Anda di halaman 1dari 11

Analisa Profesi Hukum : Hakim

Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala bidang di
antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan
dengan carut marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas
hakim dan pengabdian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan orientasi
dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan hukum dan pihak yang sering
disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, terutama oleh hakim. Hakim adalah
salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatur) yang sudah memiliki kode etik sebagai
standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal, namun realitanya para kalangan
profesi hakim belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan
profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi,
sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari masyarakat.
Banyak realita yang bisa dilihat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan
profesi hakim yang menyimpang dari kode etiknya. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang
salah tidak diberikan hukuman yang besar bahkan dibebaskan dari segala tuntutan. Hal ini
jelas melanggar kode etik hakim yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak mebeda-bedakan orang. Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak
pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan
pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim dimana ketika memanfaatkan
jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan.
Berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa
adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseranpun terjadi dan sampai
muncul istilah mafia peradilan. Indikasi tersebut menunjukkan hal yang serius dalam
penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa
dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya
sendiri. Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah dengan menegakkan etika,
profesionalisme serta disiplin. Berdasrkan realita bahwa banyaknya kalangan profesi hakim
yang mengabaikan nilai-nilai moral terutama nilai-nilai yang ada dalam kode etik hakim.

A. Definisi Hakim

Hakim merupakan pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Dari peranannya yang
sangat penting dan sebagai profesi terhormat (offilium nobile), maka hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti hakim dalam
menyelesaikan perkara yang diajukan, wajib memperhatikan denga nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyakarat sehingga putusannya sesuai dengan rasa kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus
ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri.
Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui
putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan
tidak hanya dipertanggung-jawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan
Yang Maha Esa, sehingga setiap keputusan hakim benar-benar berorientasi kepada
penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagaimana yang diharpkan dalam kode etik
profesi hakim yang dimana kode etik tersebut merupakan kesesuaian sikap yang harus
dijunjung tinggi oleh hakim dengan jiwa pancasila.

Dalam dinamika kehidupan sehari-sehari tidak jarang terjadi konflik kepentingan


antarwarga masyarakat. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan konflik kepentingan
dengan baik demi terpeliharanya ketertiban yang berkedamaian di dalam masyarakat,
diperlukan adanya institusi (kelembagaan) khusus yang mampu memberikan penyelesaian
secara tidak memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan-patokan yang berlaku secara
objektif. Demikianlah, melalui proses yang panjang terbentuklah institusi peradilan lengkap
dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim, advokat,
dan jaksa.
Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan pemeriksaan,
penilaian, dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu situasi
konkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkannya secara imparsial
berdasarkan hukum (oatokan objektif). Wewenang itulah yang disebut kewenangan
(kekuasaan) kehakiman atau kewenangan judisial. Pengambilan keputusan dalam
mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut, dalam kenyataan konkret, dilaksanakan oleh
pejabat lembaga peradilan yang dinamakan hakim. Lembaga peradilannya disebut
pengadilan.
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara
(konlik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan hubungan
hukum, nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam
situasi yang dihadapkan kepadanya, atau, sebagaimana dikatakan oleh John Marshall dalam
kasus Marbury v Madison : “to say what the law is”, menyatakan apa hukumnya bagi situasi
konkret tertentu.
Ini berarti, menyelesaikan konflik berdasarkan hukum, asas-asas kebenaran dan
keadilan. Sehubungan dengan fungsinya itu tadi, maka hakim haruslah menjadi “the living
oracle of the law” (Blackstone), dan sebagai demikian ia seperti dikatakan Wyzanski juga
harus berperan sebagai juru bicara nilai-nilai fundamental dari masyarakat atau “the
spokesmen of the fundamental values of the community”. Hal ini yang dikemukakan tadi
hanya mungkin terwujud, jika para hakim dalam menjalankan tugasnya selalu mengacu pada
penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan demikian tugas pokok hakim adalah
selain memberikan penyelesaian definitif terhadap sengketa yang dihadapkan kepadanya dan
pembentukan hukum baru yang sesuai, juga melaksanakan pendidikan.
Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan kepadanya secara
imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para
hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak yang manapun, termasuk dari
pemerintah. Dalam mengambil keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang
relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.
Tetapi, penentuan fakta-fakta mana yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan
kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang
dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan itu sendiri. Dengan demikian, jelas
bahwa hakim atau para hakim memiliki “kekuasaan” yang besar terhadap para pihak
(yustisiabel) berkenaan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau
para hakim tersebut.
Namun, dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan tugasnya
sepenuhnya memikul tanggung-jawab yang besar dan harus menyadari tanggung-jawabnya
itu. Sebab, keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para
yustiabel dan/atau orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan tersebut;
keputusan hakim tersebut mengubah nasib orag-orang tertentu. Keputusan hakim yang tidak
adil bahkan dapat mengakibatkan penderitaan lahir dan bathin yang dpaat membekas dalam
bathin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.
Dalam suatu negara hukum, hakim itu adalah pejabat negara yang tugas utamanya
adalah memberikan penyelesaian definitif terhadap konflik atau sengketa antar-warga
masyarakat atau warga masyarakat dan pemeritah yang dihadapkan kepadanya secara
imparsial, obyektif, adil, dan manusiawi. Agar proses penyelesaian konflik itu dapat
dilakukan secara imparsial, maka dalam menjalankan tugasnya hakim harus memiliki
kebebasan dari campur tangan siapapun, termasuk dari pemerintah, yang disebut kebebasan
kekuasaan kehakiman, dan ia tidak boleh memiliki hubungan tertentu dengan para pihak yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan, misalnya hubungan darah atau hubungan
kekeluargaan yang dekat.
Tuntutan imparsialitas dan obyektifitas itu mengimplikasikan kekuasaan kehakiman
yang bebas. Selain itu, untuk menjaga imparsialitasnya (ketidakberpihaknya), hakim baru
bersifat pasif dalam arti bahwa ia harus menunggu sampai suatu sengketa dihadapkan
kepadanya untuk memperoleh penyelesaian, dan tidak boleh mengambil prakarsa sendiri
untuk menyelesaikan suatu sengketa. Sebab, jika hakim bertindak aktif untuk atas prakarsa
sendiri memnetapkan bahwa suatu peristiwa atau suatu keadaan atau suatu hal adalah sebuah
sengketa yang harus diselesaikannya, maka ia akan sudah berprasangka dan proses
penyelesaiannya akan bias karena akan dipengaruhi oleh prasangkanya itu, dan putusannya
akan menjadi tidak imparsial, tidak obyektif dan tidak adil lagi. (mengahadapkan kasus
tersebut kepada hakim), demi penegakan hukum.
Tepatnya, tugas hakim itu adalah untuk mewujudkan keadilan secara berkepastian
dengan setepat mungkin menerapkan kaidah hukum positif yang berlaku, jadi mewujudkan
keadilan dengan menerapkan kaidah hukum positif. Atau dengan kata lain, menerapkan
hukum positif secara adil atau demi untuk mewujudkan keadilan.
Agar putusannya obyektif, maka putusan yang diambilnya untuk memberikan
penyelesaian atas sengketa yang dihadapkan kepadanya harus selalu berdasarkan fakta-fakta
yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan, dan berdasarkan patokan-
patokan obyektif yang berlaku umum, yakni kaidah hukum positif yang berlaku sebagaimana
yang dirumuskan dalam perundang-undangan yang ruang lingkup penerapannya mencakup
fakta-fakta tersebut tadi dengan secara eksplisit mnyebutkan ketentuan perundang-undangan
yang dijadikan dasar bagi putusannya, atau kaidah hukum positif yang berwujud hukum
kebiasaan (hukum tidak tertulis).
Di Indonesia, hal ini pada saat sekarang ditegaskan dalam Pasal 50 ayat 1 Undang-
Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, yang menetapkan:
“segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk megadili”.
Fakta fakta dan aturan hukum positif dijadikan dasar untuk putusannya harus dikemukakan
secara eksplisit dalam pertimbangan-pertimbangan dari putusan tersebut. Dalam bahasa
hukum, pertimbangan yang memuat alsan-alsan faktual dan dasar hukum dari putusan itu
disebut motivering.
Agar proses penyelesaian sengketa lewat peradilan dapat berlansung secara imparsial
dan obyektif, maka proses tersebut harus dilakukan melalui prosedur yang dapat menjamin
imparsialitas dan obyektifitas dan dibakukan dalam seperangkat kaidah-kaidah hukum yang
disebut Hukum Acara atau hukum Prosedural. Dalam kaitan dengan upaya untuk menjamin
imparsialitas proses penyelesaian konflik itu, maka hukum Acara tersebut harus memuat
ketentuan-ketentuan dan asas-asas tentang pembagian beban pembuktian, audi et alteram
partem (mendengar semua pihak terkait), dan kewajiban memberikan motivering kehakiman.
Dalam sebuah negara hukum, perangkat kaidah-kaidah hukum acara itu dirumuskan secara
tertulis dalam perundang-undangan yang harus diterapkan secara ketat. Penyimpangan
terhadap aturan prosedural ini pada dasarnya harus dipandang sebagai kolusi yang melawan
hukum. Karena itu, jika terjadi suatu keadaan yang memaksa harus dilakukan penyimpangan,
demi terwujudnya keadilan misalnya, maka penyimpangn ini harus dapat dipertanggung-
jawabkan yang diungkapkan secara eksplisit dalam pertimbangan (motivering) dari putusan
hakim terkait, sehingga dari berbagai segi penyimpangan tersebut secara rasional dapat
diterima dan dibenarkan.
Berdasarkan uraian tadi, hakim harus memiliki sikap etis atau etika profesi hakim
yang berintikan: takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil bijaksana, imparsial (tidak
memihak), sopan, sabar, memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Sikap etis
tadi harus tercermin dalam perilaku sehari-hari yang bebas dari cela. Hanya dengan bersikap
etia demikian saja, para hakim akan mampu memelihara martabat dan kewibawaan profesi
hakim. Di indonesia pada masa kini etika profesi itu telah dijabarkan ke dalam kode
kehormatan hakim yang ditetapkan oleh Rapat Kerja Para Ketua Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negri di bawah pimpinan Mahkamah Agung pada tahun 1996, yang kemudian
diteguhkan dan dimantapkan dalam Musyawarah Nasional Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)
ke IC pada tanggal 23 Maret 1998. Kemudian, Kode Kehormatan hakim itu diganti dengan
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial
Republik Indonesia, Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009,
tentang kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Hakim harus mempunyai sifat yang tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal
dengan “Panca Dharma Hakim”, terdiri dari:
1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman, dan ketidakadilan.
3. Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan beribawa.
4. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
5. Tirta, yaitu sifat jujur.

B. Kode Etik Hakim di Inonesia


Pentingnya Kode Etik Profesi Hakim
Profesi luhur dan terhormat ini sudah lama dicemari oleh pelaku profesi hukum
sendiri. Selama ini profesional hukum lebih memihak pada kekuasaan dan konglomerat
daripada rasa keadilan masyarakat. Aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental pada
penyelenggaraan peradilan. Akibatnya, profesi hukum dituduh sebagai salah satu white color
crime (pejabat berdasi) atau educated criminals (pejabat terpelajar). Penyalahgunaan ini
dapat terjadi karena aspek persaingan dalam mencapai popuralitas diri dan financial atau
karena tidak adanya disiplin diri. Kaum profesional ini berkompetisi dengan menginjak-injak
asas solidaritas dengan teman seprofesi dan asas solidaritas pada klien atau pencari keadilan
yang kurang mampu kecenderungan ini terjadi karena pelaku profesi hukum membisniskan
profesinya.
Untuk itu, diperlukan para profesional hukum yang memiliki sejumlah kualitas diri,
seperti :
a. Sikap kemanusiaan, agar tidak menanggapi hukum hanya secara formal, tetapi selalu
mendahulukan hukum secara materiel dengan mengutamakan penghormatan pada hak
asasi manusia;
b. Sikap keadilan untuk menentukan apa yang layak bagi masyarakat agar terjamin rasa
keadilannya;
c. Sikap kepatutan, dalam mempertimbangkan apa yang sungguh-sungguh adil dalam
satu perkara;
d. Sikap jujur agar tidak ikut-ikutan dalam mafia peradilan. Dalam konteks ini,
universitas sebagai lembaga yang menghasilkan sarjana hukum, perlu secara dini
membekali mahasiswanya dengan pendidikan akhlak (budi pekerti) dan pengenalan
mengenai etika profesi hukum.
Akan tetapi, bobot dan kualitas penguasaan hukum saja tidak cukup. Seorang profesional
hukum juga harus bermoral. Dalam arti ini, diperlukan suatu kode etik bagi pengemban
profesi hukum. Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi profesional
hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata masyarakat. Kode
etik dan penguasaan hukum ini bersifat komplementer, saling mengisi dan menguatkan jati
diri para profesi hukum. Kode etik juga merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang
wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum. Di dalamnya terdapat daftar
kewajiban khusus bagi setiap anggota profesi hukum untuk mengatur tingkah lakunya dalam
masyarakat dan diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh anggota profesi hukum. Kode
etik ini mengikat para pelaku profesi hukum agar senantiasa menaati kode etik tersebut. kode
etik itu menjadi ukuran moralitas anggota profesi hukum, motivasi tindakan, dan ruang
lingkup tindakan itu dilakukan. Ini dimaksudkan agar setiap anggota profesi hukum wajib
mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki yang dituangkan dalam kode etik, dan
tidak pernah mendapat paksaan dari luar.
Robert D. Khan membeberkan lima manfaat kode etik, yaitu:
a. Kode etik menjadi tempat perlindungan bagi anggota manakala berhadapan dengan
persaingan yang tidak sehat dan tidak jujur, dan dalam mengembangkan profesi yang
sesuai dengan cita-cita dan rasa keadilan masyarakat;
b. Kode etik menjamin rasa solidaritas dan kolegilitas antar anggota utuk saling
menghormati;
c. Kode etik mengukuhkan ikatan persaudaraan diantara para anggota, terutama apabila
menghadapi campur tangan dari pihak lain;
d. Kode etik menuntut anggotanya harus memiliki kualitas pengetahuan hukum;
e. Kode etik mewajibkan anggotanya untuk mendahulukan pelayanan kepada
masyarakat.

Kode etik profesi hukum memuat kewajiban dan keharusan untuk menjalankan
profesinya secara bertanggung jawab atas hasil dan dampak dari perbuatannya dan keharusan
untuk tidak melanggar hak-hak orang lain. Melalui kode etik ini, para profesional hukum
diharapkan memiliki beberapa kualitas diri yang menjadi acuan penilaian dan sikap moralnya
dalam menjalankan profesinya. Kualitas moral tersbeut adalah kejujuran kepada hati
nuraninya sendiri. Kejujuran adalah dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara
moral. Orang dapat membedakan mana haknya dan mana hak orang lain.

1. Maksud dan Tujuan Kode Etik Profesi


Adapun maksud dan tujuan dibuat kode etik profesi hakim sebagai berikut :
Pertama: sebagai alat, yaitu untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter
hakim serta untuk pengawasan tingkah laku hakim dalam kerangka ini profesionalitas
kinerja seorang hakim dapat terbentuk melalui penigkatan kualitas/kemampuan dalam
pemahaman dan penerapan dari aturan-aturan yang ada, dan kesemuanya itu tidak bisa
meninggalkan prinsip-prinsip kode etik hakim yang telah disepakati. Artinya, bahwa
seorang hakim tidak bisa menjalankan profesinya tanpa mengindahkan etika-etika profesi
yang ada sehingga dengan adanya etika profesi ini diharapkan muncul kesadaran dan
tanggung jawab untuk menegakkan keadilan.
Kedua: sebagai sarana kontrol sosial, mencegah campur tangan ekstra yudisial serta
sebagai sarana pencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesama anggota dan
antar anggota dengan masyarakat. Sebagai sarana kontrol , bahwa hakim sebagai korps
merupakan komunitas yang tidak lepas dari proses interaksi dimana dalam proses interaksi
tersebut selalu terbuka peluang munculnya ketidaksamaan pendapat, bahkan konflik dan
pelanggaran-pelanggaran yang kesemuanya itu tidak mungkin dieliminasi jika tidak ada
aturan-aturan (rambu-rambu)yang mengikat tanggungjawab profesinya. Kedudukan kode
etik hakim dalam hal ini merupakan pengawas yang menjadi kontrol terhadap semua
aktivitas yang dilakukan oleh anggota hakim. Pada kenyataannya, bentuk campur tangan
ekstra yudisial, intervensi politik penguasa, godaan materi, budaya feudal, kolusi dan
mafia praktek peradilan selalu menghantui hakim untuk bertindak menyimpang, sehingga
tidak mampu menegakkan keadilan sebagaimana yang diharapkan. Ketidakmampuan
hakim dalam melepaskan diri dari bentuk campur tangan tersebut akan menghilangkan
kemandiriannya. Oleh karena itu, keberadaan kode etik ini diharapkan dapat
meminimalisir adanya praktik-praktir penyimpangan dalam dunia peradilan.
Ketiga: untuk lebih memberikan jaminan bagi peningkatan moralitas dan kemandirian
fungsional bagi hakim.

2. Kode Etik Hakim


Kode etik hakim bersifat universal, terdapat dinegara manapun. Termasuk Negara
Republik Indonesia, karena dalam kode etik terkandung nilai-nilai kebaikan yang sudah
selayaknya dipatuhi oleh para hakim. Seperti yang sudah penulis katakan diawal bahwa
kode etik dan pedoman perilaku hakim itu diatur dalam Surat Keputusan bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKIV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kode etik hakim merupakan aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap hakim
Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai hakim. Kode etik dan/atau pedoman
perilaku hakim adalah panduan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam menjalankan tugas profesinya dan dalam
hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan. Maksud penegakkan kode etik dan pedoman
perilaku hakim dimaksudkan sebagai acuan dalam rangka menegakkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim bertujuan untuk menciptakan kepastian dan kepahaman dalam
penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Kode etik hakim terdiri dari 4 butir, yaitu :
1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab)
2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana)
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun)
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Dalam forum Internasional Judicial conference di Banglore India tahun 2001,
berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim sedunia yang dikenal dengan The
Bongalore Draft ang didalamnya terkandung 6 prinsip yang harus dijadikan pegangan bagi
hakim secara universal, yaitu:
1. Indipendensi (Indipendence Principle)
2. Ketidakberpihakan (impartially Principle)
3. Integritas (Integrity Principle)
4. Kepantasan dan kesopanan (Property Principle)
5. Kesetaraan (Equality Priciple)
6. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligent Principle)

Prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim diimplementasikan


dalam 10 aturan perilaku sebagai berikut :
1) Berperilaku Adil
Berperilaku adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua
orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling
mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang
sama (equality dan fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang
melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab
menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu beraku adil dengan tidak
membeda-bedakan orang.
2) Berperilaku Jujur
Berperilaku jujur bermakna dapat berani menyatakan bahwa yang benar
adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi
yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil.
Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak setiap orang baik
dalam persidangan maupun diluar persidangan.
3) Berperilaku arif dan bijaksana
Berperilaku arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan
norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma
keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi
dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan situasi dan kondisi pada
saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif
dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai
tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
4) Bersikap mandiri
Berperilaku mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak
lain, bebas dari campur tangan siapain dsn bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri
mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip
dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang
berlaku.
5) Berintegritas Tinggi
6) Bertanggung Jawab
Berperilaku bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan
sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki
keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan
tugasnya tersebut.
7) Menjunjung tinggi harga diri
8) Berdisplin tinggi
9) Berperilaku rendah hati
10) Bersikap profesional
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad utuk
melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh
keahlian atas pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas. Sikap profesional akan
mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu
pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga
tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif, dan efisien.

Adanya beberapa perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan oleh hakim,
diantaranya :
1. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berpekara atau
kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk
mempengaruhi hakim yang bersangkutan.
2. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim,
orangtua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima
janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari
advokat; penuntut; orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan
diadili.
3. Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga
atau pihak ketiga lainnya.
4. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksanaan
perkara, menunda eksekusi, atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu
perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
5. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai hakim untuk mengejar
kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan finansial.

Apabila hakim melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, maka hakim dapat
dikatakan melakukan pelanggaran. Pelanggaran adalah setiap sikap,ucapan, dan/atau
erbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim yang bertentangan dengan norma-norma
yang ditentukan dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim. Seorang hakim yang
terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik akan dikenakan sanksi.
Sanksi terdiri dari: sanksi ringan, sanksi sedang, sanksi berat
1. Sanksi ringan terdiri dari :
a. Teguran lisan
b. Tegutan tertulis
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Sanksi sedang terdiri dari :
a. Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 tahun;
b. Penurunan gaji sebesar 1 kali kenaikkan gaji berkala paling lama 1 tahun;
c. Penundaan kenaikkan pangkat paling lama 1 tahun;
d. Hakim nonpalu paling lama 6 bulan;
e. Mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah;
f. Pembatalan atau penangguhan promosi.
3. Sedangkan sanksi berat terdiri dari;
a. Pembebasan dari jabatan;
b. Hakim nonpalu lebih dari 6 bulan dan paling lama 2 tahun; penurunan pangkat
pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 tahun;
c. Pemberhentian tetap dengan hak pensiun;
d. Pemberhentian tidak dengan hormat.
Yang dimaksud dengan hakim nonpalu adalah hakim yang dijatuhkan sanksi tidak
diperkenankan memeriksa dan mengadili perkara dalam tenggang waktu tertentu.
Pemberhentian adalah pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan
hormat sedangkan Pemberhentian sementara adalah pemberhentian untuk waktu tertentu
terhadap seorang hakim sebelum adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana yang
dijalaninya berkekuatan hukum tetap atau keputusan pemberhentian tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, sementara yang dimaksud dengan pemberhentian tetap
dengan hak pensiun sebagaimana dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial, dimaknai sebagai pemberhentian dengan hormat.

3. Penegakkan Kode Etik Hakim dalam Menangani Perkara di Pengadilan


Secara umum dikenal pelanggaran kode etik yang paling banyak berkaitan dengan
hakim, yaitu pengaruh politik baik yang dilakukan oleh pihak legislatif, maupun eksekutif
serta penyuapan. Pengaruh politik mengambil beragam bentuk, tidak hanya berupa
ancaman, intimidasi ataupun penyuapan, tetapi juga manipulasi dalam pengangkatan
hakim, gaji serta kondisi-kondisi saat hakim menjalankan tugasnya.
Kondisi faktual tersebut terdapat beberapa sikap hakim yang dapat diajukan yaitu:
pertama, hakim yang memang rakus dan aktif menawarkan penyelesiaan perkara dengan
meminta imbalan materi. Hakim ini dikategorikan sebagai hakim materialis. Kedua, hakim
yang selalu mengikuti arah angin, jika diberi hadiah oleh pihak-pihak yang berkepentingan
diterima, kalau tidak diam saja. Golongan ini yang paling banyak jumlahnya. Hakim ini,
dikategorikan hakim pragmatis. Ketiga, hakim yang aktif menolak pemberian apapun dari
pihak-pihak tertentu (terdakwa), akan tetapi golongan ketiga ini sangat sedikit jumlahnya.
Hakim ini dikategorikan idealis.

C. Contoh Kasus
Walaupun kewenangan, kewajiban, serta larangan-larangan profesi hakim sudah diatur
jelas dalam undang-undang dan kode etik hakim, tetapi pada kenyataanya masih banyak
terjadi berbagai penyimpangan dan pelanggara yang dilakukan oleh beberapa pihak yang
menjabat sebagai hakim. Salah satu kasus yang pernah terjadi ialah kasus yang menjerat
seorang hakim bernama M. Akil Mochtar.
Bermula dari kasus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan
Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, yang kasusnya dibawa ke MK dan Akil Mochtar saat
itu menjabat ketua MK dan KPK mencium akan ada penyuapan.

Kronologi pengintaian KPK sampai akil tertangkap :


1. Awal september 2013
KPK sudah mulai melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi
yang akan dilakukan oleh Akil Mochtar selaku hakim Mahkamah Konstitusi. KPK
membuntuti mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar tersebut, TB.Chaeri Wardana
adik Atut Chosiyah Gubernur Banten, dll.
2. Rabu, 2 September 2013
Berdasarkan penyelidikan itu, diketahui akanj ada transaksi dirumah Akil Jalan Widya
Chandra III no.7 Jaksel. “informasinya akan ada penyerahan uang yang akan
diserahkan oleh pihak-pihak yang berperkara terkait dengan sengketa pilkada di
Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, dan Pilkada Kabupaten Lebak Banten”.

Kode etik yang dilanggar :


Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Abbas Said mengatakan bahwa Akil
terbukti melanggar kode etik karena memutuskan suatu perkara dengan bias ke salah satu
pihak. Selain itu, Akil melanggar kode etik dengan memerintahkan sekretaris Yuanna
Sisilia dan sopir Daryono untuk mentransfer sejumlah dana dalam jumlah yang tidak
wajar. Akil tidak hanya mengizinkan, tapi juga melakukan transaksi keuangan dalam
jumlah yang tidak wajar.

Pasal yang dikenakan :


1. Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1
2. KUHP atau Pasal 6 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
3. Pasal 12 huruf C UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 ayat 2 UU
Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
4. Pasal untuk menjerat Akil, yaitu Pasal 12B UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.
5. Pasal 3 dan 4 UU No 8/2010 tentang TPPU dan Pasal 3 atau Pasal 6 ayat 1 UU Nomor
15/2002 UU tentang TPPU jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Keputusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi


Karier Ketua MK nonaktif, M. Akil Mochtar, berakhir diujung palu Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi (MKK). Majelis yang diketuai Harjono menjatuhkan sanksi berat berupa
pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat. Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip
Etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan
Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai