Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pola Asuh Orang Tua

1. Definisi

Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, kata pola berarti model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur yang tetap),
sedangkan kata asuh mengandung arti menjaga, merawat, mendidik anak agar dapat berdiri sendiri.

Pola asuh orang merupakan perilaku yang diterapkan orang tua kepada anak dan bersifat relatif
konsisten dari waktu ke waktu. Pola ini tergantung bagaimana dari perilaku dan sikap orang tua
kepada anaknya, dan efeknya dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif atau positifnya (Israfil,
2015).

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau
perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan
nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik
sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Suparyanto, 2010).

2. Jenis-jenis pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua terbagi atas tiga jenis yakni : otoriter, demokratis dan primisif yang
digunakan untuk mengasuh anak berdasarkan tingatnya pengasuhan, tuntutan, komunikasi dan
kontrol terhadap prilaku anak.

a) Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah sentaral artinya segala ucapan, perkataan, maupun kehendak orang tua
dijadikan patokan (aturan) yang harus ditaati oleh anak-anaknya. Supaya taat, orang tua tidak segan-
segan menerapkan hukuman yang keras kepada anak. Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik
anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasa-batasan yang
mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak. Orang tualah
yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah objek pelaksana saja. Jika
anak membantah, orang tua tidak segan-segan akan memberikan hukuman, biasanya hukumannya
berupa hukuman fisik.

Pola asuh yang bersifat otoriter ditandai dengan hukuman yang keras, lebih banyak
menggunakan hukuman badan, anak juga di atur segala keperluannya dengan aturan yang ketat dan
masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang di besarkan dalam
suasana semacam ini akan besar dengan sikap yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup
mengambil keputusan apa saja. Akan tetapi apabila anak patuh maka orang tua tidak akan
memberikan penghargaan karena orang tua mengganggap bahwa semua itu adalah kewajiban yang
harus dituruti anak (Agustiawati, 2014).

b) Pola asuh demokratis

Pola asuh demkratis adalah gabungan antara pola asuh permisif dan otoriter dengan tujuan
untuk menyeimbangkan pemikiran, sikap dan tindakan antara anak dan orang tua. Pola asuh
demokratis merupakan suatu bentuk pola asuh orang tua yang memperhatikan dan menghargai
kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak, orang tua memberikan bimbingan yang penuh
pengertian kepada anak. Pola asuh ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan
pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan
yang telah di tetapkan orang tua.

Pola asuh demokratis ditandai sikap terbuka antara orang tua dengan anak, mereka membuat
aturan-aturan yang telah disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat,
perasaan dan keinginannya.dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua
dengan anak. Dengan pola asuh demokratis, anak mampu mengembangkan kontrol terhadap
perilakunya sendiri dalam hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak
untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya
berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampuh berinisiati.
Sehingga dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari
orang lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu
bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya (Agustiawati, 2014).

c) Pola asuh permisif

Pola asuh permisif ini orang tua justru merasa tidak peduli dan cendrung memberi kesempatan
serta kebebasan secara luas kepada anaknya. Pola asuh permisif ditandai dengan adanya kebebasan
yang diberikan kepada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Anak tidak tahu
apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau
menyalahkan anak. Akibatnya anak berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli
apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Keadaan lain pada pola asuh ini adalah
anak-anak bebas bertindak dan berbuat. Pola asuh permisif yaitu orang tua serba membolehkan
anak berbuat apa saja, orang tua membebaskan anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya
sendiri. Orang tua memiliki kehangatan dan menerima apa adanya, kehangatan cenderung
memanjakan, dituruti keinginannya, sedangkan menerima apa adanya akan cenderung memberikan
kebebasan kepada anak untuk berbuat apa saja. Pola asuh permisif bersifat terlalu lunak, tidak
berdaya, memberikan kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh
mereka, mungkin karena orang tua sangat sayang terhadap anak atau orang tua kurang dalam
pengetahuannnya (Agustiawati, 2014).
Sifat yang dihasilkan dari anak permisif dijelaskan dalam Agustiawati (2014) bahwa sifat-sifat
pribadi anak yang permisif biasanya agresif, tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, sukar
menyesuaikan diri, emosi kurang stabil, serta mempunyai sifat selalu curiga. Akibatnya anak
berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal ini sesuai dengan norma
masyarakat atau tidak. Keadaan lain pada pola asuh ini adalah anak-anak bebas bertindak dan
berbuat.

3. Ciri-ciri pola asuh orang tua

a) Pola asuh otoriter

Ciri-ciri orang tua dengan pola asuh otoriter (Agustiawati, 2014) adalah sebagai berikut:

1. Kurang komunikasi

2. Sangat berkuasa

3. Selalu mengatur

4. Suka memaksa

5. Bersifat kaku

b) Pola asuh demokratis

Ciri-ciri orang tua berpola asuh demokratis (Agustiawati, 2014) adalah sebagai berikut:

1. Suka berdiskusi dengan anak

2. Mendengarkan keluhan anak

3. Memberi tanggapan

4. Komunikasi yang baik

5. Tidak kaku/luwes

c) Pola asuh permisif

Ciri-ciri orang tua berpola asuh permisif (Agustiawati, 2014) adalah sebagai berikut:

1. Kurang membimbing

2. Kurang kontrol terhadap anak

3. Tidak pernah menghukum ataupun memberi ganjaran pada anak

4. Anak lebih berperan dari pada orang tua

5. Memberi kebebasan terhadap anak

4. Dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak


Dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak (Suparyanto, 2010) adalah:

a) Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang penakut, pendiam, tertutup,
tidak berinisiatif, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Kelebihan dari pola asuh ini adalah
anak menjadi patuh, sopan, disiplin dan rajin mengerjakan pekerjaan sekolah.

b) Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat
mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mempunyai minat terhadap hal-hal baru
dan koperatif terhadap orang-orang lain. Namun kelemahan dari pola asuh ini yaitu anak bisa
menjadi menjadi penuntut, tidak sabaran, dan bisa memiliki sifat cukup agresif.

c) Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, tidak patuh, manja,
kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.
Kelebihan dari pola asuh ini yaitu anak mempunyai kemampuan berpikir secara kreatif, bisa
membuat inovasi, lebih tegas dan lebih gembira.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua

Dalam Agustiawati (2014) menjelaskan bahwa pola pengasuhan sendiri terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi serta melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan pola pengasuhan pada
anak-anaknya yang diantaranya adalah sebagai berikut

a) Latar belakang pengasuhan orang tua

Kebanyakan dari orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola
pengasuhan yang mereka dapatkan sebelumnya. Hal ini di perkuat apabila mereka memandang pola
asuh yang pernah mereka dapatkan dipandang berhasil.

b) Status ekonomi serta pekerjaan orang tua

Orang tua cenderung sibuk dalam urusan pekerjaan terkadang menjadi kurang memperhatikan
keadaan anak-anaknya. Keadaan ini mengakibatkan fungsi atau peran menjadi orang tua di serahkan
kepada orang-orang terdekat atau bahkan kepada baby sitter, yang pada akhirnya pola pengasuhan
yang didapat oleh anak sesuai dengan orang yang mengasuh anak tersebut.

c) Usia orang tua

Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan, apabila terlalu muda
atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran sebagai orang tua secara optimal karena
diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

d) Tingkat pendidikan orang tua

Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berbeda pola pengasuhan dengan orang tua
yang hanya memiliki tingkat pendidikan rendah.
e) Budaya setempat

Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat dan budaya yang berkembang didalamnya.

f) Jumlah anak

Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua.
Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak
begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya
terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.

B. Perkembangan Personal Sosial

1. Definisi

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses kematangan
(Galib, 2013)

Perkembangan adalah perubahan secara berangsur-angsur dan bertambah sempurnanya fungsi


alat tubuh, meningkat dan meluasnya kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, kematangan dan
kedewasaan serta pembelajaran (Wong, 2008).

Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih komplek dalam
kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian (Depkes
RI, 2008).

Perkembangan personal sosial terdiri dari beberapa aspek yaitu aspek yang berhubungan dengan
kemandirian anak, aspek bersosialisai, dan berinteraksi dengan lingkungan. Perkembangan personal
sosial adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada anak yang berlangsung secara terus menerus
menuju proses kedewasaan menjadi manusia yang tumbuh dan berkembang yang akan hidup
ditengah-tengah masyarakat (Galib, 2013)

2. Tingkat perkembangan personal sosial anak usia prasekolah

Tingkat Perkembangan personal sosial anak usia prasekolah tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

a. Anak usia 3-4 tahun

Wong (2008) menyatakan bahwa perkembangan personal sosial anak usia prasekolah (3-4 tahun)
adalah:

1) Memasang sepatu

2) Melepas kancing

3) Makan sendiri dengan baik


4) Mengerti giliranya

5) Mencuci dan mengeringkan wajahnya

6) Menggosok gigi

7) Cenderung bersifat agresif secara fisik dan verbal

8) Bermain imajiner

9) Eksplorasi dan keingintahuan ditunjukan melalui permainan, seperti menjadi”dokter” atau


“perawat”

10) Bermain asosiatif atau bersama (bermain dengan anak lain).

b. Anak usia 4-5 tahun

Sholihah (2011) menyatakan bahwa perkembangan personal sosial anak usia prasekolah (4-5
tahun) adalah:

1) Pergi tidur sendiri tanpa ditemani orang tua

2) Menyisir rambut secara sederhana

3) Menggosok gigi sendiri

4) Mencuci muka tanpa dibantu

5) Dapat disuruh membeli sesuatu

6) Dapat mengikuti permainan yang bersifat lomba

7) Menyampaikan pesan sederhana

8) Memakai pensil atau kapur untuk menggambar

9) Naik dan turun tangga tanpa dibantu

c. Anak usia 5-6 tahun.

Sholihah (2011) menyatakan bahwa perkembangan personal sosial anak usia prasekolah (5-6
tahun) adalah:

1) Pergi tidur sendiri tanpa bantuan orang tua

2) Mandi masih dengan bantuan orang lain

3) Melayani diri sendiri dalam hal makan

4) Dapat berbelanja kecil-kecilan

5) Mengikuti permainan meja sederhana

6) Menulis satu atau lebih huruf yang sederhana


7) Mengikuti permainan yang beresiko seperti mendorong, meloncat dan jungkir balik

8) Dapat pergi sekolah sendirian dengan jarak sekolah yang dekat.

3. Penilaian perkembangan personal sosial anak usia prasekolah

Penilaian perkembangan personal sosial anak usia prasekolah ini dapat menggunakan tes
perkembangan adaptasi sosial. Adaptasi merupakan suatu proses yang kontinue, yang dimulai sejak
anak dilahirkan. Kematangan sosial merupakan suatu evolusi perkembangan perilaku yang nantinya
anak dapat mengekspresikan pengalamanya secara utuh dalam meningkatkan kemampuanya untuk
mandiri, bekerjasama dan bertanggung jawab terhadap kelompoknya (Galib, 2013).

Skala pengukuran perkembangan adaptasi sosial yang baik digunakan adalah tes penilaian
perkembangan personal sosial yang menggunakan Skala Kematangan Sosial atau VSMS (Vineland
Social Maturity Scale) yaitu sebuah tes yang digunakan untuk mengukur dan mengungkapkan darajat
atau tingkat kematangan sosial anak. Tes ini diberikan kepada anak usia 0 – 12 tahun dengan tujuan
untuk mencari kematangan sosial anak. Skala maturitas dari Vineland ini dibagi menjadi 8 kategori
perkembangan. Galib (2013) menyatakan skala maturasi sosial dari Vineland tersebut adalah

a. Self-help general (SHG)

Merupakan kemampuan dan keinginan anak untuk melakukan segala sesuatu dengan sendiri.
Kemampuan ini, menjadikan anak dapat menolong dirinya sendiri dalam melakukan aktivitas sehari-
hari sesuai tahap perkembangannya. Kemampuan anak usia prasekolah dalam menolong dirinya
sendiri tersebut merupakan kemampuan dasar anak untuk dapat mandiri. Kemampuan self-help
general anak usia prasekolah adalah sebagai berikut:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai dengan tahap perkembanganya anak telah mampu
menolong dirinya sendiri dalam hal memasang atau melepas sepatu tanpa tali, menggunakan serbet
ketika makan, serta buang air kecil / buang air besar di WC.

2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu pergi tidur sendiri,
mencuci muka dan tangan tanpa dibantu serta mengeringkanya sendiri.

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu pergi tidur sendiri
tanpa bantuan dan anak menggosok gigi tanpa bantuan

b. Self-help eating (SHE)

Merupakan kemampuan menolong diri sendiri dalam hal makan yakni anak mampu untuk makan
sendiri. Kemampuan anak usia prasekolah dalam self-help eating adalah sebagai berikut:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai dengan tahap perkembanganya anak telah mampu
mengambil makanan sendiri tanpa bantuan, anak dapat menggunakan garpu dan sendok saat
makan, dapat menyiapkan makanan sederhana seperti sereal dan susu dingin serta anak dapat
memotong makanan lunak saat makan tanpa bantuan.
2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu mengambil makanan
sendiri tanpa bantuan, anak dapat memakai sendok atau garpu saat makan, dan anak mampu
memotong makanan sendiri

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu mengambil makanan
sendiri dengan baik dan mampu melayani dirinya sendiri saat makan.

c. Self-help dressing (SHD)

Merupakan kemampuan anak menolong dirinya sendiri dalam hal berpakaian yakni mampu
berpakaian sendiri. Kemampuan anak usia prasekolah adalah sebagai berikut:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai dengan tahap perkembanganya anak telah mampu
menolong dirinya sendiri dalam hal berpakaian yang mempunyai beberapa indikator yakni anak
dapat menutup/membuka kancing baju dan membuka pakaian sendiri tanpa bantuan orang lain
(kecuali baju yang harus ditarik keatas).

2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu memakai pakaian
sendiri.

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu membuka pakaian
sendiri tanpa bantuan termasuk baju yang harus ditarik ke atas.

d. Self direction (SD)

Merupakan kemampuan anak dalam hal mengarahkan, memimpin dirinya sendiri dan
bertanggung jawab penuh untuk konsekuensi dari setiap perilakunya. Kemampuan anak usia
prasekolah adalah sebagai berikut:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai dengan tahap perkembanganya anak telah mampu
membereskan alat mainannya setelah selesai bermain dan anak dapat mengerti akibat jika
melakukan kesalahan.

2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak dapat disuruh membeli sesuatu
dan anak mengetahui jadwal makan dan belajar yang teratur.

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu belanja kecil-kecilan.

e. Occupation (O)

Merupakan kemampuan anak untuk melakukan pekerjaan untuk dirinya sendiri untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Kemampuan anak usia prasekolah adalah sebagai berikut:
1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai dengan tahap perkembanganya anak telah mampu
membantu pekerjaan rumah yang ringan, menggunakan alat-alat rumah tangga (misalnya sapu) dan
anak mampu menggunakan alat tulis seperti pensil untuk menggambar atau menulis.

2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu menyisir rambutnya
sendiri dan menggunakan alat tulis untuk menggambar.

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu menggunakan pisau
untuk memotong dan anak dapat menggunakan pensil untuk menulis satu huruf atau lebih

f. Communication (C)

Merupakan kemampuan anak dalam berkomunikasi seperti berbicara, tertawa dan membaca
untuk mengekspresikan sesuatu hal yang sedang dirasakan dan juga untuk melakukan hubungan
sosial dengan orang lain. Kemampuan komunikasi yang dapat dilakukan oleh anak usia prasekolah
adalah sebagai berikut:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), memiliki dua indikator yakni yang pertama anak dapat
melakukan komunikasi sederhana, seperti berbicara dengan orang lain yang ada disekitarnya dan
anak dapat menjadi pendengar yang baik ketika diberi nasihat oleh orang tua. Indikator yang kedua
yakni anak dapat melakukan komunikasi lanjutan seperti anak mampu mengutarakan dengan kata-
kata apa yang sedang dialaminya.

2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu menyampaikan pesan
sederhana kepada orang lain dan anak dapat mengutarakan keinginannya.

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu mengutarakan
keinginanya dan mengungkapkan perasaannya.

g. Locomotion (L)

Merupakan kemampuan anak dalam bergerak kemanapun yang anak inginkan. Kemampuan
bergerak ini merupakan salah satu aktivitas motorik yang dilakukan anak, dengan adanya aktivitas
motorik yang baik maka semakin baik pula kemampuan bergerak dan kemampuan berpindah yang
anak dapat lakukan. Kemampuan anak usia prasekolah dalam locomotion ini adalah:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu melakukan
gerakan sederhana seperti mampu menuruni tangga dengan menginjak satu kali setiap anak tangga
tanpa bantuan dan anak dapat melakukan lari di tempat tanpa terjatuh.

2) Anak usia prasekolah (4-5 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu menaiki dan menuruni
tangga tanpa bantuan serta anak pergi ke tetangga dekat tanpa diantar oleh orang tua.

3) Anak usia prasekolah (5-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu mengikuti permainan
yang beresiko seperti melompat, mendorong dan jungkir balik.

h. Socialization (S)
Merupakan kemampuan anak dalam berteman, terlibat dalam permainan dan berkompetisi
dengan tujuan memperoleh kepuasan diri dalam hubungan sosial tersebut. Kemampuan Sosialisasi
anak usia prasekolah adalah sebagai berikut:

1) Anak pada usia prasekolah (3-4 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu bersama teman-
temanya mengikuti permainan seperti bermain asosiatif dan anak bisa berbagi dengan temannya.

2) Anak usia prasekolah (4-6 tahun), sesuai perkembangannya anak mampu mengikuti permainan
yang bersifat lomba dan anak mampu bermain kartu atau ular tangga.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan personal sosial

Pola perkembangan secara normal antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama,
karena dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor diantaranya adalah (Galib,2012)

a) Pola asuh orang tua

Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan personal sosial anak.
Peranan orang tua yang dimaksud adalah pola asuh yang diberikan orang tua kepada anaknya terkait
dengan pembentukan perkembangana anak termasuk pemberian stimulasi. Stimulasi adalah
perangsangan yang datang dari lingkungan luar individu. Anak yang lebih banyak mendapatkan
stimulasi cenderung lebih cepat berkembang. Pemberian stimulasi yang berulang dan terus menerus
pada setiap aspek perkembangan anak berarti telah memberikan kesempatan pada anak untuk
berkembang secara optimal.

b) Genetika

Faktor genetika yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya adalah perbedaan ras,
etnis atau bangsa dan kelainan kromosom. Kelainan kromosom dapat menyebabkan ganggunan
pencapaian perkembangan bagi anak, misalnya anak dengan sindrom down.

c) Lingkungan

Lingkungan memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan personal sosial anak.
Faktor lingkungan yang berpengaruh dalam perkembangan personal sosial meliputi musim, iklim,
kehidupan sehari-hari dan status sosial ekonomi. Lingkungan yang kondusif akan menciptakan
keadaan yang aman dan nyaman bagi anak untuk mengeksplorasi perkembangan personal sosialnya.

d) Status kesehatan

Anak dengan kondisi tubuh yang sehat akan mengalami kecepatan perkembangan, sebaliknya
anak dalam kondisi sakit akan mengalami perlambatan perkembangan. Status kesehatan juga
dipengaruhi oleh status gizi anak. Gizi merupakan sumber utama yang dibutuhkan anak untuk
mendukung aktivitas yang optimal, sehingga keadaan gizi yang baik akan memberikan kesempatan
lebih besar bagi anak untuk melakukan aktivitas dengan lingkungannya, sehingga anak yang memiliki
keadaan gizi yang kurang akan cenderung terganggu dalam perkembangan personal sosialnya.
Wong menyatakan bahwa tingkat kesehatan dan status nutrisi anak mempunyai hubungan yang
signifikan dengan tingkat sosioekonomi. Keluarga dengan tingkat sosioekonomi rendah
memungkinkan kurang memiliki pengetahuan dalam memberikan nutrisi yang dapat
mengoptimalkan perkembangan anak.

e) Kelompok teman sebaya

Proses sosialisasi anak dengan lingkungan, anak memerlukan teman sebaya, akan tetapi
perhatian dari orang tua tetaplah dibutuhkan untuk memantau dengan siapa anak akan bergaul.
Teman sebaya adalah dunia anak untuk bermain sehingga kemampuan dalam pemenuhan
kebutuhan pribadi dan perilaku sosial dapat terstimulasi dengan optimal.

C. Anak Usia Prasekolah

1. Definisi

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3-6 tahun, dimana anak mengalami masa yang
sangat penting yakni sebagai pondasi atau dasar untuk perkembangan masa depannya (Wong,
2008). Perkembangan personal sosial anak usia prasekolah adalah suatu proses perubahan yang
terus menerus pada anak yang berusia 3-6 tahun dimana anak belajar untuk mandiri, berinteraksi
dan bersosialisasi dengan lingkungan. Pada tahap perkembangan anak usia prasekolah ini, anak
mulai menguasai berbagai ketrampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri
untuk mengeksplorasi kemandiriannya (Galib, 2013).

2. Perkembangan anak usia prasekolah

a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan berikutnya. Seiring meningkatnya


pertumbuhan tubuh, baik menyangkut berat badan dan tinggi, maupun tenaganya, memungkinkan
anak untuk lebih mengembangkan ketrampilan fisiknya dan eksplorasi terhadap lingkungan tanpa
bantuan orang tua. Pada usia ini banyak perubahan fisiologis seperti pernapasan yang menjadi
lambat dan dalam serta denyut jantung lebih lama dan menetap.

Proporsi tubuh juga berubah secara dramatis seperti pada usia 3 tahun, rata-rata tingginya
sekitar 10-13 kg, sedangkan pada usia 5 tahun tingginya dapat mencapai 100-110 cm. Tulang kakinya
tumbuh dengan cepat dan tulang-tulang semakin besar dan kuat, pertumbuhan gigi semakin
komplit. Untuk perkembangan fisik anak sangat di perlukan gizi yang cukup seperti protein, vitamin,
dan mineral (Erwin, 2011)

b. Perkembangan intelektual
Menurut piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode preoperasional, yaitu
tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini juga di
tandai dengan perkembangan representasional atau symbolic function yaitu kemampuan
menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan sesuatu yang lain menggunakan simbol-simbol
seperti bahasa, gambar, isyarat, benda, untuk melambangkan sesuatu atau peristiwa (Erwin, 2011).

Melalui kemampuan diatas, anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang berbagai hal, anak
dapat menggunakan kata-kata, benda untuk mengungkapkan suatu peristiwa .

c. Perkembangan emosional

Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa aku (dirinya) berbeda dengan aku
(orang lain). Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman bahwa tidak semua keinginannya dapat
dipenuhi orang lain. Bersamaan dengan itu berkembang pula perasaan harga diri. Jika lingkungannya
tidak mengakui harga dirinya seperti memperlakukan anak dengan keras atau kurang
menyayanginya maka dalam diri anak akan berkembang sikap-sikap keras kepala, menentang, atau
menyerah dengan terpaksa (Erwin, 2011).

Beberapa emosi umum yang berkembang pada masa anak yaitu, takut (perasaan terancam),
cemas (takut karena khayalan), marah (perasaan kecewa), cemburu (merasa tersisihkan),
kegembiraan (kebutuhan terpenuhi), kasih sayang (menyenangi lingkungan), phobia (takut yang
abnormal), ingin tahu (ingin mengenal) (Erwin, 2011).

d. Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa anak prasekolah, dapat diklasifikasikan kedalam dua tahap (sebagai
kelanjutan dari dua tahap sebelumnya pada masa bayi).

Masa ketiga (2,0-2,6 tahun)

1) Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna

2) Anak sudah mampu memahami tertang perbandingan

3) Anak banyak menanyakan tempat dan nama; apa, dimana, darimana, dsb.

4) Anak sudah mulai menggunakan kata-kata berawalan dan berakhiran.

Tahap keempat (2,6-6,0)

1) Anak sudah menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya

2) Tingkat berpikir anak sudah lebih maju

3) Anak banyak bertanya tentang waktu, sebab akibat melalui pertanyaan kapan, mengapa,
bagaimana, dsb (Erwin, 2011).

e. Perkembangan social
Pada usia anak prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun) perkembangan sosial anak sudah
tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda
perkembangan sosial pada tahap ini adalah

1) Anak mulai mengetahui aturan-aturan (lingkungan keluarga/linkungan bermain)

2) Sedikit-sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan.

3) Anak makin menyadari akan kepentingan orang lain

4) Anak sudah bisa bersosialisaai (bermain) dengan anak-anak yang lain (peer group).

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio-psikologis keluarga. Anak akan
mampu menyesuaikan diri dengan keharmoniasan, kerjasama dan komunikasi serta konsisten pada
aturan bila lingkungan keluarga bersuasana kondusif (Erwin, 2011).

f. Perkembangan bermain

Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain karena setiap waktunya diisi dengan
kegiatan bermain (Erwin, 2011).

Terdapat beberapa macam permainan anak seperti :

1) Permainan fungsi (permainan gerak), yaitu: meloncat-loncat, berlarian.

2) Permainan fiksi, yaitu: kuda-kudaan, perang-perangan.

3) Permainan konstruksi, yaitu: membuat kue dari tanah, membuat rumah-rumahan.

4) Permainan prestasi, yaitu: sepak bola, basket.

Secara psikologis dab pedagogis, bermain mempunyai nilai-nilai yang sangat berharga bagi anak,
diantaranya:

1) Anak memperoleh perasaan senang, puas dan bangga

2) Anak dapat mengembangkan rasa percaya diri dan tanggung jawab.

3) Anak dapat berimajinasi secara luas dan berkreatifitas.

4) Anak dapat mengenal aturan bermain.

5) Anak dapat memahami bahwa dirinya dan orang lain sama-sama mempunyai kelebihan dan
kekurangan.

6) Anak dapat mengembangkan sikap sportif, tenggang rasa atau toleransi.

g. Perkembangan kepribadian

Masa anak-anak awal ini lazim disebut masa trotzalter atau periode perlawanan atau masa krisis
pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang signifikan dalam dirinya, yaitu dia mulai sadar
akan aku-nya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungannya atau orang lain, dia suka
menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini anak
menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan yaitu aku-nya dan orang lain ( orang tua,
saudara, teman). Dia sadar bahwa tidak semua keinginannya akan dipenuhi orang lain atau
diperhatikan kepentingannya.

Pertentangan didalam diri anak ini dapat menyebabkan ketegangan sehingga tidak jarang anak
meresponnya dengan sikap membandel atau keras kepal. Bagi usia anak, sikap membandel ini
merupakan suatu kewajaran, karena perkembangan pribadi mereka sedang bergerak dari sikap
depanden (membutuhkan perawatan) ke independent (bebas). Oleh karena itu agar tidak
berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol orang tua harus menghadapinya secara
bijaksana dan penuh kasih sayang (Erwin, 20110).

h. Perkembangan moral

Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya
(orang tua, saudara, dan teman sebaya) melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Melalui
proses berinteraksi ini anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku yang baik, buruk,
dilarang, disetujui, dan sebagainya. Maka berdasarkan pemahaman ini, anak harus senantiasa dilatih
dan dibiasakan bagaimana seharusnya bertingkahlaku yang baik.

Pada saat mengenalkan konsep-konsep baik buruk, benar salah, orang tua hendaknya
memberikan penjelasan tentang alasan, seperti; mengapa harus gosok gigi sebelum tidur, mengapa
harus mencuci tangan sebelum makan, mengapa tidak boleh membuang sampah sembarangan. Hal
ini di harapkan akan mengembangakan self-control atau self discipline (kemampuan mengendalikan
diri) pada anak. Pada usia prasekolah berkembang kesadaran sosial anak yang meliputi sikap simpati
atau sikap kepedulian terhadap sesama (Erwin, 2011).

i. Perkembangan kesadaran beragama

Secara umum, kesadran beragama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut;

1) Sikap keagamannya masih bersifat reseptif (menerima) meski banyak bertanya.

2) Pandangan ke-Tuhanannya bersifat anthropormorph (dipersonifikasikan).

3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meski telah ikut berpartisipasi
dalam beribadah.

4) Hal ke-Tuhanan di pandang secara khayalan sesuai taraf berpikirnya.

Pengetahuan anak tentang agama akan terus berkembang ketika mendengarkan ucapan-ucapan
orang tuanya, melihat sikap dan perilaku orang tuanya saat beribadah, serta pengalaman dalam
mengikuti ibadah dan meniru ucapan orang tuanya (Erwin, 2011).

Diposting oleh Jeny Mangetek di 05.30

Anda mungkin juga menyukai