(Jodi S.H Dan Farida M.u) LKM Revisi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH LANDASAN KEPENDIDIKAN

MATEMATIKA
Belajar Konsep Melalui Sejarah Matematika

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Kependidikan Matematika


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd

Oleh :
1. Jody Setya Hemawan (0401518038)
2. Farida Maria Ulfa (0401518039)

PENDIDIKAN MATEMATIKA PASCASARJANA


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
BAB I
TERJEMAHAN

INTERLUDE 4
Setelah contoh cara filosofi matematika dapat diimplementasikan dalam
pelatihan guru matematika di kelas hal itu akan memunculkan pertanyaan filosofis
seperti “apa itu refleksi filosofis matematis?” Dan khususnya “apa itu matematika
sesungguhnya?” Dan “ apa sifatnya? ”, sudah waktunya bagi sejarah matematika
untuk ikut andil. Sulit untuk menyajikan gambar matematika tanpa mengacu pada
asal-usulnya. Sejarah matematika sangat diperlukan jika kita ingin menyesuaikan
matematika sebagai suatu disiplin seperti disiplin ilmu lainnya, yang tertanam
secara sosial dan kultural. Cerita yang panjang dan indah telah tertulis dalam
sejarah matematika, dan bahkan menggambarkan bahwa ada cara yang berbeda di
mana sejarah ini diceritakan (Kline 1972, Struik 1948, Restivo 1992). Seperti
halnya dengan cerita-cerita lain, tampaknya tidak hanya ada satu sejarah
matematika. Dalam cerita yang hebat ini, kita bisa memperbesar satu sisi atau
yang lain. Dalam kontribusi berikutnya, kita akan mengikuti arah petualangan
aljabar simbolis. Meskipun sejarah itu sendiri adalah cerita yang menakjubkan,
nilai tambah dalam buku ini terletak pada kenyataan bahwa penulis menunjukkan
apa yang dapat dilakukan guru matematika dengan pendekatan historis semacam
itu. Haruskah Anda tahu tentang sejarah angka nol untuk memahami konvensi
matematika yang paling membingungkan yang terkait dengannya? Itu bisa
dilakukan tanpa sejarah, itu adalah fakta. Hal ini ditunjukkan secara umum dalam
pendidikan matematika tradisional, di mana sejumlah biografi singkat ahli
matematika disajikan, tetapi tidak dianggap materi untuk ujian. Oleh karenanya,
sejarah matematika kurang lebih bukan hanya sekadar sarana untuk memperindah
buku pegangan. Jelas, ini bukan sejarah matematika yang berkontribusi pada
pendidikan matematika. Pendidikan matematika tanpa sejarah, atau interpretasi
sejarah yang agak khusus, adalah mungkin. Argumen dalam kontribusi berikut,
bagaimanapun, sejarah matematika dapat merangsang wawasan matematika yang
dicirikan oleh sejumlah metode. Wawasan ini akan diuraikan dalam bab
selanjutnya, di mana relevansi metode matematika intuitif ditunjukkan, serta
praksis pendidikan, dan metode deduktif yang begitu dominan (lihat Van Moer,
buku ini). Selain itu, sejarah matematika dapat menunjukkan dinamika yaitu
konsep matematika sebagai subjek. Ini seharunya mampu meningkatkan
kesadaran filosofis siswa. Inilah kontribusi lain yang menyentuh sistem nilai di
balik kurikulum matematika. Di sini, juga, diilustrasikan bagaimana kita dapat
memberi matematika suatu tempat pada waktu tertentu, dalam budaya dan konteks
tertentu sebuah tema yang dieksplorasi lebih lanjut dalam buku ini (lihat Pinxten
dan François, buku ini).

Belajar Konsep melalui sejarah matematika


Kasus simbolis aljabar
Albrecht Heeffer
Ghent University Pusat logika dan filsafat sains, Belgia
Abstrak : Gagasan remaja pada pemikiran rasional sering menampilkan
pandangan epistomologis matematika sebagai pengetahuan yang
memberikan ketentuan mutlak. Beberapa penemuan seperti teorema
Godel dan kontruksi aritmetika berhingga yang ketat, bagaimanapun
memberikan argumen yang kuat terhadap pandangan tersebut. Modus
penyajian konsep yang statis dan tidak dapat diubah dalam kurikulum
matematika, daripada kurangnya pengetahuan metateori,
menyumbangkan pada kesalah pahaman ini. Saya menyatakan bahwa
sejarah konseptual matematika memberikan kesempatan yang luar biasa
untuk menyampaikan dasar persoalan epistomologis dan ontologis
filsafat matematika dalam pendidikan matematika. Pada khususnya,
munculnya konsep pada persamaan akan disajikan dalam konteks
historis. Contoh-contoh semacam itu, akan mengingatkan siswa tentang
relativitas metode matematika, kebenaran, dan pengetahuan, dan akan
memasukkan matematika kembali dalam perspektif waktu, budaya, dan
konteks.
Key word: sejarah aljabar, rumus konsep, kebenaran mutlak, inkonsistensi.
1. Pengenalan
Pada bab ini, kami mengusulkan integrasi (penggabungan) sejarah
matematika dalam bidang pendidikan matematika. Walaupun sejarah tidak sama
dengan filsafat, kami percaya bahwa sejarah matematika memberikan banyak
kesempatan untuk menyampaikan dasar konsep filsafat mengenai aspek
epistemologis dan ontologis matematika.
Pada level epistemologis, sebuah konseptual sejarah matematika mengangkat
pertanyaan sebagai berikut:
 Bagaimana konsep dibentuk dalam matematika?
 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi atau merubah maksud konsep?
 Apakah ada sebuah logika internal dan orde dalam pengembangan konsep
matematika?
 Apa peran simbolisme pada pengetahuan matematika?
 Apakah terdapat bukti valid dalam matematika?
Mengenai ontologi, sejarah matematika memberikan tantangan argumen
dalam debat realisme-kontrukstivisme. Jika maksud dasar konsep matematika itu
seperti bilangan atau persamaan, yang selalu berubah selama perkembangan
matematika, apa yang terjadi pada status ontologis dari konsep-konsep ini? Kami
akan mengungkap bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi
pendekatan selama pembelajaran dasar aljabar.
Beberapa studi telah mempublis penggunaan sejarah matematika dalam
bidang pendidikan matematika. Membantah untuk menggunakan sejarah
matematika mungkin itu nampak menjadi tugas yang berlebihan. Kurikulum yang
resmi untuk pendidikan menengah di Flander (Belgia) menegaskan peran sejarah
matematika secara lebih eksplisit:
Pendidikan matematika selalu berhubungkan dengan disiplin ilmu yang
lain. Matematika sendiri terus dikembangkan selama berabad-abad dalam
hubungan terdekatnya dengan pendapat umum dan masalah-masalah yang
berlaku. Sekarang, tentu konteks historis masih memberikan manfaat titik
permulaan pada pendekatan konsep khusus matematis dan topik pendidikan.
Konteks historis harus terintegrasi dalam kurikulum.
Ketika menghubungkan garis pedoman konkrit tentang bagaimana
mengintegrasikan sejarah matematika, sayangnya, contoh yang diberikan oleh
rencana mengecewakan. Kami hanya mencari bentuk umum seperti pendekatan
dengan contoh dari arsitektur dan lukisan yang dapat mengilustrasi peran
matematika dalam perkembangan bentuk seni tertentu” (ibid.11) dan “asesmen
dapat diberikan kepada penelitian fakta historis, seperti menelusuri internet
terhadap matematikawan, pentingnya teorema matematis, ilustrasi matematis dan
penerapannya”(ibid.28). Sejarah matematika dipaksa supaya menjadi peran yang
membantu menjelaskan. Sejarah memberikan berbagai gambaran untuk
menerangkan buku teks yang rumit, untuk menguatkan sebuah hubungan dengan
disiplin ilmu yang lain, dan untuk memantau kegiatan siswa antara satu dengan
yang lainnya. Sebuah pandangan utuh dalam pendidikan matematika dimana
sejarah matematika memiliki metodelogi dan relevansi filsafat yang ditinggalkan.
Kami akan memberikan beberapa dasar argumen untuk mangintegrasikan
sejarah matematika kedalam pendidikan matematika. Yang pertama berbicara
epistemologis matematika. Gagasan remaja pada pemikiran rasional sering
mencakup pandangan epistemologis matematika sebagai pengetahuan yang
memberikan ketentuan yang mutlak. Dia mungkin telah mengetahui tentang
geometri dimana postulat kesejajaran tidak dipertahankan, tapi kebanyakan
mungkin percaya bahwa geometri Euclid adalah benar. Kami dapat
mengasumsikan bahwa ia tidak mengenal teorema Godel dan ragu-ragu.
Selanjutnya ketidak mungkinan yang telah dipikirkan tentang keberadaan dari
ketidakkonsistenan aritmetika menunjukkan perhitungan berhingga sebagai
pembenaran aritmetika tradisional. Penemuan-penemuan ini memberikan argumen
yang kuat dalam menghadapi pandangan bahwa matematika memberikan
kebenaran yang mutlak. Cara yang statis dan tak dapat diubah (baku) dari
penyajian konsep-konsep dalam kurikulum matematika, bukan sedikitnya
pengetahuan, yang memberikan miskonsepsi tentang hal ini. Konsep matematis,
tetap yang paling dasar, yang telah diubah secara lengkap dan berulang-ulang
hingga selesai. Kontribusi terbesar untuk mengembangkan matematika mungkin
terjadi hanya karena perbaikan yang berarti dan perluasan ruang lingkup dan isi
dari objek matematika. Namun, kami tidak menemukan cerminan ini dalam
pembelajaran di kelas, sementara ruang untuk mengintegrasikan filsafat dalam
pendidikan matematika masih sangat terbatas, perhatian pada pemahaman konsep
matematika adalah sebuah kondisi yang perlu untuk memasukkan filsafat tentang
matematika. Sejarah konseptual matematika menyediakan cukup materi bagi
fokus tersebut. Dan mengarah kepada pemahaman matematika yang lebih baik
dan pengetahuan matematika kami. Saya akan mengusulkan untuk
mengintegrasikan sejarah matematika dalam kurikulum matematika. Sebagai cara
untuk mengajar siswa tentang evolusi dan dependensi-isi dari pengetahuan
manusia. Pandangan seperti itu sejalan dengan pendekatan kontekstual terhadap
rasionalitas sebagai tujuan oleh Batens (2004). Sebagai contoh utama, saya
mengembangkan konsep sebuah persamaan simbolik sebelum abad ke-17. sejalan
dengan Lakatos (1976) dan Kitcher (1984), contohnya saya terdorong oleh adanya
relevansi epistemologis dalam sejarah matematika.
2. Hidup dengan ketidak konsistenan
Ketika diminta untuk memberikan contoh kebenaran yang mutlak, siswa
mungkin menjawab “satu ditambah satu sama dengan dua”. Ini adalah contoh
yang sederhana yang bisa diperluas. Satu ditambah satu sama dengan dua adalah
sebuah arus aksiomatisasi dari aritmetika, dan untuk itu sah dengan mematuhi
teori tersebut. Itu cukup mudah, namun untuk menyesuaikan aksiomatisasi
mengurangi nilai kebenaran dari pernyataan yang diberikan.
Menyadur dari aksioma Peano yang terkenal untuk satu pengganti satu,
akan menghasilkan contoh yang salah didalam teori baru. diketahui bahwa “satu
ditambah satu sama dengan dua” itu adalah benar menurut satu teori namun tidak
dengan teori yang lain, yang membantah terhadap contoh tersebut sebagai
kebenaran mutlak. Beberapa siswa mungkin keberatan bahwa mengubah aturan
aritmetika akan menyebabkan pergolakan di masyarakat. Namun siswa yang lebih
pandai mungkin memperhatikan bahwa mengubah aksioma Peano dengan cara
tertentu akan mengarah pada teori yang tidak konsisten, dan bahwa sesuatu
apapun itu dapat diturunkan dari ketidak konsistenan. Mari kita lihat pada
penolakan-penolakan ini.
Titik perubahan nilai kebenaran dari contoh yang diberikan tidak membuat
arti yang mungkin menjadi benar untuk sekarang. Dapat menjadi alasan meski
merubah aksioma aritmetika tersebut. Van Bendegem (1994) telah
mengembangkan sebuah aritmetika ketidak konsistenan dengan mengubah
aksioma Peano sehingga ada satu bilangan yang menggantikan dirinya. Alasannya
dilakukannya hal tersebut untuk menunjukkan kelayakan aritmetika berhingga
yang ketat. Kelima aksioma Peano menyatakan bahwa jika persamaan digunakan
untuk x= y maka x dan y adalah bilangan yang sama. Ini adalah
aksioma yang lemah dari Van Bendegem sehingga dimulai dari beberapa bilangan
n, setiap pengganti akan sama ke n. Jika kita mengambil n menjadi 1, maka dalam
hal ini kita menetapkan aritmetika yang baru, yakni didefinisikan 1+1=1 . Itu
akan menjadi aritmetika trivial (sederhana), tidak ada tujuannya. Daripada
menggunakan 1, bilangan n dapat menjadi beberapa bilangan yang kamu
inginkan. Diberikan sebuah n yang cukup besar, setiap operasi aritmetika berjalan
dengan cara yang sama. Selama bilangan n tidak dapat tercapai selama
perhitungan. Sekarang sebuah masalah hadir ketika kami mencapai n. Pernyataan
n=n+1 jadi keduanya benar dan salah dalam waktu yang sama. Ini
menyebabkan aritmetika inkonsisten yang baru.
Dalam logika klasik anda mempunyai aturan ex falso quodlibet (EFQ)
yang menyatakan bahwa p∧−q → q atau dari inkonsistensi kamu dapat
memperoleh sesuatu. Ini akan memberikan aritmetika trivial dalam logika klasik.
Beberapa logika parakonsisten yang sekarang ada tidak memiliki masalah ini,
serta logika adaptif-inkonsisten yang dikembangkan di pusat logika dan filsafat
sains (Batens 2001). Van Bendegem menggunakan logika tiga nilai parakonsisten
PL dari Priest (1987), dimana EFQ tidak bertahan. Dengan logika yang mendasari,
ia membuktikan bahwa jika pernyataan A valid dalam teori bilangan dasar
klasikal, maka A juga valid pada sebuah teori bilangan dasar yang berdasarkan
pada model terbatas. Pembuktian Godel bahwa setiap teori formal konsisten yang
cukup kaya untuk model aritmetika akan mengandung pernyataan benar yang
tidak dapat dibuktikan dalam teori itu. Dengan kata lain, setiap teori formal yang
konsisten itu tidak lengkap. Meninggalkan konsistensi, aritmetika baru ini
berdasarkan pada model terbatas memiliki keunggulan yang lengkap.
Sisa-sisa penolakan dari pemberontakan. Apa yang akan terjadi jika
beberapa orang memutuskan untuk mengubah aturan aritmetika? Akankah
perhitungan laporan dan gaji kami menjadi tidak reliabel ketika bekerja dengan
aritmetika inkonsisten? Dalam beberapa hal, kami sudah menggunakan aritmetika
terbatas dan inkonsisten di program komputer. Sebuah bilangan bulat yang tidak
terdaftar dalam sebuah bahasa pemograman seperti C direpresentasikan oleh 32
atau 64 bit struktur data. Bergantung pada hardware yang mendasarinya. Jumlah
32 64
inkonsisten bilangan n disini menjadi 2 −1 atau 2 −1 , sementara
penggantinya adalah 0. Biasanya penyusun memperingatkan pada keadaan yang
penuh sesak seperti ini. Ketika memanipulasi struktur biner dengan operasi bit sift
(sedikit bergeser), programmer memiliki alasan dalam aritmetika inkonsisten dan
berhati-hati pada situasi garis batas dirinya. Ternyata, banyak yang khawatir
tentang membuang sepenuhnya ketentuan mutlak dalam matematika daripada
tentang kehidupan mereka sendiri dengan mengandalkan komputer dalam
kehidupan sehari-hari. Kami tidak memiliki sedikitpun bukti bahwa komputer
komersil dan kompiler yang kami gunakan saat ini untuk menciptakan program
yang berfungsi dengan cara yang kita pikir mereka lakukan. Seperti program
untuk mengaktifkan sistem anti-pengereman pada mobil, rambu-rambu lalu lintas,
dan yang digunakan untuk menghitung struktur jembatan dan bangunan. Jika
mereka jatuh dalam bekerja, akan beresiko pada hidup mereka. Ada upaya untuk
membuktikan cara yang benar dalam mendesain hardware dan program komputer,
tapi ini bukan untuk penggunaan praktis atau komersial. Faktanya kami
membuktikan bantahan. Komputer komersil telah diketahui tidak konsisten dalam
aritmetikanya, sebagaimana telah ditunjukkan intel pentium dikenal dengan bug.
Faktanya, kita hidup dengan ketidak konsistenan setiap hari pada kehidupan kita.
mengapa itu begitu sulit untuk menerimanya pada tingkatan filsafat ?

3. Ketentuan mutlak dalam matematika


“kita tahu, bahwa e i+1=0 memang benar, tetapi itu benar-benar
sebuah paradoks, kami tidak dapat memahaminya dan kami tidak tahu apa
artinya, tetapi kami telah membuktikannya, dan oleh karena itu hal tersebut
merupakan sebuah kebenaran yang pasti.”
Ini adalah kutipan terkenal oleh Benjamin Pierce setelah membuktikan
identitas euler dalam perkuliahan. Mencerminkan pandangan dominan
matematikawan sebelum tahun 1930 ketika kebenaran matematika setara dengan
probabilitas. Ketika Godel membuktikan bahwa ada pernyataan yang benar dalam
sistem formal yang konsisten yang tidak dapat dibuktikan dalam sistem itu.
Kebenaran menjadi terpisah dari probabilitas.
Pierce tampaknya menyiratkan sesuatu yang lebih kuat, apapun itu
membuktikan hal-hal dalam matematika membawa kita pada kebenaran, hal ini di
luar sudut pandang epistemologis dan merupakan pernyataan metafisik tentang
keberadaan objek matematika dan kebenaran mereka terlepas dari pengetahuan
manusia. Hardy seorang matematikawan hebat merumuskannya lebih kuat (Hardy
1929):
“bagi saya tampaknya tidak ada filsafat yang menaruh perhatian kepada
matematikawan yang tidak diakui, dalam satu atau lain cara. Validitas kebenaran
matematis tetap dan tanpa syarat. Teorema matematika benar atau salah.
Kebenaran mutlak atau kesalahan mutlak tidak bergantung pada pengetahuan
kami tentang hal itu. Dalam beberapa hal, kebenaran matematika merupakan
bagian dari realitas objektif.”
Pernyataan semacam itu lebih dari sekedar kesalahan refleksi metafisik
terbuka yang murni untuk didiskusikan. Mereka menyembunyikan nilai-nilai
implisit bagaimana cara matematika berkembang dan memiliki akibat penting
bagi pendidikan dan penelitian matematika. Suatu realitas objektif menyiratkan
konsep-konsep matematika bersifat tetap dan kekal. Sedangkan sejarah
matematika memberikan bukti yang sebaliknya. Bahkan konsep matematika yang
paling dasar sekalipun, seperti konsep bilangan kontinu yang terus berlanjut.
Objek-objek yang ditandai oleh konsep Yunani kuno dari arithmos berbeda
dengan sejumlah matematikawan pada abad Renaisans, yang pada selanjutnya
berbeda dengan pandangan kita saat ini. Seseorang dapat menolaknya bukan
matematika itu sendiri. Pemahaman kita tentang realitas matematika berubah.
Studi lapangan Jacob Klein (1934, 6), bagaimanapun tetap berfokus pada
pergeseran ontologis dalam konsep bilangan. Dalam aritmetika Yunani 1 bukan
bilangan, tapi selanjutnya, setelah itu akar dua diterima sebagai bilangan, dan
pada akhir abad ke 16 akar -15 menjadi bilangan.
4. Meninjau kembali hambatan berpikir simbolik
Menghadapi pengembangan aljabar simbolik, kita harus mendefinsikan
beberapa istilah secara lebih eksplisit. Mari kita sebut aljabar sebagai pemecahan
masalah analitis, metode untuk masalah aritmetika dimana kuantitas yang tidak
diketahui diwakili oleh entitas abstrak. Ada dua kondisi penting dalam definisi ini
yakni: Analitis, yang berarti bahwa masalah diselesaikan dengan
mempertimbangkan beberapa besaran hipotesis yang tidak diketahui dan
menurunkan pernyataan secara deduktif sehingga yang tidak diketahui ini dapat
dinyatakan sebagai nilai dan entitas abstrak yang digunakan untuk mewakili yang
tidak diketahui. Entitas ini dapat berupa simbol, angka atau bahkan warna, seperti
yang akan kita lihat dibawah ini. Pada hakikatnya, aljabar simbolis merupakan
metode pemecahan masalah analitis untuk masalah aritmatika dan geometri yang
terdiri dari manipulasi sistematis dari representasi simbolis dari masalah. Aljabar
simbolik dimulai dari representasi simbolik dari masalah, artinya sesuatu yang
lebih dari sekedar notasi singkat. Tidak ada ruang disini untuk memperluas
perbedaan penting ini, sebaliknya kita akan fokus pada satu kesalahpahaman yang
penting "karena masalah aritmatika diselesaikan secara aljabar selama lebih dari
3.000 tahun, persamaan aljabar adalah konsep yang sangat kuno." Ini bukan
persoalannya, seperti yang telah kita nyatakan. Persamaan simbolis adalah
penemuan abad keenam belas.
Kita semua dididik dalam cara berpikir simbolis, yang begitu dominan
sehingga menjadi sangat sulit untuk memahami bagaimana aljabar non-simbolis
benar-benar bekerja. Bahkan, dalam sejarah matematika ada banyak kasus di
mana seseorang benar-benar mengabaikan perbedaannya. Mari kita ambil satu
contoh aljabar Babilonia. Orang Babylonia itu memiliki pengetahuan yang tinggi
tentang aljabar adalah fakta yang dikenal agak terlambat sekitar tahun 1930.
Banyak ribuan papan tulisan-tulisan kuno dari tanah liat yang ditemukan yang
berisi tabel dengan angka atau solusi untuk masalah numerik. Salah satu papan
tersebut adalah YBC 6967 dari Yale University, yang ditulis dalam dialek Akkadia
sekitar 1500 SM. Sarjana yang paling menonjol yang mempelajari dan mengedit
papan matematika ini adalah Otto Neugebauer (1935-7, 1945). Untuk masalah
pada YBC 6967, Neugebauer menulis sebagai berikut:
Masalah disini disuguhkan pada kelas yang cukup pandai tentang sifat
persamaan kuadrat oleh istilah igi dan igi-bi (di Akkadian berturut-turut igum dan
igibum) (..) kita mengsumsikannya sebagai hasil
xy=60 (0.1)
Sebagai kondisi awal dimana x dan y adalah subjek yang tidak diketahui. Kondisi
kedua secara eksplisit diberikan sebagai
x− y=7 (0.2)
Dari dua persamaan ini, dapat kita temukan nilai x dan y dari

x , y=
√( )
7 2
2
+60 ±
7
2
Sebuah rumus yang diikuti dengan tepat, mengarah ke x =12 dan y = 5.
Yang menjadi penting disini ialah bahwa Neugebauer mengakui bahwa
persamaan secara eksplisit, dan diberikan masalah “ ditemukan dalam rumus yang
tepat diikuti oleh teks”. Tidak begitu banyak orang disekitar yang mampu kembali
ke teks kuno dan memeriksa pengakuan ini. Untungnya, Neugebauer
menambahkan terjemahan bahasa inggris yang memudahkan kami untuk
melakukan tugas tersebut.
Untuk persamaan yang diberikan secara eksplisit, kita baca “ igibum lebih
7 oleh igum” ini sudah sesuai dengan persamaan (0.3). untuk rumus kita baca
untuk anda “bagi 7 menjadi dua, dengan igibum melebihi igum, dan hasilnya 3,5.
kalikan 3,5 dengan 3,5 menghasilkan 12,25. Untuk 12,25 yang telah anda hitung
tambah 60 dan hasilnya 72,25. Bagimana dengan akar dua dari 72,25? 8,5.
Tetapkan 8,5 sama dengan 8,5 lalu kurangi 3.5 (takilum), dari satu dan
ditambahkan ke yang lain. Yang satu 12 dan yang lain 5 (12 adalah igibum dan 5
adalah igum). ”Sekali lagi, teks nampak sesuai dengan rumus. Ada dua hal detail
kecil disini: bagian ketetapan kedengaran sedikit aneh dalam konteks ini, dan
Neugebauer menambahkan “kita hentikam menerjemahkan takilum” karena tidak
ada artinya yang dapat diberikan kepadanya.
Akhir-akhir ini, Jens Hoyrup (2002) menerbitkan sebuah buku yang benar-
benar menggulingkan interpretasi standar dari matematika Babilonia dan
menambahkan sesuatu yang baru. Bagi Hoyrup, aljabar Babilonia bekerja dengan
perhitungan geometris. Hal ini berlalu tanpa diketahui karena tidak ada angka
yang muncul di buku catatan. Pelajaran Hoyrup bagaimanapun sangat
menyakinkan dan penting untuk sejarah matematika, tidak bisa menaksir terlalu
tinggi. Dalam masalah ini, igibum dan igum tidak diketahui yang
direpresentasikan oleh sisi dari persegi panjang (Hoyrup 2002, 55-6). Istilah hasil
kali digunakan oleh Neugebauer yang seharusnya dibaca sebagai permukaan, akar
kuadrat sebagai sisi yang sama atau sisi dari permukaan persegi dan penjumlahan
berarti bertambah panjang. Menurut Hoyrup, istilah takilum harus dibaca sebagai
make-hold (membuat-penahan) atau membuat sisi persegi panjang saling
berhimpit. Hanya dengan interpretasi geometris, apakah masuk akal menegaskan
sesuatu. Penggunaan persegi panjang dengan sisi-sisi igibum dan igum, semuanya
bersesuaian. Igibumnya 7 lebih panjang daripada igum. Memotong bagian itu
menjadi setengah, mengarahkan kita pada gambar 1.
Gambar 1: sebuah contoh aljabar geometrik dari Babilonia

Jika kita menempelkan salah satu bagian dibawah persegi panjang pada panjang
igum, kita peroleh gambar dengan permukaan yang sama dengan 60.
Gambar 2: metode memotong dan menempel untuk memecahkan masalah
kuadratik

1
Bagian di sudut kiri bawah harus persegi, karena kedua sisinya 3 . Dengan
2

1
demikian kita dapat menentukan permukaannya adalah 12 . Gambar lengkap
4

1
juga harus persegi dengan sisi yang sama dengan igum ditambah 3 . Kita tahu
2

1
bahwa total permukaannya ialah 72 sama dengan sisi persegi tersebut, oleh
4

1
karena itu haruslah 8 . Hal itu membawa kita pada nilai igum menjadi 5.
2
Menempel kembali setengah potongan ke tempat asalnya memberikan panjang
igibum 12.
Kami sajikan disini dengan interpretasi yang sepenuhnya berbeda dari
Neugebauer. Hoyrup menyumbangkan anomali dalam interpretasi standar dan
memberikan argumen yang kuat untuk membaca syarat-syarat dan tindakan dalam
arti geometris. Dalam interpretasi baru ini, tidak ada artinya berbicara tentang
persamaan.
Aljabar Babilonia tidak menyelesaikan persamaan karena konsep
persamaan tidak ada. Ini sesuai dengan definisi aljabar, namun metode ini tidak
diragukan lagi analisisnya. Ia menggunakan igum dan igibum yang tidak
diketahui dan mereka direpresentasikan sebagai entitas abstrak, disebut sisi
persegi panjang. Kita tidak bisa menyalahkan Neugebauer atas pembacaan
simbolis aljabar Babilonia pada tahun 1945. Meninjau ulang batasan dari bukti
berpikir simbolis menjadi tugas yang sulit. Bukunya telah banyak berkontribusi
pada awal sejarah matematika, tapi sejarah matematika telah berubah dalam
dekade terakhir dan analisis konseptual seperti yang dimiliki Hoyrup telah
menjadi standar metodologi baru.

5. Diophantus: aljabar atau teori bilangan?


Aritmetika Diophantus sering dianggap sebagai sumber utama aljabar
eropa. Penafsiran ini dipertanyakan. Penemuan Diophantus pada abad ke lima
belas memiliki pengaruh yang penting pada pengembangan aljabar simbolis.
Namun pengaruhnya tidak begitu menentukan dalam mempercayainya. Sumber
utama cerita yang dibuat-buat bahwa aljabar diciptakan oleh Diophantus adalah
Regiomontanus dalam ceramah Padua-nya tahun 1464. Baru saja menemukan
manuskrip, Regiomontanus menggambarkan Aritmetika dengan antusias seperti
sebuah buku “dimana hiasan seluruh aritmetika tersembunyi, yaitu seni dari
sesuatu dan sensus, dimana sekarang disebut aljabar dengan nama arab. Dimana-
mana orang latin telah bersentuhan dengan seni yang indah ini. Kemudian ahli
matematika humanis abad ke enam belas seperti Petrus Ramus, lebih eksplisit lagi
dengan gagasan bahwa aljabar berasal dari Diophantus dan orang-orang arab
belajar seni darinya. Secara bertentangan, abad keenam belas paham matematika
humanis melanjutkan program penilaian ulang matematika dari sumber-sumber
kuno, yang diprakarsai oleh orang-orang Arab, dengan melakukan hal demikian
justru malah membantah kontribusi orang-orang Arab. Høyrup (1998) menelusuri
evolusi ini atas beberapa penulis pada masa pertengahan di eropa. Setelah Ramus,
Bombelli, dan Viète juga akrab dengan Arithmetica dan berhati-hati menghindari
referensi oleh pengaruh Arab. Di sisi lain, akar Arab aljabar sebagian besar telah
diakui oleh tradisi sempoa Italia dari Fibonacci (1202, Boncompagni 1857)
sampai abad ke lima belas hingga Cardano (1545, Witmer 1968) dan tradisi
cossist Jerman, dengan Stifel (1544). ) sebagai penulis yang paling penting.
Mungkin berkat mereka kami masih menggunakan nama aljabar sekarang.
Untuk menilai Arithmetica, penting untuk menggambarkan perbedaan
antara konteks teks asli dan adaptasinya sejak penemuannya oleh Regiomontanus.
Pemberlakuan masalah dari Arithmetica oleh Bombelli (1572) dan Simon Stevin
(1585) tanpa diragukan lagi adalah aljabar. Beberapa edisi Arithmetica telah
memberikan formulasi aljabar untuk masalah, seperti yang telah diselesaikan
dengan Elemen Euclid. Reformulasi seperti tersebut telah menjadi historis penting
untuk analisis Diophantine, tetapi interpretasi yang benar belum tentu dari karya
aslinya. Mari kita lihat Soal 16 dari buku pertama sebagai ilustrasi. Ini adalah
masalah yang agak sederhana mencari tiga bilangan yang diberikan dengan
menjumlahkan dua dengan dua:
Tannery (1893,39) (bahasa latin Var Eecke (1926, 21, terjemahanku)
yang telah diterjemahkan)
Untuk menemukan tiga angka Untuk menemukan tiga nomor yang,
dijumlahkan untuk membuat jumlah diambil dua oleh dua, membentuk angka
yang diusulkan dari orang tersebut yang diusulkan. Hal ini perlu,
harus ada dua. Hal ini diperlukan bagaimanapun, bahwa setengah dari
untuk lebih besar dari masing-masing jumlah angka yang diusulkan lebih besar
salah satu tujuan dari tiga setengah dari masing-masing angka-angka ini.
lagi sebanyak hal-hal ini.
sudah diusulkan X 1 + X 2 =20 ; Mari kita usulkan bahwa angka pertama,
X 2 + X 3 =30 , X 3 + X 1 =40 meningkat dengan kedua, membentuk 20
unit; bahwa kedua, meningkat dengan
ketiga, membentuk 30 unit, dan yang
ketiga, meningkat dengan bentuk
pertama 40 unit.
Menempatkan X 1 + X 2 + X 3=X Mari kita ajukan bahwa jumlah dari tiga
angka adalah 1 aritm.
Untuk X 1 + X 2 =20 , jika kapak Akibatnya, karena angka pertama dengan
untuk menghapus 20; Selain itu, kedua bentuk 20 unit, jika kita melepas
X 3= X−20 20 unit dari 1 arithm, kita akan memiliki
nomor ketiga: 1 arithm kurang 20 unit.
Untuk alasan yang sama Untuk alasan yang sama, bilangan
X 1=x−30 pertama akan menjadi 1 kurang arithm
X 2=x −40 30 unit, dan nomor kedua akan 1 kurang
arithm 40 unit.
Untuk alasan yang sama, angka Hal ini masih diperlukan, bahwa jumlah
pertama akan 1 kurang arithm 30 unit, dari tiga angka menjadi sama dengan 1
dan nomor kedua akan 1 kurang arithm. Namun, Jumlah dari tiga
arithm 40 unit. bilangan membentuk 3 arithm kurang 90
unit. Mari kita menyamakan untuk 1
arithm, dan arithm menjadi 45 unit.
Untuk posisi. Kemudian X1 = 15, Mari kita kembali menuju apa yang akan
X 2 = 5, X3 = 25. Buktinya jelas kita sikapi: bilangan pertama akan
menjadi 15 unit, yang bilangan kedua
akan menjadi 5 unit, bilangan ketiga
akan menjadi 25 unit, dan pembuktian
telah jelas.
Paul Tannery menghormati edisi kritis pada tahun 1893 yang memberikan teks
asli kepada orang Yunani, yang direkonstruksi dari beberapa naskah, bersama-
sama dengan terjemahan Latin. seperti ditunjukkan, terjemahan Latin menyajikan
masalah sebagai salah satu dari tiga persamaan linear dengan tiga faktor yang
tidak diketahui seperti X1 , X 2 , dan X 3 , dan menggunakan x
penolong. Ide persamaan linear dengan beberapa yang tidak diketahui, namun
tidak ada sebelum pertengahan abad ke enam belas. Ver Eecke (1926)
menerjemahkan ke bahasa Prancis dari teks Yunani yang sama seperti Tannery,
tapi memberikan interpretasi yang lebih hati-hati. Dia tidak menggunakan simbol
dan menarik perbedaan antara bilangan dan arithmos. X 1 , X 2 , dan X3 yang
tak diketahui dari bilangan Tannery dalam terjemahan Prancis. Sebaliknya,
arithmos menamai tak diketahui. Setelah menguraikan masalah. Diophantus
merumuskan kembali dalam menyatakan masalah bilangan-bilangan dalam
kaitannya dengan pilihan yang tak diketahui.
Interpretasi dari Aritmetika sebagai aljabar simbolik sangat bermasalah.
Bahkan sebutannya sebagai aljabar tidak bisa berjalan tanpa klasifikasi yang hati-
hati. Nesselmann (1842) menyebutnya sinkopasi aljabar sebagai tahap peralihan
antara aljabar retoris dan simbolik. Ini terdiri dari notasi singkat yang belum
γ
dikembangkan untuk simbolisme penuh. Teks Yunani menggunakan huruf ∆
dan K γ , yang telah ditafsirkan oleh banyak orang sebagai kekuatan yang tidak
diketahui, x2 dan x 3 . Ver Eecke dengan sederhana secara berturut-turut
menerjemahkan ini sebagai persegi dan kubus. Dan tanpa ragu-ragu lebih dekat
kepada konteks aslinya daripada terjemahan latin Tannery. Diaphantus tertarik
terutama pada sifat-sifat bilangan. Suatu jenis masalah seperti “ temukan dua
bilangan dengan jumlah dan selisih mereka pada persegi yang telah diberikan”
(Book 1, Problem 29; Tannery 1893, 65). Tujuannya adalah untuk menemukan
bilangan yang memenuhi sifat yang diberikan daripada menyelesaikan persamaan
x+ y=20, x2 − y 2=80 . Setiap masalah pada Aritmetika dinyatakan dengan cara
yang umum. Pembacaaan aritmetika sebagai teori umum bilangan yang lebih
menekankan pada karakter masalah diophantine yang memiliki bilangan tak
hingga yang memenuhi sifat yang diberikan. Arithmetica Diophantus dapat sama
atau lebih baik, dipahami sebagai studi tentang sifat-sifat bilangan asli selain
sebagai pengantar aljabar.
6. Semangat Aljabar Bangsa Hindu
Tradisi Hindu telah mewariskan kepada kita beberapa karya penting
tentang aritmatika dan aljabar, tetapi pentingnya bagi pengembangan aljabar
masih diremehkan. Halangan utama dalam menggambar sebuah garis yang
mempengaruhi sumber bangsa India pada pengembangan aritmetika dan aljabar
pada abad pertengahan adalah karakter tidak langsung itu dan kurangnya bukti
tertulis. Kami dapat melacak beberapa jalur transmisi penting untuk aritmatika
dan sistem angka Hindu-Arab yang saat ini kita gunakan. Beberapa teks Arab
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin jelas mengacu pada sumber-sumber
Hindu. “Buku-buku aritmatika awal secara struktural sangat mirip, misalnya,
untuk Bhramagupta Brahmasphytasiddianta(BSS) pada tahun 628 masehi
(Colebrook 1817). Tidak ada bukti tertulis yang diketahui, namun begitu, hal
tersebut menunjukkan pengaruh langsung aljabar hindu di Barat. Membandingkan
berbagai masalah yang dibicarakan dalam sumber-sumber Hindu serta dalam
Renaisans aljabar, kita tidak dapat menghindari kesamaan khusus dari perumusan
masalah dan sebagian besar metode-metode penyelesaiannya. Banyak masalah
linear yang diselesaikan secara aljabar dalam tradisi sempoa yang memiliki
hubungan dengan sumber-sumber Hindu, sementara mereka jarang menafsirkan
dalam teks-teks Arab. Kita dapat melihat pengaruh yang penting dari tradisi lisan
dari masalah-masalah dengan hiburan. Masalah kegunaan dan hiburan telah
berfungsi sebagai pembawa ide untuk prototype masalah dengan pola solusi yang
khusus. Metode untuk masalah-masalah khusus diberikan sebagai aturan dalam
teks-teks Hindu. Aturan-aturan ini sebagian besar dirumuskan dalam ayat
Sanskrit, sebagai bait atau satras Mengingat kelangkaan dan biaya alat bantu
menulis, alat bantu menghafal dalam bentuk ayat sangat penting dalam teks
matematika sebelum ditemukannya percetakan. Sebagai contoh, pertimbangkan
aturan berikut untuk memecahkan masalah linear yang diberikan baik di BSS dan
Bija-Ganita (BG) dari Bhaskaracarya dari c.1150:
Tabel 2 : Penyelesaian masalah Linear BSS dan Bija-Ganita (BG) dari
Bhaskaracarya
Colebrook (1817,227) Dvivedi (1902)
Kurangi warna pertama [atau huruf] hapus yang tidak diketahu lainnya dari
dari sisi lain dari persamaan, dan sisa [sisi] pertama yang tidak diketahui dan
warna [atau huruf] serta kuantitas bagi koefisien yang tidak diketahui
yang diketahui, dari sisi pertama: sisi pertama, nilai dari yang pertama tidak
lain kemudian dibagi dengan diketahui [diperoleh]. Dalam kasus
[koefisien dari] pertama,nilai warna lebih lanjut [nilai-nilai yang tidak
pertama akan diperoleh. Jika ada diketahui pertama], dua dan dua [dari
beberapa nilai dari satu warna, buat mereka] harus dipertimbangkan
dalam hal ini persamaan dari mereka setelah menguranginya menjadi
dan turunkan penyebutnya, nilai- penyebut umum.
nilai sisa warna dapat ditemukan dari
mereka.

Dalam terjemahan bahasa inggris dari ayat-ayat sansekerta, Colebrook


menggunakan istilah persamaan tetapi ia tidak diikuti oleh Dvivedi. Sebaliknya,
Dvivedi menggunakan istilah dan koefisien yang tidak diketahui, yang pada
gilirannya tidak digunakan oleh Colebrook. Oleh karena itu, kita dapat meragukan
penggunaan istilah-istilah modern ini. Selanjutnya, Datta dan Singh (1962,II,9)
menyatakan bahwa “dalam aljabar Hindu tidak ada penggunaan sistematis dari
istilah khusus apapun untuk koefisien. “
Prthudakasvami (860), Sripati (1039) dan kemudian Bhaskara (1150),
memecahkan linear masalah dengan menggunakan beberapa warna yang mewakili
yang tidak diketahui. Dalam kasus lain, rasa seperti manis (madhura) atau bunga
juga digunakan untuk tujuan yang sama. Sebagian besar penyelesaian didasarkan
pada aturan untuk kasus prototypical, seperti aturan konkurensi (sankramana) {
x+ y=a , x− y=b }, atau pulverizer (Kuttaka) ax−by =c . Dalam
beberapa teks, dimulai dengan BSS, kita menemukan referensi ke samicarana,
samicara, atau samicriya yang sering diterjemahkan sebagai persamaan. Dasar
pemikiran untuk ini adalah bahwa sama artinya sama dan cri singkatan untuk
melakukannya. Seperti halnya istilah aequatio dan aequationis dalam karya latin
awal pada aljabar, kita harus hati-hati menafsirkan istilah-istilah ini dengan cara
modern. Pada dasarnya berarti tindakan membuat bahkan operasi penting dalam
solusi aljabar dalam menyelesaikan masalah. Mereka tidak selalu berarti
persamaan dalam arti aljabar simbolis. Dasar aljabar Hindu adalah untuk
mengurangi masalah ke bentuk ajaran yang diberikan yang memberikan solusi
yang terbukti untuk masalah ini. Metode aljabar ini, karena menggunakan entitas
abstrak untuk yang tidak diketahui dan analitis dalam pendekatannya. Metode
Hindu untuk memecahkan masalah linear ditransmisikan ke barat oleh masalah
prototipikal, sebagian besar dari jenis hiburan, yang berfungsi sebagai sarana
untuk memecahkan masalah yang sesuai. Contohnya adalah kasus {
x+ a=c ( y−a) , y−b=d ( x−b) }, yang kita temukan di
Ganitasarasangraha Mahavira dan BG, tetapi juga dalam beberapa abad ke-15
dengan nama regula augmentationis.
7. Aljabar Arab
Aljabar Arab diperkenalkan di Eropa oleh terjemahan dari Angaran
Mohammed ibn Musa al-Kwarizmi oleh Guglielmo de Luis, Gerhard von
Cremona (1145), dan Robert of Chester (1450; Hughes 1981). Namun yang paling
penting adalah Liber Abaci of Fibonacci (1202). Fibonacci mengabdikan bagian
terakhir bukunya untuk aljabar dan menggunakan sebagian besar masalah dan
metode solusi dari al-Kwarizmi dan Al-Karkhi. Meskipun aljabar Arab
berkembang hingga tingkat kecanggihan yang tinggi selama abad-abad
berikutnya, sebagian besar isinya dari karya-karya awal yang dikenal di Eropa.
Studi terbaru telah memberi kita gambaran baru tentang perkembangan aljabar
yang berkelanjutan di sekolah sempoa di italia antara Fibonacci dan luca Pacioli
summa de arithmetica geometria proportioni (1494) (Franci dan Rigatelli 1985).
Butuh sekitar 4 abad sebelum transisi ke aljabar simbolis selesai.
Al-kwarizmi memberikan solusi untuk masalah aljabar dengan
menerapkan prosedur yang terbukti dengan cara algoritmik. Validitas solusinya
ditunjukkan lebih lanjut oleh diagram geometri. Berbeda dengan aljabar babilonia,
metode ini tidak bersifat hanya demonstrasi dan interoretasi. Sebagai contoh mari
kita lihat cara Al-Kwarizmi memecahkan kasus 4 dari masalah kuadrat yang dapat
2
diwakili oleh persamaan yang terkenal, x +10 x=39 (Rosen 1831,cetak miring
adalah milik saya).
Misalnya,satu persegi, dan sepuluh akar yang sama, berjumlah tiga puluh
Sembilan dirham. Artinya, apa yang harus diakarkan, ketika ditingkatkan oleh
sepuluh dari akarnya sendiri, berjumlah tiga puluh Sembilan? Solusinya adalah
ini: anda membagi 2 jumlah akar, yang dalam contoh ini menghasilkan lima. Ini
anda mengalikan dengan hasil 25.tambahkan ini ke 39; jumlahnya adalah 64.
Sekarang ambil akar ini, yaitu delapan, dan kurangi setengah jumlah akar, yaitu 5;
sisanya adalah 3. Ini adalah akar kuadrat yang anda cari; persegi itu sendiri adalah
Sembilan.
2
Jika kita menulis kasusnya sebagai x + bx=c , solusinya sepenuhnya

bergantung pada penerapan prosedur yang sesuai dengan


√ b 2 b
( ) +c − .
2 2
Pemecahan dalam aljabar arab terdiri dari merumuskan masalah dalam syarat
yang tidak diketahui dan menurunkannya ke suatu kasus yang diketahui. Metode
untuk memecahkan masalah kuadrat diberikan sebelumnya dalam aljabar
babilonia dan hindu. Sekali lagi, kita tidak melihat persamaan dalam aljabar arab.
Perlakuan eksplisit dari operasi pada polynomial baru, namun. Operasi dasar
penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, yang diterapkan
sebelumnya ke bilangan, sekarang diperluas ke agregasi istilah aljabar. Ekspansi
lebih lanjut dari operasi ini akan mengarah pada konsep persamaan simbolis pada
abad ke-16.
8. Munculnya konsep persamaan
Jadi, apa yang membentuk konsep persamaan? Saya mengusulkan untuk
mengadopsi definisi operasional dari istilah untuk merekontruksi kemunculan
historis konsep tersebut. Kami sekarang menganggap persamaan sebagai objek
matematika dimana operasi tertentu diizinkan. Untuk itu mari kita lihat dengan
tepat titik pada waktu dimana persamaan diberi nama, tetap digunakan, dan
dioperasikan sebagai objek matematika. Seperti dikatakan sebelumnya,
penggunaan istilah aequatio bukanlah kondisi yang cukup untuk keberadaan
persamaan. Pengamatan bahwa dua polinomial secara numerik tidak identik
dengan dirinya merupakan suatu persamaan. Namun, operasi pada suatu
persamaan akan terjadi. Contoh historis pertama yang dapat saya temukan adalah
dalam aritmatika Practica Cardano (1539,f.91).
Ini mungkin adalah halaman paling penting dalam pengembangan aljabar
simbolis, karena menggabungkan dua inovasi konseptual yang penting dalam
solusi masalah tunggal, penggunaan kedua yang tidak diketahui dan operasi
pertama pada persamaan.
Cardano menggunakan co. untuk dasar utama yang tidak diketahui dan
quan. untuk yang tambahannya. Kita bisa menulis ini sebagai x dan y tanpa salah
menafsirkan konteks aslinya. Dalam contoh yang diberikan pada gambar 3,
cardano memanipulasi beberapa polynomial, tetapi pada beberapa titik bergerak
ke persamaan.
Kami menemukan 7 co. aequales 151 p.
27 quan. ( 7 x=151+27 y ) dan 10 co. aequales
1018 p 18 quant ( 10 x=1018+18 y ). dia
membagi persamaan-persamaan ini masing-
masing dengan 7 dan 10, tanpa secara eksplisit.
Dengan menyamakan keduanya, namun, dia tiba

8 2
di 80 =2 y , yang secara eksplist
35 35
dikalikan dengan 35 hingga mencapai hasil

72 y =2808 atau y=39 (salah cetak

sebagai 2008=72 y ). Dari peristiwa ini,


aljabar berubah secara drastis. Buku cardano
dibaca secara luas dan beberapa penulis membangun lebih jauh pada tonggak ini.
Stifel (1545) memperkenalkan huruf 1A, 1B, dan 1C untuk membedakan
beberapa perkalian yang tidak diketahui, yang menghapus sebagian besar
ambiguitas dari notasi sebelumnya. Namun, yang menetapkan metode untuk
memecahkan persamaan linier simultan dengan sistematis mengganti, mengalikan,
dan mengurangi persamaan untuk menghilangkan yang tidak diketahui.
Perkembangan ini antara 1539 dan 1559 merupakan konsep persamaan simbolis.
Persamaan menjadi, bukan hanya representasi dari kesetaraan aritmetika, tetapi
juga mewakili operasi kombinasi yang mungkin pada struktur simbolis. Ini
membuka jalan bagi Viete (1591) dan Harriot untuk mempelajari struktur
persamaan simbolis.

9. Kesimpulan
Kami telah menggunakan aljabar selama 3000 tahun, sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelumnya dengan lebih sederhana.
Namun, Terdapat salah satu kesimpulan penting yang muncul, namun, pada
beberapa titik dalam sejarah ada perubahan dramatis dalam cara masalah
penyelesaian aritmatika. Pada pertengahan abad ke-16, pemecahan masalah
aljabar menjadi manipulasi sistematis persamaan simbolik. Kami berpendapat
bahwa konsep persamaan, seperti yang kita mengerti saat ini, tidak ada sebelum
waktu itu. Perkembangan aljabar abad ke-16 adalah salah satu kesempatan dimana
kita melihat munculnya sebuah konsep baru yang penting dalam matematika.
Aljabar memang ada sebelumnya, tetapi berfungsi dengan cara yang berbeda
aljabar simbolis, seperti yang saat ini diajarkan di pendidikan menengah, hanya
salah satu aspek dari praktek aljabar. Sementara aljabar simbolis mungkin
merupakan jenis yang paling efisien dalam pemecahan masalah, itu tidak selalu
yang paling memadai untuk mengajarkan konsep aljabar dasar kepada anak-anak.
Luis Radford (1995,1996,1997) telah menunjukkan bagaimana prosedur dari
tradisi sempoa pra-simbolis dapat berkontribusi untuk pemahaman didaktik yang
lebih baik dari penggunaan beberapa yang tidak diketahui. Joelle vlassis (2002)
menunjukkan bahwa kesulitan konseptual dengan angka negatif berasal dari
aljabar simbolis dan berpendapat untuk cara non-simbolis untuk menyampaikan
konsep. Konseptualisasi aljabar kami saat ini dapat membingungkan siswa dalam
paparan pertama mereka terhadap pemecahan simbolis. Suatu pendekatan untuk
memperbaiki situasi tersebut, telah menemukan beberapa pengakuan selama
beberapa tahun terakhir, adalah menggunakan sejumlah metode. Sebuah konsep,
metode, atau teorema baru, dijelaskan dalam berbagai cara, lebih mungkin
menjangkau lebih banyak siswa. Beberapa siswa mengalami kesulitan dengan
perhitungan simbolis murni dari matematika dan yang lain lemah dalam
representasi spasial. Yang lain lagi membutuhkan contoh numerik untuk dapat
memahami hubungan dan fungsi abstrak. Pengajaran oleh suatu metode yang
tidak formal mengungkap kesulitan-kesulitan ini. Sejarah matematika
menyediakan repository yang luas dari kasus, representasi, dan metode alternatif.
Konsekuensi tambahan dari sejumlah metode dan konseptualisasi terletak
pada tingkat filosofis. Jika satu hal harus jelas dari tinjauan aljabar kita selama
3000 tahun, itu adalah bahwa matematika tunduk pada proses sejarah, yang
didasarkan tidak hanya pada wawasan dari beberapa individu inventif tetapi juga
melibatkan aspek sosio-kultural dari praktik matematika. Pandangan dominan
yang diwariskan oleh pendidikan matematika menyembunyikan nilai-nilai implisit
pada superioritas ide-ide modern atas ide-ide masa lalu, dan mungkin konsep-
konsep barat atas konsep-konsep non-Barat. Sekali lagi, sejarah matematika
menunjukkan bahwa matematika selalu disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat. Matematika lahir di bulan sabit subur, meluas ke ikat pinggang dari
Afrika Utara ke Asia, dimana benih liar cukup besar dan mamalia mampu
13
dipekerjakan. Aljabar modern dipupuk dalam konteks pedagang dan pengrajin
di Italia pada masa Renaissance. Beberapa tokoh penting dalam pengembangan
aljabar simbolis menulis juga tentang pembukuan, serta pada aljabar sering dalam
14
satu dan volume yang sama. jika kita menerima pembukuan double-entry
muncul pada abad ke-15 sebagai akibat dari struktur komersial yang berkembang
dari pedagang menetap di Italia pada masa Renaissance, mengapa tidak
mempertimbangkan aljabar simbolis dalam konteks yang sama? Ide-ide harus
ditafsirkan dalam konteks historis dimana mereka muncul dan mungkin
keunggulan mereka tergantung pada tingkat dimana mereka beradaptasi dengan
kebutuhan masyarakat.
Gagasan tentang realitas obyektif konsep matematis, untuk itu,
menghindari kebenaran dinamika konseptual dan masalah konseptual dalam
matematika. Dinamika konseptual menantang realisme matematis dengan
beberapa pertanyaan yang aneh. Ambil konsep sederhana dari persamaan aljabar
seperti yang telah kita jelajahi. Dari arti sejarah yang berbeda dari sebuah
persamaan, mana yang sesuai dengan objek metafisika yang terpisah dari praktik
dan pemahaman matematis manusia? Jika ada arti yang berbeda untuk konsep
yang diberikan, seperti yang tidak diketahui aljabar, apakah mereka sesuai dengan
objek yang tidak diketahui untuk seorang realis, atau hanya konseptualisasi kita
saat ini? Jika demikian, apa status ontologis dari konseptualisasi historis?
Bagaimana dengan konseptualisasi yang tidak konsisten? Berulang kali, ada krisis
serius dalam landasan konseptual matematika. Ada teori yang tidak konsisten,
seperti penggunaan awal analisis dan teori himpunan, yang telah ada selama
beberapa dekade. Justru pada saat krisis dan kesulitan konseptual yang muncul
gagasan baru dan terobosan dibuat. Menurut lakatos (1976,140) periode tersebut
adalah “yang paling menarik dari sudut pandang sejarah dan harus menjadi yang
paling penting dari sudut pandang pengajaran.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menunjukkan bahwa sejarah
matematika menawarkan banyak peluang untuk mengilustrasikan pluralitas
metode dan dinamika konsep dalam matematika. Mengintegrasikan benang
pengembangan konseptual matematika dalam pengajaran di kelas berkontribusi
terhadap perhatian filosofis siswa. Contoh- contoh tersebut mengingatkan siswa
tentang relativitas metode matematika, kebenaran, dan pengetahuan dan akan
menempatkan matematika kembali pada perspektif waktu, budaya, dan konteks.
Sejarah konseptual matematika memberikan peluang hebat untuk menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan epistemologis dan ontologis dasar filsafat matematika
dalam pendidikan matematika.
BAB II
RESUME

Belajar Konsep melalui sejarah matematika


Kasus simbolis aljabar
Albrecht Heeffer
Ghent University Pusat logika dan filsafat sains, Belgia
Abstrak : Gagasan remaja pada pemikiran rasional sering menampilkan
pandangan epistomologis matematika sebagai pengetahuan yang
memberikan ketentuan mutlak. Beberapa penemuan seperti teorema
Godel dan kontruksi aritmetika berhingga yang ketat, bagaimanapun
memberikan argumen yang kuat terhadap pandangan tersebut. Modus
penyajian konsep yang statis dan tidak dapat diubah dalam kurikulum
matematika, daripada kurangnya pengetahuan metateori,
menyumbangkan pada kesalah pahaman ini. Saya menyatakan bahwa
sejarah konseptual matematika memberikan kesempatan yang luar
biasa untuk menyampaikan dasar persoalan epistomologis dan
ontologis filsafat matematika dalam pendidikan matematika. Pada
khususnya, munculnya konsep pada persamaan akan disajikan dalam
konteks historis. Contoh-contoh semacam itu, akan mengingatkan
siswa tentang relativitas metode matematika, kebenaran, dan
pengetahuan, dan akan memasukkan matematika kembali dalam
perspektif waktu, budaya, dan konteks.
Key word: sejarah aljabar, rumus konsep, kebenaran mutlak, inkonsistensi.
1. Pengenalan
Sejarah matematika memberikan banyak kesempatan untuk
menyampaikan dasar konsep filsafat mengenai aspek epistemologis dan ontologis
matematika.
Pada level epistemologis, sebuah konseptual sejarah matematika mengangkat
pertanyaan sebagai berikut:
 Bagaimana konsep dibentuk dalam matematika?
 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi atau merubah maksud konsep?
 Apakah ada sebuah logika internal dan orde dalam pengembangan konsep
matematika?
 Apa peran simbolisme pada pengetahuan matematika?
 Apakah terdapat bukti valid dalam matematika?
Mengenai ontologi, sejarah matematika memberikan tantangan argumen dalam
debat realisme-kontrukstivisme. Beberapa studi telah mempublis penggunaan
sejarah matematika dalam bidang pendidikan matematika. Membantah untuk
menggunakan sejarah matematika mungkin itu nampak menjadi tugas yang
berlebihan. Kurikulum yang resmi untuk pendidikan menengah di Flander
(Belgia) menegaskan peran sejarah matematika secara lebih eksplisit:
“Pendidikan matematika selalu berhubungkan dengan disiplin ilmu yang
lain. Matematika sendiri terus dikembangkan selama berabad-abad dalam
hubungan terdekatnya dengan pendapat umum dan masalah-masalah yang
berlaku. Sekarang, tentu konteks historis masih memberikan manfaat titik
permulaan pada pendekatan konsep khusus matematis dan topik pendidikan.
Konteks historis harus terintegrasi dalam kurikulum”
Sejarah matematika dipaksa supaya menjadi peran yang membantu
menjelaskan. Sejarah memberikan berbagai gambaran untuk menerangkan buku
teks yang rumit, untuk menguatkan sebuah hubungan dengan disiplin ilmu yang
lain, dan untuk memantau kegiatan siswa antara satu dengan yang lainnya. Sebuah
pandangan utuh dalam pendidikan matematika dimana sejarah matematika
memiliki metodelogi dan relevansi filsafat yang ditinggalkan.
2. Hidup dengan ketidak konsistenan
Ketika diminta untuk memberikan contoh kebenaran yang mutlak, siswa
mungkin menjawab “satu ditambah satu sama dengan dua”. Ini adalah contoh
yang sederhana yang bisa diperluas. Satu ditambah satu sama dengan dua adalah
sebuah arus aksiomatisasi dari aritmetika, dan untuk itu sah dengan mematuhi
teori tersebut.
Menyadur dari aksioma Peano yang terkenal untuk satu pengganti satu,
akan menghasilkan contoh yang salah didalam teori baru. diketahui bahwa “satu
ditambah satu sama dengan dua” itu adalah benar menurut satu teori namun tidak
dengan teori yang lain, yang membantah terhadap contoh tersebut sebagai
kebenaran mutlak. Beberapa siswa mungkin keberatan bahwa mengubah aturan
aritmetika akan menyebabkan pergolakan di masyarakat. Namun siswa yang lebih
pandai mungkin memperhatikan bahwa mengubah aksioma Peano dengan cara
tertentu akan mengarah pada teori yang tidak konsisten, dan bahwa sesuatu
apapun itu dapat diturunkan dari ketidak konsistenan.
Van Bendegem (1994) telah mengembangkan sebuah aritmetika ketidak
konsistenan dengan mengubah aksioma Peano sehingga ada satu bilangan yang
menggantikan dirinya. Alasannya dilakukannya hal tersebut untuk menunjukkan
kelayakan aritmetika berhingga yang ketat. Kelima aksioma Peano menyatakan
bahwa jika persamaan digunakan untuk x= y maka x dan y adalah
bilangan yang sama. Ini adalah aksioma yang lemah dari Van Bendegem sehingga
dimulai dari beberapa bilangan n, setiap pengganti akan sama ke n. Jika kita
mengambil n menjadi 1, maka dalam hal ini kita menetapkan aritmetika yang
baru, yakni didefinisikan 1+1=1 . Itu akan menjadi aritmetika trivial
(sederhana), tidak ada tujuannya. Daripada menggunakan 1, bilangan n dapat
menjadi beberapa bilangan yang kamu inginkan. Diberikan sebuah n yang cukup
besar, setiap operasi aritmetika berjalan dengan cara yang sama. Selama bilangan
n tidak dapat tercapai selama perhitungan. Sekarang sebuah masalah hadir ketika
kami mencapai n. Pernyataan n=n+1 jadi keduanya benar dan salah dalam
waktu yang sama. Ini menyebabkan aritmetika inkonsisten yang baru.
3. Ketentuan mutlak dalam matematika
“kita tahu, bahwa e i+1=0 memang benar, tetapi itu benar-benar
sebuah paradoks, kami tidak dapat memahaminya dan kami tidak tahu apa
artinya, tetapi kami telah membuktikannya, dan oleh karena itu hal tersebut
merupakan sebuah kebenaran yang pasti.”
Ini adalah kutipan terkenal oleh Benjamin Pierce setelah membuktikan
identitas euler dalam perkuliahan.
Pierce tampaknya menyiratkan sesuatu yang lebih kuat, apapun itu
membuktikan hal-hal dalam matematika membawa kita pada kebenaran, hal ini di
luar sudut pandang epistemologis dan merupakan pernyataan metafisik tentang
keberadaan objek matematika dan kebenaran mereka terlepas dari pengetahuan
manusia. Hardy seorang matematikawan hebat merumuskannya lebih kuat (Hardy
1929):
“bagi saya tampaknya tidak ada filsafat yang menaruh perhatian kepada
matematikawan yang tidak diakui, dalam satu atau lain cara. Validitas kebenaran
matematis tetap dan tanpa syarat. Teorema matematika benar atau salah.
Kebenaran mutlak atau kesalahan mutlak tidak bergantung pada pengetahuan
kami tentang hal itu. Dalam beberapa hal, kebenaran matematika merupakan
bagian dari realitas objektif.”
Pernyataan semacam itu lebih dari sekedar kesalahan refleksi metafisik
terbuka yang murni untuk didiskusikan. Mereka menyembunyikan nilai-nilai
implisit bagaimana cara matematika berkembang dan memiliki akibat penting
bagi pendidikan dan penelitian matematika. Suatu realitas objektif menyiratkan
konsep-konsep matematika bersifat tetap dan kekal. Sedangkan sejarah
matematika memberikan bukti yang sebaliknya. Bahkan konsep matematika yang
paling dasar sekalipun, seperti konsep bilangan kontinu yang terus berlanjut.
4. Meninjau hambatan berpikir simbolik
Menghadapi perkembangan aljabar simbolik, kita harus mendefinsikan
beberapa istilah secara lebih eksplisit. Mari kita sebut aljabar sebagai pemecahan
masalah analitis, metode untuk masalah aritmetika dimana kuantitas yang tidak
diketahui diwakili oleh entitas abstrak. Ada dua kondisi penting dalam definisi ini
yakni: Analitis, yang berarti bahwa masalah diselesaikan dengan
mempertimbangkan beberapa besaran hipotesis yang tidak diketahui dan
menurunkan pernyataan secara deduktif sehingga yang tidak diketahui ini dapat
dinyatakan sebagai nilai dan entitas abstrak yang digunakan untuk mewakili yang
tidak diketahui
Akhir-akhir ini, Jens Hoyrup (2002) menerbitkan sebuah buku yang benar-
benar menggulingkan interpretasi standar dari matematika Babilonia dan
menambahkan sesuatu yang baru. Bagi Hoyrup, aljabar Babilonia bekerja dengan
perhitungan geometris. Hal ini berlalu tanpa diketahui karena tidak ada angka
yang muncul di buku catatan. Pelajaran Hoyrup bagaimanapun sangat
menyakinkan dan penting untuk sejarah matematika, tidak bisa menaksir terlalu
tinggi.
Aljabar Babilonia tidak menyelesaikan persamaan karena konsep
persamaan tidak ada. Ini sesuai dengan definisi aljabar, namun metode ini tidak
diragukan lagi analisisnya. Ia menggunakan igum dan igibum yang tidak
diketahui dan mereka direpresentasikan sebagai entitas abstrak, disebut sisi
persegi panjang. Kita tidak bisa menyalahkan Neugebauer atas pembacaan
simbolis aljabar Babilonia pada tahun 1945. Meninjau ulang batasan dari bukti
berpikir simbolis menjadi tugas yang sulit. Bukunya telah banyak berkontribusi
pada awal sejarah matematika, tapi sejarah matematika telah berubah dalam
dekade terakhir dan analisis konseptual seperti yang dimiliki Hoyrup telah
menjadi standar metodologi baru.
5. Diophantus: aljabar atau teori bilangan?
Aritmetika Diophantus sering dianggap sebagai sumber utama aljabar
eropa. Penafsiran ini dipertanyakan. Penemuan Diophantus pada abad ke lima
belas memiliki pengaruh yang penting pada pengembangan aljabar simbolis.
Namun pengaruhnya tidak begitu menentukan dalam mempercayainya.
Untuk menilai Arithmetica, penting untuk menggambarkan perbedaan
antara konteks teks asli dengan adaptasinya sejak penemuannya oleh
Regiomontanus. Pemberlakuan masalah dari Arithmetica oleh Bombelli (1572)
dan Simon Stevin (1585) tanpa diragukan lagi adalah aljabar. Beberapa edisi
Arithmetica telah memberikan formulasi aljabar untuk masalah, seperti yang telah
diselesaikan dengan Elemen Euclid. Reformulasi seperti tersebut telah menjadi
historis penting untuk analisis Diophantine, tetapi interpretasi yang benar belum
tentu dari karya aslinya.
Interpretasi dari Aritmetika sebagai aljabar simbolik adalah problematika
yang tinggi. Bahkan penandaannya sebagai aljabar tidak bisa berjalan tanpa
klasifikasi yang hati-hati. Nesselmann (1842) menyebutnya aljabar sinkopasi
sebagai tahap peralihan antara aljabar retoris dan simbolik. Ini akan terdiri dari
notasi pendek yang belum dikembangkan ke simbolisme penuh
Diaphantus tertarik pada sifat-sifat bilangan. Suatu masalah diberikan
contohnya seperti “ temukan dua bilangan dengan jumlah dan selisih pada persegi
yang telah diberikan” (Book 1, Problem 29; Tannery 1893, 65). Tujuannya adalah
menemukan bilangan yang memenuhi sifat yang diberikan daripada
2 2
menyelesaikan persamaan x+ y=20, x − y =80 . Setiap masalah pada
Aritmetika menyatakan dengan cara yang umum. Pembacaaan aritmetika sebagai
teori umum bilangan yang lebih menekankan pada karakter masalah diophantine
yang memiliki bilangan tak berhingga yang memenuhi sifat yang diberikan.
Arithmetica Diophantus dapat sama atau lebih baik, dipahami sebagai studi
tentang sifat-sifat bilangan asli daripada sebagai pengantar aljabar.
6. Keanekaragaman Aljabar dari bangsa Hindu
Tradisi Hindu telah mewariskan kepada kita beberapa karya penting
tentang aritmatika dan aljabar, tetapi pentingnya perkembangan aljabar masih
diremehkan. Beberapa teks Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin jelas
mengacu pada sumber-sumber Hindu. “Buku-buku aritmatika awal secara
struktural sangat mirip, misalnya, untuk Bhramagupta Brahmasphytasiddianta
(BSS) dari 628 masehi (Colebrook 1817). Banyak masalah linear yang
diselesaikan secara aljabar dalam Tradisi sempoa yang berhubungan pada sumber-
sumber Hindu, sementara mereka jarang menafsirkan dalam teks-teks Arab.
Mengingat kelangkaan dan biaya alat bantu menulis, alat bantu menghafal dalam
bentuk ayat sangat penting dalam teks matematika sebelum ditemukannya
percetakan. Sebagai contoh, pertimbangkan aturan berikut untuk memecahkan
masalah linear yang diberikan baik di BSS dan Bija-Ganita (BG) dari
Bhaskaracarya dari c.1150:
Tabel 2 : Penyelesaian masalah Linear BSS dan Bija-Ganita (BG) dari
Bhaskaracarya
Colebrook (1817,227) Dvivedi (1902)
Kurangi warna pertama [atau huruf] hapus yang tidak diketahu lainnya dari
dari sisi lain dari persamaan, dan sisa [sisi] pertama yang tidak diketahui
warna [atau huruf] serta kuantitas dan bagi koefisien yang tidak
yang diketahui, dari sisi pertama: sisi diketahui pertama, nilai dari yang
lain kemudian dibagi dengan pertama tidak diketahui [diperoleh].
[koefisien dari] pertama,nilai warna Dalam kasus lebih lanjut [nilai-nilai
pertama akan diperoleh. Jika ada yang tidak diketahui pertama], dua
beberapa nilai dari satu warna, buat dan dua [dari mereka] harus
dalam hal ini persamaan dari mereka dipertimbangkan setelah
dan turunkan penyebutnya, nilai- menguranginya menjadi penyebut
nilai sisa warna dapat ditemukan dari umum.
mereka.
Colebrook menggunakan istilah persamaan tetapi ia tidak diikuti oleh
Dvivedi. Sebaliknya, Dvivedi menggunakan istilah yang tidak diketahui dan
koefisien, yang pada gilirannya tidak digunakan oleh Colebrook. Selanjutnya,
Datta dan Singh (1962,II,9) menyatakan bahwa “dalam aljabar Hindu tidak ada
penggunaan sistematis dari istilah khusus apapun untuk koefisien. Dalam kasus
lain, Sebagian besar polusi didasarkan pada aturan untuk kasus prototypical,
seperti aturan konkurensi (sankramana) { x+ y=a , x− y=b }, atau
pulverizer (Kuttaka) ax−by =c . Kita harus berhati-hati dalam menafsirkan
istilah aequatio dan aequationis dengan cara modern. Mereka pada dasarnya
berarti tindakan membuat bahkan operasi penting dalam solusi masalah aljabar.
Mereka tidak selalu berarti persamaan dalam arti aljabar simbolis.
Metode aljabar ini, karena menggunakan entitas abstrak untuk yang tidak
diketahui dan analitis dalam pendekatannya. Metode Hindu untuk memecahkan
masalah linear ditransmisikan ke barat oleh masalah prototipikal, sebagian besar
dari sarana untuk resep pemecahan masalah yang sesuai. Contohnya adalah kasus
{ x+ a=c ( y−a ) , y +b=d ( x−b) }, yang kita temukan di
Ganitasarasangraha Mahavira dan BG, tetapi juga dalam beberapa abad ke-15
dengan nama regula augmentationis.
7. Aljabar Arab
Aljabar arab diperkenalkan oleh Mohammed ibn Musa al-Kwarizmi.
Meskipun aljabar Arab berkembang hingga tingkat kecanggihan yang tinggi
selama abad-abad berikutnya, sebagian besar adalah isi dari karya-karya awal
yang dikenal di Eropa. Studi terbaru telah memberi kita gambaran baru tentang
perkembangan aljabar yang berkelanjutan di sekolah sempoa di italia antara
Fibonacci dan luca Pacioli summa de arithmetica geometria proportioni (1494)
(Franci dan Rigatelli 1985).
Al-kwarizmi memberikan solusi untuk masalah aljabar dengan
menerapkan prosedur yang terbukti dengan cara algoritmik. contoh mari kita lihat
cara Al-Kwarizmi memecahkan kasus 4 dari masalah kuadrat yang dapat diwakili
2
oleh persamaan yang terkenal, x +10 x=39 . Misalnya,satu persegi, dan
sepuluh akar yang sama, berjumlah tiga puluh Sembilan dirham. Artinya, apa
yang harus diakarkan, ketika ditingkatkan oleh sepuluh dari akarnya sendiri,
berjumlah tiga puluh Sembilan? Solusinya adalah ini: anda membagi 2 jumlah
akar, yang dalam contoh ini menghasilkan lima. Ini anda mengalikan dengan
hasilnya 25.tambahkan ini ke 39; jumlahnya adalah 64. Sekarang ambil akar ini,
yang adalah delapan, dan kurangi setengah jumlah akar,yang adalah 5;sisanya
adalah 3. Ini adalah akar kuadrat yang anda cari; persegi itu sendiri adalah
Sembilan.
Pemecahan dalam aljabar arab terdiri dari merumuskan masalah dalam
syarat yang tidak diketahui dan menurunkannya ke suatu kasus yang diketahui.
Metode untuk memecahkan masalah kuadrat diberikan sebelumnya dalam aljabar
babilonia dan hindu. Sekali lagi, kita tidak melihat persamaan dalam aljabar arab.
Perlakuan eksplisit dari operasi pada polynomial baru, namun. Operasi dasar
penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, yang diterapkan
sebelumnya ke bilangan, sekarang diperluas ke agregasi istilah aljabar.
8. Munculnya konsep persamaan
Persamaan sebagai objek matematika dimana operasi tertentu diizinkan.
Pengamatan bahwa dua polinomial secara numerik tidak identik dengan dirinya
merupakan suatu persamaan. Namun, operasi pada suatu persamaan akan terjadi.
Contoh historis pertama yang dapat saya temukan adalah dalam aritmatika
Practica Cardano (1539,f.91 menggabungkan dua inovasi konseptual yang
penting dalam solusi masalah tunggal, penggunaan kedua yang tidak diketahui
dan operasi pertama pada persamaan. Cardano menggunakan co. untuk dasar
utama yang tidak diketahui dan quan. untuk yang tambahannya. Buku cardano
dibaca secara luas dan beberapa penulis membangun lebih jauh pada tonggak ini.
Perkembangan ini antara 1539 dan 1559 merupakan konsep persamaan simbolis.
Persamaan menjadi, bukan hanya representasi dari kesetaraan aritmetika, tetapi
juga mewakili operasi kombinasi yang mungkin pada struktur simbolis.
9. Kesimpulan
Pada pertengahan abad ke-16, pemecahan masalah aljabar menjadi
manipulasi sistematis persamaan simbolik. Perkembangan aljabar abad ke-16
adalah salah satu kesempatan dimana kita melihat munculnya sebuah konsep baru
yang penting dalam matematika. Aljabar memang ada sebelumnya, tetapi
berfungsi dengan cara yang berbeda aljabar simbolis, seperti yang saat ini
diajarkan di pendidikan menengah, hanya salah satu aspek dari praktek aljabar.
Luis Radford (1995,1996,1997) telah ditunjukkan bagaimana prosedur dari tradisi
sempoa pra-simbolis dapat berkontribusi untuk pemahaman didaktik yang lebih
baik dari penggunaan beberapa yang tidak diketahui. Joelle vlassis (2002)
menunjukkan bahwa kesulitan konseptual dengan angka negatif berasal dari
aljabar simbolis dan berpendapat untuk cara non-simbolis untuk menyampaikan
konsep.
Sebuah konsep, metode, atau teorema baru, dijelaskan dalam berbagai
cara, lebih mungkin menjangkau lebih banyak siswa. Yang lain lagi membutuhkan
contoh numerik untuk dapat memahami hubungan dan fungsi abstrak. Pengajaran
oleh suatu metode yang tidak formal mengungkap kesulitan-kesulitan ini. Sejarah
matematika menyediakan repository yang luas dari kasus, representasi, dan
metode alternatif.
Pandangan dominan yang diwariskan oleh pendidikan matematika
menyembunyikan nilai-nilai implisit pada superioritas ide-ide modern atas ide-ide
masa lalu, dan mungkin konsep-konsep barat atas konsep-konsep non-Barat.
Sekali lagi, sejarah matematika menunjukkan bahwa matematika selalu
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Belajar Konsep Melalui Sejarah Matematika


Menurut Wahyu K dan Mahfudy S. (2016, 93) Secara umum, sejarah
matematika dapat diartikan sebagai sekumpulan kejadian yang terjadi pada masa
lampau dan berhubungan dengan perkembangan matematika (Sumardyono,
2003). Oleh sebab itu, sejarah matematika dapat memberikan pemahaman tentang
konsep matematika dan kenapa konsep tersebut ada. Secara khusus sebagai
sebuah bidang kajian, sejarah matematika merupakan sebuah penyelidikan terkait
asal-usul penemuan dalam matematika yang meliputi metode dan notasi
matematika pada masa lampau (Wikipedia). Matematika dan sejarahnya tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Keterikatan matematika dan sejarahnya ditegaskan oleh
Galishier (1848- 1928) dalam (Panasuk & Horton, 2012) yaitu “I am sure that no
subject 94.
Menurut Barbin (2000), ada dua alasan penting terkait penerapan sejarah
matematika dalam pembelajaran yaitu sejarah matematika memberikan
kesempatan untuk membangun persepsi terkait apakah sebenarnya matematika
dan memungkinkan kita memiliki pemahaman yang lebih baik terkait konsep dan
teori matematika. Dalam setiap dua hal tersebut, ada urutan membangun
pemahaman yaitu pada awalnya sejarah matematika bisa mengubah persepsi dan
pemahaman guru tentang matematika, kemudian sejarah matematika akan
mempengaruhi bagaimana cara guru mengajarkan matematika, dan pada akhirnya
akan mempengaruhi cara siswa menerima dan memahami matematika. Efektivitas
penerapan sejarah matematika bisa dinilai melalui alur proses tersebut. Kjeldsen
(2011) menganalisis laporan guru-guru yang mengikuti in-service training (sejenis
diklat guru) pada tahun 2005. Guru-guru tersebut melaksanakan proyek bernama
Egyptian Mathematics di kelas 10, di Denmark. Hasil analisis menunjukkan
bahwa sejarah matematika dapat menciptakan lingkungan belajar yang kaya,
membangun kesadaran sejarah siswa, mengembangkan strategi belajar, dan
memperluas keterampilan pemecahan masalah walaupun para siswa mengerjakan
matematika yang bukan bagian dari kurikulum inti.
Untuk menerapkan sejarah matematika dalam pembelajaran, tentunya dibutuhkan
sumber materi sejarah. Menurut Tzanakis dan Arcavi (2000), sumber materi
sejarah dikelompokan menjadi tiga, yaitu: sumber primer (primary source
material); sumber sekunder (secondary source material); dan sumber didaktik
(didactical source material). Sumber primer merupakan dokumen asli sejarah
perkembangan matematika. Sumber sekunder berupa buku teks yang memuat
narasi sejarah, intepretasi dan rekonstruksi. Sumber didaktik merupakan hasil
gabungan sumber primer dan sekunder yang disesuaikan dengan kebutuhan
pembelajaran. Dari ketiga sumber tersebut, sumber didaktik masih kurang. Oleh
sebab itu, guru matematika didorong untuk mengembangkan materi sendiri yang
bisa mudah digunakan dalam pembelajaran.
Jankvist (2009b), Furingheti (1997), Siu (1997) serta Tzanakis dan Arcavi
(2000) sudah memberikan penjelasan cara menerapkan sejarah matematika dalam
pembelajaran. Dari berbagai cara tersebut, manakah yang cocok untuk diterapkan
dalam konteks pembelajaran matematika di Indonesia disesuaikan dengan
tuntutan kurikulum? Penulis mencoba menjawab pertanyaan ini dengan
menganalisis berbagai cara penerapan tersebut.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan sebelum menerapkan sejarah
matematika, yaitu: apakah penerapan sejarah matematika bisa mengubah persepsi
siswa terhadap matematika?; dan apakah penerapan sejarah matematika di kelas
bisa membangun dan mengembangkan konsep matematika siswa? Dua pertanyaan
ini berkaitan dengan aspek afektif dan kognitif dalam pembelajaran matematika
yang juga tuntutan kurikulum baik KTSP maupun K13.
Menurut penulis, pendekatan berdasarkan sejarah (history-based
approach) lebih menjanjikan untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika di
Indonesia dengan beberapa alasan, yaitu: (a) Tidak fokus pada aspek sejarah
sehingga waktu pembelajaran lebih banyak digunakan untuk membangun
pemahaman konsep matematika; (b) Konten sejarah berupa kombinasi cuplikan
sejarah, konteks pembelajaran dan latihan disesuaikan dengan topik matematika
yang akan dipelajari di kelas. Jadi, konten sejarah diambil secara proprosional
untuk keperluan pengajaran yang disesuaikan dengan ketersediaan waktu; dan (c)
seperti yang dijelaskan Tzanakis dan Arcavi (2000) bahwa fokus penggunaan
sejarah matematika adalah bagaimana menggunakan materi/sumber sejarah (teori,
metode dan konsep) untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan dan masalah
matematika.
Pada tahun 2007, Goodwin (2010) melakukan sebuah penelitian di
California Public School untuk mengetahui urgensi guru mengetahui sejarah
matematika. Hasilnya menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan apa yang
diketahui oleh guru tentang sejarah matematika dengan kepercayaan terhadap
matematika. Guru dengan nilai sejarah matematika yang lebih rendah kurang
mempercayai bahwa matematika merupakan ilmu atau disiplin untuk semua orang
dan adanya perbedaan budaya dalam matematika. Guru dengan skor rendah
mempercayai bahwa matematika merupakan sekumpulan fakta-fakta terpisah,
aturan dan keterampilan, serta segala sesuatu yang penting tentang matematika
telah diketahui. Goodwin (2010) menyimpulkan bahwa dengan mengetahui
sejarah matematika sangat bernilai secara pedagogik karena memberikan konteks
matematika. Sejarah matematika menunjukan kepada guru dan siswa karakteristik
matematika
Lawrence (2008) menemukan hasil yang signifikan dalam dua
penelitiannya. Penelitian pertama dilakukan di Edmund’s Catholic School tahun
akademik 2004/2005 dengan beberapa hasil penting yaitu: penerapan sejarah
matematika dalam pembelajaran meningkatkan motivasi siswa, siswa mulai
melakukan investigasi secara mandiri, keterampilan komunikasi siswa mengalami
perbaikan, dan kohesi kelas mempengaruhi perluasan dimana siswa merasa
antusias dalam berpartisipasi. Penelitian kedua dilaksanakan di sekolah dasar dan
menengah bagian tenggara Inggris, September 2006-September 2008. Penelitian
tersebut bertujuan untuk memperkenalkan sejarah matematika dalam kurikulum
melalui praktek kolaborasi pengajaran. Hasil penelitian tersebut adalah penerapan
sejarah matematika bisa meningkatkan motivasi dan menciptakan landasan
konseptual yang akan menjadi dasar bagi guru dalam lingkungan pengembangan
profesi yang berkelanjutan.
Clark (2011) melakukan penelitian bersama beberapa guru terkait
penerapa sejarah matematika dalam tiga kategori, yaitu: sejarah sebagai anekdot
(history as anecdote); sejarah sebagai biografi (history as biography); dan sejarah
sebagai sumber masalah yang menarik (history as interesting problems). Tiga
kategori penerapan sejarah matematika tersebut diadaptasi dari Siu (1997).
Hasilnya penilaian tergolong signifikan karena dua alasan, yaitu: perspektif
sejarah sebagai sumber masalah yang menarik melibatkan siswa dalam konten
matematika; dan hal ini memungkinkan siswa melakukan investigasi cara
penyelesaian alternatif
Menurut Victor J. Katz, berkembangnya aljabar sejak pertama kali
digunakan hingga sekarang ini dikelompokkan dalam tiga tahapan berdasarkan
ekspresi ide-ide yang digunakan. Ketiga tahapan tersebut diantaranya: (1) tahap
teoritis (rhetorical stage); (2) tahap penyingkatan (syncopated stage); dan (3)
tahap simbolik (symbolic stage). Tahap teoritis merupakan tahap dimana seluruh
pernyataan dan pendapat mengenai teori. aljabar dinyatakan dalam bentuk kata
atau kalimat. Pada tahap penyingkatan, beberapa ketetapan aljabar dinyatakan
dalam bentuk singkatan-singkatan. Sedangkan pada tahap simbolik, seluruh
bilangan, operasi, dan relasinya dinyatakan dalam simbol-simbol yang telah
disepakati.
Sama halnya dengan tahapan perkembangan berdasarkan ekspresi gagasan
yang digunakan, perkembangan konsep aljabar melewati empat tahapan hingga
yang kita kenal seperti pada saat ini. Tahapan-tahapan perkembangan konsep
tersebut adalah:28 Tahapan geometri (geometric stage), dimana sebagian besar
konsep aljabar berupa permasalahan geometri; Tahap penyelesaian persamaan
statis (static equation solving), yakni tahap menemukan bilangan yang memenuhi
relasi tertentu; Tahap fungsi dinamis (dynamic function stage), dimana isyarat atau
tanda menjadi fokus penekanan gagasan; dan yang terakhir yakni tahap abstrak
(abstract stage), dimana tujuan terpentingnya adalah membentuk struktur.
Keempat tahapan tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, meski
keempatnya hadir secara bertahap.
B. Manfaat Sejarah Matematika
Banyak manfaat yang dapat diambil dari penggunaan sejarah matematika
dalam pembelajaran. Fauvel (2000) menyatakan terdapat tiga dimensi besar
pengaruh positif sejarah matematika dalam proses belajar siswa:
1. Understanding (pemahaman)
Pada tahap apa pun, perspektif sejarah dan perspektif matematika (struktur
modern) saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang jelas dan
menyeluruh, yaitu pemahaman yang rinci tentang konsep-konsep dan
teorema-teorema matematika, serta pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana konsep-konsep matematika saling berhubungan dan bertemu.
1. Enthusiasm (antusiasme)
Sejarah matematika memberikan sisi aktivitas manusia dan
tradisi/kebudayaan manusia. Pada sisi ini, siswa merasa menjadi bagiannya
sehingga menimbulkan antusiasme dan motivasi tersendiri.
2. Skills (keterampilan)
Yang dimaksud Fauvel bukan keterampilan matematis semata, tetapi
keterampilan dalam hal: keterampilan research dalam menata informasi,
keterampilan menafsirkan secara kritis berbagai anggapan dan hipotesis,
keterampilan menulis secara koheren, keterampilan mempresentasikan kerja,
dan keterampilan menempatkan dan menerima suatu konsep pada level yang
berbeda-beda. Keterampilan-keterampilan di atas jarang diantisipasi dalam
pembelajaran konvensional/tradisional.

Jankvist (2009a) memperkenalkan dua tujuan (purposes) dimana sejarah


mate`matika (HoM, history of mathematics) bisa bermanfaat dan relevan dengan
pembelajaran matematika (ME, mathematics education) yaitu sejarah sebagai alat
(history-as-a-tool) dan sejarah sebagai tujuan (history-as-a-goal). Sejarah sebagai
alat berkaitan dengan bagaimana siswa belajar matematika. Dalam hal ini, sejarah
matematika bisa menjadi faktor motivasi bagi siswa untuk mempertahankan minat
dan kesenangan mempelajari matematika. Di samping itu, sejarah matematika
juga menunjukan kepada siswa wajah matematika yang ‘lebih manusiawi’, dan,
yang paling utama, sejarah sebagai alat untuk mendukung pembelajaran
matematika. Sejarah matematika sebagai tujuan tidak berarti menjadikan sejarah
matematika sebagai topik yang berdiri sendiri tetapi fokusnya terletak pada aspek
perkembangan matematika sebagai disiplin ilmu. Dalam hal ini, sejarah
matematika dikatakan sebagai tujuan untuk menunjukan siswa bahwa matematika
itu ada dan berkembang dalam ruang dan waktu.

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Penerapan sejarah matematika dalam pembelajaran memberikan banyak
kontribusi positif, yaitu: (a) memunculkan antusias (Fauvel, 2000); (b) sebagai
sumber contoh yang menarik dan menyenangkan dalam pembelajaran serta
membuat siswa memahami bahwa matematika bukan pelajaran tanpa makna
(Bruckler, 2001); (c) meningkatkan motivasi dan minat siswa; matematika sebagai
capaian manusia sehingga siswa tidak dilemahkan oleh kegagalan, kesalahan,
ketidaktentuan, dan kesalahpahaman (Tzanakis & Arcavi, 2000). Ketiga hal tersebut
bisa memberikan kontribusi positif dalam mengubah pandangan (Schoenfeld
dalam Riedesel, dkk. 1996) dan sikap siswa terhadap matematika yang diawali
dengan adanya antusias dalam belajar (Fauvel, 2000), peningkatan motivasi dan
minat (Lawrence, 2008; Tzanakis & Arcavi, 2000), merasa senang dalam
pembelajaran (Bruckler, 2001) dan percaya bahwa matematika adalah capaian
manusia yang dilalui dengan kerja keras (Tzanakis & Arcavi, 2000).
Dalam konteks pembelaran matematika di Indonesia, capaian aspek afektif
dan kognitif dalam pembelajaran matematika menjadi dua hal penting yang harus
diperhatikan dalam menerapkan sejarah matematika. Berdasarkan hasil analisis
penerapan sejarah matematika oleh Jankvist (2009b), Furingheti (1997), Siu
(1997) serta Tzanakis dan Arcavi (2000), pendekatan berdasarkan sejarah
(history-based approach) lebih menjanjikan untuk diterapkan dalam pembelajaran
matematika. Guru matematika dapat mengembangkan materi didaktik sejarah
matematika yang diolah dari sumber primer dan/atau sumber sekunder. Materi
didaktik ini berupa anekdot, konteks pembelajaran sejarah untuk topik atau
konsep yang akan diajarkan, dan latihan. Ketiga materi didaktik ini disusun dalam
bentuk lembar kerja (LK) untuk kelompok atau individu. Materi didaktik yang
sangat penting ada dalam LK adalah konteks pembelajaran berdasarkan konten
sejarah untuk membangun dan mengembangkan ide atau konsep matematika
siswa.
B. Saran
Berdasarkan simpulan maka saran yang penulis berikan adalah agar
pembelajar menerapkan pembelajaran berdasarkan masalah dalam
mengembangkan konsep matematika siswa

Daftar Pustaka

Bruckler, F.M. (2001). Using history for popularization of mathematics. Diakses


di https://web.math.pmf.unizg.hr/~bruckler/trondheim_small.ppt
Clark, K.M. (2011). Voices from the field: incorporating history of mathematics in
teaching. Proceedings of the Seventh Congress of the European Society
for Research in Mathematics Education (7th CERME), Rzeszow –
Poland, 1640-1649.
Fauvel, J. (2000). The role of history of mathematics within a university
mathematics curriculum for the 21st century (Artikel web). Diakses di
http://www.bham.ac.uk/ctimath/talum/newsletter
Goodwin, D.M. (2010). The importance of mathematics teachers knowing their
mathematics history. The Journal for Liberal Art and Science, 14/2, 86-
90. Diakses di http://www.oak.edu/academics/school-arts-sciences-jlas-
archive.php#Fa2010

Anda mungkin juga menyukai