Referensi 1 PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 61

SKRIPSI

STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN


GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI

Oleh
HASAN
F24101107

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Hasan. F24101107. Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari
Kulit Sapi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ir. Irshan
Zainudin,M.Si.

ABSTRAK

Gelatin merupakan molekul polipeptida dengan bobot molekul tinggi yang


berasal dari kolagen yang merupakan komponen utama penyusun jaringan hewan
(kulit, tulang, dan tendon). Gelatin umumnya digunakan sebagai bahan
pengemulsi dan penstabil sistem emulsi mengingat kemampuannya dalam
berikatan dengan air dan lemak. Produk pangan yang umumnya diproduksi
dengan tambahan gelatin antara lain permen, es krim, jelly, dan daging kaleng.
Kemampuan gelatin untuk meningkatkan nilai guna suatu produk dimanfaatkan
oleh industri pangan, industri farmasi, kosmetika dan kimia. Industri farmasi
umumnya menggunakan gelatin sebagai bahan baku dalam pembuatan kapsul
sedangkan industri kimia menggunakan gelatin dalam pembuatan perekat (lem)
dan film untuk fotografi
Salah satu proses penting dalam pembuatan gelatin adalah ekstraksi.
Proses ekstraksi termasuk dalam proses utama dikarenakan selama proses ini
berlangsung terjadi denaturasi serat kolagen menjadi gelatin. Semakin efektif dan
efisien proses ekstraksi yang dilakukan maka akan semakin baik pula kualitas
gelatin yang akan didapatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang
hal-hal yang dapat memaksimalkan proses ekstraksi. Penelitian ini menggunakan
metode perendaman (liming) bahan baku kulit sapi dalam kondisi basa. Hal ini
didasarkan pada kondisi kulit yang dijadikan sebagai bahan baku. Kulit diperoleh
dari sapi dewasa (2-3 tahun) dengan kondisi kolagen yang sudah tua (US Patent
5877287). Kolagen yang tua mempunyai susunan ikatan triple helix yang lebih
rapat dan kompleks akibatnya membutuhkan basa agar proses hidrolisis kolagen
menjadi gelatin lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan perbandingan kulit-air serta pemberian interval agitasi yang berbeda
pada proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode
ekstraksi basa. Karakteristik produk gelatin hasil penelitian yang diukur antara
lain; rendemen, kadar air, kadar abu, warna, kekuatan gel, viskositas, dan
stabilitas emulsi.
Ekstraksi dilakukan pada 4 tingkat perbandingan kulit-air yaitu ; 1 :1, 1:2,
1:3, dan 1: 4 dengan interval agitasi di tiap 10, 20, dan 30 menit. Agitasi
dilakukan dengan kecepatan putaran 50 rpm dan lama putaran 3 menit setiap kali
berputar. Ekstraksi dilakukan dengan 5 tahap dengan suhu dan lama masing-
masing: tahap I (55 OC, 5 jam), tahap II (65 OC, 4 jam), tahap III ( 75 OC, 3 jam),
tahap IV (85 OC, 2 jam) , dan tahap V (95 OC, 1 jam). Pengamatan pengaruh
kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta interval agitasi) terhadap beberapa
parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua perlakuan tidak memberikan pola
kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak ada tren khusus (naik atau turun)
pada parameter yang diamati akibat dari peningkatan atau penurunan kuantitas
perlakuan yang diberikan.
Kisaran nilai rendemen yang didapatkan dari penelitian ini adalah 6,46 –
13,11%,. Pengukuran warna gelatin hasil penelitian menggunakan chromameter
didapatkan kisaran notasi L 55,49-58,90 (cerah) dan notasi b 39,74-41,68
(kuning). Nilai kadar air gelatin hasil penelitian berada pada kisaran 8,82-12,74 %
dengan nilai kadar abu berada pada kisaran 2,89-3,89 (% bk). Pengukuran nilai
kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi gelatin hasil penelitian didapatkan
nilai masing-masing berada pada kisaran 115– 280 bloom, 5 – 18 cP dan 50,71-
59,62%.
Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent
(1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3,
dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1,
A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang
termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang.

.
STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN
GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI

Skripsi
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
HASAN
F24101107

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN
GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI

Skripsi
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
HASAN
F24101107

Dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1982 di Jakarta


Tanggal Lulus : 27 Desember 2006

Menyetujui,
Bogor , April 2007

Dr. Ir. Sugiyono, MApp.Sc Ir. Irshan Zainudin,M.Si


Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Dahrul Syah, MSc


Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP

HASAN lahir di Jakarta, 14 Februari 1982. Penulis


merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan
Bapak H. Abdul Hamid (alm) serta Ibu Hasanah. Pendidikan
dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum diselesaikan
di Jakarta yaitu SDN 05 Pagi Jakarta Utara, SLTPN 244 Jakarta
Utara, dan SMUN 52 Jakarta Utara.
Tahun 2001 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor melalui UMPTN. Selama menempuh pendidikan, penulis
aktif mengikuti organisasi kemahasiwaan di Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat
Persiapan Bersama IPB (BEM TPB IPB 2001-2002), Pendiri UKM Klip (2002),
Badan Pengawas HIMITEPA (2002-2003), staf divisi profesi HIMITEPA (2003-
2004), menjadi asisten mata kuliah Pengawasan Mutu dan Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam. Penulis menyelesaikan kuliah di IPB dengan skripsi
berjudul ” Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari Kulit
Sapi”
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala Rabb Semesta Alam atas
nikmat Iman, nikmat Islam, dan nikmat sehat wal afiat sehingga penulis bisa
merampungkan amanah besar ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan pada
Guru Besar dalam ilmu penghambaan pada sang Khalik, junjungan seluruh umat
manusia, dialah Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Shalawat
serta salam juga penulis sampaikan pada seluruh keluarga Beliau, Sahabat,
Tabi’in serta seluruh umat manusia yang mengikuti ajarannya sampai hari akhir
kelak.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala
dukungan, arahan, dan doa sehingga skripsi ini akhirnya bisa diselesaikan. Terima
kasih penulis sampaikan pada;
1. Almarhum Ayahanda dan Ibunda, serta semua Kakak serta Adikku anggota
Keluarga Besar Hamid (Muliani, Abdullah, Nurbani,. Jihan, Husain,
Rahmatiah, Muslim, dan Mei Muna). Semoga Allah Ta’alla selalu
memberikan rasa kasih dan sayang diantara kita semua serta menjaga kita
semua dari siksaan api neraka.
2. Bapak Dr. Ir Sugiyono, M.App Sc selaku dosen pembimbing pertama yang
sudah dengan sabar memberikan arahan, dukungan, serta ilmu selama penulis
menempuh studi di almamater ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan
Bapak dengan sesuatu yang lebih baik.
3. Bapak Ir. Irshan Zainuddin, Msi selaku dosen pembimbing kedua atas semua
dukungan moril, motivasi, serta pembiayaan selama penulis menyelesaikan
penelitian ini.
4. Bapak Dr. Ir. Djoko Hermanianto yang telah bersedia menjadi dosen penguji
pada ujian skripsi penulis
5. Bapak Ir. Harianto Msi, Ir. Suharjito MSi, dan Bapak Ir. M. Jusuf Djafar MM
selaku tim proyek penelitian gelatin BPPT.
6. Bapak Ir. Gigih Atmaji selaku Kepala Laboratorium Teknologi Agroindustri
yang telah memberikan izin penggunaan Laboratorium.
7. Mbak Tuti, Mas Dedi, Mas Budi, Mas Sofyan, Kak Encep yang telah
menemani dan membantu secara teknis penelitian di laboratorium.
8. Fajri Helmi “Adjie” (Hortikultura 41) yang banyak membantu dalam
penyediaan fasilitas kepada penulis.

Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, April 2007

Penulis
Hasan. F24101107. Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari
Kulit Sapi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ir. Irshan
Zainudin,M.Si.

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh perlakuan perbandingan


kulit-air sertal pemberian interval agitasi yang berbeda pada proses pembuatan
gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi basa. Beberapa
parameter yang diamati antara lain; rendemen, warna, kadar air, kadar abu,
kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi. Alat ekstraksi yang digunakan
adalah ekstraktor yang didesain oleh Laboratorium Teknologi Agroindustri Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTA-BPPT) Serpong.
Ekstraksi dilakukan pada 4 tingkat perbandingan kulit-air yaitu ; 1 :1, 1:2,
1:3, dan 1: 4 dengan interval agitasi di tiap 10, 20, dan 30 menit. Agitasi
dilakukan dengan kecepatan putaran 50 rpm dan lama putaran 3 menit setiap kali
berputar. Ekstraksi dilakukan dengan 5 tahap dengan suhu dan lama masing-
masing: tahap I (55 OC, 5 jam), tahap II (65 OC, 4 jam), tahap III ( 75 OC, 3 jam),
tahap IV (85 OC, 2 jam) , dan tahap V (95 OC, 1 jam).
Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta
interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua
perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak
ada tren khusus (naik atau turun) pada parameter yang diamati akibat dari
peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan.
Kisaran nilai rendemen yang didapatkan dari penelitian ini adalah 6,46 –
13,11%,. Pengukuran warna gelatin hasil penelitian menggunakan chromameter
didapatkan kisaran notasi L 55,49-58,90 (cerah) dan notasi b 39,74-41,68
(kuning). Nilai kadar air gelatin hasil penelitian berada pada kisaran 8,82-12,74 %
dengan nilai kadar abu berada pada kisaran 2,89-3,89 (% bk). Pengukuran nilai
kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi gelatin hasil penelitian didapatkan
nilai masing-masing berada pada kisaran 115– 280 bloom, 5 – 18 cP dan 50,71-
59,62%.
Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent
(1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3,
dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1,
A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang
termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.............................................................................. v
DAFTAR GAMBAR......................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... vii
I. PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG...................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN.................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 4
A. KULIT............................................................................... 4
B. KOLAGEN........................................................................ 4
C. GELATIN........................................................................... 6
D. PERUBAHAN KOLAGEN MENJADI GELATIN.......... 10
E. PERUBAHAN GELATIN MENJADI GEL ..................... 11
F. PROSES PEMBUATAN GELATIN ................................. 12
III. METODOLOGI ....................................................................... 15
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................ 15
B. WAKTU DAN TEMPAT .................................................. 16
C. METODE PENELITIAN ................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 22
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ..................................... 22
B. PENELITIAN UTAMA ..................................................... 23
1. Rendemen ..................................................................... 23
2. Warna ........................................................................... 24
3. Kadar Air Gelatin Kering............................................... 28
4. Kadar Abu .................................................................... 30
5. Kekuatan Gel ................................................................. 31
6. Viskositas ....................................................................... 34
7. Stabilitas Emulsi ............................................................. 35
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 38
A. KESIMPULAN ........................................................................ 38
B. SARAN .................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 39
LAMPIRAN ......................................................................................... 43
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Data impor gelatin Indonesia tahun 1998 – 2005 ....................... 1
Tabel 2. Jumlah pemotongan sapi dan potensi kulit split ......................... 2
Tabel 3. Penyebaran kolagen dalam jaringan hewan mamalia ................. 5
Tabel 4. Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipe .................................... 7
Tabel 5. Standar mutu gelatin berdasarkan Standar Nasional Indonesia
No. 06-3735 tahun 1995 dan British Standard : 757
tahun 1975 …………………………………………………….. 8
Tabel 6. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat dalam
menghasilkan gelatin .................................................................. 13
Tabel 7. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi
penelitian pendahuluan .............................................................. 16
Tabel 8. Volume filtrat ekstraksi pada penelitian pendahuluan..………... 22
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen................. 5
Gambar 2. Perubahan kolagen menjadi gelatin .......................................... 11
Gambar 3. Ekstraktor ................................................................................. 15
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit split............ 18
Gambar 5. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
rendemen gelatin sampel............................................................ 23
Gambar 6. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
notasi L sampel gelatin .............................................................. 25
Gambar 7. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
notasi b sampel gelatin .............................................................. 27
Gambar 8. Bubuk Sampel Gelatin ............................................................... 28
Gambar 9. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
kadar air sampel gelatin ............................................................. 29
Gambar 10. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
kadar abu sampel gelatin ........................................................... 31

Gambar 11. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


kekuatan gel sampel gelatin ....................................................... 33

Gambar 12. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


viskositas sampel gelatin .......................................................... 34

Gambar 13. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


stabilitas emulsi sampel gelatin ................................................. 36

.
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Nilai Rata-Rata Rendemen (%) Pada Setiap Perlakuan............ 43
Lampiran 2. Diagram Kromatisitas ...............................................................43
Lampiran 3. Nilai Rata-Rata Notasi L Pada Setiap Perlakuan..................... 44
Lampiran 4. Nilai Rata-Rata Notasi b Pada Setiap Perlakuan...................... 44
Lampiran 5. Nilai Rata-rata Kadar Air (%bk) Pada Setiap Perlakuan ........ 44
Lampiran 6. Nilai Rata-Rata Kadar Abu (%) Pada Setiap Perlakuan............45
Lampiran 7. Nilai Rata-Rata Kekuatan Gel (bloom)
Pada Setiap Perlakuan .......................................................... 45
Lampiran 8. Nilai Rata-Rata Viskositas (cP) Pada Setiap Perlakuan.......... 45
Lampiran 9. Nilai Rata-Rata Stabilitas Emulsi (%)
Pada Setiap Perlakuan............................................................... 46
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gelatin merupakan molekul polipeptida dengan bobot molekul tinggi
yang berasal dari kolagen yang merupakan komponen utama penyusun
jaringan hewan (kulit, tulang, dan tendon). Gelatin umumnya digunakan
sebagai bahan pengemulsi dan penstabil sistem emulsi mengingat
kemampuannya dalam berikatan dengan air dan lemak. Produk pangan yang
umumnya diproduksi dengan tambahan gelatin antara lain permen, es krim,
jelly, dan daging kaleng. Kemampuan gelatin untuk meningkatkan nilai guna
suatu produk dimanfaatkan oleh industri pangan, industri farmasi, kosmetika
dan kimia. Industri farmasi umumnya menggunakan gelatin sebagai bahan
baku dalam pembuatan kapsul sedangkan industri kimia menggunakan gelatin
dalam pembuatan perekat (lem) dan film untuk fotografi.
Selama ini untuk menutupi kebutuhan gelatin dalam negeri, industri
pangan mendapatkannya melalui impor dari negara-negara Eropa, China, dan
Amerika. Mulai tahun 1998 sampai tahun 2001 jumlah impor gelatin
cenderung meningkat. Pada tahun 2002 nilai impor menurun dan kembali
meningkat pada tahun 2003. Data impor gelatin di Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Data impor gelatin Indonesia tahun 1998 - 2005


Tahun Bobot (kg) Nilai (US $)
1998 1. 851. 328 6. 781. 735
1999 2. 371. 738 9. 059. 440
2000 3. 418. 383 10. 555. 489
2001 4. 291. 579 10. 749. 199
2002 2. 144. 372 6. 801. 882
2003 2. 145. 916 8. 001. 714
2004 2. 630. 692 8. 063. 802
Jan- Mei 2005 1. 213. 111 4. 215. 779
Sumber : BPS (2005)

Ketergantungan Indonesia terhadap gelatin impor setiap tahun pada


dasarnya dapat dikurangi. Jumlah ketersediaan kulit di Indonesia cukup
melimpah. Jumlah ini berasal dari industri penyamakan kulit yang ada di
Indonesia. Industri penyamakan kulit menghasilkan limbah industri yang
cukup besar, khususnya limbah yang tergolong pada kelompok kulit split.
Kulit split adalah kulit yang telah mengalami proses splitting yaitu
pembelahan kulit menjadi dua lapisan atau lebih untuk memperoleh tebal yang
dikehendaki. Hasil samping kulit dari proses ini bisa mencapai sampai 11,5 %
dari bahan baku kulit mentah yang diproses (BPS, 1998). Jumlah pemotongan
sapi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 1.789.849, sehingga ketersediaan
jumlah kulit split dari sapi potong di Indonesia tahun 2003 adalah sebesar
4.322.485,33 kg (BPS, 2003). Data pemotongan sapi dan potensi kulit split
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah pemotongan sapi dan potensi kulit split


Tahun Jumlah Pemotongan (ekor) Bobot Kulit Split (Kg) *
1999 1. 664. 396 4. 019. 516, 34
2000 1. 695. 374 4. 094. 328, 21
2001 1. 784. 036 4. 308. 446, 94
2002 1. 662. 833 4. 015. 741, 69
2003 1. 789. 849 4. 322. 485, 33
Keterangan : * Data diperoleh dari bobot sapi (300 Kg) x 7 % x 11.5 %
Sumber : Badan Pusat Statistik (2003)

Selain itu, ketergantungan terhadap impor gelatin dapat memberikan


beberapa konsekuensi, antara lain harga gelatin impor yang beredar di pasaran
menjadi relatif mahal serta status kehalalannya yang masih belum jelas. Lebih
dari 80 % gelatin yang diproduksi di luar negeri adalah berasal dari daging
babi dan ditegaskan oleh Glicksmann (1969) bahwa umumnya gelatin yang
diproduksi oleh Amerika Serikat adalah dari daging babi yang dibekukan dan
diproduksi secara asam.
Salah satu proses penting dalam pembuatan gelatin adalah ekstraksi.
Proses ekstraksi termasuk dalam proses utama dikarenakan selama proses ini
berlangsung terjadi denaturasi serat kolagen menjadi gelatin. Semakin efektif
dan efisien proses ekstraksi yang dilakukan maka akan semakin baik pula
kualitas gelatin yang akan didapatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian tentang hal-hal yang dapat memaksimalkan proses ekstraksi.
Penelitian ini menggunakan metode perendaman (liming) bahan baku
kulit sapi dalam kondisi basa. Hal ini didasarkan pada kondisi kulit yang
dijadikan sebagai bahan baku. Kulit diperoleh dari sapi dewasa (2-3 tahun)
dengan kondisi kolagen yang sudah tua (US Patent 5877287). Kolagen yang
tua mempunyai susunan ikatan triple helix yang lebih rapat dan kompleks
akibatnya membutuhkan basa agar proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin
lebih optimal.

B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
perbandingan kulit-air serta pemberian interval agitasi yang berbeda pada
proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi
basa.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KULIT (Hides)

Kulit merupakan hasil samping dari pemotongan hewan yang berupa


organ tubuh bagian terluar yang dipisahkan dari tubuh pada saat proses
pengulitan. Kulit tersebut merupakan bahan mentah kulit samak, berupa
tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel-sel hidup (Djojowidagdo,
1981). Kulit mentah dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok kulit yang
berasal dari hewan besar seperti sapi, kerbau, dan lain-lain, yang dalam istilah
asing disebut hides, dan kelompok kulit yang berasal dari hewan kecil seperti
kambing, kelinci, dan lain-lain yang dalam istilah asing disebut skins
(Purnomo, 1985). Kulit hewan besar lebih banyak mengandung protein,
lemak, dan khitin dibanding kulit hewan kecil (Akademi Teknologi Kulit,
1984).
Komposisi kimia kulit hewan segar terdiri atas 64 % air, 33% protein,
2 % lemak, 0.5% mineral, dan 0.5% substansi lain. Protein kulit sebesar 33%
disusun oleh 29 % kolagen, 2% keratin, 0.3% elastin, 1% albumin, dan
globulin serta 0.7% mucin dan mucoid (Sharphouse, 1978).
Komposisi kimia kulit hewan pada umumnya secara kimia dapat dibagi
atas dua golongan, yaitu bagian non protein dan protein. Bagian non protein
terdiri dari lipid, karbohidrat, enzim, vitamin dan mineral. Bagian protein dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu protein yang berbentuk serat (fibrous
protein) dan protein yang tidak berbentuk serat (globular protein). Protein yang
tidak berbentuk serat adalah albumin dan globulin, sedangkan protein yang
berbentuk serat adalah kolagen, elastin dan keratin (Purnomo, 1985).

B. KOLAGEN
Kolagen merupakan komponen struktural utama pada serat-serat
jaringan pengikat, berwarna putih dan terdapat di dalam semua jaringan dan
organ hewan dan berperan penting dalam penyusun bentuk tubuh. Pada
mamalia, kolagen terdapat pada kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat
lainnya. Jumlahnya mencapai 30% dari jumlah protein total yang terdapat
dalam hewan vertebrata dan invertebrata (Ward dan Courts, 1977).
Kandungan kolagen di setiap bagian tubuh mamalia disajikan pada Tabel 3,
dengan bagian kulit sebagai bagian yang mengandung kolagen tertinggi,
mencapai 89% dibandingkan jenis jaringan lainnya.

Tabel 3. Penyebaran kolagen dalam jaringan hewan mamalia


Jenis jaringan Kolagen (%) Jenis jaringan Kolagen (%)
Kulit 89 Usus Besar 18
Tulang 24 Lambung 23
Tendon 85 Ginjal 5
Aorta 23 Hati 2
Otot 2
Sumber : Ward dan Courts (1977)

Unit dasar penyusun kolagen adalah tropokolagen yang diperkirakan


terdiri atas tiga rantai heliks polipeptida (Gambar 1) yang saling mengelilingi
(berpilin) satu sama lain membentuk sebuah coil (gulungan), memiliki
panjang dan diameter, masing-masing 3.000 Ǻ dan 14 Ǻ (Glicksman, 1969).

Gambar 1. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen


(Lehninger, 1993)

Disamping pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam,


sehingga kedua pelarut ini dimungkinkan untuk digunakan dalam proses
produksi gelatin (Bennion, 1980). Dibawah mikroskop, jaringan tersebut
tampak sebagai serat putih buram yang dikelilingi oleh protein lain dan
mucopolysaccharida (Poppe, 1992). Perlakuan alkali dan asam menyebabkan
kolagen mengembang dan menyebar. Pemanasan kolagen secara bertahap
akan menyebabkan struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Bentuk
konformasi larutan kolagen sangat sensitif terhadap perubahan temperatur
yang dapat menghancurkan makromolekulnya (Wong, 1989).

C. GELATIN
Gelatin adalah protein dari kolagen kulit, membran, tulang dan bagian
tubuh berkolagen lainnya. Jika gelatin mendapat perlakuan perendaman dalam
air maka gelatin akan mengembang dan menjadi lunak, dan berangsur-angsur
menyerap air 5-10 kali bobot gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan jika
didinginkan (48 OC ) akan membentuk gel (Anonim, 1978).
Menurut Carley (1982), gelatin merupakan senyawa turunan yang
dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung yang dihidrolisis dengan
asam atau basa. Ditambahkan oleh Imeson (1985), bahwa gelatin merupakan
salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai bahan pembentuk gel
(gelifying agent), bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil
(stabilizer). Gelatin berbeda dengan hidrokoloid lainya karena pada umumnya
hidrokoloid adalah merupakan polisakarida sedangkan gelatin sendiri adalah
senyawa protein. Hal inilah yang menjadikan gelatin mempunyai kemampuan
untuk reversibel.
Gelatin termasuk kedalam zat yang bersifat amfoter, mempunyai gugus
asam (karboksil) dan gugus basa (amina). Gelatin mudah larut dalam gliserol,
manitol, dan propilen. Gelatin tidak larut dalam alkohol, aseton, dan pelarut
non polar lainnya (King di dalam Glicksmann, 1969).
Gelatin bukanlah merupakan protein lengkap. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya asam amino esensial triptofan. Namun gelatin mengandung
sejumlah kecil asam amino yang jarang yaitu hidroksilisin. Secara kimiawi
komposisi asam amino gelatin mamalia hampir tetap. Perbedaan karakteristik
kimia yang terjadi adalah sebagai hasil perbedaan perlakuan pada tahap awal.
Gelatin hasil perlakuan basa (tipe B) dan perlakuan asam (tipe A) mengalami
perbedaan hidrolisis gugus amida primer yang dibentuk.
Gelatin tipe A umumnya diperoleh dari bahan baku kulit babi atau
ternak yang masih muda. Babi atau ternak yang masih muda mempunyai
rantai triple helix yang lebih sederhana. Sedangkan gelatin tipe B umumnya
diperoleh dari kulit atau tulang sapi dewasa karena kandungan kolagennya
yang sudah tua. Kolagen yang tua mempunyai rantai triple helix yang lebih
rapat dan kompleks sehingga umumnya digunakan basa saat perendaman agar
hidrolisis kolagen menjadi gelatin lebih optimal. (US Patent 5877287).
Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipenya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipe


Sifat Tipe A Tipe B
Kekuatan gel ( bloom) 50,0 – 300,0 50,0 – 300,0
Viskositas (cP) 1,50 – 7,50 2,00 – 7,50
Kadar abu (%) 0,30 – 2,00 0,50 – 2,00
pH 3,80 – 6,00 5,00 – 7,10
Titik isoelektrik 7,00 – 9,00 4,70 – 5,40
Sumber : GMIA (2001)

Sifat fisik maupun kimia gelatin tergantung dari kualitas bahan baku, pH,
keberadaan zat-zat organik, metode ekstraksi, suhu dan konsentrasi (Parker,
1982). Bentuk gelatin yang beredar di pasaran terdiri dari dua bentuk yaitu
gelatin yang tidak memiliki rasa apapun (plain atau unflavoured) dan gelatin
yang memiliki rasa tertentu (flavoured). Gelatin flavoured mengandung
gelatin, gula asam sitrat, rasa tertentu dan warna (Gates, 1981)
Menurut Ward dan Courts (1977), gelatin larut dalam air minimal pada
suhu 49°C, atau biasanya berada pada suhu 60°C sampai 70°C. Gelatin tidak
larut dalam air dingin, tetapi hanya akan mengembang. Perendaman dalam air
dingin menjadikan gelatin lunak dan berangsur-angsur menyerap air 5 sampai
10 kali bobotnya (King, 1969). Ketika gelatin dipanaskan pada suhu di atas
titik lelehnya, gelatin akan mencair dan dapat kembali membentuk gel apabila
didinginkan.
Titik leleh gelatin adalah antara 27°C hingga 34°C dan dapat meleleh di
dalam mulut. Karakteristik di atas sangat diharapkan oleh berbagai industri
pangan (Poppe,1992). Winarno (1997) menambahkan saat pemanasan, daya
tarik menarik antara molekul air berkurang sehingga memberikan energi bagi
untuk mengatasi daya tarik menarik molekul yang larut pada air, dengan
demikian daya larut molekul yang dilarutkan dalam air akan meningkat
dengan meningkatnya suhu air.
Warna gelatin tergantung pada bahan baku yang digunakan, metode
pembuatan dan jumlah ekstraksi. Secara umum, warna gelatin tidak
mempengaruhi kegunaannya (Glicksman,1969). Standar mutu gelatin
disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Standar mutu gelatin berdasarkan standar nasional Indonesia


No. 06-3735 tahun 1995 dan British Standard : 757 tahun 1975
Karakteristik SNI No. 06-3735a British Standard 757b
Warna Tidak berwarna sampai kekuningan Kuning pucat
Bau, rasa Normal -
Kadar air Maksimum 16% -
Kadar abu Maksimum 3,25% -
Kekuatan gel - 50-300 bloom
Viskositas - 15-70 mps atau 1,5-7 cP
pH - 4,5-6,5
Logam berat Maksimum 50 mg/kg -
Arsen Maksimum 2 mg/kg -
Tembaga Maksimum 30 mg/kg -
Seng Maksimum 100 mg/kg -
Sulfit Maksimum 1000 mg/kg -
Sumber : a) Dewan Standarisasi Nasional (SNI 06.3735-1995)(1995)
b) British Standard : 757 (1975)

United States Patent (1999) menggolongkan mutu gelatin menjadi tiga


kelas berdasarkan kekuatan gelnya. Gelatin dengan kekuatan gel >240 bloom
termasuk gelatin kualitas tinggi, gelatin dengan kekuatan gel 120-240 termasuk
gelatin kualitas sedang, dan gelatin dengan kekuatan gel < 120 bloom termasuk
gelatin kualitas rendah.
Menurut Fardiaz (1989), molekul-molekul gelatin mengandung tiga
kelompok asam amino yang tinggi, yaitu sekitar sepertiganya terdiri dari residu
asam amino glisin atau alanin, hampir seperempatnya terdiri atas asam amino
basa atau asam, dan seperempatnya lagi merupakan asam amino prolin dan
hidroksiprolin. Proporsi yang tinggi dari residu polar ini membuat molekul
gelatin mempunyai afinitas yang sangat tinggi terhadap air. Oleh karena
proporsi yang tinggi dari residu prolin dan hidroksiprolin, molekul-molekul
gelatin tidak mampu untuk berlilit membentuk coil helix seperti halnya pada
kebanyakan molekul protein, sebaliknya molekul-molekul gelatin ini
membentuk molekul yang panjang dan tipis, suatu sifat yang sangat
menguntungkan dalam proses pembentukan gel.
Industri pangan dan non pangan menggunakan gelatin untuk berbagai
tujuan. Jones (1977) mengemukakan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh
gelatin sehingga digunakan oleh banyak industri makanan. Kemampuan gelatin
untuk memperhalus dan menimbulkan struktur gel yang kenyal digunakan oleh
industri pangan sebagai bahan tambahan pada produk-produk olahan daging
seperti sosis. Kemampuan lain yang dimiliki oleh gelatin adalah mampu
menimbulkan tampilan yang lebih menarik karena adanya lapisan berwarna
bening. Kemampuan gelatin ini dimanfaatkan oleh industri selai. Produk-
produk selai juga memanfaatkan gelatin karena kemampuannya untuk
melindungi produk dari sinar dan oksigen sehingga bisa lebih awet.
Berbagai produk permen dan coklat memanfaatkan gelatin untuk membuat
produk permen dan coklat menjadi lebih lembut dan kenyal. Gelatin
ditambahkan pada produk es krim karena kemampuannya yang mampu
mencegah pembentukan kristal-kristal es yang besar sehingga tekstur es krim
lebih lembut. Industri gelatin menggunakan gelatin sebagai bahan penjernih
dan penyerap zat-zat yang dapat menyebabkan minuman menjadi berembun.
Embun pada produk-produk minuman dapat menimbulkan kesan kotor pada
wadahnya.
Industri non pangan khususnya farmasi menggunakan gelatin pada
produk kapsul yang menjadikan kapsul menjadi lebih mudah ditelan. Produk
lain di dunia farmasi yang menggunakan gelatin antara lain adalah obat tablet.
Gelatin ditambahkan pada obat-obat berbentuk tablet karena kemampuannya
untuk mengawetkan kandungan zat dalam obat tablet tersebut. Industri
fotografi menggunakan gelatin yang sudah dicampur kristal perak halida untuk
melapisi lembaran film. Kristal perak halida menjadi lebih stabil terhadap sinar
jika dilarutkan terlebih dahulu pada larutan gelatin.

D. PERUBAHAN KOLAGEN MENJADI GELATIN

Prinsip utama dalam transformasi kolagen menjadi gelatin adalah dengan


cara mendenaturasi kolagen yang terlarut. Denaturasi menggunakan suhu
(thermal) dapat dilakukan dengan cara memanaskan kolagen dalam kondisi
netral atau sedikit asam pada suhu 40°C (Poppe, 1992). Menurut Johns dan
Curts (1977), cara paling mudah mengubah kolagen menjadi gelatin adalah
melalui proses denaturasi kolagen pada air bersuhu 40°C.
Kolagen akan terdisosiasi menjadi unit tropokolagen akibat kehilangan
ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang membantu menstabilkan struktur
helix pada kolagen. Langkah selanjutnya dalam hidrolisis kolagen adalah
pemutusan ikatan intramolekul antara tiga rantai dalam struktur helix menjadi
tiga rantai alpha, beta atau gamma.
Perbedaan bentuk utama antara alpha, beta dan gamma terletak pada
bobot molekulnya. Bobot molekul struktur alpha antara 80.000-125.000. Untuk
struktur beta bobot molekul antara 160.000-250.000 dan rantai gamma
memiliki bobot molekul 240.000-375.000 (Poppe, 1992), sedangkan menurut
Lehninger (1993), kolagen akan terputus jika terkena asam kuat dan basa kuat
dan akan mengalami transformasi dari bentuk untaian tidak larut dan tidak
tercerna menjadi gelatin dalam air panas.
Salah satu karakteristik serat kolagen adalah mengkerut/menciut ketika
dipanaskan. Suhu pengerutan (Ts) berbeda untuk sumber kolagen dari spesies
yang berbeda. Suhu pengerutan untuk kolagen dari kulit mamalia berkisar
antara 60-65°C. Ketika kolagen dipanaskan dengan suhu diatas suhu
pengerutannya (T>Ts), maka ikatan silang dari rantai triple helix pada kolagen
akan terputus dalam jumlah yang sangat besar, sehingga struktur kolagen
terpisah menjadi gulungan (coils) secara acak yang larut dalam air dan disebut
sebagai gelatin (Belitz dan Grosch, 1999).
Berdasarkan konsentrasi dan suhu larutan gelatin, perubahan kolagen
menjadi gelatin dan gelatin menjadi gel pada suhu rendah (cooling
temperature) disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Perubahan kolagen menjadi gelatin (Belitz dan Grosch, 1999)

Pada saat konsentrasi rendah (C1), struktur intramolekuler gelatin akan


membentuk untaian/ikatan-ikatan tunggal (single-strands). Pada saat
konsentrasi tinggi (C2) dan proses pendinginan berjalan lambat (∆T1), struktur
intramolekuler akan membentuk untaian/ikatan-ikatan seperti semula (pada
kolagen), pada setiap konsentrasi tinggi dan proses berjalan cepat (∆T2), maka
akan dihasilkan segmen-segmen helix dengan ikatan-ikatan secara acak pada
setiap struktur gulungannya (coils) (Belitz dan Grosch, 1999).

E. PERUBAHAN GELATIN MENJADI GEL

Gelatin merupakan suatu hidrokoloid, yaitu suatu polimer larut dalam air
yang mampu membentuk koloid, mengentalkan larutan atau membentuk gel
dari larutan tersebut. Pembentukan gel merupakan suatu fenomena
penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan
tiga dimensi yang kontinyu dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah
tekanan. Pada waktu sol dari gelatin mendidih, konsistensinya menjadi lebih
kental, dan selanjutnya akan terbentuk gel yang elastis. Pembentukan kristal,
diperkirakan karena diagram sinar-X menunjukkan adanya bagian kristalin di
dalam sel gelatin. Molekul-molekul secara individu bergabung dalam lebih dari
satu bentuk kristalin membentuk jalinan tiga dimensi yang menjerat cairan
(Fardiaz, 1989).
Gaya untuk mengikat molekul-molekul gelatin di dalam gel ini tidak
diketahui. Meskipun demikian, ikatan-ikatan hidrogen dan gaya van der waals
diperkirakan sebagai pengikatnya, mengingat sifat gel yang mudah mencair
dan membentuk gel kembali dengan adanya perubahan suhu (Fardiaz, 1989).

E. PROSES PEMBUATAN GELATIN

Gelatin dapat dibuat dengan berbagai bahan baku antar lain kulit dan
tulang sapi, kulit domba, kulit sapi, dan tulang (ossein). Tipe gelatin yang
dihasilkan dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A
adalah gelatin yang dihasilkan melalui proses perendaman asam sedangkan
gelatin tipe B berasal dari perendaman basa.
Proses utama pembuatan gelatin dibagi dalam tiga tahapan, yaitu
persiapan bahan baku berupa penghilangan komponen non kolagen dengan
atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen, konversi kolagen
menjadi gelatin, pemurnian dan perolehan gelatin dalam bentuk kering. Bahan
baku (kulit atau tulang) awalnya dipotong-potong atau diberikan proses
pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran bahan baku diperlukan untuk
memperluas permukaan bahan yang terendam dalam larutan sehingga proses
ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna (Hinterwaldner, 1977).
Proses pengapuran (liming) dilakukan untuk melunakkan kulit dan
menghilangkan albumoid bagian luar seperti globulin, mukopolisakarida,
albumin, karoten dan pigmen-pigmen (Glicksman, 1969). Menurut
Hinterwaldner (1977), proses liming bertujuan untuk merusak atau
memutuskan berbagai ikatan kimia yang masih ada dalam kolagen dan untuk
menghilangkan atau mengurangi material lain yang tidak diinginkan, seperti
protein lain dan karbohidrat. Selama proses liming, lemak dikonversi menjadi
sabun-sabun basa yang terlarut.
Menurut Glicksman (1969), kapur untuk perendaman basa ditambahkan
ke dalam air perendam dengan jumlah secukupnya berkisar antara 5 hingga 15
% dari bobot bahan sehingga terbentuk larutan kalsium hidroksida. Proses
perendaman kulit dilakukan selama 3-12 minggu atau lebih tergantung pada
jenis bahan baku, suhu liming, perlakuan sebelumnya dan kapur yang
ditambahkan. Hinterwaldner (1977) menambahkan bahwa suhu proses liming
tidak boleh lebih dari 20°C jika ingin menghindari jumlah kolagen yang hilang
lebih banyak. Jika suhu liming terlalu rendah, maka proses liming akan berjalan
lambat sehingga membutuhkan waktu perendaman yang lebih lama.
Proses liming yang tidak dilakukan dengan tepat dapat menyebabkan
kelarutan kolagen dalam basa. Hal ini dapat menurunkan rendemen gelatin
yang dihasilkan (Ward dan Courts, 1977). Hinterwaldner (1977) menyatakan
bahwa gelatin diperoleh dari bahan setelah perlakuan liming. Bahan tersebut
kemudian diekstraksi dengan air pada suhu tertentu. Proses ekstraksi multistage
merupakan salah satu proses produksi gelatin yang penting.
Mutu gelatin yang diperoleh dipengaruhi oleh proses konversi (jenis
bahan baku dan lama proses ekstraksi). Metode yang digunakan untuk
pemutusan ikatan hidrogen dalam ekstraksi gelatin yaitu meningkatkan suhu
hingga titik penyusutan dicapai dan merendam kolagen dalam larutan pemutus
ikatan hidrogen pada suhu ruang. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 50 oC
hingga 100 oC. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat menjadi
gelatin disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat


dalam menghasilkan gelatin
Ekstraksi Waktu (jam) Suhu (°OC) Rendemen (%)
1 4-9 55-65 5-10
2 4-9 65-75 3-6
3 4-6 75-85 3-6
4 4-6 85-95 2-4
5 2-4 95-100 1-2
Total 14-28
Sumber : Glicksman (1969)

Menurut Hinterwaldner (1977) ekstraksi pertama biasanya dilakukan


pada suhu 50 oC sampai 60 oC, dimana untuk ekstraksi-ekstraksi selanjutnya
suhu ekstraksi dinaikkan 5 -10oC hingga ekstraksi terakhir suhunya mencapai
titik didih air. Ekstraksi dilakukan pada bejana stainless steel dibuka tanpa
tutup. Gillespie (1960) menambahkan degradasi gelatin terjadi sangat lambat
pada suhu 30-40°C, dengan peningkatan suhu (suhu di atas 40°C) akan
meningkatkan degradasi dan reaksi berlangsung sangat cepat. Menurut The
United Stated Patent (1993), total waktu ekstraksi pada keseluruhan ekstraksi
biasanya dilakukan pada kisaran waktu 10 sampai 20 jam. Namun sebaiknya
dilakukan pada waktu 16 jam atau kurang.
Cara yang digunakan untuk menghilangkan zat-zat lain yang tidak larut
yang dapat mengurangi kemurnian gelatin adalah dengan melakukan
penyaringan. Filtrasi atau penyaringan larutan koloidal dapat dilakukan dengan
pemisahan secara kimiawi maupun pemisahan dengan penyaring. Pemisahan
secara kimiawi tidak biasa digunakan karena prosesnya mahal dan dapat
menyebabkan kerusakan kualitas larutan gelatin. Proses penyaringan lebih
efisien dengan memperhatikan sifat fisiko kimia, endapan-endapan partikel dan
suhu. Di bawah suhu 32°C gelatin membentuk gel rigid sehingga kekakuan
meningkat dengan peningkatan kandungan padatan filtrasi dilakukan pada suhu
tersebut atau di atasnya (Hinterwaldner, 1977).
Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa evaporasi gelatin harus
memenuhi ketentuan seperti suhu evaporasi rendah (40-80 oC) , waktu kontak
antara larutan gelatin dengan panas singkat dan mencegah pembentukan buih.
Suhu yang digunakan harus di atas titik lelehnya dengan menggunakan
vacuum.
Menurut Ward dan Courts (1977), proses pengeringan gelatin dapat
dilakukan dengan spray maupun roller dryer. Suhu pengeringan dilakukan
pada suhu 38 oC hingga 70 oC. Pengeringan merupakan proses yang dilakukan
dengan tujuan untuk mengurangi air dalam larutan gelatin.
III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit sapi sisa
(kulit split) hasil samping industri penyamakan kulit dari PT. Muhara
Dwitunggal Laju yang berada di kecamatan Citeureup, Bogor. Bahan kimia
yang digunakan antara lain kapur tohor (CaO) untuk proses liming, NH3SO4
untuk netralisasi dan bahan-bahan lain untuk prosedur analisa karakter mutu.
Sebagai bahan pembanding pada analisa mutu gelatin digunakan gelatin
komersial (impor) tipe B yang diperoleh dari toko Setia Guna di Bogor
Peralatan yang digunakan dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Peralatan untuk produksi
Terdiri dari drum, alat pemotong kulit, mollen, ekstraktor (Gambar
3), filter vakum, evaporator vakum, chiller, alat ekstrusi, alat pengering, dan
blender.

Gambar 3. Ekstraktor

2. Peralatan untuk analisa


Peralatan yang digunakan antara lain desikator, pH meter,
chromameter tipe Minolta CR 300, viscometer, termometer, rheoner RE
3305, dan alat-alat lainnya yang digunakan pada prosedur analisa karakter
mutu.
B. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2005 hingga bulan Februari


2006. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTA-BPPT) yang terletak di kawasan
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong,
Tangerang; dan PT. Muhara Dwitunggal Laju, Kecamatan Citeureup, Bogor.

C. METODE PENELITIAN
1. Penelitian Pendahuluan
Aktivitas yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah
menentukan banyaknya tahap, waktu, serta suhu di tiap tahap ekstraksi.
Dasar dari penentuan banyaknya tahap ekstraksi adalah pendapat
Glicksman (1969) yang menyatakan bahwa proses ekstraksi kolagen
menjadi gelatin dilakukan secara bertingkat. Ekstraksi yang dilakukan
pada penelitian ini adalah dengan cara mencampur air dengan kulit sapi
dengan perbandingan 1: 2. Campuran air dan kulit sapi dimasukkan dalam
ekstraktor kemudian dipanaskan secara bertahap.
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua alternatif metode.
Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi dapat dilihat di
Tabel 7.

Tabel 7. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi


penelitian pendahuluan
Tahap Metode I Metode II
0 0
ekstraksi Suhu ( C) Waktu (jam) Suhu ( C) Waktu (jam)
Tahap 1 55 5 55 4
Tahap 2 65 4 65 4
Tahap 3 75 3 75 4
Tahap 4 85 2 85 4
Tahap 5 95 1 95 4

Melalui dua alternatif metode ini dicari metode yang menghasilkan


rendemen gelatin yang tertinggi. Pemberian agitasi dilakukan dengan
menggunakan agitator yang digerakkan oleh motor.
2. Penelitian Utama
Aktivitas yang dilakukan pada penelitian utama adalah mengolah
kulit sapi yang sudah disiapkan kemudian diproses hingga didapatkan
bubuk gelatin kering. Langkah pertama dalam mengolah kulit sapi adalah
melakukan pengecilan ukuran. Proses pengecilan ukuran (7 x 10 cm2)
dilakukan untuk memudahkan proses pencucian dan perendaman kulit.
Proses perendaman (liming) dilakukan agar serabut-serabut kolagen
berubah menjadi serat-serat yang lebih kecil sehingga kulit menjadi
longgar. Proses perendaman dilakukan selama enam minggu melalui
perendaman kulit di dalam 300 % air. Hal ini berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan oleh Harijatmoko (2004), proses perendaman enam
minggu dengan dosis kapur tohor 15 % dapat menghasilkan rendemen
gelatin terbaik.
Langkah berikutnya adalah proses deliming yang dilakukan
dengan cara merendam kulit selama tiga jam di dalam 300 % air dan
amonium sulfat 2 % (persentase dihitung berdasarkan bobot kulit split
basah yang telah dilakukan pengecilan ukuran). Proses deliming dilakukan
untuk menghilangkan kapur yang telah terikat dengan kulit secara kimia
dan untuk menghilangkan pembekuan akibat dari pengapuran.
Langkah selanjutnya adalah proses ekstraksi bertingkat.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan metode ekstraksi yang
digunakan adalah metode pertama yang dilakukan dalam lima tahap
dengan suhu dan waktu masing-masing; 55 OC - 5 jam, 65 OC - 4 jam, 75
O
C - 3 jam, 85 OC - 2 jam, dan 95 OC - 1 jam. Ekstraksi dilakukan dengan
empat perbedaan perbandingan kulit-air; 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4, serta tiga
interval agitasi yang berbeda yaitu tiap 10 menit, 20 menit, dan 30 menit,
dengan kecepatan serta lama berputar masing-masing 50 rpm dan 3 menit.
Filtrat diperoleh melalui filtrasi vakum secara bertahap dengan
ukuran filter 150 mesh. Proses selanjutnya adalah proses pemekatan
dengan evaporasi dengan menggunakan evaporator vakum pada suhu
57°OC dan tekanan -73 cmHg sampai kepekatannya mencapai kisaran 10
% dari volume semula. Filtrat yang telah pekat kemudian disimpan dalam
pendingin (chiller) selama 30 menit agar filtrat tersebut menjadi gel. Filtrat
gelatin dalam bentuk gel diperlukan agar proses ekstrusi dapat dilakukan
dengan baik. Proses ekstrusi dilakukan dengan alat ekstrusi hingga
didapatkan gelatin dalam bentuk seperti mie. Gelatin yang telah diekstrusi
kemudian dikeringkan dengan alat pengering tipe rak yang dilakukan pada
30 OC kemudian meningkat secara bertahap hingga suhu tertinggi 75°OC
sampai diperoleh gelatin kering dengan kadar air kurang lebih 16 %.
Selanjutnya dilakukan proses penggilingan (grinding) sehingga diperoleh
gelatin kering dalam bentuk butiran–butiran halus. Parameter yang diukur
antara lain; rendemen, kadar air, kadar abu, warna, kekuatan gel,
viskositas, dan stabilitas emulsi. Diagram alir proses pembuatan gelatin
dari kulit sapi disajikan pada Gambar 4.

Kulit split

Pengecilan ukuran

Pencucian Dosis kapur tohor : 15 %


Liming (Penngapuran)
lama perendaman 6 minggu

Netralisasi
NH3SO4 2 %

PERLAKUAN Ekstraksi
(air dan kulit)

Filtrasi
Perbandingan Interval
kulit-air : agitasi:10 menit,
1:1, 1:2, 1:3, dan 20 menit,dan 30
1:4 menit Evaporasi

Chilling Penggilingan

Ekstrusi Butiran gelatin

Pengeringan Analisa Mutu Produk

Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit sapi


Prosedur Analisa Karakter Mutu
1. Rendemen (Association of Offical Analytical Chemists, 1995)
Rendemen diperoleh dari perbandingan bobot kering gelatin (setelah
dikurangi kadar air) yang dihasilkan dengan bobot kulit yang digunakan
dengan rumus sebagai berikut:
Bobot kering gelatin
Rendemen (%) = x100%
Bobot kulit yang digunakan

2. Warna (Soekarto, 1990)


Warna ditentukan menggunakan chromameter dengan sistem Hunter, yaitu
dicirikan tiga notasi warna, yaitu L, a dan b (tetapi yang diamati pada
penelitian ini hanya notasi L dan b). Notasi L merupakan notasi yang
menyatakan tingkat kecerahan (light) dan memiliki nilai dari 0 (hitam)
sampai 100 (putih). Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-
kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning
dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Sejumlah contoh
gelatin hasil penelitian ditempatkan pada satu wadah yang merupakan
bagian dari alat chromameter. Contoh ditempatkan pada wadah hingga
menutupi semua permukaan dasar dari wadah tersebut. Contoh kemudian
diukur menggunakan chromameter. Hasil pengukuran notasi warna gelatin
akan tercetak dan menunjukkan nilai notasi L dan b dari gelatin hasil
penelitian.
3. Kadar Air (Association of Offical Analytical Chemists, 1995)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 OC selama 1 jam, kemudian
didinginkan dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya
ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan
dalam oven bersuhu 105OC sampai bobotnya konstan (24 jam). Kadar air
dihitung berdasarkan persamaan berikut :
B-A
Kadar air = x 100 %
Bobot contoh basah

Keterangan : A = Bobot cawan + contoh kering (g)


B = Bobot cawan + contoh basah (g)
4. Kadar Abu (Association of Offical Analytical Chemists, 1995)
Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu
600°C. Sebelumnya bobot cawan kering dan bobot contoh telah diketahui.
Proses pembakaran dilakukan sampai semua bahan berubah menjadi abu (
sekitar 6 jam), kemudian hasilnya ditimbang.
A
Kadar abu = x 100 %
B

Keterangan : A = Bobot contoh akhir (g)


B = Bobot contoh awal (g)

5. Kekuatan Gel (British Standard 757,1975)


Contoh sebannyak 6,67 gram dilarutkan dalam aquades pada labu takar
sampai mencapai volume 100 ml, kemudian larutan diambil sebanyak
10ml dan dipindahkan dalam gelas piala 25 ml dan didinginkan pada suhu
10°C dengan kisaran lama antara 15 hingga 19 jam. Selanjutnya hasilnya
dianalisa menggunakan Voland Steven Texture Analyzer. Hasil dari
pengukuran berupa grafik dan diamati tinggi kurva sebelum pecah serta
berat beban yang tercatat pada alat saat contoh pecah. Kekuatan gel
ditentukan dari grafik yang diperoleh. Rumus untuk menentukan
kekuatannya adalah sebagai berikut :
AxB
Kekuatan gel (Bloom) = x 98,07 x 2,86 x 10-3
C
Keterangan : A = Tinggi kurva sebelum patah
B = Bobot penekan (gram)
C = Luas permukaan penekan (cm2)
6. Viskositas (British Standard 757, 1975)
Contoh sebanyak 6,67 gram dilarutkan dalam aquades pada labu takar
sampai mencapai volume 100 ml, kemudian dipanaskan pada suhu 60°C.
Viskositasnya diukur dengan menggunakan spindle nomer 2 dan kecepatan
putarnya 60 rpm. Viskositasnya (cP) adalah 5 (faktor konversi) dikalikan
dengan angka hasil pengukuran.
7. Stabilitas Emulsi (Sathe dan Salunkhe, 1981)
Sebanyak 10 gram contoh disuspensikan dalam 100 ml aquades. Setelah
itu ditambahkan air sampai 150 ml dan minyak jagung sebanyak 150 ml,
kemudian diblender selama dua menit. Hasilnya dituang dalam tabung
sentrifuse dan dipanaskan pada suhu 80°C selama 30 menit, selanjutnya
didinginkan dan disentrifuse pada 1400 rpm selama 30 menit. Fase yang
sudah tidak membentuk emulsi dipisahkan kemudian bahan ditimbang.
Stabilitas emulsi dinyatakan sebagai campuran yang masih membentuk
emulsi setelah mengalami pemanasan dan dihitung dengan menggunakan
rumus:
Bobot fase yang tersisa
Stabilitas Emulsi (SE) = x 100 %
Bobot total bahan emulsi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian ini menggunakan bahan baku kulit sapi yang
sebelumnya telah mengalami proses pengepressan (buang daging),
perendaman, pengapuran (liming) dan pembelahan (splitting). Proses
pembelahan ini merupakan pembelahan kulit menjadi dua lapisan atau lebih
untuk mendapatkan tebal yang dikehendaki.
Setelah kulit sapi dinilai siap, kulit sapi kemudian diekstraksi
dengan dua alternatif metode. Metode pertama ekstraksi dilakukan dengan
suhu dan waktu masing-masing 55 OC - 5 jam, 65 OC – 4 jam, 75 OC – 3
jam, 85 OC – 2 jam, dan 95 OC – 1 jam. Metode ini menghabiskan waktu
proses selama 15 jam. Metode kedua dilakukan dengan suhu dan waktu
masing-masing 55 OC - 4 jam, 65 OC – 4 jam, 75 OC – 4 jam, dan 85 OC – 4
jam. Total waktu untuk metode kedua ini adalah 16 jam. Selama proses
ekstraksi berlangsung, secara berkala diberikan agitasi menggunakan
agitator yang disambungkan pada motor pemutar.
Hasil pengukuran pada volume filtrat ekstraksi menentukan
metode mana yang dipilih sebagai metode ekstraksi pada penelitian utama.
Dari dua proses ekstraksi dengan perbandingan kulit-air yang sama, volume
filtrat yang lebih banyak diyakini memberikan rendemen yang lebih
banyak. Tabel 8 menunjukkan bahwa metode pertama dengan volume filtrat
sebanyak 15.9 L lebih memungkinkan untuk dipilih sebagai metode
ekstraksi di penelitian utama dibandingkan dengan metode kedua yang
hanya menghasilkan volume filtrat sebanyak 15.7 L.

Tabel 8. Volume filtrat ekstraksi pada penelitian pendahuluan


Volume gelatin cair (L)
Metode Total (L)
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5
I 10.1 3.72 1.34 0.74 - 15.9
II 10.8 3.54 0.16 1.2 - 15.7
B. PENELITIAN UTAMA
Informasi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan kemudian
dijadikan panduan untuk melakukan penelitian utama. Kulit sapi yang sudah
disiapkan untuk bahan baku penelitian utama kemudian diproses sesuai
dengan metode penelitian pendahuluan hingga didapatkan bubuk gelatin
kering. Gelatin yang sudah didapatkan dari penelitian ini kemudian dianalisa
beberapa karakteristiknya antara lain ; rendemen, warna (notasi L dan b),
kadar air, kadar abu, kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi.

1. Rendemen
Rendemen merupakan salah satu parameter untuk mengukur
efisiensi dan efektifitas proses ekstraksi yang dilakukan. Kecenderungan
naik turunnya nilai rendemen sampel gelatin hasil penelitian disajikan
pada Gambar 5.

14
12
rendemen (%)

10
8
6
4
2
0
1:1
1 1:2
2 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 5. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


rendemen gelatin sampel

Gambar 5 menunjukkan ekstraksi gelatin dengan interval agitasi


setiap 10 dan 20 menit sekali mempunyai nilai rendemen yang semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah air yang ditambahkan.
Dengan kata lain semakin banyak air yang ditambahkan, rendemen gelatin
yang diperoleh semakin tinggi. Hal ini dikarenakan lebih banyak air yang
dapat mengikat ekstrak gelatin yang tertinggal dalam kapiler-kapiler kulit.
Gaya adhesi kapiler-kapiler kulit dapat menyebabkan ekstrak gelatin
tertinggal di dalamnya selama proses ekstraksi berlangsung (Handojo,
1995).
Namun peningkatan nilai rendemen ini tidak terjadi pada ekstraksi
yang dilakukan dengan interval agitasi tiap 30 menit. Penambahan jumlah
air tidak menambah jumlah rendemen gelatin. Terdapat nilai rendemen
yang rendah dari dua sampel (lampiran 1). Nilai ini dipengaruhi oleh
proses pembuatan gelatin selanjutnya yaitu proses pengeringan. Panas
yang diberikan oleh alat pengering membuat sampel gelatin khususnya
yang masih mempunyai kadar air yang masih tinggi mencair kembali.
Gelatin yang mencair akhirnya masuk dan mengering di antara sela-sela
kawat wadah. Gelatin yang mengering ini pada akhirnya sulit untuk
diambil dan ditimbang.
Pengamatan pada pengaruh agitasi terhadap nilai rendemen
menunjukkan bahwa perbedaan interval agitasi tidak memberikan
kecenderungan khusus (naik atau turun) pada nilai rendemen. Tidak
seperti yang diduga sebelumnya bahwa pemberian agitasi yang semakin
sering memberikan nilai rendemen yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena
selama proses ekstraksi berlangsung, agitator sering mengalami bongkar
pasang. Hal ini menyebabkan posisi agitator tidak persis sama dalam
setiap proses ekstraksi. Posisi yang tidak persis sama ini mempengaruhi
jumlah kulit yang ikut berputar bersama air sehingga mempengaruhi
jumlah rendemen gelatin.

2. Warna
Warna memiliki peranan yang penting dalam komoditas pangan
dan hasil pertanian lainnya. Karakteristik warna sangat penting sebagai daya
tarik, tanda pengenal dan atribut mutu. Salah satu cara untuk mengukur
warna adalah menggunakan alat yang disebut dengan chromameter.
Pengukuran menggunakan alat ini menghasilkan tiga notasi yang biasa
dikenal dengan notasi L, a, dan b. Angka-angka ini kemudian dibandingkan
dengan komponen-komponen warna dalam diagram uji warna seperti
terdapat dalam Lampiran 2. Penelitian ini hanya mengukur notasi L dan
notasi b. Notasi a tidak dilakukan pengukuran dikarenakan notasi ini
menunjukkan spektrum warna hijau dan merah, dua warna yang tidak pernah
ditemukan pada sampel gelatin pada umumnya.
Nilai L merupakan parameter yang menunjukkan cahaya pantul
yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam (Soekarto,
1990). Paramater ini memperlihatkan tingkat kecerahan (light) dari suatu
bahan dengan kisaran dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Larutan encer
gelatin kualitas tinggi tidak berwarna, sedangkan gelatin kualitas rendah
memiliki warna coklat kejinggaan.
Kisaran rata-rata notasi L gelatin sampel yang didapatkan dari
penelitian ini adalah 55,49 - 58,90, tidak jauh berbeda tingkat kecerahannya
dengan notasi L pada gelatin komersial yang tercatat sebesar 56,36
(Lampiran 3). Pengaruh perbandingan kulit-air serta interval agitasi terhadap
nilai rata-rata notasi L pada gelatin hasil penelitian ini dapat dilihat di
Gambar 6. .

60
59
nilai notasi L

58
57
56
55
54
53
1:1
1 1:2
2 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 6. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


notasi L sampel gelatin.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbandingan kulit-air dan
interval agitasi tidak memberikan kecenderungan nilai naik atau turun pada
tingkat kecerahan sampel gelatin. Perbandingan kulit-air yang semakin besar
diharapkan dapat memberikan nilai kecerahan yang lebih baik dengan lebih
banyaknya gelatin yang ikut terekstrak. Hal tersebut tidak terjadi pada empat
tingkat perbandingan kulit-air yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena selama proses ekstraksi berlangsung, bukan saja
gelatin yang terekstrak namun juga zat-zat pengotor lain ikut pula terekstrak.
Menurut Arthadana (2001) kejernihan warna gelatin tergantung
pada kemampuan zat-zat pengotor yang ada untuk memancarkan cahaya,
terutama keberadaan ion logam pada bahan dapat mempengaruhi warna
gelatin yang dihasilkan. Semakin banyaknya air yang ditambahkan semakin
besar peluang zat-zat pengotor ikut dalam filtrat gelatin.
Begitu pula dengan pengaruh agitasi pada tingkat kecerahan
sampel gelatin. Proses agitasi yang diharapkan dapat membantu untuk
mengektrak gelatin dengan lebih baik, ternyata mempunyai efek samping.
Agitasi yang diberikan tidak saja mengekstrak gelatin, namun juga membuat
komponen-komponen non kolagen ikut terekstrak sehingga mempengaruhi
tingkat kecerahan. Semakin sering agitasi diberikan, peluang komponen-
komponen non kolagen ikut serta dalam filtrat lebih besar. Banyaknya
komponen-komponen non kolagen yang ikut terekstrak sangat dipengaruhi
jumlah komponen-komponen tersebut dalam bahan baku kulit yang
digunakan.
Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru dan kuning
dengan nilai b positif sampai +60 untuk warna kuning dan nilai b negatif dari
0 sampai -60 untuk warna biru. Warna gelatin dapat dipengaruhi oleh bahan
baku yang digunakan, metode pembuatan dan jumlah ekstraksi (Glicksman,
1969). Gelatin dari kulit babi mempunyai warna yang lebih cerah jika
dibandingkan dengan gelatin dari tulang paupun kulit sapi. Larutan encer
gelatin kualitas tinggi tidak berwarna, sedangkan gelatin kualitas rendah
memiliki warna coklat kejinggaan.
Nilai rata-rata untuk notasi b yang didapatkan dari pengukuran
gelatin hasil penelitian berkisar antara 39,74 sampai 41,68, semua
menunjukkan nilai positif (Lampiran 4). Kisaran nilai tersebut menunjukkan
bahwa warna gelatin hasil penelitian penelitian mengarah pada warna
kuning.
Kecenderungan naik turunnya nilai notasi b sampel gelatin hasil
penelitian disajikan pada Gambar 7. Kedua perlakuan yaitu perbandingan
kulit-air dan interval agitasi ternyata tidak memberikan pola tertentu pada
nilai notasi b sampel gelatin. Adanya komponen-komponen non gelatin yang
turut serta dalam filtrat mempengaruhi nilai notasi b. Perbandingan kulit-air
yang semakin besar ternyata tidak selalu memberikan nilai notasi b yang
selalu lebih tinggi (warna lebih kuning) seperti dugaan semula. Perbandingan
kulit-air yang semakin besar juga dapat menurunkan nilai notasi b
dikarenakan adanya komponen-komponen non gelatin dalam filtrat.
Komponen ini memberikan peluang yang semakin besar terhadap terjadinya
warna kuning yang semakin tua.

42
41,5
nilai notasi b

41
40,5
40
39,5
39
38,5
1:11 1:2
2 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 7. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


notasi b sampel gelatin.

Agitasi yang diberikan tidak memberikan pengaruh khusus pada


nilai notasi b. Kondisi fisik bahan baku kulit diduga menjadi penyebab hal
ini terjadi. Kondisi fisik kulit yang terlalu lembek, menjadikan kulit tersebut
lebih mudah untuk terkoyak karena adanya agitasi. Kulit dengan kondisi
yang terlalu lembek, semakin sering agitasi itu diberikan semakin banyak
serpihan-serpihan kulit yang terkoyak dan bercampur dalam filtrat gelatin.
Serpihan-serpihan ini menyebabkan warna kuning gelatin semakin tua.
Perbandingan warna sampel gelatin yang dihasilkan dari penelitian
ini dibandingkan dengan gelatin komersial dapat dilihat di Gambar 8.

Gambar 8. Bubuk sampel gelatin

Keterangan :
Dari atas : kiri-kanan : A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, A2B4,
A3B1, A3B2, A3B3, A3B4, Komersial, A4B1, A4B2, A4B3, A4B4.

3. Kadar Air
Kadar air diketahui sebagai persentase air yang terikat oleh suatu
bahan terhadap berat kering setelah dioven. Kandungan air suatu bahan
menentukan penampakan, tekstur, dan kemampuan bahan tersebut terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu
jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk
pertumbuhannya. Air pada suatu bahan dapat digolongkan menjadi beberapa
macam dengan karakteristiknya masing-masing.
Air bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan
matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain-lain. Air tipe ini
cenderung mudah diuapkan. Air bebas juga dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Selain air
bebas, ditemukan juga jenis air terikat (bound water), air tipe ini sulit
diuapkan dan dipisahkan karena terikat kuat dengan komponen lain dalam
bahan tersebut. Air yang terikat secara fisis adalah bagian air yang terdapat
dalam tenunan bahan karena adanya ikatan-ikatan garis. Air yang terikat
secara kimia terdiri dari bagian air yang terdapat dalam bahan dan terikat
dalam susunan kimia (Setijahartini, 1985).
Kadar air sampel gelatin penelitian ini berkisar antara 8,82 % (bk)
hingga 12,74 % (bk) (Lampiran 5). Nilai ini lebih rendah dibandingkan
dengan nilai kadar air gelatin gelatin komersial yaitu 15,20 %. Nilai tersebut
secara keseluruhan masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh
Dewan Standar Indonesia (1995), yaitu <16 %.
Gambar 9 menunjukkan bahwa perbandingan kulit-air tidak
memberikan pengaruh yang jelas pada nilai kadar air gelatin. Hanya ekstraksi
sampel gelatin pada agitasi setiap 30 menit sekali yang menunjukkan nilai
kadar air yang semakin meningkat seiring dengan penambahan jumlah air.
Menurut Clarks dan Courts (1977), rantai asam amino berikatan dengan
rantai asam amino lainnya secara acak dengan menjerat air di dalam ikatan
tersebut sehingga kadar air di dalam gelatin menjadi lebih tinggi. Dengan
kata lain, semakin banyak molekul gelatin yang dapat terekstrak semakin
besar jumlah air yang dapat terikat.

14
12
kadar air (% bk)

10

0
0 1:11 1:2
2 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 9. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


kadar air sampel gelatin
Perlakuan agitasi juga tidak memberikan kecenderungan tertentu
pada nilai kadar air sampel gelatin. Molekul-molekul gelatin dalam kulit
seharusnya dapat terekstrak lebih optimal dengan semakin seringnya
diberikan agitasi. Namun dari penelitian ini, hal tersebut tidak sepenuhnya
terjadi.
Nilai kadar air sampel gelatin hasil penelitian yang cenderung naik
turun ini diduga dipengaruhi oleh proses evaporasi dan pengeringan yang
dilakukan. Rendahnya efisiensi kedua alat mempengaruhi nilai kadar air
sampel gelatin yang didapatkan. Pada saat proses evaporasi dan pengeringan
jumlah air yang teruapkan tidak dapat ditetapkan dengan tepat dikarenakan
keterbatasan kerja alat.

4. Kadar Abu
Kadar abu suatu bahan dapat menunjukkan kemurnian suatu bahan.
Metode pembuatan dan bahan kimia pendukung (non organik) yang
digunakan selama proses pembuatan gelatin akan mempengaruhi kadar abu
di dalam gelatin. Metode pembuatan gelatin melalui proses basa akan
meninggalkan residu berupa mineral-mineral tertentu sesuai dengan bahan
kimia yang digunakan.
Air digunakan sebagai pengekstrak dalam proses ekstraksi gelatin.
Sampai titik tertentu semakin banyak air yang digunakan maka semakin
banyak molekul gelatin yang dapat terekstrak. Namun semakin banyak air
yang digunakan dapat juga meningkatkan jumlah mineral yang ikut dalam
filtrat. Agitasi pada dasarnya ditujukan untuk menambah jumlah molekul
gelatin yang dapat terekstrak. Namun pada pelaksanaannya, agitasi bisa juga
menambah jumlah mineral yang terekstrak dari kulit. Semakin sering agitasi
itu diberikan (interval semakin kecil), kemungkinan mineral yang terekstrak
juga semakin besar.
Gelatin yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai kadar abu
berkisar antara 2,89-3,89 (% bk) (Lampiran 6). Perbandingan air yang
semakin besar tidak selalu memberikan nilai kadar abu yang lebih tinggi. Hal
ini dipengaruhi oleh proses perendaman (liming) dan proses netralisasi yang
dilakukan. Perbandingan air yang lebih sedikit namun menghasilkan nilai
kadar abu yang lebih tinggi diduga disebabkan karena kulit yang digunakan
terendam selama proses liming berada di posisi terbawah sehingga lebih
banyak kapur yang masuk dalam kapiler-kapiler kulit. Proses netralisasi yang
tidak sempurna juga turut serta mempengaruhi pengukuran nilai kadar abu
ini. Pengaruh perbandingan kulit-air terhadap nilai kadar abu sample gelatin
dapat dilihat di Gambar 10.

4.5
4
3.5
kadar abu (% bk)

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 1:1
1 1:2
2 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 10. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi


terhadap kadar abu sampel gelatin

Agitasi yang semakin sering diberikan, namun memberikan nilai


kadar abu yang lebih sedikit bisa dikarenakan jumlah mineral yang terdapat
pada sampel yang digunakan memang sedikit. Optimalisasi proses
perendaman (liming) dan netralisasi menjadi hal yang menentukan.

5. Kekuatan Gel
Sifat gelatin yang sering dimanfaatkan oleh industri pangan adalah
kemampuannya untuk membentuk gel yang reversible. Sifat ini yang
membedakan gelatin dengan gel hidrokoloid lainnya seperti pektin yang
bersifat irreversible. Kekuatan gel merupakan sebuah satuan yang
menunjukkan tingkat kekuatan formasi yang terbentuk jika diberi beban
tertentu.
Menurut Glicksman (1969) formasi gel terbentuk karena adanya ikatan
hidrogen pada struktur molekulnya sehingga terbentuk formasi semikoloid gel
dengan air. Hal ini sangat dipengaruhi oleh susunan asam amino pada gelatin.
Stanby (1977) juga menyebutkan bahwa kekuatan gel gelatin dipengaruhi oleh
kondisi asam amino penyusunnya terutama panjang rantai asam aminonya.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai kekuatan gel dari gelatin
antara lain pH, senyawa elektrolit dan non elektrolitnya. Pendapat lain
disampaikan oleh King (1969) yang menyebutkan bahwa kekuatan gel dapat
dipengaruhi oleh pH, keberadaan asam, basa, panas, dan enzim proteolitik.
Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi pembentukan gel.
Pengukuran nilai kekuatan gel dari gelatin sampel menghasilkan
kisaran kekuatan gel antara 72,5 sampai 225 Bloom, masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan kekuatan gel dari gelatin komersial yang terukur sebesar
205 Bloom (Lampiran 7). Namun nilai gelatin sampel tersebut masih
memenuhi kriteria berdasarkan British Standar yang memberikan kisaran
kekuatan gel gelatin antara 50 hingga 300 Bloom. Kekuatan gel sampel gelatin
dengan perbandingan air 1:3 dan 1:4 cenderung mempunyai nilai yang rendah
(Gambar 11).

300
kekuatan gel (bloom)

250

200

150

100
50

0
1:1
1 1:2
2 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 11. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


kekuatan gel sampel gelatin
Selama proses ekstraksi berlangsung terjadi hidrolisis kolagen menjadi
gelatin oleh air. Semakin banyak air yang ditambahkan maka diharapkan
semakin banyak kolagen yang dapat terhidrolisis menjadi gelatin kemudian
terekstrak. Jumlah gelatin yang terekstrak ini menentukan kekuatan gel dari
sampel gelatin kering. Gambar 11 menunjukkan pengaruh jumlah air yang
ditambahkan dengan nilai kekuatan gel sampel gelatin.
Dari gambar terlihat bahwa semakin banyak air yang ditambahkan
tidak selalu menghasilkan nilai kekuatan gel yang lebih tinggi. Hal ini bisa
disebabkan oleh mineral yang terdapat dalam sampel tersebut. Mineral-
mineral terebut dapat saja menghambat hidrolisis kolagen menjadi gelatin. Hal
ini mengurangi jumlah gelatin yang terekstrak, dengan sendirinya kekuatan
gel menurun.
Gelatin dalam filtrat hasil ekstraksi diyakini bertambah jumlahnya jika
ditambahkan proses agitasi dalam proses ekstraksi. Semakin sering agitasi
diberikan diharapkan semakin besar nilai kekuatan gel sampel gelatin. Hal ini
terjadi pada sampel-sampel gelatin hasil penelitian yang didapatkan dari
ekstraksi menggunakan perbandingan kulit-air 1 :3 dan 1 :4. Namun
pemberian agitasi yang semakin sering ternyata tidak selalu memberikan nilai
kekuatan gel yang lebih tinggi. Hal ini terjadi pada ekstraksi yang dilakukan
dengan tingkat perbandingan 1: 1 dan 1:2.
Ada sampel dimana saat diberikan agitasi yang lebih banyak (interval
lebih sempit) didapatkan nilai kekuatan gel yang lebih rendah. Hal ini terjadi
karena sampel-sampel tersebut mempunyai nilai kadar abu yang lebih tinggi
dibandingkan sampel yang diberikan agitasi lebih sedikit pada perbandingan
kulit-air yang sama. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan nilai
kekuatan gel sampel gelatin perbandingan 1 :1 dan 1: 2 mengalami naik turun.
United States Patent (1999) menggolongkan mutu gelatin menjadi tiga
kelas berdasarkan kekuatan gelnya. Gelatin dengan kekuatan gel >240 bloom
termasuk gelatin kualitas tinggi, gelatin dengan kekuatan gel 120-240
termasuk gelatin kualitas sedang, dan gelatin dengan kekuatan gel < 120
bloom termasuk gelatin kualitas rendah.
Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States
Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin
A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang
adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu
sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3.

6. Viskositas
Viskositas suatu bahan menunjukkan kemudahan bahan tersebut untuk
mengalir. Aliran ini terjadi karena adanya gesekan antar struktur kimia
molekul-molekul dalam pelarut. Berdasarkan British Standard nilai viskositas
gelatin berkisar 1,5 sampai dengan 7 cP. Pengukuran nilai viskositas dari
sampel gelatin didapatkan kisaran nilai viskositas 5- 18 cP (lampiran 8).
Gambar 12 menunjukkan pola nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian.

20
viskositas (cP)

15

10

0
1:1 1 1:22 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 12. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


viskositas sampel gelatin

Ada beberapa sampel gelatin hasil penelitian yang mempunyai nilai


viskositas diatas kisaran yang telah ditetapkan oleh British Standard (1975).
Hal ini mempengaruhi pola kecenderungan nilai viskositas jika dilihat
berdasarkan peningkatan perbandingan kulit-air. Air yang semakin banyak
ditambahkan pada proses ekstraksi semestinya mampu mengekstrak gelatin
lebih banyak, sehingga nilai viskositas semakin tinggi (masih berada dalam
kisaran normal). Namun pada pengamatan, nilai viskositas sampel gelatin
hasil penelitian tidak selalu meningkat seiring dengan semakin banyaknya air
yang ditambahkan. Bahkan nilai viskositas yang didapatkan mampu melebihi
kisaran nilai viskositas yang telah ditetapkan.
Sama halnya dengan proses agitasi yang diberikan. Agitasi yang lebih
sering dilakukan selama proses ekstraksi berlangsung diharapkan dapat
menambah jumlah gelatin yang terekstrak. Jumlah kolagen yang terekstrak ini
yang menjadikan nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian berada dalam
kisaran yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini, agitasi yang semakin sering
diberikan tidak selalu memberikan nilai viskositas yang lebih tinggi.
Keberadaan residu mineral yang masih tertinggal dalam sampel diduga
menjadi penyebab kedua hal ini. Seperti yang disampaikan oleh Glicksman
(1969) bahwa mineral tersebut dapat berikatan dengan struktur aldehid pada
struktur gelatin dan membentuk polialdehid yang dapat menurunkan kelarutan
gelatin. Penurunan nilai kelarutan ini berakibat pada meningkatnya nilai
viskositas gelatin. Pendapat ini dikuatkan oleh Harijatmoko (2004) yang
menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya residu mineral dalam
gelatin, maka viskositas gelatin akan meningkat.
Residu mineral ini dapat berasal dari bahan–bahan kimia seperti
NH3SO4 yang digunakan ketika proses netralisasi dilakukan. Tidak
sempurnanya proses netralisasi yang dilakukan menyebabkan adanya ion-ion
dari NH3SO4 yang tertinggal. Keberadaan ion-ion ini yang akhirnya
menjadikan nilai viskositas menjadi lebih tinggi dari kisaran yang telah
ditentukan.

7. Stabilitas Emulsi
Fungsi lain dari gelatin adalah sebagai pembentuk sistem emulsi. Nilai
stabilitas emulsi pada gelatin menunjukkan kekuatan sistem emulsi yang
mampu dipertahankan oleh gelatin. Semakin stabil suatu sistem emulsi, maka
semakin tinggi mutu penyimpanan suatu produk. Rendahnya kekuatan sistem
emulsi mempengaruhi penampakan, rasa, serta fungsi dari produk. Kerusakan
sistem emulsi ini ditandai dengan adanya pemisahan sistem menjadi dua
bagian yang terpisah. Bagian yang mempunyai densitas yang lebih rendah
berada diatas, sedangkan bagian yang mempunyai densitas yang lebih ringan
berada di bawah.
Emulsi yang mengandung partikel kasar (makroglobula) umumnya
mudah pecah karena makroglobula mudah bergabung antara satu dengan
lainnya dan terpisah dari fase kontinunya. Sebaliknya emulsi yang
mengandung partikel kecil memiliki stabilitas emulsi yang tinggi, dengan
demikian semakin besar butirannya maka stabilitasnya akan berkurang.
Kisaran nilai rata-rata stabilitas emulsi sampel gelatin berkisar antara
50,71–59,62 % (Lampiran 9). Tidak jauh berbeda dengan nilai stabilitas
emulsi dari gelatin komersial yaitu 52,94 %. Hasil ini menunjukkan sampel
gelatin hasil penelitian mempunyai tingkat kestabilan yang tidak jauh berbeda
dengan gelatin komersial, bahkan beberapa sampel menunjukkan tingkat
kestabilan yang lebih baik. Pengaruh kedua perlakuan terhadap nilai stabilitas
sample gelatin dapat dilihat di Gambar 13.
62
60
stabilitas emulsi (%)

58
56
54
52
50
48
46
1:1
1 1:22 1:3
3 1:4
4
perbandingan kulit-air

agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30'

Gambar 13. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap


stabilitas emulsi sampel gelatin
Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh banyak gugus gugus karboksil
(COO-) dan amina (NH3+ ) yang ada dalam filtrat gelatin. Gugus-gugus ini
dapat meningkat jumlahnya jika hidrolisis kolagen menjadi gelatin berjalan
dengan sempurna dan gelatin berhasil terekstrak. Jumlah air yang ditambahkan
selama proses ekstraksi berlangsung dapat meningkatkan jumlah gelatin yang
terekstrak sehingga stabilitas emulsi bisa meningkat akibat adanya gugus-
gugus karboksil dan amina yang lebih banyak. Pengamatan pada stabilitas
emulsi sampel gelatin hasil penelitian menunjukkan hanya ekstraksi dengan
interval agitasi setiap 10 menit sekali yang menunjukkan nilai stabilitas emulsi
yang semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya air yang
ditambahkan. Sedangkan pada ekstraksi dengan interval agitasi setiap 20 dan
30 menit sekali menunjukkan kecenderungan nilai stabilitas emulsi yang tidak
menentu. Hal ini dapat disebabkan karena kolagen yang berada dalam kapiler-
kapiler kulit tidak terhidrolisis dan terekstrak dengan sempurna. Tidak
optimalnya hidrolisis kolagen menjadi gelatin bisa disebabkan oleh suhu
lingkungan yang mempengaruhi suhu sistem ekstraktor dan akhirnya
menggangu jalannya ekstraksi. Khususnya jika proses ekstraksi dilakukan
pada malam hari.
Stabilitas emulsi diharapkan dapat meningkat seiring dengan semakin
seringnya agitasi diberikan. Pada penelitian ini hanya ekstraksi dengan
perbandingan kulit-air 1:3 dan 1:4 yang menunjukkan nilai stabilitas emulsi
yang meningkat seiring dengan semakin seringnya agitasi diberikan. Pada
ekstraksi dengan perbandingan kulit-air 1:1 dan 1:2, semakin sering agitasi
diberikan nilai stabilitas tidak selalu meningkat. Ketidakoptimalan hidrolisis
kolagen menjadi gelatin pada ekstraksi di dua perbandingan kulit-air tersebut
menjadikan jumlah gelatin yang terekstrak dengan bantuan agitasi menjadi
tidak optimal.

.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Hasil analisa pada penelitian ini menunjukkan bahwa indikator kualitas
gelatin yang dihasilkan secara umum gelatin yang diperoleh telah memenuhi
standar yang ditetapkan oleh Dewan Standardisasi Nasional (1995) maupun
British Standard 757 (1975). Kisaran nilai variabel sampel gelatin yang
diperoleh dari penelitian ini adalah rendemen 6,46 – 13,11%, notasi L 55,49 –
58,90 (cerah), notasi b 39,74 – 41,68 (kuning), kadar air 8,82 – 12,74 % (bk),
kadar abu 2,89-3,89 (% bk), kekuatan gel 115– 280 bloom, viskositas 5 – 18
cP, dan stabilitas emulsi 50,71 – 59,62 %.
Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta
interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa
kedua perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata
lain tidak ada tren khusus (naik atau turun) pada nilai parameter gelatin akibat
dari peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan.
Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States
Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin
A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang
adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu
sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian
ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin
dengan kualitas sedang.

B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar didapatkan tren yang lebih
spesifik dengan menambahkan pengadukan pada proses liming dan netralisasi
agar residu mineral dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA

Akademi Teknologi Kulit. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi


Teknologi Kulit, Yogyakarta.

Arthadana, L. N. 2001. Kajian Proses Produksi Gelatin Tipe A Berbahan Baku


Kulit sapi dengan Metode Perendaman Asam. Skripsi. Departemen
Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.
Bogor.

Anonim. 1978. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Departemen Perindustrian, Jakarta.

Association Of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of


Analysis of Association Official Analytical Chemists. Washington, D.C.

Bennion, M. 1980. The Science of Food. John Wiley and Sons. New York

Belitz, H. D., and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2ndEdit. Springer, Germany.

BPS. 1999-2005. Statistik Industri-Industri Besar dan Menengah. Jakarta.

BPS. 1999-2005. Statistik Perdagangan Ekspor – Impor Indonesia. Jakarta.

British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Di Dalam Imeson.
1992. Thikcening and Gelling Agents For Food. Academic Press, New
York.

Brown, A. 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wadsworth.


Belmont.

Carley, H. 1982. Food Science. 2nd ed. John Wiley and Sons Inc., New York

Chang, R. And W. Tikkanen. 1988. The Top Fifty Industrial Chemicals. Random
House. New York.

Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 06-3735-1995. Mutu dan Cara Uji
Gelatin. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Djojowidagdo, S. 1981. Kajian Kulit dan Pemanfaatannya. Presentasi Pada


Seminar Pertemuan Ilmiah Ruminansia di BPT Ciawi, Bogor.

Fahidin dan Muslich. 1999. Diktat Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fardiaz, D. 1989. Buku dan Monograf Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan


Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Gates, J. C. 1981. Basic Food. Holt, Rinehart and Winston. California.

Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press. New


York.

Handojo, Lienda. 1995. Teknologi Kimia. PT Pradnya Paramitha, Jakarta.

Harijatmoko, K. E. 2004. Studi Kualitas Gelatin Dari Kulit Sapi Sisa Trimming
dengan Dosis Kapur Tohor (CaO) dan Lama Perendaman yang Berbeda.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. IPB.
Bogor.

Hinterwaldner, R. 1977. Raw Material. Di Dalam Ward, A. G. dan A. Courts.


1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New
York
Hughes, O dan M. Bennion. 1970. Introductory Foods. 5th Edit. MacMillan
Publishing Co., Inc. New York.

Imeson. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New
York.

Johns, P. and A. Curts. 1977. Relation between Collagen and Gelatin. Di Dalam
Ward. A. G. and A. Courts (ed.). 1977. The Science and Technology of
Gelatin. Academic Press. London.

Jones, N. R. 1977. Uses of Gelatin in Edible Products. Di Dalam Ward, A. G. and


A. Courts (Eds). The Science and Technology of Gelatin. Academic Press.
New York.

Judoamidjojo, R. M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. FATEMETA IPB.


Bogor.

Judoamidjojo, R. M., Fahidin dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia.


Pendidikan Keterampilan Teknis. Laboratorium Pengendalian Mutu.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor.

Judoamodjojo, R. M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Penerbit


Angkasa. Bandung.

King, W. 1969. Gelatin. Di Dalam Gliksman, M. (ed.). Gum Technology in Food


Industry Academic Press. London.

Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Terjemahan. M.


Thenawijaya. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Lembaga Statistik Peternakan. 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi


Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Parker, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishers, Inc., Sparkas,
Maryland.

Poppe, J. 1992. Gelatin. Di Dalam A. Imeson (ed). Thickening and Gelling Agent
For Food. Academic Press. New York.

Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi


Penyamakan Kulit. Departemen Perindustrian Republik Indonesia.
Yogyakarta.

Sathe, S. K. And D. K. Salunkhe. 1981. Functional Properties of The Great


Northern Bean (Phaseolous vulgaris L) Di Dalam Protein : emulstions,
faming, viscosity and gelatin properties. J. Food Science. 46:71-74.

Setijahartini, S. 1985. Pengeringan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.


Agoindustri Press. Bogor.

Setyorini, 1994. Kajian Proses Demineralisasi dan Liming dalam Ekstraksi


Gelatin dari Kolagen Tulang Sapi. Skripsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Sharphouse, J. H. 1978. Leather Technician’s Handbook. Leather Producers


Association. London.

Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Mutu dan Standardisasi Mutu Pangan. IPB.
Bogor.

Stainby, G. 1977. The Physical Chemistry of Gelatin in Solution. Di dalam A. G.


Ward dan A. Courts. 1977. The Scince and Technology of Gelatin.
Academic Press, New York. Pp. 179-206.

Sudarmadji, S. 1995. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty,


Yogyakarta.

The United Stated Patent 5210182. 2005. Extraction Process For Gelatin.
www.google.com [ 11 Mei 1993].

Tourtelotte, P. 1980. Gelatin. Di dalam Encyclopedia of Food Science and


Technology. Mc Graw Hill Book Co., New York.

Ward, A. G. and A, Courts. 1977. The Science and Technology of Gelatin.


Academic Press. New York.

Wijaya, I. 1998. The Effect of Protein Contentration and pH on The Bloom


Strength of Gelatin. Gitayana. 4(1):36-44.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka utama.
Jakarta.

Wong, D. W. S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. An AVI Book.


Van Nostrand Reinhold, New York.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai rata-rata rendemen (%) pada setiap perlakuan

Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 10,29 6,46 13,11
1:2 10,38 10,38 9,73
1:3 11,46 10,4 11,05
1:4 11,54 11,53 6,98

Lampiran 2. Diagram Kromatisitas


Lampiran 3. Nilai rata-rata notasi L pada setiap perlakuan

Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 57,12 57,55 57,88
1:2 57,18 58,70 57,30
1:3 57,74 57,12 58,90
1:4 55,49 57,64 58,37
Gelatin komersial : 56,36

Lampiran 4. Nilai rata-rata notasi b pada setiap perlakuan

Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 40,58 40,16 40,94
1:2 40,43 41,68 40,92
1:3 41,17 41,02 41,41
1:4 39,79 41,38 41,11
Gelatin komersial : 41.29

Lampiran 5. Nilai rata-rata kadar air (% bk) pada setiap perlakuan

Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 11,76 11,84 8,82
1:2 9,27 12,74 10,36
1:3 10,62 10,54 11,37
1:4 10,57 10,90 12,27
Gelatin komersial : 15,20 %.
Lampiran 6. Nilai rata-rata kadar abu (% bk) pada setiap perlakuan
Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 2,78 2,55 3,24
1:2 2,89 3,39 3,02
1:3 2,79 2,83 3,05
1:4 2,75 3,01 2,64
Gelatin komersial : 2,82 %.

Lampiran 7. Nilai rata-rata kekuatan gel (bloom) pada setiap perlakuan


Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 210 280 215
1:2 225 200 265
1:3 230 182,5 170
1:4 245 130 115
Gelatin komersial : 205 bloom

Lampiran 8. Nilai rata-rata viskositas (cP) pada setiap perlakuan


Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 18 7 7
1:2 12 5 8
1:3 5 10 7
1:4 5 6 5
Gelatin komersial :15 cP
Lampiran 9. Nilai rata-rata stabilitas emulsi (%) pada setiap perlakuan

Agitasi
Perbandingan kulit- air
@ 10’ @ 20’ @ 30’
1 :1 54,29 55,26 59,42
1:2 56,08 53,36 59,62
1:3 57,53 57,36 50,71
1:4 58,68 54,445 53,76
Gelatin komersial : 52,94 %

Anda mungkin juga menyukai