Anda di halaman 1dari 6

Perang tidak menentukan siapa yang benar, tapi siapa yang tersisa

Gadis berambut warna gandum itu melangkah dengan hati-hati di antara tubuh-tubuh tak bernyawa
yang tergeletak di atas tanah. Tanah itu sendiri tidak lagi berwarna coklat, tapi merah gelap, karena
tersiram darah prajurit yang berperang di atasnya. Gadis itu berhenti di tengah-tengah, dan
memejamkan matanya. Sebuah gelembung transparan muncul dari bawah kakinya dan terus membesar.
Setiap tubuh yang tersentuh oleh gelembung itu hancur menjadi debu, lawan maupun kawan. Dan
gelembung itu terus membesar, hingga tidak tersisa lagi tubuh para prajurit yang telah jatuh. Tanah itu
berubah menjadi tanah kosong yang tertutupi selimut berwarna merah darah.

Yuma kembali ke kelompoknya. Secundus L'Cie dari Rubrum berada di tengah-tengah mereka. Wanita
cantik itu sedang bicara dengan wanita lainnya, bertubuh tinggi dengan rambut ikal berwarna hitam. Dr.
Arecia Al-Rashia, archsorcerer milik Rubrum. Salah satu anggota dari Consortium of Eight.

"Yuma."

Panggilan mendadak dari Caetuna, Secundus L'Cie dari Rubrum, wanita yang selama ini
membesarkannya di bawah naungan sayapnya, membuat Yuma menghentikan langkahnya.

"Kemarilah."

Yuma mengikuti Caetuna. Keduanya berjalan menuju perbatasan Togoreth, yang kini hanya merupakan
padang rumput kosong akibat perang antara Milites dan Rubrum. Di depan tanah yang tadi Yuma sapu
bersih dengan kekuatannya, Caetuna berhenti. Ia menatap ke selimut merah yang menutupi tanah itu
dengan wajah tanpa ekspresi.

"Tugasmu disini sudah selesai. Tapi sudah ada tugas lain yang menantimu."

"Tugas lain..?"

"Ya. Kali ini tugas jangka panjang." Arecia tiba-tiba menyahut. Ia menyusul keduanya, "Kami ingin kau
membantu intel kami mengawasi bagian dalam Akademia. Kali ini sebagai salah satu cadet."

"Eeh??? Aku?? Menjadi cadet??" Seru Yuma, kehilangan ketenangannya begitu mendengar kata-kata
Arecia.

"Kenapa kau kelihatan takut begitu, eh?" Goda Arecia, "Menjadi cadet itu menyenangkan. Kau masih
muda. Usiamu sangat sesuai."

"B-bukan itu masalahnya, sensei... Tapi..."

"Kau sudah lupa caranya berinteraksi dengan remaja seusiamu." Kata Caetuna, menyelesaikan kalimat
Yuma yang tidak selesai. Yuma hanya bisa mengangguk lemah.

Sejak kecil ia tinggal bersama Caetuna. Ia tidak pernah berbicara dengan anak-anak seusianya, karena
posisi Caetuna. Dan setelah mampu mengendalikan kekuatannya, Yuma langsung ikut serta dalam
beberapa misi Caetuna, karena ia sendiri adalah agito. Vermillion Bird Crystal sudah memperhatikannya
sejak ia kecil, alasan pertama kenapa Caetuna memutuskan untuk membesarkannya. Jadi Yuma tidak
yakin ia cocok untuk misi ini.

"Aku yakin kau bisa beradaptasi dengan baik. Lagipula, kelas yang akan kau masuki adalah kelas khusus.
Mereka tidak jauh berbeda dibandingkan denganmu."

Yuma menatap ke arah Caetuna, yang sudah kembali memandangi bekas-bekas pertumpahan darah di
depan mereka.

"Wakarimashita. Kapan aku akan mulai, sensei?"

"Besok pagi. Langsung saja datang ke Akademia. Akan ada yang menjemput dan mengantarmu ke kelas.
Urusan lain-lain serahkan saja padaku."

Yuma mengangguk. Perhatiannya beralih pada Caetuna, yang dengan kemampuannya memanggil Shiva
unttuk menurunkan hujan. Tetesan hujan itu terasa begitu dingin. Tapi airnya membilas tumpahan darah
di atas tanah dengan sempurna.

...

Yuma memandangi gerbang tinggi di depannya dengan perasaan campur aduk. Ia ingin berada di tempat
ini, sekaligus tidak ingin. Sebenarnya sudah lama ia ingin merasakan menjadi seorang cadet. Tapi
interaksi sosial membuatnya ngeri.

Patung Vermillion Bird yang berdiri tegak di atas air mancur langsung terlihat begitu ia berjalan melewati
gerbang itu. Patung itu mengingatkannya pada Caetuna, yang sekarang tidak tahu ada dimana. Mungkin
pergi untuk menjalankan misi dari sang crystal. Beberapa cadet duduk di pinggiran kolamnya, entah
sedang membicarakan apa, tapi mereka terlihat gembira.

Rasa tidak enak kembali menyerang Yuma, kali ini langsung ke perutnya.

Aku rasa aku akan muntah-

"Yo. Anak baru."

Sebuah suara terdengar dari sampingnya. Seorang pemuda berseragam dengan syal coklat terikat di
lehernya. Ia mengenakan bandana berwarna merah.

"Kau pasti cadet baru yang dibicarakan oleh Arecia-sensei. Aku Naghi, cadet kelas 9. Kalau kau dengar
cerita aneh-aneh soal kelas 9, percaya saja."

"Halo, Naghi-san. Aku Yuma. Sensei bilang aku akan bergabung dengan kelas 0..."

Naghi melambai.

"Ikut aku. Aku tahu soal tugasmu-Hei, tenang~ Aku bekerja dalam misi intelegensi langsung di bawah
Arecia-sensei. Jadi bisa dibilang aku akan jadi informanmu dalam misi ini."
Yuma menghela nafas. Sesaat ia mengira ia ketahuan.

"Sensei benar. Akan lebih mudah mengawasi Akademia dari kelas 0. Kelas itu sering mendapatkan misi
level atas." Kata Naghi pelan.

"Begitu..." Yuma mengangguk-angguk, "Naghi-san, apakah kelas-kelas ini masing-masing memiliki tugas
khusus?"

"Naghi saja. Jangan terlalu formal. Kau jadi terdengar tua..."

Coba saja hidup bersama Lady Caetuna selama belasan tahun, batin Yuma.

"Ya kira-kira seperti itu. Kelas 0 sendiri terdiri dari cadet-cadet pilihan langsung dari Arecia-sensei. Aku
dengar mereka bukan cadet biasa. Ah, tapi kau akan tahu sendiri nanti."

Naghi membawa Yuna melewati beberapa koridor. Keduanya berpapasan dengan banyak cadet,
beberapa di antaranya adalah para recruit-syal abu-abu, kata Naghi. Setelah beberapa saat berjalan,
keduanya tiba di depan sebuah pintu besar. Salah satu daun pintunya terbuka, dan Yuma bisa melihat
bentuk kelas yang seperti ampitheatre dengan meja-meja panjang tersusun menghadap meja guru.

"Ini kelasmu. Masuk dan perkenalkan dirimu. Aku rasa sebentar lagi Kurasame-sensei akan datang."

"Kurasame? Kurasame Susaya? Hyouken no shinigami?" Tanya Yuma bersemangat. Naghi tidak terlihat
kaget, tapi ia tertawa.

"Ya. Satu-satunya. Kelihatannya Sice akan bertemu rival cinta lainnya..."

"Eh? B-bukan begitu!! Aku banyak mendengar cerita tentang dia jadi aku selalu penasaran-"

"Iya iya. Begitu juga sebagian besar cadet wanita di Akademia beralasan~ Baiklah. Aku pergi dulu! Kalau
butuh informasi, kau tahu di mana menemukanku! Ja ne~"

"N-Naghi!! Tunggu! Jangan salah paham-"

"Siapa disitu~?" Sebuah suara feminim bertanya di belakangnya.

Yuma melompat saking kagetnya. Ia buru-buru berbalik dan berhadapan dengan seorang gadis berambut
kuncir kuda dengan beberapa helai keriting tergerai membingkai wajahnya. Gadis itu terlihat muda dan
lugu.

"Apa kau ada perlu dengan seseorang di kelas 0??" Tanya gadis itu lagi.

"Tidak... Aku cadet baru di kelas 0-"

"Kyaaa!!! Teman baru!!!"


Gadis itu menarik tangan Yuma dengan genggaman yang sangat kuat. Yuma sudah lama menjalani
pelatihan fisik, namun kekuatan sebesar ini baru kali ini Yuma rasakan. Ia hampir yakin peredaran darah
di tangannya terhenti karena jari-jarinya mulai terasa kesemutan.

"Minna!! Kiite kiite!! Kita kedatangan teman baru!!"

Gadis itu menarik Yuma ke sampingnya tanpa mengurangi kekuatannya sehingga Yuma terlempar. Ia
memejamkan matanya, menanti rasa sakit akibat terhempas ke dinding kelas. Tapi rasa sakit itu tidak
seberapa. Bahkan dindingnya tidak terasa keras. Dinding itu hangat dan berdetak...?

Dinding itu meletakkan kedua tangannya ke bahu Yuma untuk membantunya berdiri tegak.

"Cinque!! Kau hampir saja melempar anak baru ini ke dinding!!!" Teriak dinding itu dengan suara yang
terdengar seakan sedang menahan tawa.

"Gomen nasaiiiiii~ Ya ampun maafkan aku!! Kau tidak apa-apa??"

Yuma meraba pergelangan tangannya, menggerakkan jari-jarinya untuk menghilangkan rasa


kesemutanya.

"Tidak apa-apa..." Yuma berbalik untuk berterima kasih pada penyelamatnya, dan terdiam. Nafasnya
tertahan ketika melihat cengiran lebar di wajah dinding itu. Seorang pemuda tinggi berdiri di
belakangnya.

"Cinque memang begitu. Nanti lama-lama juga kau akan terbiasa. Hai! Namaku Jack. Kau??"

"Yuma. Senang bertemu denganmu. Umm, kau juga, Cinque-san..."

"Cinque saja!! Ayo, aku kenalkan dengan yang lainnya!"

Selama beberapa menit Cinque menggiring Yuma ke cadet-cadet lainnya. Dalam sekejap ia sudah
dikenalkan dengan seisi kelas, yang entah kenapa memiliki nama seperti urutan angka, kecuali Machina
dan Rem, yang kebetulan merupakan cadet pindahan dari kelas lain.

Yuma duduk di salah satu bangku yang kosong dan menghela nafas. Cadet di kelas 0 semuanya
menerimanya dengan tangan terbuka. Namun berinteraksi dengan orang lain benar-benar menguras
tenaganya. Kini ia merasa lelah. Ia meletakkan kepalanya di atas kedua tangannya yang terlipat dan
menghela nafas lagi.

"Yuma-san? Daijoubu ka?"

Yuma buru-buru mengangkat kepalanya dan melihat Queen duduk di sampingnya. Kata Cinque, Queen
adalah kaichou dari kelas 0. Gadis itu terlihat dewasa dan tenang, benar-benar berbeda dengan Cinque.

"Aku baik-baik saja."

"Kau terlihat lelah."


"Benarkah?" Yuma tertawa, kikuk. Queen mengangguk.

"Ini adalah pertama kalinya aku bicara begitu banyak dalam sehari... Rasanya melelahkan... Tapi aku juga
merasa hangat..."

Queen tersenyum.

"Sukurlah kalau begitu. Anak-anak di kelas ini memang kadang-kadang kelewat bersemangat, terutama
Cinque. Tapi mereka semua anak baik. Jadi Yuma tidak perlu khawatir. Machina juga awalnya sepertimu,
bahkan lebih parah..." kata Queen, membisikkan kalimat yang terakhir.

Yuma melirik Machina, pemuda tinggi berambut gelap dengan mata hijau yang indah. Sekilas ia terlihat
pendiam. Tapi siapa sangka dibalik wajah dingin itu tersimpan energi yang meluap-luap. Buktinya, saat
ini ia sedang beradu argumen dengan Nine. Sekilas, ia bisa mendengar topik argumentasi mereka.

"Emina-sensei adalah yang terbaik!! Lady's part miliknya adalah yang terbaik!!" Teriak Nine.

"Yang penting itu kepribadian! Pemikiran seperti itu hanya membuktikan kalau kau dangkal, Nine."

"Heh? Pria normal manapun akan berpikir seperti aku tahu! Jangan samakan aku dengan kau yang lebih
memilih pedang, dong!"

"Maaf deh, kalau pilihan senjataku tidak sesuai dengan seleramu!!"

"Um... Machina. Aku rasa bukan itu maksudnya Nine..." Trey buka suara.

Yuma kembali memandang ke depan.

"Aku... akan jadi seperti itu...?" Gumam Yuma, mendadak mengkhawatirkan masa depannya.

...

Dormitori cadet, koridor A, kata Kurasame-sensei (dia sekeren yang Yuma dengar dari orang-orang. Tapi
ia tidak bisa lama-lama mengagumi komandan kelasnya itu karena Sice menatap tajam ke arahnya).
Nomor 6, Yuma melihat angka yang tertera di kartu kuncinya. Sialnya, sepertinya Yuma tersesat.

Dalam hal offence maupun defence, Yuma mungkin berada di peringkat di atas rata-rata. Namun dalam
hal navigasi, nilainya benar-benar di posisi jongkok, mungkin berbaring. Ia nyaris berpikir untuk meminta
bantuan Naghi kalau saja ia bisa menemukan pintu keluarnya.

Kenapa sih, mereka tidak menandai setiap koridor dengan papan atau sesuatu yang lain... gerutu Yuma
dalam hati.

Ia berbelok di salah satu koridor dan bernafas lega ketika melihat pintu-pintu berderet memanjang
hingga ke ujung koridor yang buntu. Ia mulai menghitung pintu-pintu-untungnya ada nomor tertera
disitu, rupanya huruf penanda koridornya tertera juga disitu-dan berhenti di depan pintu bertanda A6. Ia
menyapukan kartu kunci di tangannya ke panel kunci, dan mengerenyit ketika pintu itu tidak bergeming
sama sekali.

"Eh...? Aneh sekali..." gumam Yuma, kembali menyapukan kartu itu ke panelnya. Tetap tidak bergeming.
Ketika Yuma menyapukan kartu itu untuk ketiga kalinya, bunyi beep terdengar dari balik pintu dan pintu
itu menggeser terbuka, dan Jack berdiri di baliknya. Dan ia bertelanjang dada.

"Uwa!" Yuma mundur selangkah, tersandung kakinya sendiri dan nyaris jatuh terduduk kalau saja Jack
tidak menarik lengannya.

"Oi oi! Hati-hati!"

"A-arigatou-"

"Yuma? Daijoubu? Kenapa mukamu merah begitu? Kau sakit? Mau kuantar menemui Fujihito-sensei?"
Jack bertanya panjang lebar. Yuma hanya bisa menggeleng. Kemampuan bicaranya mendadak hilang.

"Aku baik-baik saja. Uh... aku... kamar ini..."

"Yap. Kamarku. Kenapa?"

"Huh? Tapi-" Yuma kembali melihat angka yang tertera di kartu kuncinya dan menyadari bahwa ia
melihatnya dalam posisi terbalik. Buktinya, huruf A di bagian belakang kartu itu juga terbalik. Yuma yakin
wajahnya kini semerah tomat.

Jack menyadari masalahnya, dan ia tertawa.

"Kamarmu yang di sana. Nomor 9, kan? Tepat di samping kamar Rem." Kata Jack. Ia menunjuk sebuah
kamar yang terletak satu kamar di seberang kamarnya sendiri.

"Maafkan aku!! Kalau begitu... sampai nanti!" Seru Yuma, buru-buru berbalik dan pergi ke kamarnya
sendiri. Ia masih bisa mendengar Jack tertawa kecil.

"Selamat beristirahat, Yu-chan~" sapa Jack, menggunakan nama panggilan yang dibuatkan Cinque
untuknya. Yuma membatu di depan pintu kamarnya, bahkan setelah Jack masuk. Tangannya
menggantung dalam posisi akan menyapukan kartu kuncinya.

Kenapa aku jadi sekikuk ini? Batin Yuma, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak gila-gilaan.

Anda mungkin juga menyukai