Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

ABSES HEPAR

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Unsyiah
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:
Aulia Mu’jizatun Fitriani 1707101030065
Asy-Syifa Fauzia 1707101030134

Pembimbing:
Dr. dr. Jufriadi Ismi, Sp.U

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati.(1) Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati
amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu
komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah
tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess,
bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.
AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun
1936.(1)
Pada negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan
prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS
antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada dekade ke – 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis
hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah
sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang
tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria
dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai
berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan
tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang
sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik
dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini
telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi,
cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya.(2)
BAB II
DASAR TEORI

A. Anatomi Hati
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500 gr
atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati
memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri.Lobus kanan dibagi menjadi segmen
anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan
ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-
lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati,
sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan
makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda
asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran
cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria
hepatika. (2,3,4)
Gambar 1 Anatomi hati dan struktur yang masuk dan keluar porta hepatis

B. Fisiologi Hati
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya
yaitu: (3,4,5,6)
1. Pembentukan dan ekskresi empedu.
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu.
Garam empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta
vitamin larut-lemak di dalam usus.
2. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan.
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,
serta pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara
metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi
bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan
sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan
karbohidrat.
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum
untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein
plasma, serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis
senyawa lain dari asam amino.
3. Penimbunan vitamin dan mineral.
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin
B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling
banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar
vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal.Sel hati mengandung
sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung
dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh karena itu,
bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan
dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini
di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan
tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.Zat-
zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan
X.
4. Hati mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain.
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu.
Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau
dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua
hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.
5. Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi.
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan
mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah.
Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena
cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang
bakteri dan debris dari darah.

C. Etiologi
1. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai
parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala
amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica
yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai
strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)

Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang


mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat
3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat
invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak
aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua
stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup
komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah
diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan
hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya.
Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan
hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan
ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50
um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit,
mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang
mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan
mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit
akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai
4 inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier
ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um,
dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya
bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)
2. Abses Hati Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae,
bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus
milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella
corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis,
dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter
aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus
Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada
pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme
yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella,
Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah
infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati
melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta.
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik.
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis,
dan infeksi post operasi.
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan
choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

D. Patogenesis
1. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau
transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang
jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat
ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian
kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi
lapisan mukosa usus.Amuba ini dapat menjadi patogen dengan
mensekresi enzim cysteineprotease, sehingga melisiskan jaringan
maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki
kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati
E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati,
dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi
membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian
nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang
sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada
lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy
paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar
serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
2. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses
viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini
dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari
tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima
darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid
hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari
organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari
vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati
sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan
nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran
empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding
lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik. (1,10)

E. Manifestasi Klinis
1. Abses Hepar Amebik(2,8,9,13,)
Gejala:
a. Demam internitten ( 38-40 oC).
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat
menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula.
c. Anoreksia.
d. Nausea.
e. Vomitus.
f. Keringat malam.
g. Berat badan menurun.
h. Batuk.
i. Pembengkakan perut kanan atas.
j. Ikterus.
k. Buang air besar berdarah.
l. Kadang ditemukan riwayat diare.
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup).
Pemeriksaan fisik:
a. Ikterus.
b. Temperatur naik.
c. Malnutrisi.
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi.
e. Nyeri perut kanan atas.
f. Fluktuasi
2. Abses hati piogenik(1,2,8,15)
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi
sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba.
Gejala:
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu
yang disertai menggigil.
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan
membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah.
d. Berkeringat malam.
e. Malaise dan kelelahan.
f. Berat badan menurun.
g. Berkurangnya nafsu makan.
h. Anoreksia.
Pemeriksaan fisik:
a. Hepatomegali.
b. Nyeri tekan perut kanan.
c. Ikterus, namun jarang terjadi.
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura.
e. Buang air besar berwarna seperti kapur.
f. Buang air kecil berwarna gelap.
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik.

F. Diagnosis
1. Abses hati amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang
tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh
tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat
menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973),
atau kriteria Lamont dan Pooler.
A. Kriteria Sherlock (1969)
a. Hepatomegali yang nyeri tekan.
b. Respon baik terhadap obat amebisid.
c. Leukositosis.
d. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
e. Aspirasi pus.
f. Pada USG didapatkan rongga dalam hati.
g. Tes hemaglutinasi positif
B. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
a. Hepatomegali yang nyeri.
b. Riwayat disentri.
c. Leukositosis.
d. Kelainan radiologis.
e. Respons terhadap terapi amebisid
C. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
a. Hepatomegali yang nyeri.
b. Kelainan hematologis.
c. Kelainan radiologis.
d. Pus amebik.
e. Tes serologi positif.
f. Kelainan sidikan hati.
g. Respons terhadap terapi amebisid
2. Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP
kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering
tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-
Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai
prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes
serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan
diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi
positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur
hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-
3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L,
SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang
didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati
didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif
menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini,
kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan
antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE),
dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada
feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9)
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah,
gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase,
peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya
konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang
menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang
memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada
permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering
ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan
kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto
polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan
air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG
sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis
hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti
ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan
kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 %
berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak
sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar
10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang
tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik
pada fase porta. (2)

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)


Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang
didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma
kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru.
Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral
sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses
merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau
cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide
scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT
scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama
untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan :
apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar
dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses
sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau
membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras
kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa
dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang
menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-
septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran
menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan
semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens
sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat
monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis.
Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman
Klebsiella. (1,2,)

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya
terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan
penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang
tidak tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase
tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik
dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular.
Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-
bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang
makin lama makin bertambah tebal. (16)

H. Penatalaksanaan
1. Abses hati amebik (2,12,14,17)
1.1 Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif
untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek
samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut
kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk
kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 –
10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang
dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg
perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500
mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari
intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif
lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada
otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada
penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak.
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan
dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu.
Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi
selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama
2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
1.2 Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel,
atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan
aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
1.3 Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan
ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi
kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan
kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati.
Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan
komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.
1.4 Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak
berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian
secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu,
drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang
tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya
ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba
yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan
bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil
Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam
mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
2. Abses hati piogenik (1,2,7,10)
Pencegahan merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas
akibat abses hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan
endoskopi.
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal.
Terapi definitif dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran
cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3
minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang
diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV.
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV.
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer. Sedangkan drainase bedah
dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan, drainase
perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.
I. Komplikasi
1. Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal
atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah
aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang
paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi
serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat
menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi
infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk
produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula
bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung
biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat
menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-
organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri
hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)
2. Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses,
hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi
rekurensi atau reaktifasi abses.(1)

J. Prognosis
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas
memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%.
Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada
peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini
disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit
ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak
serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah
abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati
seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi
pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga
peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan
dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah
DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang
diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase
adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses
multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit
immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak
dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural
atau adanya penyakit lain. (1,2)

K. Diagnosis Banding(18)
Differential Diagnosis Manifestasi Klinis
Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Abdurrahman Ali
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 90 tahun
Alamat : Bireuen
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Menikah
No CM : 1-17-76-58
Tanggal Masuk RS : 09 Juli 2018
Tanggal Pemeriksaan : 23 Juli 2018

2. ANAMNESIS
2.1 Keluhan Utama
Nyeri di daerah kemaluan sejak 1 hari SMRS
2.2 Keluhan Tambahan
Tidak ada
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RSUD Fauziah Bireuen datang ke IGD RSUDZA
dibawa oleh keluarga dengan keluhan nyeri di daerah kemaluan sejak 1 hari
SMRS. Awalnya, muncul benjolan yang nyeri di kantung kemaluan sejak
seminggu yang lalu. Benjolan semakin membesar dan berwarna kemerahan.
Pasien dibawa ke RSUD Fauziah Bireuen dan dilakukan operasi
debridement + drainase abses 1 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
keluar cairan seperti urine di luka bekas operasi di perut bagian bawah sejak
1 bulan ini. Keluhan berkurang saat pasien dipasang kateter. Terdapat
riwayat BAK sering dan sedikit. Riwayat BAK tertahan, BAK keluar batu,
dan BAK berdarah disangkal.

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM (-) Hipertensi (-)

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada.
2.6 Riwayat Pengobatan
Tidak ada.
2.7 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sudah menikah.

3. VITAL SIGN (13 Mei 2018)


Tekanan darah : 125/80 mmHg
Heart rate : 86 kali/menit
Respiratory rate : 20 kali/menit
Temperatur : 38,6C

4. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
 Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), Sklera ikterik (-)
 Telinga : Normotia, sekret (-),
 Hidung : NCH (-)
 Mulut : Sianosis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
 Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi
Palpasi : Fremitus kanan = fremitus kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS IV MCLS
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I> BJ II, reguler, bising (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) 4x/menit, kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), soepel (+)
Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas
Superior : Edema (-), sianosis (-)
Inferior : Edema (-), sianosis (-)
Genetalia
S/L ar. Suprapubic
- Look : tampak luka kemerahan, pus (+)
- Feel : Nyeri tekan (+)
S/L ar. Genitalia eksterna
- Look : tampak luka post debridement, pus (+), darah (-), terpasang
kateter
- Feel : Nyeri (+)

5. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
(16 Juli 2018)
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Darah Rutin
- Hemoglobin 7,0* 14,0-17,0 g/dl
- Hematokrit 21* 45-55 %
- Eritrosit 2,6* 4,7-6,1 106/mm3
- Leukosit 8,0 4,5-10,5 103/mm3
- Trombosit 104* 150-450 103/mm3
Hitung jenis
- Eosinofil 3 0-6 %
- Basofil 1 0-2 %
- Netrofil batang 0* 2-6 %
- Netrofil segmen 76* 50-70 %
- Limfosit 13* 20-40 %
- Monosit 7 2-8 %
Elektrolit
- Natrium (Na) 144 132-146 mmol/L
- Kalium (K) 4,3 3,7-5,4 mmol/L
- Klorida (Cl) 115 98-106 mmol/L
Diabetes
- Gula darah sewaktu 59 <200 mg/dl
Ginjal Hipertensi
- Ureum 38 13-43 mg/dl
- Kreatinin 0,92 0,67-1,17 mg/dl
Hati & Empedu
- Protein total 4,73* 6,4-8,3 g/dl
- Albumin 2,75* 3,5-5,2 g/dl
- Globulin 1,97 g/dl

6. Ultrasonografi (13 Juli 2018)


Renal
- Ren dextra : ukuran normal, intensitas echo meningkat, tak tampak
batu, system pelviocalyceal normal, tak tampak kista atau massa,
batas sinus cortex tak jelas.
- Ren sinistra : ukuran normal, intensitas echo meningkat, tak tampak
batu, system pelviocalyceal normal, tak tampak kista atau massa,
batas sinus cortex tak jelas.
- Efusi pleura bilateral
Kesan: nephritis kronis bilateral, efusi pleura bilateral

Vesica urinaria
- Vesica urinaria ukuran normal, dinding menebal, tak tampak batu,
terpasang kateter.
- Prostat tak tampak jelas
7. ULTRASONOGRAFI ( 3 Mei 2018)
Hepar:
- Ukuran hepar membesar (15, 32 cm)
- Tampak lesi hipoechoic ukuran 8,4 x 6,4 x 6,9 cm pada lobus kanan
dengan kesan abses hepar.
Kesan: Abses Hepar

8. DIAGNOSIS BANDING
1. Abses scrotum
2. Orchitis
3. Sistitis
4. Nefritis kronik

9. DIAGNOSIS
Abses scrotum + fistel vesicocutan

10. PENATALAKSANAAN AWAL


- IVFD Futrolit 20 gtt/i
- Inj Levofloxacin 750 mg/12 jam
- Inj Novalgin 1 amp/8 jam
- Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
- Drip Albumin 25% 1 fls/hari (selama 3 hari)

11. PLANNING
- Rawat ruangan
- Perbaiki keadaan umum
- Cek darah rutin
- Kultur pus
- Ro thorax erect
- Cek urinalisa
12. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

13. FOLLOW UP HARIAN

Tanggal Catatan Instruksi


10 Juli 2018 S/ luka di kemaluan, P/ - Cek darah rutin
nyeri (+) - Kultur pus
O/ KU : sedang - Ro thorax erect
TD : 130/80 mmHg - Cek urinalisa
HR : 86x/i
RR : 22x/i
T : 36,6°C Th/
S/L ar. Genitalia - IVFD Futrolit 20 gtt/i
eksterna - Inj Levofloxacin 750
I : luka kemerahan (+), mg/12 jam
pus (+) - Inj Novalgin 1 amp/8
F : nyeri tekan (+) jam
A/ abses scrotum + - Inj Ranitidin 1
fistel vesicocutan post amp/12 jam
debridement - Drip Albumin 25% 1
fls/hari (selama 3 hari)

20 Juli 2018 S/ nyeri di scrotum P/ Transfusi TC 500 cc


O/ KU : sedang
TD : 90/60 mmHg Th/
HR : 78x/i - IVFD Futrolit 05%
RR : 20x/i 2:1 20 gtt/i
T : 36,7°C - IVFD Aminofluid 1
S/L ar. Scrotum fls/hari
I : defek terbuka (+), - Inj. Levofloxacin 750
pus berkurang, sludgi mg/24 jam
(+), jar. Granulasi (+) - Inj. Novalgin 1 amp/8
F : nyeri (+) jam
A/ abses scrotum + - Inj. Omeprazole 1
fistel vesicocutan vial/ 12 jam
- Diet MB ekstra telur

21 Juli 2018 S/ nyeri di scrotum P/ Transfusi TC 500 cc


O/ KU : sedang Konsul Anestesi
TD : 90/60 mmHg
HR : 78x/i Th/
RR : 20x/i - IVFD Futrolit 05%
T : 36,7°C 2:1 20 gtt/i
S/L ar. Scrotum - IVFD Aminofluid 1
I : defek terbuka (+), fls/hari
pus berkurang, sludgi - Inj. Levofloxacin 750
(+), jar. Granulasi (+) mg/24 jam
F : nyeri (+) - Inj. Novalgin 1 amp/8
A/ abses scrotum + jam
fistel vesicocutan - Inj. Omeprazole 1
vial/ 12 jam
- Diet MB ekstra telur

22 Juli 2018 S/ nyeri di scrotum P/ Transfusi TC 500 cc


O/ KU : sedang Senin OP
TD : 100/70 mmHg
HR : 76x/i Th/
RR : 20x/i - IVFD Futrolit 05%
T : 36,7°C 2:1 20 gtt/i
S/L ar. Scrotum - IVFD Aminofluid 1
I : defek terbuka (+), fls/hari
pus berkurang, sludgi - Inj. Levofloxacin 750
(+), jar. Granulasi (+) mg/24 jam
F : nyeri (+) - Inj. Novalgin 1 amp/8
A/ abses scrotum + jam
fistel vesicocutan - Inj. Omeprazole 1
vial/ 12 jam
- Diet MB ekstra telur

23 Juli 2018 S/ nyeri di scrotum P/ Transfusi TC 500 cc


O/ KU : sedang Transfusi PRC 1 kolf
TD : 95/65 mmHg
HR : 80x/i Th/
RR : 20x/i - IVFD Futrolit 05%
T : 36,7°C 2:1 20 gtt/i
S/L ar. Scrotum - IVFD Aminofluid 1
I : defek terbuka (+), fls/hari
pus berkurang, sludgi - Inj. Levofloxacin 750
(+), jar. Granulasi (+) mg/24 jam
F : nyeri (+) - Inj. Novalgin 1 amp/8
A/ abses scrotum + jam
fistel vesicocutan - Inj. Omeprazole 1
vial/ 12 jam
- Diet MB ekstra telur
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah diperiksa pasien laki laki usia 48 tahun rujukan dari RS Sigli
datang ke IGD RSUDZA dibawa oleh keluarga dengan keluhan nyeri pada
perut kanan atas dan menjalar ke bahu kanan dan tulang belakang. Hal ini
sudah dialami sejak ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri awalnya
hilang timbul dan dalam ± 5 hari ini nyeri semakin memberat dan menjalar
sampai ke bahu sebelah kanan dan punggung belakang. Pasien juga
mengeluhkan demam yang hilang timbul dalam satu bulan ini. Riwayat
nyeri pada seluruh lapangan perut tidak ada. Mual (+) muntah tidak ada.
Riwayat kuning pada mata (+). Riwayat BAB cair atau mencret disangkal,
riwayat BAK pekat dan BAB dempul disangkal. BAK dan BAB dalam
batas normal. Pasien telah dilakukan tindakan drainage dan alih rawat bedah
thoraks kardiovaskular dengan empiema paru untuk dilakukan tindakan
VATS dekortikasi.
Pasien rujukan dari RS Sigli dengan diagnosis abses hepar +
cholelithiasis dan sudah dilakukan USG abdomen. Dari pemeriksaan USG
Abdomen didapatkan hasil: ukuran hepar membesar (15, 32 cm), tampak
lesi hipoechoic ukuran 8,4 x 6,4 x 6,9 cm pada lobus kanan dengan kesan
abses hepar. Hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan adanya kesan elevasi
diafragma kanan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis,
SGOT dan SGPT dalam batas normal, serta bilirubin total dan bilirubin
direk menurun. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi, pasien kini lebih diarahkan dengan
diagnosis abses hepar.
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber
dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi
dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel
inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Secara umum, abses hati
terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
Abses hati amebik disebabkan oleh Entamoeba histolytica sedangkan
organisme yang paling sering ditemukan sebagai penyebab abses hati
piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris,
Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya
Streptococcus Milleri ).
Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba
(khususnya pada abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses
hepar piogenik), aspirasi, maupun drainase perkutan atau drainase bedah.
Antiamoeba dapat diberikan berupa metronidazole, DHE, maupun
chloroquin, sedangkan untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau
sefalosporin ( untuk coccus gram (+) dan gram (-) yang sensitif),
aminoglikosida, klindamisin, dan kloramfenikol ( untuk bakteri anaerob),
maupun ampicilin-sulbaktam.(2). Pasien dberikan terapi berupa diet hepar,
IVFD NaCl 0,9% sebanyak 20 tpm karena pasien dalam keadaan demam,
lemah, dan intake kurang sehingga kemungkinan elektrolit kurang,
metronidazole 0,5gr/8jam/IV, dan sistenol 3 x 500 mg. Setelah diberikan
terapi ini, demam pada pasien mulai turun pada hari ke I perawatan dan
nyeri perut kanan atas dirasakan mulai berkurang pada hari ke IV
perawatan.
Tujuan diet hepar pada pasien ini adalah mencapai dan
mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan
cara meningkatkan regenerasi hati dan mencegah kerusakan lebih lanjut
dan/atau meningkatkan fungsi jaringan hati yang tersisa, mencegah
katabolisme protein, mencegah penurunan berat badan atau meningkatkan
berat badan bila kurang, mencegah atau mengurangi asites, varises esofagus,
dan hipertensi portal, serta mencegah koma hepatik. Syarat-syarat diet hepar
adalah energi tinggi untuk mencegah pemecahan protein yang diberikan
bertahap sesuai kemampuan pasien yaitu 40-45 kkal/kgBB, lemak cukup
yaitu 20-25 % dari kebutuhan energi total, dalam bentuk yang mudah
dicerna atau dalam bentuk emulsi, protein agak tinggi yaitu 1,25-1,5 g/kgBB
agar terjadi anabolisme protein, vitamin dan mineral sesuai dengan tingkat
defisiensi, natrium diberikan rendah tergantung tingkat edema dan ascites,
cairan diberikan lebih dari biasa, bentuk makanan lunak bila ada keluhan
mual dan muntah atau makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.(19)
Aspirasi dilakukan bila pengobatan medikamentosa tidak berhasil (72
jam), lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan
metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu
dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. Drainase
perkutan dilakukan dengan indikasi ancaman ruptur atau diameter abses > 7
cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan
permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati.
Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi
paru, peritoneum, dan perikardial. Drainase bedah diindikasikan untuk
penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih
konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa.
Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang
tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. (1,2)
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat
leukositosis muncul sebagai akibat dari proses infeksi, sebagai salah satu
upaya sistem imun untuk melawan mikroorganisme penyebab infeksi.
Enzim – enzim hati (SGOT dan SGPT) menunjukkan fungsi kerja hepar.
Adanya proses infeksi dapat memicu peningkatan produksi enzim – enzim
hati, sehingga kadar enzim – enzim tersebut tinggi di dalam darah. Pada
pemeriksaan lab, pasien belum menunjukkan adanya peningkatan enzim –
enzim hati. Selain pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan, ada
beberapa pemeriksaan yang belum dilakukan yang dapat mendukung
diagnosis dan terapi, di antaranya pemeriksaan alkali fosfatase, PT & aPTT.
Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada regio hipokondrium dextra,
hal ini disebabkan oleh peregangan kapsula Glison pada hepar sebagai
akibat adanya abses. Selanjutnya, pemeriksaan yang menjadi standar emas
untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah yang
memperlihatkan bakteri penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab
misalnya bseperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa
ditemukan. Namun, pemeriksaan ini sulit dilakukan karena pengambilan pus
dari hepar akan sangat menyakitkan bagi pasien. Pemeriksaan analisa feses
juga dilakukan untuk menilai feses baik dari segi warna, konsistensi, ada
atau tidaknya darah dan lendir, leukosit, eritrosit, telur cacing, amoeba, dan
lain-lain.
BAB V
KESIMPULAN

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber
dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi
dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel
inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Secara umum abses hepar
terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba
(khususnya pada abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses
hepar piogenik), aspirasi, maupun drainase perkutan atau drainase bedah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :


Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.

2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1,
80-83, 93-94, 487-491, 513-514.

3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam


: Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.

4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.

5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel


ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.

6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a


glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.

7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,


biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.

8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :


Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42

9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :


Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.

11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal
684.

12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal


medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.

13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.

14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses


hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%20
amuba%20(dr%20arini).pdf.

15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson


textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.

16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi


diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.

17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.


Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.

18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.

19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal
120-122.

Anda mungkin juga menyukai