Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS PEWARNA MAKANAN DI KOTA SURABAYA TAHUN 2018

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makanan adalah salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan seharinya. Sebagai
kebutuhan dasar, makanan tersebut harus mengandung zat gizi untuk dapat memenuhi
fungsinya dan aman dikonsumsi, karena makanan yang tidak aman dapat
menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan.
Aneka produk makanan dan minuman yang berwarna-warni tampil semakin menarik.
Warna-warni pewarna membuat aneka produk makanan mampu mengundang selera,
walaupun demikian, konsumen harus berhati-hati. Badan Pengawas Obat dan Maka-nan
(BPOM) sering menemukan produk makanan yang menggunakan pewarna tekstil. Pada era
modern ini, bahan pewarna tampaknya sudah tidak bisa dipisahkan dari berbagai jenis
makanan dan minuman olahan. Produsen pun berlomba-lomba untuk menarik perhatian para
konsumen dengan menambahkan pewarna pada makanan dan minuman.
Kasus penyalahgunaan bahan tambahan pangan yang biasa terjadi adalah penggunaan
bahan tambahan yang dilarang untuk bahan pangan dan penggunaan bahan makanan melebihi
batas yang ditentukan. Penyebab lain, produsen berusaha meme-nuhi kebutuhan dengan
mendapat keuntungan besar, tetapi harga murah melalui penggunaan zat pewarna makanan
yang digunakan untuk mempertahankan kondisi makanan agar menarik.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamine B termasuk
salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan dilarang
digunakan pada produk pangan.
Namun demikian, penyalahgunaan Rhodamine B sebagai zat pewarna pada makanan
masih sering terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa media massa, sebagai contoh;
rhodamine B ditemukan pada makanan dan minuman seperti kerupuk, sambal botol dan sirup
di Makassar pada saat BPOM Makassar melakukan pemeriksaan sejumlah sampel makanan
dan minuman ringan.
Zat pewarna makanan merupakan suatu senyawa berwarna yang memiliki afinitas
kimia terhadap benda yang diwarnainya. Warna suatu produk makanan ataupun minuman
merupakan salah satu ciri yang sangat penting. Warna merupakan kriteria dasar untuk
menentukan kualitas makanan, antara lain warna juga dapat memberi petunjuk mengenai
perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan.
Beberapa negara maju, seperti Eropa dan Jepang telah melarang penggunaan pewarna
sintetis seperti pewarna tartrazine dimana lebih mereko-mendasikan pewarna alami, seperti
beta karoten, walaupun demikian pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen
makanan alasannya harga pewarna sintetis jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna
alami, selain itu pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga
warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kese-hatan RI telah mengeluarkan Surat
Keputusan tentang jenis pewarna alami dan sintetik yang diizinkan, serta yang dilarang
digunakan dalam makanan pada tanggal 1 Juni 1979 No.235/Menkes/Per/VI/79, kemu-dian
disusul dengan Surat Keputusan Menteri Kese-hatan RI tanggal 1 Mei 1985 No.
239/Menkes/Per/ V/85, yang berisikan jenis pewarna yang dilarang. Terakhir telah
dikeluarkan pula Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, yang
mengatur batas maksimum penggunaan dan pewarna yang diizinkan di Indonesia (Depkes RI,
1992).
Bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terdiri dari pewarna
sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis terbuat dari bahan kimia,
seperti Tartrazin untuk warna kuning atau Alleura red untuk warna merah, kadangkala
pengusaha yang nakal menggunakan pewarna bukan makanan untuk memberikan warna pada
makanan. Agar mendapat keuntungan, produsen sering menggunakan pewarna tekstil untuk
makanan, ada yang menggunakan Rhodamin B pewarna tekstil untuk mewarnai terasi,
kerupuk dan minuman sirup sedangkan penggunaan pewarna jenis itu dilarang keras, karena
bisa menimbulkan kanker dan penyakit lainnya. Pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk
makananpun harus dibatasi penggunaannya, karena pada dasarnya, setiap senyawa sintetis
yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan efek.
Berbeda dengan pewarna alami yang malah mudah mengalami pemudaran pada saat
diolah dan disimpan sebenarnya, pewarna alami tidak bebas dari masalah. Menurut Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
dari segi kehalalan, pewarna alami justru memiliki titik kritis yang lebih tinggi, dikarenakan
pewarna natural tidak stabil selama penyimpanan, maka untuk mempertahankan warna agar
tetap cerah, sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya
dan kondisi lingkungan.
Penambahan zat pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan menarik
bagi kon-sumen, menyeragamkan warna makanan, stabilkan warna dan menutupi perubahan
warna selama penyimpanan. Penambahan zat pewarna rhodamine B pada makanan terbukti
mengganggu kesehatan, misalnya mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan
berpotensi memicu kanker, oleh karena itu rhodamine B dinyatakan sebagai pewarna
berbahaya dan dilarang penggunannya.
Pemerintah RI telah mengatur penggunaan zat pewarna dalam makanan, namun
demikian masih banyak produsen makanan, terutama pengusaha kecil, yang menggunakan
zat-zat pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil
atau cat yang pada umumnya mempunyai warna yang lebih cerah, lebih stabil dalam
penyimpanan, harganya lebih murah dan produsen pangan belum menyadari bahaya dari
pewarna-pewarna tersebut.Bahan pewarna sintetik yang sering dipakai untuk produk
makanan contohnya adalah pemakaian bahan pewarna tekstil Methanil Yellow dalam
pembuatan tahu, atau pembuatan manisan mangga, bahan pewarna dilarang Rhodamin B
dalam jajanan es campur serta bahan pewarna Tartrazine untuk produk sirup, limun.
Utami ditahun 2005 telah melakukan penelitian tentang zat pewarna yang terdapat
pada makanan jajanan yang terdapat di pasaran, ternyata dari 31 sampel yang diuji
didapatkan 10 sampel yang mengandung zat pewarna sintetik yang dilarang untuk makanan
yaitu; satu sampel Orange G, satu sampel Methanil yellow, satu sampel Chocolate Makanan
yang beredar di masyarakat memiliki warna yang bermacam-macam dan kebanyakan
menggunakan zat warna sintetik. Adanya peraturan yang telah ditetapkan, diharapkan
keselamatan konsumen dapat terjamin tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Penjual makanan di pinggiran jalan sudah biasa menggunakan bahan tambahan
makanan termasuk zat warna yang tidak diijinkan, ini disebabkan karena bahan itu mudah
diperoleh dalam kemasan kecil di toko dan pasar dengan harga murah. Penjual makanan
menggunakan zat warna tekstil ini karena kesengajaan atau ketidaktahuan, sedangkan
produsen makanan bertujuan menghasilkan warna yang lebih menarik, yang dikiranya aman.
Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa Inggris
disebut street food menurut “Food and Agriculture Organization” didefinisikan sebagai
makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan
di tempat keramaian umum yang langsung dimakan dan dikonsumsi tanpa persiapan atau
pengolahan lebih lanjut.
Saus merupakan bahan pelengkap yang digunakan sebagai tambahan untuk
menambah kelezatan makanan dapat berupa cairan kental (pasta) yang terbuat dari bubur
buah berwarna menarik (biasanya merah), mempunyai aroma dan rasa yang merangsang
(dengan atau tanpa rasa pedas), mempunyai daya simpan panjang karena mengan-dung asam,
gula, garam dan seringkali pengawet.
Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu bahan pangan berwarna antara lain zat
pewarna (Cahyadi, 2006).
2.1 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini
adalah apakah zat pewarna yang di gunakan pada makanan yang di jajakan di Pasar Rau kota
Serang baik untuk kesehatan. Penambahan zat pewarna pada makanan terbukti mengganggu
kesehatan, misalnya mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi
memicu kanker, oleh karena itu beberapa pewarna dinyatakan sebagai pewarna berbahaya
dan dilarang penggunannya. Sesuai dengan peraturan mentreri kesehatan RI
No.722/Menes/per/XI/1988. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengn judul :
“Gambaran Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pewarna Pada Makanan dan Minuman yang
dijual di Pasar Tradisional Rau Kota surabaya”.

3.1 Tujuan Penelitian


3.1.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui penggunaan zat pewarna sebagai bahan tambahan pada makanan
yang di jual di pasar Rau kota serang.
3.1.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui jenis zat pewarna yang terkandung dalam makanan yang di jual di pasar
Rau kota Serang kemudian disesuaikan dengan Permenkes RI No.722/Menkes/per/IX/1988.
2. Untuk mengetahui kadar zat pewarna yang di gunakan dalam makanan yang di jual di Pasar
Rau kota serang kemudian disesuaikan dengan Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988.

4.1 Manfaat Penelitian


4.1.1 Manfaat Bagi Seluruh Masyarakat
Memberi masukan dan informasi mengenai bagaimana pengetahuan masyarakat
terhadap pewarna pada makanan dan minuman di pasar rau kota serang.
4.1.2 Manfaat Bagi Akademik
Memberi masukan dan informasi bagi akademik dan bagi peneliti berikutnya tentang
gambaran pengetahuan masyarakat terhadap pewarna pada makanan dan minuman.
4.1.3 Manfaat Bagi Peneliti
Melatih kemampuan penulis dalam merumuskan dan memecahkan masalah serta
memperluas wawasan dan pengetahuan penulis yang di dapat selama mengikuti pendidikan
diakademik.
4.1.4 Manfaat Bagi Petugas Kesehatan
1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas untuk memberikan penyuluhan tentang jajanan yang
sehat dalam program UKS.
2. Sebagai bahan masukan bagi BPOM untuk mengadakan pengawasan terhadap makanan dan
minuman yang akan dijual.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi Makanan dan Minuman


Makanan dan minuman merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk
hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan yang kita butuhkan tidak hanya
untuk pertumbuhan dan perkembanan fisik saja, namun demikian makanan dan minuman
dapat pula membahayakan kesehatan manusia karena dapat berperan sebagai perantara
berbagai penyakit. Untuk mendapatkan makanan dan minuman yang terjamin baik dari segi
kualitas, maupun kuantitas diperlukan adanya tindakan diantaranya adalah sanitasi makanan
dan minuman (Slamet,1994).
Adapun kegiatan-keegiatan yang dilakukan dalam usaha sanitasi makanan dan
minuman adalah :
1. Keamanan makanan dan minuman yang disediakan.
2. Hgyiene perorangan dan praktek-praktek penanganan makanan dan minuman oleh karyawan
yang bersangkutan.
3. Keamanan terhadap penyediaan air.
4. Pengolahan terhadap kontaminasi selama dalam proses pengolahan, penyajian, dan
penyimpanan.
5. Pengolahan pembuangan air limbah dan kotoran.
6. Penyucian, kebersihan dan penyimpanan alat-alat.
Untuk hal tesebut di atas tidak terlepasdari pengawasan terhadap tenaga pengolah
makanan, pedagang yang menyajikan makanan, alat-alat yang digunakan dalam proses
pengolahan makanan dan minman yang tidak saniter serta air yang yang dipergunakan dalam
kegiatan-kegiatan tersebut yang tidak memenuhi syarat.

2.2 Makanan dan Minuman Jajanan


Menurut Irianto dan Waluyo (2007), yang dimaksud dengan “makanan” dalam ilmu
kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh.
Menurut Worl Health Organization (WHO) mendefinisikan makanan sebagai semua substrat
yang diperlukan tubuh. Kecuali air ,obat-obatan dan substansi yang di gunakan untuk
pengobatan. Departemen kesehatan menyatakan bahwa makanan dan minuman adalah semua
baik dalam bentuk alamiah dalam bentuk buatan yang dimakan manusia kecuali air dan obat-
obatan.
Menurut moehji (1992), makanan sehat yang menyehatkan harus mencangkup tiga
aspek :
1. Makanan harus memberikan kelengkapan dan kecukupan zat gizi yang diperlukan untuk
kelangsungan fungsi-fungsi normal organ tubuh.
2. Makanan bebas dari senyawa kimia atau dari mikroba yang dapat membahayakan kesehatan
tubuh.
3. Makanan tidak akan mendorong timbulnya masalah kesehatan, terutama masalah yang
timbul setelah tenggang waktu lama.
Makanan yang kita konsumsi biasanya selain makanan pokok ada juga makanan
jajanan. Pada umumnya anak-anak lebih menyukai jajanan di warung dari paa makanan yang
sudah tersedia di rumah. Menurut keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/Menkes/SK/VII/2003, Makanan jajanan adalah makanan dn minuman yang di olah oleh
peengrajin makanan di tempat penjualan atau di sajikan dalam makanan siap santap untuk di
jual bagi umum selain selain yang di sajikan sebagai jasa boga, rumah makan restoran, dan
hotel. Menurut FAO dalam Judarwanto (2008) makanan jajanan adalah makanan dan
minuman yang dipersiapkan dan di jual oleh pedagang kaki lima di jlanan dan ditempat-
tempat kkeramaian maupun lain langsung di makan atau di konsumsi tanpa pengolahan dan
persiapan lebih lanjut. Makanan dan minuman jajanan ini umumnya memiliki bentuk, cita
rasa yang berbeda dan warna yang mencolok yang dapat menarik perhatian dan
mempengaruhi anak-anak.

2.3 Keamanan Pangan


Menurut undang-undang No.7/1996 yang di kutip adalah tentang pangan. Bahwa
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membhayakan
kesehatan manusia.
Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne
diseases, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung
bahan senyawa beracun atau organisme patogen.
Penyebab ketidakamanan pangan adalah :
1. Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat menyebabkan berbagai penyakit
degeneratif seperti jantung, kanker dan diabetes.
2. Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme ataupun bahan-bahan
kimia.
Menurut Aswar (1995), penyebab makanan tersebut berbahaya adalah karena makanan
tersebut di cemari zat-zat yang membahayakan kehidupan dan juga karena di dalam makanan
itu sendiri telah terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan.
Untuk memperbaiki atau meningkatkan fungsional pangan digunakan bahan kimia
yang disebut BTM (bahan tambahan makanan) sering sekali BTM yang di gunakan adalah
BTM yang di larang. Seperti boraks, rhodamin B, dan methanil yellow. Contoh penggunaan
boraks adalah peda pembuatan bakso, rhodamin B dan methanil yellow pada pembuatan
pempek palembang dan berbagai jajanan pasar seperti cendol, kelepon, atau kue bugis (
Baliwati, 2004 ).
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa terhadap penyalahgunaan
beberapa bahan tambahan makanan dan minman. Seperti yang dilakukan oleh Munthe
(2003), Nova (2004), dan Darius (2007), hasil yang dapat menunjukan bahwa banyak
makanan dan minuman jajanan yang mengandung BTM yang tidak di anjurkan seperti
formalin, boraks, pewarna, danpemanis yang melebihi batas pengunaan.
3. Bahan Tambahan Makanan
Pada umumnya dalam pengolahan makanan selalu di usahakan untuk menghasilkan
produk makanan yang di sukai dan berkualitas baik ( Widaningsih, 2006 ). Bahan tambahan
makanan secara umum di definisikan sebagai bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan untuk teknologi
pada pembuatan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi, 2006).
Menurut FAO dan WHO dalam kongres di Roma pada tahu 1956 menyatakan bahwa
bahan tambahan makanan adalah bahan-bahan yang di tambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan dalam jumlah sedikit yaitu untuk memperbaiki warna, bentuuk, tekstur, atau
memperpanjang daya simpan. Sedangkan menurut Puspitasari (2001). Bahan tambahan
pangan adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja di tambahkan ke
dalam makanan dan minuman dalam proses pengolahan, pengemasan dan penyimpanan dan
bukan merupakan bahan utama.
Tujuan penggunaan bahan tambahan makan adalah dapat meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah
dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan
pangan yang digunakan hanya dapatdibenarkan apabila :
a. Digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi
syarat pengolahan.
b. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang telah atau tidak memenuhi
syarat.
c. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi
yang baik untuk pangan.
d. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
2.4 Sumber-sumber Bahan Tambahan Makanan
Menurut Riandini (2008) BTM (bahan tambahan makanan) berasal dari makanan
yang dapat di sintesa secara kimia atau diproduksi dengan proses biologi.
1. Bahan tambahan sintetik, penggunaan bahan tambahan sintetik telah meningkat setelah
pergantian abad bahan tambahan sintetik diperoleh dari proses pengolahan bahan kimia yaitu
mempunyai sifat yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik
susunan kimia, maupun sifat metabolismenya.
2. Bahan tambahan biologis baik dari hewan maupun dari tumbuhan seperti lesitin dari asam
sitrat. Bahan tambahan makanan yang bersumber langsung dari alam pada umumnya bahan
tambahan makanan di bagi menjadi dua golongan besar (Cahyadi, 2006).

2.5 Fungsi Bahan Tambahan Makanan


Fungsi dasar bahan Tambahan Makanan yaitu :
1. Meningkatkan nilai gizi makanan, banyak makanan yang diperkaya dan difortifikasi dengan
vitamin untuk mengembalikan vitaminyang hilang selama pengobatan. Seperti penambahan
berbagai vitamin B kedalam tepungterigu, vitamin A, dan ke D ke dalam susu.
2. Memperbaiki nilai sensori makanan, warna, bau, rasa, dan tekstur suatu bahan pangan
bekurang akibat pengolahan dan penyimpanan.
3. Memperpanjang umur simpan makanan, yaitu untuk mencegah timbulnya mikroba maupun
untuk mencegah terjadinya reaksi kimia yang tidak dikehendaki selama pengolahan dan
penyimpanan.

2.6 Penggolongan Bahan Tambahan Makanan


Berdasarkan peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 terhadap bahan tambahan makanan . bahan makan terdiri dari dua
golongan, yaitu bahan tambahan makanan yang di izinkan dan bahan tambahan makanan
yang tidak di izinkan.
1. Bahan Tambahan Makanan yang di izinkan, yaitu :
a. Pengawet, yaitu bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat bakteri,
sehingga tidak terjadi pembusukan, pengasaman yang disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba.
b. Pewarna, yaitu bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada
makanan dan minuman.
c. Pemanis, yaitu bahan tambahan makanan yang dapat memberikan rasa manis atau dapat
mempertajam penerimaan lidah terhadap rasa manis.
d. Penyedap rasa, aroma serta pengawet rasa, yaitu bahan tambahan makanan yang dapat
memberikan menambah atau memperbaiki, menambah atau mempetegas rasa dan aroma pada
makanan.
e. Antioksidan, yaitu bahan tmbahan makanan yang berfungsi mencegah atau menghambat
proses oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan.
f. Anti kempal, yaitu bahan tambahan makanan yang dapat mencegah terjadinya penggumpalan
makanan yang berupa serbuk atau bubuk.
g. Pengatur keasaman, yaitu bahan dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan
derajat keasaman makanan.
h. Pemutih tepung, yaitu bahan tambahan makanan yang dapat memperrcepat proses pemutian
tepung.
i. Pengemulsi, pemantas, dan pengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat
membantu terbentuknya dan memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan.
j. Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya dan
memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan.
2. Bahan Tmabahan Makanan yang tidak di izinkan
a. Natrium Tetraborat (Boraks)
b. Formalin (formaldehyd)
c. Minyak nabati yang di brominisasi (Brominated vegetable oils)
d. Kloramfeikol (Chlorampenicol)
e. Kalium klorat (pottasium chlorat)
f. Dietilpirokarbonat (dietylpyrocarbonat DEPC)
g. Nitrofurazon (Nitrofuranone)
h. P-Penentilkarbamida (p-phenethybamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl)
i. Asam salisilat dan garamnya.
Selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan kimia lain yang dilarang seperti
Rhodamin B (pewarna merah), Methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintesis)
dan kalsium bromat ( pengeras ) (Cahyadi, 2006).

2.6 Dampak Zat Pewarna Bagi Kesehatan


Pemakaian zat pewarna sintesis dalam makanan dan minuman mempunyai dampak
positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat sesuatu makanan lebih
menarik, meratakan warna makanan, mengembalikan warna bahan dasar yang telah hilang
selama pengolahan ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak di inginkan dan
bahkan memberikan dampak yang negatif bagi kesehatan konsumen.
Ada hal-hal yang mungkin memberikan dampak negatif tersebut apabila :
1. Bahan pewarna sintetis itu di makan dalam jumlah kecil namun berulang.
2. Bahan pewarna sintesis di makan dalam jangka waktu lama.
3. Kelompok masyarakat yang luas dengan daya tahan yang berbeda-berbeda yaitu tergantung
pada umur, jenis kelamin, bera badan, mutu makana sehari-hari keadaan fisik.
4. Beberapa masyarakat menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.
5. Penyimpanan bahan pewarna sintesis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi
syarat.

BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kuantitatif. Deskriptif kuantitatif adalah penelitian yang di dalamnya tidak ada analisis
hubungan variabel, tidak ada variabel bebas dan terkait yang bersifat umum yang
membutuhkan jawaban kapan, dimana, berapa banyak, siapa, dan analisis statistik yang di
gunakan adalah deskriptif (Hidayat,2009).

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Menurut Natoatmodjo (2010), lokasi merupakan tempat atau lokasi pengambilan
penelitian. Penelitian ini dilaksanankan di Pasar RAU Kota Serang.
3.2.2 Waktu Penelitian
Menurut Natoatmodjo (2010), waktu adalah rentang waktu yang digunakan untuk
melaksanakan penelitian. penelitian ini dilakukan pada tanggal 03 April 2016.
3.2.3 Populasi dan Sampel
3.2.3.1 Populasi
Populasi merupakan seluruh subyek atau obyek dengan karakteristik tertentu
yang akan di teliti (Hidayat, 2009).
Populasi yang di gunakan pada penelitian ini adalah masyarakat yang
mengeluh sakit akibat makanan dan minuman yang mereka beli mengandung pewarna
Rhodamin B.
3.2.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang di teliti atau sebagian dari jumlah
karakteristikyang dimiliki oleh populasi (Hidayat,2009).
Sampel yang di ambil pada penelitian ini adalah jajanan makanan dan
minuman yang mempunyai warna yang pekat.
3.2.3.3 Teknik Pengumpulan Sampel
Teknik pengumpulan sampel merupakan proses seleksi yang digunakan pada
penelitian dari populasi yang ada (Hidayat, 2009).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
sampling jenuh. Sampling jenuh adalah cara pengambilan sampel ini dengan mengambil
semua anggota populasi menjadi sampel.
3.3.Metode Pengambilan Data
Pengumpulan merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan data yang akan di
kumpulkan pada penelitian.
Data yang di kumpulkan pada penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan sampel
makanan dan minuman yanng ada di pasar dengan warna yang mencolok.

3.4.Variabel Penelitian
Menurut sugiono (2007) variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa
saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh tenteng informasi hal
tersebut, kemudian di tarik kesimpulannya.
Variabel ini mengggunakan variabel tunnggal yaitu tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap pewarna pada makanan dan minuman yang di jual bebas.
3.5.Pegolahan dan Analisis Data
3.5.1 Dalam pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya :
1. Editing
Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.
2.Coding
Kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa
kategori.
3. Entri Data
Kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam tabel kemudian membuat
frekuensi sederhana.
4. Melakukan Teknis Analisis
Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu
statistik terapan yang di sesuaikan dengan tujuan yang akan di analisis. Penelitian deskriptif
akan menggunakan statistik deskriptif yaitu statistika yaitu dengan cara meringkas,
menyajikan dan mendeskriptikan suatu data dengan tujuan agar lebih mudah di mengerti dan
lebih mempunyai makna.
3.5.2 Analisis Data
Menganalisa terhadap variabel dari hasil tiap penelitian untuk menghasilkan tabel
frekuensi dan presentse dari tiap variabel. Variabel yang di analisis yaitu pengetahuan
msyarakat mengenai bahaya pewarna pada makanan dan minuman di Pasar kota Surabaya
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Kesehatan

merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan

sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada akhir-akhir ini, sudah banyak penyakit yang secara langsung dapat

berpengaruh pada menurunnya derajat kesehatan masyarakat, salah satunya gangguan

pada saluran pencernaan. Penyakit yang menyerang pada saluran pencernaan merupakan

penyakit yang tingkat kejadiannya cukup tinggi, dapat menyerang siapa saja tanpa

memandang usia maupun suku bangsa. Pada umumnya, ada berbagai hal yang dapat

menjadi penyebab penyakit saluran pencernaan, misalnya tingkat stress yang tinggi,

makan tidak teratur, minuman beralkohol, dan lain sebagainya (Nurheti, 2009).
Gangguan pencernaan yang sering terjadi salah satunya adalah dispepsia, atau biasa

disebut dengan sakit maag. Bila menyebut sakit maag, organ dalam tubuh yang tertuju

adalah lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh. Sehingga

resiko terjadinya gangguan pada lambung lebih besar dibandingkan dengan organ-organ

lain di dalam tubuh. Lambung merupakan organ dengan banyak penyakit, namun banyak

kesulitan mendiagnosa karena gejala-gejala yang timbul kurang lebih sama (Hadi, S

2013).

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan).

Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia

didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan pada di

daerah perut bagian atas (Talley ,1991) sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru,

dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari

gejala-gejala sebagai berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau

rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan

awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.

Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis

sehari – hari (Djojodiningrat ,2006). Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun

2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1.9 % pada tahun

1988 menjadi 3,3 % pada tahun 2003.Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan

sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan (sindrom) yang

terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat

kenyang, rasa penuh, sendawa, dan rasa panas yang menjalar di dada.

Dispepsia fungsional pada tahun 2010 dilaporkan memiliki tingkat prevalensi yakni

5 % dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan sebuah studi

pada tahun 2011 di Dermark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan
dispepsia ternyata lebih terinfeksi H.Pylori yang terdeteksi setelah dilakukan

pemeriksaan lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai