah nadi pada bagian yang sakit, pemanjangan dari capilarry refill
time, pucat pada bagian yang sakit.

Terdapat masaa hematoma pada sisi sebelah yang sakit.


c. Neurosensori

Kehilangan sensai pada bagian yang sakit, spasme otot, paraesthaesi pada bagian
yang sakit.

Lokal deformitas, terjadinya sudut pada tempat yang abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi, kelemahan pada bagian tertentu.

d. Kenyamanan

Nyeri yang sangat dan yang terjadi secara tiba-tiba. Hilangnya sensai nyeri akibat
dari kerusakan sistem syaraf.

e. Keamanan

Laserasi kulit , perdarahan, perubahan warna.

f. Studi diagnostik

X ray : Menunjukkan secra pasti letak dan posisi dari terjadinya fraktur.

Bone scan, tomography, CT/ MRI scan : Menegakan diagnosa fraktur dan
mengidentifikasi lokasi jaringan lunak yang mengalami kerusakan.

Ateriogram: Mungkin Jika diduga ada kerusakan pembuluh darah pada daerah
yang mengalami trauma.

CBC: Mungkin mengalami peningkatan dari Hct, Peningkatan WBC merupakan


hal yang normal setelah mengami trauma.

Creatinine: Trauma pada otot meningkatkan pembuangan creatininke ginjal.

2. Diagnosa keperawatan dan rencana tindakan

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan diskotinuitas jaringan tulang,


jaringan lunak di sekitar tulang

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan adanya


penurunan rasa nyeri, pengendalian terhadap spasme dan cara berelaksasi.

Rencana:

1. Pertahankan posisi atau imobilisasi pada bagian yang terkait.


2. Bantu dan tinggikan akstrimitas yang mengalami injuri.

3. Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.

4. Lakukan diskusi dengan pasien mengenai nyeri dan alternatif solusinya.

5. Jelaskan pada pasien setiap akan melakukan suatu tindakan.

6. Kaji kemampuan klien dalam ROM ekstrimitasnya.

7. Jelaskan pada pasien beberapa tahenik yang dapat dilakukan guna mengurangi
nyeri (relaksasi, distraksi dan fiksasi).

8. Kolaborasi dalam pemberian analgetik, antispamodik.

9. Observasi TTV dan keluhan nyeri.

b. Perubahan pola eliminasi uri berhubungan dengan adanya batu di saluran kemih,
iritasi jaringan oleh batu, mekanik obstruksi, inflamasi.

Tujuan: Setelah di lakukan tindakan perawatan klien mampu melakukan eliminasi


miksi secara normal, dan bebas dari tanda-tanda obstruksi.

Rencana:

1. Monitor intake dan output dan kaji karakteristik urine.

2. Kaji pola miksi normal pasien.

3. Anjurkan pada pasien untuk meningkatkan konsumsi minum.

4. Tampung semua urine dan perlu di lihat apakah ada batu yang perlu untuk di
lakukan pemeriksan.

5. Kaji adanya keluhan kandung kemih yang penuh, penurunan jumlah urine dan
adanya periorbital/ edema dependent sebagai tanda dari terjadinya obstruksi.

6. Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit, Bun, serum creat, urine kultur, dan
pemberian antibiotik.

7. Observasi keadaan umum pasien, status mental, perilaku dan kesadaran.

c. Resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan (defisit) berhubungan dengan


post obstruktif deurisis, nausea vomiting.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan (defisit) selama di lakukan
tindakan keperawatan.

Rencana:

1. Monitor intake dan output cairan.

2. Kaji dan catat bila terjadi nausea vomiting.

3. Anjurkan pasien untuk minum banyak (3-4 l/hari) jika tidak ada kontra indikasi.

4. Monitor tanda vital (peningkatan nadi, turgor kulit, mukosa membran, capilary
refill time).

5. Kaji berat badan setiap hari jika memungkinkan.

6. Kolaborasi dalam pemberian cairan intra vena sesuai indikasi, antiemetik.

7. Observasi KU pasien dan keluhan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Jakarta:
EGC.

Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.

Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Diposkan 29th November 2012 oleh charles tonjo

Tambahkan komentar

Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai