Anda di halaman 1dari 6

2.4.

Asas Kepemimpinan Pancasila

Dikalangan ABRI telah dirumuskan sebelas asas kepemimpinan, yang


telah digali dari nilai-nilai kepemimpinan di bumi Indonesia. Semua
asas itu dapat diterapkan pada tugas-tugas kepemimpinan pada
semua sektor dan eselon, mulai dari guru dan lurah di desa, sampai
pada pejabat-pejabat lokal, regional, dan di pusat pemerintahan.
Yang paling penting dari kesebelas asas tersebut ialah tiga asas
pertama, yang sangat ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantara, dan pada
akhirnya dijadikan prinsip utama kepemimpinan Pancasila. Kesebelas
asas tersebut ialah :
1. Ing Ngarsa sung Tulada (di depan memberikan teladan)
Pemimpin yang baik adalah orang yang berani berjalan di depan,
untuk menjadi ujung tombak dan tameng/perisai di arena
perjuangan, untuk menghadapi rintangan dan bahay-bahaya dalam
merintis segala macam usaha. Dengan tekad besar dan keberanian
yang membara dia harus sanggup bekerja paling berat, sambil
menegakkan disiplin diri sendiri maupun disiplin pengikutnya. Di
depan dia menjadi teladan yang baik.
Seorang pemimpin harus menngabdikan diri kepada kepentingan
umum dan kepentingan segenap anggota organisasi. Dia bukan
hanya pandai memberi perintah saja, akan tetapi juga bijaksana
dalam memberikan petunuju-petunjuk, nasihat-nasihat,
perlindungan dan pertimbangan. Di depan dia harus benar-benar
berani menjadi ”ujung tombak” bagi setiap usaha rintisan dan
perjuangan.

2. Ing Madya Mangun Karsa ( di tengah membangun motivasi dan


kemauan)

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau terjun di tengah-


tengah anak buahnya, merasa senasib sepenanggungan sanggup
menggugah dan membangkitkan gairah serta motivasi kerja,
semangat tempur/juang, dan etik kerja yang tinggi. Karena dia ada di
tengah-tengah anak buahnya, maka dia selalu tanggap dan mampu
berpikir serta bertindak dengan cepat serta tepat, sesuai dengan
tuntutan kondisi dan situasinya.
Pemimpin yang sedemikian itu selalu memiliki kesentosaan batin.
Dia menghayati kesulitan anak buahnya, dan ikut merasakan
peristiwa-peristiwa yang gawat bersama-sama para pengikutnya.

3. Tut Wuri Handayani

Pada saat yang tepat pemimpin juga harus sanggup berdiri di


belakang anak buahnya. Hal ini bukan berarti bahwa dengan kecut
hati pemimpin ”bersembunyi” di belakang pengikutnya, dan
mengekor di balik kekuatan anak buahnya. Akan tetapi harus
diartikan sebagai mau memberikan dorongan dan kebebasan, agar
bawahannya mau berprakarsa, berani berinisiatif, dan memiliki
kepercayaan diri untuk berpartisipasi dan berkarya dan tidak selalu
bergantung pada perintah atasan saja.
Nasihat-nasihat, koreksi, dan petunjuk-petunjuk akan selalu
diberikan atas dasar rasa sayang pada anak buah, dan didorong oleh
rasa tanggung jawab besar akan keberhasilan usaha yang dilakukan
bersama-sama. Dengan demikian, walaupun pemimpin berdiri
dibelakang, namun fungsinya memberikan daya kekuatan dan
dukungan moril untuk memperkuat setiap langkah dan tindakan
bawahannya. Ringkasnya, dibelakang dia mendorong dan memberi
pengaruh baik ”yang menguatkan” kepada anak buahnya yang
dipimpinnya.

4. Takwa kepada TYME


Pemimpin Indonesia dituntut agar memiliki keyakinan beragama,
keimanan, dan ketakwaan yang teguh terhadap Tuhan yang Maha
Esa. Kesadaran sedemikian menimbulkan pengertian bahwa setiap
insan Indonesia mempeunyai kedudukan yang sama tingginya di
hadapan Tuhan. Kesadaran tersebut menginsyafkan seorang
pemimpin, bahwa dirinya bukan seorang yang maha super, bukan
pula sumber kewenangan yang mutlak dalam menentukan
permasalahandan kedudukan orang lain, terutama bawahan dan
pengikut-pengikutnya.
Kesadaran beragama dan keimanan akan menjadikan orang tidak
merasa lebih tinggi dari orang lain, sehingga dia memiliki perasaan
kasih sayang, belas kasih terhadap sesama, dan semangat
persaudaraan terhadap bawahan yang harus dibimbing dan
dikembangkan. Karena itu keimanan kapada Tuhan akan membawa
orang untuk selalu berbuat adil, benar, jujur, sabar, tekun dan
rendah hati (tidak sombong).
Kepercayaan kepada Tuhan akan membuat kalbu dan hati menjadi
bersih dan suci lahir batin dan membuat pemimpin menjadi hening,
heling, dan awas waspada.
”Hening” dalam bahasa Indonesianya berarti diam, teduh, tenang.
Dalam hal ini pemimpin diharapkan memiliki batin yang telah
mengendap, sehingga dia selalu imbang tenang, tidak pernah gentar,
tidak mudah menjadi gugup, khususnya pada saat-saat yang gawat.
Dalam menghadapi cobaan hidup dan bahaya yang mengancam
jiwapun dia harus tetap tenang dan tidak menjadi panik. Sebab
apabila dia menjadi takut dan panik, maka para pengikutnya menjadi
kacau, dan organisasi mendapatkan kerugian. ”Heneng” tenang,
namun penuh ketabahan menghadapi segala tugas-tugas pekerja,
serta harus berupaya mencari jalan keluar dari jalan buntu, dan tidak
pernah kehabisan akal menyelesaikan setiap permasalahan yan
harus ditangani.
”Hening” artinya bening, bersih, suci, sejati, ceria, jernih, murni.
Pemimpin itu harus memiliki keheningan batin, yaitu ketulusan,
kelurusan dan keikhlasan. Dia selalu bersikap jujur terhadap diri
sendiri dan terhadap para pengikutnya, tanpa memiliki pamrih
kecuali mengabdi dan melayani sebagai seorang pemimpin. Dalam
keheningan rasa dan ciptanya, dia selalu tekun memikirkan kemajuan
organisasi dan kesejahteraan anak buah yang dibina dan
dibimbingnya.
Heling , artinya ingat, sadar, dan insyaf. Yaitu menyadari hakikta
alam dengan segala hukum-hukumnya, juga selalu ingat pada
perilaku yang luhur, baik dan jujur. Dengan demikian akan terhindar
kesulitan, bahaya, kesdihan, kemelaratan, kesengsaraan dan
penderitaan. Ingat pula bahwa keserakahan hati, kemunafikkan dan
kejahatan itu selalu akan menyebarkan malapetaka dan kesedihan,
baik pada diri sendiri maupun bagi rakyat banyak.
” Awas” artinya dapat melihat. Dapat melihat gejala yang ada di
dunia, dengan jalan menguak tabir penyelubung, sehingga setiap
peristiwa tampak jelas tanpa penutup, dan bisa dipahami benar
karena semua sudah terbuka, orang tidak perlu merasa ragu-ragu,
takut, dan cemas. Maka dengan kemampuan menyingkap segala
tabir kehidupan, akan tersingkap semua rahasia. Orang tidak menjadi
takut, bahkan justru dapat membuat macam-macam rencana untuk
masa depan. Semua kesulitan dan hambatan bisa diatasi, sehingga
perencanaan dan pelaksanaan kerja bisa diselesaikan menurut
jadwal semula.
Awas itu juga mengandung pengertian waspada dan bijaksana.
Waspada itu tajam penglihatan, antisipatoris, bahkan menembuas
penglihatan ke depan, tahu sebelum terjadinya sesuatu.
Bijaksana itu mengandung pengertia pandai, cakap, mahir,
bijaksana, mahir, ahli, berpengalaman, cerdik banyak akal, sehingga
pribadi yang bersangkutan memiliki kewibawaan untuk memimpin.

5. Waspada purba wisesa (waspada dan berkuasa)

Waspada itu mempunyai ketajaman penglihatan dan juga mampu


menembus penglihatan ke depan, mampu mengadakan forecasting
atau meramal bagi masa mendatang, atau bersifat futuristik. Sedang
”murba” atau ”purba” itu artinya mampu mencipta atau mampu
mengendalikan menguasai.
Wasesa ialah keunggulan, kelebihan, kekuasaan berdasarkan
kewibawaan, atau kewibawaan yang disertai kekuasaan. Jadi purba
wasesa ialah mampu menciptakan dan mengendalikan semua
kelebihan/keunggulan dan kekuasaan.

6. Ambeg paramarta
Ambeg itu artinya mempunyai sifat-sifat. Paramarta (sansekerta
:paramartha) artinya yang benar, yang hakiki. Maka ambeg
paramartha itu artinya murah, karim, dermawan, mulia, murni, baik
hati. Biasanya ”paramartha” selalu disertai dengan ”adil” jadi ambeg
adil-paramartha berarti : bersikap adil, mampu membedakan yang
penting dan yang tidak penting, sehingga mendahulukan hal-hal yang
perlu dan penting, dan menomorduakan peristiwa-peristiwa yang
remeh dan tidak penting. Jadi, pemimpin itu harus cakap menyusun
satu sistem hierarki, agar selalu dapat memeriksa (haniti priksa),
serta menata segala usaha dan prilaku. Ringkasnya, dia mampu
dengan tepat memilih mana yang harus didahulukan, dan mana yang
harus diusulkan kemudian serta selalu bersikap adil.

7. Ambeg prasaja (bersifat sederhana)

Ambeg prasaja pada diri pemimpin itu berarti dia bersifat


sederhana, terus terang, blak-blakan, tulus, lurus, ikhlas, benar, dan
toleran. Sikapnya bersahaja/tunggal, hidupnya juga tidak berlebih-
lebihan, tetap sederhana, dan tidak tamak.

8. Ambeg Satya (setia)

Amberg satya itu ialah bersifat setia, menepati janji, dan selalu
memenuhi segala ucapannya. Pemimpin sedemikian ini dapat
dipercaya sebab dia jujur-lurus-tulus dan setia, cermat, tepat, dan
loyal terhadap kelompoknya. Dia senantiasa berusaha agar hidupnya
berguna, dan bisa membuat senang serta bahagia orang lain,
terutama bawahan atau anak buahnya.

9. Gemi Nastiti ( hemat dan teliti-cermat)


Pemimpin yang baik itu sifatnya hemat cermat, dan berhati-hati,
tidak boros. Hemat karena ia mampu melaksanakan semua
pekerjaan dengan efektif dan efisien. Hemat pula dalam mengelola
sumber tenaga manusia, material, dan harta per,odalan, dan
menyingkiri semua tingkah laku yang tidak memberi manfaat.
Cermat itu dalam bahasa Jawanya ialah nastiti, yaitu meneliti
dengan sangat hati-hati segala karya, perbuatan, dan peristiwa di
sekitarnya. Sedang berhati-hati artinya : pemimpin itu selalu
bernalar, cermat, dan teliti. Selalu menggunakan duga prayoga, yaitu
pandai menduga-duga apakah yang paling prayoga/baik pada suatu
saat. Lalu menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan mara bahaya
dan kesengsaraan. Dia sadar dan mampu membatasi penggunaaan
dan pengeluaran apa saja untuk keperluan yang benar-benar
penting.

10. Blaka ( terbuka, jujur, lurus)


Pimpinan yang baik harus bersikap terbuka, komunikatif. Dia
bersedia memberikan kesempatan kepada bawahan dan orang lain
untuk mengemukakan sugesti usul, pendapat, kritik yang konstruktif,
dan koreksi. Dia tidak merasa terlalu bodoh atau malu hati untuk
belajar dari lingkungan dan bawahannya sendiri sekalipun. Sebab,
belajar dari pengalaman orang lain itu merupakan pemerkayaan
pribadinya. Ringkasnya, personnya merupakan satu sistem yang
terbuka.
11. Legawa (tulus ikhlas)
Legawa artinya rela dan tulus ikhlas, setiap saat dia bersedia untuk
memberikan pengorbanan. Sifat orangnya ialah pemurah (murah
hati), karim, dan dermawan. Dia mudah merasa senang bahagia
dengan kesukaan yang kecil-kecil, dan tidak mabuk oleh kesukaan
yang besar-besar. Karena itu sifatnya prasaja/sederhana dan tulus
rela. Jika terjadi kekecewaan dan kegagalan, maka dia bisa ”mupus”
atau menghibur diri, dan pasrah menyerah dengan hati yang murni
kemudia bangkit kembali, berusaha membangun dan berkarya lagi.

Anda mungkin juga menyukai