Kulit
Kulit
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan
kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat
ditemukan hampir di semua tempat (Hidayati dkk, 2009). Dermatofitosis adalah penyakit pada
jaringan tubuh yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut,
serta kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, yang mampu mencernakan keratin.
Insiden dan prevalensi dermatofitosis cukup tinggi di dalam masyarakat baik di dalam maupun
Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis, disebabkan oleh jamur golongan dermatofita,.
Tinea kruris sering ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.
Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu sekitar 65-80%
Faktor penting yang berperan dalam penyebaran tinea kruris adalah kondisi kebersihan
lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang
ketat atau lembab. Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan oleh
karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi. Penyakit ini dapat bersifat
akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup
(Budimulja,2010).
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, kompetensi dokter umum dalam
menangani tinea kruris adalah 4A, yang artinya lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas (SKDI, 2012). Referat ini akan
1
2
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
2.1. Definisi
Tinea kruris merupakan jamur dermatofit yang mengenai daerah inguinal, paha
2.2 Epidemiologi
yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal. (Adiguna, 2011) Tinea
kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan menyerang laki-laki
tiga kali lebih sering dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum
2.3 Etiologi
(Budimulja, 2010).
2.4 Patogenesis
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian,
atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan
minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan
mencit.
3
3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan
pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan
suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan
reaksi jaringan atau radang. Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama,
yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
(keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini
distratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan
dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor
dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit.
Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan
dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam
untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut,
memicu pertumbuhan filament hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding
sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu
pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe
pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan
dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang
memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut)
yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons
cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari:
5
proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.
dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang
terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang
menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan
sekunder. Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak eritematosa berbatas
tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam dan seringkali bilateral
(Gambar 1). Skrotum biasanya jarang terlibat lesi disertai skuama selapis dengan tepi
yang meninggi.
6
Gambar 1. Plak eritematosa dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala umum
yang menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi maserasi dan
infeksi sekunder. Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan bagian tengah
tampak seperti menyembuh (central healing). Pada tepi lesi dapat disertai vesikel,
pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai keluarnya serum akibat garukan.
Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya likenifikasi disertai skuama dan
2.6 Diagnosis
Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat
dan tepi lebih aktif. Dari pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa pada sediaan
kuktur jamur dapat dilakukan, namun membutuhkan waktu yang lama. (James et.al,
2011)
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi atau aktif.
Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH 10-20% didapatkan hifa (dua
garis lurus sejajar transparan, bercabang dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa
artrospora (deretan spora di ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita (Gambar 3).
yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas sebagai teknik skrining
awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil
negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas
untuk dermatofitosis.
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah
2. Pemeriksaan kultur
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga
yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis
8
dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon
3. Pemeriksaan histopatologi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi yang
khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan terapi sistemik
pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin, hifa akan terlihat pada
stratum korneum. Pewarnaan yang paling sering digunakan adalah dengan periodic
acid-Schiff (PAS), jamur akan tampak merah muda dan methenamine silver stains,
Pemeriksa
Pemeriksaan
Predileksi Efloresesensi an Wood
KOH
Lamp
Eritrasma toe webspaces eritoskuamosa hifa - Merah Bata
(diantara jari
kaki, lipat paha,
aksila. Bisa
ditemukan di
daerah
intertriginosa
lain (terutama
pada penderita
gemuk)
intergluteal,
inframamary
Dermatitis Tumbuh pada Macula Spora + Warna hijau
seboroik area yang Eritematosa atau
terdapat plakat scaling
kelenjar batas tegas.
sebasea nya. Papul eritematosa
Lipatan Krusta tipis
dibawah sampai tebal yag
mamae, paha , kering atau basah
ketiak dan berminyak
gatal
Skuama
Biasanya
berminyak dan
agak kekuningan
9
2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana umum dan
khusus. Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana topikal
dan sistemik.
A.Tatalaksana Umum
Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah infeksi
berulang. Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber
infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama. Pengurangan keringat dan
penguapan dari daerah lipat paha, seperti penggunaan pakaian yang menyerap keringat
dan longgar juga penting dalam pencegahan agar daerah lipat paha tetap kering.
B. Tatalaksana Khusus
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja. Terapi
sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh dan tidak
sembuh dengan obat topikal yang sudah adekuat.9,10 Beberapa pilihan obat antijamur
isokonazol vioform 3%
sertakonazol
tiokonazol 6,5%
ketokonazol 2%
bifonazol
oksikonazol 1%
Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat digunakan dapat
Imidazol
- itrakonazol - Bersifat fungistatik
- Interaksi dengan obat lain cukup banyak
- Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml
- Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak)
- flukonazol
11
- ketokonazol
- Bersifat fungistatik
- Bersifat fungistatik
- Bersifat hepatotoksik
- Sediaan:
(Yosella T, 2015)
2.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan
BAB III
KESIMPULAN
Tinea kruris merupakan jamur dermatofit yang mengenai daerah inguinal, paha
bagian atas, bokong, pubis, genital, dan perianal. Tinea kruris terutama disebabkan oleh
berdasarkan karakteistik gambaran klinis yang khas yaitu gambaran polisiklik, bagian
tepi lesi tampak lebih aktif dibanding bagian tengah yang tampak seperti menyembuh
penambahan larutan KOH 10%, tampak hifa panjang, bereskat, dan bercabang, atau
seboroik. Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu umum dan khusus. Terapi
umum berupa edukasi kepada pasien untuk mejaga menjaga kebersihan area lesi dan tidak
lembab. Penatalalaksanaan khusus tinea kruris dibagi menjadi topikal dan sistemik. Terapi
topikal dapat diberikan dengan Alilamin, Imidasol, Naftionat, ataupun golongan lain.
Daftar Pustaka
Adiguna MS. 2011. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential. Denpasar:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;
Budimulja, 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; Hal. 89-100
Hidayati dkk, 2009. Mikosis superfisialis di divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan
kelamin rsud dr. Soetomo surabaya tahun 2003–2005. Surabaya: Department Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2009; 21(1)1-8.
James et.al, 2011. Disease of the Skin, Clinical Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier
Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia; 2012
Kurniati, 2008. Etiopatogenenis Dermatofita dalam jurnal FK Unair vol 20 No 23. Hal: 5-7.
Paramata NR, dkk.,2009. The Comparison of Sensitivity Test of Itraconazole Agent The Causes
of Dermatophytosis in Glabrous Skin In Makassar. Makassar: Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. Makassar
Schieke SM, 2012. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill;. p.2277-2297
Yosella T, 2015. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2) Hal. 122-28