Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS INDIVIDU

Hiperemesis Gravidarum

Oleh:

Rinrin Faridah

Kelompok G-H7 / 201620401011121

Pembimbing

dr. Eni Fatmawati sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya, penulisan laporan kasus stase obgin ini dapat diselesaikan dengan

baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW,

keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Laporan kasus yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai

“Hiperemesis Gravidaum”. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi

tugas individu stase obgin.

Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima kasih

yang sebesar besarnya kepada dr.Eni Fatmawati spesialis obgin, selaku

pembimbing kami, yang telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan

laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun.

Akhirnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Lamongan, 4 Juni 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekitar 50-90 % perempuan hamil mengalami keluhan mual dan muntah.

Keluhan ini biasanya disertai dengan hipersalivasi, sakit kepala, perut kembung

dan rasa lemah pada badan. Keluhan-keluhan ini secara umumdikenal sebagai “

morning sickness”. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena 80% perempuan

hamil mengalami mual dan muntah sepanjang hari.

Apabila mual dan muntah yang dialami mengganggu aktivitas sehari-hari

atau menimbulkan komplikasi , keadaan ini disebut hiperemesis gravidarum.

Kmplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan

penurunan berat badan lebih dari 3 kg ata 5% berat badan.

Mual dan muntah pada kehamila biasanya dimulai pada kehamilan minggu

ke-9 sampai ke-10, memberat pada minggu ke-11 sampai ke-13 dan berakhir pada

minggu ke-12 sampai 14. Hanya pada 1-10% kehamilan gejala berlanjut melewati

minggu ke-20 sampai ke-22. Pada 0.3 % - 2% kehamilan terjadi hiperemesis

gravidarum yangmenyebabkan ibu harus ditatalaksana dengan rawat inap.

Hiperemesis gravidarum jarang menyebabkankematian, tetapi angka

kejadiannya masih cukup tinggi. Hampir 25% pasien hiperemesis gravidarum

dirawat di rawat inap lebih dari sekali. Terkadang, kondisi hiperemesis yang

terjadi terus menerus dan sulit sembuh membuat pasien depresi. Pada kasus-kasus

ekstrim, ibu hamil bahkan dapat merasa ingin melakukan terminasi kehamilan.
Beberapa factor resiko yag berhubungan dengan hiperemesis gravidarum

antara lain hiperemesis gravidarum pada kehamilan sebelumnya, berat badan

berlebih, kehamilan multiple, peyakit trofloblastik, nliparitas dan merokok.

BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. Khusnul K

Umur : 35 tahun

Alamat : Karanganom kulon RT6 RW3 Karangbinangun Lamongan

Agama : Islam

Pendidikan : SMA tamat

Pekerjaan : wiraswasta

Status : Sudah menikah

Tanggal MRS : 3 mei 2018

No RM : 23.50.80
Anamnesis

Keluhan Utama : Mual Muntah

• Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang dengan keluhan mual muntah ,

mual muntah dirasakan sejak 1bulan SMRS. Mual dirasakan terus menerus

memberat apabila hendakan di beri makan atau minum, pasien juga mengatakan

selalu muntah saat makan. Frekuensi muntah sehari 11x berisi air dan makanan,

pasien juga mengatakan pusing untuk berdiri dan berjalan pasien merasa sangat

lemas, pasien mengeluh tidak masuk makanan sejak 1hari SMRS . Nyeri ulu

hati (+), dan nafsu makan menurun. pasien mengaku hamil dengan usia

kehamilan8-9minggu, Riwayat ANC belum pernah. Riwayat minum tablet zat

besi (-). BAB dan BAK dbn

Riwayat Penyakit Dahulu : HT - , DM - , asma - , alergi –

Hpht : 6-3-2018

Riwayat obastetri : 1 = L/aterm / spt B/ Bidan / 12th

2 = p / aterm/ spt B/ Bidan/ 4th

3 = hamil ini

Riwayat gynekologi : keputihan –

Menarce : 14th/teratur/7hari/28hari/ disminorea -

Riwayat Penyakit Keluarga : Asma (-), DM dan HT disangkal

Riwayat Pribadi dan Sosial :-

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak lemah

Kesadaran : Composmentis

GCS : 456

Tekanan darah :98/ 56 mmHg

Nadi : 101 x/ menit

Respirasi : 22 x/ menit
Suhu : 36.8 C

Kepala dan Leher:

Kepala :Normosefalus, tanda trauma (-), anemis (+/+), ikterus (-/-),

cyanosis (-), dyspneu (-), pupil bulat isokor, reflex cahaya +/+,

pupilisokor diameter 3 mm / 3 mm, hematom (-),stomatitis (-),

rash (-)

Leher : Tidak ada deviasi trakea, pembesaran KGB (-)dan tidak

ada peningkatan JVP

Thorax:

Inspeksi : Pergerakan nafas dan dinding simetris, retraksi dinding dada -/-

intercostal, jejas-/-.

Palpasi : Stem fremitus normal

Perkusi : Sonor / sonor

Auskultasi : Vesikuler /vesikuler , wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung:

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi :

batas kiri :ICS 5 anterior axillary sinistra

batas kanan :ICS 5 parasternal dextra

Auskultasi : S1- S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:

Inspeksi : Flat, jejas (-), caput medusa (-)

Auskultasi : Bising Usus (+) normal

Palpasi : Soepel, tidak ada penonjolan, shifting dullness (-), nyeri


tekan abdomen (+) at regio epigastric, Hepar lien tak teraba.

Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Extremitas : Tidak ada deformitas, tidak ada edema pada ekstremitas,tidak

ada sianosis, akral Dingin Basah Pucat, CRT <2 detik.

Status obstetri : abdomen gravid + , TFU tde, tanda peradangan -, luka bekas

oprasi -

Pemeriksaan Penunjang

Hematologi

- Kalium serum : 3.5

- Natrium serum : 132

- Clorida serum : 100

- Leukosit : 7200

- Neutropil : 64.8

- Limposit : 26.3

- Monosit : 4.7

- Eosinofil : 2.5

- Basofil : 1.7

- Eritrosit : 4.83

- Hb : 11.5

- Hct : 35.4

- MCV : 73.30

- MCH : 23.80

- MCHC : 32.50

- RDW : 11

- Trombosit : 369.000
- MPV :4

- LED 1 : 85

- LED 2 : 100

Kadar Gula Darah

Gula Darah Acak : 64 mg/dl (<200)

Diagnosis Kerja : Hyperemesis Gravidarum G3P2A0 UK 8-9mgg

USG

Terapi awal :
Infus loading asering 500cc  maintenance asering 1500cc/24 jam
Inj Rantidine 2x50 mg
Inj Ondansentron 3 x 8 mg
Terapi Lanjutan :
- Infus RL 30 tpm
- Inj Ondansentron 3 x 8 mg
- Inj Rantidine 2x50 mg
- Oral : folas 1 x 1, acitral 3 x 1 (ac) aspar K 2x1
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Hiperemesis Gravidarum

3.1.1 Definisi

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi sampai usia

kehamilan 20 minggu, begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan

diminum dimuntahkan sehingga mempengaruhi keadaan umum dan pekerjaan

sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, terdapat aseton dalam urine, bukan

karena penyakit (Maidun, 2009).

3.1.2 Etiologi

Penyebab pasti mual dan muntah yang dirasakan ibu hamil belum

diketahui seperti yang dilaporkan Sugma dan Ricky (2016), tetapi terdapat

beberapa teori yang mengajukan keterlibatan faktor-faktor biologis, sosial dan

psikologis. Faktor biologis yang paling berperan adalah perubahan kadar hormon

selama kehamilan. Menurut teori terbaru, peningkatan kadar human Chorionic

gonadotropin (hCG) akan menginduksi ovarium untuk memproduksi estrogen,

yang dapat merangsang mual dan muntah. Perempuan dengan kehamilan ganda

atau mola hidatidosa yang diketahui memiliki kadar hCG lebih tinggi daripada

perempuan hamil lain mengalami keluhan mual dan muntah yang lebih berat.

Progesteron juga diduga menyebabkan mual dan muntah dengan cara

menghambat motilitas lambung dan irama kontraksi otot-otot polos lambung.

Penurunan kadar thyrotropin-stimulating hormone (TSH) pada awal kehamilan


juga berhubungan dengan hiperemesis gravidarum meskipun mekanismenya

belum jelas. Hiperemesis gravidarum merefleksikan perubahan hormonal yang

lebih drastis dibandingkan kehamilan biasa. 2

3.1.3 Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko penyakit hiperemesis gravidarum antara lain adalah

usia ibu, usia gestasi, jumlah gravida, tingkat sosial ekonomi, kehamilan ganda,

kehamilan mola, kondisi psikologis ibu dan adanya infeksi H.pilory. Usia ibu

merupakan faktor risiko dari hiperemesis gravidarum yang berhubungan dengan

kondisi psikologis ibu hamil. Literatur menyebutkan bahwa ibu dengan usia

kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun lebih sering mengalami hiperemesis

gravidarum. Usia gestasi atau usia kehamilan juga merupakan faktor risiko

hiperemesis gravidarum, hal tersebut berhubungan dengan kadar hormon korionik

gonadotropin, estrogen dan progesteron di dalam darah ibu. Kadar hormon

korionik gonadotropin merupakan salah satu etiologi yang dapat menyebabkan

hiperemesis gravidarum. Kadar hormon gonadotropin dalam darah mencapai

puncaknya pada trimester pertama, tepatnya sekitar minggu ke 14-16. Oleh karena

itu, mual dan muntah lebih sering terjadi pada trimester pertama. Peningkatan

kadar hCG mengakibatkan perubahan atau gangguan (dismotilitas) sistem

pencernaan serta gangguan sistem imun humoral yang diduga sebagai pencetus

infeksi H.pilory selama kehamilan. 11 (Karaca, 2007)

Faktor risiko lain adalah jumlah gravida. Hal tersebut berhubungan dengan

kondisi psikologis ibu hamil dimana ibu hamil yang baru pertama kali hamil akan

mengalami stress yang lebih besar dari ibu yang sudah pernah melahirkan dan

dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum, ibu primigravida juga belum mampu


beradaptasi terhadap perubahan korionik gonadotropin, hal tersebut menyebabkan

ibu yang baru pertama kali hamil lebih sering mengalami hiperemesis gravidarum.

Pekerjaan juga merupakan faktor risiko penyakit hiperemesis gravidarum.

Pekerjaan berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang juga mempengaruhi

pola makan, aktifitas dan stres pada ibu hamil. 8

3.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi hiperemesis gravidarum dapat disebabkan karena

peningkatan Hormone Chorionic Gonodhotropin (HCG) dapat menjadi faktor

mual dan muntah. Peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan otot

polos pada sistem gastrointestinal mengalami relaksasi sehingga motilitas

menurun dan lambung menjadi kosong. Hiperemesis gravidarum yang merupakan

komplikasi ibu hamil muda bila terjadi terus menerus dapat mengakibatkan

dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, serta dapat mengakibatkan cadangan

karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. (Winkjosastro, 2007

hal 185). Pada beberapa kasus berat, perubahan yang terjadi berhubungan dengan

malnutrisi dan dehidrasi yang menyebabkan terdapatnya non protein nitrogen,

asam urat, dan penurunan klorida dalam darah, kekurangan vitamin B1, B6, B12,

dapat mengakibatkan terjadinya anemia (Mitayani, 2009 hal 56).

Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan akibat muntah akan

menyababkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra vaskuler dan plasma akan

berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian juga dengan klorida urine.

Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehigga aliran darah ke

jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan zat makanan dan oksigen ke jaringan

berkurang dan tertimbunya zat metabolik dan toksik. Kekurangan kalium sebagai
akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal, meningkatkan

frekuensi muntah yang lebih banyak, merusak hati, sehigga memperberat keadaan

penderita.

3.1.5 Manifestasi Klinik

Keluhan ringan atau minor berupa ―emesis gravidarum‖ dapat semakin

meningkat menjadi hiper emesis gravidarum. Pada keadaan hiperemesis sudah

terdapat gejala klinis yang memerlukan perawatan, seperti muntah berlebihan

yang menyebabkan terjadinya dehidrasi, berat badan menurun, keluhan mental

dalam bentuk delirium, diplopia, nistakmus, serta terdapat keton dalam darah

sebagai akibat metabolisme anaerobic.

3.1.6 Klasifikasi

Hiperemesis gravidarum dapat diklasifikasikan secara klinis menjadi

hiperemesis gravidarum tingkat I, II dan III. Hiperemesis gravidarum tingkat I

ditandai oleh muntah yang terus-menerus disertai dengan penurunan nafsu makan

dan minum. Terdapat penurunan berat badan dan nyeri epigastrium. Pertama-tama

isi muntahan adalah makanan, kemudian lendir beserta sedikit cairan empedu, dan

dapat keluar darah jika keluhan muntah terus berlanjut. Frekuensi nadi meningkat

sampai 100 kali per menit dan tekanan darah sistolik menurun. Pada pemeriksaan

fisik ditemukan mata cekung, lidah kering, penurunan turgor kulit dan penurunan

jumlah urin. 11

Pada hiperemesis gravidarum tingkat II, pasien memuntahkan semua yang

dimakan dan diminum, berat badan cepat menurun, dan ada rasa haus yang hebat.

Frekuensi nadi berada pada rentang 100-140 kali/menit dan tekanan darah sistolik
kurang dari 80 mmHg. Pasien terlihat apatis, pucat, lidah kotor, kadang ikterus,

dan ditemukan aseton serta bilirubin dalam urin. 11

Hiperemesis gravidarum tingkat III sangat jarang terjadi. Keadaan ini

merupakan kelanjutan dari hiperemesis gravidarum tingkat II yang ditandai

dengan muntah yang berkurang atau bahkan berhenti, tetapi kesadaran pasien

menurun (delirium sampai koma). Pasien dapat mengalami ikterus, sianosis,

nistagmus, gangguan jantung dan dalam urin ditemukan bilirubin dan protein. 3,11

3.1.6 Diagnosis

Pada diagnosis harus ditentukan adanya kehamilan dan muntah yang terus

menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum (sering muntah lebih dari 10

kali per 24 jam). Pemeriksaan fisik pada pasien hiperemesis gravidarum biasanya

tidak memberikan tanda-tanda yang khusus. Lakukan pemeriksaan tanda vital,

keadaan membran mukosa, turgor kulit, nutrisi dan berat badan. Pada

pemeriksaan fisik dapat dijumpai dehidrasi, turgor kulit yang menurun, perubahan

tekanan darah dan nadi. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara

lain, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes

fungsi hati, dan urinalisa untuk menyingkirkan penyebab lain. Pada pemeriksaan

laboratorium pasien dengan hiperemesis gravidarum dapat diperoleh peningkatan

relatif hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia dan hipokalemia, badan keton

dalam darah dan proteinuria. Bila hyperthyroidism dicurigai, dilakukan

pemeriksaan T3 dan T4. Lakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk

menyingkirkan kehamilan mola. 4

3.1.7 Penatalaksanaan
3.1.7.1 Non Farmakologi

Tata laksana awal dan utama untuk mual dan muntah tanpa komplikasi

adalah istirahat dan menghindari makanan yang merangsang, seperti makanan

pedas, makanan berlemak, atau suplemen besi. Perubahan pola diet yang

sederhana, yaitu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam porsi yang kecil

namun sering cukup efektif untuk mengatasi mual dan muntah derajat ringan.1

Jenis makanan yang direkomendasikan adalah makanan ringan, kacang-kacangan,

produk susu, kacang panjang, dan biskuit kering. Minuman elektrolit dan

suplemen nutrisi peroral disarankan sebagai tambahan untuk memastikan

terjaganya keseimbangan elektrolit dan pemenuhan kebutuhan kalori. Menu

makanan yang banyak mengandung protein juga memiliki efek positif karena

bersifat eupeptic dan efektif meredakan mual. Manajemen stres juga dapat

berperan dalam menurunkan gejala mual. 2

3.1.2 Farmakologi

3.1.2.2 Tata laksana awal

Pasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap dirumah sakit dan

dilakukan rehidrasi dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat, serta

pemberian antiemetik jika dibutuhkan. Penambahan glukosa, multivitamin,

magnesium, pyridoxine, atau tiamin perlu dipertimbangkan. Cairan dekstrosa

dapat menghentikan pemecahan lemak. Untuk pasien dengan defisiensi vitamin,

tiamin 100 mg diberikan sebelum pemberian cairan dekstrosa. Penatalaksanaan

dilanjutkan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral dan didapatkan

perbaikan hasil laboratorium. 14


Pemberian obat secara intravena dipertimbangkan jika toleransi oral pasien

buruk. Obat-obatan yang digunakan antara lain adalah vitamin B6 (piridoksin),

antihistamin dan agen-agen prokinetik. American College of Obstetricians and

Gynecologists (ACOG) merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah 12,5 mg

doxylamine per oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama yang aman

dan efektif. Dalam sebuah randomized trial, kombinasi piridoksin dan

doxylamine terbukti menurunkan 70% mual dan muntah dalam kehamilan.

Suplementasi dengan tiamin dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya

komplikasi berat hiperemesis, yaitu Wernicke’s encephalopathy. Komplikasi ini

jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai jika terdapat muntah berat yang disertai

dengan gejala okular, seperti perdarahan retina atau hambatan gerakan

ekstraokular. 14

Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan benzamin, telah terbukti

efektif dan aman bagi ibu. Antiemetik seperti proklorperazin, prometazin,

klorpromazin menyembuhkan mual dan muntah dengan cara menghambat

postsynaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek antikolinergik dan

penekanan reticular activating system. Obat-obatan tersebut dikontraindikasikan

terhadap pasien dengan hipersensitivitas terhadap golongan fenotiazin, penyakit

kardiovaskuler berat, penurunan kesadaran berat, depresi sistem saraf pusat,

kejang yang tidak terkendali, dan glaucoma sudut tertutup. Namun, hanya

didapatkan sedikit informasi mengenai efek terapi antiemetik terhadap janin. 17

Fenotiazin atau metoklopramid diberikan jika pengobatan dengan

antihistamin gagal. Prochlorperazine juga tersedia dalam sediaan tablet bukal

dengan efek samping sedasi yang lebih kecil. Dalam sebuah randomized trial,
metoklopramid dan prometazin intravena memiliki efektivitas yang sama untuk

mengatasi hiperemesis, tetapi metoklopramid memiliki efek samping mengantuk

dan pusing yang lebih ringan. Studi kohort telah menunjukkan bahwa penggunaan

metoklopramid tidak berhubungan dengan malformasi kongenital, berat badan

lahir rendah, persalinan preterm, atau kematian perinatal. Namun, metoklopramid

memiliki efek samping tardive dyskinesia, tergantung durasi pengobatan dan total

dosis kumulatifnya. Oleh karena itu, penggunaan selama lebih dari 12 minggu

harus dihindari. 14,16

Antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine (5HT3) seperti ondansetron mulai

sering digunakan, tetapi informasi mengenai penggunaannya dalam kehamilan

masih terbatas. Seperti metoklopramid, ondansetron memiliki efektivitas yang

sama dengan prometazin, tetapi efek samping sedasi ondansetron lebih kecil.

Ondansetron tidak meningkatkan risiko malformasi mayor pada penggunaannya

dalam trimester pertama kehamilan. Droperidol efektif untuk mual dan muntah

dalam kehamilan, tetapi sekarang jarang digunakan karena risiko pemanjangan

interval QT dan torsades de pointes. Pemeriksaan elektrokardiografi sebelum,

selama dan tiga jam setelah pemberian droperidol perlu dilakukan. 14,16,17

Untuk kasus-kasus refrakter, metilprednisolon dapat menjadi obat pilihan.

Metilprednisolon lebih efektif daripada promethazine untuk penatalaksanaan mual

dan muntah dalam kehamilan. Efek samping metilprednisolon sebagai sebuah

glukokortikoid juga patut diperhatikan. Dalam sebuah metaanalisis dari empat

studi, penggunaan glukokortikoid sebelum usia gestasi 10 minggu berhubungan

dengan risiko bibir sumbing dan tergantung dosis yang diberikan. Oleh karena itu,
penggunaan glukokortikoid direkomendasikan hanya pada usia gestasi lebih dari

10 minggu. 2.14

Gambar 2.1 Algoritme terapi farmakologi untuk mual dan muntah dalam
kehamilan. 2
Gambar 2.2 Obat-obatan untuk tata laksana mual dan muntah dalam
kehamilan

3.2.8 Komplikasi

Muntah yang terus-menerus disertai dengan kurang minum yang

berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi. Jika terus berlanjut, pasien dapat

mengalami syok. Dehidrasi yang berkepanjangan juga menghambat tumbuh

kembang janin. Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik harus dicari apakah

terdapat abnormalitas tanda-tanda vital, seperti peningkatan frekuensi nadi (>100

kali per menit), penurunan tekanan darah, kondisi subfebris, dan penurunan
kesadaran. Selanjutnya dalam pemeriksaan fisis lengkap dapat dicari tanda-tanda

dehidrasi, kulit tampak pucat dan sianosis, serta penurunan berat badan. 3.1.1

Selain dehidrasi, akibat lain muntah yang persisten adalah gangguan

keseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar natrium, klor dan kalium,

sehingga terjadi keadaan alkalosis metabolik hipokloremik disertai hiponatremia

dan hipokalemia. Hiperemesis gravidarum yang berat juga dapat membuat pasien

tidak dapat makan atau minum sama sekali, sehingga cadangan karbohidrat dalam

tubuh ibu akan habis terpakai untuk pemenuhan kebutuhan energi jaringan.

Akibatnya, lemak akan dioksidasi. Namun, lemak tidak dapat dioksidasi dengan

sempurna dan terjadi penumpukan asam aseton-asetik, asam hidroksibutirik, dan

aseton, sehingga menyebabkan ketosis. Salah satu gejalanya adalah bau aseton

(buah-buahan) pada napas. Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan

hiperemesis gravidarum dapat diperoleh peningkatan relatif hemoglobin dan

hematokrit, hiponatremia dan hipokalemia, badan keton dalam darah dan

proteinuria. 3.1.2

Robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung dapat terjadi bila

muntah terlalu sering. Pada umumnya robekan yang terjadi kecil dan ringan, dan

perdarahan yang muncul dapat berhenti sendiri. Tindakan operatif atau transfusi

darah biasanya tidak diperlukan. 3.1.3

Perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum dan kenaikan berat

badan dalam kehamilan yang kurang (<7 kg) memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, kecil untuk masa

kehamilan, prematur, dan nilai APGAR lima menit kurang dari tujuh. 18 ( Kevin,

Paul dan Dwiana, 2011)


3.1.9 Prognosis

Tujuan terapi emesis atau hiperemesis gravidarum adalah untuk mencegah

komplikasi seperti ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan penurunan berat badan

lebih dari 3 kg atau 5% berat badan. Penilaian keberhasilan terapi dilakukan

secara klinis dan laboratoris. Secara klinis, keberhasilan terapi dapat dinilai dari

penurunan frekuensi mual dan muntah, frekuensi dan intensitas mual, serta

perbaikan tanda-tanda vital dan dehidrasi. Parameter laboratorium yang perlu

dinilai adalah perbaikan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. 2

Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat

memuaskan. Literatur lain menyebutkan, prognosis hiperemesis gravidarum

umumnya baik, namun dapat menjadi fatal bila terjadi deplesi elektrolit dan

ketoasidosis yang tidak dikoreksi dengan tepat dan cepat. 12

3.1.10 Diet

a. Diet hiperemesis I diberikan ada hiperemesis tingkat III makanan hanya

berupa roti kering dan buah-buhan. Cairan tidak diberikan bersama makanan

tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang dalam semua zat-zat gizi, kecuali

vitamin C, karena itu hanya diberikan Selama beberapa hari.

b. Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang. Secara

berangsur mulai diberikan makanan yang bergizi tinggi. Minuman tidak diberikan

bersama makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat-zat gizi kecuali vitamin

A dan D.
c. Diet hieremesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan.

Menurut kesanggupan penderita. Minuman boleh diberikan bersama makanan.

Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali kalsium (Rukiyah, 2010).
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan hiperemesis gravidarum karena

berdasarkan anamnesis pada pasien ini ditemukan amneorea dengan adanya gejala

mual dan muntah, dimana keluhan tersebut sampai menggangu aktivitas sehari-

hari sampai lemas. Muntah tersebut juga menimbulkan komplikasi dehidrasi

karena kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena muntah

sehingga cairan ekstraseluler dan plasma berkurang. Kadar hormon korionik

gonadotropin merupakan salah satu etiologi yang dapat menyebabkan hiperemesis

gravidarum. Kadar hormon gonadotropin dalam darah mencapai puncaknya pada

trimester pertama. Mekanisme muntah serta mual ini dikarenakan factor biologis

dari pasien. Pasien hamil dengan kehamilan 8-9 minggu ini yang menyebabkan

peningkatan kadar human Chorionic gonadotropin (hCG) akan menginduksi

ovarium untuk memproduksi estrogen, yang dapat merangsang mual dan muntah.

Adanya hormone progesteron juga diduga menyebabkan mual dan muntah dengan

cara menghambat motilitas lambung dan irama kontraksi otot-otot polos lambung.

Pada pasien ini juga mengeluh pusing serta lemas. Secara umum berdasarkan

berbagai teori, pada hiperemesis gravidarum terjadi mual, muntah dan penolakan

semua makanan dan minuman yang masuk, sehingga apabila terus-menerus dapat

menyebabkan dehidrasi dan tidak seimbangnya kadar elektrolit dalam darah.

Selain itu hiperemesis gravidarum mengakibatkan cadangan karbohidrat dan

lemak habis terpakai untuk keperluan energi karena energi yang didapat dari

makanan tidak cukup. Selanjutnya, dehidrasi yang telah terjadi menyebabkan

aliran darah ke jaringan berkurang, hal tersebut menyebabkan pasokan zat


makanan dan oksigen berkurang ini yang menyebabkan pasien merasa pusing.

Kemudian, hiperemesis gravidarum juga dapat menyebabkan kekurangan kalium

akibat dari muntah dan ekskresi lewat ginjal, yang menambah frekuensi muntah

yang lebih banyak.

Pasien mengeluh makan minum tidak enak, ini dikarenakan pada teori

disebutkan bahwasanya dikarenakan dehidrasi akibat muntah yang menyebabkan

fili pada lidah mengkerut. Ini yang menyebabkan lidah menjadi kering serta

makan minum tidak enak.

Pasien ini dapat dikategorikan pada hyperemesis gravidarum tingkat 1.

Menurut teori klasifikasi hipermesis gravidarum pada pasien ini didapatkan mual

dan muntah yang terus-menerus disertai dengan penurunan nafsu makan dan

minum. Tetapi pada pasien ini belum ada turgor kulit yang menurun, mata cekung

serta penurunan jumlah urin.

BAB V

KESIMPULAN

Hiperemesis gravidarum adalah suatu penyakit dimana wanita hamil

memuntahkan segala apa yang dimakan dan diminum hingga berat badannya
sangat turun, turgor kulit berkurang, diuresis berkurang dan timbul asetonuria.

Beberapa penelitian menyebutkan beberapa teori tentang hal yang dapat

menyebabkan hiperemesis gravidarum seperti kadar hormon korionik

gonadotropin, hormon estrogen, infeksi H.pylori dan juga faktor psikologis.

Diagnosis dan penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan yang

tepat dapat mencegah komplikasi hiperemesis gravidarum yang membahayakan

ibu dan janin. Ketepatan diagnosis sangat penting, karena terdapat sejumlah

kondisi lain yang dapat menyebabkan mual dan muntah dalam kehamilan. Tata

laksana komprehensif dimulai dari istirahat, modifikasi diet dan menjaga asupan

cairan. Jika terjadi komplikasi hiperemesis gravidarum, penatalaksanaan utama

adalah pemberian cairan rehidrasi dan perbaikan elektrolit.

Terapi farmakologi dapat diberikan jika dibutuhkan, seperti piridoksin,

doxylamine, prometazin, dan metoklopramin dengan memperhatikan

kontraindikasi dan efek sampingnya.

Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat

memuaskan. Literatur lain menyebutkan, prognosis hiperemesis gravidarum

umumnya baik, namun dapat menjadi fatal bila terjadi deplesi elektrolit dan

ketoasidosis yang tidak dikoreksi dengan tepat dan cepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo B, Soejoenoes A. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Wiknjosastro H.


Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Cetakan ketujuh. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005. hal 275-279
2. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran Jilid Pertama. Edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI. 2001. hal 259-260
3. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC. 2004
4. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Ilmu Kesehatan
Reproduksi: Obstetri Patologi. Edisi kedua. Jakarta: EGC. 2004. hal 64-
67
5. Achadiat CM. Prosedur tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC: 2004.
hal 72-74
6. Manuaba IBD. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB. Jakarta: EGC. 2007. hal 397-401
7. Hartanto H. Penyakit Saluran Cerna. Dalam: Cunningham FG. Obstetric
Williams. Edisi ke-21. Jakarta: EGC. 2005. hal 1424-1425
8. Cunningham FG. Obstetric Williams. Edisi ke-22. McGraw-Hill Companies,
Inc. 2007
9. Swenson KL, Chisholm C. Renal, Hepatic, and Gastrointestinal Disorders and
Systemic Lupus Erythematous in Pregnancy. Dalam: Brandon J, dkk.
The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics Edisi ke 2.
USA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2002
10. Moeloek FA. Hiperemesis Gravidarum. Standar Pelayanan Medik: Obstetri
dan Ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. 2006. hal 21-22
11. Karaca Agesihal. The relationship between socioeconomic status and H. pylori
infection in pregnant women with hyperemesis gravidarum in a
prospective comparative study with asymptomatic pregnant women,
2007, University of Minnesota Turkey
12. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. Philadelphia : Churchill Livingstone, Inc :
2008. Chapter 7 : p.103
13. Y, Cantor, R. M., MacGibbon, K., Romero, R., Goodwin, T. M., Mullin, P. M.,
& Fejzo, M. S. (2011). Familial aggregation of hyperemesis gravidarum.
American journal of obstetrics and gynecology, 204(3), 230.e1-7.
14. Niebyl, J. R.. Nausea and Vomiting in Pregnancy.(2010). Therapy, 1544-1550.
15. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. Philadelphia : Churchill Livingstone, Inc :
2008. Chapter 7 : p.103
16. Lacasse A, Rey E, Ferreira E, Morin C, Berard A. Nausea and vomiting of
pregnancy: what about quality of life? BJOG. 2008;115:1484-93.
17. Niebyl JR. Nausea and vomiting in pregnancy. N Engl J Med. 2010;363:1544-
50.
18. Kevin Gunawan, Paul Samuel Kris, Dwiana Ocvyanti. Diagnosis dan Tata
Laksana Hiperemsis Gravidarum, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Departemen Obstetri dan Gynekologi Rumah Sakit Umum
Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta. J Indo Med Assoc. 2011:61;485-64

Anda mungkin juga menyukai