Nefropati Diabetik Print + CHF
Nefropati Diabetik Print + CHF
Nefropati Diabetik Print + CHF
PENDAHULUAN
1
komplikasi yang sering menjadi suatu langkah pengelolaan yang strategis dan
sangat penting, dengan harapan upaya tersebut dapat menunda perkembangan
terjadinya komplikasi maupun menghambat progresifitas komplikasi yang sudah
terjadi.2
Penyebab kematian utama pada penderita DM adalah penyakit
kardiovaskuler. Berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang terhimpun
dalam DM di antaranya adalah hipertensi, obesitas sentral, dislipidemia,
mikroalbuminuria, kelainan koagulasi, tekanan darah dan nadi, serta hipertrofi
ventrikel kiri. Di antara faktor risiko ini, hipertensi dapat mencapai dua kali lebih
sering terjadi pada diabetes dibandingkan dengan penderita non diabetes, pada
DM tipe 1 hipertensi terdapat pada 10-30% penderita, sedangkan pada DM tipe 2
30-50% penderita mengidap hipertensi.2
Sekitar 90% kasus DM termasuk dalam jenis DM tipe 2. Lebih dari 50%
penderita DM tipe 2 mengalami hipertensi. Hipertensi dan DM yang terjadi secara
bersamaan dapat meningkatkan risiko komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan antihipertensi pada
pasien DM tipe 2 secara tepat sebagai suatu langkah penanganan yang strategis
dan sangat penting, dengan harapan upaya tersebut dapat menunda perkembangan
terjadinya komplikasi maupun menghambat progresifitas komplikasi yang telah
terjadi.2
Munculnya hipertensi pada diabetes disebabkan hiperglikemia pada
diabetes mellitus yang dapat meningkatkan angiostensin II sehingga dapat
menyebabkan hipertensi, dengan timbulnya hipertensi dapat menyebabkan
komplikasi yang lebih lanjut seperti jantung koroner, nefropati diabetes, dan
retinopati diabetes. Diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi merupakan dua
penyakit kronik yang banyak ditemukan dalam masyarakat serta sering ditemukan
secara bersamaan karena kedua penyakit tersebut merupakan penyakit degeneratif,
yaitu penyakit yang diakibatkan karena fungsi atau struktur dari jaringan atau
organ tubuh yang secara progesif menurun dari waktu ke waktu karena usia atau
pilihan gaya hidup. Tanpa penanganan yang adekuat keduanya akan berakhir
dengan komplikasi yang sama yaitu kematian karena kardioserebrovaskular dan
gagal ginjal.2
2
Hipertensi pada DM tipe 2 muncul bersamaan dengan atau mungkin malah
mendahului munculnya diabetes. Hal ini disebabkan pada penderita hipertensi
sering ditemukan adanya sekumpulan kelainan lainnya seperti: obesitas sentral,
dislipidemi, hiperurisemi dan hiperinsulinemia/resistensi insulin atau yang
sekarang disebut sindroma metabolik. Sehingga dari penelitian ini diambil
kesimpulan bahwa pada hipertensi esensial terdapat suatu keadaan resistensi
insulin. Dalam penelitian ini, orang yang memiliki riwayat hipertensi lebih
berisiko terkena DM tipe-2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki
riwayat hipertensi meskipun secara statistik tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya di Amerika yang menunjukkan bahwa individu dengan
hipertensi 2,5 kali lebih sering mengalami DM tipe-2 dibanding normotensi.2
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal
mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan
pengisian cukup. Dulu gagal jantung dianggap akibat dari berkurangnya
kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk
meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban. Gagal
jantung merupakan sindrom klinis, di tandai oleh sesak napas dan fatik baik saat
istirahat atau saat aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
jantung.
3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.2 Klasifikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi diabetes melitus4
Destruksi sel beta pankreas, umumnya
terjadi defisiensi insulin absolut
Tipe 1 sehingga mutlak membutuhkan terapi
insulin. Biasanya disebabkan karena
penyakit autoimun atau idiopatik.
Bervariasi, mulai dari yang dominan
resistensi insulin disertai defisiensi
Tipe 2 insulin relatif sampai dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi
insulin.
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
Tipe Lain e. Karena obat/ zat kimia/
iatrogenik
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM
Diabetes melitus gestasional
4
2.1.3 Kelompok Resiko Tinggi DM5
a. Umur ≥ 45 tahun
b. Obesitas
c. Hipertensi
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat melahirkan anak dengan berat lahir ≥ 4 Kg
f. Riwayat DM gestasional
g. Dislipidemia (HDL ≤ 35 mg/dl atau TG >210 mg/dl)
h. Riwayat toleransi gula terganggu atau gula darah puasa terganggu
i. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)
j. Riwayat penyakit kardiovaskuler
2.1.4 Diagnosis1,3
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Tabel 2.2 Diagnosis Diabetes Melitus
Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. (peringkat bukti B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
5
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
6
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c 5,7-6,4%.
2.1.5 Penatalaksanaan1
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
1) Gejala yang dialami oleh pasien.
2) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
3) Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
4) Riwayat penyakit dan pengobatan.
5) Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pengukuran tinggi dan berat badan.
2) Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru dan
jantung
3) Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c. Evaluasi Laboratorium
7
1) HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang
mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4
kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak
mencapai sasaran terapi.
2) Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru
terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
1) Profil lipid dan kreatinin serum.
2) Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
3) Elektrokardiogram.
4) Foto sinar-X dada
5) Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif oleh
dokter spesialis mata atau optometris.
6) Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk mengenali
faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi, denyut pembuluh
darah kaki, tes monofilamen 10 g, dan Ankle Brachial Index (ABI).
Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus:
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan.
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan
8
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang
(50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-usia pasien.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR
≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa
darah (glucose dependent).
9
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes
oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.
2.1.6 Komplikasi
2.1.6.1 Komplikasi Akut 4
Komplikasi akut mencakup :
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai
dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.
2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
a. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dL
b. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus
selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia
10
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga
harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat
telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan OHO kerja
panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang
harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada
DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang
lebih lama.
c. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar,
banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-
glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).
d. Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang
memadai. Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik,
diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman
yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui
intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien
dengan hipoglikemia berat.
e. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat
diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan
darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya
kesadaran.
11
intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
c. Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati
a. Retinopati diabetik
b. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya
retinopati
c. Nefropati diabetik
d. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati
e. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati
3. Neuropati
a. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki dan amputasi.
b. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,
dan lebih terasa sakit di malam hari.
c. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram
sedikitnya setiap tahun.
d. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi.
e. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan
trisiklik, atau gabapentin.
f. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.
12
2.2 Nefropati Diabetik
2.2.1 Definisi3,6
Nefropati Diabetika adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Pada umumnya, nefropati diabetik
didefinisikan sebagai sindroma klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
2.2.2 Etiologi6
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya
Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan
progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V
Nefropati Diabetika).
2.2.4 Klasifikasi3
13
Tahapan Nefropati Diabetik oleh Mogensen, yakni
a. Tahap 1. Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis
ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan eksresi albumin dalam urin
meningkat.
b. Tahap 2. Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi
glomerulus tetap meningkat, eksresi albumin dalam urin dan tekanan darah
normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana
basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium
fraksional (dengan peningkatan matriks mesangium).
c. Tahap 3. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi
glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju
ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah
mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan
membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
d. Tahap 4. Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan
histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien.
Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi
glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan
ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
e. Tahap 5. Timbulnya gagal ginjal terminal
2.2.5 Tatalaksana3
a. Evaluasi
Pada saat diagnosis ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan
fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah
menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American
Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya
mikroalbuminuria serta penetuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.
Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan
laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault
yaitu:
(140 − umur)x Berat Badan
𝐾𝑙𝑖𝑟𝑒𝑛𝑠 𝐾𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝐺𝑙𝑜𝑚𝑒𝑟𝑢𝑙𝑎𝑟 𝐹𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑅𝑎𝑡𝑒:
72 x Kreatinin Serum
14
b. Terapi
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan
apakah masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau
makroalbuminuria. Tetapi pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana
nefropati diabetik adalah melalui :
15
2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi7
Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan sistolik yang terus-
menerus ≥140 mmHg dan/atau tekanan diastolik yang ≥90 mmHg.
2.3.2 Klasifikasi7
Menurut The Seventh Report of The joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
2.3.4 Pengobatan7
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
a. Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi
(diabetes, gagal ginjal proteiunuria) <130/80 mmHg.
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
c. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
16
1) Terapi Non Farmakologis
a. Menghentikan merokok
b. Menurunkan berat badan berlebih
c. Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
d. Latihan fisik
e. Menurunkan asupan garam
f. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan
lemak
2) Terapi Farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan oleh JNC 7:
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide atau Aldosterone Antagonist
b. Beta Blocker
c. Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker
(ARB)
Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi
atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya
komplikasi.
17
2.3.5 Krisis Hipertensi7
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target.
Krisis hipertensi meliputi dua kelompok, yaitu :
1. Hipertensi darurat (emergency hypertension) : dimana selain tekanan
darah yang sangat tinggi terdapat kelainan kerusakan target organ yang
bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan
segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegah/membatasi
kerusakan target organ yang terjadi.
2. Hipertensi mendesak (urgency hypertension) : dimana terdapat tekanan
darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ
target yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat
dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari).
Tabel 2.4 Gambaran Klinis Hipertensi Darurat
Tekanan Funduskop Status Jantung Ginjal Gastrointestin
Darah i Neurologi al
> 220/140 Perdarahan, Sakit Denyut jelas, Uremia, Mual, muntah
mmHg eksudat, kepala, membesar, proteinuria,
edema gangguan dekompensasi oligouria
papila kesadaran,
kejang,
lateralisasi
18
2.4.2 Etiologi/predisposisi10
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :
1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan
penyakit degeneratif atau inflamasi.
2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.
6) Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia
dan anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
19
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.
2.4.3 Diagnosis7
Kriteria Minor:
a. Edema Ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardi
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 2 kriteria major atau 1
kriteria major ditambah 2 kriteria minor.
20
2.4.4 Pemeriksaan Penunjang 7
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting
meliputi frekuensi denyut jantung, irama jantung, sistem konduksi, dan
terkadang etiologi dari kelainan jantung. Kelainan segmen ST; berupa ST
segmen elevasi infark miokard (STEMI) atau Non STEMI. Gelombang Q
pertanda infark transmural sebelumnya. Adanya hipertrofi, bundle branc
block (BBB), disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia,
atau perimiokarditis.
2. Foto thoraks
Foto thoraks harus diperiksakan secepat mungkin saat masuk pada
semua pasien yang diduga gagal jantung untuk menilai kongesti paru,
dan untuk mengetaui adanya kelainan paru dan jantung yang lain seperti
efusi pleura, infiltrat, atau kardiomegali.
3. Analisa gas darah arterial
Pemeriksaan ini memungkinkan kita untuk menilai oksigenasi
(pCO2) dan keseimbangan asam basa (pH) dan harus dinilai pada setiap
pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis pertanda perfusi
jaringan yang buruk atau retensi Co2 dikaitkan dengan prognosa yang
buruk. Pengukuran dengan pulse oxymetri dapat mengganti analisa gas
darah arterial tetapi tidak bisa memberikan informasi pCO2 atau
keseimbangan asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindroma low
output yang berat atau vasokontriksi dan status syok.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaaan darah lengkap, elektrolit, urea, creatinin, gula darah,
albumin, enzyme hati, dan INR merupakan pemeriksaan awal yang harus
dilakukan pada semua penderita gagal jantung. Kadar sodium yang
rendah, urea dan creatinin yang tinggi memberikan prognosa yang buruk
pada kasus gagal jantung. Peninggian sedikit dari cardiac troponin bila
terlihat pada gagal jantung walau tidak ada sindrom koroner akut (SKA).
Peningkatan dari troponin yang disertai dengan SKA merupakan
pertanda prognosa yang tidak baik.
21
5. Natriutic peptide
B-type natriuretic peptides (BNP dan NT-pro BNP) yang diperiksa
pada fase akut dapat diterima sebagai prediktif negative untuk
mengeklusi gagal jantung. Belum ada kesepakatan mengenai referensi
nilai BNP NT-pro BNP pada gagal jantung. Pada saat serangan edema
paru atau mitral regurgitasi akut, kadar natriuretic peptide masih bisa
normal saat masuk RS. Namun pemeriksaan BNP NT-pro BNP saat
masuk dan sebelum pulang akan memberiksan informasi prognostic yang
penting.
6. Ekokardiografi
Ekokardiografi berperan penting untuk evaluasi kelainan struktural
dan fungsional dari jantung yang berkaitan dengan gagal jantung. Semua
penderita gagal jantung harus dievaluasi dengan ekokardiografi secepat
mungkin. Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung menentukan
strategi pengobatan.
Pencitraan ini harus diperiksakan untuk memonitor fungsi sistolik
vetrikel kiri dan kanan secara regional dan global, fungsi diastolik,
struktur dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis dari
infark akut, adanya disinkroni, juga dapat menilai semi kuantitatif, non
invasif, tekanan pengisian dari ventrikel kanan dan kiri, stroke volume
dan tekanan arteri pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan
strategi pengobatan.
2.4.5 Penatalaksanaan10
22
a. Terapi Farmakologi
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala
volume berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal,
menurunkan volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi
beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar
tekanan darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosida digitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
volume distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
6) Inhibitor ACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi
aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini
juga menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan
peningkatan curah jantung.
23
BAB III
Nama : Tn A.
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Batusangkar
A. Anamnesa
Keluhan Utama: Sembab pada wajah dan kaki sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit.
a. Sembab pada wajah dan kaki muncul bersamaan sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Sembab pada wajah dan kaki baru pertama kali
dialami. Pasien sudah berobat ke rumah sakit Batusangkar dan dirawat
selama 10 hari. Di rumah sakit Batusangkar pasien didiagnosa mengalami
gangguan pada ginjal dan oleh karena tidak bisa ditindak lanjuti di rumah
sakit tersebut, pasien dirujuk ke RSAM Bukittinggi.
b. Kesemutan pada kedua kaki sejak satu tahun yang lalu.
c. Nafsu makan berkurang satu tahun yang lalu.
d. Mual dan muntah sejak 15 hari yang lalu. Hampir setiap makan, pasien
memuntahkan makanannya.
e. Badan terasa lemah sejak 15 hari yang lalu.
24
f. Penglihatan kabur sejak 15 hari yang lalu.
g. Nyeri ulu hati sejak 10 hari yang lalu
h. Sesak napas dirasakan hilang timbul sejak 5 hari yang lalu. Pasien
mengatakan sesak dipengaruhi oleh udara dingin, dan paling sering
dirasakan menjelang pagi sehingga menyebabkan pasien terbangun dan
tidak bisa tidur lagi. Pasien menyangkal sesak dipengaruhi oleh aktivitas
dan makanan. Sesak berkurang apabila pasien meninggikan posisi kepala.
Sesak kadang-kadang diikuti dengan nyeri dada seperti tertekan beban
berat.
i. Nyeri kepala 5 hari yang lalu hilang timbul, terasa seperti tertekan beban
berat sampai ke kuduk
j. BAB normal.
k. BAK normal. Sering BAK pada malam hari (-)
l. Jantung berdebar (-)
Riwayat Psikosial:
25
Indeks Brinkman : jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap x lama
merokok dalam tahun.
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
Indeks Brinkman pada pasien ini : 12x30= 360 (sedang)
b. Jarang berolahraga
c. Jarang mengkonsumsi serat
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nafas : 24x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,7°C
2. Status lokalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam beruban tidak mudah
dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), arcus
senilis (+/+), pupil isokor (+/+) diameter ± 3 mm,
refleks pupil (+/+)
Telinga : Simetris kiri dan kanan, nyeri tekan pada mastoid
(-/-)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-).
Mulut : Sianosis (-), lidah hiperemis (-), atrofi papil lidah
(-), uvula di tengah, tonsil T1T1 tidak hiperemis
Leher : Pembesaran KGB (-)
Pembesaran tiroid (-)
JVP 5+2 cmH2O
26
Thorax :
Pulmo
1. Pulmo Anterior
a. Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
b. Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
c. Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Peranjakan paru hepar 2 jari
d. Auskultasi : Vesikuler, rhonki (+), wheezing (-)
2. Pulmo Posterior
a. Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
b. Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
c. Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
d. Auskultasi : Vesikuler, rhonki (+), wheezing (-)
Cor :
Abdomen :
27
c. Perkusi : tympani
Shifting dullnes (-)
Undulasi (-)
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal
Hb : 12.5 g/dL
Ht : 35.0 %
ALT : 57 u/L
AST : 26 u/L
C-HDL : 40 mg/dL
28
Gluk : 185 mg/dL
UA : 5.9 mg/dL
- Kekeruhan : -
- leukosit :-
- Silinder :
Hialin :+
Granuler :-
Eri/leuko :-
- Epitel :+
- Kristal :-
- Oval bodies :
- Bakteri :+
- Jamur :-
Kimia urin :
Protein : +3
Gluk : +2
Ph : 6.5
29
Darah samar : ±
Bj : 1.015
D. Diagnosa Kerja :
diabetik
Hipertensi grade 2
30
E. Tindakan/Pengobatan :
IVFD RL 8 jam/kolf
Levo inf 1x1
KSR 1x1
Lasix tab 2x1
Alprazolam 2x0,25
Sukralfat syr 3x1
Simvastatin 1x20
Spironolakton 1x50
Valsartan 1x160
Neurodex 1x1
Novorapid pen 3x1
3.2 Follow up
31
Sucralfat Syrup 3x1
Amlodipin 1x10
Furosemid 1x1
b. Kamis, 01 September 2016
S : Sesak di pagi hari
Perut terasa kembung
Belum ada BAB pagi ini
BAK normal
Nafsu makan berkurang
O : Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 82x/menit
Nafas : 22x/menit
Suhu : 36,3°C
Oedema ekstremitas inferior
Gula darah sewaktu : 205
A : DM tipe 2 dengan komplikasi nefropati
diabetik
CHF functional class 2
Hipertensi grade 2
P : Infus RL 12 jam/kolf
Lasix 2x1
Spironolakton 1x50
Levo Infus 1x500
c. Jumat, 02 September 2016
S : nafsu makan berkurang, perut kembung sejak 7 hari yang lalu.
gangguan tidur (+)
sesak dirasakan menjelang pagi
nyeri dada (-)
batuk kering kadang-kadang
suara serak ± 3 hari yang lalu
32
BAB (-) sejak 2 hari yang lalu, BAK (+) normal.
kedua tungkai masih bengkak.
O : Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 62x/menit
Nafas : 22x/menit
Suhu : 36,3°C
Pembengkakan pada leher
A : DM tipe 2 dengan komplikasi nefropati
diabetic
CHF functional class 2
Hipertensi grade 2 +
P : Infus RL 12 jam/kolf
Lasix 2x1
Spironolakton 1x50
Levo Infus 1x500
Furosemid 2x2
Konsul ke THT.
33
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,6°C
A: DM tipe 2 dengan komplikasi nefropati diabetic
CHF functional class 2
Hipertensi grade 2
P: Cek ureum, creatinin 2x seminggu
Terapi Lanjut
34
Nadi : 64x/ menit
Nafas : 24x/menit
Suhu : 36,5 °C
A :DM tipe 2 dengan komplikasi nefropati diabetic
CHF functional class 2
Hipertensi grade 2
P : TL
35
BAB normal, BAK normal
Bengkak di tungkai berkurang
O :Kesadaran : CMC
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 130/100 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Nafas : 24x/menit
Suhu : 36,8 °8 C
A :DM tipe 2 dengan komplikasi nefropati diabetic
CHF functional class 2
Hipertensi grade 2
P : Terapi lanjut
36
BAB IV
4.1 Kesimpulan
Diagnosa kerja pada kasus di atas adalah diabetes mellitus tipe 2 dengan
komplikasi nefropati diabetik, congestive heart failure functional class 2, dan
hipertensi grade 2. Diagnosa diabetes melitus ditegakkan karena adanya beberapa
keluhan diabetes melitus seperti kesemutan pada kedua kaki, pandangan kabur,
badan terasa lemah, dan dari hasil pemeriksaan gula darah puasa meningkat yaitu,
185 mg/dL. Dan kemudian dilakukan pemeriksaan ulangan didapatkan hasil 145
mg/dL. Diagnosa diabetes melitus ditegakkan apabila
Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. (peringkat bukti B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
37
Diagnosa congestive heart failure diagnosis ditegakkan dengan tanda-
tanda yang ditemukan pada pasien sesuai dengan Kriteria Framingham.
Kriteria Major:
a. Paroksismal nokturnal dispnea atau orthopnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor:
a. Edema Ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardi
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 2 kriteria major atau 1
kriteria major ditambah 2 kriteria minor. Pada pasien terdapat 3 kriteria mayor,
yaitu orthopnea, ronkhi paru, dan peninggian tekanan vena jugularis, serta 1
kriteria minor yaitu edema ekstremitas.
4.2 Saran
38
Daftar Pustaka
39
10. Siregar.2011.”Chronic Heart Failure”.repository.usu.ac.id (diakses 31
Agustus 2016, 19:00 WIB)
40