PENDAHULUAN
2. Grhasta Asrama
Tahapan yang kedua tentang grhasta / berumah tangga .tahapan ini dimasuki pada
saat perkawinan. Tahapan ini merupakan hal yang sangat penting, karena menunjang
yang lainnya. Perkawinan merupakan salah satu acara suci bagi seorang Hindu. Istri
merupakan rekan dalam kehidupan ( Ardhangini ), ia tidak dapat melakukan ritual agama
tanpa istrinya. Sebuah rumah tangga harus mendapatkan artha yang erlandaskan dharma
dan dipergunakan dengan cara yag pantas. Ia harus memberikan 1/10 bagian dari
penghasilannya untuk amal.
Beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan dalam berumah tangga :
1. Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan panca yajnya :
a. Dewa Yajna : persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya
b. Rsi Yajna :persembahan pada para rsi, guru, maupun tokoh atau pemuka agama
c. Manusa yajnya :persembahan pada sesama manusia
d. Pitra Yajna : persembahan pada para leluhur
e. Bhuta Yajna :persembahan kepada para bhuta.
3. Wanaprastha Asrama
Tahapan yang ketiga wanaprstha, tahapan ini merupakan suatu persiapan bagi
tahap akhir yaitu sannyasa . setelah melepaskan segala kewajiban seorang kepala rumah
tangga, ia harus meninggalkanya menuju hutan atau sebuah tempat terpencil di luar kota
untuk memulai meditasi dalam kesunyian pada masalah spiritual yang lebih tinggi.
Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan
mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/ moksa
dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
Adapun ciri-ciri orang yang telah dapat masuki tahap wanapratha ini adalah: usia
yang sudah lanjut, mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang
pahit getirnya kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran
agama dan ilmu pengetahuan. Telah memiliki keturunan atau generasi lanjutan yang
sudah mapan dan mampu hidup mandiri.serta tidak bergantung lagi pada orang tua baik
dibidang ekonomi maupun yang lainnya.
4. Sannyasin / Bhiksuka
Tahap yang terkhir adalah sannyasin. Bila seseorang laki- laki menjadi seorang
sannyasin, ia meninggalkan semua miliknya, segala perbedaan golongan,segala upacara
ritual dan segala keterikatan pada suatu negara, bangsa atau agama tertentu. Ia hidup
sendiri dan menghabiskan waktunya dalam meditasi. Bila ia mencapai keadaan yang
indah dari meditasinya yang mendalam, ia mengembirakan dalam dirinya sendiri. Ia
sepenuhnyaa tak tertarik pada kenikmatan duniawi. Ia bebas dari rasa suka dan tidak
suka, keinginan, keakuan,nafsu ,kemarahan, kesombongan dan ketamakan. Ia memiliki
visi yang sama dan pikiran yang seimbang dan ia mencintai semuanya. Ia mengembara
dengan bahagia dan menyebarkan brahma jnana atau pengetahuan sang diri. Ia sama
ketika dihormati maupun dicaci, dipuja dan dikecam, berhasil maupun gagal. Ia sekarang
adalah atiwarnasrami yang mengatasi warna dan asrama. Ia seorang laki – laki yang
bebas sepenuhnya. Ia tak terikat oleh sutau kebiasaan adat masyarakat.
Sannyasin adalah seoang laki- laki idaman. Ia telah mecapai kesempurnaan dan
kebebasan. Ia adalah Brahman sendiri. Ia seoarang jiwanmukta atau seorang bijak yang
bebas. Mulialah tokoh pujaan seperti itu yang merupakan Tuhan yang hidup di dunia.
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur"
berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya
memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam
kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta
kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang
tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi
suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu
ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra
Atau juga,
a. Seseorang brahmana yang sudah tangguh (dira) dan sudah mampu mengatasi suka
dan duka,
b. Dipuji, disanjung maupun dihina bagi beliau diterima secara seimbang.
Karena ciri seorang brahmana dalam lontar wrati sasana sebagaimana dijelaskan
oleh idabagusbajra (dalam kutipan artikel putra, suputra dan kuputra), seorang
brahmana disebutkan memiliki sifat-sifat:,
1. Sama yaitu seimbang dan teguh menghadapi suka dan duka dan tidak terganggu oleh
keadaan senang dan menderita akan mencapai kehidupan yang kekal abadi.
2. Dharma, orang yang mampu menasehati dirinya sendiri, tenang dan sabar tahu
menasehati dirinya sendiri.
3. Tapa, orang yang tahan akan dinamika panasnya kehidupan ini dan mampu
mengendalikan jasmaninya.
4. Sauca, suci lahir dan batin.
5. Ksanti, selalu dalam keadaan tenang dan damai.
6. Arjawa, orang yang sangat jujur.
7. Knyanam yang memiliki ilmu pengetahuan.
8. Wijnyanam, bijaksana karena telah memiliki banyak menguasai ilmu pengetahuan.
9. Astikyam sangat paham dan percaya pada ajaran suci Weda.
Dalam kehidupan bermasyarakat, jenis - jenis brahmana disebutkan sebagai berikut :
1. Brahmana Dukuh, brahmana yang melaksanakan pertapaan di hutan.
2. Brahmana Sapinda, lahir berdasarkan hubungan darah dari orang suci atau para
pertapa yang ada sebelumnya.
3. Brahmana Prawara | seorang brahmana (pendeta) lahir berdasarkan dari sekte /
sampradaya / pakse walau dari wangsa mana pun mereka.
4. Brahmana Gotra | seorang brahmana yang lahir karena berdasarkan dari kelompok
warga, soroh, klen, wangsa tertentu seperti pedanda, mpu, bhagawan, dukuh dll
5. Brahmana Keling sebagai cicit dari Mpu Beradah yang dahulu diceritakan mampu
menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil
alam yang melimpah sebagai sarana dan prasana karya sehingga karya dapat
dilaksanakan dengan sukses atau berhasil (Sidakarya) sesuai dengan harapan Dalem
Waturenggong saat itu
Untuk menjadi seorang brahmana juga disebutkan agar miliki tingkatan
pengetahuan lebih lanjut tentang ajaran suci Weda sebagaimana disebutkan :
a. hendaknya dalam pendidikan, sisya diajarkan oleh seorang Acarya yang sudah
medwijati sebagai guru spiritual,
b. agar nantinya mendapat pengakuan dengan diberikannya Samawartana / Ijazah
kebrahmanan.
2. Ksatria
Ksatria merupakan orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan
keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta
rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih,
dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu bertindak sebagai kepala
pemerintahan (guru wisesa), para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
3. Waisya
Waisya merupakan orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk
mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan
perekonomian. Dalam hal ini menjadi pengusaha, pedagang, investor dan
usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri
dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha /
bisnisnya.
4. Sudra
Sudra merupakan orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang
bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang
lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan
mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang
bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum
termasuk ke Tri Warna diatas.
Bali adalah salah satu propinsi yang ada di Indonesia yang berdiri pada tahun
1958. Di pulau inilah berdiri sebuah majelis agama Hindu yang bernama Parisada
Dharma Hindu Bali. Parisada ini berdiri adalah karena hilangnya sistem kerajaan di Bali
yang digantikan oleh para bupati pada tahun 1957, pada setiap kabupaten. Sebelum
adanya bupati urusan agama serta pemerintahan adalah tanggung jawab raja. Urusan
pemerintahan sudah mendapatkan porsi yang digantikan oleh para bupati tetapi untuk
urusan agama yaitu agama Hindu tidak mendapat perhatian. Dengan tidak adanya
penanggungjawab secara pasti maka umat Hindu di Bali melaksanakan kegiatan-kegiatan
keagamaannya sesuai dengan tradisinya masing - masing. Ketidakteraturan pelaksanaan
kegiatan keagamaan di Bali juga mendorong untuk membentuk suatu lembaga yang
mampu memberikan pembinaan, pengayoman dan pendidikan kepada umat Hindu di
Bali. Dorongan dari generasi muda yang sudah mengenyam pendidikan baik di luar
maupun di Bali sendiri untuk membentuk suatu lembaga, yang sangat diperlukan dalam
rangka pembinaan, pendidikan dan pengayoman umat.
Kepengurusan demi kepengurusan telah dilewati oleh majelis ini. Orang - orang
yang duduk dalam kepengurusan Parisada sama sekali tidak mendapat gaji. Ini dilakukan
semata - mata sebagai wujud bhakti yang dilandasi dengan ngayah (tUlus iklas). Sejak
berdiri Parisada ini dipimpin oleh Ida Pedanda Gde Wayan Sideman dari tahun 1959 -
1968. Kemudian dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Kemenuh dari tahun 1968 - 1980. Ida
Pedanda Gde Made Pidada Keniten dari tahun 1980 - 1986. Tahun 1986 - 1991 dipimpin
oleh Ida Pedanda Ngurah Bajing dan selanjutnya dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Telaga
dari tahun 1991 - 1996. Semua sosok pemimpin majelis yang disebut dengan ketua umum
adalah sosok yang berkarisma. Umat Hindu sangat yakin dengan pemimpinnya Semua
ahli dalam Weda dan sastra -- sastra agama yang lain. Selain mampu melaksanakan
pembinaan kepada urnat Hindu secara umum beliau juga sangat diyakini mampu
mengadakan hubungan dengan Tuhan, dalam rangka mengemban serta membina umat
Hindu.
Pembinaan yang dilakukan oleh majelis ini adalah dengan mendatangi umat ke
daerah - daerah untuk diberikan penyuluhan agama. Buku buku agama sangat minim
dikeluarkan dari majelis ini untuk disebarkan kepada umat karena masalah dana. Parisada
tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap. Salah satu buku yang diterbitkan
Parisada untuk pertama kalinya adalah "Dharma Prawerili Sastra". Pembinaan ini selalu
dilaksanakan bersama - sama dengan Departemen Agama cq. Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha baik di pusat maupun di daerah. Begitu pula
dalam mengalasi permasalahan yang menyangkut keumatan di daerah - daerah Parisada
selalu berjalan bersama-sama.
1. Tugas Pokok : Melayani umat dalam meningkatkan sradha dan bhakti sesuai kitab suci
Wed
2. Fungsi:
a. Menetapkan Bhisama
b. Mengambil keputusan di bidang keagamaan dalam hal ada perbedaan penafsiran
ajaran agama dan atau dalam hal terdapat keragu-raguan mengenai masalah tersebut.
c. Memasyarakatkan ajaran Weda, Bhisama, dan keputusan-keputusan Parisada
3. Peranan :
a. Mengabdi dan Pengayom dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada
umat Hindu.
b. Memelihara kerukunan, keserasian dan keharmonisan umat Hindu yang dilandasi
spiritualo yang tinggi.
c. Membina umat Hindu guna meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegar
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. catur asrama
catur asrama mengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkatan-tingkatan
kerohanian. catur asrama sering dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang
kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur dan sifat perilaku
manusia
2. keluarga hindu
Keluarga adalah lingkungan sosial pertama yang ditemui oleh anak ketika anak di
izinkan melihat dan menikmati dunia. Pertemuan dengan Ibu, Ayah, dan lingkungan
dalam keluarga itu sendiri menjadi subyek sosial yang nantinya akan membentuk
dasar anak dengan orang lain. Untuk mengujudkan keluarga sejahtera masing –
masing keluarga mempunyai kewajiban fungsional(suadharma) masing-masing baik
istri, suami maupun anak.
3. catur warna
catur warna mengelompokkan masyarakat berdasarkan guna dan bakat.
Penggolongan masyarakat ini didasarkan atas tugas, kewajiban, dan fungsinya di
dalam masyarakat. Penggolongan ini bukan bersifat turun temurun. Adanya
penggolongan ini merupakan suatu kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat.
4. Parisadha
Parisada adalah Majelis Wipra (Brahmana ahli, cendikiawan) yang berfungsi
semacam Badan Legislatif, memegang peranan penting di dalam memecahkan
berbagai permasalahan keagamaan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kata Parisada tersebut identik pengertiannya dengan duduk melingkar (untuk
bersidang). Parisada terdiri dari para brahmana ahli berdasarkan ketentuan yang
diatur di dalam kitab suci Manava Dharma Sastra
3.2 saran