Anda di halaman 1dari 33

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. Kaswat
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sokowangi RT 07/04, Kec. Taman, Pemalang
Status perkawinan : Menikah
Tanggal masuk RS : 10 Maret 2018
Tanggal pemeriksaan : 10 Maret 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan secara alloanamnesis pada tanggal 10 Maret 2018
Keluhan Utama
Penurunan Kessadaran

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan penurunan kesadaran. 30 menit sebelum masuk RS pasien jatuh
dari motor. Setelah jatuh dari motor pasien langsung mengalami penurunan
kesadaran. Terjadi benturan dibagian kepala. Saat mengendarai motor pasien tidak
menggunkan helm. Pasien mengalami muntah.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat operasi : disangkal
- Riwayat trauma : disangkal

Riwayat Keluarga

- Riwayat hipertensi : disangkal


- Riwayat DM : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : E3M5V4
Vital Sign
Tekanan darah : 172/100 mmHg
Nadi : 81 x/menit
Respirasi : 25 x/menit
Suhu : 37,8
B. Pemeriksaan Fisik
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
anisokor 4mm/3mm, refleks cahaya menurun
Leher : terpasang collar neck
Thorax : jejas (-)
Paru : simetris, VBS (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : supel, bising usus (+)
Ekstremitas : akral dingin (-), Oedem (-)
C. Status Neurologis
Kemampuan bicara : sulit dinilai
Kekuatan motoric : sulit dinilai
Refleks fisiologis : sulit dinilai
Refleks patologis : (-)

D. Status lokalis
o Terdapat hematom dan deformitas at reagio frontalis
o Terdapat hematom at region parietalis dextra

IV. Pemeriksaan Penunjang


HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,2 g/dl
Leukosit 18.620 ul
Trombosit 257.000/mm
Hematokrit 43,2%
Eritrosit 5,04 juta/mm
MCV 85,70
MCH 30,40
MCHC 35,40
Golongan darag A+
LED 1 jam 5 mm/jam
Diff Count
Basophil 0,2%
Eosinophil 4,6 %
Neutrofil 65,6%
Limfosit 24,2%
Monosit 5,3 %
Kimia Klinik
Glukosa stick 199 mg/dl
Sero Imunologi
HBsAg non reaktif
Koagulasi
PT 10,7 detik
APTT 21,7 detik
INR 1,09

Analisa Gas Darah


pH 7,3
pCO2 45
pO2 72
BE 1,4
HCO3 27,1
Kalium 3,0

CT SCAN
V. Difer
e nsial

Diagnosis
- SDH
- EDH
- Trauma Kepala dengan Defisit neurologis

VI. Tatalaksana
Terapi awal IGD
- Infus asering 20 tpm
- Manitol 250 mg bolus
- Inj. Citikolin 1 ampul
- Inj. Kalnexx 1 ampul
- Inj. Ondancentron 1 ampul
- Inj. Ketorolac 1 ampul
- Inj. Ceftriaxon 2gr/24 jam
- CT-Scan kepala
Advice dr. Syaichu, Sp.BS :
- Rencana operasi jam 15.00 WIB
- Konsul anestesi  ACC
- Sediakan PRC 2 kolf dan Whole blood 2 kolf
- Manitol 4 x 200
- Furosemid 2 x 1 ampul
- Asam tranexamat 3 x 500mg
- Ranitidin 2 x 1 ampul
- Paracetamol 4 x 1 gr
- Ambacin 2 x 1 gr

Laporan Operasi
Diagnosis Pra operatif : CKS + SDH + ICH
Diagnosis Post operatif : sesuai
Macam Operasi : Craniotomy
Tanggal operasi : 10 Maret 2018
Jam operasi dimulai : 17.00 WIB
Jam operasi selesai : 19.00 WIB
Lama operasi berlangsung : 120 menit
Kronologi selama operasi
- Insisi kulit lapis demi lapis
- Ditemukan SDH 30cc lysis 10cc
- Ditemukan sumber perdarahan intracerebri
- Tulang tidak dipasang kembali

Riwayat Rawat Inap


Follow up post operatif hari ke 1 ( 11 Maret 2018)
S :-
O : GCS  E1M2V-
Vital Sign
 Tekanan darah : 142/81mmHg
 Nadi : 76 x/menut
 Suhu : 37
 Respirasi : 22 x/menit
Mata :Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
A : Post OP Craniotomi e.c SDH + ICH
P : Terapi lanjut

Follow up post operatif hari ke 2 ( 12 Maret 2018)


S : kejang
O : GCS sulit dinilai
Vital Sign
 Tekanan darah : 145/80mmHg
 Nadi : 116 x/menut
 Suhu : 37,2
 Respirasi : 28 x/menit
GCS : tidak bisa dinilai
Mata :Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
A : Post OP Craniotomi e.c SDH + ICH
P : Terapi lanjut
Phenitoin 10 ampul dalam NaCL 100 cc
Maintenance phenytoin 3 x 100 mg
Furosemid stop

Follow up post operatif hari ke 3 ( 13 Maret 2018)


S :-
O : GCS tidak dapat dinilai
Vital Sign
 Tekanan darah : 140/84mmHg
 Nadi : 118 x/menut
 Suhu : 140/84
 Respirasi : 25 x/menit
Mata :Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
A : Post OP Craniotomi e.c SDH + ICH
P : Terapi lanjut

Tanggal 14 Maret 2018 jam 05.55 WIB


S: Apnea
O : HR (-), RR (-)
Pupil midriasis +/+
A: Cardiac arrest
P: - RJP 10 siklus + epinefrin 1 ampul
- KIE keluarga waktu kematian jam 06.00 WIB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI OTAK


A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio
temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk
tidak rata sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat
lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.

C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada
cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.4
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa sekitar 14 kg.7
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.

F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis

2.2 PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan
tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena
kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
2.3 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. GCS 9-13 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang.
3. GCS 14-15 didefinisikan sebagai cedera kepala ringan.

2.4 SUBDURAL HEMATOMA


2.4.1 Definisi
Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi, biasanya
telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak. Hematoma subdural
adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah
maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau
robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak.
Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses
bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal
progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
2.4.2 Epidemiologi
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus sporadic
sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena mereka biasanya
dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang terjadi pada perdarahan
subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong
melalui parenkim otak atau ruang subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu
hematom subdural akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian
retrospektif melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh.
Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada pasien >60
tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada remaja dengan umur 10-19
tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90
%, tetapi sekitar 60% adalah tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan
dengan pengobatan secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan
berkisar 11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur

2.4.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional
yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura
biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak
depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak
mengakibatkan fraktur tengkorak. Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh
trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga
tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan
ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus
terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan
pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural
hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan
mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada
pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat
terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua.
Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek
diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-
angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi
bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa
memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang
kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering
mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan
kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan
dari beberapa hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
 Trauma kapitis
 Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
 Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila
ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada
anak-anak.
 Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
 Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
 Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
2.4.4 Patofisiologi
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging
veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling
sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan
mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak
memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-
vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan subdural
paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering
disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari
hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil,
yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi
timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan
sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.
Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan
dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari
aliran sinus venosus. Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan
suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu
hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata
akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus
pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya
trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma
yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya
membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke
axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial
terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun
demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan
terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan
berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul
dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

2.4.5 Klasifikasi
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala
klinis yaitu:
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera
kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang
biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm
tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.
2) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah trauma. Pada subdural
sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih
tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena
hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat
terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau
tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan
pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah
dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada
tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia
di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

2.4.6 Manifestasi Klinis


Dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit
kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah trauma
kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses
desak ruang intrakranial, baru pada saat itu timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-
gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, “organic brain syndrom”,
hemiparesis ringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda
papiledema.
Gejala umum yang dapat tampak adalah :
 Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus.
 Tampak ada gangguan psikis.
 Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun.
 Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan
epilepsy, dan papiledema.
 Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari a.perikallosa
ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom subdural sendiri akan tampak
suatu daerah bebas kontras yang berbentuk bifocal.
 CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.

Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu dari karakteristik
berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan muntah-muntah dan eksaserbasi
batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan
inkonntinensia. Hemiparesis dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering
terjadi. Hemiparesis terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan
oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik
yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.

c. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut
(karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah.

2.4.7 Diagnosis
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat keparahan
dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka mata dan respon otot harus
dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan
kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya
dalam keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.
Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala
atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika
ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar
atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan
kejang setelah terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah
untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan
nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu
ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan
muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita,
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian
oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh.
Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan
juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan
pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan


Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis
fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka
mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan
diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS,


lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis.
Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil
terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil


hemostasis/koagulasi.

b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur
tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi
tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering
didapatkan kontralateral terhadap SDH.

c. CT-Scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi pasca-
trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.

1)Perdarahan Subdural Akut

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa
hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table)
tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam
jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk
cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti
epidural hematom dan biasanya unilateral.

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis
tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya.
Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift
hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.

Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak
bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana.
Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri
menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.

2)Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras
atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah
trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan
membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga
berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural
hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut
tanpa kontras.

3)Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran
CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah
terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi
heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan
antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).

d. MRI (Magnetic resonance imaging)

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan


ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut
penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan
parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan
CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera
axonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
Gambar . MRI pada SDH

(unipa.it)

2.4.8 Diagnosis Banding


1. Epidural Hematom

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang
tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria
meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica.
Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat
dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga
kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin
bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi
anisokori pupil.

Diagnosis diferensial dari hematoma subdural akut trauma adalah sama dengan
bahwa untuk setiap trauma, lesi massa intrakranial. Ini termasuk hematoma intraserebral
dan luka memar. Karena tentu saja variabel dan presentasi, termasuk kurangnya sering
riwayat trauma kepala, sebanyak 72% kasus hematoma subdural kronis salah didiagnosis
di era pra-computed tomography (CT). Sebelum ketersediaan CT, misdiagnoses umum
meliputi:
− Dementia
− Stroke
− Transient ischemic attack
− Tumor
− Subarachnoid hemorrhage
− Meningitis
− Encephalitis

2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya.

2.4.9 Penatalaksanaan

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan
tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medikamentosa
untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol
0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan. 2

Tindakan Tanpa Operasi

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal
hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian
mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini
mendapat perbaikan fungsional.

Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan
intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan
operasi untuk SDH.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse
axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan
karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi.

Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek
massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi
walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan
intraserebral.

Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi pusat
pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon untuk operasi.
2

Tindakan Operasi

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang
progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma.
Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:

a. Evakuasi seluruh SDH

b. Merawat sumber perdarahan

c. Reseksi parenkim otak yang nonviable

d. Mengeluarkan ICH yang ada.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran midline shift
> 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan pergeeran
struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara saat kejadian
sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Gambar . Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)

(catalog.nucleusinc.org)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik
adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal.
Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi
yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan
perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali.

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dengan
lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi sukar
untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau
volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume
hematoma lebih dari 200 ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif


dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih kraniotomi
luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma dan lokasi kerusakan parenkim otak.
Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana di dapatkan hematoma dalam jumlah banyak,
dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara
menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar dilepaskan,
duramater dibuka lebar dan hematoma dievakuasi dari permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan
surgical patties yang cukup lebar dan basah keruang subdural, dilakukan irigasi, kemudian
surgical patties disedot (suction). Surgical patties perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma
akan melekat pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan
memasukkan kateter kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral direseksi.
Dipasang drain 24 jam diruang subdural, duramater dijahit rapat.

Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi
dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh hematoma, merawat
perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema serebral pasca operasi.
Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal
dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita
yang tidak dioperasi dengan cara ini. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari
perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.

Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan
refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan
brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi, yaitu:

 Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata


 Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
 Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT scan kepala
tidak bisa dilakukan.

Gambar . Burr Hole

(catalog.nucleusinc.org)
Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan
setelah 6-8 minggu kemudian.

Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi
perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema,
irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus,
kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.
Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.

Follow-up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

2.4.10 Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak biasanya
berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin
memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca
trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah
kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial

Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase, sebanyak
5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis, seperti kejang,
pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti
massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.

Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari
pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan sekitar 12-22%.
Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak dan
meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari
hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi,
rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan.

2.4.11 Prognosis
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural kronik. Sementara
beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan tingkat preoperative dari fungsi
neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak. Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati
dengan adekuat setelah prosedur pembedahan.
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk semua dari 37
pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas dihubungkan dengan nonreaktif
pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata
yang bertahan hidup pada pasien dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil
akhirnya tidak dicatat

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Advance Trauma Life Support. American college of Surgeons Comitte on Trauma.
Bullock, Ross. Surgical Management of Subdural hematom. 2006.
Brunicardi, Charles. Principles of Surgery Ninth Edition. 2004
Gerald. Current Diagnosis & Treatment. Lange.
Heller, L Jacob. Subdural hematoma. Medline Plus. 2012
Karnath, Bernadh. Subdural hematom. Geriatrick Volume 59 No 7. 2004
Mardjono, Mahar ; Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar.
Meagher, J Richard. Subdural hematoma. Medscape. 2013
Price; Wilson. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta : EGC. 2004
Sastrodiningrat, A Gofar. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut. Medan :
Majalah kedokteran Nusantara Volume 39 No 3. 2006
Sloane. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 2004
Tjandra, Joe; Clunie, Gordon. Textbook of Surgery. Blacwell publishing. 2006
Wim de jong; Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC. 2004

Anda mungkin juga menyukai