Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

SISTEM GASTROINTESTINAL PADA LANSIA

Disusun Oleh:

KEPERAWATAN GERONTIK KELAS A


FOCUS GROUP 3

Alifia Salsabhilla 1506727154


Dhaifina Dini G. R. 1506729576
Jessica Pelangi 1506728573
Nindy Atika Rahayu 1506728264
Qonitah Faridah Pranadisti 1506728056
Tiara Ayu Pramesty 1506727551

Fakultas Ilmu Keperawatan


Universitas Indonesia
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan bimb-
ingan-Nya kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul ”Perubahan Fisiologis Pada Sistem
Pencernaan Lansia”. Sebagai seorang perawat yang profesional kita harus mengetahui bahwa
pada usia lanjut fisiologis seluruh sistem tubuh akan mengalami perubahan salah satunya yaitu
perubahan fisiologis pada sistem pencernaan. Makalah ini akan membahas lebih rinci
mengenai perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan lansia, perubahan pemenuhan kebu-
tuhan nutrisi, faktor yang memengaruhi fungsi sistem pencernaan, gangguan patologis, dan
pengkajian nutrisi pada lansia. Diharapkan setelah mempelajari materi tersebut kita dapat
mengetahui bagaimana melakukan pengkajian nutrisi dengan benar dan memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai.

Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Ns. Dwi Nurviyandari
Kusuma Wati, Skep., M.N. selaku fasilitator Keperawatan Gerontik kelas A yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa masih terdapat ban-
yak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, bimbingan dari fasilitator masih sangat
kami perlukan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Kritik dan saran tetap
kami harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan makalah ini tahap selanjutnya.

Depok, 11 Maret 2018

Tim Penyusun

Focus Group 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2


BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................................... 2
1.5 Metode Penulisan ........................................................................................................... 3
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................................... 3
BAB II ....................................................................................................................................... 5
ISI .............................................................................................................................................. 5
2.1 Perubahan-Perubahan pada Sistem Pencernaan Lansia ........................................... 5
2.2 Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Lansia .......................................... 6
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Pencernaan Pada Lanjut Usia ............ 9
2.4 Masalah Patologis pada Sistem Gastrointestinal Lansia ......................................... 10
2.2 Pengkajian Sistem Pencernaan pada Lansia .................................................................. 13
2.2.1 Anamnesis Sistem Pencernaan pada Lansia ...................................................... 13
2.2.2 Pemeriksaan Fisik terkait Sistem Pencernaan pada Lansia ............................. 16
2.2.3 Pemeriksaan Diagnostik terkait Sistem Pencernaan pada Lansia ................... 20
2.2.4 Pemeriksaan Laboratorium terkait Sistem Pencernaan pada Lansia ............. 21
2.3 Perhitungan Indeks Massa Tubuh pada Lansia ....................................................... 22
4. Mini Nutritional Assessment pada Lansia .................................................................... 23
BAB III.................................................................................................................................... 25
PENUTUP ............................................................................................................................... 25
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 25
3.2 Saran ............................................................................................................................. 25
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Pertambahan jumlah lanjut usia akan menimbulkan
berbagai permasalahan kompleks bagi lansia, meliputi aspek fisi, biologis, mental, maupun
sosial ekonomi. Menurut data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka kesakitan pada
lansia tahun 2012 di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah
perkotaan 24 orang mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100 orang
lansia di pedesaan, 28 orang mengalami sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Masalah
kesehatan terbanyak yang dialami lansia adalah penyakit degeneratif atau tidak menular yang
terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013), 1,53% lansia di Indonesia mengalami ma-


salah pada sistem eliminasi (misalnya konstipasi) yang berkaitan dengan gangguan pada sistem
pencernaan. Masalah pada sistem pencernaan yang terjadi pada lansia dapat diakibatkan oleh
perubahan secara fisiologis ataupun patologis. Seiring dengan permasalahan tersebut, akan
mempengaruhi aktivitas fisik dan asupan makanan yang pada akhirnya dapat berpengaruh ter-
hadap kesejahteraannya. Oleh karena itu dengan mengetahui sistem pencernaan pada lansia
dapat mengetahui kondisi fisiologis dan gambaran patologis sistem pencernaan pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah


Pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah ini terdiri dari:
1) Apa saja perubahan fisiologis sistem pencernaan yang terjadi pada lansia?

2) Apa saja perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada lansia?

3) Apa saja faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fungsi sistem pen-
cernaan lansia?

4) Apakah gangguan patologis pada sistem pencernaan yang sering terjadi pada lan-
sia?

1
2

5) Bagaimana anamnesa dan pengkajian fisik terkait gangguan sistem pencernaan


pada lansia?

6) Bagaimana menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada lansia?

7) Bagaimana pengkajian diagnostik, laboratorium, dan Mini Nutritional Assessment


(MNA) pada lansia?

1.3 Tujuan Penulisan


1) Mengetahui perubahan fisiologis sistem pencernaan yang terjadi pada lansia

2) Mengetahui perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada lansia

3) Mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fungsi sistem pen-
cernaan

4) Mengetahui gangguan patologis pada sistem pencernaan yang sering terjadi pada
lansia

5) Mengetahui anamnesa dan pengkajian fisik terkait gangguan sistem pencernaan


pada lansia

6) Mengetahui cara menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada lansia

7) Mengetahui pengkajian diagnostik, laboratorium, dan Mini Nutritional Assessment


(MNA) pada lansia

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk :

1. Manfaat teoritis, untuk perkembangan ilmu pengetahuan mengenai sistem gastro-


intestinal pada lansia.

2. Manfaat bagi penulis dalah dapat digunakan sebagai sarana penulis untuk lebih
memahami dan memperdalam mengenai sistem gastrointestinal pada lansia.

3. Manfaat bagi pembaca adalah agar dapat menambah wawasan terkait sistem gas-
trointestinal pada lansia.

2
3

1.5 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini menggunakan studi literatur dari berbagai sumber. Lit-
eratur atau sumber tersebut antara lain, buku wajib, jurnal, serta data dari pemerintah. Penulis
menganalisis konsep dan teori dari berbagai sumber tersebut untuk disintesis secara kese-
luruhan.

1.6 Sistematika Penulisan

Makalah ini tersusun atas tiga bab yang terdiri dari bab 1 hingga bab 3. Bab 1 menjab-
arkan pendahuluan. Bab 2 menjelaskan tinjauan pustaka yang merupakan hasil studi literatur
mengenai demografi lansia di Indonesia maupun di dunia serta tugas perkembangan keluarga
dengan lansia. Bab 3 berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
5

BAB II
ISI

2.1 Perubahan-Perubahan pada Sistem Pencernaan Lansia


Penuaan yang dialami oleh lansia memungkinkan terjadinya fungsi anatomis maupun fisi-
ologis diberbagai sistem tubuh, salah satunya adalah sistem Gastrointestinal (GI). Sistem Gas-
trointestinal (GI) adalah jalur pemasokan nutrisi untuk pertumbuhan dan perbaikan sel dengan
melalui proses ingestion, secretion, mixing and propulsion, digestion, dan absorption terhadap
makanan yang masuk (Derrickson & Tortora, 2015).
Menurut Ebersole, dkk (2014), pada lansia terdapat penurunan indra perasa atau sense of
taste khususnya manis dan asin serta penurunan sense of smell. Seseorang dapat merasakan
makan dimulut karena memiliki taste bund dan pada lansia taste bund mengalami penurunan
jumlah dan mengalami atropi (Meiner dan Lueckenotte, 2006). Sehingga lansia mengalami
perubahan rasa (disgeusia), kemampuan untuk merasakan menurun (hypogeusia) dan tidak
dapat merasakan beberapa rasa (ageusia). Mukosa mulut juga mengalami perubahan berupa
kehilangan elastisitas, atrofi sel epitel, dan suplai darah berkurang ke jaringan ikat (Miller,
2012). Hal ini menjadi penting karena kehilangan atau penurunan indra perasa dapat mengaki-
batkan penurunan nafsu makan dari lansia itu sendiri.
Pada lansia mulut yang berfungsi mencerna makanan menjadi bolus juga mengalami pe-
rubahan fisiologis. Perubahan-perubahan tersebut seperti enamel gigi menjadi lebih keras dan
rapuh, dentin menjadi lebih berserabut, dan ruang saraf menjadi pendek dan sempit menyebab-
kan gigi menjadi mudah tanggal (Miller, 2012). Meiner dan Lueckenotte (2006) menambahkan
tanggalnya gigi disebabkan juga karena kerusakan jaringan disekitar gigi, dan resorpsi dan
deposisi tulang yang terjadi secara bersamaan. Menurut Miller (2012), pada lansia juga men-
galami penurunan sekresi saliva. Saliva berfungsi mensekresikan enzim percernaan, mengatur
flora mulut, remineralisasi gigi, meningkatkan nafsu makan, sebagai pelumas jaringan lunak
dan membantu mencerna makanan. Namun, biasanya penurunan sekresi saliva lebih banyak
terjadi akibat kondisi patologis dan efek dari penggunaan obat seperti analgesik dan antikolin-
ergik. Di dalam rongga mulut lansia juga mengalami perubahan neuromuskular yaitu adanya
penurunan kemampuan mengunyah dan menelan yang berkaitan dengan kekuatan otot berku-
rang dan mengurangi tekanan lidah (Ney, dkk., 2009 dalam Miller, 2012).
Pada esophagus terdapat gelombang peristaltik yang berfungsi memasukkan makanan ke
dalam lambung. Menurut Miller (2012), lansia mengalami penurunan gelombang peristaltik

4
5

dan adanya peregangan pada esophagus. Selain itu, lansia juga mengalami presbyphagia yaitu
melambatnya menelan atau bahkan disphagia yaitu susah menelan (Ebersole, dkk ,2014) Lower
esophageal sphingter mengalami penurunan untuk relaksasi sehingga lansia rentan mengalami
refluks makanan (Mitty, 2008). Hal ini menyebabkan risiko tinggi terjadi aspirasi pada lansia
yang dapat menyebabkan lansia rentan mengalami penyakit saluran pernapasan seperti pneu-
monia.
Setelah makanan sampai di lambung, makanan akan mengalami pencernaan lebih kom-
pleks seperti motilitas, sekresi dan digesti. Ebersole, dkk (2014) menyatakan bahwa lambung
pada lansia banyak mengalami perubahan fisiologis berupa penurunan motalitas, volume dan
penurunan sekresi bikarbonat serta mukus lambung. Perubahan ini disebabkan karena atropi
lambung dan Hypochlorydria atau ketidakcukupan HCL. Penurunan motilitas lambung
menyebabkan makanan menjadi lama dicerna dilambung sehingga terjadi peningkatan waktu
pengosongan lambung dan lansia menjadi jarang makan
Di usus halus, makanan telah berbentuk kimus yang siap dicerna menggunakan enzim-
enzim pencernaan dari usus kecil, hati, dan pankreas. Penuaan yang terjadi pada lansia ber-
pengaruh pada kekuatan otot di usus dalam gerakan peristaltik. Selain itu, mukosa yang bertu-
gas melicinkan permukaan juga mengalami penurunan jumlah. Perubahan lain yang terjadi
menurut Miller (2012) adalah adanya atrofi otot, pengurangan jumlah folikel limfatik, pengu-
rangan berat usus kecil, serta memendek dan melebarnya vili. Perubahan struktur ini memang
tidak berdampak signifikan pada motilitas, permeabilitas, atau waktu pencernaan. Tetapi yang
perlu diwaspadai adalah perubahan ini dapat berdampak pada fungsi sistem imun dan absorpsi
nutrien, seperti folat, kalsium, vitamin B12 dan D (Ebersole,dkk, 2014). Penuaan dapat
mengakibatkan turunnya jumlah enzim laktase. Hal ini mengakibatkan penguraian nutrien ma-
kanan pun lebih lama. Selain itu, lansia juga berpotensi mudah kembung karena lebih mudah
mengalami peningkatan jumlah bakteri. Hal ini memungkinkan adanya sakit perut, perut ter-
lihat besar karena kembung. Bakteri dapat berbahaya jika berkembang terus-menerus karena
akan mengurangi absorpsi nutrisi tertentu seperti vitamin B12, zat besi, dan kalsium (Ebersole,
dkk, 2014).
Hati berperan dalam metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, membunuh zat toksik,
dan mensekresi empedu. Hati dan kandung empedu sebagai organ aksesori sistem Gastrointes-
tinal juga mengalami perubahan seperti hati menjadi lebih kecil, berserat, terakumulasi
lipofuscin (pigmen coklat), dan menurunnya aliran darah (Miller, 2012). Hal ini menyebabkan
makanan yang masuk tidak di metabolisme dengan sempurna untuk menghasilkan ATP untuk
kerja sel tubuh serta zat toksik tidak dibunuh dengan optimal sehingga lansia rentan terhadap
6

penyakit. Kandung empedu mensekresikan empedu setelah dirangsang oleh hati yang ber-
fungsi untuk mencerna lemak dalam tubuh. Namun semakin bertambahkan usia terjadi
penurunan jumlah sekresi empedu, pelebaran saluran empedu, peningkatan sekresi cholecys-
tokinin (Miller, 2012). Hal tersebut mengakitbatkan lemak tidak dimetabolisme dengan sem-
purna, meningkatnya risiko terjadi batu empedu, dan menurunnya nafsu makan (Miller, 2012).
Menurut Miller (2012), pankreas memiliki fungsi yang sangat esensial bagi pencernaan.
Sebagai kelenjar yang multifungsi, pankreas banyak memproduksi enzim-enzim yang berperan
dalam penetralan keasaman di kimus, pemecahan lemak, protein, dan karbohidrat di usus halus.
Peran yang tak kalah pentingnya yaitu fungsi pankreas dalam pengaturan gula darah. Pankreas
memproduksi hormon insulin dan glikogen yang berfungsi sebagai pengatur kadar gula darah
(Derrickson & Tortora, 2015). Penuaan berpengaruh pada pengurangan berat pankreas, hiper-
plasia kelenjar, fibrosis, dan pengurangan kecepatan respon sel B dalam pengaturan glukosa.
Perubahan ini tidak berdampak langsung dalam fungsi pencernaan. Namun yang cukup berba-
haya adalah penurunan kemampuan pengaturan metabolisme glukosa. Hal ini mengakibatkan
lebih rentannya lansia untuk terkena diabetes tipe 2 (Miller, 2012). Penambahan umur juga
mempengaruhi sekresi eksokrin dari pankreas yang dapat mengakibatkan menurunnya aliran
enzim dan pengurangan produksi bikarbonat dan enzim.
Setelah semua nutrien di absorpsi di usus halus, kimus akan memasuki usus besar atau
kolon. Menurut Miller (2012), pada usus besar terjadilah proses absorpsi air dan elektrolit, serta
pembuangan zat sisa atau sampah metabolisme pencernaan. Proses penuaan pada lansia ber-
pengaruh pada beberapa hal, seperti pengurangan sekresi mukus, pengurangan elastisitas dind-
ing rektum, dan pengurangan kemampuan mempersepsikan distensi dinding rektum. Hal ini
lah yang menjadi faktor predisposisi lansia mengalami konstipasi (Miller, 2012).

2.2 Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Lansia


Menurut Miller (2012), terdapat sebuah standar untuk menentukan jumlah nutrisi untuk
dikonsumsi. Standar tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa dengan
kelompok usia tertentu (usia 51-70 tahun dan lebih dari 70 tahun) yang dinamakan Dietary
Reference Intakes (DRIs). Metode ini cocok digunakan sebagai bagian dari promosi kesehatan
karena di dalamnya terdapat indikator pencegahan penyakit kronik dan sisi positif serta negatif
yang didapat dari mengonsumsi sebuah nutrisi. Menurut Tabolski (2014), DRIs berfokus pada
variasi, keseimbangan, dan moderasi dalam memberikan asupan gizi yang memadai. Terdapat
Food Guide Pyramid yang cocok untuk DRIs dalam melengkapi kebutuhan nutrisi lansia.
7

Tabolski, Patricia A. (2014). Gerontological Nursing 3rd Edition. New Jersey: Pearson.

Gambar di atas merupakan salah satu Food Guide Pyramid yang diberi nama
My Plate for Older Adults (Tabolski, 2014). Pada gambar tersebut dijelaskan bagaimana kom-
posisi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan gizi lansia. Umumnya terdapat beberapa jenis
nutrisi yang berubah jumlahnya untuk dapat dikonsumsi oleh lansia, dan juga perlu diper-
hatikan karena jika jumlahnya tidak sesuai dapat memberikan masalah bagi lansia itu sendiri
misalnya seperti penyakit pencernaan konstipasi.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Retrieved from


http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS%20Ok.pdf.

Selain itu, menurut Kemenkes RI (2004), pedoman pemenuhan nutrisi bagi lansia
tercangkup dalam “Prinsip Gizi Seimbang”. Prinsip Gizi Seimbang terdiri dari 4 pilar yang
8

merupakan sebuah rangkaian guna menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi
yang masuk dengan memonitor berat badan secara teratur. Empat pilar tersebut antara lain
mengonsumsi makanan beragam, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas
fisik, dan mempertahankan dan memantau berat badan (BB) normal. Berikut merupakan be-
berapa jenis nutrisi yang mengalami perubahan jumlah dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
lansia:
1. Protein
Pada lansia terdapat penurunan jumlah albumin dalam tubuh akibat penurunan massa
tubuh dan jaringan otot. Sehingga diperlukan peningkatan jumlah protein untuk dikon-
sumsi sekitar 1-1,2 g/kg protein untuk mengoptimalkan otot dan kesehatan tulang
(Gaffney, Insogna, Rodriguez, & Kerstetter, 2009 dalam Miller, 2012). Sumber protein
yang dapat dikonsumsi adalah protein nabati seperti kacang-kacangan, tahu, dan tempe.

2. Kalori
Pada umumnya lansia mengalami penurunan aktivitas yang menyebabkan penurunan
massa otot. Hal tersebut menyebabkan tingkat metabolisme lansia menurun dan terjadi
penurunan kebutuhan kalori. Menurut Tabolski (2014), jumlah kalori yang sesuai untuk
lansia adalah sekitar 1600 cal. Sumber kalori seperti nasi dan roti.
3. Serat
Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi serat dengan jumlah 10-15 gram, sedangkan un-
tuk orang dewasa sekitar 25-38 g/hari. Selain itu, lansia juga dianjurkan untuk men-
gonsumsi 5 sampai 9 jenis buah dan sayur dengan jumlah minimal 55% dari total kon-
sumsi kalori. Diet serat ini berfungsi untuk pencegahan dan treatment lansia dengan
obesitas, diabetes, cardiovascular disease, dan kanker kolorektal (Miller, 2012).
4. Kalsium
Kalsium berguna untuk menjaga kesehatan mineral tulang dan tingkat kalsium plasma.
Menurut Tabolski (2014), lansia dianjurkan mengonsumsi kalsium dengan jumlah lebih
dari 1200 mg/hari. Konsumsi kalsium yang tidak adekuat dapat menyebabkan osteopo-
rosis dan risiko periodontal disease. Sumber kalsium seperti susu sapi, susu keledai,
margarin, dan yogurt dengan rendah lemak.
5. Air
Mengonsumsi cairan sangat penting bagi tubuh untuk pengaturan regulasi dan mem-
bantu dalam proses metabolisme. Lansia mudah mengalami dehidrasi akibat rasa haus
yang mudah muncul, respon hormon yang berubah, dan penurunan total air tubuh.
9

Jumlah cairan yang dianjurkan untuk lansia perempuan sekitar 2,7 L atau 9 gelas dan
3,7 L atau 13 gelas untuk laki-laki (Tabolski, 2014). Biasanya 80% total air berasal dari
oral intake, sedangkan 20% berasal dari makanan (Buyckx, 2009).
6. Lemak
Lemak berfungsi untuk pengaturan regulasi dan sebagai cadangan energi bagi tubuh.
Namun, karena lemak memiliki banyak dampak buruk seperti hyperlipidemia, jumlah
yang dianjurkan untuk lansia sekitar 10%-30% dari intake kalori per hari (Miller, 2012).
Sumber lemak nabati lebih baik daripada hewani, misalnya alpukat.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Pencernaan Pada Lanjut Usia
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistem pencernaan pada lansia antara lain:
1. Kesehatan Oral
Komponen gigi pada lansia lebih keras dan mudah rapuh, serta ruang saraf yang
lebih pendek dan sempit menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap rangsangan
yang dapat mengganggu proses mengunyah (Millier, 2012). Penurunan produksi saliva
berkurang sehingga mulut kering atau disebut juga dengan xerostomia, saliva berfungsi
sebagai peningkat nafsu makan (Kozier, 2008). Kemampuan untuk merasakan ma-
kanan berada pada permukaan lidah. Kemampuan untuk mendeteksi rasa manis tetap
sama, namun rasa asin, asam, dan pahit menurun. Kesulitan untuk merasakan makanan
dipengaruhi juga oleh sensitivitas olfactory dan sekresi saliva (Ebersole, 2013).
2. Masalah fungsional
Masalah fungsional seperti mobilitas atau gangguan pengelihatan dapat
berdampak pada kemampuan untuk mendapatkan dan menyiapkan makanan. Disfagia
mempengaruhi proses mengunyah, menelan, dan pemenuhan nutrisi (Miller, 2012).
3. Obat-obatan
Konsumsi obat-obatan dapat memberikan efek samping terhadap pencernaan,
pola makan, dan pemanfaatan nutrisi. Contohnya seperti antibiotik spektrum luas dapat
mempengaruhi flora usus dan sintesis nutrisi (Miller, 2012).
4. Kebiasaan atau gaya hidup
Kebiasaan merokok atau minum alkohol dapat mempengaruhi fungsi sistem
pencernaan pada lansia. Merokok dapat menggangu sistem sensori pembau dan perasa,
dan mempengaruhi kemampuan mengabsorbsi vitamin C dan asam folat. Kebiasaan
10

minum alkohol menggangu penyerapan vitamin B-kompleks dan vitamin C (Miller,


2012).
5. Faktor psikososial
Perubahan jadwal makan dan partisipasi pasangan dapat mempengaruhi nafsu
makan. Lansia akan sulit untuk menyiapkan makanan sehari-hari untuk keluarga dan
pasangannya setelah kehilangan pasangan atau salah satu anggota keluarga (Miller,
2012).
6. Masalah Kongnitif
Dementia dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk menyiapkan ma-
kanan, mengingat waktu makan, mengunyah dan menelan makanan (Miller, 2012).
Keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan berat badan dan ketidakadekuatan nutrisi
(Ebersole, 2013).
7. Faktor budaya, lingkungan, dan sosio-ekonomi
Latar belakang budaya, etnis, agama, dan sosial ekonomi mempengaruhi cara
dalam memilih, menyiapkan makanan. Lansia dengan kondisi medis tertentu memer-
lukan nutrisi yang spesifik, bila kelompok tidak memenuhi kebutuhan lansia dengan
tepat maka dapat memperburuk kondisi dan menghambat penyembuhan. Lansia yang
berasal dari sosial ekonomi rendah biasanya memiliki kendala dalam pemenuhan nu-
trisi (Miller, 2012).
8. Penyakit kronis
Penyakit kronis dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk berbelanja, me-
masak, dan makan secara mandiri. Penyakit Parkinson dan Arthritis dapat menggangu
kemampuan makan, kanker juga dapat mengganggu nafsu makan dan kemampuan un-
tuk mengkonsumsi nutrisi yang memadai (Ebersole, 2013).

2.4 Masalah Patologis pada Sistem Gastrointestinal Lansia


Seperti yang sudah dipelajari sebelumnya, kita tahu bahwa lansia mengalami berbagai
macam perubahan baik dari segi psikososial maupun fisik. Perubahan fisik itu sendiri terdiri
dari berbagai sistem mulai dari sistem kardiovaskuler, respirasi, integumen, termoregulasi,
khususnya pencernaan atau gastrointestinal. Perubahan-perubahan pada sistem tubuh tersebut
juga dapat menimbulkan gangguan patologis jika tidak ditangani dengan baik. Gangguan-
gangguan tersebut salah satunya meliputi GERD atau gastroesophageal reflux disease, kole-
litiasis, konstipasi, dan malnutrisi.
11

1. GERD

Dimulai dari organ pencernaan atas yaitu esophagus. GERD adalah salah satu keluhan
pada esophagus yang sering terjadi pada lansia (Reichel, et al., 2009). GERD adalah refluks
atau kembalinya isi lambung ke dalam esophagus. (Tabloski, 2014). Angka kejadian GERD
pada lansia kurang lebih sebesar 20% (Reichel, et al., 2009). GERD disebabkan oleh relaksasi
sphincter esophagus sementara yang tidak seharusnya dan akhirnya menyebabkan asam naik
kembali ke esophagus. (Reichel, et al., 2009). Gejala GERD adalah heartburn, indigesti, send-
awa, cegukan, dan regurgitasi isi lambung ke dalam mulut. (Tabloski, 2014). Dampak psikos-
osial dari GERD adalah lansia dapat merasa takut untuk makan atau datan ke acara social ka-
rena stress dan makanan tertentu dapat memicu gejala. (Tabloski, 2014). Komplikasi dari
GERD yang tidak ditangani adalah esophagitis, perdarahan, dan penyempitan bentuk. (Tablo-
ski, 2014). Lansia lebih berisiko terhadap komplikasi GERD karena paparan asam esophagus
yang berkepanjangan selama bertahun-tahun ditambah frekuensi hiatal hernia yang lebih tinggi
dan penggunaan obat yang berdampak pada penurunan fungsi sphincter serta meningkatkan
keparahan GERD pada lansia. (Huether & McCance, 2012; Tabloski, 2014). Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah gaya hidup yaitu melakukan elevasi tempat
tidur, minum air putih yang banyak, serta kurangi makanan yang menyebabkan peningkatan
asam seperti cokelat, bawang putih, bawang Bombay, tomat, dan cuka. Medikasi yang dapat
diberikan adalah proton pump inhibitor dan histamine2 agonist yang dapat menekan produksi
asam. (Tabloski, 2014)

2. Kolelitiasis

Gangguan yang sering terjadi pada kantung empedu yaitu kolelitiasis atau pembentukan
batu empedu karena perubahan fisiologi dengan penuaan termasuk penurunan produksi asam
empedu, peningkatan saturasi kolesterol empedu, berkurangnya kontraksi kantung empedu,
dan penurunan respon pada kolesistokinin. (Reichel, et al., 2009). Angka kejadian kolelitiasis
pada lansia sejumlah 14% - 27%. (Reichel, et al., 2009). Gejala yang dapat dirasakan adalah
nyeri akut pada kuadran atas atau epigastrik. (Reichel, et al., 2009). Nyeri dapat menjalar ke
tulang belikat sehingga menyebabkan mual dan muntah, namun seringnya penderita kolelitiasis
tidak menunjukkan gejala. (Reichel, et al., 2009). Komplikasi yang dapat terjadi pada lansia
adalah akut kolesistitis, kolangitis asenden, atau kerusakan jaundice. (Reichel, et al., 2009).
Pemeriksaan diagnostik yang biasanya dilakukan adalah ultrasound. CT scan abdomen dapat
dilakukan jika batu empedu yang umum atau obstruksi saluran empedu diduga ada. (Reichel,
12

et al., 2009). Penatalaksanaan untuk kolelitiasis yang menunjukkan gejala adalah laparoskopi
koleksistektomi. (Reichel, et al., 2009).

3. Konstipasi

Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi yang normal pada klien, diikuti
dengan kesulitan evakuasi feses yang keras dan kering, serta sensasi tidak lampias yang klien
rasakan. menurut (NANDA, 2014). Angka kejadian konstipasi meningkat seiring ber-
tambahnya usia dan lebih sering ditemukan pada pria. (Orozco, et al., 2012). Pada sebuah
penelitian ditemukan 26% wanita dan 16% lansia usia 65-83 tahun mengatakan bahwa mereka
mengalami konstipasi. (Orozco, et al., 2012). Penyebab dari konstipasi pada lansia yaitu
gangguan fungsional, kondisi patologis, efek pengobatan yang tidak diinginkan, dan kebiasaan
diet yang buruk (Miller, 2012). Gejalanya adalah frekuensi defekasi dari semula 3x sehari jd
1-2x per minggu serta rasa tidak lampias saat defekasi. (Miller, 2012). Angka kekambuhan
konstipasi yang tinggi tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, tetapi juga dapat
menyebabkan komplikasi seperti impaksi fekal. (Orozco, et al., 2012). Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan ada secara farmakologi dan non farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi
yang biasa dilakukan adalah dengan memberikan obat-obatan laksatif. Selain itu, penatalaksa-
naan non farmakologi juga dapat dilakukan dengan memberikan suplemen serat, hidrasi ad-
ekuat, serta peningkatan mobilitas. (Miller, 2012).

4. Malnutrisi

Selain ketiga masalah diatas yang terjadi pada organ gastrointestinal tertentu, terdapat
pula masalah yang sering terjadi pada lansia terkait sistem gastrointestinal yaitu malnutrisi.
Malnutrisi pada lansia terbagi menjadi dua yaitu undernutrition dan overnutrition. Pada popu-
lasi lansia, malnutrisi paling banyak terjadi yaitu kekurangan gizi karena faktor risiko yang
dapat mempengaruhi sistem pencernaan, pola makan dan pemasukan nutrisi (Miller,2012).
Tabloski (2014) menjelaskan bahwa undernutrition merupakan kekurangan nutrisi yang dibu-
tuhkan lansia untuk perbaikan jaringan. Kondisi malnutrisi yang lain adalah overnutrition yang
identik dengan kejadian obesitas. Depresi sering menjadi penyebab umum kehilangan berat
badan. (Touhy & Jett, 2010). Malnutrisi dapat berdampak serius seperti infeksi, peptik ulser,
anemia, hipotensi, gangguan kognitif, dan peningkatan mortalitas serta morbiditas. (Touhy &
Jett, 2010). Protein-energy malnutrition (PEM) adalah bentuk malnutrisi yang paling sering
terjadi pada lansia. PEM dikarakteristikkan dengan adanya tanda-tanda klinis (lemah otot dan
BMI rendah) dan indikator biochemical (albumin, kolesterol, atau perubahan protein lainnya).
13

(Touhy & Jett, 2010). Skrining dan pengkajian nutrisi komprehensif sangat penting untuk
mengidentifikasi lansia mengalami malnutrisi. (Touhy & Jett, 2010).

2.2 Pengkajian Sistem Pencernaan pada Lansia


Pengkajian adalah suatu pengumpulan informasi pasien secara sengaja dan sistematis
untuk menentukan status kesehatan, fungsional, dan pola koping pasien tersebut saat ini dan di
masa lalu (Carpenito-Moyet, 2009 dalam Potter & Perry, 2013). Informasi dapat berasal dari
laporan, anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik, rekam medik, dan dari literatur ilmiah yang
berhubungan dengan keluhan pasien, kemudian dianalisis dan dikategorikan berdasarkan sis-
tem tubuh untuk menentukan masalah apa yang terjadi, di mana, dan mengapa (Potter & Perry,
2013).
Pengkajian pada lansia perlu disertai pertimbangan khusus, seperti ruangan yang cukup
hangat dan dengan pencahayaan yang cukup, jauh dari distraksi, posisi pemeriksa harus ber-
hadapan dengan lansia, serta kursi dan meja yang empuk dan dengan tinggi yang tepat. Lansia
memerlukan lebih banyak waktu untuk menjelaskan dan terkadang dapat berbicara di luar
topik, karena itu perawat perlu memberikan waktu yang cukup untuk mendengarkan lansia
secara aktif dan dapat mengembalikan pembicaraan ke topik semula tanpa membuat lansia ter-
singgung atau merasa terancam (Wallace, 2008).

2.2.1 Anamnesis Sistem Pencernaan pada Lansia


Anamnesis terkait sistem pencernaan pada lansia mencakup pola makan dan asupan nu-
trisi sehari-hari, perilaku yang mempengaruhi kesehatan mulut, perubahan yang
mempengaruhi kebutuhan gizi atau proses pencernaan, faktor-faktor yang mempengaruhi
asupan makanan, serta tanda dan gejala yang mengindikasikan adanya masalah pada sistem
pencernaan. Anamnesis pola makan dan asupan nutrisi lansia sehari-hari dapat dilakukan
dengan penggambaran langsung asupan sehari-hari lansia oleh lansia tersebut dan keluarga,
seperti food record dan food recall (Miller, 2012). Setelah itu, perawat dapat melanjutkan per-
tanyaan pada daftar berikut.
14

Tabel 2.1 Tabel Daftar Pertanyaan Pengkajian terkait Sistem Pencernaan Lansia

Komponen yang Dikaji Pertanyaan

Kenyamanan oral dan ke-  Apakah Anda memiliki kesulitan yang disertai rasa
mampuan mengunyah sakit atau pendarahan di mulut?
 Apakah Anda memiliki gigi yang sakit, longgar, atau
sensitif terhadap suhu panas atau dingin?
 Apakah gusi Anda berdarah?
 Apakah Anda memiliki masalah mengunyah atau
menelan makanan atau cairan? Jika iya, apa jenis ma-
kanan atau cairan yang menyebabkan masalah?
 Apakah ada makanan yang Anda hindari karena ma-
salah mengunyah atau menelan?
 Apakah mulut atau lidah Anda terasa kering?

Kebiasaan dan sikap  Seberapa sering Anda ke dokter gigi?


terhadap perawatan gigi  Kapan terakhir kali Anda ke dokter gigi?
 Dokter gigi mana yang anda kunjungi untuk perawa-
tan gigi?
 Jika orang tersebut tidak ke dokter gigi minimal se-
tahun sekali: Apa yang mencegah Anda pergi ke dok-
ter gigi?
 Bagaimana Anda melakukan perawatan gigi?
 Apakah Anda menggunakan dental floss?
̶ Jika iya: seberapa sering?
̶ Jika tidak: apakah Anda pernah diajarkan untuk
menggunakan dental floss?

Kebutuhan nutrisi  Apakah Anda memiliki diabetes, penyakit jantung,


atau kondisi lain yang memerlukan modifikasi diet?
 Apakah Anda memiliki alergi makanan?
 Medikasi apa yang Anda konsumsi?
 Apa pola aktivitas harian Anda biasanya?

Pola memperoleh ma-  Bagaimana Anda melalukan belanja bahan makanan?


kanan  Apakah Anda memiliki bantuan untuk pergi ke toko
bahan makanan?
 Di mana dan seberapa sering Anda berbelanja bahan
makanan?
 Berapa anggaran makanan Anda biasanya?
 Apakah Anda memiliki kesulitan mendapatkan ma-
kanan karena masalah penglihatan, berjalan, atau
transportasi?
15

Pola penyiapan dan kon-  Di mana Anda memakan makanan Anda?


sumsi makanan  Dengan siapa Anda makan?
 Apakah Anda memakai gigi palsu saat makan? Jika
tidak, mengapa tidak?
 Apakah ada makanan atau minuman selingan di antara
pola makan Anda?
 Apakah minuman nonkafein yang nikmat tersedia un-
tuk konsumsi selingan?
 Apakah ada yang membantu Anda menyiapkan ma-
kanan Anda?
 Apakah Anda mengalami kesulitan dalam menyiap-
kan makanan Anda (mis. kesulitan membuka wadah)?
 Apakah Anda memiliki kesulitan dalam berkeliling
dapur Anda, menggunakan peralatan, atau mencapai
lemari?
 Apakah ada perubahan pola makan dan penyiapan
makanan Anda yang baru-baru ini terjadi (mis. ke-
hilangan teman makan atau perubahan situasi
pengasuh)?
 Adakah budaya yang mempengaruhi preferensi dan
persiapan makanan Anda?

Lingkungan saat makan  Apakah Anda lebih menikmati makan bersama orang
lain atau tanpa kehadiran orang lain?
 Apakah kondisi lingkungan atau sosial tertentu
mempengaruhi secara negatif kenikmatan Anda saat
makan (mis. ruang makan yang bising atau teman
makan yang mengganggu)?

Pola eliminasi fekal  Seberapa sering Anda buang air besar?


 Pernahkah Anda melihat adanya perubahan pola BAB
Anda baru-baru ini?
 Apakah Anda mengalami kesulitan dengan buang air
besar? (mis. apakah Anda mengejan saat BAB? atau
apakah tinja keras, kering, atau sulit dikeluarkan?)
 Apakah Anda pernah mengalami tinja longgar atau di-
are?
 Apakah Anda mengkonsumsi obat pencahar atau
produk lain untuk membantu Anda BAB?
 Apakah Anda pernah merasa sakit atau berdarah saat
BAB?

sumber tabel: Miller, 2012


16

Daftar tersebut berisikan rincian pertanyaan mengenai sistem pencernaan pada lansia
yang dimulai dari pertanyaan seputar kondisi rongga mulut hingga tentang eliminasi fekal.

2.2.2 Pemeriksaan Fisik terkait Sistem Pencernaan pada Lansia


Pemeriksaan fisik pada lansia yang berkaitan dengan sistem percernaan dapat memakai
pemeriksaan IAPP (inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi). Inspeksi dilakukan dengan memper-
hatikan dan membau saat berinteraksi dengan pasien dan mencakup pengamatan ekspresi non-
verbal dari status emosi dan mental. Palpasi menggunakan teknik menyentuh atau menekan
secara halus. Perkusi melibatkan penyentuhan kulit dengan ujung jari untuk membentuk geta-
ran dan menghasilkan karakter suara pada jaringan di bawahnya. Auskultasi melibatkan teknik
mendengarkan suara pada tubuh dengan dan tanpa menggunakan alat bantu (mis. stetoskop)
(Potter & Perry, 2013). Rincian pemeriksaan fisik terkait sistem pencernaan pada lansia dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Rincian Pemeriksaan Fisik Terkait Sistem Pencernaan Lansia

Jenis
Organ Hasil Normal Hasil Abnormal
Pemeriksaan

Rambut Bersih, tebal, lebat Kusam, tipis, atau jarang


menunjukkan malnutrisi

Mata Segar, tidak kering, tidak Kering atau kusam menunjuk-


Inspeksi kusam kan malnutrisi

Kulit Tidak ada ruam dan jamur Terdapat ruam dan jamur pada
pada lipatan lipatan menunjukkan adanya
bakteri
17

Rongga mulut  Bibir: pink, lembab, sime-  Bibir: kering, retak, pecah di
tris sudut menunjukkan ku-
 Gigi: utuh, tanpa lubang rangnya konsumsi cairan
atau karang gigi  Gigi: busuk atau hilang
 Gusi: pink, tidak berdarah mengindikasikan periodon-
tal, infeksi gigi, atau retensi
 Membran mukosa: merah partikel makanan pada gigi
muda, lembab
 Gusi: merah, bengkak,
 Lidah: pink, lembab, tersembunyi, kenyal atau ra-
adanya banyak urat pada
wan berdarah menunjukkan
permukaan bawah
adanya peradangan pada
gusi
 Membran mukosa: kering,
ulserasi, radang, perdarahan,
bercak putih menandakan
adanya peradangan yang
dapat berasal dari infeksi
jamur
 Lidah: kering, bengkak,
memerah, atau sangat halus
menandakan adanya pera-
dangan

Abdomen dan  Abdomen: simetris, tidak  Abdomen: membengkak


rektum ada lesi dan bergerak dan tidak simetris dapat
mengikuti respirasi menunjukkan adanya asites,
 Rektum: kulit di sekitar ha- adanya lesi menunjukkan
lus; tidak ada wasir, fisura, terjadi infeksi
radang, atau prolaps  Rektum: terdapat wasir,
 Feses: lunak, berwarna fisura, radang, atau prolaps
coklat, dan negatif pada uji menandakan adanya ob-
keberadaan darah struksi pada rektum
 Feses: keras menunjukkan
kekurangan cairan, konsti-
pasi, atau impaksi fekal, dan
positif pada uji keberadaan
darah menunjukkan kanker
kolon atau rektal

Ekstremitas Tidak ada edema Edema mengindikasikan mal-


nutrisi
18

Otot Ukuran dan kekuatan tetap Ukuran dan kekuatan berku-


rang menunjukkan malnutrisi

Auskultasi Abdomen  Bising usus: terdengar  Bising usus: tidak terdengar


pada interval tidak teratur menunjukkan obstruksi
(5-15 detik), penurunan bi- usus, konstipasi, pneumonia,
sing usus biasa terjadi pada atau radang usus buntu
lansia akibat adanya  Bising usus: cepat
penurunan motilitas lam- mengindikasikan diare
bung
 Friction rubs mengindikasi-
 Tidak ada friction rubs kan tumor hepatik atau in-
fark limfa

Rambut Lembab dan kuat Kering dan rapuh mengindi-


kasikan kekurangan nutrisi

Kulit Halus, lemak subkutan ku- Kasar, jaringan tipis mengindi-


rang kasikan kekurangan nutrisi
Palpasi

Leher Tidak ada pembesaran kelen- Pembesaran kelenjar getah


jar getah bening bening di fosa supraklavikula
kiri menandakan adanya
karsinoma gastrointestinal
metastatik.
19

Abdomen  Kulit lembut  Dinding abdomen aku


 Tidak ada nyeri mengindikasikan obstruksi
usus atau iritasi peritoneal
 Tidak teraba masa
 Nyeri di kuadran kanan
 Prosesus xifoideus tidak bawah menunjukkan radang
lunak
usus buntu
 Tidak ada pembesaran hati
 Nyeri di kuadran kiri bawah
 Shifting dullness tidak ber- menunjukkan divertikulitis
gelombang
 Teraba massa dapat
mengindikasikan divertiku-
litis, konstipasi, impaksi
fekal, trombosis mesen-
terika, atau kanker
 Prosesus xifoideus yang lu-
nak mengindikasikan sakit
perut, hernia hiatal, atau
nyeri dari aorta
 Adanya pembesaran hati
menunjukkan inkontinensia
urin atau retensi urin dari
hipertrofi prostat
 Shifting dullness jika ter-
dapat gelombang menunjuk-
kan asites

Perkusi Abdomen  Timpani pada sebagian be-  Suara hipertimpani dapat


sar abdomen menunjukkan gas pada ab-
 Sonor pada kandung kemih domen atau adanya ob-
struksi usus
 Suara dullness pada seba-
gian besar abdomen menun-
jukkan asites
 Suara dullness pada kan-
dung kemih menujukkan
adanya distensi kandung
kemih yang berhubungan
dengan inkontinensia urin
atau retensi urin dari hiper-
trofi prostat

sumber tabel: Miller, 2012; Anderson, 2007; Gallo, et al., 2006


20

2.2.3 Pemeriksaan Diagnostik terkait Sistem Pencernaan pada Lansia


Tes diagnostik juga digunakan untuk melengkapi keakuratan screening yang dil-
akukan. Selain itu tes diagnostic dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas
terkait kondisi tubuh lansia. Berikut ini merupakan beberapa tes diagnostic terkait pemerik-
saan gastrointestinal pada lansia.

◻ Endoskopi
Endoskopi merupakan cara untuk melihat visual secara langsung pada sistem gastroin-
testinal dengan meggunanakan sebuah selang yang bersifat fleksibel dengan kamera
kecil. Pada lansia endoskopi memiliki beberapa pertimbangan. Pemberian sedasi untuk
endoskopi pada lansia dapat memberikan beberapa efek yaitu hipotensi, hipoksia, arit-
mia, dan aspirasi ketika dilakukan prosedur (Katsinelos, et al, 2011 dalam Travis, Piev-
sky, Saltzman, 2012). Hal tersebut dapat menimbulkan efek yang buruk untuk lansia
tersebut. Untuk itu lansia perlu diberikan sedasi dalam jumlah dosis yang rendah untuk
mencegah terjadinya kondisi tersebut. Terdapat beberapa jenis endoskopi, namun dari
beberapa jenis tersebut, rata-rata komplikasi prosedur kolonoskopi meningkat seiring
dengan meningkatnya usia khususnya komplikasi perfosrasi. (Travis, Pievsky, Saltz-
man, 2012).

◻ X-Ray

X-ray merupakan prosedur diagnostic dengan menggunakan x-ray untuk mendapatkan


gambaran kondisi organ abdomen. X-ray digunakan untuk mengidentifikasi tumor, ob-
struksi, iskemi usus, kalsifikasi pankreas, penumpukan gas abnormal (yang menan-
dakan obstruksi usus), dan penyempitan.

◻ MRI/CT-scan

CT-Scan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tubuh dan organnya secara horizon-
tal. CT-Scan digunakan untuk mengkaji divertikulitis akut dan pembentukan abses,
mendiagnosis kanker kolorektal dan stadium tumor rektal.
21

2.2.4 Pemeriksaan Laboratorium terkait Sistem Pencernaan pada Lansia


◻ Tes laboratium
1. Urinalisis
Urinalisis dilakukan
untuk dapat menunjuk-
kan status hidrasi lan-
sia. Lansia dinyatakan
mengalami dehidrasi
jiika konsentrasi urin
tinggi (specific gravity
mencapai diatas 1.030).
(Miller, 2012)
Sumber: Miller, 2012
2. Pengecekan nilai darah.
Nilai darah ini berfungsi untuk melihat status nutrisi, namun selain itu juga dapat
menunjukkan status hidrasi lansia dari sodium, hematokrit, hemoglobin, kreatinin, os-
molalitas, dan nitrogen urea darah. Semua nilai tersebut jika mengalami peningkatan
berarti menunjukkan lansia dalam kondisi dehidrasi.
Berikut ini merupakan gambar terkait indikator yang digunakan untuk status nutrisi
normal. (Miller, 2012)

Hasil Tes Laboratorium

Indikator Nilai Normal

Kolesterol < 200mg/dL


HDL Perempuan  35-85mg/dL; Laki-laki  35-65
LDL mg/dL
Glukosa Puasa < 130mg/dL
Kalium 60-110 mg/dL
Natrium 3,5-5,0 mEq/dL
135-145 mEq/dL

Penanda Nutrisi (Foreman, Millisen, & Fulmer, 2010)


22

Serum Albumin 3,5 -5,4 g/dL


Prealbumin 15-35 mg/dL
Transferin >200mg/dL
Total Lymphocyte >1500mm3

Penanda Hidrasi (Foreman, Millisen, & Fulmer, 2010)

BUN/Rasio < 20
Creatinin
Serum Osmolaritas 280-300mmol/kg
Berat jenis urin 1,005 -1,030
Volume Urin >1200 cc/day atau 50 cc/jam

2.3 Perhitungan Indeks Massa Tubuh pada Lansia


Selain itu, status nutrisi dan cairan pada lansia dapat dikaji dengan menggunakan perhi-
tungan indeks massa tubuh (IMT). Perhitungan IMT dapat menunjukkan kategori berat badan
saat ini dan berat badan yang ideal dengan menggunakan data berat badan dan tinggi badan
(Miller, 2012).
Untuk menentukan kategori IMT lansia, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3 Kategori IMT pada Pasien Lansia

Kategori Besar IMT (kg/m2)

Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0


Kurus
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal Berat badan cukup 18,5 – 25,0

Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0


Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

(Sumber: Depkes, 2011)


23

Pada tabel tersebut dapat dilihat angka acuan pada kategori kurus, normal, dan gemuk.
Lansia dengan IMT di bawah 18,5 kg/m2 kemungkinan mengalami kekurangan gizi dan IMT
di atas 25,0 kg/m2 kemungkinan mengalami kelebihan gizi. Menurut Chapman (2011) dalam
Tabloski (2014), lansia yang dengan IMT pada kategori kelebihan berat badan memiliki risiko
tinggi terhadap kematian akibat kelebihan berat badan dan risiko akan menurun setelah berusia
65 tahun hingga sedikit atau tidak ada hubungan sama sekali antara IMT dan kematian setelah
berusia 75 tahun.

4.Mini Nutritional Assessment pada Lansia


The Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan alat yang sering digunakan untuk
mengkaji status nutrisi lansia karena dapat dilakukan secara cepat dan mudah. Penilaian MNA
terdiri dari 2 bagian yaitu 6 skrining dan 12 pertanyaan dan sekitar 15 menit untuk dapat me-
nyelesaikannya (Miller, 2012). Pada bagian pertama pada MNA ialah enam pertanyaan awal
yang disebut sebagai fase skrining meliputi perubahan dalam mengkonsumi makanan,
penurunan berat badan, penurunan mobilitas, kehadiran stress psikologis dan penyakit akut,
kehadiran masalah neuropsikologi dan IMT. Pada fase ini, akan diketahui mengenai lansia
mempunyai status nutrisi yang baik atau kemungkinan malnutrisi (Caselato-Sousa, et al.,
2011). Jka hasil yang didapatkan menunjukkan berisiko dan atau malnutrisi, evaluasi lebih
lanjut harus dilakukan dengan mengajukan 12 pertanyaan. (Miller, 2012)

Pada bagian kedua MNA ialah melakukan pengkajian yang meliputi tempat tinggal
lansia, jumlah obat-obatan yang dikonsumsi, cedera luka (ulkus decubitus), apakah kebiasaan
makan mandiri, persepsi mengenai kesehatan mereka, dan pengukuran lingkar lengan atas
(LLA) dan pengukuran lingkar betis. Setelah kedua belas pertanyaan sudah selesai diajukan,
skor yang sudah didapat dijumlahkan. Langkah terakhir ialah menjumlahkan hasil dari skor
skrining dan skor pengkajian untuk menentukan status gizi lansia yang meliputi nutrisi baik,
berisiko malnutrisi, dan malnutrisi (Caselato-Sousa, et al., 2011). (Miller, 2012)
24

Sumber: mna-elderly.com/forms/MNA_english.pdf
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perubahan fisiologis pada lansia yang berupa penuaan pada tiap sistem tubuh, termasuk
sistem Gastrointestinal (GI), baik dari segi fungsi anatomis maupun fisiologis adalah hal yang
normal. Sistem Gastrointestinal (GI) sendiri adalah suatu jalur pemasokan nutrisi untuk
menunjang pertumbuhan dan perbaikan sel melalui proses ingestion, secretion, mixing and
propulsion, digestion, dan absorption (Derrickson & Tortora, 2015). Untuk menyesuaikan
dengan perubahan fisiologis tersebut, lansia perlu memodifikasi pemenuhan nutrisi agar terhin-
dar dari berbagai penyakit-penyakit terkait GI yang mungkin timbul (Miller, 2012).
Pengkajian terkait sistem GI lansia perlu dilakukan untuk mengetahui masalah mung-
kin timbul pada sistem tubuh tersebut. Pengkajian pada lansia perlu diiringi dengan pertim-
bangan khusus agar informasi dapat terkumpul secara maksimal. (Wallace, 2008). Pengkajian
terkait sistem GI lansia dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik, serta melalui beberapa indikator untuk menentukan status nutrisi
lansia seperti perhitungan indeks massa tubuh (IMT) dan Mini Nutritional Assessment (MNA).

3.2 Saran
Perawat perlu mengetahui perubahan pada sistem tubuh lansia serta faktor-faktor yang
mempengaruhi, termasuk sistem GI yang normal dan tidak normal. Perawat juga perlu
mengetahui pengkajian yang harus dilakukan terkait sistem GI lansia serta teknik pengkajian
yang dilakukan agar terciptanya BHSP yang dapat mendukung keterbukaan lansia pada
perawat akan hal-hal yang dirasakan. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui masalah-
masalah yang mungkin timbul dan segera bertindak sebelum masalah tersebut semakin parah
dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

25
Daftar Pustaka

Anderson, M. A. (2007). Caring for Older Adults Holistically, 4th Edition. Philadelphia: F. A.
Davis Company.
Caselato-Sousa, V. M., et al. Using the Mini Nutritional Assessment to evaluate the profile of
elderly patients in a geriatric outpatient clinic and in long-term institutions. Interna-
tional Journal of Clinical Medicine. 2011, 2, 582-587
Buyckx, M. E. (2009). Hydration and human health: Critical issues update. Nutrition Today,
44(1), 6–7.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Praktis. Retrieved from
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/ped-praktis-stat-gizi-dewasa.doc
on March 11, 2018.
Derrickson & Tortora. (2015). Principle of Anatomy & Phisiology 13th Ed. US : John Wiley &
Sons, Inc
Ebersole, P., Hess, P., Touhy, T., & Jett, K. (2013) Gerontological nursing & health aging. St.
Louis, Missouri: Mosby, Inc
Foreman, M. D., Milisen, K. & Fulmer, T.T. (2010). Critical care nursing of older adults: best
practices (3rd Ed.). New York: Springer
Hanson, S., Duff, V., Kaakinen, J. (2005). Family Health Care Nursing: Theory, Practice,
and Research. Philadelphia: F.A. Davis.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Re-
trieved from www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
lansia.pdf.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Retrieved from http://gizi.dep-
kes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS%20Ok.pdf.
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Keperawatan Gerontik. Retrieved from
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Keperawatan-
Gerontik-Komprehensif.pdf.

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Analisa Lansia di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan In-
formasi.

Kozier, B. B. (2008). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice 8th Edition.
USA: Pearson Education, Inc.

ii
Meiner, S. E., & Lueckenotte, A. G. (2006). Gerontologic nursing. Philadelphia: Mosby
Miller, C.A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults: Theory and Practice (6th Ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin.
Mitty, R. D. (2008). Gastrointestinal physiology (2nd Ed.). New York: Springer Publishing
Company. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/189462075?accountid=17242
Orozco, J. F. G., Amy E. F., Susan M. S., & Jean M. S. (2012). Chronic Constipation in The
Elderly. The American Journal of Gastroenterology /Volume 107. Retrieved from
http://gi.org/wp-content/uploads/2012/10/4-ajg2011349a.pdf
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2013). Fundamentals of Nursing (8th Ed.). St Louis: Elsevier
Mosby.
Reichel, W., Christine A., Jan B., Kenneth B., James G. O., & Mary H. P. (2009). Reichel’s
Care of The Elderly: Clinical Aspects of Aging 6th ed. UK: Cambridge University.
Tabolski, Patricia A. (2014). Gerontological Nursing 3rd Edition. New Jersey: Pearson.
Touhy, T.A., & Jett, K.F. (2014). Ebersole and Hess’ Gerontological Nursing & Healthy Ag-
ing (4th Ed.). St Louis: Mosby Inc.
Travis A.C., Pievsky D., & Saltzman J.R. (2012). Endoscopy in The Elderly. The American
Journal of Gastroenterology, 107, 1495-1501.

iii

Anda mungkin juga menyukai