Anda di halaman 1dari 12

REKAYASA PENAKAR HUJAN SEDERHANA

UNTUK MENDUKUNG MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHANAN IKLIM

Oleh :
Hunggul Y.S.H. Nugroho1) , M. Kudeng Sallata2)
1)
Peneliti Madya Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan
Email : hunggulys@yahoo.com; hunggulys@forda-mof.org

2)
Peneliti Utama Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan
Email : kudengs@yahoo.com

ABSTRAK

Pemahaman karakter hujan adalah faktor penting penunjang keberhasilan upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim serta pengembangan sistem peringatan dini bencana banjir dan
longsor pada suatu daerah. Tanpa data curah hujan yang akurat dalam jumlah yang cukup,
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta pengembangan sistim peringatan dini
tidak akan berhasil optimal. Untuk hasil analisis yang akurat, data curah hujan yang
diperlukan adalah curah hujan rata-rata dari beberapa titik pengamatan curah hujan yang
merepresentasikan curah hujan wilayah, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu.
Semakin banyak alat penakar hujan dipasang pada daerah-daerah yang mempunyai curah
hujan yang beragam, data curah hujan area yang diperoleh akan semakin baik. Pada
kenyataanya, data curah hujan yang ada saat ini sangat terbatas karena terbatasnya jumlah
alat penakar hujan dan keterbatasan pengamat. Keterbataasan data ini terutama terjadi di
daerah hulu DAS yang sesungguhnya merupakan wilayah yang memberikan kontribusi
penting pada kejadian banjir. Alat penakar hujan milik BMG dan Departemen Pertanian pada
umumnya dipasang di daerah tengah dan hilir DAS. Alat penakar hujan buatan pabrik yang
ada selama ini, selain mahal, apabila mengalami kerusakan untuk memperbaikinya diperlukan
tenaga terampil khusus, sehingga banyak alat penakar hujan terpasang di lapangan yang
rusak dan dibiarkan tidak berfungsi. Untuk menjawab persoalan di atas, BP2LHK Makassar
merancang alat penakar hujan sederhana, murah dan apabila rusak mudah diperbaiki yang
diberi nama ATHUS (Alat Takar Hujan Sederhana). Tujuannya adalah untuk mengatasi
persoalan kekurangan data hujan melalui penyediaan alat penakar hujan alternatif. ATHUS
adalah alat penakar hujan manual dari pipa PVC. Berbeda dengan penakar hujan manual tipe
ombrometer yang pengukuran curah hujannya memerlukan gelas ukur, pada ATHUS fungsi
gelas ukur digantikan oleh pembacaan pada pipa transparan berskala yang terpasang di luar
tabung. Pendayagunaan ATHUS untuk pengamatan curah hujan dengan konsep utuh diakui
oleh Kementerian Riset dan Teknologi sebagai salah satu dari 102 inovasi paling prospektif di
Indonesia tahun 2010. Selanjutnya, dalam Peraturan Dirjen PHKA no P.07/IV-SET/2014
tentang Pedoman Inventarisasi SD Air di Kawasan Konservasi, ATHUS direkomendasikan
sebagai alat yang digunakan untuk pengamatan curah hujan.

Kata Kunci : curah hujan, mitigasi, adaptasi, perubahan iklim, peringatan dini
SIMPLE RAIN GAUGE ENGINEERING
TO SUPPORT CLIMATE CHANGE MITIGATION AND ADAPTATION

By :
Hunggul Y.S.H. Nugroho1) , M. Kudeng Sallata2)

Researcher of Hidrology and Soil Conservation


1)

Research and developmnet institute of Environment and Forestry of Macassar


Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan
Email : hunggulys@yahoo.com; hunggulys@forda-mof.org

2)
Senior resercher of Hidrology and Soil Conservation
Research and developmnet institute of Environment and Forestry of Macassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan
Email : kudengs@yahoo.com

ABSTRACT

An understanding of rain characters is an important factor of supporting the success of


climate change mitigation and adaptation efforts and development of early warning system
for floods and landslides disaster of certain area. Without accurate rainfall data in sufficient
quantities, mitigation and adaptation of climate change and early warning system will not
work optimally. For accurate analysis results, there must be data of an average rainfall over
an area collected from several rainfall observation stations, not rainfall data from a single
station. The more rain gauge in such area with diverse rainfall, the better data acquired. In
fact, the rainfall data is currently very limited due to the limited amount of installed rain
gauge and the limitation of observer. The lack of data mainly occurs in the upstream
watershed which provides important contributions to the flood event. A Rain gauge installed
by BMG and the Ministry of Agriculture are generally mounted in the middle and lower area
of the watershed. Factory-made rain gauge, in addition to expensive, there must be a special
technician to repair when damaged, causing many rain gauge in field is not functioning. To
solve the problem above, BP2LHK Makassar designing a rain gauge which is simple,
inexpensive and easy to use named ATHUS. The aim is to overcome the problem of rainfall
data limitation through the provision of an alternative rain gauge. ATHUS is a manual rain
gauge made from PVC pipe. In contrast to a factory-made rain gauge which need a
measuring glass to measure the rainfall, in ATHUS the function of measuring glass is replaced
by a transparent pipe with scale installed outside the tube. The use of ATHUS for rainfall
observation in the whole concept was recognized by the Ministry of Research and Technology
as one of the 102 most prospective innovation in Indonesia in 2010. Subsequently, in The
Director General of Forest Protection and Nature Conservation regulation No. P.07 / IV-SET /
2014 on Guidelines for Water Resources Inventory in Conservation Areas, ATHUS was
recommended as a tool for observation of rainfall.

Key words : rainfall data, mitigation, adaptation, climate change, early warning

I. LATAR BELAKANG
Pemahaman karakter hujan adalah faktor penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim serta pengembangan sistem peringatan dini bencana banjir dan longsor
pada suatu daerah. Pemahaman karakter curah hujan juga sangat penting dalam upaya
mitigasi dan adaptasi bencana banjir dan longsor serta membangun sistem peringatan dini,.
Tanpa data yang akurat dalam jumlah yang cukup , sistem peringatan dini dan upaya
mitigasi bencana yang akan dilaksanakan tidak akan akurat. Curah hujan yang diperlukan
adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada
suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan
dalam milimeter (mm) (Sosrodarsono dan Takeda, 1999). Curah hujan daerah ini harus
diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Semakin banyak alat penakar
hujan dipasang pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan yang beragam, data curah
hujan area yang diperoleh akan semakin baik. Pada kenyataannya data curah hujan yang
dibutuhkan sangat terbatas sebagai akibat terbatasnya jumlah alat penakar hujan terpasang
khususnya pada hulu DAS. Data hujan yang digunakan hanya berasal dari alat penakar yang
berada di stasiun klimatologi yang cukup jauh dari lokasi kegiatan yang nota bene memiliki
karakteristik hujan yang berbeda dengan dengan data yang ada. Alat penakar hujan milik
BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) dan Departemen Pertanian pada umumnya dipasang
di daerah tengah dan hilir DAS yang secara teknis tidak mampu merepresentasikan kondisi
curah hujan dibagian hulu yang menjadi sumber air banjir.
Untuk menjawab persoalan diatas, Balai Penelitian dan Pengembangan LHK merancang
alat penakar hujan sederhana yang yang diberi nama ATHUS (Alat Takar Hujan Sederhana).
ATHUS adalah alat penakar hujan yang murah dan mudah digunakan dan dirancang untuk
mengatasi masalah keterbatasan data curah hujan.

II. ATHUS : ALAT TAKAR HUJAN SEDERHANA

A. Deskripsi Athus
ATHUS adalah model penakar hujan yang rancangan dasarnya mengambil model
ombrometer (alat penakar hujan standar) ukuran 100 ml. Perbedaan dengan ombrometer
adalah pada bahannya, dimana ombrometer terbuat dari aluminium sedangkan ATHUS
terbuat dari pipa paralon (PVC). Pengamatan curah hujan pada OMBROMETER
menggunakan gelas ukur, sedangkan ATHUS menggunakan pipa transparan berskala yang
mengambarkan ketinggian curah hujan pada waktu tertentu.
ATHUS adalah alat penakar hujan yang sederhana, murah, dan mudah dibuat yang
diharapkan mampu menjawab persoalan mendasar mengenai kebutuhan akan alat penakar
hujan. Dengan adanya ATHUS dapat dimungkinkan pemasangan penakar hujan di hulu-hulu
DAS kritis secara masal sehingga kebutuhan akan data hujan dapat terpenuhi sesuai
kebutuhan. Pembuatan ATHUS menggunakan rancangan dasar penakar hujan manual
standar model ombrometer ukuran 100 ml. Perbedaan dengan ombrometer adalah pada
bahannya.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan ATHUS pada dasarnya merupakan bahan-
bahan yang mudah diperoleh di toko-toko bahan bangunan di kota kecamatan sekalipun.
Berbeda dengan ombrometer yang ada di pasaran, pengukuran curah hujan pada ATHUS
tidak lagi menggunakan gelas ukur melainkan melalui pipa transparan yang dihubungkan
dengan tabung penampung air hujan. Penggunaan pipa transparan berskala yang terbuat
dari pipa acrylic ini dimaksudkan untuk mengatasi kendala dalam pengamatan hujan dengan
gelas ukur. Persoalan kehilangan data seringkali dipicu oleh gelas ukur yang pecah sehingga
ada kekosongan data akibat menunggu adanya gelas ukur baru yang didatangkan dari kota.
Penggunaan pipa transparan berskala lebih praktis dibandingkan dengan penggunaan gelas
ukur.
Pembacaan skala pada pipa transparan ini sesuai dengan prinsip bejana berhubungan
dimana ketinggian air di dalam bak penampung sama dengan ketinggian air di dalam pipa
berskala. Skala pada pipa transparan ditentukan berdasarkan perhitungan luas penampang
tabung utama dan luas penampang pipa acrilic sehingga angka terbaca pada skala sudah
disamakan dengan ketinggian/kedalaman air hujan yang jatuh (dalam mm). Sebagai alat
penakar curah hujan harian, kapasitas tampung curah hujan yang bisa diukur dengan athus
adalah 350 mm.
Gambar 1. Kiri : ATHUS (Alat Takar Hujan Sederhana)
Kanan : Tera ukur pada pipa acrylic transparan
B. Spesifikasi ATHUS :

Bahan Utama :

Penampung : Pipa PVC 3” panjang 350 mm,


diamater dalam 85 mm
Cover : Pipa PVC 4” panjang 400 mm
Pipa Tera : Pipa Acrilic diameter luar 25mm,
diameter dalam 21mm, panjang 400 mm
Mulut penakar : Pipa PVC 3” panjang 150 mm
Ukuran CH maksimal : 350 mm
Keran buangan : keran 0,5”

Bahan lainnya :
- Over shock PVC 3x4”
- T PVC 0,5”
- Elbow PVC 0,5”
- Shock drat dalam PVC 0,5”
- Shock drat luar PVC 0,5”
- Sambungan lurus PVC 3”
- Tutup pipa PVC 3”
- Tutup Pipa PVC 4”

C. Pengukuran Dan Analisa Data

Pengukuran
Data curah hujan yang diperoleh dari ATHUS ver.3 adalah hujan harian. Pencatatan data
curah hujan dilakukan setiap hari pada jam 7 pagi melalui pembacaan langsung. Data curah
hujan hari tersebut dimasukkan ke dalam tally sheet seperti pada contoh berikut :

Contoh . Tabel Pengamatan Curah Hujan Harian


NAMA STASIUN : Bulubalea
BULAN : Desember
TAHUN : 2005

No. Tanggal Curah Hujan Aktual Keterangan


(mm)
1 1
2 2
3 3
… …
31 31
Jumlah
Bulubalea, 31 Desember 2005
(Nama Pengamat)

Kolom nomor merupakan kolom jumlah hari hujan, sedangkan kolom tanggal merupakan
kolom waktu kejadian hujan. Pada contoh di atas, kolom curah hujan merupakan data curah
hujan aktual. Kolom keterangan diisi dengan penjelasan mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan pengukuran, seperti misalnya kerusakan alat. Pada kolom keterangan
dituliskan waktu berlangsungnya hujan yaitu jam mulai dan jam berakhir hujan. Atau paling
tidak bisa disampaikan saat kejadian hujan seperti pagi, siang, atau sore dan perkiraan
lamanya hujan (1 jam, 2 jam, dst). Keterangan seperti ini penting sekali terutama apabila
kita ingin menganalisa suatu kejadian erosi. Keterangan ini bisa digunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti : mengapa volume curah hujan yang sama bisa menghasilkan
erosi yang berbeda ? mengapa volume curah huja harian yang lebih kecil justru
mengakibatkan erosi yang lebih besar dibandingkan dengan suatu kejadian lain yang volume
hujannya lebih besar ?
D. Analisa Data Hujan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, disamping data curah hujan titik (data tunggal
dari satu stasiun), data curah hujan sering dimanfaatkan adalah curah hujan area. Data
curah hujan seperti ini umumnya digunakan untuk perencaanaan dalam skala catchments
area (daerah tangkapan) misalnya untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan
rancangan pengendalian banjir. Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik
pengamatan curah hujan. Semakin banyak alat penakar hujan dipasang pada daerah-daerah
yang mempunyai curah hujan yang beragam, data curah hujan area yang diperoleh akan
semakin baik.
Terdapat banyak cara untuk menghitung curah hujan wilayah antara lain cara rata-rata
aljabar, poligon thiessen, garis isohyet, cara garis potongan antara (intersection line
method), cara dalam elevasi (Depth-elevation method). Berikut disampaiakan cara
perhitungan curah hujan rata-rata dengan rata-rata aljabar dan poligon thiessen, dua cara
yang paling sering dipakai karena relatif lebih muda dibandingkan cara lain.

1). Cara rata-rata aljabar

Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di sekitar
daerah yang bersangkutan.
Ř = 1/n (R1 + R2 + ... + Rn)
Dimana :
Ř = Curah hujan daerah (mm)
N : jumlah titik-titik (pos-pos pengamatan)
R1 + R2 + ... + Rn : curah hujan di setiap titik pengamatan (mm).
Apabila jumlah titik pengamatan banyak dan tersebar merata diseluruh daerah, hasil
yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang diperoleh dengan cara lain.
Keuntungan dari cara ini adalah obyektivitas yang berbeda dengan cara lain yang melibatkan
unsur subyektivitas.

2) Cara Poligon Thiessen


Apabila titik pengamatan tidak tersebar merata, maka dipergunakan pendekatan yang
berbeda dengan cara rata-rata yaitu dengan mempergunakan daerah yang terpengaruh oleh
masing-masing titik alat.

STA 1

STA 2 STA 3

STA 4

STA 5

STA 5

STA 6

Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

A1R1  A2 R 2  ... AnRn


Ř=
A1  A2  ...  An
A1R1  A2 R 2  ... AnRn
=
A
= W1R1 + W2R2 + ... + WnRn

dimana :
Ř = curah hujan daerah
R1, R2, ... Rn = curah hujan di tiap alat (stasiun pengamatan) dan n adalah jumlah titik alat.
A1, A2, ... An = bagian daerah yang mewakili setiap titik alat
1,2,3, … n = nomor stasiun
A1 A2 An
W1, W2, ... Wn = , , ...
A A A
Untuk menentukan A1, A2, ... An, dipergunakan cara sebagai berikut :

1. Tentukan titik-titik A1, A2, ... An di dalam peta topografi skala 1 : 50.000
2. hubungkan masing-masing titik alat yang berdekatan dengan garis lurus sehingga
terbentuk jaringan segitiga-segitiga
3. gambarkan garis bagi tegak lurus pada setiap sisi segitiga untuk membentuk poligon-
poligon. Curah hujan didalam poligon dianggap diwakili oleh curah hujan dari alat
penakar dalam poligon tersebut
4. ukur luas setiap poligon dengan menggunakan planimeter untuk menghitung luas
wilayah yang diwakili oleh setiap alat pada masing-masing poligon tersebut.

Cara poligon thiessen memberikan hasil yang relatif lebih teliti dibandingkan cara aljabar
rata-rata. Kesulitan akan terjadi apabila terjadi kehilangan data pada satu atau lebih titik alat
maka perlu dilakukan kembali tahapan pembuatan poligon-poligon yang baru.

III. PENGELOLAAN DATA HUJAN PARTISIPATIF BERBASIS MASYARAKAT

Model pengelolaan data curah hujan berbasis masyarakat dirancang untuk mendukung
kebutuhan data hujan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya alam dan mitigasi
bencana dengan prinsip-prinsip : cepat, tepat, berdaya guna dan berhasil guna; kemitraan
dan pemberdayaan.
Kegiatan utama adalah pemasangan alat penakar hujan dan pencatatannya pada
daerah-daerah di hulu DAS yang mempunyai karakter curah hujan berbeda. Semakin banyak
wilayah yang terwakili informasi hujannya, maka data hujan yang bisa dipakai untuk
perencanaan pengelolaan SDA maupun pengendalian bencana banjir dan longsor akan lebih
baik. Pengukuran curah hujan dilakukan oleh anak-anak SD di sekolah-sekolah yang berada
di hulu DAS. Data ini kemudian akan dikumpulkan secara bertahap di kelurahan, kecamatan
dan terakhir di Kabupaten.
ATHUS dipasang di sekolah-sekolah SD yang tersebar di pelosok-pelosok desa.
Pencatatan data hujan bisa dilaksanakan oleh murid dari kelas IV SD keatas secara bergiliran.
Selain untuk keamanan alat, dan kontinuitas pengamatan, upaya ini juga dimaksudkan untuk
memperkenalkan IPTEK sedini mungkin kepada generasi penerus di hulu DAS.
Sasaran kegiatan adalah menjawab keterbatasan data akibat keterbatasan alat dan
tenaga pengamat, dan kecepatan lalu lintas data guna membangun sistem informasi yang
tepat, cepat dan akurat. Hal lain yang tidak kalah penting adalah meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang iklim khususnya curah hujan dan hubungannya dengan
lingkungan. Sasaran lainnya adalah pengenalan IPTEK sedini mungkin dan peningkatan sadar
bencana pada masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana maupun di daerah yang
potensial menjadi kontributor terjadinya bencana.
Kegiatan ini terdiri dari tiga rangkaian kegiatan yaitu : pengukuran, pengumpulan, dan
pengolahan data curah hujan. Data curah hujan yang dicatat dari setiap sekolah dua hari
sekali dikumpulkan ke kantor desa setempat. Pada hari ke 3 data dikirim dari desa ke
kecamatan. Pada hari ke 5 atau 6 data semua kecamatan diharapkan sudah terkumpul di
kantor kabupaten atau lembaga tertentu yang ditunjuk. Setiap instansi pengguna data bisa
memperoleh data di kantor kabupaten. Data curah hujan di tingkat kabupaten bisa
merupakan data mentah maupun data hujan yang sudah diolah.
Untuk membangun basis data di tingkat desa, dibutuhkan waktu 2-3 tahun pengamatan.
Biaya yang diperlukan terdiri dari biaya pengadaan ATHUS (satu kali), biaya insentif
pengamat (anak sekolah) dihitung per tahun, dan biaya insentif pengumpul dan pengolah
data. Dalam satu desa, jumlah ATHUS terpasang di dekati berdasarkan informasi sebaran
variasi curah hujan dari masyarakat dikombinasikan dengan konfigurasi topografi. Biaya
pengamatan tidak diberikan dalam bentuk uang namun diberikan dalam bentuk indentif
buku, fasilitas sekolah dan lainnya.
Pendayagunaan ATHUS untuk pengamatan curah hujan dengan konsep utuh diakui oleh
Kemenristek sebagai salah satu inovasi paling prospektif di Indonesia tahun 2010 (Gambar
3). Selanjutnya, dalam Peraturan Dirjen PHKA no P.07/IV-SET/2014 tentang Pedoman
Inventarisasi SD Air di Kawasan Konservasi, ATHUS direkomendasikan sebagai alat yang
digunakan untuk pengamatan curah hujan.
Gambar 2. ATHUS (Alat Takar Hujan Sederhana) BP2LHK Makassar
Gambar 3. Serifikat penghargaan Inovasi Indonesia 2010

IV. PENUTUP
ATHUS adalah alat penakar hujan sederhana yang murah dan mudah dibuat. Dengan
pemasangan ATHUS secara massal di hulu-hulu DAS, kendala kekurangan data hujan dalam
perencanaan pengelolaan sumberdaya alam dan mitigasi banjir dan longsor dapat di
minimalkan. Di samping itu dengan pemasangan ATHUS di sekolah dan pendayagunaan
siswa serta aparat pemerintah desa, kekurangan tenaga pengamat dapat diatasi dan
sekaligus pemasyarakatan IPTEK kepada siswa-siswa dan aparat pemerintah daerah di
pelosok.
ATHUS dapat diaplikasikan untuk berbagai kebutuhan mendasar dalam pengelolaan
pengelolaan sumberdaya lahan maupun antisipasi banjir dan longsor. Dalam pemilihan
komoditi tanaman, penentuan jadwal waktu pengelolaan lahan, dan perancangan bangunan-
bangunan air, bangunan konservasi maupun sarana-prasarana lain, ketersediaan data yang
akurat dan mampu merepresentasikan kondisi riil curah hujan akan sangat mempengaruhi
keberhasilan. Informasi ini selain berguna untuk pengelolaan SDA pada level kabupaten,
juga bermanfaat bagi Desa itu sendiri dalam pengelolaan lahan dan peningkatan sadar
bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Sosrodarsono, S dan Takeda, 1999. Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai