Akad Al
Akad Al
Rahn secara harfiah adalah tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah rahn adalah apa yang
disebut dengan barang jaminan, agunan, cagar, atau tanggungan. Rahn yaitu menahan barang
sebagai jaminan atas utang. Akad Rahn juga diartikan sebagai sebuah perjanjian dengan jaminan
atau dengan melakukan penahanan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya Barang gadai dapat diserahkan kembali pada pihak yang berutang apabila utangnya
sudah lunas.
Akad tersebut bertujuan agar pihak pinjaman lebih memercayai pihak yang berutang.
Pemeliharaan dan penyimpanan barang pada hakekatnya adalah kewajiban pihak yang
menggadaikan (rahin), namun juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai
(murtahin) dan biayanya harus ditanggung rahin. Besar biayanya tidak boleh ditentukan oleh
besarnya pinjaman.
Apabila barang gadai dapat diiambil manfaatnya, barang gadai dapat dimanfaatkan atas
izin pihak yang menggadaikannya dan juga orang tersebut harus memelihara barang gadaian.
Pada saat jatuh tempo yang berutang berkewajiban untuk melunasi utangnya. Apabila ia
tidak dapat melunasinya maka barang gadaian dijual kemudian hasil penjualan bersih digunakan
untuk melunasi utang dan biaya pemeliharaan terutang. Apabila ada kelebihan antara harga jual
barang gadaian dengan besarnya utang maka selisihnya diserahkan kepada yang berutang tetapi
bila ada kekurangan maka yang berutang tetap harus membayar sisa utangnya tersebut.
Dalam rahn, barang gadaian tidak otomatis menjadik milik pihak yang menerima gadai
(pihak yang memberi pinjaman sebagai piutangnya. Dengan kata lain fungsi rahn di tangan
murtahin (pemberi utang) hanya befungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang
berutang). Namun, barang gadaian tetap milik orang yang berutang.
Rahn Tajlisi
Pada Tahun 2008 MUI mengelurkan fatwa tentang Rahn Tajlisi (Fidusia). Fatwa ini
dikeluarkan dalam rangka mengurangi kendala yang timbul sehubungan dengan masalah jaminan
khususnya dalam masalah pemeliharaan dan pemanfaatan penjaminan.
Fidusia dapat diterapkan untuk barang bergerak, dan tidak bergerak, baik berwujud
maupun tidak berwujud, sehingga menjadi luas cakupannya. Jika perbankan syariah, tetapi
dengan rahn yang ada, maka berarti yang melakukan penyimpanan jaminan adalah bank syariah,
tetapi dengan rahn tajlisi (fidusia) maka pihak yang menggadaikan dapat memanfaatkan barang
yang dijamin serta menanggung biaya pemeliharaan.
Agar sesuai dengan syariah, akad tersebut harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
- Biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh pihak yang menggadaikan, namun jumlah
biaya pemeliharaan tidak boleh dihubungkan dengan besarnya pembiayaan
- Pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti kepemilikan sedangkan barang yang
digadaikan dapat digunakan pihak yang menggadaikan dengan izin dari penerima gadai
- Jika terjadi eksekusi jaminan, maka dapat dijual
Oleh sebab itu rahn tajlisi sama dengan rahn biasa yang membedakan masalah
pemanfaatan dan pemeliharaan saja. Oleh karena itu, dasar hukumnya sama saja.
Sumber Hukum:
1. Al-Qur’an
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang oleh yang berpiutang.” ( QS 2:283)
1. As-Sunnah
“Dari Aisyah r.a bahwa Rasullullah pernah membeli makanan dengan berutang dari
seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (HR Bukhari,
Nasa’I dan Ibnu Majah)
Ketentuan:
Perlakuan Akuntansi:
Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tapi membuat tanda terima atas
barang
Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tanda terima atas penyerahan aset serta
membuat penjelasan atas catatan akuntansi atas barang yang digadaikan.
Ju’Alah berasal dari kata ja’la yang memiliki banyajk arti : jumlah imbalan, meletakkan,
membuat, menasabkan. Menutut fiqih diartikan sebagai suatu tanggung jawab dalam bentuk janji
memberikan hadiah tertentu secara sukalera terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan
atau memberikan jasa yang belum pasti dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan.
Para ahli fikih sepakat bahwa akad ju’alah merupakan halyang boleh (jaiz), termasuk
mazhab Maliki, Syafi, Hambali serta Syiah. Walaupun para imam mazhab berbeda pendapat
penggunaan akad ju’alah untuk melakukan muamalah, mazhab Hanafi dan Zhahiri melarang
penggunaan akad ini untuk muamalah dengan alasan adanya gharar karena dalam akad ju’alah
boleh saja tidak secara jelas disebutkan batas waktu, bentuk, atau cara melakukannya.
Menurut Az-Zuhaili dalam Maksum (2008), perbedaan antara Ju’alah dengan upah kerja
(ijarah dalam tenaga kerja) adalah sebagai berikut.
1. Ju’alah diberikan jika pekerjaan telah selesai, sedangkan upah sesuai dengan ukuran
waktu tertentu
2. Ju’alah tidak dibatasi oleh waktu, sedangkah upah ditentukan batas waktunya.Walaupun
Mazhab Hambali dan Syafii membolehkan menentukan batas waktu.
3. Ju’alah tidak bisa dibayar dimuka, sedangkah upah bisa
4. Ju’alah dapat dibatalkan meskipun upaya telah dilakukan asalkan belum selesai,
sedangkan, upah tidak dibatalkan karena mengikat
5. Upah lebih luas ruang lingkupnya dari Ju’alah
Sumber Hukum:
1. Al-Qur’an
“Penyeru-penyeru itu berkata: “ Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku
menjamin terhadapnya.” (QS 12:71)
2. As-Sunnah
“ Dari Abu Said Al Khudri r.a tentang seorang disengat kala pada suatu kaum arab, ia
berkata: Demi Allah sesunggihnya sanggup tetapi demi Allah kami meminta makan
kepadamu. Apabila kamu tidak mau menjamu kami, aku tidak akan mengobati kamu
hingga kamu janjikan kami satu hadiah. Lalu mereka janjikan 30 ekor biri-biri maka
berjalanlah ia, lalu dicobannya mengobati orang yang digigit kala itu dan dibacanya
hamdalah (al-fatihah hingga akhir) tiba-tiba orang yang sakit itu seolah-olah terlepas
dari ikatan (sembuh)…. Kemudian mereka dilarang datang kepada Nabi SAW, lantas
menceritakan kepada Nabi dan Nabi bersabda: “Dimana engkau mengetahui bahwa al-
fatihah itu obat? Perbuatanmu itu betul.” (HR Muttafaq alaih)
Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun:
Ketentuan:
1. Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh, dan dapat juga dilakukan oleh
orang lain.
2. Objek yang harus dikerjakan:
a. Harus mengandung manfaat yang jelas
b. Boleh dimanfaatkan sesuai syariah
3. Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan jumlahnya harus jelas
4. Sah dengan ijab tanpa Kabul.
Perlakuan Akuntansi:
Saat membuat janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum pasti hasul atas
sayembara tersebut.
Jika yang diberikan adalah aset nonkas lain maka harus dinilai dengan harga wajar,
setelah sebelumnya nilai aset nonkas tersebut dinilai sejumlah harga wajarnya.
Saat mendengar janji tidak diperlukan pencatatan apapun karena belum pasti hasil atas
sayembara tersebut.
Setelah sayembara tersebut terpenuhi, maka dijurnal:
Jika yang diberikab adalah aset nonkas lain maka harus dinilai dengan harga pasar.
Charge Card dan Syariah Card merupakan salah satu produk dari perbankan syariah,
sedangkan akad yang digunakan adalah kombinasi dari akad-akad yang telah dijelaskan diatas.
Charge card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu
(hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu
yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada
waktu yang telah ditetapkan. (Fatwa DSN MUI No.42/DSN MUI/V/2004)
Kedua jenis kartu tersebut merupakan pola pembiayaan halnya kartu kredit dan kartu
debit di bank konvensional. Hanya saja, kedua kartu tersebut tidak mengenakan bunga, tetapi
mengggunakan fee atas keanggotaan dan transaksi yang dilakukan. Dewan Syariah Nasional-
MUI melalui Fatwa No.42/DSN MUI/V/2004 dan Fatwa No.54/ DSN MUI/X/2006 menyetujui
layanan produk tersebut kepada masyarakat melalui tiga akad yaitu kafalah, ijarah, dan akad
qard.
Sumber Hukum
1. Al-Qur’an
“Dan Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(QS Al-Isra [17]: 26-27)
2. Hadis
“Telah diharapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk
disalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah utang?’ sahabat menjawab,’Tidak’. Maka
beliau menyalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun
bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, Rasulullah
berkata. ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya).
Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, Ya Rasulullah’. Maka
Rasululullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR Bukhari)
Perlakuan Akuntasi
Mengingat transaksi ini merupakan implementasi dari gabungan akda, maka rukun dan
ketentuan syariahnya akan merujuk pada perlakuan akuntansi dari akad kafalah, ijarah, dan
qardih hasan.